Anda di halaman 1dari 2

Kondisi hutan bakau atau mangrove di Indonesia sudah begitu memprihatinkan.

Berdasarkan
data, tingkat kerusakan kawasan ini sudah mencapai angka sekitar 50 persen. Satu tingkat
kerusakan yang tentu akan sangat mengancam kelangsungan hidup biota laut lain yang sangat
bergantung pada tumbuhan pantai ini. Seperti diketahui banyak macam biota laut yang
mengandalkan hidupnya pada tumbuhan mangrove ini, semisal: udang, kepiting dan sebagainya.

Tak hanya sampai di situ. Hutan mangrove pun memiliki peran lain yang sangat krusial. Peran
dalam konteks menjaga keutuhan serta kelestarian kawasan pantai. Seperti diketahui, gelombang
laut menjadi fenomena alam yang tak mungkin diredam. Aktivitasnya seperti tak pernah
mengenal kompromi. Secara alami tak henti-hentinya menggerus segala yang ada di sepanjang
bibir pantai dan sekitarnya. Ini jelas menjadi ancaman serius terhadap lingkungan kawasan
pantai, bila terus dibiarkan. Nah, sejauh ini seperti sudah menjadi kodrat hutan mangrove-lah
yang dianggap paling ideal untuk menangkis keganasan ombak maupun gelombang laut.

Tak pelak, hutan mangrove pun menjadi tumbuhan yang sangat diandalkan dalam mengantisipasi
setiap pergerakan gelombang laut yang destruktif. Keandalannya sudah terbukti, mampu
melestarikan lingkungan kawasan pesisir. Lebih spesifik lagi, mampu menahan pantai dari
gerusan ombak atau abrasi. Sehingga, membuat kawasan pesisir atau pantai tidak saja utuh alias
terjaga, juga menjamin kelangsungan hidup seluruh biota laut yang menghuni di dalamnya. Jadi,
tak bisa dipungkiri keberadaan hutan mangrove itu sangat berarti.

Upaya penyelamatan hutan mangrove dari kerusakan atau bahkan kehancuran yang lebih parah
menjadi hal yang sangat krusial. Terkait ini, harus diakui memang tak sedikit stakeholder, baik
dari unsur pemerintah, akademisi, maupun organisasi lingkungan – nasional maupun
internasional – yang concern di bidang ini sudah banyak menginisiasi upaya tersebut. Hanya saja
hingga saat ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Di samping penanaman kembali pohon mangrove, sebenarnya banyak lagi yang dilakukan oleh
pelbagai kelompok masyarakat. Satu di antaranya adalah upaya merehabilitasi pohon tersebut.
Terkait rehabilitasi ini belakangan masyarakat bisa memanfaatkan satu teknik yang popular
disebut dengan teknologi guludan. Teknologi terapan yang sangat simpel ini diciptakan oleh para
ahli dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (Fahutan IPB) dipimpin oleh Prof. Dr.
Cecep Kusmana, MS.

Lantas teknisnya? Menurut Cecep Kusmana, teknik “guludan” itu berupa tapak-tapak khusus
yang lahannya terendam air cukup dalam – antara satu meter hingga dua meter. Pada umumnya,
sebagian besar berupa hamparan lahan tambak yang terlantar. “Guludan”, terang Cecep, seperti
dikutip dari Antara, adalah inovasi teknologi tepat guna untuk menanam mangrove di lahan
tergenang air yang dalam. Caranya, dengan membuat “guludan” cerucuk bambu ukuran tertentu.
Contohnya, lebar 4 meter x panjang 6 meter x dalam 2 meter”.

Kemudian, jelasnya lebih lanjut, guludan tersebut dimasukkan tumpukan karung berisi tanah
pada bagian bawahnya. Lalu diuruk dengan tanah curah pada bagian atas sedalam lebih kurang
50 centimeter. Urukan tanah itulah yang difungsikan sebagai media tanaman. Anakan mangrove
ditanam pada permukaan tanah itu, tentunya dengan pola serta jarak tanam tertentu. Sejatinya,
yang lebih ideal adalah saling berdekatan, karena pola ini bisa dipastikan akan memberi hasil
yang lebih baik. Sementara jenis mangrovenya adalah “Rhizophora mucronata” dan “Avicennia
spp”, dengan jarak tanam 1 x 1 meter, 0,5 x 0,5 meter, dan 0,25 x 0,25 m.

Membuat konstruksi guludan tentu membutuhkan sejumlah material. Selaras dengan


teknologinya yang cukup simpel, maka bahan-bahan yang dibutuhkannya tidaklah rumit. Selain
mudah diperoleh, jenis bahan-bahan tersebut tidak banyak dan harganya pun terbilang sangat
murah. Selain bermaterikan bambu, konstruksi guludan membutuhkan karung plastik. Bahan
lainnya adalah tali kapal, serta satu lagi tanah uruk. Semuanya tentu saja harus disiapkan dalam
jumlah yang memadai.

Untuk diingat, teknik guludan ini sudah melalui proses uji coba. Dan, untuk pertama kali
diterapkan pada 2005. Hasilnya sangat menggembirakan. Semua pohon mangrove yang ditanam
tersebut tumbuh dengan baik. Bukti ini bisa dilihat pada jalur hijau di sepanjang jalan tol
Sedyatmo. Membentang sepanjang kurang-lebih lima kilometer, dengan lebar 200 meter, mulai
dari pintu tol Muara Angke sampai jalan layang (fly over) Cengkareng.

Keandalan teknologi guludan dalam mengembalikan keasrian serta kelestarian hutan mangrove
sudah terbukti. Sejatinya, teknik ini bisa dijadikan acuan bagi upaya penyelamatan hutan
mangrove di tanah air yang sudah lebih dari separuh dalam kondisi rusak. Dengan
kesederhaannya secara teknis bukan mustahil kerusakan hutan mangrove tersebut bisa
dikembalikan ke kondisi seperti sediakala. Asalkan, penerapannya sesuai ketentuan. “Memang
ada yang mencoba teknik ‘guludan’ ini di petak-petak lain. Tapi, karena tidak dilakukan sesuai
bimbingan dari yang berkompeten, hasilnya sebagian besar gagal dan mangrovenya malah
mati,”kata Dr. Ir. Istomo, peneliti Fahutan IPB yang bersama Cecep Kusmana dan Tarma
Purwanegara telah membukukan teknik tersebut

Anda mungkin juga menyukai