Oleh
Pembimbing
2020
DAFTAR ISI
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Psikoneuroimunologi
Psikoneuroimunologi adalah suatu bidang penelitian baru yang
menghubungkan proses-proses psikologi, neural, dan imunologis. Banyak dokter telah
memperhatikan hubungan antara kehilangan yang penting, seperti kematian orang
yang dicintai dan penyakit yang menyusul. Hubungan itu sering terasa sangat hebat
bila orang yang mengalami kehilangan itu tidak dapat mengungkapkan emosi-emosi
yang kuat, misalnya kesedihan yang biasanya terjadi karena orang sendiri mengalami
tragedi itu. Hipotesis bahwa stres yang ditimbulkan kehilangan atau pemisah yang
hebat mengganggu sistem kekebalan tubuh dan dengan demikian ikut menyebabkan
sejumlah penyakit fisik.
Sistem kekebalan memiliki dua tugas pokok, yakni mengetahui adanya benda-
benda asing (yang disebut antigen) dan menonaktifkan atau menghilangkan benda-
benda itu. Sistem kekebalan itu terdiri dari beberapa kelompok sel berbeda yang
dinamakan limfosit-limfosit. Penelitian belakangan telah memberikan suatu
pemahaman awal mengenai bagaimana stres dan faktor-faktor emosional
menyebabkan perubahan-perubahan hormon yang kadang-kadang dapat mengurangi
efisiensi dari sistem kekebalan dan dengan demikian meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit.
Para ahli psikoneuroimunologi meneliti sekaligus tiga sistem tubuh, sistem
saraf, sistem endokrin, dan sistem kekebalan yang berkomunikasi antara yang satu
dengan yang lainnya melalui sinyal-sinyal kimia yang kompleks. Ada kemungkinan
hal ini sedang diteliti terutama pada orang-orang yang menderita salah satu dari dua
kondisi psikologis yang berat, yakni skizofrenia dan depresi.
B. Sejarah Psikoneuroimunologi
Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan
sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu
proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh poliferasi teknologi, perubahan tatanan
hidup serta kompetisi antar individu yang makin berat.
4
Pada awal tahun 1950-an para ahli perilaku mempelajari hubungan perilaku
dengan sistem kekebalan tubuh yang sangat kompleks dan salah satu isu menarik
adalah hubungan antara stres dengan sistem kekebalan tubuh.
Akhir-akhir ini berkembang penelitian tentang hubungan antar perilaku, kerja
saraf, fungsi endokrin dan imunitas. Penelitian-penelitian tersebut telah mendorong
munculnya konsep baru yaitu psikoneuroimunologi. Martin (1938) mengemukakan
ide dasar konsep psikoneuroimunologi yaitu :
a. Status emosi menentukan fungsi sistem kekebalan,
b. Stres dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap infeksi dan karsinoma.
Dikatakan lebih lanjut bahwa karakter, perilaku, pola coping dan status emosi
berperan pada modulasi sistem imun. Holden (1980) dan Ader (1981) mengenalkan
istilah psikoneuroimunologi : yaitu kajian yang melibatkan berbagai segi keilmuan,
neurologi, psikiatri, patobiologi dan imunologi. Selanjutnya konsep ini banyak
digunakan pada penelitian dan banyak temuan memperkuat keterkaitan stres terhadap
berbagai patogenesis penyakit termasuk infeksi dan neoplasma.
6
Substrat biologiknya yang telah diketahui ialah sistem lokus Sereleus (LS)-
Noradrenalin (NA), aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) yang juga disebut
lengkung imun-otak, dan kelenjar pineal yang berkaitan dengan ritme Sirkadian.
Sedangkan neurotransmiter yang berperan ialah A, NA, glucocorticoid dengan
cortisol sebagai hormon stress utama, serta melatonin yang berkaitan dengan ritme
Sirkadian.
Etape ini disebut juga Sindroma Adaptasi Umum (SAU) pada fase initial brief
alarm reaction. Etape ini sangat mempengaruhi semua sistem homeostasis yang secara
umum mengalami peningkatan, kecuali sistem imun yang secara umum mengalami
supresi. Peningkatan NA segera diikuti peningkatan A. Terjadi adrenalin rush, yang
memobilisasi semua sistem energi tubuh untuk reaksi melawan atau lari. Adrenalin
rush menyebabkan jumlah free floating DA meningkat. Kita sampai ke point of no
return dimana perilaku melawan atau lari Fungsi otak dalam etape ini mengalami
disinhibisi sehingga perilaku melawan atau lari terjadi secara “otomatis” tanpa
pengendalian. (Diamond M, 2006).
7
lingkungan). Sementara Hans Selye mengartikan bahwa stress adalah tanggapan
tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan terhadapnya. Stress juga
diartikan sebagai keadaan di dalam hidup seseorang yang menyebabkan ketegangan
atau dysforia (kesedihan).
Hampir semua orang pernah mengalami stress. Stress merupakan hal yang
wajar. Di suatu sisi, stress dapat mengganggu keseimbangan hidup seseorang, tetapi
di sisi lain stress merupakan salah satu energi yang dapat membantu seseorang untuk
mencapai cita-citanya. Bila seseorang dapat mengelola stress dengan baik, stress
justru meningkatkan vitalitas, optimisme, pandangan hidup yang positif, ketahanan
mental dan fisik, produktivitas dan kreativitas meningkat. Sebaliknya, stress bisa
terjadi bila seseorang tidak dapat merespon stress itu sendiri secara positif. Stress
dapat menimbulkan gangguan fisik dan kejiwaan, misalnya kelelahan, mudah marah,
konsentrasi menurun, depresi, pesismisme, disfungsi ereksi, kecelakaan, produktivitas
dan kreativitas menurun.
Dalam kehidupan kita, stress tidak dapat dihindari. Namun, bagi kita yang
penting adalah bagaimana hidup dengan stress tanpa harus menderita distress, dan
stress itu sendiri menjadi energi dalam meningkatkan kualitas hidup.
b) Stressor
Kondisi yang cenderung menyebabkan stress disebut stressor. Stressor
adalah suatu peristiwa, situasi individu, atau objek yang dapat menimbulkan
stress dan reaksi terhadap stress. Ada beberapa bentuk stressor, antara lain :
1. Stressor Psikologis
Misalnya, krisis, frustasi, konflik, tekanan
2. Stressor Bio-ekologis
Misalnya, suara/ bising yang mengganggu, polusi udara, suhu terlalu
panas/ dingin, ketidakcukupan gizi
Stressor yang berkepanjangan akan mengganggu individu, misalnya
menimbulkan rasa tidak sejahtera atau mengganggu keseimbangan hidup
seseorang, sehingga menimbulkan dampak yang merugikan. Seseorang
mengalami distress kemudian menjadi sakit.
Stressor dapat dibagi ke dalam tiga kategori besar, yakni stressor yang
berasal dari faktor lingkungan (environmental factors), faktor organisasi
(organizational factors), dan faktor individu (personal factors).
8
1. Faktor lingkungan
Selain memengaruhi desain struktur sebuah organisasi,
ketidakpastian lingkungan juga memengaruhi tingkat stres
para karyawan dan organisasi. Perubahan dalam siklus bisnis
menciptakan ketidakpastian ekonomi, misalnya, ketika kelangsungan
pekerjaan terancam maka seseorang mulai khawatir ekonomi akan
memburuk.
2. Faktor organisasi
Banyak faktor di dalam organisasi yang dapat menyebabkan
stres. Tekanan untuk menghindari kesalahaan atau menyelesaikan
tugas dalam waktu yang mepet, beban kerja yang berlebihan, atasan
yang selalu menuntut dan tidak peka, dan rekan kerja yang tidak
menyenangkan adalah beberapa di antaranya. Hal ini dapat
mengelompokkan faktor-faktor ini menjadi tuntutan tugas, peran, dan
antar pribadi.
3. Faktor pribadi
Faktor-faktor pribadi terdiri dari masalah keluarga, masalah
ekonomi pribadi, serta kepribadian dan karakter yang melekat dalam
diri seseorang.
Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang
sangat mementingkan hubungan keluarga dan pribadi. berbagai
kesulitan dalam hidup perkawinan, retaknya hubungan, dan kesulitan
masalah disiplin dengan anak-anak adalah beberapa contoh masalah
hubungan yang menciptakan stres.
Masalah ekonomi karena pola hidup yang lebih besar pasak
daripada tiang adalah kendala pribadi lain yang menciptakan stres bagi
karyawan dan mengganggu konsentrasi kerja karyawan. Studi terhadap
tiga organisasi yang berbeda menunjukkan bahwa gejala-gejala stres
yang dilaporkan sebelum memulai pekerjaan sebagian besar
merupakan varians dari berbagai gejala stres yang dilaporkan sembilan
bulan kemudian. Hal ini membawa para peneliti pada kesimpulan
bahwa sebagian orang memiliki kecenderungan kecenderungan inheren
untuk mengaksentuasi aspek-aspek negatif dunia secara umum. Jika
kesimpulan ini benar, faktor individual yang secara signifikan
9
memengaruhi stres adalah sifat dasar seseorang. Artinya, gejala stres
yang diekspresikan pada pekerjaan bisa jadi sebenarnya berasal
dari kepribadian orang itu.
c) Pengendalian Stress
Stress merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi
emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Gejala stress dapat dilihat dari
tiga sisi, yaitu :
1. Gejala Fisik
o Nafas memburu
o Mulut dan kerongkongan kering
o Tangan lembab
o Merasa panas
o Otot-otot tegang
o Pencernaan terganggu
o Mencret-mencret
o Sembelit
o Letih yang tak beralasan
o Sakit kepala
o Salah urat
o Gelisah
2. Tingkah Laku ( secara umum ) Perasaan :
o Bingung, cemas, dan sedih
o Jengkel
o Salah paham
o Tak berdaya
o Tak mampu berbuat apa-apa
o Gelisah
o Kehilangan semangat
Kesulitan dalam :
o Berkonsentrasi
o Berpikir jenih
o Membuat keputusan
Hilangnya :
o Kreativitas
10
o Gairah dalam penampilan
o Minat terhadap orang lain
3. Gejala-gejala di Tempat Kerja :
o Kepuasan kerja rendah
o Kinerja yang menurun
o Semangat dan energi menurun
o Komunikasi tak lancar
o Pengambilan keputusan yang jelek
o Kreativitas dan inovasi berkurang
o Bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif
11
makromolekul eksogen, apakah mereka memasuki tubuh dalam bentuk itu atau
sebagai unsur dari virus, bakteri, atau protozoa. Hal ini tercapai melalui mekanisme
pertahanan seluler dan humoral yang bersama-sama merupakan respon imun (Jan
Tambayong, 1994).
Tujuan utama sistem imun adalah untuk mempertahankan tubuh dari serangan
mikroorganisme. Melalui saluran limfatiknya, sistem imun juga melakukan fungsi
transportasi seperti darah. Sistem imun terdiri dari jutaan sel yang bersirkulasi dan
struktur khusus, seperti nodus limfe yang berlokasi di seluruh tubuh (Patricia Gonce
Morton, 1997).
Sistem imun memiliki beberapa fungsi tubuh, yaitu:
a) Penangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
b) Untuk keseimbangan fungsi tubuh terutama menjaga keseimbangan komponen
tubuh yang telah tua.
c) Sebagai pendeteksi adanya sel-sel abnormal, termutasi, atau ganas, serta
menghancurkannya (Diah Aryulina, 2004).
Defisiensi sistem imun adalah kondisi respons imun defektif, yang
mengakibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Gangguan defisiensi sistem
imun dapat disebabkan oleh obat (seperti kemoterapi sitotoksik), radiasi, dan
mikroorganisme, termasuk Human Immunodeficiency Virus (HIV) yang berkaitan
dengan mekanisme pertahanan tubuh (Chris Brooker, 2005).
13
pertahanan tubuh serta sistem endokrin yang berkaitan dengan homeostasis (Elenkov,
2005).
Dapat dideduksi bahwa terdapat mekanisme yang mendasari perubahan respon
imun yang dicetuskan fungsi mental ataupun perubahan fungsi mental yang
dicetuskan respon imun. Mekanisme coping terhadap stress mental mempengaruhi
respon imun dalam upaya mempertahankan homeostasis sampai level molekuler.
Manifestasi organobiologik SAU ialah hipertrofi kelenjar adrenal dan atrofi thymus,
limpa dan jaringan limfoid, serta ulserasi gaster (Elenkov, 2005).
Berdasarkan konsep diatas, psikoneuroimunologi mengajukan premise dasar;
otak merupakan bagian integral dari sistem imun sebagai salah satu parameter
homeostasis (Elenkov, 2005).
14
Aksis HPA melepaskan hormon katekolamin yang juga berperan sebagai
neurotransmitter, yaitu dopamin (DA), adrenalin (A), dan noradrenalin (NA).
Aktivasi amigdala
Katekolamin mengaktifkan nucleus amigdala yang mencetuskan respon
emosional terhadap stressor, misalnya takut terhadap gempa, atau marah
kepada musuh.
Pelepasan neuropeptida S
Otak melepaskan neuropeptida S, suatu mikro protein yang memodulasi
stress dengan menekan keinginan tidur, meningkatkan kewaspadaan dan
perasaan kuatir. Akibatnya timbul keinginan urgen untuk perilaku melawan
atau lari (fight or flight).
Efek pencetus perilaku instinktual
Dalam keadaan stress akut, katekolamin menekan secara sekuensial fungsi
korteks prefrontalis yang berkaitan dengan memori jangka pendek, inhibisi,
konsentrasi, dan pola pikir rasional. Sekuens penekanan proses mental ini
memungkinkan seseorang bereaksi cepat untuk melawan atau lari secara
individual tanpa memikirkan kewajiban sosial dan norma. Karena memori
jangka pendek dan inhibisi ditekan, satusatunya fungsi sosial yang melekat
adalah ikatan pada keluarga langsung.
Efek pada memori jangka panjang
Pada saat yang sama, katekolamin sebagai neurotransmiter member sinyal ke
hippocampus untuk merekam pengalaman stresor yang padat emosi ini
sebagai memori jangka panjang. Pada masa prasejarah, kerja otak ini sangat
vital untuk kelestarian karena memori jangka panjang tentang beragam
stimulus berbahaya ini sangat menentukan untuk menghindari ancaman
berbahaya ini di masa depan.
Penekanan fungsi “rem” perilaku otak
Dalam kondisi stress akut, neuron otak “dengan sengaja” meng interpretasi
sinyal kimiawi neurotransmiter untuk inhibisi secara salah. Sinyal “off” justru
diinterpretasi “on”, sehingga “rem” perilaku tidak berfungsi. Terjadi
disinhibisi total perilaku dengan patogenesis yang sama dengan penggunaan
cannabis. Seseorang yang merasa terancam akan melakukan perilaku apapun
dalam upaya melawan atau lari.
15
Respon imun terhadap stress akut
Paradox cortisol
Efek konfrontasi dengan stresor pada sistem imun analog dengan mobilisasi
pasukan yang dikonsentrasikan hanya pada area yang terancam invasi. Peningkatan
cortisol pada aksis HPA menekan fungsi imun pada sebagian sistem imun, sehingga
sel imun spesifik seperti leukosit dan sitokin mengalami reposisi. Sel tersebut
dikirimkan ke bagian tubuh yang paling berisiko luka atau terkena infeksi, seperti
kulit dan kelenjar limfe. Tetapi secara umum terjadi penekanan fungsi imun yang
disebut paradox cortisol yang bersifat vital karena semua proses homeostasis
dimobilisasi untuk persiapan reaksi melawan atau lari.
Peningkatan aktifitas sitokin proinflamatori
Substrat biomolekuler yang meningkat pada respon stress ialah molekul
sitokin pro-inflamatori, terdiri dari;
a. interleukin-1 (IL-1),
b. interleukin-2 (IL-2),
c. interleukin-6 (IL-6),
d. interleukin-10 (IL-10),
e. interleukin-12 (IL-12),
f. interferon-gamma (IFNGamma) dan
g. tumor necrosis factor alpha (TNF-α).
Sel imun makrofag yang merupakan sel pertama tiba pada lokasi infeksi
apapun, memproduksi molekul-molekul diatas ini.
Respon sakit
Penelitian membuktikan bahwa molekul sitokin pro-inflamatori ini berfungsi
langsung dalam otak dengan pembentukan mikroglia dan astrosit (sel glia) untuk
mencetuskan respon sakit (sickness response). Sitokin juga diproduksi lokal dalam
otak, terutama pada hipotalamus. Karena itu sitokin memberi kontribusi pada efek
perilaku akibat stress fisik dan mental.
Penekanan T helper (Th1) dan peningkatan T helper (Th2)
Terjadi disregulasi neurohormon yang berekspresi dengan supresi respon imun
anti tumor.
Mediasi sitokin pada respon stress dan inflamatori melalui otak.
16
Sitokin memediasi dan mengendalikan respon imun pada stress dan proses
inflamatori. Interaksi sangat kompleks terjadi antara sitokin, inflamasi, dan respon
adaptif dalam mempertahankan homeostasis. Seperti juga respon stress, reaksi
inflamasi sangat penting untuk survival. Reaksi inflamasi sistemik menyebabkan
stimulasi terhadap empat fungsi utama yaitu: Reaksi fase akut, Sindroma sakit, Nyeri,
Respon stress. Keempat fungsi utama ini dimediasi oleh aksis HPA dan sistem
simpatis. Dalam hal ini penyakit seperti alergi, gangguan autoimun, infeksi kronik,
dan sepsis mempunyai karakteristik adanya disregulasi dari keseimbangan sitokin
pro-inflamatori terhadap antiinflamatori dan antara T helper (Th1) terhadap (Th2).
Respon stress akut pada mukosa
Cairan tubuh dialihkan dari lokasi non-essensiel seperti mulut dan
tenggorokan. Karena itu mulut dan tenggorokan menjadi kering.
Respon stress akut pada kulit
Efek stress akut memindahkan aliran darah dari kulit untuk mendukung
jaringan otot lurik dan otot jantung. Hal ini cukup vital karena bila dalam reaksi
melawan atau lari terjadi luka, maka perdarahan yang terjadi tidak begitu hebat.
Respon stress akut terhadap metabolisme
Reaksi fosforilasi dalam siklus Kreb akan meningkat untuk mencukupi
kebutuhan energi yang meningkat.
Respon stress akut terhadap fungsi digestivus
Stress akut akan menghambat pencernaan. Bila stressor tidak teratasi, maka
kondisi stress berlanjut menjadi stress kronik, respon menjadi periode resistensi
berlanjut (prolonged resistance period) (Glaser, 1999).
17
menghambat proses terapi penyakit. Kegagalan ini berakhir pada tingkat terminal
kelelahan (terminal stage of exhaustion and death).
18
jumlah limfosit T CD8 dan tingginya rekurensi HSV-2 genital dalam 6 bulan.
Gejala depresi pada pasien HIV positif berhubungan dengan rendahnya CD4,
tingginya jumlah sel B dan meningkatnya marker aktivasi imun (HLA-DR)
bahkan bila perilaku kesehatan dan stadium penyakit terkontrol. Pasien
gangguan kecemasan juga berhubungan dengan perubahan imun. Sebagai
contoh, pada pasien dengan gangguan kecemasan menyeluruh, penurunan
ekspresi receptor IL-2 oleh limfosit berhubungan dengan pikiran intrusif yang
lebih berat dan lamanya sakit karena infeksi saluran napas atas (Kiecolt-
Glaser, et al., 2002).
b) Kecemasan
Kecemasan memberikan prognosis buruk pada gagal jantung karena
menimbulkan kesulitan pada pasien dan yang merawatnya. Kecemasan dapat
berpengaruh negative terhadap curah jantung pasien CHF. Stres dapat
meningkatkan denyut jantung, yang memberikan efek negatif pada perfusi
arteri koroner karena fase diastole yang lebih singkat. Takikardi mengurangi
supply oksigen miokard, namun meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
Hal ini dapat menimbulkan lingkaran setan, di mana pasien menjadi lebih
memikirkan kondisinya sehingga makin meningkatkan kecemasan dan
menurunkan curah jantung. Hubungan kemampuan fisik dan kecemasan perlu
diperhatikan dalam proses rehabilitasi (MacMahon and Lip, 2002).
19
d) Mekanisme Ego
Beberapa bukti menunjukkan bahwa cara seseorang mengatasi situasi
hidup negative atau penuh tekanan mempengaruhi kesehatan fisik dan
psikologinya. Peneliti menyatakan bahwa mekanisme pembelaan ego
memediasi kondisi stres dengan konsekuensinya seperti depresi dan
kecemasan.
Penyakit kronis yang menimbulkan kecacatan seperti CHF dapat
menimbulkan stress dan pasien dapat melakukan mekanisme pembelaan ego
untuk mengatasi stress ini (MacMahon and Lip, 2002).
Mekanisme pembelaan ego yang berhubungan dengan gangguan imun
meliputi represi, penyangkalan, escape-avoidance, dan concealment.
Mekanisme pembelaan ego represi yang hebat berhubungan dengan rendahnya
jumlah monosit, tingginya jumlah eosinofil, tingginya glukosa serum,
banyaknya reaksi terhadap obat, tingginya titer antibody EBV, penurunan
respon sel T memori terhadap virus laten (Kiecolt-Glaser, et al., 2002).
Pada anggota keluarga pasien transplantasi sumsum tulang, kecemasan
dengan mekanisme pembelaan ego escape-avoidance berkaitan dengan jumlah
total sel T dan CD4 yang lebih sedikit serta jumlah sel B yang lebih banyak.
Mekanisme pembelaan ego penyangkalan memiliki efek protektif berkaitan
dengan serostatus HIV pada pasien HIV seronegatif. Mekanisme pembelaan
ego penyangkalan berhubungan dengan berkurangnya pikiran intrusif,
rendahnya kortisol dan tingginya proliferasi limfosit (Kiecolt-Glaser, et al.,
2002).
20
BAB III
KESIMPULAN
21
DAFTAR PUSTAKA
22