LAPORAN PENDAHULUAN
STRIKTUR URETHRA
OLEH :
NURSAKTIANI
C12112026
(........................................) (........................................)
F A K U L T A S K E D O K T E R AN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR 2015
BAB I KONSEP MEDIS
A. DEFINISI
Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan
kontraksi. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena adanya
perbedaan panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra
wanita sekitar 3-5 cm.1 Karena itulah uretra pria lebih rentan terserang infeksi atau
terkena trauma dibanding wanita. Selain itu, striktur uretra dapat disebabkan oleh trauma
(kecelakaan, intrumentasi), infeksi, dan tekanan tumor (Widya, Oka, Kawiyana, &
Maliawan, 2013) (Baradero & Dayrit, 2009).
Sesuai dengan derajat penyempitan lumennya, striktur urethra dibagi menjadi 3
tingkatan, yaitu:
1. Ringan, jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen urethra.
2. Sedang, jika terdapat oklusi 1/3 sampai dengan ½ diameter lumen urethra.
3. Berat, jika terdapat oklusi lebih besar dari ½ diameter lumen urethra. Pada
penyempitan derajat berat, kadang kala teraba jaringan keras di korpus spongiosum
yang dikenal dengan spongiofibrosis.
B. ETIOLOGI
Berdasarkan etiologinya, striktur urethra dibagi menjadi 3 jenis :
1. Striktur urethra kongenital
Striktur urethra yang disebabkan karena bawaan. Misalnya kongenital meatus
stenosis (penyempitan lubang uretra) dan klep urethra posterior.
2. Striktur urethra traumatic
Striktur uretra yang disebabkan karena kecelakaan Trauma langsung dan tidak
langsung (sekunder) . Trauma langsung yang menyebabkan luka (lesi) pada urethra
anterior atau posterior seperti instrumentasi transurethra yang kurang hati-hati
(pemasangan kateter yang kasar, fiksasi kateter yang salah) serta post operasi (operasi
prostat dan operasi dengan alat endoskopi). Trauma sekunder seperti kecelakaan yang
menyebabkan trauma tumpul pada selangkangan atau fraktur pada pelvis, spasme otot
dan tekanan dari luar atau tekanan oleh pertumbuhan tumor dari luar.
3. Striktur akibat infeksi Infeksi dari urethra adalah penyebab tersering dari striktur
urethra, misalnya infeksi akibat transmisi seksual seperti uretritis gonorrhoika atau
non gonorrhoika. Dapat juga disebabkan oleh infeksi sebagai komplikasi
pemasangan kateter dan penggunaan kateter dalam jangka waktu lama.
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Urine terputus (aliran urine tersumbat)
2. Pancaran urine berkurang/ mengecil dan bercabang\
3. Urine menetes
4. Urgency (keinginan kuat untuk berkemih)
5. Hesitancy (kelambatan yang abnormal atau kesulitan untuk memulai berkemih yang
menunjukkan kompresi urethra “neurogenik kandung kemih”, obstruksi saluran
kemih)
6. Kencing tidak puas (dribbling)
7. Over distensi bladder (vesica urinaria)
8. Frekuensi berkemih lebih sering dari normal
9. Sakit atau nyeri saat berkemih kadang-kadang dijumpai.
10. Gejala lanjut adalah retensi urine
D. PATOFISIOLOGI
Cedera dan infeksi menyebabkan pertumbuhan jaringan fibrin pada permukaan
saluran kemih (meatus uretra) bagian dalam. Mukosa meatus uretra yang terdiri dari sel
otot polos akhirnya tergantikan oleh jaringan sikatriks yang mengakibatkan penyempitan
lumen uretra. Obstruksi ini menyebabkan aliran urine melalui uretra tidak efektif.
Sedangkan striktur uretra yang timbul sebagai kelainan congenital terjadi karena
ketidaksempurnaan saat pembentukan organ.
E. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Anamesis yang lengkap
Dengan anamnesis yang baik, diagnosis striktur urethra mudah ditegakkan,
apabila ada riwayat infeksi “veneral atau straddle injury” seperti uretritis, trauma
dengan kerusakan pada pinggul straddle injury, instrumentasi pada urethra,
pemasangan kateter, dan kelainan sejak lahir.
2. Inspeksi
Meatus, ekstermus yang sempit, pembengkakan serta fistula (e) didaerah penis,
skrotum, perineum dan suprapubik.
3. Palpasi
Teraba jaringan parut sepanjang perjalalanan urethra, anterior pada bagian
ventral dari penis, muara fistula (e) bila dipijat mengeluarkan getah / nanah.
4. Colok dubur
5. Kalibari dengan kateter lunak (lateks) akan ditemukan adanya hambatan
6. Untuk Kepastian diagnosis dapat ditegakkan dan dipastikan dengan uretrosistografi,
uretoskopi kedalam lumen urethra dimasukkan dimana kedalam urethra dimasukkan
dengan kontras kemudian difoto sehingga dapat terlihat seluruh saluran urethra dan
buli-buli. dan dari foto tersebut dapat ditentukan :
a. Lokalisasi striktur : Apakah terletak pada proksimal atau distal dari sfingter sebab
ini penting untuk tindakan operasi.
b. Besarnya kecilnya striktur
c. Panjangnya striktur
d. Jenis striktur
7. Bila sudah dilakukan sistomi : bipolar-sistografi dapat ditunjang dengan flowmetri
8. Pada kasus-kasus tertentu dapat dilakukan IVP, USG, (pada striktura yang lama dapat
terjadi perubahan sekunder pada kelenjar prostat,/batu/perkapuran/abses prostat,
Efididimis / fibrosis diefididimis.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
a) Pemeriksaan urin, diindikasikan untuk semua pasien yang ada gejala atau
tanda gangguan ISK.
1) Makroskopis:
- warna urin
- penampakan urin
- berat jenis urine
- tes kimiawi (pH, glukosa, protein, bakteri, leukosit)
2) Mikroskopis:
- bakteri
- leukosit
- erythrosit
- sel epitel
- kultur
b) Tes fungsi ginjal:
1) berat jenis urin
2) ureum
3) kreatinin
2. Radiology
a) BNO (foto polos abdomen)
Tujuan:
1) untuk mendeteksi batu radiopaque dalam saluran kemih.
2) untuk mengetahui kontur ginjal.
b) IVP (intra venous pyelography)
Tujuan:
1) untuk mengetahui fungsi kedua ginjal
2) untuk mengetahui letak obstruksi
3) untuk mengetahui indentasi prostat ke dalam buli-buli
4) dapat mendeteksi batu dan divertikel buli-buli.
c) RPG (retrograde pyelography)
1) untuk melihat keadaan pyelum ginjal dan ureter
2) kontras dimasukkan melalui kateter ureter
d) Urethro-cystography
1) kontras dimasukkan melalui urethtra
2) untuk mengetahui keadaan urethra dan buli-buli
3. Ultra Sonography (USG)
a) dapat mendeteksi batu pada saluran ginjal dan buli-buli
b) dapat mendeteksi kelainan pada ginjal dan buli-buli
c) dapat mengetahui pembesaran prostat
4. Cystoscopy
a) untuk melihat langsung keadaan atau kelainan dalam buli-buli
b) dapat dilakukan biopsi kelainan dalam buli-buli
5. CT-Scan
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak hanya
sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur,
panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya.
Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:
1. Dilatasi uretra
Cara yang paling lama dan paling sederhana dalam penanganan striktur uretra.
Direkomendasikan pada pasien yang tingkat keparahan striktur masih rendah atau
pasien yang kontra indikasi dengan pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan
menggunakan balon kateter atau busi logam dimasukan hatihati ke dalam uretra untuk
membuka daerah yang menyempit. Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari
karena itu mengindikasikan terjadinya luka pada striktur yang akhirnya menimbulkan
striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang membuat angka kesuksesan terapi
menjadi rendah dan sering terjadi kekambuhan
2. Uretrotomi interna.
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan
insisi pada jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau otis
atau sasche. Otis dikerjakan jika belum terjadi striktur total, sedangkan pada striktur
lebih berat pemotongan dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik
dengan pisau sasche. Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra
yang tumbuh kembali di tempat yang sbelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi
proses epitelisasi sebelum kontraksi luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna
dikatakan berhasil. Namun jika kontraksi luka lebih dulu terjadi dari epitelisasi
jaringan, maka striktur akan muncul kembali. Angka kesuksesan jangka pendek terapi
ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun angka kekambuhannya mencapai 80%. Selain
timbulnya striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang
berkaitan dengan ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia
urine, dan disfungsi ereksi.
3. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent
biasanya dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis stent yang
tersedia, stent sementara dan permanen. Stent permanen cocok untuk striktur uretra
pars bulbosa dengan minimal spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh orang tua,
yang tidak fit menjalani prosedur operasi. Namun stent permanen juga memiliki
kontra indikasi terhadap pasien yang sebelumnya menjalani uretroplasti substitusi dan
pasien straddle injury dengan spongiosis yang dalam. Angka rekurensi striktur
bervariasi dari 40%-80% dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah rasa
tidak nyaman di daerah perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.
4. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun
masih jarang dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai teknik bedah
ini. Sebuah studi memperlihatkan bahwa uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik
bedah dengan tingkat invasif minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi.
Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka berupa pemotongan jaringan fibrosis.
Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis dan substitusi. Uretroplasti
anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian striktur kemudian uretra diperbaiki
dengan mencangkok jaringan atau flap dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat
untuk striktur uretra pars bulbosa dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti
substitusi adalah mencangkok jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa
bibir, mukosa kelamin, atau preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan
organ atau jaringan ke bagian tubuh lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah
pasien untuk dapat bertahan. Proses graft terdiri dari dua tahap, yaitu imbibisi dan
inoskulasi. Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh darah paien dalam 48
jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inoskulasi dimana terjadi vaskularisasi graft
oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa digunakan adalah buccal
mucosal graft, full thickness skin graft, bladder epithelial graft, dan rectal mucosal
graft. Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal graft atau
jaringan mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten
terhadp infeksi, dan banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari
graft ini juga cepat sembuh dan jarang mengalami komplikasi. Angka kesuksesan
sangat tinggi mencapai 87%. Namun infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan, dan
chordee bisa terjadi sebagai komplikasi pasca operasi.
5. Prosedur rekonstruksi multiple
Suatu tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum. Indikasi
prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra, bisa karena fibrosis
hasil operasi sebelumnya atau teknik substitusi tidak bisa dikerjakan. Ketika terjadi
infeksi dan proses radang aktif sehingga teknik graft tidak bisa dikerjakan, prosedur
ini bisa menjadi pilihan operasi. Rekonstruksi multiple memang memerlukan anestesi
yang lebih banyak dan menambah lama rawat inap pasien, namun berguna bila pasien
kontra indikasi terhadap teknik lain.
H. KOMPLIKASI
Striktur mengakibatkan urin mengalir balik (refluks) dan mencetuskan sistitis
(radang vesica urinaria), prostatitis (radang kelenjar prostate), dan pyelonefritis (suatu
bentuk infeksi ginjal yang menyebar ke luar dari dalam pelvis renalis dan mengenai
bagian korteks renal). Obstruksi urethra yang lama akan menimbulkan stasis urine dan
menimbulkan berbagai komplikasi sebagai berikut.
1. Infeksi (saluran kemih, prostat, ginjal).
2. Divertikel urethra atau vesica urinaria.
3. Abses periurethra.
4. Batu urethra.
5. Fistula uretrokutan.
6. Karsinoma urethra.
BAB II KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Posisikan selang
Hambatan aliran
kantung sehingga
memungkinkan
memungkinkan
tidak terhambatnya terbentuknya
aliran urine. tekanan dalam
saluran perkemihan.
Dorong Mempertahankan
peningkatan cairan hidrasi dan aliran
dan pertahankan urine balik.
pemasukan akurat.
Kolaborasi:
Kolaborasi
Berikan obat nyeri Diberikan untuk
sesuai indikasi, menghilangkan nyeri
seperti narkotik berat, memberikan
(epideprin). relaksasi mental dan
fisik.
Risiko Mencapai Mandiri:
3 infeksi waktu Pertahankan Mencegah
berhubungan penyembuha sistem kateter pemasukan bakteri
dengan n. steril, berikan dan infeksi/sepsis
prosedur Tidak perawatan kateter lanjut.
invasif, mengalami regular dengan
truma tanda infeksi. sabun dan air.
jaringan Berikan salep
(insisi antiboiotik
bedah) disekitar sisi
kateter.
Kolaborasi:
Berikan antibiotik Mungkin diberikan
sesuai indikasi. secara profilaktik
sehubungan dengan
peningkatan risiko
infeksi.
Disfungsi Tampak Mandiri:
4 seksual rileks dan Berikan Ansietas dapat
berhubungan melaporkan keterbukaan pada mempengaruhi
dengan ansietas klien/keluarga kemampuan untuk
gangguan menurun untuk menerima informasi
struktur sampai membicarakan yang diberikan
tubuh tingkat dapat masalah sebelumnya
diatasi. inkontinensia dan
Menyatakan fungsi seksual
pemahaman
situasi Berikan informasi Impotensi fisiologis
individual. akurat tentang terjadi bila saraf
Menunjukka harapan kembalinya perineal dipotong
n fungsi seksual selama prosedur
keterampilan radikal. Pada
pemecahan pendekatan lain,
masalah. aktivitas seksual
dapat dilakukan
seperti biasa dsalam
6-8 minggu.
Kolaborasi
Rujuk untuk Masalah menetap
konsultasi ke ahli atau tidak teratasi
seksualitas sesuai memerlukan
indikasi intervensi
profesional.
Defisiensi Berpartisipas Mandiri:
5 pengetahuan i dalam Kaji ulang proses Memberikan dasar
berhubungan program penyakit, pengetahuan di mana
dengan pengobatan. pengalaman klien. klien dapat membuat
kurang Menyatakan pilihan informasi
informasi pemahaman terapi.
prosedur.
Melakukan Dorong menyatakan Membantu klien
perubahan rasa takut/cemas mengalami perasaan
perilaku yang dan perhatian. yang enak dapat
perlu. menjadi rehabilitaqsi
vital.
tujuan yang telah diterapkan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap
(Asmadi, 2008).
E. EVALUASI
Asih, Y. (2005). Standar asuhan pasien: Proses keperawatan, diagnosis, dan evaluasi vol.4.
Jakarta: EGC.
Baradero, M., & Dayrit, M. (2009). Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Ginjal.
Jakarta: EGC.
Bulechek, G., Butcher, H., & Dochterman, J. (2013). Nursing Intervention Classification
(NIC), Sixth Edition. Mosby: Elsevier.
Doenges, M. E dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Moorhead, S., Johnson, M., L. Maas, M., & Swanson, E. (2013). Nursing outcomes
clasification (NOC) Measurement of Health Outcomes. Mosby: Elsevier.
Nanda International. (2015). Nanda International Inc. Nursing Diagnoses: Definitions &
Clasifications 2015-2017. Jakarta: EGC.
Potter, P. A & Perry, A. G. 2006. Buku Ajar: Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Smeltzer, S. C & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar: Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth. Jakarta: EGC
Widya, A. W., Oka, A., Kawiyana, K., & Maliawan, S. (2013). Diagnosis dan penanganan
striktur urethra. Bagian/SMF Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/
Rumah sakit umum pusat Sanglah Denpasar, 1-14.