Hukum Berbasis Syariah Kedudukan Lega PDF

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 40

HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

HUKUM BERBASIS SYARIAH


Kedudukan Legal Perempuan dan Anak di Banten dan Jawa Barat1
Oleh: Euis Nurlaelawati
Diterjemahkan oleh: Agung Mazkuriy
Email: mazkuriy.agung@gmail.com

1. Pendahuluan
Sejak lengsernya Suharto pada tahun 1998, seruan untuk menerapkan sistem
syariah meluas. Hal ini bukan berarti sebelum tahun 1998 tidak ada pengembangan
sistem syariah yang terjadi. Contoh kasus populer adalah Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 1991, yaitu Kompilasi Hukum Islam yang selanjutnya disebut KHI,
dianggap sebagai langkah menuju kodifikasi atas hukum Islam di tingkat nasional
lebih lanjut. Bahkan tidak hanya di tingkat nasional, tetapi di tingkat daerah juga
terdapat banyak sekali perkembangan syariah ini. Memang, dampak dari kebijakan
desentralisasi yang dicanangkan pada tahun 1999, penerapan syariah telah
memanifestasikan dirinya di tingkatan lokal dalam bentuk sangat variatif dari satu
daerah ke daerah lainnya.
Desentralisasi tidak melimpahkan kewenangan kepada Daerah untuk
mengurusi kebijakan terkait keagamaan dan, terlepas dari kasus Aceh yang diberikan
kewenangan penuh untuk mengatur jalannya pemerintahan tersendiri setelah
Perjanjian Helsinki pada Agustus 2005, Pemerintah Daerah (Pemda) tidak
diperkenankan untuk mengeluarkan peraturan berkaitan keagamaan (kebijakan terkait
keagamaan adalah kewenangan Pemerintah Pusat: penerjemah). Artinya, penerapan
syariah di tingkat lokal dibatasi, dalam arti penerapan syariah Islam di ruang publik.
Sebagian besar kekhawatiran yang melatarbelakangi munculnya Perda berbasis
syariah berhubungan ritualitas bersifat keagamaan dan kekhawatiran terhadap

1
Ini adalah versi singkat dari laporan yang disampaikan pada Islam Research
Programme Jakarta. Lihat Regime Change, Democracy and Islam. The Case of Indonesia. Final
Report Islam Research Programme Jakarta (Leiden, 2013).

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 1
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

moralitas.2 Akan tetapi adanya kekhawatiran-kekhawatiran tadi tidak berarti bahwa


inisiatif atas pengambilan kebijakan yang diambil tidak memiliki signifikansi.
Contohnya adalah (tuntutan) pembatasan kebebasan ruang gerak perempuan di bawah
Perda berbasis syariah yang mengharuskan perempuan untuk mengenakan jilbab di
kantor-kantor pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan serta membatasi
kebebasan kaum perempuan untuk keluar rumah pada malam hari. Dalam pandangan
bias masyarakat, kaum pria sendiri memandang ketidakadilan dan ketidaksetaraan
tersebut merupakan kelumrahan. Cara pandang melihat isu gender seperti ini dapat
menyebabkan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dan marginalisasi hak politik
dan ekonomi terhadap kaum perempuan. Anak-anak mungkin juga mengalami
dampak diskriminasi oleh orang tua atau pihak lainnya. Di pengadilan,
ketidaksetaraan ini bisa jadi menampakkan diri dalam bentuk keputusan hakim yang
tampak tidak fair, karena lahirnya keputusan lebih cenderung beranjak dari
pemahaman subordinasi perempuan dan perspektif bias gender dalam metode
pengambilan keputusan.
Secara umum, upaya penerapan syariah telah dilakukan secara berkelanjutan
di Indonesia sehubungan dengan meningkatnya produk hukum dan Undang-Undang
yang membela hak-hak dan status kesetaraan kaum perempuan dan anak-anak.
Misalnya, beberapa Pasal dalam UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974) dan juga di
KHI yang mencoba untuk memberikan perlindungan kepada perempuan dan anak-
anak. Selain itu, Indonesia yang telah meratifikasi sejumlah kovenan internasional
tersebut telah memperkuat sektor pemberdayaan dan perlindungan kaum perempuan
dan anak-anak. Lebih jauh lagi, reformasi sistem peradilan juga telah diperkenalkan
oleh Pengadilan Agama sebagai hasil dari kerjasama yang intens dengan para
pendonor internasional. Sampai batas-batas tertentu, kedudukan perempuan cukup
membaik dan perempuan kini telah mendapatkan keadilan lebih dalam beberapa
kasus meski harapan dan keinginan perbaikan kedudukan perempuan dan anak-anak

2
Arskal Sali , Musli Politi s i I do esia s De o ratisatio s: The ‘eligious Majority
and The Rights of Minority in the Post-Ne Order Era , dala ‘.H. M Leod da A. MacIntyre
(eds.), Indonesia: Democracy and the Promise of Good Governance (Singapore: Southeast Asian
Studies, 2007).

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 2
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

dalam hukum belum sepenuhnya terwujudkan, dan kondisi ini telah membawa
tuntutan secara berkelanjutan untuk melakukan revisi dan penyempurnaan produk-
produk hukum yang mana dalam rangka adanya revisi tersebut dapat mewujudkan
banyak perubahan sosial yang terjadi dan mampu mempengaruhi minat anak-anak,
dan hubungan antara perempuan dan laki-laki.
Kontribusi dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian yang mengkaji
keputusan pengadilan dan narasi-narasinya dalam sesi persidangan, juga menyelidiki
bagaimana hukum dalam isu-isu keluarga, terutama hukum yang berhubungan
dengan perempuan seperti UU Perkawinan dan KHI diaplikasikan.3 Kasus yang dikaji
dalam penelitian ini meliputi kasus perceraian, hak asuh, mu’tah (biaya nafkah) oleh
suami kepada istri dan tunjangan (hadhanah) untuk anak-anak, dan poligami di tiga
pengadilan: Cianjur di Jawa Barat, dan Serang serta Tangerang di Banten. Penelitian
ini juga mengamati pada hukum nasional dengan titik anjak tataran praktisnya
melalui cara mengamati respon kaum perempuan dan penerapannya oleh hakim
Pengadilan Agama. Beberapa sidang yang dihadiri, mengamati Hakim – dalam
persidangan yang melibatkan perempuan tertentu – dan mewawancarai pihak-pihak
terkait serta menganalisa putusan pengadilan. Penelitian ini dilakukan selama enam
bulan dalam tiga periode pada tahun 2010. Pertama berlangsung dari Mei hingga
Juni, kedua dari Agustus hingga Oktober, dan terakhir dilakukan pada bulan
Desember. Pada tahun 2011, dalam rangka untuk lebih memahami pengetahuan
hukum dan kesadaran perempuan pada umumnya, kami mewawancarai 12
perempuan dan mendistribusikan kuesioner kepada 100 responden wanita di tiga
wilayah yang berbeda di Tangerang. Berkenaan dengan isu-isu perempuan di ranah
publik tersebut, serta salah satu regulasi yang ditetapkan oleh Daerah dipelajari secara
seksama, yaitu Perda bermotif berbasis syariah di Cianjur yang mewajibkan
perempuan PNS beragama Islam untuk mengenakan jilbab. Untuk mendapatkan
gambaran dari respon para perempuan, saya mewawancarai beberapa perempuan,

3
Saya memilikis 158 Salinan Putusan terkait isu terkait yang dikeluarkan oleh tiga Pengadilan
yang disurvei. Tidak termasuk keputusan tentang kasus warisan, saya menganalisis 42 keputusan
yang dikeluarkan oleh pengadilan Tangerang, 49 dari Serang, dan 24 oleh pengadilan Cianjur.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 3
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

membagikan kuesioner dan mengunjungi kantor Pemda Cianjur, pihak Kepolisian


setempat dan Rumah Sakit Umum setempat.
Dengan menyajikan sejumlah kasus yang terjadi di Pengadilan, kesimpulan
yang didapati bahwa kedudukan perempuan dalam hukum telah diperkuat setelah
adanya reformasi teknis peradilan diperkenalkan. Penelitian ini juga menunjukkan
bahwa perempuan masih menghadapi perlakuan diskriminatif dalam keputusan
Pengadilan dalam kasus-kasus yang berlatarbelakang kekeluargaan dan oleh sejumlah
Perda yang membatasi ruang gerak perempuan di ruang publik.

2. Kedudukan Perempuan dalam Perundang-undangan Nasional dan


Peraturan Daerah
Isu perempuan telah lama menjadi topik penting dalam diskursus hukum di
negara-negara Muslim. Di bawah ketentuan syariah, kaum perempuan memiliki
kedudukan berbeda dari kaum laki-laki. Hal ini terjadi mengingat adanya fakta bahwa
banyak hukum keluarga dalam Islam klasik menempatkan perempuan dalam posisi
subordinat kaum laki-laki. Pemerintah Indonesia sendiri telah berinisiasi melakukan
reformasi hukum dan memperkenalkan aturan legal baru di tingkat nasional, termasuk
di antaranya mengesahkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan dan KHI pada tahun
1991, guna memberdayakan kedudukan perempuan dalam hukum keluarga. Bab ini
membahas kedudukan perempuan dan aturan hukum yang berlaku bagi mereka dalam
lingkup hukum kekeluargaan Islam dan di dalam Perda-perda syariah.

2.1 Hukum Perorangan atau Hukum Keluarga


Mengikuti tren di sejumlah negara Muslim dalam menyusun hukum
kekeluargaan menurut Islam, Indonesia mengeluarkan apa yang disebut Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991. Hal ini juga sejalan dengan meningkatnya
tuntutan masyarakat untuk kesetaraan gender di sudut lain. Indonesia telah
menggunakan KHI untuk melindungi kepentingan perempuan, memberi perhatian
khusus terhadap perihal poligami, perceraian, harta bersama (gono-gini) perkawinan,
dan hak-hak perempuan paska perceraian. Di sini saya akan membahas secara singkat

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 4
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

peraturan-peraturan berhubungan perihal di atas, yang telah ditetapkan di dalam KHI.


Saya akan mengacu pada KHI meski saya menyadari legal standing-nya yang rendah
karena berupa Instruksi Presiden. KHI adalah kumpulan peraturan yang berlaku
khusus untuk umat Islam Indonesia dan masalah-masalah hukum yang berkaitan
dengan KHI ditangani oleh hakim di Pengadilan Agama.
Apabila mengamati aturan hukum berkaitan poligami yang diperkenalkan di
negara-negara Muslim, ada dua tren mengemuka. Pertama, praktek poligami
seluruhnya dihapuskan dan dianggap sebagai tindak kejahatan; dan yang kedua
adalah poligami diperbolehkan, tetapi untuk menghindari penyalahgunaannya dalam
praktek dibuatlah peraturannya secara ketat.4 Terkait pendekatan poligami yang
terakhir, untuk melakukan poligami memerlukan adanya izin dari Pengadilan Agama
dan prakteknya ini tergantung pada suami dalam memenuhi persyaratan dan kondisi-
kondisi tertentu. Di antara yang termasuk ‘kondisi tertentu’ ini adalah standar
sebagaimana telah ditetapkan Alquran yaitu ‘berlaku adil’, yang di sini tidak lagi
urusan moralitas dalam hati nurani individu, melainkan menjadi masalah hukum yang
akan diputuskan oleh Pengadilan Agama.
Indonesia sendiri telah memilih pendekatan yang kedua, yaitu
memperbolehkan poligami. Pasal 55, 56 dan 57 KHI secara bersamaan
mengakomodir poligami dan kondisi-kondisi serta kualifikasi-kualifikasi yang
dipersyaratkan untuk melakukan poligami. Pasal-Pasal tersebut menegaskan bahwa
poligami bisa dilakukan hanya jika semua kondisi dalam rumusan Pasal-Pasal
tersebut terpenuhi, meski hanya salah satu alasan yang disebutkan dalam KHI
tersebut. Tidak terpenuhinya persyaratan berakibat adanya larangan. Terlepas dari
semua itu, persetujuan Pengadilan sangatlah memiliki peran sentral, artinya bahwa
pernikahan poligami dapat diakui secara hukum hanya jika disetujui oleh Hakim
Pengadilan Agama. Di sisi lain, dalam Pasal 58 ayat (3) dan Pasal 59 menghapuskan

4
Untuk mengetahui secara detil tentang reformasi hukum berkaitan poligami di
sejumlah negara-negara muslim, lihat Jan Michiel Otto (ed.), Sharia Incorporated: A Comparative
Overview of the Legal Systems of Twelve Muslim Countries in Past and Present (Leiden: Leiden
University Press, 2010). Lihat juga John L. Esposito, Women in Muslim Family Law (New York:
Syracuse University Press, 1982), 92.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 5
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

syarat adanya persetujuan dari pihak istri. Pasal 58 ayat (3) mengatur kondisi ketika
pihak istri tidak hadir dalam persidangan atau keberadaannya tidak diketahui,
ketentuan Pasal tersebut menggugurkan pihak istri untuk terlibat dalam persidangan
dalam kasus poligami. Ketentuan ini secara tersirat menyatakan bahwa adanya
persetujuan dari istri atau tidak, tidaklah harus dipertimbangkan jika pihak istri tidak
bisa hadir dalam persidangan, atau jika keberadaan istri atau istri-istrinya tidak
diketahui selama dua tahun, atau jika ada kondisi lain yang mencegah pihak istri/istri-
istrinya untuk hadir dalam persidangan yang sedang ditinjau oleh hakim.5
Selanjutnya, Pasal 59 menetapkan aturan mengenai perihal bila mana suami telah
menyampaikan alasan untuk melakukan perceraian, tapi pihak istri/istri-isterinya
menolak untuk memberikan persetujuannya. Dalam kondisi demikian, Pengadilan
memiliki kewenangan yang superior. Hal tersebut dinyatakan sebagai berikut:

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin
untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang
diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat
menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar
istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.6

Pihak istri atau suami sendiri bisa mengajukan banding ke pengadilan yang lebih
tinggi (Pengadilan Tinggi: penerjemah).
Poligami juga diatur oleh dua Peraturan Pemerintah (disingkat PP), yaitu PP
No. 10/1983 dan PP No. 45/1990 yang berlaku untuk kalangan Pegawai Negeri Sipil.
PP No 10/1983 mengatur prosedur untuk PNS laki-laki dalam hal poligami.
Ketentuan PP tersebut menyatakan bahwa PNS laki-laki bisa melakukan poligami
hanya jika memperoleh izin dari atasannya dan melarang PNS perempuan untuk
menjadi istri kedua bagi PNS laki-laki. Sedangkan PP No. 45/1990 menetapkan
aturan yang ketat dalam melarang PNS perempuan dinikahi bukan hanya oleh PNS
pria, tetapi juga dalam hal dinikahi kalangan non PNS.

5
Pasal 58 KHI.
6
Pasal 59 KHI.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 6
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

Perihal perceraian, Indonesia seperti negara-negara muslim lainnya, mengatur


praktek perceraian dengan mengharuskan suami dan istri untuk membawa gugatan
cerai ke Pengadilan. KHI termasuk yang mengatur secara rinci tentang proses
perceraian dan menentukan alasan-alasan untuk perceraian yang bisa diperbolehkan.
Sebuah reformasi hukum yang memperkuat hak-hak istri telah dijalankan
dalam proses perceraian menyangkut permohonan istri, yang di Indonesia jamak
dikenal sebagai gugat cerai. KHI menyebutkan dua jenis proses perceraian dengan
cara tersebut, sebagaimana ketentuannya diatur dalam Pasal 148. Dalam ketentuan
Pasal tersebut tidak meninggalkan ruang untuk adanya interpretasi, tetapi menyatakan
bahwa perihal pihak perempuan yang ingin mengajukan permohonan cerai khuluk –
yang mana mewajibkan pihak perempuan membayar kompensasi bersifat finansial
(iwadl) kepada pihak pria –, hakim dari Pengadilan Agama harus menjelaskan
konsekuensi khuluk kepada pihak suami dan istri. Setelah kedua belah pihak sepakat
pada jumlah kompensasi finansial (iwadl), Pengadilan Agama mengeluarkan
keputusan pemberian izin bagi suami melakukan perceraian. Tidak ada proses
banding atas keputusan ini. Namun, ketika tidak tercapai kesepakatan tentang jumlah
kompensasi, hakim Pengadilan Agama diminta untuk mendengar dan
memperlakukan kasus tersebut sebagai ‘kasus umum’. Dengan kata lain, proses
perceraian tidak bisa dilanjutkan sebagai khuluk.
. Berangkat dari Pasal tersebut, saya memahami bahwa tidak semua perceraian
yang diajukan pihak istri atau gugat cerai dapat diperlakukan sebagai khuluk.
Berdasar pemaparan di atas, KHI telah melampaui ketetapan fiqh atau doktrin hukum
Islam klasik, dan memperkenalkan reformasi hukum sangat penting, yaitu
memberikan hak bagi pihak istri untuk mengajukan permohonan perceraian tanpa
harus selalu membayar kompensasi financial (iwadl). Artinya, dalam hal ini seorang
istri juga memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi jika permohonan cerai yang
diajukan menggunakan proses non-khuluk.
Permasalahan hak asuh paska perceraian sendiri diatur dalam Pasal 105 KHI.
Ketentuan Pasal tersebut memberikan hak asuh anak-anak di bawah usia 12 tahun

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 7
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

kepada pihak ibu, dan memberikan kebebasan kepada anak-anak yang berusia 12
tahun ke atas untuk memilih salah satu dari orang tuanya untuk menjadi wali mereka.

2.2. Perda Syariah dan Perempuan: Moralitas dan Etika


Regulasi-regulasi berbasis syariah tidak hanya diakomodir oleh perundang-
undangan nasional, tetapi juga dijadikan dasar untuk peraturan-peraturan yang
dikeluarkan di tingkat lokal (Perda). Amandemen kedua UUD 1945 Republik
Indonesia oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dilakukan selama reformasi
pada tahun 1998 telah mendorong munculnya pemberlakuan Perda berbasis syariah.
Pasal 18 UUD 1945 membuka kemungkinan bagi Pemda untuk mengeluarkan Perda
syariah. Pasal tersebut memberi dasar hukum bagi Kabupaten/Kota dalam bingkai
Otonomi Daerah berupa pengelolaan urusan daerahnya sendiri. Otonomi Daerah itu
sendiri merupakan amanat UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah7 dan
UU No. 25 Tahun 1999 Pelayanan Publik yang berlaku pada tahun 2001.7.1
Tujuan utama dari Undang-Undang tersebut adalah untuk pelimpahan
kewenangan yang lebih luas dan kekuasaan untuk Daerah untuk mengelola urusan
mereka sendiri. Diberlakukannya Peraturan Daerah (Perda) telah menjadi salah satu
alat utama Pemda untuk mengembangkan daerahnya masing-masing.8 Dalam tataran
inilah perundang-undangan berbasis syariah mulai mendapat legitimasi untuk
diberlakukan. Terlepas dari Aceh, sejumlah Kabupaten dan Kota telah
memberlakukan peraturan tersebut, termasuk Bulukumba (dikaji juga dalam buku ini
oleh Stijn Cornelis van Huis), Bantul (dikaji oleh Muhammad Latif Fauzi), dan di
Cianjur. Meskipun mayoritas Perda bermotif syariah diberlakukan untuk laki-laki dan
perempuan, namun posisi perempuan paling rentan terpengaruh.

7
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah ini telah diperbarui dengan
diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004; penerjemah.
7.1
Nur Rifah dan Ho est Dody Molasy, Questio i g Wo e Se urity i Perda Syariah
Criti s to I do esia Distri t Poli ies , akalah diprese tasika pada the Human Security
Conference organized oleh SEAS pada tahun 2010.
8
M.B. Hooker, Indonesian Syariah: Defining a National School of Islamic Law (Singapore:
ISEAS, 2008), hlm, 244.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 8
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

Setidaknya terdapat dua ranah di mana pemberlakuan Perda berbasis syariah


berdampak pada kedudukan perempuan dalam hukum legal. Kedua ranah ini, jika kita
mengacu pengkategorian yang dilakukan oleh Salim, mungkin terklasifikasikan ke
dalam kategori ketertiban umum dan peraturan-peraturan pembatasan aktifitas di
ruang publik. Termasuk pelarangan prostitusi dan minuman alkohol, atau
pemberlakuan simbolisasi keagamaan yang di antaranya mencakup kewajiban untuk
mengenakan busana muslim.9 Kemunculan Perda-perda bermotif syariah ini
utamanya muncul berhubungan dengan moralitas dan etika. Perda-perda tersebut
sebagian besar merupakan respon terhadap klaim kelompok Islam konservatif bahwa
Indonesia menghadapi masalah serius akibat dari kemerosotan moral dalam
masyarakat. Kelompok Islamis berpendapat bahwa perempuan adalah sumber dari
sejumlah masalah (madhorot) tersebut.10 Mereka meyakini bahwa masalah-masalah
tersebut akan terselesaikan jika ada peraturan-peraturan di daerah mereka yang
mewajibkan perempuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.
Di Cianjur terdapat forum umat Muslim yang menamakan diri Silaturahmi
dan Musyawarah Umat Islam (SILMUI) yang mendesak pelaksanaan syariah, dan
juga berusaha meyakinkan orang-orang di Cianjur bahwa syariah adalah solusi untuk
‘penyakit sosial’ dan bisa meningkatkan kualitas moral masyarakat Cianjur. Anggota-
anggota SILMUI menyuarakan peraturan-peraturan berbasis syariah tersebut karena
terinspirasi oleh ajaran Islam yang memberlakukan penerapan kode berpakaian
menurut standar Islam, yang mana mensyaratkan kaum perempuan muslim untuk
mengenakan jilbab. Pendirian forum tersebut untuk memberi dasar alasan terhadap
lahirnya Perda No. 3/2006 tentang Gerakan Pembanguan Masyarakat Berakhlaqul
Karimah. Dengan lahirnya Perda ini, Bupati Cianjur memberlakukan bagi PNS
perempuan Muslim untuk menyesuaikan diri dengan busana muslim di kantor
pemerintahannya. Jika Perda No. 5 Tahun 2003 di Bulukumba penggunaan jilbab
berlaku untuk semua perempuan, peraturan Cianjur hanya berlaku bagi perempuan

9
Sali , Musli Politi s i I do esia s De o ratisatio s , hl , –137.
10
Kar i, Budiarti, da Barus, Batas Niat Baik da Ko oditas Politik , Nasio al,
www.gatra.com, 2006.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 9
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

PNS Muslim setempat. PNS laki-laki juga diharapkan untuk mengikuti aturan
berbusana muslim dan harus memakai apa yang disebut baju koko saat di kantor.
Sebagaimana yang terjadi di daerah lain di Indonesia, regulasi di Cianjur,
menurut klaim para pendukungnya, dikeluarkan untuk memberikan rasa aman bagi
perempuan dan untuk menjaga martabat mereka. Namun, kelompok yang kontra
dengan regulasi tersebut berpendapat bahwa perlindungan terhadap kaum perempuan
sebenarnya telah terpinggirkan dengan agenda mereka dan peraturan-peraturan
bermotif syariah telah membatasi ruang gerak perempuan hanya ‘di wilayah dapur’.
Menurut kelompok kontra ini, perempuan telah menjadi korban dari peraturan
bermotif syariah ini.

3. Perempuan dalam Pengadilan Agama: Legal Discretion Hakim


Bagian ini mencermati hasil-hasil persidangan yang melibatkan perempuan
dalam kasus hukum di Pengadilan dan faktor-faktor yang memiliki kontribusi
terhadap hasil-hasil putusan hakim tersebut. Poin-poin penting yang diobservasi
berhubungan dengan bagaimana hakim Pengadilan Agama dan kedudukan
perempuan yang terlibat dalam permasalahan hukum, dan sejauh mana kepentingan
kaum perempuan terlindungi di Pengadilan.

3.1 Melanggengkan Subordinasi: Seperti Apa dan Kenapa?


Meskipun telah banyak perubahan, tetapi perempuan tetap saja memiliki
kedudukan lemah di Pengadilan dalam kasus poligami, masalah hak asuh dan
tunjangan paska perceraian bagi anak-anak mereka. Ada sejumlah faktor yang
berkontribusi untuk ini.

3.1.1 Poligami: Penerapan Hukum yang Memberi Kelonggaran dan Penafisran


Tradisional
Dalam hal poligami, perempuan seringkali tidak mampu melakukan negosiasi
atau untuk mempengaruhi kebijakan pengambilan keputusan oleh Hakim. Meskipun
poligami diatur dalam KHI dan PP No. 10/1983 sebagaimana diubah dengan PP No.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 10
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

45/1990 demi memperketat praktik poligami, Hakim di tiga pengadilan yang


diobservasi tetap berpegang pada pandangan bias gender dan menutup diri dari hak-
hak perempuan dalam tiga kasus persidangan.
Adakah studi terbaru tentang hal ini? Pusat Studi Hukum, Konstitusi dan Hak
Asasi Manusia (Puskumham yang berkantor di Jakarta), menyimpulkan bahwa
sejumlah hakim masih sensitif terhadap isu-isu gender, sebagaimana ditunjukkan oleh
sikap mereka ketika menangani kasus perceraian, harta bersama (gono-gini) dan
poligami. Penelitian tersebut juga juga melaporkan bahwa beberapa Hakim di
Pengadilan Aceh juga telah ada yang sangat peduli terhadap perlindungan hak-hak
kaum perempuan dan membuka diri terhadap isu-isu gender.11 Di antara sesi agenda
sidang dalam rangka mendengar keterangan masing-masing pihak dalam kasus
poligami, hakim meminta pihak suami untuk mempertimbangkan kembali
keputusannya, dan mengingatkan pihak suami atas sanksi dalam hal perlakuan tidak
adil atau tidak sama di antara masing-masing istri, misalnya. Hal ini menggambarkan
bahwa sensitivitas gender di lingkungan Pengadilan di Aceh telah membaik. Dalam
kasus lainnya yang terjadi di Aceh menyangkut perceraian, Hakim memberikan porsi
lebih pembagian harta bersama bagi pihak istri – kebanyakan karena alasan
perceraian dalam persidangan yang diajukan adalah suami yang ingin berpoligami –
juga telah menunjukkan bahwa hakim cukup peka terhadap isu-isu gender.
Bagaimanapun perlu dikatakan di sini, kesadaran para hakim atas isu-isu gender
terjadi setelah mengikuti sejumlah program pelatihan oleh beberapa pusat studi
perempuan yang menargetkan penguatan sensitivitas gender di dalam lingkungan
pengadilan. Melalui pelatihan ini, prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan dan fairness
diperkenalkan.12
Hasil dari penelitian saya, bagaimanapun, berbeda dari temuan Puskumham.
Saya mendapati bahwa sebagian besar hakim di tiga pengadilan yang diamati dalam
penelitian ini tampaknya masih berpatokan pada pemahaman bias gender atau

11
Lihat Arskal Salim (ed.), Demi Keadilan dan Kesetaraan: Dokumentasi Program
Sensitivitas Gender Hakim Agama (Jakarta: puskumham, 2009).
12
Untuk sirkula dan materi pelatihan, lihat Salim, Demi Keadilan dan Kesetaraan, 22–26.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 11
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

menutup diri terkait masalah gender ini meski telah mengikuti pelatihan tentang
sensitivitas gender. Para hakim seringkali merujuk pada ayat Al-Qur'an yang
memungkinkan poligami. Meskipun Qur'an menekankan adanya keadilan dalam
sejumlah ayatnya – Al Nisa ayat 3 dan Al Nisa ayat 129 – yang cenderung mencegah
poligami, akan tetapi banyak hakim yang berpandangan bahwa poligami dapat
diperbolehkan jika tidak menyimpang dari Al-Qur'an. Bahkan salah satu hakim
mengatakan bahwa poligami diperbolehkan menurut hukum Qur’an secara tegas, dan
tidak boleh ada hukum yang dibuat untuk menentangnya.13 Maka, yang tampak di
kemudian bahwa pelatihan terhadap kepekaan gender tidak selalu memiliki efek yang
diinginkan secara menyeluruh, tentu saja kepelatihan sebagai faktor tunggal tidak
mampu mengubah pola pikir hakim pada isu-isu sensitif. Memang, sejumlah faktor
lain juga memiliki relevansi, misal kepribadian hakim dan latar belakang pendidikan
dan keluarganya juga berkontribusi pada menerima atau tidaknya hakim pada materi
pelatihan berkaitan sensivitas gender.14 Metode penyampaian materi dalam pelatihan
juga mungkin memainkan peran. Puskumham mendapati bahwa hakim tiga
pengadilan di Cianjur, Tangerang, dan Serang dilatih oleh Pusat Studi Wanita (PSW)
dengan pendekatan dan metode yang sangat berbeda dari metode yang digunakan
oleh pusat-pusat pelatihan di Aceh.15
Saya memiliki sembilan salinan keputusan Pengadilan tentang pengajuan
permohonan untuk melakukan poligami pada periode 2007-2009 yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama Cianjur. Pengadilan tersebut menyetujui kesembilan
permohonan. Alasan yang menjadi latar belakang adanya persetujuan bervariasi
sesuai dengan alasan yang dikemukakan oleh masing-masing pihak pemohon
(suami), mulai dari ketidakmampuan istrinya untuk memberikan keturunan atau si
istri sakit serius yang berakibat suami tidak terpuaskan secara seksual. Perlu

13
Wawancara dengan Hakim Ketua Pengadilan Agama Tangerang, Mei 2011.
14
Untuk pembahasan tentang pengaruh tersebut pada kepekaan gender bagi setiap
orang, termasuk hakim, lihat Geeta Sarma dan Deepa So pal, Ge der A are ess a d Se siti ity
Appli atio s , Unnati Organisation for Development Education, Gujarat, India, 2008. Lihat juga
Kare Czapa skiy, Ge der Bias i the Courts: So ial Cha ge Strategies , Journal of Legal Ethics
(4)1, 1990.
15
Lihat Salim, Demi Keadilan dan Kesetaraan, 32–35.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 12
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

dikatakan di sini, meskipun alasan-alasan tersebut tidak selalu secara eksplisit


dinyatakan, hasrat seksual yang tinggi merupakan motif dominan dalam pengajuan
permohonan dalam untuk melakukan poligami. Memang, empat dari sembilan kasus
poligami yang diajukan, alasannya bahwa pihak istri tidak bisa memuaskan hasrat
seksual pihak suami. Permohonan-permohonan yang dikabulkan menunjukkan bahwa
hakim di pengadilan tersebut tetap terbuka terhadap masalah poligami dan tidak
terlalu ketat menerapkan aturan-aturan terkait, Hakim sering menerima alasan tidak
valid yang disampaikan oleh pihak suami sebagai alasan yang cukup untuk
diperbolehkan poligami,16 tidak terkecuali Pengadilan Agama Cianjur. Hakim di dua
pengadilan lain dalam penelitian saya juga membuat keputusan yang begitu mirip.
Dari 45 keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Serang untuk berbagai kasus,
enam di antaranya berkaitan poligami, dari 72 salinan kasus yang dikumpulkan dari
Pengadilan Tangerang, ada lima putusan berkaitan poligami.17 Alasan yang diberikan
dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Tangerang menyinggung
perihal ketaatan beragama (ibadah)18 dalam dua kasus, ketidakmampuan istri untuk

16
Saya memiliki 9 Salinan Putusan, beberapa di antaranya teridentifikasi sebagai
Putusan No. 255/Pdt.G/2008/PA.Cjr, No. 290/Pdt.G/2008/PA.Cjr, No. 393/Pdt.G/2007/PA.Cjr,
and No. 358/Pdt.G/2007/PA.Cjr.
17
hukumonline, media berita hukum terkemuka di Indonesia, memberitakan ada 1.016
permohonan untuk melakukan poligami yang telah diajukan ke Pengadilan Agama pada tahun
2004, 800 permohonan di antaranya disetujui, sebagaimana 776 permohonan yang disetujui dari
jumlah total 1.148 permohonan yang diajukan pada tahun 2006. Dengan mengutip angka-angka
di atas, Butt menyatakan, dengan mengingat penduduk Indonesia yang besar, angka di atas
tampaknya relatif kecil. Meski demikian, ia mengingatkan bahwa jumlah permohonan yang
disetujui dapat dijadikan data pendukung klaim penelitiannya dan peneliti lainnya terkait
pendekatan yang digunakan oleh hakim-hakim yang relatif permisif terhadap poligami, saya
sependapat dengan hal tersebut. Lihat Si o Butt, Isla , the State a d the Co stitutio al Court
in Indonesia , Pa ifi ‘i La a d Poli y Jour al, 9 , , 9 . Untuk mengetahui secara
detail terkait jumlah permohonan untuk poligami dan jumlah permohonan yang dikabulkan pada
2 tahun tersebut, lihat Menguak Sisi Gelap Poligami, hukum online, 23 Desember 2006,
www.hukumonline.com/berita/baca/hol15941/menguak-sisi-gelap-poligami (diakses Juni 2011);
Syarat Poligami akan Diperkuat, hukumonline, 19 Februari 2009,
www.hukumonline.com/berita/baca/hol21230/syarat-poligami-akan-diperketat (diakses Juni
2011).
18
Muhammad Insa, seorang Muslim Indonesia menganggap poligami adalah bagian dari
ketaatan beragama (ibadah) yang harus ditegakkan oleh umat Islam, dia juga menentang
ketentuan poligami dalam UU Perkawinan dan KHI. Insa memprotes bahwa penentangan
terhadap praktek poligami adalah pelanggaran terhadap hak atas kebebasan beragama dan ia
mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi berkaitan penerapan poligami di Pengadilan

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 13
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

memenuhi hasrat seksual suami ada dua kasus, dan mobilitas tinggi suami dalam satu
kasus. Kelima permohonan yang telah disebutkan, serta ditambah dua permohonan di
pengadilan Serang, pada dasarnya disetujui atas dasar untuk memenuhi hasrat seksual
yang tinggi pemohon (suami).19
Sebagai contoh, seorang kontraktor perumahan (dengan satu istri) yang telah
tinggal di Serang selama satu tahun karena tuntutan pekerjaannya, sementara si istri
dan empat anak tetap tinggal di Bandung, telah meminta ke pengadilan Serang untuk
memperbolehkan melakukan poligami setelah ia bertemu seorang wanita di Serang
dan telah jatuh cinta padanya. Untuk menghindari hubungan seksual di luar nikah
(zina) ia bermaksud menikahinya. Alasan yang diajukan adalah istrinya tidak bisa
memenuhi kebutuhan seksnya karena tinggal berlainan tempat yang jauh. Hakim
setuju dengan syarat bahwa istrinya memberikan persetujuan dan suami memiliki
sumber finansial yang memadai. Berkas keputusan menyatakan dikhawatirkan bahwa
suami akan tergoda ke dalam hubungan seksual di luar nikah kecuali bila
permintaannya dikabulkan. Alasan yang dikemukakan oleh pihak suami seperti ini
tidak ditentukan dalam KHI. Dia hanya menyatakan bahwa istrinya tidak berkenan
pindah kediaman baru dengannya dan selanjutnya ia bermaksud untuk menghindari
hubungan seksual di luar nikah dengan wanita lain. Pihak istri memberi
persetujuannya, akan tetapi menurut hukum, permohonan pihak suami seharusnya
hanya diberikan setelah suami telah menyampaikan alasan yang sah secara legal,
yaitu salah satu alasan yang ditentukan dalam KHI. Dalam kasus lainnya, seorang
wanita telah menikah 20 tahun dengan empat anak tidak bisa tidak untuk menyetujui
ketika suaminya meminta Pengadilan Agama Cianjur untuk memperbolehkannya

Agama. Insa berpendapat bahwa poligami adalah ibadah dan negara harus memperbolehkan
umat Islam untuk mempraktekkannya. Dengan alasan bahwa aturan tentang poligami tidak
melanggar hak-hak individu masing-masing orang, Mahkamah Konstitusi menolak permohonan
Insa tersebut. Untuk pembahasan lebih lanjut tentang masalah ini, lihat Faye Yik-Wei Chan,
‘eligious Freedo s. Wo e s ‘ights i I do esia: The Case of Muha ad I sa , Archipel 83,
Paris, 2012, 113– . Lihat juga Butt, Isla , the State, a d the Co stitutio al Court i
I do esia , .
19
Beberapa putusan tersebut teregistrasi sebagai Putusan No. 280/Pdt.G/2009/PA. Srg,
No. 526/Pdt.G/2009/PA.Srg, No. 322/Pdt.G/2009/PA.Srg, No. 211/Pdt.G/2008/PA.Tng, dan
No.164/Pdt.G/2008/PA.Tng.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 14
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

menikahi istri keduanya yang seorang janda sekampung, alasannya istrinya tidak lagi
mampu untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Dia berjanji untuk memperlakukan
istri-istrinya secara adil dan menyatakan bahwa ia mampu secara finansial. Tidak
seperti pada umumnya, istri tua hadir di Pengadilan untuk menyatakan bahwa dia
tidak keberatan. Selanjutnya Para hakim memberikan izin tanpa membuat pernyataan
lebih lanjut atau menelusuri bukti-bukti untuk memastikankan klaim suami.
Dua kasus sangat mencolok tersebut telah menampar aturan komprehensif
terkait aturan poligami di Indonesia. Seharusnya regulasi mengarah pada
pengendalian praktek poligami secara ketat dan memastikan pernikahan poligami
yang dilakukan secara sewenang-wenang tidak dapat disahkan kecuali argumen yang
diajukan dalam kasus-kasus tersebut telah ditentukan dalam undang-undang. Contoh-
contoh di atas menunjukkan bahwa, pada kenyataannya, prktek poligami
berkebalikan dengan tujuan ideal yang telah dilegalkan: hakim tidak mematuhi
aturan-aturan hukum dan, berbeda dengan perceraian, poligami tampaknya sulit untuk
dikontrol dan untuk dilakukan ‘vernacularised’ (interpretasi menurut diskursus
hukum modern). Sejumlah hakim percaya bahwa poligami memiliki dasar pemikiran
hukum Islam yang jelas. Beberapa dari mereka berterus terang mengakui bahwa jika
mereka menolak poligami, mereka akan menyimpang dari ketentuan syariah.20
Faktor-faktor ini dirumuskan oleh hakim untuk memberlakukan penerapan longgar
poligami yang berbeda dari ketentuan hukum negara.
Kecenderungan seperti ini juga bisa dilihat dari argumen hakim-hakim bahwa
mereka tidak diharuskan untuk mencari tahu lebih mendalam apakah persetujuan dari
istri bersifat tulus atau tidak. Sama halnya, mereka tidak diharuskan untuk
menyelidiki apakah istri betul tidak mampu memuaskan hasrat seksual suami, atau
tidak mampu memiliki anak sebagaimana alasan pihak suami sampaikan guna
mendukung permohonannya untuk melakukan poligami.21 Di atas semua itu, dalam

20
Berdasarkan wawancara dengan enam hakim Pengadilan Agama Serang dan
Tangerang, 2011.
21
Wawancara dengan salah seorang Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Juli 2011 dan
berdasarkan analisa putusan-putusan tentang pengajuan permohonan poligami. Lihat juga M.B.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 15
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

pertimbangannya, sebagian besar hakim memandang dan menekankan bahwa


kualifikasi yang harus dipenuhi oleh pihak suami, bukan alasan mengapa suami bisa
mengajukan permohonan poligami. Akibatnya, para hakim dapat mengabulkan alasan
apapun yang suami sampaikan, meski alasan tersebut tidak disebutkan dalam
perundang-undangan yang berlaku daripada menekankan terciptanya keadilan dalam
pertimbangan hukumnya, penekanan para hakim tampaknya lebih pada konsep
maslahat (kepentingan umum). Juga tidak mempertimbangkan konsekuensi dari
keputusannya bagi pernikahan pertama (pengamatan dalam koleksi salinan putusan
yang saya miliki cenderung menunjukkan bahwa praktek poligami merugikan pihak
istri pertama, dan banyak terjadi istri pertama mengajukan permohonan perceraian
dengan alasan adanya perselisihan terus menerus sebagai dampak dari poligami
suami), hakim lebih terfokus pada potensi zina si suami dengan pasangan wanita
barunya.
Menariknya, banyak hakim yang diwawancarai mengaku telah menerima
pelatihan tentang sensitivitas gender. Memang, banyak orang merasa bahwa para
hakim telah membuka diri terhadap isu-isu gender tadi. Tapi dalam prakteknya,
bagaimanapun juga, mereka tampaknya telah keliru memahami masalah ini.
Kurangnya kepekaan gender tampak jelas terjadi selama forum akademik yang mana
saya mempresentasikan suatu makalah dan yang hadir adalah sejumlah hakim dari
tiga pengadilan tadi. Forum sendiri membahas akses terhadap keadilan menurut
Islam, dan salah satu sesi forum dikhususkan untuk membahas isu-isu perempuan.
Ketika isu poligami datang dan salah satu pembicaranya, Maria Ulfah, menyatakan
ketidaksetujuannya pada praktek poligami, salah satu hakim yang hadir berdiri dan
menyatakan dukungannya secara teguh untuk parkatek poligami, dengan alasan
bahwa poligami jelas dinyatakan dalam Al-Qur'an. Pandangan si hakim tadi juga
didukung oleh seorang hakim perempuan yang menawarkan argumentasi yang lebih
rasional dan praktis. Hakim perempuan yang ikut seminar itu juga mengakui bahwa
dia dan rekan-rekan seprofesinya sering dihadapkan dengan permohonan untuk

Hooker, Indonesian Syariah: Defining National School of Islamic Law (Singapore: ISEAS, 2008),
12–13.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 16
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

mengabulkan poligami dan dia juga mengakui sering melihat istri diperlakukan buruk
oleh suaminya jika pihak pengadilan menolak untuk menyetujui. Dia berasumsi
bahwa jika permohonan poligami tidak disetujui, maka perlakuan terhadap si istri
mungkin akan lebih buruk.

3.3 Hak Asuh dan Gagasan tentang 'Kepentingan Terbaik Anak’


Berkenaan dengan hak asuh dan tunjangan untuk anak/anak-anak paska
perceraian, pihak perempuan juga seringkali dalam posisi yang tidak menguntungkan.
Dalam pemahaman hukum klasik (fiqh), aturan terkait hak asuh sangat variatif sesuai
dengan ketentuan fiqh yang berbeda dari aliran-aliran (mazhab-mazhab) hukum Islam
yang ada. Namun, mereka semua sepakat bahwa usia anak-anak menentukan siapa
yang berhak atas hak asuh ketika orang tua berpisah.22 Hak asuh sendiri adalah istilah
yang mengacu pada perawatan fisik dan pengawasan anak di bawah umur. Dengan
kata lain, hak asuh adalah hak berkaitan keberadaan fisik anak. Hak asuh bisa terjadi
hanya jika ada hubungannya dengan ‘orang kecil ini’ (anak-anak), perlakuan dalam
hukum klasik berkaitan hak asuh tidak lebih menemptkan anak dari sekedar ‘properti’
bagi ibu mereka. Orang yang diberikan hak ini disebut wali (custodian).
Hak asuh (custodian) berbeda dari hak perwalian (guardianship), custodian
memiliki cakupan kewajiban lebih sempit daripada hak perwalian/guardianship. Hak
asuh hanya memiliki cakupan berkaitan hak dan kewajiban berkaitan dengan
perawatan dan pengawasan dari ‘orang kecil’ atau ‘properti’ tersebut. Sedangkan
perwalian meliputi pemeliharaan finansial bagi anak-anak, ayah dan pihak keluarga
ayahnya diberi hak lebih banyak. Diantaranya hak wewenang pengambilan keputusan
berkaitan orang perorang (hubungan hukum yang bersifat keperdataan, seperti jual
beli dan sejenisnya: penerjemah) dan pengelolaan harta benda si anak di bawah umur
menurut Undang-Undang (yaitu 21 tahun ketika seorang anak belum menikah) secara
konsisten di bawah kewenangan si ayah, dan jikalau pihak ayah berhalangan, maka

22
Lihat Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillatuhu (Damaskus: Dar al- Fikr,
1984), Vol. 10, cet. Ke-4, 7306. Lihat juga Al-Jaziri, Al-Fi h ala al-Madhahib al-A ba a, 596–598;
Dimsaqy, Kifayat al-Akhyar, Vol. ii, 152, dan Bajuri, Hashiya Kifayat al-Akhyar, Vol. II, 198 dan
203.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 17
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

kewenangan beralih ke salah satu kerabatnya.23 Sementara perawatan fisik anak-anak


bisa menjadi tanggung jawab ibu atau ayah, ibu memiliki hak lebih diutamakan
dalam hal hak asuh anak di bawah usia pubertas (ghairu mumayyiz).24
Di Indonesia, aturan tentang hak asuh telah dikembangkan dari pemahaman
hukum klasik (fiqh) dan tidak mengikuti pendapat hukum (legal opinion/pendapat
aliran fiqh) mazhab Syafi'i yang notabene sebagaian besar muslim di Indonesia
mengikuti rumusan ketetapan hukumnya. Aliran hukum Syafi'iyah mendefinisikan
usia pubertas adalah tujuh tahun.25 Dalam KHI telah diatur bahwa hak asuh anak-
anak berusia 11 ke bawah diberikan kepada pihak ibunya dan anak-anak berusia 12
ke atas diperbolehkan memilih dengan siapa mereka ingin tinggal di antara
keduanya.26 Di Pengadilan Agama Indonesia, permasalahan hak asuh dapat
diselesaikan dengan mengajukannya ke pengadilan secara terpisah atau sebagai
bagian dari sidang kasusn perceraian. Kasus hak asuh sebagian besar diajukan oleh
pihak perempuan. Dalam kasus hak asuh (custodian) sendiri, pihak perempuan bisa
menghadapi dua tantangan: pertama adalah tantangan untuk mendapatkan hak atas
hak asuh, sedangkan lainnya benar-benar dapat diklaim jika hak asuh telah diberikan
kepada pihak perempuan oleh pengadilan.
Berkaitan tantangan pertama, masalah bisa timbul ketika suami berpendapat
bahwa permohonan perceraian dimotivasi oleh perilaku istrinya, umpamanya, dengan
maksud si suami untuk memenangkan hak asuh mungkin beralasan bahwa istri tidak
cocok untuk diajak bersama-sama membesarkan anak/anak-anaknya karena si istri
sering meninggalkan rumah untuk bekerja atau karena berbuat amoral dalam sudut
pandang keagamaan. Setelah seorang perempuan telah memenangkan hak asuh atas
anakpun, hal yang bisa terjadi adalah mantan suami menolak untuk menyerahkan

23
Asha Bajpai, Custody a d Guardia ship of Childre i I dia , Family Law Quarterly 39
(2), 2005, 441–457.
24
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillatuhu, 7308. Lihat juga Al-Jaziri, Al-Fiqh
ala al-Madhahib al-A ba a, 597–598.
25
Wahbah al-Zuhayli, Al-Fiqh al-Islamiyy wa Adillatuhu, 7322.
26
Pasal 105 KHI. Lihat juga Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity,
144–145.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 18
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

anak/anak-anak, atau memberikan tunjangan untuk anak/anak-anak tersebut tidak


teratur atau bahkan tidak sama sekali.
Keputusan Pengadilan Agama Indonesia yang berkaitan dengan permasalahan
hak asuh pada umumnya menekankan kepentingan terbaik buat anak/anak-anak,
sebagaimana ditekankan dalam KHI. Namun, rumusan putusan ini berhulu pada
interpretasi hakim tunggal terkait apa yang merupakan ‘kepentingan terbaik’,
sebagaimana konklusi yang diutarakan Bajpai dalam penelitiannya,27 gagasan yang
begitu abstrak. Sejumlah keputusan dalam kasus yang saya telah teliti memang
menyatakan bahwa keputusan tersebut dibuat untuk ‘kepentingan terbaik bagi
anak/anak-anak’. Namun, karena setiap kasus memiliki karakter yang berbeda secara
alamiah, maka sulit untuk menarik kesimpulan umum tentang alasan yang
mendasarinya. Hakim dalam membuat keputusan menyebutkan sejumlah faktor atau
alasan untuk pemberian atau menolak hak asuh. Akan tetapi, yang tampak jelas
adalah keputusan pengadilan sering menguntungkan pihak-pihak yang mampu
bernegosiasi atau mempengaruhi dan mengubah keputusan hakim secara efektif dan
kepentingan anak-anak kurang terwakili oleh produk hukum di pengadilan.
Dari 13 kasus hak asuh yang disidangkan di pengadilan Tangerang, Serang
dan Cianjur, keputusan yang menguntungkan pihak perempuan terjadi ketika masalah
hak asuh diajukan bersamaan pengajuan gugat cerai (permohonan dilakukan oleh
perempuan). Sedang kasus hak asuh yang diajukan secara terpisah dari kasus
perceraian, lima keputusan oleh Pengadilan tidak mengabulkan pihak istri
memdapatkan hak asuh. Dua dari lima perempuan yang ditolak hak asuhnya oleh
Hakim di pengadilan tingkat pertama disebabkan ketidakmampuan bernegosiasi
dalam persidangan atau ketidakmauan mengajukan banding ke pengadilan yang lebih
tinggi. Dalam permohonan perceraian, ada salah satu perempuan meminta hak asuh
anaknya yang berusia empat tahun, tetapi ditolak oleh Pengadilan karena kerjanya di
luar rumah. Kendati pihak ibu si anak yang bekerja di luar rumah telah
menyampaikan alasan-alasan kuat dan juga telah mendapat hak asuh di masa lalu
(hak asuh sebelum perceraian: penerjemah), contoh-contoh alasan seperti ini
27
Bajpai, Custody a d Guardia ship of Childre i I dia , .

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 19
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

menandakan bahwa dalam hak asuh merupakan bentuk alasan yang tidak wajar
(uncommon) bagi seorang hakim untuk mempertanyakan kapasitas perempuan
bersangkutan sebagai pihak yang tepat untuk merawat tumbuh kembang anak/anak-
anak.28 Dalam hal ini, prinsip ‘kepentingan terbaik untuk anak’ tidak begitu jelas atau
terdefinisikan dengan baik. Hal yang dikemukkan sebagai tantangan kedua kaum
perempuan adalah ‘karakter buruk’ sebagai ibu, alasan yang diajukan pihak suami
secara tersirat menuduh bahwa pihak istri telah menipu dirinya. Kebanyakan hakim
setuju dengan tuduhan suami tersebut bahwa dia bukanlah model ibu yang baik dan
patut jadi teladan, serta menegaskan bahwa pihak hakim telah menimbang
kepentingan terbaik untuk anak: pihak yang mendapat hak asuh harus mampu
membesarkan anak secara fisik, mental, spiritual dan sosial sesuai cara-cara yang
‘normal’. Mereka beranggapan bahwa jika mereka memberikan hak asuh kepada ibu,
maka anak tersebut bisa tumbuh dengan baik secara fisik tapi tidak secara
spiritualitas.29

3.4 Mencapai Keadilan Lebih Baik: Seperti Apa dan Bagaimana? Pendampingan
Hukum dan Pelayanan Hukum yang Lebih Baik
Pusat pemberdayaan perempuan ini telah membantu perempuan Indonesia
untuk menjadi lebih sadar terkait kedudukan legal mereka. Pusat pemberdayaan
perempuan ini danai oleh, dan bekerja sama dengan donatur nasional dan asing, pusat
ini memberikan advokasi kepada masyarakat. Selain itu, Kementerian Agama sejak
tahun 2006 telah menjalankan program khusus berkaitan Pengetahuan Hukum Islam

28
Seto Mulyadi, konsultan senior Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Anak)
dan ketua umum Komisi, menyebut bahwa Komite telah menerima sejumlah pengaduan yang
dilayangkan kaum perempuan yang kehilangan hak asuh terhadap anak/anak-anak mereka yang
berusia di bawah 12 tahun dan melaporkan kasus-kasus yang diterimanya kepada Komisi
Yudisial. Dia menyebutkan bahwa di tahun 2012 dia menerima 12 pengaduan hak asuh yang
mana pihak perempuan (ibu) telah diabaikan hak-haknya oleh hakim dengan berbagai latar
belakang kasus. Lihat Cor elus Eko Susa to, Kak Seto Aduka Masalah Hak Asuh Anak ke KY ,
micom, 31 Oktober 2012,
http://article.wn.com/view/2012/10/31/Kak_Seto_Adukan_Masalah_Hak_Asuh_Anak_ke_KY/
(diakses pada tanggal 12 Desember 2012).
29
Wawancara secara privat dengan YL, Tangerang, 2010. Lihat Putusan No. 484.
Pdt.G/2010/Tgr.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 20
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

bagi Brides dan Grooms (Kursus Calon Pengantin/Suscatin) yang digelar di Kantor
Urusan Agama (KUA). Signifikansi dan kewenangannya adalah wilayah Posko
Bantuan Hukum (posbakum) yang beroperasi sejak 2011 di lingkungan pengadilan
dan dijalankan oleh Pemerintah, dan PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga), yaitu
sebuah LSM yang yang bergerak untuk mendukung pemberdayaan perempuan kepala
keluarga dalam hal memperoleh hak-hak legalnya.30 Sebagai contoh, sejak didirikan
pada tahun 2012, empat bulan pertama berdirinya, Pos Bantuan Hukum wilayah
Cianjur telah memberikan pendampingan hukum kepada lebih dari 220 orang,31
mayoritas dari jumlah tersebut adalah perempuan yang membutuhkan pendampingan
hukum.
Terlepas dari meningkatnnya layanan pendampingan hukum, pelayanan yang
lebih baik di pengadilan juga berdampak pada akses yang lebih besar terhadap
keadilan bagi kaum perempuan. Hal ini bisa diwujudkan sebab didukung oleh
komunitas masyarakat internasional secara luas, termasuk dukungan the Australian
Family Court di lingkungan Pengadilan Agama di Indonesia yang berusaha untuk
meningkatkan layanannya. Lembaga peradilan sendiri telah menerima peningkatan
kucuran anggaran dari APBN pada tahun 2008 dan 2009, dan kemudian telah
menjalankan progam advokasi ‘Prodeo’ (bantuan pendampingan hukum bagi
masyarakat miskin/gratis) dan program Sidang keliling, yang sebagian besar
ditujukan untuk membantu kaum perempuan miskin. Bantuan hukum ‘Prodeo’ secara
luas dan baik juga dimanfaatkan oleh kaum perempuan. Dalam program Sidang
Keliling, hakim melakukan safari ke daerah-daerah terpencil untuk menyidangkan
dan mendengarkan berbagai kasus. Program ini digagas karena melihat fakta bahwa
Indonesia memiliki banyak daerah terpencil yang mana transportasi merupakan
kendala yang membuat enggan orang-orang yang tinggal di pelosok untuk datang ke
pengadilan. Dalam laporan tahunan pada 2012, Pengadilan Cianjur melaporkan
bahwa antara Januari sampai April telah melakukan 183 kasus sidang bersifat prodeo

30
Cate Sumner dan Tim Lindsey, Courting Reform: Justice for the Poor (Lowy
Institute, 2010), 42–44.
31
Lapora Pelaksa aa Sida g Kelili g, Prodeo da Pos aku Tahu
Bulan Januari s/d April 201 , Pengadilan Agama Cianjur. 8 Mei 2012.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 21
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

dan 133 kasus dalam Sidang Keliling,32 termasuk menyidangkan kasus perceraian
dan pernikahan. Selain itu, hakim di tiga pengadilan tersebut juga sering berperilaku
lunak terkait jadwal sidang, dan sering kali bersedia menjadwal ulang persidangan
untuk melakukan hearings pekan depan.

3.5 Sensitivitas Gender di antara Hakim: Tunjangan Suami-Istri setelah Talaq


Sensitivitas gender di kalangan hakim merupakan faktor lain dalam hal
mendapatkan akses yang lebih bermartabat bagi perempuan terhadap keadilan.
Meskipun saya telah menyebutkan di atas bahwa hakim belum membuka diri
terhadap hak-hak perempuan dalam kasus poligami, sebagian apa yang ingin dicapai
dalam sesi pelatihan yang diselenggarakan oleh sejumlah pusat kajian yang bekerja
sama dengan donatur internasional, seperti Kedutaan Besar Kerajaan Belanda dan
Asian Foundation, sejumlah hakim dari pengadilan Serang, Tangerang dan Cianjur,
dewasa ini lebih sensitif terhadap isu-isu gender, terutama dalam hal perceraian.
Hampir semua kasus perceraian yang diprakarsai oleh istri yang disidangkan di tiga
pengadilan ini berakhir dengan adanya persetujuan.
Sensitivitas gender di kalangan hakim juga dapat ditelusuri dalam upayanya
untuk melaksanakan putusan bahwa pihak istri harus menerima tunjangan setelah
perceraian. Dari 18 kasus yang disidangkan di pengadilan Tangerang dan Serang,
hakim menyatakan bahwa suami diwajibkan membayar tunjangan kepada pelayanan
istri selama tiga bulan dan mut’ah (biaya penghiburan) sebelum mereka diizinkan
untuk mengucapkan kalimat perceraian (talak) di pengadilan. 33 Namun, hakim juga
dapat membuat keputusan yang berbeda dan membebankan biaya perkara kepada
pihak suami, sehingga dia bisa mengucapkan talak tanpa membayar perkara sidang ke
pengadilan. Ini biasanya terjadi dengan maksud dari hakim bahwa suami nantinya
diharapkan untuk memenuhi kewajiban mereka.

Lapora Pelaksa aa Sida g Kelili g, Prodeo da Pos aku


32
Tahu
Bula Ja uari s/d April , Pengadilan Agama Cianjur, 8 Mei 2012.
33
Berdasarkan catatan dari persidangan yang digelar di Pengadilan Agama Serang dan
Tangerang dan wawancara dengan seorang Hakim di Serang dan Tangerang, September, Oktober
dan November 2010.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 22
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

….………………………………………………………………………………………
….………………………………………………………………………………………
….………………………………………………………………………………………
………………………………………………………………………………………….
Dalam kasus lainnya yang melibatkan seorang perempuan yang diceraikan
suaminya dan menyadari hak-haknya paska perceraiannya, salah satu tuntutannya
tidak dikabulkan, karena menurut hakim berlebihan, tidak logis dan tidak sesuai
aturan perundang-undangan, yaitu tuntutan adanya uang sakit hati (kompensasi
finansial untuk patah hati).
Lebih lanjut, hakim juga menemui bentuk tuntutan lain pihak perempuan
terkait tunjangan suami dan hadiah penghiburan dan meminta pihak suami untuk
melakukan pembayaran seketika di ruang sidang yangsudah pihak suami lakukan.
Mengingat kasus ini, ada beberapa bukti bahwa, meskipun banyak suami tidak
memenuhi kewajiban nafkah mereka karena kemampuan finansial yang tidak
memadai, perubahan sikap para hakim di Daerah telah membantu meningkatkan
terhadap akses keadilan bagi kaum perempuan naik beberapa tingkat.

4. Peraturan Daerah Berbasis Syariah: Peraturan Jilbab di Cianjur


Kewajiban bagi PNS di Cianjur untuk menyesuaikan diri dengan standar
berpakaian Islami ketika di tempat kerja merupakan implementasi lebih lanjut dari
Perda tahun 2006 tentang keinginan membangun masyarakat yang beriman.
Kebijakan seperti ini merupakan contoh dari upaya untuk mengontrol perilaku
perempuan di tempat umum, dan – seperti keinginan di wilayah lainnya di Indonesia
– menyebabkan perdebatan luas dan pro-kontra. Pihak yang mendukung kewajiban
mengenakan jilbab terhadap mereka yang menentang mendasarkan argumennya pada
konsep ‘maslahat’ (kebaikan umum) perempuan, yang dipahami sebagai penciptaan
rasa aman perempuan dan perlindungan martabatnya.
Kebijakan yang terjadi di Cianjur, yang juga dikenal sebagai kota santri,
dikatakan oleh Pemda sebagai respon untuk mengatasi degradasi moral yang dihadapi
generasi muda. Untuk mempromosikan nilai-nilai moral, Pemda Cianjur, atas

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 23
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

prakarsa bupati Warsidi, merumuskan sejumlah inisiatif yang diawali dengan


program Gerbang Marhamah untuk menghidupkan kembali norma-norma Islami.34
Program ini dikampanyekan ke seluruh masyarakat Cianjur dan karena itu menjadi
populer. Sebuah gerbang besar ketika anda memasuki kota Cianjur terdapat tulisan
'Gerbang Marhamah' di atasnya.
Sejumlah peraturan pun dikeluarkan untuk mendukung pelaksanaannya, salah
satunya adalah regulasi berkaitan cara berpakaian. Meskipun hanya berlaku bagi PNS
perempuan yang harus mengenakan jilbab, proyek Gerbang Marhamah utamanya
bertujuan menyasar semua wanita Muslim. Kata-kata akhlak, yang berarti 'perilaku
yang baik', sering digunakan dalam dokumen dan peraturan resmi Pemda Cianjur.
Kata ini disebut di dalam seluruh ‘visi’ kota Cianjur: Cianjur sehat, lebih smart, lebih
sejahtera, dan lebih baik dalam berperilaku, dan disebut juga dalam ‘misinya’, salah
satunya adalah untuk mengintensifkan ‘pembangunan moral yang lebih baik di dalam
masyarakat, bangsa, dan negara’. Akhlak juga digunakan dalam sejumlah slogan.
Salah satunya, ditampilkan pada billboard besar di kota, yang mengajak warga
Cianjur untuk meningkatkan kualitas moralnya dan menjadi model percontohan
Muslim: ‘tingkatkan kualitas moral dan keimanan Anda agar menjadi lebih
sempurna’. Slogan tersebut pada dasarnya menyasar kepada seluruh warga Cianjur
baik laki-laki atau perempuan, sedangkan salah satu slogan yang terpampang di
billboard raksasa lainnya khusus mengajak perempuan Muslim untuk ‘menutup
kepala mereka’, karena menutup kepala diasumsikan sebagai tanda kesalehan. Slogan
itu berbunyi, ‘Jilbab adalah tanda yang membedakan perempuan Muslim yang saleh’.
Penelitian terbaru yang dilakukan Komnas Perempuan, the Centre for the
Study of Religion and Culture (CSRC) dan Wahid Institute memberikan perhatian
terhadap tiga kasus yang menimpa tiga perempuan non-Muslim, yang bekerja di
sebuah kantor pos, guru sekolah, dan guru di SMA Negeri, yang dipaksa untuk
mengenakan jilbab. Kebijakan tersebut mengklaim bahwa ketika menjadi siswa non-

Jaih Mu arak, Geraka Pelaksa aa Syariah Isla di Cia jur , paper


34

dipresentasikan dalam Konferensi Tahunan Pascasarjana PTAIN se-Indonesia,


diselenggarakan oleh Program Pascasarjana IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan Kementerian
Agama, 1–4 Desember 2004, Banda Aceh NAD.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 24
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

Muslim maka tidak ada kewajiban menutupi kepalanya, tetapi seorang guru non-
Muslim tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti peraturan, karena sebagai guru
harus menjadi teladan bagi siswa mereka.
Pada kenyataannya, tampaknya tidak akan ada suara kontra terhadap aturan
mengenakan jilbab ini, sejalan dengan meningkatnya jumlah wanita yang terlihat
mengenakan jilbab sebagai kewajiban agama. Sebagian besar wanita Muslim di
Cianjur yang saya wawancarai tampaknya menganggap kebijakan mengenakan jilbab
sebagai hal positif, sementara di kantor-kantor pemerintahan, seperti yang di kantor
Pemda dan DPRD, di kantor Polisi dan Rumah Sakit umum, Perda tersebut diterima
secara meluas. Hanya 14 perempuan yang bekerja di administrasi daerah yang saya
wawancarai menyatakan ketidaksetujuannya terkait regulasi tersebut. Di RSUD
Cianjur, empat anggota staf senior yang saya melakukan pembicaraan kepadanya
menyatakan kesetujuannnya dengan kebijakan mengenakan jilbab. Sebagaimana
dikatakan oleh salah satu dari staf senior tersebut bahwa semua karyawan perempuan
adalah Muslim, termasuk perawat dan dokter, semua memakai jilbab.35 Di kantor
polisi juga sama, tapi dengan satu perbedaan penting. Semua anggota Polisi
perempuan yang bekerja di sana mengenakan jilbab, sebagian kecil saja yang tidak.
Semua anggota Polisi bernaung di bawah institusi Polri, bukan di bawah kewenangan
Pemda Cianjur. Oleh karena itu, mereka mengatakan bahwa mereka tidak terikat oleh
Perda Cianjur tersebut. Para PNS sendiri memperlakukan semua perempuan yang
datang ke kantor pelayanan tanpa tebang pilih, apakah mereka mengenakan jilbab
atau tidak, tetapi perempuan yang tidak menutupi kepalanya diingatkan akan adanya
program Gerbang Marhamah dan diminta untuk mengenakan jilbab pada kunjungan
berikutnya.
Pengadilan Agama adalah lembaga negara lainnya di Cianjur yang mana staf-
staf perempuannya diharuskan memakai jilbab. Staf-staf pengadilan juga
memperlakukan pihak-pihak berperkara yang melibatkan kaum perempuan di dalam
sidang pengadilan secara sama, tetapi pihak pengadilan sering merekomendasikan

35
Wawancara dengan DK, Kepala Bagian Departemen Informasi dan Hubungan
Masyarakat RSUD Cianjur, Cianjur, 17 Desember 2011.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 25
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

untuk mengenakan jilbab pada kehadiran mereka berikutnya.36 Walaupun begitu,


hanya beberapa hakim yang tampaknya mengetahuii keberadaan peraturan tersebut.
Salah satu alasan banyak hakim tidak mengetahui regulasi di lingkungan pengadilan
daerah Cianjur tersebut mungkin disebabkan banyak dari mereka berasal dari luar
Cianjur. Hal itu dikarenakan hakim-hakim yang dipilih dan ditempatkan di daerah
yang terdapat kekosongan, dan seringkali hakim-hakim dimutasi dari satu pengadilan
yang pengadilan daerah lain.37 Bisa dikatakan, semua hakim perempuan mengenakan
penutup kepala.

5. Relevansi Hukum Berbasis Syariah di Indonesia dengan Perjanjian-


Perjanjian Internasional: Perdebatan dan Analisa Kritis
Pada bagian ini, KHI dan regulasi-regulasi lokal berbasis syariah akan
dianalisis dari dua sudut pandang (perspectives). Pertama, dengan
mempertimbangankan sejumlah perjanjian internasional yang telah diratifikasi
Indonesia, seperti Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of all Forms of
Discrimination Against Women/CEDAW), Konvensi Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik (The International Convention on Civil and Political Rights/ICCPR), dan
Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak (The International Convention on the
Rights of the Child/CRC).38 CRC adalah perjanjian internasional yang menegaskan
hak-hak dasar anak.39 Sedangkan CEDAW pertama kali diberlakukan pada tahun
1981 dan mengharuskan semua negara pihak untuk menghapuskan segala bentuk

36
Berbeda dengan pengadilan Ciamis yang sebagaimana menurut salah satu
koresponden kami bahwa pihak Pengadilan memiliki jilbab cadangan di kantor untuk dikenakan
pihak perempuan yang berperkara yang tiba di sidang tanpa satupun jilbab.
37
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum
Islam and Legal Practices of the Indonesian Religious Courts (Amsterdam: Amsterdam University
Press, 2010).
38
CEDAW telah diadopsi pada 18 Desember 1979 dan diundangkan pada tanggal 3
September 1981, Indonesia meratifikasi CEDAW pada 1984. ICCPR diadopsi pada 16 December
1966, diberlakukan pada 23 Maret 1976, dan telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006.
39
CRC telah diadopsi oleh PBB pada 20 November 1989, diundangkan pada 2 September
1990, dan telah diratifikasi oleh Indonesia pada 1990.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 26
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

diskriminasi atas dasar gender di ruang publik dan privat.40 ICCPR menekankan
kepada laki-laki dan perempuan seyogyanya menikmati akses atas kesetaraan di
dalam hak-hak sipil dan politik41 dan hal ini mengharuskan prinsip-prinsip
penyelesaiannya dalam bentuk kepastian hukum bagi suatu tindakan hukum.42
Sedangkan sudut pandang kedua berkaitan pendapat para aktivis gender dan suara-
suara perempuan lainnya.

5.1. Poligami: Regulasi dan Praktik Aktual


5.1.1 Hak atas Kepastian Hukum
Indonesia telah melakukan pembenahan aturan legal yang serius guna
membatasi praktek poligami. Namun, sebagian besar hakim Pengadilan Agama pada
dasarnya menerima praktek tersebut dan kemungkinan yang bisa terjadi adanya
ketidaksetujuan pihak istri dapat diabaikan dalam kasus-kasus tertentu. Fakta lainnya,
keberadaan beberapa ulama lokal yang terus membantu suami-suami untuk
melakukan poligami juga menunjukkan bahwa negara sejauh ini gagal untuk
menciptakan kepastian hukum. Selain itu, hakim sering meyakini bahwa praktek
poligami lebih baik dilakukan ketimbang membiarkan para suami yang rentan
terhadap perzinaan. Penerimaan yang terus berlanjut dan persetujuan terhadap
praktek poligami oleh hakim dan oleh ulama lokal di Indonesia telah bertentangan
dengan peraturan internasional. Hukum dan peraturan tentang poligami dan
aplikasinya. Oleh karena itu, harus ditinjau kembali karena kebijakan-kebijakan
mereka telah mencegah kaum perempuan dari mendapatkan hak atas kepastian
hukum, hak yang dilindungi oleh CEDAW dan pemerintah Indonesia. Kajian tersebut
harus menjawab pertanyaan apakah pendukung poligami menganggap bahwa
poligami adalah hak dari agama atau doktrin, atau hak legal bagi kaum laki-laki.
Pertanyaan tersebut membutuhkan jawaban yang tepat dalam rangka membangun
kepastian hukum, karena banyak perempuan di Indonesia bingung, apakah mereka

40
Pasal 2 CEDAW.
41
Pasal 3 Kovenan Sipol.
42
Pasal 15 Kovenan Sipol.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 27
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

memiliki hak atau tidak untuk menyuarakan penentangan terhadap poligami.


Tinjauan tersebut juga harus terfokus pada perlindungan terhadap standar hidup istri
pertama. Tentu tidaklah wajar bagi istri pertama yang dipaksa untuk menerima
standar hidup yang lebih rendah atau untuk mengakhiri pernikahannya karena
suaminya berpoligami.

5.1.2 Hak atas Kesetaraan


Hukum serta peraturan-peraturan yang ada, dan praktik poligami juga telah
melanggar artikel CEDAW tentang kesetaraan. CEDAW menegaskan kesetaraan bagi
semua orang, baik bagi pria ataupun wanita, dalam perkawinan. Pasal 16 CEDAW
menyatakan bahwa:
Negara-negara Pihak wajib melakukan langkah-tindak yang tepat untuk
menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam semua urusan yang
berhubungan dengan perkawinan dan hubungan keluarga atas dasar
persamaan antara lelaki dan perempuan, dan khususnya akan menjamin:
(a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan; (b) Hak yang
sama untuk memilih suami secara bebas dan untuk memasuki jenjang
perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan sepenuhnya;

Pasal 59 KHI menyatakan bahwa persetujuan dari istri dapat ditiadakan ketika
terdapat kondisi tertentu, yang mana pengadilan seringkali tidak memberi perhatian
kepada hak-hak si istri untuk terpenuhi. Selain itu, meski dalam beberapa kasus tidak
ada kriteria yang memperbolehkan pemberian izin poligami, hakim tidak diharuskan
untuk mencari tahu lebih dalam terkait adanya persetujuan dari istri tersebut diberikan
secara tulus atau tidak. Meskipun hampir semua perempuan yang diwawancarai
mengatakan bahwa mereka setuju dengan adanya hukum yang mengizinkan poligami,
tetapi mereka juga menyatakan bahwa jika suami mereka sendiri ingin melakukan
poligami, mereka akan keberatan. Realita seperti ini menunjukkan bahwasanya tidak
banyak istri yang dengan tulus akan menyetujui kehendak suami mereka untuk
melakukan poligami, meski suami mungkin saja di pengadilan memperoleh
persetujuan yang diperlukan dari istrinya. Sekali lagi, fakta ini menggambarkan
sebuah ketidaksetaraan/ketimpangan (inequality). Dalam prakteknya, poligami

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 28
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

tampaknya dianggap sebagai hak laki-laki, dan menyisakan sedikit pilihan selain
setuju bagi pihak perempuan. Mengatakan ‘tidak’ bisa berarti akhir dari pernikahan,
di sisi lain perempuan sendiri sering memiliki ketergantungan secara finansial.
Dalam konteks ini, UU No. 23/2004 tentag Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (UU KDRT) perlu dijadikan rujukan. UU KDRT sendiri telah
memberikan aturan rinci dalam kaitannya dengan bentuk kekerasan dalam rumah
tangga dan mengkategorikan kekerasan menjadi empat jenis: fisik, mental, seksual,
penelantaran atas dukungan keuangan dan pengasuhan anak.43 Praktek poligami
mencipatakan penderitaan bagi istri dapat dikategorikan sebagai bentuk kekerasan
mental. Peneliti sebagaimana Nurmila dan Brenner telah lakukan menunjukan bahwa
poligami memiliki dampak buruk pada pernikahan yang terjadi.44 Meskipun faktanya
demikian, tampaknya banyak hakim tidak mengacu dan mempertimbangkan
Konvensi tersebut dan UU No. 23/2004, dan memandang poligami sebagai bentuk
kekerasan dalam rumah tangga. Hakim dalam kasus yang saya teliti cenderung
merujuk pada kaidah hukum fiqh dan ayat-ayat Al-Qur'an, dan menerapkan aturan-
aturan dalam KHI secara longgar.45

5.2. Kewajiban Mengenakan Jilbab


Jika sebelumnya kita mengacu pada CEDAW dan ICCPR, kewajiban untuk
memakai jilbab oleh beberapa aturan daerah mungkin melanggar nilai-nilai
fundamental HAM. Setidaknya, hak-hak dilanggar termasuk hak kebebasan beragama
dan hak kebebasan berekspresi dan kesetaraan.

43
Lihat Pasal 5, 6, 7, dan 8 UU No. 23/2004 tentang KDRT. Lihat juga Ratna Batara
Munti, Advokasi Kebijakan Pro Perempuan: Agenda Politik untuk Kesetaraan dan Demokrasi,
(Jakarta: Yayasan Tifa dan PSKW Pasca Sarjana UI, 2008).
44
Lihat, misalnya, Nina Nurmila, Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating
Polygamy in Indonesia Lo do a d Ne York: ‘outledge, 9 ; Syza e Bre er, Holy
Matri o y? The Pri t of Politi s of Polyga y i I do esia , i A dre N. Wei trau , Islam and
Popular Culture in Indonesia and Malaysia (Londonand New York: Routledge, 2011), 212–234;
a d, Naoko Ya ada, I tert i i g Nor s a d La s i the Dis ourse of Polyga y i Early
Twentieth Century West Su atera , dala Yoko Hayami (ed.), The Family in Flux in Southeast
Asia: Institution, Ideology, Practice (Japan: Kyoto University Press, 2012), 63–86.
45
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, 178–179.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 29
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

5.2.1 Hak atas Kebebasan Beragama


Kovenan Sipol, yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2006, menyatakan
bahwa ‘tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya’.
(Pasal 18 Kovenan Sipol).46 Komentar Umum Nomor 22 Dewan HAM PBB (UN
Human Right Council/UN HRC) telah membuat pernyataan untuk mengklarifikasi
rumusan Pasal tersebut dan menyatakan bahwa pemerintah dapat membatasi hak
kebebasan beragama hanya jika diperlukan untuk melindungi keselamatan publik,
ketertiban umum, kesehatan atau hak-hak dasar dan kebebasan pihak lain. Setiap
pembatasan haruslah berdasar pada prinsip non-diskriminasi dan proporsionalitas.47
Kewajiban untuk mengenakan jilbab itu telah melanggar prinsip hak kebebasan
beragama, seperti halnya otoritas pemerintahan yang telah membatasi hak untuk
kebebasan keyakinan beragama seseorang. Dalam hal ini saya setuju dengan Asma
Jahangir, yang berpendapat bahwa di Aceh, otoritas telah memaksa warganya untuk
menyesuaikan diri dengan satu interpretasi agama terkait berpakaian yang sesuai
tanpa adanya kebebasan untuk memilih.48 Bagaimanapun, di dalam hukum Islam
(fiqh: penulis) terdapat khilafiyah (perbedaan pendapat) tentang topik kewajiban
memakai jilbab dikarenakan ayat-ayat Al-Qur'an yang membicarakan tentang

46
Pasal 18 Kovenan Sipol.
47
Komentar Umum No. 22, Dewan HAM PBB.
48
Seperti dikutip dari laporan Human Rights Watch terkait penerapan syariah di Aceh,
Badan pemantau khusus PBB tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, Asma Jahangir,
berpendapat bahwa negara telah melanggar hukum HAM internasional ketika menjatuhkan
sanksi agama bagi pihak yang tidak mematuhi ajaran agama. Jahangir menyatakan bahwa
'penggunaan metode pemaksaan dan sanksi yang diterapkan kepada individu yang tidak mau
mengenakan baju yang menyimbolkan standar keagamaan dilihat sebagai sanksi oleh agama
umumnya melanggar hukum manusia internasional'
penggunaan metode pemaksaan dan sanksi yang diterapkan kepada individu yang tidak
ingin mengenakan busana sesuai standar simbolisasi keagamaan tertentu harus dilihat sebagai
sanksi keagamaan, yang secara umum telah melanggar hukum HAM internasional , lihat Human
Rights Watch, Policing Morality (2010), 64–65.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 30
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

mengenakan jilbab memiliki beragam interpretasi.49 Muslimah, oleh karena itu,


seyogyanya diberikan pilihan terkait apa yang menjadi pandangan keyakinan mereka
sendiri. Sedangkan fungsi negara sendiri untuk melindungi hak-hak para perempuan
berupak hak untuk memilih padangan keyakinannya.50

5.2.2 Hak atas Kebebasan Berekspresi dan Kesetaraan


Pasal 3 Kovenan Sipol menyatakan bahwa ‘laki-laki dan perempuan untuk
menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini’.51 Rumusan
dalam Pasal ini menegaskan keharusan adanya kesetaraan bagi semua. Pasal ini juga
melindungi kebebasan berekspresi melalui simbol-simbol, termasuk melalui pakaian,
dan kebebasan untuk tampil di ranah publik tanpa rasa takut. CEDAW juga
berhubungan dengan hal-hal ini dan menyatakan bahwa negara harus ‘menahan diri
dari melakukan suatu tindakan atau praktek diskriminasi terhadap perempuan’.52
Meski, pengecualian dengan kasus yang terjadi di Aceh, regulasi tentang
mengenakan jilbab di Cianjur hanya berlaku hanya bagi PNS perempuan dan
penerapannya tidak seketat di Aceh, mengatur tentang bagaimana cara perempuan
berbusana adalah bentuk pelanggaran hak asasi. Seharusnya, negara harus melindungi
perilaku setiap warga negara asalkan tidak merugikan kehidupan publik. Cara
pandang terkait busana ‘tidak pantas’ perempuan memiliki landasan moral lemah dan
membahayakan kaum perempuan dan tidak memiliki dasar argumentasi kuat; tidak
49
Untuk mengetahui terkait perbedaan pandangan (khilafiyah) terkait jilbab,
lihat Ja al A. Bada i, The Musli Wo a s Dress A ordi g to the Qurʾa a d
Su ah , Islamic Propagation Centre International, 1998. Lihat juga S. Mutawalli ad-
Darsh, Hijab o Ni ab: Musli Wo e ’s D ess, Islamic Book Trust, 1997. Di Indonesia,
perbedaan pandangan juga terjadi di antara ulama umat Islam. Quraish Shihab, sebagai
contoh, berpendapat bahwa jilbab bukan merupakan kewajiban. Lihat Quraish Shihab,
Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 32, dan Wawasan al-Qu a (Bandung: pt.
Mizan Pustaka), 228.
50
Pasal 18 ayat (1) Kovenan Sipol. Untuk pembahasan lebih mendalam terkait
topik ini, lihat C. Evans, The Right to Freedom of Religion under International Law
(Oxford: Oxford University Press, 2001).
51
Pasal 3 Kovenan Sipol.
52
Pasal 2 CEDAW.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 31
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengendalikan fisik warga negaranya, yaitu fisik
perempuan. Negara yang mewajibkan perempuan untuk menyembunyikan tubuhnya
merupakan bentuk penindasan terhadap perempuan, diskriminasi dan bentuk adanya
ketidaksetaraan gender, dan merugikan bagi mereka yang tidak mematuhi aturan.
Lebih jauh, meskipun tidak ada bukti yang jelas tentang bentuk perlawanan dari
kalangan perempuan di Cianjur, otoritas pemerintahan yang mencoba mengontrol
cara berbaju seseorang adalah bentuk pelanggaran hak berekspresi di ruang publik.
Mulia, misalnya, telah menyoroti hal ini dan menyatakan bahwa Perda Syariah
dipengaruhi oleh menguatnya subordinasi kaum perempuan, pembatasan hak-hak
mereka terkait memilihkan cara berpakaian mereka, membatasi kebebasan ruang
gerak mereka dan mobilitas kaum perempuan, dan membatasi kegiatan mereka di
malam hari.53

5.3. Perkembangan Aktual Hukum, Hak Asasi Manusia dan Pengertian Gender:
Judicial Review untuk Melindungi Hak Perempuan dan Anak
Aktivis gender dan hak-hak perempuan yang berafiliasi dengan sejumlah
lembaga dan LSM, seperti Rahima, Fahmina, Puan Amal Hayati, Komisi Nasional
Perempuan (Komnas Perempuan), dan LBH APIK (Lembaga Bantuan Hukum Pusat
untuk Perempuan), telah berjuang untuk meningkatkan kedudukan legal kaum
perempuan.
Mereka telah mengarahkan daya upaya mereka tidak hanya di lingkup dalam
negeri saja, tetapi juga di komunitas Islam itu sendiri. Sebagai catatan, aktivitas
mereka berusaha untuk mengubah sikap pandang terhadap gender baik di dalam
kalangan intelektual ataupun lapisan akar rumput.54 Mereka mengadakan seminar-
seminar untuk menyebarkan ide-ide mereka tentang kesetaraan gender dan
menantang interpretasi tradisional ajaran Islam tentang gender, mereka juga

53
Lihat Musdah Mulia, Perda Shariat da Pe i ggira Pere pua , akalah
dipresentasikan di Konferensi Indonesiaa tentang Agama dan Perdamaian, tanggal 11 August
2006, www.icrp-online.org (diakses pada 25 Oktober 2012).
54
Sally White dan Maria Ulfah A shor, Isla a d Ge der i Co te porary I do esia ,
139.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 32
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

mengajak kalangan laki-laki dan perempuan untuk lebih ‘sensitif terhadap isu gender’
dalam tindakan dan pemikiran.55 Untuk tujuan yang sama, mereka juga menerbitkan
jurnal yang berfokus pada isu-isu gender. Dalam melakukannya, mereka berusaha
memberikan kontribusinya pada ranah perdebatan publik dan kebijakan publik
tentang perempuan dan isu-isu gender.
Di antara hasil usahanya yang cukup signifikan yang dilakukan oleh para
aktivis hak-hak perempuan adalah usulan Counter Legal Drafting57.1 atas KHI dan
draf untuk Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Sayangnya draf pembaruan KHI ini diabaikan, dianggap terlalu kontroversial.56
Sedangkan draf tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga disahkan pada
tahun 2004 sebagai Undang-Undang Nomor 23/2004.
Baru-baru ini dua orang perempuan Indonesia telah mencoba mengajukan
judicial review dalam menanggapi apa yang mereka anggap sebagai bias gender dan
subordinasi perempuan dalam keputusan hakim. Salah satu judicial review
dimohonkan oleh Halimah, mantan istri Bambang Trihatmodjo, salah satu putra
mantan Presiden Soeharto. Halimah merasa bahwa dia telah diperlakukan tidak adil
oleh Pengadilan setelah dia menolak putusan terkait permohonan yang diajukan
suaminya ke Pengadilan untuk menceraikannya dengan alasan terjadi perselisihan
terus menerus. Halimah meyakini bahwa keputusan yang dikeluarkan oleh

55
Lihat ibid. Lihat juga Arskal Salim, Demi Keadilan dan Kesetaraan, 23–40, and
Burhanuddin and Oman Fathurrahman, Tentang Perempuan Islam: Wacana dan Gerakan
(Jakarta: Gramedia Pustaka/ ppim, 2004), 113–152. Lihat juga sejumlah laporan kebijakan yang
ditulis oleh The Asia Foundation pada program pemberdayaan perempuan di
http://asiafoundation.org/.
57.1
Secara harfiah Counter Legal Drafting dapat diterjemahkan secara bebas, yakni
penyusunan/perancangan Peraturan Perundang-undangan. Dari pendekatan hukum, Counter
Legal Drafting adalah kegiatan praktek hukum yang menghasilkan peraturan, sebagai contoh,
pemerintah membuat peraturan perundang-undangan, hakim membuat keputusan Pengadilan
yang mengikat publik swasta membuat ketentuan atau peraturan privat seperti,
perjanjian/kontrak, kerjasama dan lainnya yang mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian
atau kontrak: penerjemah. Lihat M. Dahlan al Barri, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Arkola,
2005 ), 678.
56
Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition, and Identity, 125–130. Lihat juga
White a d A shor, Isla a d Ge der i Co te porary I do esia , .

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 33
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

Pengadilan Agama untuk menyetujui permohonan suaminya tidak memiliki dasar


hukum yang benar dan telah merugikannya, dan mensubordinasikan kedudukannya,
sebagimana disuarakannya. Karenanya, Pengadilan tingkat banding (Pengadilan
Tinggi) menerima argumennya dan membatalkan keputusan Pengadilan tingkat
sebelumnya (Pengadilan Agama). Setelah Halimah memenangkan kasusnya di tingkat
banding, Bambang mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, yang ternyata menolak
pengajuan kasasinya. Bambang tidak menyerah begitu saja dan meminta Mahkamah
Agung untuk melakukan Peninjauan Kembali (PK) keputusan tersebut. Akibatnya,
Mahkamah Agung memutuskan untuk merevisi keputusannya dan menyetujui petisi
untuk menceraikan Halimah. Namun, Halimah tidak menyerah. Dia menelaah
argumen hukum yang digunakan oleh Hakim dan memutuskan untuk mengajukan
judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Dia merujuk kepada Pasal 39 ayat (2f) UU
No 1/1974 tentang Perkawinan juncto Pasal 116 KHI. Keduanya mengatur prosedur
dan alasan-alasan sah perceraian yang mana menetapkan bahwa salah satu alasan
permohonan perceraian dapat disetujui bila mana ada sengketa yang berlarut-larut
atau terus-menerus di antara pasangan. Halimah berpendapat bahwa hingga sekarang
tidak ada penjelasan secara rinci terkait apa yang dimaksud ‘perselisihan dan
pertengkaran terus menerus’ itu. Dengan kata lain, ia mempertanyakan kejelasan tipe
perselisihan yang dipergunakan oleh hakim dalam pertimbangan putusannya untuk
menjadikan alasan sebagaimana permohonan yang dimintakan secara kuat dalam
kasus perceraiannya.57 Halimah mengakui memiliki beberapa perselisihan dan
pertengkaran dengan suaminya, namun pihaknya menegaskan bahwa sumber
perselisihan mereka adalah adanya fakta bahwa suaminya telah menikahi wanita lain,
Mayangsari, seorang penyanyi terkenal.58 Halimah memohon pembatalan Pasal yang
menetetapkan ‘sengketa yang berlarut-larut atau terus-menerus’ sebagai dasar yang
sah untuk perceraian. Upaya Halimah pun tidak berhasil sebagaimana keinginannya
setelah adanya beberapa sesi dengar pendapat dan diskusi, Mahkamah Konstitusi
57
Hali ah Ka il Files Judi ial ‘e ie , The Jakarta Post, 11 Juli 2011.
58
Hali ah Agusti a Ka il Halimah Agustina Kamil telah mengajukan Bukti di dalam
Judicial Review UU Perkawinan , www.mahkamahkonstitusi, 21 Juli 2011 (diakses 7 Agustus
2012).

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 34
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

menolak permintaannya.59 Menurut Mahfud MD, ketua Mahkamah Konstitusi [waktu


itu: penerjemah], Pasal tersebut harus dipertahankan untuk memberikan jalur hukum
bagi pasangan yang ‘karena perselisihan terus menerus’ tidak dapat mencapai tujuan
suci dari adanya pernikahan.60
Judicial review lainnya dimohonkan oleh Machicha Muchtar, yang merupakan
mantan istri siri Murdiono, mantan Sekretaris Negara era Suharto. Tujuan dari adanya
permohonan adalah untuk melindungi hak-hak anak, disamping hak-hak perempuan.
Untuk waktu yang lama Machicha tidak berhasil memperjuangkannya meskipun
berbagai daya upaya dilakukan demi mendapatkan dokumen kelahiran secara legal
untuk anaknya karena lahir di luar status nikah resmi dengan Murdiono, yaitu
dokumen legal yang menyatakan hubungan hukum dengan ayah kandungnya
tersebut. Dia menikah siri dengan Murdiono pada tahun 1993 dan melahirkan seorang
bayi bernama Muhammad Iqbal Ramadhan. Pada saat yang sama, Murdiono juga
terikat oleh perkawinan secara legal dengan istri pertamanya.
Sebagai pasangan siri, Machicha tidak dianggap sebagai pasangan yang sah
secara legal dan berdampak adanya kesulitan untuk mendapatkan dokumen legal bagi
anaknya, termasuk akta kelahiran. Lebih buruk lagi, kemudian Murdiono
menceraikan Machicha menurut tata cara hukum Islam (fiqh) klasik dan menolak
untuk mengakui Iqbal sebagai anaknya. Dia tidak mau memberikan dukungan
finansial untuk Iqbal. Machicha pun akhirnya berpaling ke Pengadilan Agama pada
tahun 2008 untuk memintakan isbat nikah (pengakuan hukum atas sahnya pernikahan
secara resmi) demi mendapatkan status pengakuan hukum anaknya. Tetapi Machica
tidak bisa membuktikan adanya kontrak pernikahannya, karena Murdiono
mengingkari hal itu. Machica pun gagal untuk mendapatkan isbat nikah dan untuk
memperoleh pengakuan formal hubungan hukum anaknya dengan ayah kandungnya.
Di sisi lain, pengadilan dapat memberikan isbat nikah hanya jika kedua belah pihak

59
Ibid. Lihat juga Gugata Ditolak MK, Hali ah tak aka ‘ujuk , Kapa lagi. o ,
Maret 2012 (diakses pada 12 Agustus 2012).
60
Gugata Ditolak MK, Hali ah tak aka ‘ujuk , Maret 2012.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 35
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

menyetujui dengan adanya kehendak mereka masing-masing bahwa mereka telah


melakukan perkawinan siri.
Machicha memutuskan berpaling ke Mahkamah Konstitusi untuk
memohonkan pengujian Pasal 43 UU Perkawinan tersebut. Menurutnya, dia dan
kepentingan anaknya dirugikan oleh Pasal yang mengatur status hukum anak-anak
dan hubungan mereka dengan ibu dan ayah mereka. Pasal tersebut menyatakan
bahwa anak yang lahir di luar nikah hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu dan
keluarga ibunya. Sehubungan dengan masalah ini, Pasal 4 juga harus disebutkan,
Pasal yang menyatakan bahwa anak sah adalah anak yang lahir selama pernikahan
resmi, bisa dipahami anak sah adalah anak yang lahir selama pernikahan tersebut,
bahkan jika kelahiran si anak terjadi setelah bubarnya perkawinan secara legal, atau
jika ia lahir sebagai hasil dari reproduksi teknologi sekalipun seperti bayi tabung
(vitro in fertilization). Machica memenangkan permohonannya. Mahkamah
Konstitusi memutuskan untuk membatalkan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan yang
menyatakan bahwa anak yang lahir di luar nikah juga memiliki hubungan hukum
dengan ayah biologis mereka jika teknologi medis secara meyakinkan dapat
membuktikan ayah kandungnya.61 Mahkamah juga mengambil sikap bahwa pasal
seperti itu itu tidak adil dan tepat untuk menyatakan atau memutuskan bahwa anak
yang lahir di luar nikah memiliki hubungan hukum keperdataan hanya dengan ibunya
dan membebaskan kewajiban pihak laki-laki yang telah melakukan hubungan seksual
yang mengakibatkan kehamilan, dari kewajiban finansial atau tanggung jawab terkait
hak asuh bagi anak-anak mereka.
Keputusan MK tersebut menimbulkan banyak reaksi negatif karena dianggap
menyimpang dari jurisprudensi hukum Islam klasik. Kuasa hukum Machicha, Nurul
Irfan, yang merupakan dosen di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Jakarta, dikritik oleh rekan-rekan seniornya, menuduh permohonan yang
dimohonkannya telah menyimpang jauh dari ketentuan fiqh.62 Ormas keagamaan

61
MK Sahka Status A ak di Luar Nikah ‘es i , Ko pas, 9 Fe ruari 2012 (diakses
pada 11 Juli 2012).
62
Wawancara dengan Nurul Irfan, Jakarta, Mei 2012.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 36
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

umat Islam seperti MUI juga menentang keputusan tersebut. Komisi bagian hukum
MUI mengklaim bahwa perzinahan sedang disahkan karena keputusan Mahkamah
Konstitusi, yang menekankan bahwa kata-kata ‘diluar pernikahan’ tidak hanya
diperuntukan bagi anak yang lahir dari pernikahan Islam tetapi juga untuk anak yang
lahir di luar pernikahan. Keputusan MK juga menegaskan bahwa MK telah
melampaui ketentuan syariah dan di luar apa yang sebenarnya sedang diajukakan oleh
pihak Pemohon. Sementara permohonan Machicha hanya meminta pengakuan atas
status hukum anaknya yang lahir di luar pernikahan resminya, Mahkamah Konstitusi
telah berurusan dengan masalah yang lebih luas, status hukum semua anak yang lahir
di luar nikah.63 MUI memutuskan untuk mengeluarkan fatwa. Meskipun referensi
dasar suatu fatwa adalah Al-Qur'an, Hadits, dan doktrin fiqh, fatwa menegaskan tidak
adanya hubungan hukum antara anak dan ayah biologis mereka, tetapi fatwa MUI
tersebut memperkenalkan sudut pandang baru dalam mengakomodasi kepentingan
anak. Fatwa tersebut menyebutkan bahwa Pemerintah berhak untuk memaksa pihak
laki-laki yang melakukan hubungan di luar nikah untuk memberi dukungan finansial
sesuai kemampuannya untuk anak-anak mereka, dan untuk memberi bagian warisan
melalui wasiat setelah meninggal. MUI menambahkan bahwa kepedulian menyikapi
hal ini tidak berarti membenarkan legalislasi yang ada terkait hubungan antara anak
dan ayah biologis mereka, tetapi lahirnya ketentuan tersebut hanya dimaksudkan
untuk melindungi hak-hak anak.64 Sebaliknya, Komisi Nasional Perlindungan Anak
(Komnas Anak) memuji keputusan MK tersebut dan menganggapnya menjadi solusi
yang baik untuk salah satu isu terbesar yang terus-menerus harus berhadap-hadapan
dengan ketentuan syariat tersebut. Ketum Komnas Anak, Arist Merdeka Sirait,
menyatakan bahwa ‘pada tahun 2011, ada 38 kasus berkaitan dengan status hukum
anak yang lahir di luar nikah diajukan ke kami [Komnas Anak], yang mana hak-hak
keperdataan dan hak asuh (custodian) anak-anak yang bersangkutan dipertanyakan’.

63
Keputusa MK Ke a lasa , Ko pas, 9 April diakses pada Juli .
64
Lihat Fatwa MUI No. 11/ 2012.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 37
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

Ia berharap kasus-kasus sekarang bisa terselesaikan dan anak-anak akan mendapatkan


hak-hak dasar mereka.65
Apa yang Halimah dan Machicha telah lakukan, dalam pandangan saya,
merupakan embrio perkembangan hukum dan menunjukkan akan adanya kebangkitan
kesadaran hukum oleh perempuan Muslim pada umumnya. Hal ini juga menunjukkan
bagaimana gagasan hak asasi manusia dan gender secara bertahap mulai meluas.
Kasus yang menimpa mereka menunjukkan bahwasanya terdapat debat publik
tentang isu-isu gender di Indonesia. Mereka juga mengirimkan pesan bahwa dengan
mengikuti standar internasional tentang prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan,
hasilnya adalah pemberdayaan perempuan dalam posisi legal perempuan lebih kuat.

Ruang sidang yang sedang melakukan persidangan di Pengadilan Agama


Tangerang (courtesy oleh Pengadilan Agama Tangerang)

6. Kesimpulan
Untuk memecahkan problematika kedudukan subordinat kaum
perempuan sebagaimana telah dirumuskan oleh hukum keluarga Islam klasik,
pemerintah Indonesia memulai reformasi hukum dan memperkenalkan aturan baru di

65
MK Sahka A ak Lahir di Luar Nikah ‘es i , Ko pas, 9 Fe ruari diakses pada
11 Juli 2012).

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 38
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

tingkat nasional, seperti UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum


Islam pada tahun 1991, untuk meningkatkan kedudukan perempuan dalam hukum
keluarga. Misalnya, hak suami untuk melakukan perceraian secara sepihak dibatasi,
poligami dibatasi, dan hak-hak perempuan berkaitan properti diperkuat melalui aturan
tentang harta bersama (gono-gini) dalam ikatan perkawinan. Oleh karena itu, kasus
yang berkaitan dengan perceraian, tunjangan suami-istri paska perceraian dan isbat
nikah telah menguntungkan kaum perempuan, meskipun kondisi semacam ini masih
sedikit dan jauh dari kata menguntungkan bagi kaum perempuan. Meningkatnnya
pengetahuan hukum oleh kaum perempuan dan pelayananan hukum yang lebih baik
yang diberikan oleh Pengadilan ini dipengaruhi oleh keseriusan negara dan konvensi-
konvensi internasional yang telah membawa kaum perempuan pada akses yang lebih
baik dalam pengadilan. Hampir semua permohonan perceraian berakhir dengan
persetujuan tetapi kaum perempuan sekarang lebih mampu menjalani proses
perceraiannya karena adanya program baru yang dikembangkan oleh lembaga
Peradilan berupa advokasi ‘prodeo’ dan sidang keliling. Munculnya kepekaan gender
oleh para hakim yang menyidangkan kasus juga membuka kesempatan bagi kaum
perempuan untuk memperoleh hak-hak mereka berupa tunjangan.
Bagaimanapun, terlepas adanya reformasi dalam mekanisme pengadilan,
penelitian dalam persidangan di tiga pengadilan agama – di Cianjur, dan Serang dan
Tangerang di Banten – di atas telah menunjukkan bahwa perempuan tetap saja berada
dalam kedudukan subordinat laki-laki dan memiliki posisi lemah dalam kasus
poligami, hak asuh dan tunjangan bagi anak-anaknya paska perceraian. Dalam
permasalahan poligami, interpretasi Alqur’an yang kaku oleh hakim Pengadilan
Agama dan penerapan hukum Islam yang dimaknai secara longgar oleh negara sering
mengakibatkan lahirnya keputusan-keputusan yang berlawanan dengan kepentingan
kaum perempuan Muslim.
Ambiguitas konsepsi maslahat dalam hukum Islam klasik (kepentingan
umum) dan tidak adanya mekanisme yang tepat untuk menegakkan keputusan hakim
memiliki konsekuensi negatif yang sama bagi kaum perempuan di dalam kasus-kasus
Pengadilan menyangkut hak-hak mereka untuk hak asuh atau hak untuk memperoleh

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 39
HUKUM BERBASIS SYARIAH: KEDUDUKAN LEGAL PEREMPUAN DAN ANAK DI BANTEN DAN JAWA BARAT

tunjangan bagi anak-anak mereka. Peraturan syariah di Daerah yang baru


bermunculan juga bisa memperburuk kondisi ketidakadilan gender dan secara
substansial dapat merugikan kaum perempuan di ranah publik. Lebih dari itu, dari
perspektif standar hukum internasional, Perda-perda syariah tidak sesuai dengan
prinsip kesetaraan hak, kebebasan beragama dan berekspresi, yang mana hak-hak
tersebut dilindungi oleh kovenan-kovenan internasional yang telah diratifkasi oleh
Indonesia. Regulasi-regulasi daerah tersebut perlu ditinjau ulang karena
keberadaannya mengekang hak kebebasan perempuan untuk bergerak di ruang publik
dan bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia pada umumnya.

ISLAM, POLITIK DAN PERUBAHAN : DINAMIKA UMAT ISLAM INDONESIA PASKA LENGSERNYA SUHARTO 40

Anda mungkin juga menyukai