Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. SHEILA RAHMI ISMI FAIZAH

PENDAMPING :
dr. NURUL FAJRI KURNIATI

dr. MOH HERMAN SYAHRUDDIN

DOKTER INTERNSIP WAHANA RST dr. ASMIR SALATIGA

PERIODE 17 NOVEMBER 2018 – 20 NOVEMBER 2019

KOTA SALATIGA
BorangPortofolio

NamaPeserta: dr. Sheila Rahmi Ismi Faizah

NamaWahana: RST dr. Asmir Salatiga

Topik: Supraventricular Tachycardia (SVT)

Tanggal (kasus): 24 Juni 2019

NamaPasien: Ny. D / 38th No. RM: 038711

NamaPendamping:

Tanggal Presentasi : 24 Juli 2019 dr. Nurul Fajri Kurniati

dr. Moh. Herman Syahruddin

Tempat Presentasi: RST dr. Asmir Salatiga

Obyektif Presentasi:

■ Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka

■ Diagnostik ■ Manajemen  Masalah  Istimewa

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja ■ Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi:
Seorang wanita usia 38 tahun dengan keluhan jantung berdebar-debar sejak 4 hari, memberat sejak 1 hari SMRS.
 Tujuan:
Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal serta konsultasi dengan spesialis penyakit dalam untuk penanganan lebih lanjut
terkait kasus supraventricular tachycardia (SVT) serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga.

Bahan bahasan:  TinjauanPustaka  Riset ■ Kasus  Audit

Cara membahas:  Diskusi  Presentasi dan diskusi  Email  Pos

Data pasien: Nama: Ny. D Nomor Registrasi:038711

Nama klinik : RST dr. Asmir Salatiga Telp:- Terdaftar sejak: -

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Diagnosis/Gambaran Klinis:
Keluhan Utama : Jantung berdebar-debar sejak 4 hari SMRS
2. Riwayat Kesehatan / Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh jantung berdebar-debar sejak 4 hari yang dirasakan semakin lama semakin memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan
muncul secara mendadak dan dirasakan terus menerus. Keluhan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan disertai dengan rasa ampeg, tidak
nyaman di dada, sesak nafas dan nyeri di ulu hati. Keluhan juga disertai dengan pusing dan keringat dingin. Pasien juga mengeluhkan mual
namun tidak muntah, lemas. Tidak ada keluhan nyeri dada menembus punggung, nyeri dada yang menjalar, ataupun nyeri di tangan.
Sebelumnya pasien pernah mengalami keluhan serupa pada ±1 tahun yang lalu. Pasien mengaku keluhan berdebar-debar mulai dirasakan
sejak ±3 tahun yang lalu. Keluhan dirasakan hilang timbul, dan muncul secara tiba tiba tanpa adanya faktor pencetus. Apabila muncul
keluhan, pasien mengkonsumsi concor dan digoxin kemudian setelah itu keluhan berkurang. Namun untuk keluhan saat ini, tidak berkurang
dengan pemberian obat concor dan digoxin.

3. Riwayat Pengobatan:
Concor 1x1
Digoxin 1x1

4. Riwayat Kesehatan/Penyakit:
Riwayat keluhan yang sama sejak ±3 tahun yang lalu .
Riwayat mondok ±1 tahun yang lalu dengan diagnosa supraventricular tachycardia.
Riwayat pemeriksaan penunjang :
Hipertensi (-)
Gagal jantung (-)
Penyakit jantung iskemi/koroner (-)
Penyakit katup jantung (-)
Diabetes mellitus (-)
Penyakit paru (emboli paru, hipertensi pulmonal, ppok) (-)
Stroke (-)

5. Riwayat Keluarga :
Riwayat keluhan serupa (-)

6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :


Pasien tinggal di rumah beserta suami dan anaknya. Pasien bekerja sebagai perawat. Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas BPJS.

7. Riwayat Kebiasaan :
Pasien beraktivitas sebagai perawat.

8. Pemeriksaan Fisik
VITAL SIGN
 KU : sakit sedang
 Tekanan darah : 90/60 mmHg
 Frekuensi nadi : 170 x/menit
 Frekuensi nafas : 26 x /menit
 Suhu : 37 oC
 SpO2 : 97%
 BB : 65 kg
PEMERIKSAAN FISIK

I. Status Pasien
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS E4V5M6
Tekanan darah : 90/60 mmHg
Nadi : 170 x/ menit
Pernafasan : 26x/ menit
Suhu : 37oC
SpO2 : 97%
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 163 cm
Kepala : mesosefal
Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik-/-, , pupil isokor diameter 2.5 mm/2.5 mm, reflek cahaya +/+,
reflek kornea +/+
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Telinga : serumen -/-, nyeri tekan tragus -/-
Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-).
Leher : pembesaran kelenjar limfe (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
Cor:Inspeksi: iktus cordis tidak tampak
Palpasi: iktus cordis teraba di SIC V 2 cm dari linea midclavicularis sinistra
Perkusi: konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi: bunyi jantung I-II reguler, bising (-), gallop (-)
Pulmo: Inspeksi: simetris saat statis dan dinamis
Palpasi: stemfremitus kanan = kiri
Perkusi: sonor seluruh lapangan paru
Auskultasi: suara dasar vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen: Inspeksi: datar, jejas (-), memar (-)
Auskultasi: bising usus (+) normal 8x/menit
Perkusi: timpani
Palpasi: supel, nyeri tekan (+) R. epigastrium, hepar/lien tidak teraba membesar
Ekstremitas: oedem -|-, akral dingin -|-
9. Pemeriksaan Penunjang

EKG

Kesan : Supraventricular Tachycardia


Pemeriksaan Lab Darah (24 Juni 2019)

Hematologi

Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi

Leukosit 8.67 4.5 – 11 x 103/uL Meningkat

Eritrosit 3.96 3.5 – 5.0 x 106/uL Normal

Hemoglobin 12.7 11.0 – 15.0 g/dL Normal

Hematokrit 35.4 37 – 47 % Normal

MCV 89.4 80 – 100 fL

MCH 32.1 27 – 34pg

MCHC 35.9 32 – 36 g/dL Normal

Trombosit 380 150 – 450 x 103/uL Normal

Hitung jenis

Eosinofil 0.9 1-6 % Normal

Basofil 0.5 0,0-1,0 % Normal

Limfosit 28.9 20-45 % Normal

Monosit 5.3 2-8 % Normal


Neutrofil 64.4 40-75 % Normal
Imuno-
serologi
T3 1.59 0.9-2.5
TSH 1.38 0.25-5
T4 81.65 60-120

10. Resume
Pasien mengeluh jantung berdebar-debar sejak 4 hari, memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan muncul secara
mendadak dan dirasakan terus menerus. Keluhan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan disertai dengan rasa ampeg, tidak nyaman di
dada dan nyeri di ulu hati. Keluhan juga disertai dengan pusing dan keringat dingin. Pasien juga mengeluhkan mual namun tidak muntah,
lemas. Pasien pernah mengalami keluhan serupa pada ±1 tahun yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, frekuensi nadi 170x/menit, dan laju pernapasan 26x/menit
dan SpO2 97%.
Dari hasil pemeriksaan penunjang EKG didapatkan gambaran Supraventricular Tachycardia (SVT).
Kesimpulan : Supraventricular Tachycardia

11. Diagnosis
Supraventricular Tachycardia (SVT)

12. Penatalaksanaan
Usulan terapi:
O2 3 lpm
Infus RL 20tpm
Digoxin 1x1
Concor 1x1

Planning:
- EKG ulang setelah pemberian kardioversi farmakologis
 Pemeriksaan penunjang laboratorium: DR, T3, T4, TSH (untuk menyingkirkan kemungkinan Penyakit Jantung Tyroid)
 Pengawasan KU dan VS
 Konsul TS Spesialis Penyakit Dalam
Advis:
Rawat ICU  penuh, sementara rawat bangsal dengan observasi
O2 3 lpm
Infus RL 20tpm
Amiodaron 1 amp dalam D5 100cc habis dalam 1 jam, jika setelah terapi ini masuk HR masih >150x/menit, diberikan amiodaron tab
3x1
p.o: Digoxin 1x1
Concor 1x1
Clobazam 1x10mg
13. Prognosis
 Ad vitam : dubia
 Ad sanationam: dubia
 Ad fungsionam: dubia
14. Follow Up

25 Juli 2019

S : Keluhan berdebar debar sudah tidak dirasakan, ampeg dan sesak nafas sudah tidak dirasakan

O:

Keadaan umum : compos mentis

Tekanan darah : 100/80 mmHg

Nadi : 78 x/menit

Laju pernapasan : 20 x/menit

Suhu : 36.0 C
Hasil EKG follow up:
A:

Post Supraventricular Tachycardia (SVT)

P:

Boleh pulang

Terapi rawat jalan

Concor 1x2,5mg

Clobazam 1x10mg

Kontrol ke poli penyakit dalam 7 hari kemudian

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio

1. Subyektif
Pasien mengeluh jantung berdebar-debar sejak 4 hari, memberat sejak 1 hari SMRS. Keluhan muncul secara mendadak dan
dirasakan terus menerus. Keluhan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan disertai dengan rasa ampeg, tidak nyaman di dada, sesak
nafas dan nyeri di ulu hati. Keluhan juga disertai dengan pusing dan keringat dingin. Pasien juga mengeluhkan mual namun tidak muntah,
lemas. Pasien pernah mengalami keluhan serupa pada ±1 tahun yang lalu.
2. Objektif
a. Dari hasil pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit sedang, frekuensi nadi 170x/menit, dan laju pernapasan
26x/menit dan SpO2 97%.
b. Dari hasil pemeriksaan penunjang EKG didapatkan gambaran Supraventricular Tachycardia (SVT).
3. Assesment
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang pasien didiagnosis Supraventricular Tachycardia (SVT).
4. Plan
Diagnosis:

Supraventricular Tachycardia (SVT)


Pengobatan:
O2 3 lpm
Infus RL 20tpm
Amiodaron 1 amp dalam D5 100cc habis dalam 1 jam, jika setelah terapi ini masuk HR masih >150x/menit, diberikan amiodaron tab
3x1
p.o: Digoxin 1x1
Concor 1x1
Clobazam 1x10mg
Edukasi:
a.Mengenali tanda dan gejala secara mandiri
Mengajarkan cara menghitung nadi, nadi yang ireguler, keluhan berdebar, rasa melayang seperti akan pingsan.
b.Tindakan yang harus dilakukan
Tahapan awal yang harus dilakukan ketika timbul tanda dan gejala adalah istirahat, minum obat yang dianjurkan, ketika keluhan tidak
hilang harus segera ke pelayanan kesehatan terdekat.
Konsultasi:
Dijelaskan secara rasional perlunya konsultasi dengan dokter spesialis penyakit dalam/spesialis jantung & pembuluh darah untu k
penanganan utama, pencegahan, komplikasi, penanganan di rumah serta dengan bagian rehabilitasi medik untuk fisioterapi
Rujukan:
Tidak diperlukan.
SUPRAVENTRICULAR TACHYCARDIA (SVT)

1. Definisi

Supraventricular tachycardia (SVT) adalah suatu terminology yang digunakan untuk mendeskripsikan takikardia (atrial dan/atau
ventricular dengan HR>100x/menit dalam kondisi istirahat), yaitu sebuah mekanisme yang melibatkan bagian bundle HIS atau diatasnya. SVT
ini terdiri dari inappropriate sinus tachycardia (IST), AT (termasuk AT fokal dan multifokal), macroreentrant AT (termasuk atrial flutter
tipikal), junctional tachycardia, AVNRT, dan lain lain. SVT merupakan suatu takidisritmia yang ditandai dengan perubahan denyut jantung
yang mendadak bertambah cepat.1
Kelainan SVT mencakup komponen sistem konduksi di bagian atas bundel HIS. Pada kebanyakan kasus, SVT mempunyai kompleks
QRS normal.Kelainan ini sering terjadi pada demam, emosi, aktivitas fisik dan gagal jantung.

2.2 Epidemiologi
Takikardi supraventrikular merupakan kegawatdaruratan kardiovaskular yang sering ditemukan. Angka kejadian SVT diperkirakan 1 per
250.000 sampai 1 per 250. Angka kekerapan masing-masing bentuk SVT berbeda sesuai usia. Menurut AHA, prevalensi terjadinya SVT pada
populasi adalah 2.29 per 1000 orang. Jika disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin populasi US, insidensi paroxysmal supraventricular
tachycardia (PSVT) diperkirakan sebanyak 36 kasus per 100000 orang di setiap tahunnya. Kasus pasien dengan PSVT diperkirakan sekitar
89000 kasus baru dan 570000 orang setiap tahunnya. Untuk PSVT, resiko lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki dengan
rasio 2:1. Sedangkan untuk kasus AVNRT juga lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki1,2
Insiden SVT diperkirakan hampir 50-60%.3 SVT terjadi dengan struktur jantung yang normal dan hanya 15% SVT yang disertai dengan
penyakit jantung, karena obat-obatan atau demam.4 SVT akan menghilang secara spontan pada beberapa pasien.5 Namun, sampai dengan 33%
pasien akan mengalami kekambuhan.3 Bahkan, untuk SVT jenis atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT) biasanya tidak dapat
sembuh secara spontan dan membutuhkan ablasi radiofrekuensi.6
2.3 Etiologi
1. Idiopatik, ditemukan hampir setengah jumlah insiden. Tipe idiopatik lebih sering pada bayi daripada anak.
2. Sindrom Wolf Parkinson White (WPW) 10-20% terjadi setelah konversi menjadi sinus aritmia. Sindrom WPW adalah suatu sindrom dengan
interval PR yang pendek dan interval QRS yang lebar; yang disebabkan oleh hubungan langsung antara atrium dan ventrikel melalui jaras
tambahan.
3. Beberapa penyakit jantung bawaan (anomali Ebstein’s, single ventricle, L-TGA)
2.4 Klasifikasi
Berikut ini adalah jenis takikardia supraventrikular:
1) SVT yang melibatkan jaringan sinoatrial :
a. Sinus tachycardia
b. Inappropriate sinus tachycardia
c. Sinoatrial node reentrant tachycardia (SANRT)
2) SVT yang melibatkan jaringan atrial :
a. Atrial tachycardia (Unifocal) (AT)
b. Multifocal atrial tachycardia (MAT)
c. Atrial fibrillation
d. Atrial flutter
3) SVT yang melibatkan jaringan nodus atrioventrikular :
a. AV nodal reentrant tachycardia (AVNRT)
b. AV reentrant tachycardia (AVRT)
c. Junctional ectopic tachycardia
2.5 Elektrofisiologi
Gangguan irama jantung secara elektrofisiologi disebabkan oleh gangguan pembentukan rangsang, gangguan konduksi rangsang dan
gangguan pembentukan serta penghantaran rangsang.
1) Gangguan pembentukan rangsang
Gangguan terjadi secara pasif atau aktif. Bila gangguan rangsang terbentuk secara aktif menimbulkan gangguan irama ektopik dan
bila terbentuk secara pasif sering menimbulkan escape rhytm (irama pengganti).
- Irama ektopik timbul karena pembentukan rangsang ektopik secara aktif dan fenomena reentry
- Escape beat (denyut pengganti) ditimbulkan bila rangsang normal tidak atau belum sampai pada waktu tertentu dari irama normal,
sehingga bagian jantung yang belum atau tidak mendapat rangsang itu bekerja secara otomatis untuk mengeluarkan rangsangan
instrinsik yang memacu jantung berkontraksi.
- Active ectopic firing terjadi pada keadaan dimana terdapat kenaikan kecepatan automasi pembentukan rangsang pada sebagian otot
jantung yang melebihi keadaan normal.
- Reentry terjadi bila pada sebagian otot jantung terjadi blokade unidirectional (blokade terhadap rangsang dalam arah antegrad) dimana
rangsang dari arah lain masuk kembali secara retrograd melalui bagian yang mengalami blokade tadi setelah masa refrakternya
dilampaui. Keadaan ini menimbulkan rangsang baru secara ektopik. Bila reentry terjadi secara cepat dan berulang-ulang, atau tidak
teratur (pada beberapa tempat), maka dapat menimbulkan keadaan takikardi ektopik atau fibrilasi.
2) Gangguan konduksi
Kelainan irama jantung disebabkan oleh hambatan hantaran (konduksi) aliran rangsang yang disebut blokade. Hambatan tersebut
mengakibatkan tidak adanya aliran rangsang yang sampai ke bagian miokard yang seharusnya menerima rangsang untuk dimulainya
kontraksi. Blokade ini dapat terjadi pada tiap bagian sistem hantaran rangsang mulai dari nodus SA atrium, nodus AV, jaras HIS, dan
cabang-cabang jaras kanan kiri sampai pada percabangan purkinye dalam miokard.
3) Gangguan pembentukan dan konduksi rangsangan
Gangguan irama jantung terjadi sebagai karena gangguan pembentukan rangsang dan gangguan hantaran rangsang.

2.6 Mekanisme Terjadinya SVT


Mekanisme supraventrikular takikardi adalah atrioventricular nodal reentrant tachycardia (AVNRT), atrioventricular reciprocating
(reentrant) tachycardia (AVRT), dan atrial tachycardia.7
1) Atrioventricular Nodal Reentrant Tachycardia (AVNRT)
AVNRT timbul karena adanya reentrant yang menghubungkan antara nodus AV dan jaringan atrium. Nodus AV pada AVNRT
memiliki dua jalur konduksi yaitu jalur konduksi cepat dan jalur konduksi lambat. Jalur konduksi lambat yang terletak sejajar dengan katup
trikuspid, memungkinkan reentrant sebagai jalur impuls listrik baru melalui jalur tersebut, keluar dari nodus AV secara retrograde (yaitu,
mundur dari nodus AV ke atrium) dan secara anterograde (yaitu, maju dari nodus AV ke ventrikel) dalam waktu bersamaan. Depolarisasi
atrium dan ventrikel yang bersamaan, mengakibatkan gelombang P jarang terlihat pada gambaran EKG, meskipun depolarisasi atrium akan
memunculkan gelombang P pada akhir kompleks QRS pada lead V1. AVNRT sendiri dibagi menjadi AVNRT typical (slow-fast AVNRT)
dan AVNRT Atypical (slow-slow AVNRT/fast-slow AV node reentry).1,7
Gambar 1. Proses terjadinya atrioventricular nodal reentrant tachycardiadan gambaran EKG yang timbul
2) Atrioventricular Reciprocating (Reentrant) Tachycardia (AVRT)
AVRT merupakan takikardi yang disebabkan oleh adanya satu atau lebih jalur konduksi aksesori yang secara anatomis terpisah dari
sistem konduksi jantung normal. Jalur aksesori merupakan sebuah koneksi miokardium yang mampu menghantarkan impuls listrik antara
atrium dan ventrikel pada suatu titik selain nodus AV. AVRT terjadi dalam dua bentuk yaitu orthodromik dan antidromik.1,8
AVRT orthodromik, impuls listrik akan dikonduksikan turun melewati nodus AV secara antegrade seperti jalur konduksi normal dan
menggunakan sebuah jalur aksesori secara retrograde untuk masuk kembali ke atrium. Karakteristik jenis ini adalah adanya gelombang P
yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit karena adanya konduksi retrograde.1,4,8
Impuls listrik AVRT antidromik akan dikonduksikan berjalan turun melalui jalur aksesori dan masuk kembali ke atrium secara
retrograde melalui nodus AV. Karena jalur aksesori tiba di ventrikel di luar bundle His, kompleks QRS akan menjadi lebih lebar
dibandingkan biasanya.4,8
Gambar 2. Proses terjadinya atrioventricular reciprocating (reentrant) tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.
3) Atrial tachycardia
Sekitar 10% dari semua kasus SVT, namun SVT ini sukar diobati. Takikardi ini jarang menimbulkan gejala akut. Penemuannya
biasanya karena pemeriksaan rutin atau karena ada gagal jantung akibat aritmia yang lama. Takikardi atrium primer tampak adanya
gelombang P yang agak berbeda dengan gelombang P pada waktu irama sinus, tanpa disertai pemanjangan interval PR. Pada pemeriksaan
elektrofisiologi intrakardiak tidak didapatkan jaras abnormal (jaras tambahan).9
Takikardi atrial adalah takikardi fokal yang dihasilkan dari adanya sebuah sirkuit reentrant mikro atau sebuah fokus otomatis. Atrial
flutter disebabkan oleh sebuah ritme reentry di dalam atrium, yang menimbulkan laju detak jantung sekitar 300 kali/menit dan bersifat
regular atau regular-ireguler. Gambaran EKG akan tampak gelombang P dengan penampakan “sawtooth”. Perbandingan antara gelombang
P dan QRS yang terbentuk biasanya berkisar 2:1 sampai dengan 4:1. Karena rasio gelombang P terhadap QRS cenderung konsisten,
atrialflutter biasanya lebih regular bila dibandingkan dengan atrial fibrillation. Atrial fibrillation dapat menjadi SVT jika respon ventrikel
yang terjadi lebih besar dari 100 kali per menit. Takikardi jenis ini memiliki karakteristik ritme ireguler-ireguler baik pada depolarisasi
atrium maupun ventrikel.7,8
Gambar 3. Proses terjadinya atrial tachycardia dan gambaran EKG yang timbul.

2.7 Gejala Klinis


Gejala klinis takikardia supraventrikular (SVT) biasanya dibawa karena mendadak gelisah, bernafas cepat, tampak pucat, muntah-
muntah, palpitasi, laju nadi sangat cepat sekitar 200-300 per menit, tidak jarang disertai gagal jantung atau kegagalan sirkulasi yang nyata.1,3,10
Takikardia supraventrikular pada pasien serangan awal disebabkan oleh sindrom WPW, baik yang manifes maupun yang tersembunyi
(concealed) sering menyebabkan pasien dibawa ke dokter karena rasa berdebar dan perasaan tidak enak.3
SVT kronik dapat berlangsung selama berminggu-minggu bahkan sampai bertahun-tahun. Frekuensi denyut nadi yang lebih lambat,
berlangsung lebih lama, gejalanya lebih ringan dan juga lebih dipengaruhi oleh sistem susunana saraf autonom. Sebagian besar pasien terdapat
disfungsi miokard akibat SVT pada saat serangan atau pada SVT sebelumnya.3
Gejala klinis lain SVT dapat berupa palpitasi, lightheadness, mudah lelah, pusing, nyeri dada, nafas pendek dan bahkan penurunan
kesadaran. Pasien juga mengeluh lemah, nyeri kepala dan rasa tidak enak di tenggorokan.3
Risiko terjadinya gagal jantung sangat rendah pada anak dan remaja dengan SVT tapi risikonya meningkat pada neonatus dengan SVT,
neonatus dengan WPW dan pada anak dengan penyakit jantung. Bila takikardi terjadi saat fetus, dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung
berat dan hidrops fetalis.11

2.8 Diagnosis
Diagnosis SVT berdasarkan pada gejala dan tanda sebagai berikut:3,4,8,9,12
a. Sulit minum, muntah, mudah mengantuk, mudah pingsan, keringat berlebihan. Bila gagal jantung, maka dapat menjadi pucat, batuk,
distress respirasi dan sianosis.
b. Palpitasi, nyeri dada, pusing, kesulitan bernapas, pingsan.
c. Palpitasi, nyeri dada, pusing, kesulitan bernapas, pucat, keringat berlebihan, mudah lelah, toleransi latihan fisik menurun, kecemasan
meningkat dan pingsan.
d. Denyut jantung :150 – 250 kali/menit.
e. Perubahan TD (hipertensi atau hipotensi); nadi mungkin tidak teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut
menurun; kulit pucat, sianosis, berkeringat; edema; haluaran urin menurun bila curah jantung menurun berat.
f. Sinkop, pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi, perubahan pupil.
g. Nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau tidak dengan obat antiangina, gelisah
h. Napas pendek, batuk, perubahan kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki, mengi) mungkin ada
menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal; hemoptisis.
i. Demam; kemerahan kulit (reaksi obat); inflamasi, eritema, edema (trombosis siperfisial); kehilangan tonus otot/kekuatan
j. EKG:
(1) AVNRT : gelombang P yang menghilang atau timbul segera setelah kompleks QRS sebagai pseudo r’ dalam V1 atau pseudo s dalam
lead inferior.
(2) AVRT orthodromik : gelombang P yang mengikuti setiap kompleks QRS yang sempit karena adanya konduksi retrograde.
(3) AVRT antidromik : kompleks QRS melebar
(4) Atrial tachycardia: Rasio gelombang P : QRS berkisar 2:1 sampai dengan 4:1

2.9 Penatalaksanaan
Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka
panjang.
1) Penatalaksanaan segera
a. Direct Current Synchronized Cardioversion
Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan termonitor dengan baik, dianjurkan penggunaan direct current synchronized
cardioversion dengan kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif. DC shock yang diberikan perlu
sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi ventrikel.
Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi
ventrikel. Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap
tidak berhasil, maka diperlukan tindakan invasive.1
b. Manuver Vagal
Manuver Vagal direkomendasikan untuk tatalaksana akut pada pasien dengan SVT reguler. Tindakan ini dilakukan pada anak
yang lebih besar namun tidak dianjurkan pada bayi karena jarang berhasil. Maneuver vagal yang terbukti efektif adalah perendaman
wajah. Teknik ini dilakukan dengan cara bayi terbungkus handuk dan terhubung ke EKG, wajah direndam selama sekitar lima detik ke
dalam mangkuk air dingin. Akan tetapi, maneuver vagal yang lain seperti pemijatan sinus karotis dan penekanan pada bola mata tidak
direkomendasikan dan terbukti tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan pemijatan sinus karotis justru dapat menekan pernapasan dan
penekanan pada bola mata memiliki resiko terjadinya luka pada mata dan retina. Jika perendaman wajah gagal, adenosin dengan dosis
awal 200 µg / kg dapat diberikan secara intravena dengan cepat ke dalam pembuluh darah besar (seperti pada fossa antecubital).
Terkadang dibutuhkan dosis adenosine sampai dengan 500 µg / kg.3
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat
dan berlangsung sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal. Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran
darah (sekitar 10 detik) dengan cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok segera pada nodus AV
sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas jantung.9
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi SVT karena dapat menghilangkan hampir semua SVT.
Efektivitasnya dilaporkan pada sekitar 90% kasus. Adenosin diberikan secara bolus intravena diikuti dengan flush saline, mulai dengan
dosis 50 µg/kg dan dinaikkan 50 µ/kg setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 200 µ/kg). Dosis yang efektif yaitu 100 – 150 µg/kg. Pada
sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk mencegah takikardi berulang.13,14,15
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing, dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi
pada pasien dengan disfungsi sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang mempengaruhi A-V node
(seperti beta blokers, calsium channel blocker, amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma.9
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih mungkin mengarah pada:11
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi
(3) Proses mekanisme menuju VT.
d. Verapamil
Obat ini juga tersedia untuk penanganan segera SVT, akan tetapi saat ini mulai jarang digunakan karena efek sampingnya. Obat
ini mulai bekerja 2 sampai 3 menit, dan bersifat menurunkan cardiac output. Banyak laporan terjadinya hipotensi berat dan henti
jantung. Jika diberikan verapamil, persiapan untuk mengantisipasi hipotensi harus disiapkan seperti kalsium klorida (10 mg/kg), cairan
infus, dan obat vasopressor seperti dopamin. Tidak ada bukti bahwa verapamil efektif mengatasi ventrikular takikardi pada kasus-kasus
yang tidak memberikan respon dengan adenosine.1,2
e. Prokainamid.
Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin juga efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan
atau pada konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi juga sering dilaporkan pada saat loading
dose diberikan. Dosis oral yang biasa diberikan berkisar antara 40-100 mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis awal untuk intravena
yang dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan untuk dosis pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit.16
f. Digoksin
Dilaporkan juga efektif untuk mengobati kebanyakan SVT pada anak. Digoksin tidak digunakan lagi untuk penghentian segera
SVT dan sebaiknya dihindari pada anak yang lebih besar dengan WPW sindrom karena ada risiko percepatan konduksi pada jaras
tambahan. Digitalisasi dipakai pada pasien tanpa gagal jantung kongestif.3
g. Bila pasien tidak mengalami gagal jantung kongestif, adenosin tidak bisa digunakan, dan digitalis tidak efektif, infus intravena
phenylephrine bisa dicoba untuk konversi cepat ke irama sinus. Phenylephrine dapat meningkatkan tekanan darah dengan cepat dan
mengubah takikardi dengan meningkatkan refleks vagal. Efek phynilephrin (Neo-synephrine) sama halnya dengan sedrophonium
(tensilon) yang meningkatkan reflek vagal seperti juga efek anti aritmia lain seperti procainamid dan propanolol. Metode ini tidak
direkomendasikan pada pasien dengan CHF karena dapat meningkatkan afterload sehingga merugikan pada pasien dengan gagal
jantung. Dosis phenylephrin 10 mg ditambahkan ke dalam 200 mg cairan intravena diberikan secara drip dengan pengawasan doketr
terhadap tekanan darah. Tekanan sistolik tidak boleh melebihi 150-170 mmHg.
h. Flecainide dan sotalol
Merupakan kombinasi baru, yang aman dan efektif untuk mengontrol SVT yang refrakter. Dosis yang terbukti aman digunakan
berkisar 80-180 mg/m2/hari yang diberikan dalam 2-3 dosis terbagi16
i. Beta bloker.
Obat ini telah terbukti efektif pada 55% pasien. Selain itu juga penggunaan obat amiodarone juga berhasil pada 71% pasien
dimana di antaranya sebagai kombinasi dengan propanolol. Keberhasilan terapi memerlukan kepatuhan sehingga amiodarone dipakai
sebagai pilihan terapi pada beberapa pasien karena hanya diminum 1x sehari. Semua pasien yang diterapi dengan amiodarone, harus
diperiksa tes fungsi hati dan fungsi tiroid setiap 3 bulan. Propanolol dapat digunakan secara hati-hati, sering efektif dalam
memperlambat fokus atrium pada takikardi atrial ektopik.16
Gambar 4. Penatalaksanaan Jangka Pendek SVT Algoritma1
2) Penanganan Jangka Panjang
Umur pasien dengan SVT digunakan sebagai penentu terapi jangka panjang SVT. Di antara yang menunjukkan tanda dan gejala
SVT, kurang lebih sepertiganya akan membaik sendiri dan paling tidak setengah dari jumlah pasien dengan takikardi atrial automatic akan
mengalami resolusi sendiri. Berat ringan gejala takikardi berlangsung dan kekerapan serangan merupakan pertimbangan penting untuk
pengobatan.

Gambar 5. Algoritma Manajemen Jangka Panjang SVT


a. Medikamentosa
Pada sebagian besar pasien tidak diperlukan terapi jangka panjang karena umumnya tanda yang menonjol adalah takikardi
dengan dengan gejala klinis ringan dan serangan yang jarang dan tidak dikaitkan dengan preeksitasi.
Pasien yang sensitif terhadap pengobatan adenosine dapat diberikan long acting β blocker, yang telah terbukti aman digunakan
dan tidak membutuhkan monitoring spesifik. Pada pasien yang mengalami syok atau sulit untuk dilakukan kardioversi, dapat diberikan
obat-obatan antiaritmia yang lebih kuat, seperti sotalol, flecainide atau amiodarone yang masing-masing membutuhkan monitoring
intensif. Konsentrasi flecainide dalam darah harus diukur pada pemberian hari ke tujuh untuk memastikan tidak tercapainya konsentrasi
yang bersifat toksik. Pada pemberian sotalol, harus dilakukan monitoring terhadap interval QT. Dosis yang diberikan dapat diterima
jika interval QT mencapai 0,5 detik. Sotalol memiliki beberapa efek β blocker dan harus diperhatikan kemungkinan terjadinya disfungsi
miokard.16
Digoksin kadang-kadang digunakan sebagai obat tambahan yang dikombinasikan dengan obat-obatan tersebut. Digoksin tidak
digunakan sebagai terapi tunggal karena dianggap kurang efektif. Penggunaannya juga berpotensi memberikan resiko terjadinya atrial
takikardi di masa mendatang. Penggunaan digoksin dikontraindikasikan untuk pasien dengan Wolff-Parkinson-White (WPW) karena
meningkatkan sifat konduksi dari jalur aksesori dan merupakan predisposisi untuk mempercepat terjadinya fibrilasi atrium dan
kematian mendadak pada pasien.17
Pada pasien dengan serangan yang sering dan berusia di atas 5 tahun, radiofrequency ablasi catheter merupakan pengobatan
pilihan. Pasien yang menunjukkan takikardi pada kelompok umur ini umumnya takikardinya tidak mungkin mengalami resolusi sendiri
dan umunya tidak tahan atau kepatuhannya kurang dengan pengobatan medikamentosa. Terapi ablasi dapat dilakukan bila SVT
refrakter terhadap obat anti aritmia atau ada potensi efek samping obat pada pemakaian jangka panjang. Pada tahun-tahun sebelumnya,
alternatif terhadap pasien dengan aritmia yang refrakter dan mengancam kehidupan hanyalah dengan anti takikardi pace maker atau
ablasi pembedahan.11
Tabel 1. Klasifikasi obat-obatan yang biasa digunakan dalam manajemen takikardi.
Klasifikasi Obat-Obatan
Kelas 1 : Sodium channel blocker Flecainide, propafenone
Kelas 2 : β blockers Atenolol, propanolol, esmolol,
nodolol
Kelas 3 : potassium channel Amiodarone, sotalol
blocker
Kelas 4 : calcium channel blocker Verapamil, diltiazem

b. Ablasi Kateter
Prosedur elektrofisiologi hampir selalu diikuti oleh tindakan kuratif berupa ablasi kateter. Ablasi kateter pertama sekali
diperkenalkan oleh Gallagher dkk tahun 1982. Sebelum tahun 1989 ablasi kateter dilakukan dengan sumber energi arus langsung yang
tinggi (high energy direct current) berupa DC Shock menggunakan kateter elektroda multipolar yang diletakkan di jantung. Karena
pemberian energi dengan jumlah tinggi dan tidak terlokalisasi maka banyak timbul komplikasi. Saat ini ablasi dilakukan dengan energi
radiofrekuensi sekitar 50 watt yang diberikan sekitar 30-60 detik. Energi tersebut diberikan dalam bentuk gelombang sinusoid dengan
frekuensi 500.000 siklus per detik (hertz).
Selama prosedur ablasi radiofrekuensi (ARF) timbul pemanasan resistif akibat agitasi ionik. Jadi jaringan yang berada di bawah
kateter ablasi yang menjadi sumber energi panas, bukan kateter itu sendiri. Thermal injury adalah mekanisme utama kerusakan jaringan
selama prosedur ARF. Meningkatnya suhu jaringan menyebabkan denaturasi dan evaporasi cairan yang kemudian menimbulkan
kerusakan jaringan lebih lanjut dan koagulasi jaringan dan darah. Kerusakan jaringan permanen timbul pada temperatur sekitar 50
derajat celsius.
Prosedur ARF adalah prosedur invasif minimal dengan memasukkan kateter ukuran 4-8 mm secara intravaskular (umumnya ke
jantung kanan) dengan panduan sinar X. Biasanya prosedur ini bersamaan dengan pemeriksaan elektrofisiologi. Selanjutnya kateter
ablasi diletakkan pada sirkuit yang penting dalam mempertahankan kelangsungan aritmia tersebut di luar jaringan konduksi normal.
Bila lokasi yang tepat sudah ditemukan, maka energi radiofrekuensi diberikan melalui kateter ablasi. Umumnya pasien tidak merasakan
adanya rasa panas tapi kadang-kadang dapat juga dirasakan adanya rasa sakit. Bila tidak terjadi komplikasi pada pasien, hanya perlu
dirawat selama 1 hari bahkan bisa pulang hari.
Indikasi untuk ARF bergantung pada banyak hal seperti lama dan frekuensi takikardi, toleransi terhadap gejala, efektivitas dan
toleransi terhadap obat anti aritmia, dan ada tidaknya kelainan struktur jantung. Untuk SVT yang teratur, banyak penelitian yang
menunjukkan bahwa ARF lebih efektif daripada obat dalam aspek peningkatan kualitas hidup pasien dan penghematan biaya daripada
obat anti aritmia.
Dari beberapa meta analisis didapatkan angka keberhasilan rata-rata ARF pada SVT adalah 90-98% dengan angka kekambuhan
sekitar 2-5%. Angka penyulit sekitar 1%. ARF dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dibandingkan dengan obat-obatan.18

c. Pacu Jantung Dan Terapi Bedah


Alat pacu jantung akan segera berfungsi bila terjadi bradikardi hebat. Alat pacu jantung untuk bayi dan anak yang dapat
diprogram secara automatik (automatic multiprogrammable overdrive pacemaker) akan sangat memudahkan penggunaannya pada
pasien yang memerlukan. Pacu jantung juga dapat dipasang di ventrikel setelah pemotongan bundel HIS, yaitu pada pasien dengan SVT
automatik yang tidak dapat diatasi. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir setelah tindakan pembedahan langsung gagal.
Tindakan pembedahan dilakukan pertama kali pada pasien sindrom WPW. Angka keberhasilannya mencapai 90%. Karena
memberikan hasil yang sangat memuaskan, akhir-akhir ini cara ini lebih disukai daripada pengobatan medikamentosa. Telah dicoba
pula tindakan bedah pada SVT yang disebabkan mekanisme automatik dengan jalan menghilangkan fokus ektopik secara kriotermik.
Gillete tahun 1983 melaporkan satu kasus dengan fokus ektopik di A-V junctionyang berhasil diatasi dengan tehnik kriotermi
dilanjutkan dengan pemasangann pacu jantung permanen di ventrikel.
Dengan kemajuan di bidang kateter ablasi, tindakan bedah mulai ditinggalkan. Akan tetapi di beberapa senter kardiologi,
kesulitan melakukan ablasi transkateter dapat diatasi dengan pendekatan bedah dengan menggunakan tehnik kombinasi insisi dan
cryoablation jaringan. Pada saat yang sama adanya residu kelainan hemodinamik yang menyebabkan hipertensi atrium dan ventrikel
dapat dikoreksi sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Heart Association, 2016. Guidelines for the Management of Adult Patients with Supraventricular Tachycardia. Circulation, pp.
506-574.

2. Chun, T. U. H. & Van Hare, G. F., 2010. Advances in the approach to treatment of supraventricular tachycardia in population. Current
Cardiology Reports, Volume 6, pp. 322-326.

3. Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M., 2011. Supraventricular Tachycardia in the Primary Care Setting: Agerelated Presentation,
Diagnosis, and Management. Journal of Health Care, 22(5), pp. 289-299.

4. Kantoch, M. J., 2011. Supraventricular tachycardia. Indian Journal, Volume 72, pp. 609-619.

5. Hanisch, D., 2012. Arrhythmias. Journal of Nursing, Volume 16, pp. 351-362.

6. Sekar, R. P., 2013. Epidemiology of Arrhythmias. Indian Pacing and Electrophysiology Journal, Volume 8, pp. 8-13.

7. Link, M. S., 2012. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular Tachycardia. The New England Journal of Medicine, 367(15), pp.
1438-1448.

8. Doniger, S. J. & Sharieff, G. Q., 2010. Dysrythmias. Clinics of North America, Volume 53, pp. 85-105.

9. Manole, M. D. & Saladino, R. A., 2013. Emergency Department Management of the Patient With Supraventricular Tachycardia.
Emergency Care, 23(3), pp. 176-189.

10. Hanash, C. R. & Crosson, J. E., 2010. Emergency Diagnosis and Management of Arrhythmias. J Emerg Trauma Shock, Volume 3(3), p.
251–260.

11. Kothari, D. S. &Skinner, J. R., 2013. Tachycardias: an update.Volume 91, p. 136–144.


12. Delacrétaz, E., 2012. Supraventricular Tachycardia. New England Journal of Medicine, 354(10), pp. 1039-1051.

13. Dubin, A., 2012. Cardiac arrhythmias. In: R. Kliegmann, R. Behrmann, H. Jenson & B. Stanton, eds.Philadelphia: Saunders, Elsevier, pp.
1942-1950.

14. Kannankeril, P. & Fish, F., 2011. Disorders of Cardiac Rhythm and Conduction. In: , eds. . 7th ed.. In: H. Allen, D. Driscoll, R. Shaddy &
T. Feltes, eds. Moss and Adams' Heart Disease in Infants, Children, and Adolescents: Including the Fetus and Young Adults 7th Ed.
Philadelphia: Lippincott, Williams and Wilkins, pp. 293-342.

15. Moghaddam, M. Y. A., Dalili, S. M. & Emkanjoo, Z., 2011. Efficacy of Adenosine for Acute Treatment of Supraventricular Tachycardia.
The Journal of Tehran University Heart Center, Volume 3(3), pp. 157-162.

16. Iyer, V. R., 2013. Drug Therapy Considerations in Arrhythmias. Indian Pacing and Electrophysiology Journal, Volume 8 (3), pp. 202-210.

17. Wong, K. K., Potts, J. E., Etheridge, S. P. & Sanatani, S., 2012. Medications used to manage supraventricular tachycardia: A North
American Survey. Cardiology, Volume 27, pp. 199-203.

18. Kim, Y. H., Park, H.-S., Hyun, M. C. & Kim, Y.-N., 2012.Tachyarrhythmia and Radiofrequency Catheter Ablation: Results From 1993 to
2011. Korean Circulation Journal, Volume 42, pp. 735-740.

Anda mungkin juga menyukai