Anda di halaman 1dari 22

PSIKONEUROIMUNOLOGI

Oleh

Mohamad Fiqih Arrachman, S.Ked. 04084821921031


Feisal Moulana, S.Ked 04084821921106
Dwitissa Novaria A. S.Ked 04084821820048

Pembimbing

dr. Abdullah Sahab Sp.KJ, MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................2


BAB I PENDAHULUAN .............................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................4
BAB III KESIMPULAN .............................................................................21

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kondisi sehat dapat dipertahankan karena individu mempunyai ketahanan tubuh


yang baik. Stres terjadi karena tidak adekuatnya kebutuhan dasar manusia yang akan
dapat bermanifes pada perubahan fungsi fisiologis, kognitif, emosi dan perilaku.
Paradigma yang banyak dianut pada saat ini adalah memfokuskan pada hubungan
antara perilaku, sistem saraf pusat (SSP), fungsi endokrin dan imunitas. Responsivitas
sistem imun terhadap stres menjadi konsep dasar psikoneuro-imunologi. Mekanisme
hubungan tersebut diperantarai oleh mediator kimiawi seperti glukokortikoid, zat
golongan amin dan berbagai polipeptida melalui aksis limbik hipotalamus-hipofisis-
adrenal yang dapat menurunkan respon imun seperti aktifitas sel natural killer (NK),
interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi interferon gama (IFN).
Psikoneuroimunologi (PNI) adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang mengkaji
interaksi antara faktor stress psikologis yang mempengaruhi respon imun, pengaruh
stres psikologis terhadap perubahan respons imun serta manifestasi berbagai penyakit
yang diperantarai oleh sistem imun. Cabang ilmu ini relatif baru, karena baru
berkembang sejak dua dekade yang lalu dan telah banyak memberikan kontribusi
kepada ilmu kedokteran umumnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang
menghubungkan proses-proses psikologi, neural, dan imunologis. Banyak dokter telah
memperhatikan hubungan antara kehilangan yang penting, seperti kematian orang
yang dicintai dan penyakit yang menyusul. Hubungan itu sering terasa sangat hebat
bila orang yang mengalami kehilangan itu tidak dapat mengungkapkan emosi-emosi
yang kuat, misalnya kesedihan yang biasanya terjadi karena orang sendiri mengalami
tragedi itu. Hipotesis bahwa stres yang ditimbulkan kehilangan atau pemisah yang
hebat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan
sejumlah penyakit fisik.
Sistem kekebalan memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya benda-
benda asing (yang disebut antigen) dan menonaktifkan atau menghilangkan benda-
benda itu. Sistem kekebalan itu terdiri dari beberapa kelompok sel berbeda yang
dinamakan limfosit-limfosit. Penelitian belakangan telah memberikan suatu
pemahaman awal mengenai bagaimana stres dan faktor-faktor emosional
menyebabkan perubahan-perubahan hormon yang kadang-kadang dapat mengurangi
efisiensi dari sistem kekebalan dan dengan demikian meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit.
Para ahli psikoneuroimunologi meneliti sekaligus tiga sistem tubuh, sistem
saraf, sistem endokrin, dan sistem kekebalan yang berkomunikasi antara yang satu
dengan yang lainnya melalui sinyal-sinyal kimia yang kompleks. Ada kemungkinan
hal ini sedang diteliti terutama pada orang-orang yang menderita salah satu dari dua
kondisi psikologis yang berat, yakni skizofrenia dan depresi.

B. Sejarah Psikoneuroimunologi
Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan
sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu
proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh poliferasi teknologi, perubahan tatanan
hidup serta kompetisi antar individu yang makin berat.

4
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku
dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik
adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antar perilaku, kerja
saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong
munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi. Martin (1938) mengemukakan
ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu :
a. Status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan,
b. Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma.

Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi
berperan pada modulasi sistem imun. Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan
istilah psikoneuroimunologi : yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak
digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres terhadap
berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.

C. Stress dan Stressor


a) Stress
Peradaban membuat kita hidup dalam kondisi stres psikologis dan
fisiologik. Mengacu pada definisi yang dikemukakan pertama kali oleh Hans
Selye tahun 1930: stress adalah kondisi yang merupakan konsekwensi
psikobiologik dari kegagalan organisme hidup untuk merespon secara berhasil
guna setiap ancaman fisik ataupun emosional, baik yang merupakan ancaman
aktual maupun imajinasi, yang berperan sebagai stressor (Berczi
&Szentivanyi. 2003).
Stresor untuk organisme kompleks multiseluler seperti manusia,
didefinisikan sebagai stimulus yang oleh otak dianggap ancaman dan
menimbulkan keadaan disforik, serta fisiologis meningkatkan produksi
noradrenalin dan adrenalin untuk mekanisme melawan atau lari. Stresor itu
mencakup rasa nyeri, persepsi ancaman, dan “keterpaksaan” melakukan
aktifitas yang tidak mengikuti ritme fisiologik seperti ritme Sirkadian. Semua
stresor ini dipersepsi oleh otak sebagai kondisi disforik yang menimbulkan
kondisi stres dan mempengaruhi semua fungsi homeostasis mulai dari
5
kardiovaskular sampai fungsi imun. Selanjutnya ditemukan bahwa sitokin
sebagai bagian sistem imun ternyata juga mengendalikan neuron dan sel glia
otak (Anderson, 1994).
Berdasarkan peran otak tersebut, psikoneuroimunologi mengemukakan
premise major yaitu otak dan sistem imun merupakan satu kesatuan
homeostasis melalui fungsi psikobiologik (Berczi & Szentivanyi).
Substrat biologik respon stress Respon stress terjadi bila seseorang
menghadapi stimulus yang dianggapnya merupakan ancaman bahaya sebagai
stresor. Karena itu respon stress selalu terjadi dalam tiga etape yaitu:
1. Etape persepsi stresor
2. Etape respon stress
3. Etape persepsi keberhasilan respon

Setiap etape ini mempunyai substrat biologik utama. (Brustolim D, 2006)


1. Etape persepsi stresor
Substrat biologiknya ialah korteks prefrontalis (KPF), nukleus amigdala, dan
hipocampus, serta sistem reward mesolimbik yang terdiri dari area tegmental ventralis
(ATV), nukleus akumben (NAk). Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah
GABA (gamma-aminobutiric acid), hormon katekolamin yaitu dopamin (DA),
adrenalin (A), dan noradrenalin (NA), serotonin (5-HT) serta neuropeptida S.
Apabila terjadi stimulus dari luar, maka KPF akan menilai apakah stimulus itu
berbahaya atau tidak dengan menggunakan informasi yang disimpan dalam
hipocampus (memori dari pelajaran atau pengalaman lalu). Bila dinilai berbahaya,
maka neurotransmiter penghambat GABA dihambat, tercetus sinyal ke amigdala yang
akan mencetuskan muatan emosional dari respon stress tergantung penilaian. Bila
menakutkan respon lari, bila memarahkan respon melawan. Keduanya disebut respon
melawan atau lari (fight or flight).
Apapun responnya, terjadi reaksi cascade dimulai peningkatan sekresi
serotonin, diikuti peningkatan sekresi dopamin, yang diikuti lagi oleh peningkatan
adrenalin sehingga terjadi emosi disforik (tidak nyaman). Proses berikutnya adalah
etape respon stress (Diamond M, 2006).

2. Etape respon stress

6
Substrat biologiknya yang telah diketahui ialah sistem lokus Sereleus (LS)-
Noradrenalin (NA), aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang juga disebut
lengkung imun-otak, dan kelenjar pineal yang berkaitan dengan ritme Sirkadian.
Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah A, NA, glucocorticoid dengan
cortisol sebagai hormon stress utama, serta melatonin yang berkaitan dengan ritme
Sirkadian.
Etape ini disebut juga Sindroma Adaptasi Umum (SAU) pada fase initial brief
alarm reaction. Etape ini sangat mempengaruhi semua sistem homeostasis yang secara
umum mengalami peningkatan, kecuali sistem imun yang secara umum mengalami
supresi. Peningkatan NA segera diikuti peningkatan A. Terjadi adrenalin rush, yang
memobilisasi semua sistem energi tubuh untuk reaksi melawan atau lari. Adrenalin
rush menyebabkan jumlah free floating DA meningkat. Kita sampai ke point of no
return dimana perilaku melawan atau lari Fungsi otak dalam etape ini mengalami
disinhibisi sehingga perilaku melawan atau lari terjadi secara “otomatis” tanpa
pengendalian. (Diamond M, 2006).

3. Etape keberhasilan respon


Substrat biologiknya ialah KPF, dan sistem reward mesolimbik. Sedangkan
neurotransmiter yang paling berperan ialah DA sebagai neurotransmiter kenikmatan.
Bila perilaku melawan atau lari segera menyelesaikan masalah (hanya terjadi pada
tingkat peradaban pemburupengembara), maka kita masuk ke respon relaksasi. Dalam
hal ini DA terikat pada reseptor DRD2 di NAk, timbul perasaan nyaman, adrenalin
dan noradrenalin menurun, glucocorticoid menurun, semua fungsi homeostasis turun
kembali ketingkat basal (Diamond M, 2006).
Bagaimana bila respon stress akut gagal mengatasi kondisi stress? Artinya kita
selalu dalam kondisi stress akut yang memobilisasi fungsi homeostasis sehingga kita
selalu dalam reaksi melawan atau lari. Tentu saja suatu saat kita akan kehabisan
energi dan terjadi kerusakan pada hampir semua sistem organ yang mengganggu
homeostasis.

Beberapa ahli memberikan arti stress sebagai respon fisiologik (badani),


psikologik, dan perilaku seorang individu dalam menghadapi penyesuaian diri
terhadap tekanan yang bersifat internal (dari dalam tubuh) ataupun eksternal (dari

7
lingkungan). Sementara Hans Selye mengartikan bahwa stress adalah tanggapan
tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Stress juga
diartikan sebagai keadaan di dalam hidup seseorang yang menyebabkan ketegangan
atau dysforia (kesedihan).
Hampir semua orang pernah mengalami stress. Stress merupakan hal yang
wajar. Di suatu sisi, stress dapat mengganggu keseimbangan hidup seseorang, tetapi
di sisi lain stress merupakan salah satu energi yang dapat membantu seseorang untuk
mencapai cita-citanya. Bila seseorang dapat mengelola stress dengan baik, stress
justru meningkatkan vitalitas, optimisme, pandangan hidup yang positif, ketahanan
mental dan fisik, produktivitas dan kreativitas meningkat. Sebaliknya, stress bisa
terjadi bila seseorang tidak dapat merespon stress itu sendiri secara positif. Stress
dapat menimbulkan gangguan fisik dan kejiwaan, misalnya kelelahan, mudah marah,
konsentrasi menurun, depresi, pesismisme, disfungsi ereksi, kecelakaan, produktivitas
dan kreativitas menurun.
Dalam kehidupan kita, stress tidak dapat dihindari. Namun, bagi kita yang
penting adalah bagaimana hidup dengan stress tanpa harus menderita distress, dan
stress itu sendiri menjadi energi dalam meningkatkan kualitas hidup.

b) Stressor
Kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressor. Stressor
adalah suatu peristiwa, situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan
stress dan reaksi terhadap stress. Ada beberapa bentuk stressor, antara lain :
1. Stressor Psikologis
Misalnya, krisis, frustasi, konflik, tekanan
2. Stressor Bio-ekologis
Misalnya, suara/ bising yang mengganggu, polusi udara, suhu terlalu
panas/ dingin, ketidakcukupan gizi
Stressor yang berkepanjangan akan mengganggu individu, misalnya
menimbulkan rasa tidak sejahtera atau mengganggu keseimbangan hidup
seseorang, sehingga menimbulkan dampak yang merugikan. Seseorang
mengalami distress kemudian menjadi sakit.
Stressor dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni stressor yang
berasal dari faktor lingkungan (environmental factors), faktor organisasi
(organizational factors), dan faktor individu (personal factors).
8
1. Faktor lingkungan
Selain memengaruhi desain struktur sebuah organisasi,
ketidakpastian lingkungan juga memengaruhi tingkat stres
para karyawan dan organisasi. Perubahan dalam siklus bisnis
menciptakan ketidakpastian ekonomi, misalnya, ketika kelangsungan
pekerjaan terancam maka seseorang mulai khawatir ekonomi akan
memburuk.
2. Faktor organisasi
Banyak faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan
stres. Tekanan untuk menghindari kesalahaan atau menyelesaikan
tugas dalam waktu yang mepet, beban kerja yang berlebihan, atasan
yang selalu menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak
menyenangkan adalah beberapa di antaranya. Hal ini dapat
mengelompokkan faktor-faktor ini menjadi tuntutan tugas, peran, dan
antar pribadi.
3. Faktor pribadi
Faktor-faktor pribadi terdiri dari masalah keluarga, masalah
ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam
diri seseorang.
Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang
sangat mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. berbagai
kesulitan dalam hidup perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan
masalah disiplin dengan anak-anak adalah beberapa contoh masalah
hubungan yang menciptakan stres.
Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak
daripada tiang adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stres bagi
karyawan dan mengganggu konsentrasi kerja karyawan. Studi terhadap
tiga organisasi yang berbeda menunjukkan bahwa gejala-gejala stres
yang dilaporkan sebelum memulai pekerjaan sebagian besar
merupakan varians dari berbagai gejala stres yang dilaporkan sembilan
bulan kemudian. Hal ini membawa para peneliti pada kesimpulan
bahwa sebagian orang memiliki kecenderungan kecenderungan inheren
untuk mengaksentuasi aspek-aspek negatif dunia secara umum. Jika
kesimpulan ini benar, faktor individual yang secara signifikan
9
memengaruhi stres adalah sifat dasar seseorang. Artinya, gejala stres
yang diekspresikan pada pekerjaan bisa jadi sebenarnya berasal
dari kepribadian orang itu.
c) Pengendalian Stress
Stress merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi
emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Gejala stress dapat dilihat dari
tiga sisi, yaitu :
1. Gejala Fisik
o Nafas memburu
o Mulut dan kerongkongan kering
o Tangan lembab
o Merasa panas
o Otot-otot tegang
o Pencernaan terganggu
o Mencret-mencret
o Sembelit
o Letih yang tak beralasan
o Sakit kepala
o Salah urat
o Gelisah
2. Tingkah Laku ( secara umum ) Perasaan :
o Bingung, cemas, dan sedih
o Jengkel
o Salah paham
o Tak berdaya
o Tak mampu berbuat apa-apa
o Gelisah
o Kehilangan semangat
Kesulitan dalam :
o Berkonsentrasi
o Berpikir jenih
o Membuat keputusan
Hilangnya :
o Kreativitas
10
o Gairah dalam penampilan
o Minat terhadap orang lain
3. Gejala-gejala di Tempat Kerja :
o Kepuasan kerja rendah
o Kinerja yang menurun
o Semangat dan energi menurun
o Komunikasi tak lancar
o Pengambilan keputusan yang jelek
o Kreativitas dan inovasi berkurang
o Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif

Ada korelasi langsung antara stress dengan prestasi kerja. Menurut


Higgins, bila karyawan tidak memiliki stress maka tantangan-tantangan kerja
tidak ada dan akibatnya prestasi kerja juga rendah. Makin tinggi stress karena
tantangan kerja yang juga bertambah maka akan mengaibatkan prestasi kerja
juga bertambah, tetapi jika stress sudah maksimal, tantangan kerja jangan
ditambah karena tidak lagi akan dapat meningkatkan prestasi kerja, tetapi
malah akan menurunkan prestasi kerjanya.

D. Sistem Kekebalan Tubuh


Tubuh kita memiliki sistem imun. Sistem imun tersusun dari sel-sel dan
jaringan yang membentuk imunitas, yaitu kekebalan tubuh terhadap infeksi atau
penyakit. Organisme penyebab penyakit (patogen) dapat masuk ke dalam tubuh dan
memasuki jaringan atau sel-sel dalam tubuh. Patogen juga dapat menghancurkan
sistem imun dalam tubuh kita dan menggandakan diri di dalam tubuh. Patogen juga
dapat menghancurkan jaringan-jaringan dalam tubuh kita dengan melepaskan racun.
Jika kekebalan tubuh kita dapat dikalahkan oleh patogen, berarti tubuh kita
mengalami suatu penyakit. Respon imun tubuh alamiah terhadap serangan patogen
baru akan muncul dalam waktu 24 jam (Diah Aryulina, 2004).
Sistem imun mencakup sumsum tulang, timus, limpa, dan limfonodus;
kelompok limfosit ditemukan dalam paru dan mukosa saluran cerna; linfosit dalam
darah dan limfe; dan limfosit dan sel plasma yang tersebar luas dalam jaringan ikat di
seluruh tubuh. Fungsi bersama kelompok heterogen sel-sel dan organ ini adalah untuk
melindungi organisme terhadap efek invasi yang berpotensi merusak dari

11
makromolekul eksogen, apakah mereka memasuki tubuh dalam bentuk itu atau
sebagai unsur dari virus, bakteri, atau protozoa. Hal ini tercapai melalui mekanisme
pertahanan seluler dan humoral yang bersama-sama merupakan respon imun (Jan
Tambayong, 1994).
Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari serangan
mikroorganisme. Melalui saluran limfatiknya, sistem imun juga melakukan fungsi
transportasi seperti darah. Sistem imun terdiri dari jutaan sel yang bersirkulasi dan
struktur khusus, seperti nodus limfe yang berlokasi di seluruh tubuh (Patricia Gonce
Morton, 1997).
Sistem imun memiliki beberapa fungsi tubuh, yaitu:
a) Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
b) Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen
tubuh yang telah tua.
c) Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya (Diah Aryulina, 2004).
Defisiensi sistem imun adalah kondisi respons imun defektif, yang
mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gangguan defisiensi sistem
imun dapat disebabkan oleh obat (seperti kemoterapi sitotoksik), radiasi, dan
mikroorganisme, termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkaitan
dengan mekanisme pertahanan tubuh (Chris Brooker, 2005).

E. Efek Stress terhadap Kekebalan Tubuh


Telah terbukti bahwa stress dapat mengganggu kondisi tubuh, bisa membuat
kesehatan terganggu. Stress memang tidak langsung membuat kondisi tubuh berubah
akan tetapi adanya variabel biologis dan psikologis membuat kondisi tubuh berubah
dan akhirnya kesehatan terganggu. Pada tingkat lanjut membuat penyakit berkembang
dalam tubuh.
Secara sederhana stress dapat mengganggu kondisi tubuh karena stress
mempunyai efek domino dalam sistem hormone yang ada dalam tubuh. Dalam
hormone ada sistem endokrin yang terdiri dari kelenjar-kelenjar endokrin
menampilkan respon tubuh terhadap stress. Hormon-hormon stress ini diproduksi oleh
kelenjar adrenal membantu tubuh menyiapkan diri mengatasi stressor atau ancaman.
Apabila stressor melewati batas bisa mengganggu kondisi tubuh dan
menyebabkan stress. Selama stress tubuh secara terus-menerus memompa hormon-
12
hormon yang dapat menekan kemampuan sistem kekebalan tubuh yang fungsinya
melindungi tubuh manusia dari berbagai infeksi dan penyakit.
Bila kekebalan tubuh (imun) menurun, berbagai penyakit dan infeksi akan
mudah masuk ke dalam tubuh manusia. Sistem kekebalan (immune system)
merupakan pertahanan tubuh melawan penyakit. Berjuta sel darah putih yang disebut
leukosit adalah pasukan sistem kekebalan tubuh dalam peperangan mikroskopis.
Menurut Kiecolt-Glaser, 1992; Maier, Watkins, dan Fleshner, 1994 sumber-
sumber psikologi dari stress menurunkan kemampuan tubuh manusia untuk
menyesuaikan diri dan secara cepat juga mempengaruhi kesehatan. Stress
meningkatkan resiko terkena berbagai jenis penyakit fisik, mulai dari gangguan
pencernaan sampai penyakit jantung.
Untuk memahami proses yang terjadi kita akan membahas Sindroma
Adaptasi Umum sebagai respon fisiologik stress.

Sindroma Adaptasi Umum (SAU) sebagai respon fisiologik stress


Melalui penelitian selama 10 tahun pada berbagai hewan, Selye pada tahun
1974 mendeskripsikan tiga tingkat adaptasi terhadap stress berkelanjutan (prolonged
stres) yang disebut Sindroma Adaptasi Umum (SAU). Dimulai dengan initial brief
alarm reaction, diikuti periode resistensi berlanjut (prolonged resistance period) dan
diakhiri tingkat terminal kelelahan (terminal stage of exhaustion and death) (Michael,
2005).
Riset glucocorticoid menemukan pada initial brief alarm reaction terjadi
peningkatan tajam kadar glucocorticoid darah. Selanjutnya pada periode resistensi
ketajaman peningkatan mulai mendatar, tetapi masih lebih tinggi dari pada kadar
basal glucocortikoid. Dengan berlanjutnya stress, pada suatu titik tiba-tiba kadar
glucocorticoid menurun pada tingkat terminal kelelahan, yang diikuti kematian.
Berdasarkan ini, pengukuran kadar glucocorticoid darah dipakai sebagai metode
deteksi tingkat stress yang dapat membahayakan kehidupan (Elenkov, 2005).
Pert dkk pada tahun 1985 menemukan bahwa neuropeptida dan neuro-
transmiter (yang berperan pada pengendalian emosi) didapatkan pada dinding sel
neuron otak dan dinding sel pengendali sistem imun serta dinding sel berbagai organ
endokrin. Temuan ini mengesankan saling keterkaitan fungsi emosi yang
dikendalikan susunan saraf pusat dengan fungsi imun yang merupakan sistem

13
pertahanan tubuh serta sistem endokrin yang berkaitan dengan homeostasis (Elenkov,
2005).
Dapat dideduksi bahwa terdapat mekanisme yang mendasari perubahan respon
imun yang dicetuskan fungsi mental ataupun perubahan fungsi mental yang
dicetuskan respon imun. Mekanisme coping terhadap stress mental mempengaruhi
respon imun dalam upaya mempertahankan homeostasis sampai level molekuler.
Manifestasi organobiologik SAU ialah hipertrofi kelenjar adrenal dan atrofi thymus,
limpa dan jaringan limfoid, serta ulserasi gaster (Elenkov, 2005).
Berdasarkan konsep diatas, psikoneuroimunologi mengajukan premise dasar;
otak merupakan bagian integral dari sistem imun sebagai salah satu parameter
homeostasis (Elenkov, 2005).

Initial brief alarm reaction sebagai respon terhadap stress akut


Pada initial brief alarm reaction terjadi peningkatan tajam kadar glucocorticoid
dalam darah akibat aktifitas otak melalui aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA),
selanjutnya melalui reaksi cascade akan terjadi aktifitas amigdala dan hippocampus,
sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, dan sirkulasi darah, sistem pencernaan, sistem
imun, mukosa, dan kulit secara sistematis sebagai berikut : (Elenkov, 2005).

a. Aktifitas otak pada initial brief alarm reaction


 Aktivasi aksis HypothalamicPituitary-Adrenal (HPA)
Merupakan respon kilat terhadap stresor yang dipersepsi berbahaya, seperti
menghadapi binatang buas atau gempa bumi.

 Aktivasi sistem Lokus Sereleus (LS)-Noradrenalin (NA)


 Pelepasan hormone steroid dan hormone stress utama cortisol.
Aksis HPA meningkatkan produksi dan pelepasan glucocorticoid termasuk
hormone stress utama cortisol. Selanjutnya cortisol memobilisasi aktifitas
hampir semua sistem homeostasis seperti kardiovaskular, respirasi,
pencernaan, metabolisme, sistem imun, kulit dan mukosa, dalam persiapan
reaksi melawan atau lari (fight or flight).
 Pelepasan katekolamin

14
Aksis HPA melepaskan hormon katekolamin yang juga berperan sebagai
neurotransmitter, yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin (NA).
 Aktivasi amigdala
Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang mencetuskan respon
emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap gempa, atau marah
kepada musuh.
 Pelepasan neuropeptida S
Otak melepaskan neuropeptida S, suatu mikro protein yang memodulasi
stress dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan kewaspadaan dan
perasaan kuatir. Akibatnya timbul keinginan urgen untuk perilaku melawan
atau lari (fight or flight).
 Efek pencetus perilaku instinktual
Dalam keadaan stress akut, katekolamin menekan secara sekuensial fungsi
korteks prefrontalis yang berkaitan dengan memori jangka pendek, inhibisi,
konsentrasi, dan pola pikir rasional. Sekuens penekanan proses mental ini
memungkinkan seseorang bereaksi cepat untuk melawan atau lari secara
individual tanpa memikirkan kewajiban sosial dan norma. Karena memori
jangka pendek dan inhibisi ditekan, satusatunya fungsi sosial yang melekat
adalah ikatan pada keluarga langsung.
 Efek pada memori jangka panjang
Pada saat yang sama, katekolamin sebagai neurotransmiter member sinyal ke
hippocampus untuk merekam pengalaman stresor yang padat emosi ini
sebagai memori jangka panjang. Pada masa prasejarah, kerja otak ini sangat
vital untuk kelestarian karena memori jangka panjang tentang beragam
stimulus berbahaya ini sangat menentukan untuk menghindari ancaman
berbahaya ini di masa depan.
 Penekanan fungsi “rem” perilaku otak
Dalam kondisi stress akut, neuron otak “dengan sengaja” meng interpretasi
sinyal kimiawi neurotransmiter untuk inhibisi secara salah. Sinyal “off” justru
diinterpretasi “on”, sehingga “rem” perilaku tidak berfungsi. Terjadi
disinhibisi total perilaku dengan patogenesis yang sama dengan penggunaan
cannabis. Seseorang yang merasa terancam akan melakukan perilaku apapun
dalam upaya melawan atau lari.

15
Respon imun terhadap stress akut
 Paradox cortisol
Efek konfrontasi dengan stresor pada sistem imun analog dengan mobilisasi
pasukan yang dikonsentrasikan hanya pada area yang terancam invasi. Peningkatan
cortisol pada aksis HPA menekan fungsi imun pada sebagian sistem imun, sehingga
sel imun spesifik seperti leukosit dan sitokin mengalami reposisi. Sel tersebut
dikirimkan ke bagian tubuh yang paling berisiko luka atau terkena infeksi, seperti
kulit dan kelenjar limfe. Tetapi secara umum terjadi penekanan fungsi imun yang
disebut paradox cortisol yang bersifat vital karena semua proses homeostasis
dimobilisasi untuk persiapan reaksi melawan atau lari.
 Peningkatan aktifitas sitokin proinflamatori
Substrat biomolekuler yang meningkat pada respon stress ialah molekul
sitokin pro-inflamatori, terdiri dari;
a. interleukin-1 (IL-1),
b. interleukin-2 (IL-2),
c. interleukin-6 (IL-6),
d. interleukin-10 (IL-10),
e. interleukin-12 (IL-12),
f. interferon-gamma (IFNGamma) dan
g. tumor necrosis factor alpha (TNF-α).
Sel imun makrofag yang merupakan sel pertama tiba pada lokasi infeksi
apapun, memproduksi molekul-molekul diatas ini.
 Respon sakit
Penelitian membuktikan bahwa molekul sitokin pro-inflamatori ini berfungsi
langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit (sel glia) untuk
mencetuskan respon sakit (sickness response). Sitokin juga diproduksi lokal dalam
otak, terutama pada hipotalamus. Karena itu sitokin memberi kontribusi pada efek
perilaku akibat stress fisik dan mental.
 Penekanan T helper (Th1) dan peningkatan T helper (Th2)
Terjadi disregulasi neurohormon yang berekspresi dengan supresi respon imun
anti tumor.
 Mediasi sitokin pada respon stress dan inflamatori melalui otak.

16
Sitokin memediasi dan mengendalikan respon imun pada stress dan proses
inflamatori. Interaksi sangat kompleks terjadi antara sitokin, inflamasi, dan respon
adaptif dalam mempertahankan homeostasis. Seperti juga respon stress, reaksi
inflamasi sangat penting untuk survival. Reaksi inflamasi sistemik menyebabkan
stimulasi terhadap empat fungsi utama yaitu: Reaksi fase akut, Sindroma sakit, Nyeri,
Respon stress. Keempat fungsi utama ini dimediasi oleh aksis HPA dan sistem
simpatis. Dalam hal ini penyakit seperti alergi, gangguan autoimun, infeksi kronik,
dan sepsis mempunyai karakteristik adanya disregulasi dari keseimbangan sitokin
pro-inflamatori terhadap antiinflamatori dan antara T helper (Th1) terhadap (Th2).
 Respon stress akut pada mukosa
Cairan tubuh dialihkan dari lokasi non-essensiel seperti mulut dan
tenggorokan. Karena itu mulut dan tenggorokan menjadi kering.
 Respon stress akut pada kulit
Efek stress akut memindahkan aliran darah dari kulit untuk mendukung
jaringan otot lurik dan otot jantung. Hal ini cukup vital karena bila dalam reaksi
melawan atau lari terjadi luka, maka perdarahan yang terjadi tidak begitu hebat.
 Respon stress akut terhadap metabolisme
Reaksi fosforilasi dalam siklus Kreb akan meningkat untuk mencukupi
kebutuhan energi yang meningkat.
 Respon stress akut terhadap fungsi digestivus

Stress akut akan menghambat pencernaan. Bila stressor tidak teratasi, maka
kondisi stress berlanjut menjadi stress kronik, respon menjadi periode resistensi
berlanjut (prolonged resistance period) (Glaser, 1999).

Periode resistensi berlanjut (prolonged resistance period) Dalam periode ini,


kondisi stress masih dapat diatasi melalui mekanisme mental dengan
”membudayakan” pemahaman dan perasaan bahwa stimulus yang dianggap stresor itu
bila tidak dapat diatasi dapat dianggap ”bukan stresor”, atau setidaktidaknya dapat
ditolerir

Bagaimana bila mekanisme mental gagal? Kegagalan mekanisme mental pada


periode resistensi berlanjut, akan berdampak buruk terhadap semua sistem fisiologik
yang dapat mencetuskan penyakit pada individu yang memiliki kerentanan genetik
untuk penyakit tersebut, atau memperburuk prognosis penyakit yang sudah ada, atau

17
menghambat proses terapi penyakit. Kegagalan ini berakhir pada tingkat terminal
kelelahan (terminal stage of exhaustion and death).

F. Implementasi Psikoneuroimunologi pada Penyakit


Faktor psikososial pada gagal jantung
a) Depresi
Dalam penelitian tentang depresi dan miokard infark, ditemukan
bahwa prevalensi depresi pada pasien miokard infark lebih tinggi daripada
populasi sehat. Namun beberapa peneliti menyatakan bahwa depresi itu sendiri
merupakan faktor resiko mortalitas akibat serangan jantung. Selain itu, depresi
mungkin berkontribusi dalam tingkat readmisi pasien CHF. Depresi major
berkaitan dengan noncompliance terapi pada pasien penyakit jantung yang
muda, sakit kronis, cacat, dan usia lanjut. Noncompliance pada regimen terapi
merupakan faktor presipitasi readmisi pada CHF. Namun demikian, hal yang
jarang diperhatikan adalah gejala somatik depresi yaitu kelelahan dan
insomnia, yang juga merupakan gejala CHF (MacMahon and Lip, 2002).
Gejala depresi seperti kelelahan dan iritabilitas adalah prekursor utama
dari CAD rekuren. Selain itu, penyelidikan detail sudah menunjukkan bahwa
gejala biologi dari depresi seperti kelelahan dihubungkan dengan penurunan
fraksi ejeksi ventrikel kiri dan peningkatan penyakit pembuluh darah (Ho, et
al., 2010).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa Chlamydia
pneumonia memainkan peran dalam atherosklerosis dan dihubungkan dengan
tingginya resiko CAD. Pada sebuah studi, gejala depresi dikaitkan dengan
reaktivasi virus laten dan inflamasi pembuluh darah koroner. Perbedaan level
serum IgG Anti Chlamydia pneumonia antara kelompok yang mengalami
depresi dan kelompok kontrol hampir signifikan. Hal ini memerlukan studi
lebih jauh mengenai pengaruh stress lama dalam aktivasi Chlamydia
pneumonia, yang mungkin memperkuat resiko CAD (Ho,et al., 2010).
Terdapat bukti yang nyata bahwa depresi dan kecemasan
meningkatkan produksi sitokin proinflamasi termasuk IL-6. Di samping itu,
gejala depresi dapat menyebabkan disregulasi imunitas dan menimbulkan
konsekuensi kesehatan. Misalnya, gejala depresi berkaitan dengan rendahnya

18
jumlah limfosit T CD8 dan tingginya rekurensi HSV-2 genital dalam 6 bulan.
Gejala depresi pada pasien HIV positif berhubungan dengan rendahnya CD4,
tingginya jumlah sel B dan meningkatnya marker aktivasi imun (HLA-DR)
bahkan bila perilaku kesehatan dan stadium penyakit terkontrol. Pasien
gangguan kecemasan juga berhubungan dengan perubahan imun. Sebagai
contoh, pada pasien dengan gangguan kecemasan menyeluruh, penurunan
ekspresi receptor IL-2 oleh limfosit berhubungan dengan pikiran intrusif yang
lebih berat dan lamanya sakit karena infeksi saluran napas atas (Kiecolt-
Glaser, et al., 2002).

b) Kecemasan
Kecemasan memberikan prognosis buruk pada gagal jantung karena
menimbulkan kesulitan pada pasien dan yang merawatnya. Kecemasan dapat
berpengaruh negative terhadap curah jantung pasien CHF. Stres dapat
meningkatkan denyut jantung, yang memberikan efek negatif pada perfusi
arteri koroner karena fase diastole yang lebih singkat. Takikardi mengurangi
supply oksigen miokard, namun meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
Hal ini dapat menimbulkan lingkaran setan, di mana pasien menjadi lebih
memikirkan kondisinya sehingga makin meningkatkan kecemasan dan
menurunkan curah jantung. Hubungan kemampuan fisik dan kecemasan perlu
diperhatikan dalam proses rehabilitasi (MacMahon and Lip, 2002).

c) Peranan Dukungan Sosial


Pengaruh depresi dan kecemasan pada pasien CHF dapat dikendalikan
oleh dukungan sosial pada pasien. Banyak bukti yang menunjukkan efek
protektif dukungan sosial pada pasien CHF (MacMahon and Lip, 2002).
Perilaku kesehatan juga merupakan kofaktor hubungan antara
psikopatologi dan fungsi imun, misalnya merokok memiliki efek sinergis
dengan depresi dalam menurunkan lisis sel NK dan penurunan aktivitas fisik
memediasi hubungan antara depresi dan proliferasi limfosit. Pada pasien
depresi, indikator gangguan tidur yang merupakan karakteristik depresi
memiliki berbagai konsekuensi imunologis (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).

19
d) Mekanisme Ego
Beberapa bukti menunjukkan bahwa cara seseorang mengatasi situasi
hidup negative atau penuh tekanan mempengaruhi kesehatan fisik dan
psikologinya. Peneliti menyatakan bahwa mekanisme pembelaan ego
memediasi kondisi stres dengan konsekuensinya seperti depresi dan
kecemasan.
Penyakit kronis yang menimbulkan kecacatan seperti CHF dapat
menimbulkan stress dan pasien dapat melakukan mekanisme pembelaan ego
untuk mengatasi stress ini (MacMahon and Lip, 2002).
Mekanisme pembelaan ego yang berhubungan dengan gangguan imun
meliputi represi, penyangkalan, escape-avoidance, dan concealment.
Mekanisme pembelaan ego represi yang hebat berhubungan dengan rendahnya
jumlah monosit, tingginya jumlah eosinofil, tingginya glukosa serum,
banyaknya reaksi terhadap obat, tingginya titer antibody EBV, penurunan
respon sel T memori terhadap virus laten (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).
Pada anggota keluarga pasien transplantasi sumsum tulang, kecemasan
dengan mekanisme pembelaan ego escape-avoidance berkaitan dengan jumlah
total sel T dan CD4 yang lebih sedikit serta jumlah sel B yang lebih banyak.
Mekanisme pembelaan ego penyangkalan memiliki efek protektif berkaitan
dengan serostatus HIV pada pasien HIV seronegatif. Mekanisme pembelaan
ego penyangkalan berhubungan dengan berkurangnya pikiran intrusif,
rendahnya kortisol dan tingginya proliferasi limfosit (Kiecolt-Glaser, et al.,
2002).

20
BAB III
KESIMPULAN

Telah diuraikan bukti-bukti yang mendukung adanya interaksi dan hubungan


antara stresor psikologi, saraf dan sistem imun. Beberapa fenomena menunjukkan
bahwa sistem saraf mengontrol sistem imun, dan sebaliknya. Psikoneuroimunologi
mengilustrasikan bagaimana stres psikologi merubah fungsi endotel dan merangsang
kemotaksis. Sensitivitas sistem imun terhadap stres merupakan konsekuensi tidak
langsung dari proses pengaturan interaksi saraf pusat dengan sistem imun. Sistem imun
menerima sinyal dari otak dan sistem neuroendokrin melalui sistem saraf autonom dan
hormon, sebaliknya mengirim informasi ke otak lewat sitokin. Bukti yang sudah jelas di
antaranya adalah penurunan respon limfoproliferatif terhadap mitogen (PHA, Con-A),
aktifitas sel natural killer (NK), Interleukin (IL-2R mRNA), TNF-dan produksi
interferon gama (IFN-). Pendekatan psikoneuroimunologi akan sangat bermanfat untuk
mengungkap patogenesis, dan memperbaiki prognosis suatu penyakit.

21
DAFTAR PUSTAKA

Aryulina, Diah, dkk.. 2004. Biologi 2. Jakarta : Esis.


Andersen, B. L., KiecoltGlaser, J. K., and Glaser, R. (1994). A biobehavioral model
of cancer stress and disease course. American Psychologist 49(5), 389-404.
Berczi and Szentivanyi (2003) NeuroImmune Biology, Elsevier, ISBN 0-444-50851-1
(Written for the highly technical reader).
Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta : EGC.
Brustolim D, Ribeiro-dosSantos R, Kast RE, Altschuler EL, Soares MB. "A new
chapter opens in anti-inflammatory Majalah Kedokteran Andalas No.2.
Vol.34. Juli-Desember 2010 100 treatments: the antidepressant bupropion
lowers production of tumor necrosis factor-alpha and interferon-gamma in
mice." Int Immunopharmacol. 2006 Jun;6(6):903-7
Cahyono, J.B. Suharjo B. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta :
Kanisius
Diamond M, Kelly JP, Connor TJ. "Antidepressants suppress production of the Th1
cytokine interferon-gamma, independent of monoamine transporter blockade".
Eur Neuropsychopharmacol. 2006 Oct;16(7):481-90.
Glaser, R. and Kiecolt-Glaser, J. K. (1994). Handbook of Human Stress and
Immunity. San Diego: Academic Press.
Morton, Patricia Gonce. 1997. Panduan Pemeriksaan Kesehatan dengan
Dokumentasi Soapie. Jakarta : EGC.
Michael Irwin, Kavita Vedhara (2005). Human Psychoneuroimmunology. Oxford
University Press. ISBN 978-0198568841.
Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta : Kanisius.
Soeharto, Iman. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta :
Gramedia.
Tambayong, Jan. 1994. Buku Ajar Histologi Edisi Kedua. Jakarta: EGC.
Umar, Husein. 1998. Riset Sumber Daya Manusia dalam Organisasi. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama

22

Anda mungkin juga menyukai