Anda di halaman 1dari 5

PROMOSI KESEHATAN

HUBUNGAN TEORI SNEHANDU B. KAR

DENGAN KASUS SIROSIS HEPATI

LAPORAN KASUS

Pasien INT, laki-laki, 57 tahun, Bali Indonesia, petani. Pasien memiliki keluhan

utama perut membesar. Pasien datang sadar dan diantar oleh keluarga ke IRD RSUP

pada tanggal 25 Juli 2012 mengeluh perut membesar. Perutnya dikatakan membesar

secara perlahan pada seluruh bagian perut sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit.

Perutnya dirasakan semakin hari semakin membesar dan bertambah tegang, namun

keluhan perut membesar ini tidak sampai membuat pasien sesak dan kesulitan bernapas.

Pasien juga mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 1 bulan namun memberat sejak 3

hari sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dikatakan seperti ditusuk-tusuk dan

terus-menerus dirasakan oleh pasien sepanjang hari. Keluhan ini dikatakan tidak

membaik ataupun memburuk dengan makanan. Keluhan nyeri juga disertai keluhan

mual yang dirasakan hilang timbul namun dirasakan sepanjang hari, dan muntah yang

biasanya terjadi setelah makan. Muntahan berisi makanan atau minuman yang dimakan

sebelumnya, dengan volume kurang lebih ½ gelas aqua, tapi tidak ada darah. Keluhan

mual dan muntah ini membuat pasien menjadi malas makan (tidak nafsu makan). Pasien

juga mengeluh lemas sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan lemas

dikatakan dirasakan terus menerus dan tidak menghilang walaupun pasien telah

beristirahat. Keluhan ini dikatakan dirasakan di seluruh bagian tubuh dan


semakin memberat dari hari ke hari hingga akhirnya 6 hari sebelum masuk rumah sakit

pasien tidak bisa melakukan aktivitas sehari-hari. Selain itu, pasien juga mengeluh

adanya bengkak pada kedua kaki sejak 6 minggu sebelum masuk rumah sakit yang

membuat pasien susah berjalan. Bengkak dikatakan tidak berkurang ataupun bertambah

ketika dipakai berjalan ataupun diistirahatkan. Keluhan kaki bengkak ini tidak disertai

rasa nyeri dan kemerahan. Riwayat trauma pada kaki disangkal oleh pasien.

Pasien mengatakan bahwa buang air besarnya berwarna hitam seperti aspal

dengan konsistensi sedikit lunak sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit dengan

frekuensi 2 kali per hari dan volume kira-kira ½ gelas setiap buang air besar. Buang air

kecil dikatakan berwarna seperti teh sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit,

dengan frekuensi 4-5 kali per hari dan volumenya kurang lebih ½ gelas tiap kali

kencing. Rasa nyeri ketika buang air kecil disangkal oleh pasien. Pasien juga

mengatakan bahwa kedua matanya berwarna kuning sejak 1 bulan sebelum masuk

rumah sakit. Warna kuning ini muncul perlahan-lahan. Riwayat kulit tubuh pasien

menguning disangkal. Selain itu, dikatakan pula bahwa beberapa hari terakhir,

pasien merasa gelisah dan susah tidur di malam hari. Keluhan panas badan, rambut

rontok dan gusi berdarah disangkal oleh pasien.

TEORI SNEHANDU B. KAR

A. Behavior Intention (Perawatan Kesehatan)

Pada kasus ini, pasien diberikan diet cair tanpa protein, rendah garam,

serta pembatasan jumlah cairan ±1 liter/hari. Jumlah kalori harian dapat diberikan

sebanyak 2000 – 3000 kkaL/hari. Diet protein tidak diberikan pada pasien ini

karena pasien sempat mengalami ensepalopati hepatikum, sehingga pemberian

protein yang dapat dipecah menjadi amonia di dalam tubuh dikurangi.


Pembatasan pemberian garam juga dilakukan agar gejala ascietas yang dialami

pasien tidak memberat. Diet cair diberikan karena pasien mengalami perdarahan

saluran cerna. Hal ini dilakukan karena salah satu faktor resiko yang dapat

menyebabkan pecahnya varises adalah makanan yang keras dan mengandung

banyak serat. Selain melalui nutrisi enteral, pasien juga di beri nutrisi secara

pareenteral dengan pemberian infus kombinasi NaCl 0,9%, dekstrosa 10%, dan

amino leban dengan jumlah 20% tetesan per menit.

B. Social Support (Dukungan Sosial Masyarakat)

Mendukung pasien untuk menerapkan pola makan sehat. Menyarankan

untuk melakukan vaksin agar dapat melindungi diriu dari virus hepatis. Serta

selalu mendukung pasien untuk melakukan olahraga dan agar tercapainya hidup

sehat. Selalu mendukung disaat pasien merasa sendiri serta selalu menguatkan dan

selalu memotivasi bahwa penyakitnya dapat disembuhkan atau dapat dikurangi.

C. Accesibility Of Information (Informasi Kesehatan)

Pada pasien mengalami sirosis hepatis pada kasus yang akut dan kronik

sering di temukan nitrogen negatif. Oleh karena itu, ditemukan adanya pemecahan

protein oleh otot karena sintesis protein atau pemecahan protein yang dilakukan

oleh hati telah menurun fungsinya. Dalam memberikan treatment mengenai

protein, yang perlu di perhatikan adalah menghindarkan pasien sirosis dari

kejadian malnutrisi serta menghindarkan pasioen dari encephalopaphy hepar.

Untuk itu, selain mengatur protein yang di berikan, asupan karbohidrat dan lemak

juga perlu di perhatikan untuk mencegah terjadinya pemecahan yang

mengakibatkan malnutrisi. Pada pasien sirosis, hepatis rasio asam amino rantai

cabak (BCAA) misalnuya isoleusin, leusin dan valine terhadap asam amino

aromatic misalnya fenillanin, triptofan, dan tirosin sering di temukan abnormal

terutama pada pasien yang mengalami malnutrisi menjaga resiko ke dua macam
asam amino ini dapat menghindarkan pasien dengan sirosis dengan kejadian

ensefalopathy hepatic.

D. Personal Autonomy (Pengambilan Tindakan)


Pasien sirosis hepatis mengalami masalah nutrisi dikarenakan beberapa hal
yaitu kehilangan nafsu makan (Anoreksia) karena nyeri abdomen, mual, terasa
penuh pada abdomen, gangguan pencernaan dan absorpsi nutrien serta
meningkatnya kebutuhan energi. Kondisi ini sangat memicu terjadinya komplikasi
berupa asites dan esefalopati hepatikum.

Salah satu peran perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pada


pasien sirosis hepatis terkait masalah nutrisi adalah dengan memberikan informasi
pada pasien dan keluarga tentang pentingnya diet tinggi protein, khususnya yang
banyak mengandung asam amino rantai cabang (AARC). Salah satu jenis makanan
yang kaya akan AARC adalah putih telur. Konsensus eoropean society for, clinical
nutrition and metabolism merekomendasikan AARC untuk terapi nutrsisi pada
ensefalopati hepatikum karena terbukti memperbaiki klinis pada pasien sirosis
lanjut.

E. Action Situation (Situasi Untuk Bertindak)

Mengkaji keefektifan pola nafas, mengkaji irama dan kedalaman

pernafasan. Pengkajian yang sesuai akan maka akan membantu tindakan yang

selanjutnya. Penatalaksanaan pola pernafasan tidak efektif dapat dilakukan dengan

teknik non-farmakologi yaitu latihan pernafasan pursed lips breathing. Teknik ini

juga sering disebut dengan teknik relaksasi nafas dalam.

Anda mungkin juga menyukai