Anda di halaman 1dari 113

Secara etimologi, wakaf berasal dari perkataan Arab “Waqf” yang bererti “al-Habs”.

Ia
merupakan kata yang berbentuk masdar (infinitive noun) yang pada dasarnya berarti menahan,
berhenti, atau diam. Apabila kata tersebut dihubungkan dengan harta seperti tanah, binatang dan
yang lain, ia berarti pembekuan hak milik untuk faedah tertentu (Ibnu Manzhur: 9/359).

Sebagai satu istilah dalam syariah Islam, wakaf diartikan sebagai penahanan hak milik atas
materi benda (al-‘ain) untuk tujuan menyedekahkan manfaat atau faedahnya (al-manfa‘ah) (al-
Jurjani: 328). Sedangkan dalam buku-buku fiqh, para ulama berbeda pendapat dalam memberi
pengertian wakaf. Perbedaan tersebut membawa akibat yang berbeda pada hukum yang
ditimbulkan. Definisi wakaf menurut ahli fiqh adalah sebagai berikut.

Pertama, Hanafiyah mengartikan wakaf sebagai menahan materi benda (al-‘ain) milik Wakif dan
menyedekahkan atau mewakafkan manfaatnya kepada siapapun yang diinginkan untuk tujuan
kebajikan (Ibnu al-Humam: 6/203). Definisi wakaf tersebut menjelaskan bahawa kedudukan
harta wakaf masih tetap tertahan atau terhenti di tangan Wakif itu sendiri. Dengan artian, Wakif
masih menjadi pemilik harta yang diwakafkannya, manakala perwakafan hanya terjadi ke atas
manfaat harta tersebut, bukan termasuk asset hartanya.

Kedua, Malikiyah berpendapat, wakaf adalah menjadikan manfaat suatu harta yang dimiliki
(walaupun pemilikannya dengan cara sewa) untuk diberikan kepada orang yang berhak dengan
satu akad (shighat) dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan Wakif (al-Dasuqi:
2/187). Definisi wakaf tersebut hanya menentukan pemberian wakaf kepada orang atau tempat
yang berhak saja.

Ketiga, Syafi‘iyah mengartikan wakaf dengan menahan harta yang bisa memberi manfaat serta
kekal materi bendanya (al-‘ain) dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh
Wakif untuk diserahkan kepada Nazhir yang dibolehkan oleh syariah (al-Syarbini: 2/376).
Golongan ini mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal materi bendanya (al-
‘ain) dengan artian harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya
secara berterusan (al-Syairazi: 1/575).
Keempat, Hanabilah mendefinisikan wakaf dengan bahasa yang sederhana, yaitu menahan asal
harta (tanah) dan menyedekahkan manfaat yang dihasilkan (Ibnu Qudamah: 6/185). Itu menurut
para ulama ahli fiqih. Bagaimana menurut undang-undang di Indonesia? Dalam Undang-undang
nomor 41 tahun 2004, wakaf diartikan dengan perbuatan hukum Wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.

Dari beberapa definisi wakaf tersebut, dapat disimpulkan bahwa wakaf bertujuan untuk
memberikan manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan
dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi wakaf yang
disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf berfungsi untuk mewujudkan
potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk
memajukan kesejahteraan umum.

Rukun Wakaf

Rukun Wakaf Ada empat rukun yang mesti dipenuhi dalam berwakaf. Pertama, orang yang
berwakaf (al-waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (al-mauquf). Ketiga, orang yang menerima
manfaat wakaf (al-mauquf ‘alaihi). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighah).

Syarat-Syarat Wakaf

1. Syarat-syarat orang yang berwakaf (al-waqif)Syarat-syarat al-waqif ada empat, pertama orang
yang berwakaf ini mestilah memiliki secara penuh harta itu, artinya dia merdeka untuk
mewakafkan harta itu kepada sesiapa yang ia kehendaki. Kedua dia mestilah orang yang berakal,
tak sah wakaf orang bodoh, orang gila, atau orang yang sedang mabuk. Ketiga dia mestilah
baligh. Dan keempat dia mestilah orang yang mampu bertindak secara hukum (rasyid).
Implikasinya orang bodoh, orang yang sedang muflis dan orang lemah ingatan tidak sah
mewakafkan hartanya.
2. Syarat-syarat harta yang diwakafkan (al-mauquf)Harta yang diwakafkan itu tidak sah
dipindahmilikkan, kecuali apabila ia memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh ah;
pertama barang yang diwakafkan itu mestilah barang yang berharga Kedua, harta yang
diwakafkan itu mestilah diketahui kadarnya. Jadi apabila harta itu tidak diketahui jumlahnya
(majhul), maka pengalihan milik pada ketika itu tidak sah. Ketiga, harta yang diwakafkan itu
pasti dimiliki oleh orang yang berwakaf (wakif). Keempat, harta itu mestilah berdiri sendiri,
tidak melekat kepada harta lain (mufarrazan) atau disebut juga dengan istilah (ghaira shai’).

3. Syarat-syarat orang yang menerima manfaat wakaf (al-mauquf alaih) Dari segi klasifikasinya
orang yang menerima wakaf ini ada dua macam, pertama tertentu (mu’ayyan) dan tidak tertentu
(ghaira mu’ayyan). Yang dimasudkan dengan tertentu ialah, jelas orang yang menerima wakaf
itu, apakah seorang, dua orang atau satu kumpulan yang semuanya tertentu dan tidak boleh
dirubah. Sedangkan yang tidak tentu maksudnya tempat berwakaf itu tidak ditentukan secara
terperinci, umpamanya seseorang sesorang untuk orang fakir, miskin, tempat ibadah, dll.
Persyaratan bagi orang yang menerima wakaf tertentu ini (al-mawquf mu’ayyan) bahwa ia
mestilah orang yang boleh untuk memiliki harta (ahlan li al-tamlik), Maka orang muslim,
merdeka dan kafir zimmi yang memenuhi syarat ini boleh memiliki harta wakaf. Adapun orang
bodoh, hamba sahaya, dan orang gila tidak sah menerima wakaf. Syarat-syarat yang berkaitan
dengan ghaira mu’ayyan; pertama ialah bahwa yang akan menerima wakaf itu mestilah dapat
menjadikan wakaf itu untuk kebaikan yang dengannya dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Dan wakaf ini hanya ditujukan untuk kepentingan Islam saja.

4. Syarat-syarat Shigah Berkaitan dengan isi ucapan (sighah) perlu ada beberapa syarat. Pertama,
ucapan itu mestilah mengandungi kata-kata yang menunjukKan kekalnya (ta’bid). Tidak sah
wakaf kalau ucapan dengan batas waktu tertentu. Kedua, ucapan itu dapat direalisasikan segera
(tanjiz), tanpa disangkutkan atau digantungkan kepada syarat tertentu. Ketiga, ucapan itu bersifat
pasti. Keempat, ucapan itu tidak diikuti oleh syarat yang membatalkan. Apabila semua
persyaratan diatas dapat terpenuhi maka penguasaan atas tanah wakaf bagi penerima wakaf
adalah sah. Pewakaf tidak dapat lagi menarik balik pemilikan harta itu telah berpindah kepada
Allah dan penguasaan harta tersebut adalah orang yang menerima wakaf secara umum ia
dianggap pemiliknya tapi bersifat ghaira tammah.
MAKALAH WAKAF

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Wakaf merupakan salah satu ibadah kebendaan yang penting yang secara ekplisit tidak
memiliki rujukan dalam kitab suci Al-Quran. Oleh karena itu, ulama telah melakukan identifikasi
untuk mencari “induk kata” sebagai sandaran hukum. Hasil identifikasi mereka juga akhirnya
melahirkan ragam nomenklatur wakaf yang dijelaskan pada bagian berikut.
Wakaf adalah institusi sosial Islami yang tidak memiliki rujukan yang eksplisit dalam al-
Quran dan sunah. Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah
untuk melakukan al-khayr (secara harfiah berarti kebaikan). Dasarnya adalah firman Allah
berikut :
‫وافعلوا الخير لعلكم تفلحون‬
...dan berbuatlah kebajikan agar kamu memperoleh kemenangan”[1]
Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa peerintah untuk melakukan al-khayrberarti perintah untuk
melakukan silaturahmi, dan berakhlak yangbaik[2]. SementaraTaqiy al-Din Abi Bakr Ibn
Muhammad al-Husaini al-Dimasqi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-khayr
berarti perintah untuk melakukan wakaf.[3] Penafsiran menurut al-Dimasqi tersebut relevan
(munasabah) dengan firman Allah tentang wasiyat.
‫[كتب عليكم ادا حضر احدكم الموت ان ترك خير الوصية للوالدين واالقربين بالمعروف حقا على المتقون‬4]

“Kamu diwajibkan berwasiat apabila sudah didatangi (tanda-tanda) kematian dan jika kamu
meninggalkan harta yang banyak untuk ibu bapak dan karib kerabat dengan acara yang ma’ruf;
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang takwa.”

Dalam ayat tentang wasiat, kata al-khayr diartikan dengan harta benda. Oleh karena itu,
perintah melakukan al-khayr berarti perintah untuk melakukan ibadah bendawi. Dengan
demikian, wakaf sebagai konsep ibadah kebendaan berakar pada al-khayr. Allah memerintahkan
manusia untuk mengerjakannya.
B. Pengertian Wakaf
Menurut bahasa Wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah(terkembalikan), al-
tahbis (tertahan), altasbil (tertawan) dan al-man’u (mencegah).[5] disebut pula dengan al-
habs (al-ahbas, jamak). Secara bahasa,al-habs berarti al-sijn (penjara), diam, cegah, rintangan,
halangan, “tahanan,” dan pengamanan. Gabungan kata ahbasa (al-habs) dengan al-mal (harta)
berarti wakaf (ahbasa al-mal).[6]
Penggunaa kata al-habs dengan arti wakaf terdapat dalam beberapa riwayat. Yaitu :
Pertama, dalam hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibn ‘Umar yang menjelaskan bahwa Umar
Ibn al-Khatab datang kepada Nabi saw. Meminta petunjuk pemanfaatan tanah miliknya di
Khaibar. Nabi saw. Bersabda:

‫ان شئت حبست اصلها وتصدقت بها‬


“Bila engkau menghendaki, tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah hasinya (manfaatnya)!”[7]
Kedua, dalam hadits riwayat Ibn Abbas (yang dijadikan alasan hukum oleh Imam Abu Hanifah)
dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda :
‫[الحبس عن فوائض هللا‬8]
“Harta yang sudah berkedudukan sebagai tirkah (harta pusaka) tidak lagi termasuk benda
wakaf.”
Dalam hadits dikatakan bahwa wakaf disebut dengan sedekah jariah(shadaqat jariyah)
dan al-habs (harta yang pokoknya dikelola dan hasilnya didermakan).[9] Oleh karena itu,
nomenklatur wakaf dalam kitab-kitab haditas dan fiqih tidak seragam.. Al-Syarkhasi dalam kitab
al-Mabsuth, memberikan nomenklatur wakaf dengan Kitab al-waqf,[10] Imam Malik
menuliskannya dengan nomenklatur Kitab Habs wa al-Shadaqat,[11] Imam al-Syafi’I dalam al-
Umm memberikan nomenklatur wakaf dengan al-Ahbas,[12] dan bahkan Imam Bukhari
menyertakan hadits-hadits tentang wakaf dengan nomenklatur Kitab al-Washaya.[13] Oleh karena
itu secara nomenklatur wakaf ddisebut dengan al-ahbas, shadaqat jariyat, dan al-waqf.
Secara normative idiologis dan sosiologis perbedaan nomenklatur wakaf tersebut dapat
dibenarkan, karena landasan normative perwakafan secara eksplisit tidak terdapat dalam al-
Quran atau al-Sunna dan kondisi masyarakat pada waktu itu menuntut akan adanya hal tersebut.
Oleh karena itu, wilayah Ijtihad dalam bidang wakaf lebih besar dari pada wilayah Tauqifi-Nya.
Ketiga, sebab nuzul (salah satu ayat) dalam surat an-nisaa’ dalam penjelasan Imam Syuraih
adalah bahwa:
‫[جاء محمد يبيع الحبس‬14]
“Nabi Muhammad saw. menjual benda wakaf.”
Menurut Istilah, wakaf berarti :
‫[حبس مال يمكن االنتفاع به مع بقاء عينه يقطع التصرف فى رقبته على مصرف مباح موجد‬15]

“Penahanan harta yang memungkinkan untuk dimanfaatkan desertai dengan kekal zat/benda
dengan memutuskan (memotong) tasharruf (penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.[16]

Atas dasar sejumlah riwayat tersebut, nomenklatur wakaf dalam kitab-kitab hadits dan fikih
tidaklah seragam. Al-Syarkhasi dalam kitab al-Mabsutmemberikan nomenklatur wakaf
dengan al-Wakaf, Imam al- Syafi’i dalam al-Ummemberikan nomenklatur wakaf dengan al-
Ahbas,[17] dn bahkan Imam Bukhari menyertakan hadits-hadits tentang wakaf dengan
nomenklatur Kitab al-Washaya.[18] Oleh karena itu, secara teknis, wakaf disebut dengan al-
ahbas, shadaqah jariyah, dan al-wakaf
Keragaman nomenklatur wakaf terjadi karena tidak ada kata wakaf yang eksplisit dalam Al-
Quran dan hadits. Hal ini menunjukan bahwa wilayah ijtihad dalam bidang wakaf lebih besar
dari pada wilayah tawqifi.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan Wakaf
Seperti telah diuangkapkan di muka, bahwa secara eksplisit tidak ditemukan ayat al-Quran yang
mengatur tentang wakaf, namun secara implisit cukup banyak ayat-ayat yang bisa jadi dasar
hukum tentang wakaf, yaitu beberapa ayat tetang infak diantaranya :

1. Qur’an : al Hajj : 77
‫(يايها الدين امنوا اركعوا واسجدوا) (اى ارجعوا من تكبر قيام االنسانية الى توضع الحيوانية ودلة النباتية ( واعبدوا‬
‫ربكم) بسائر ما كلفكم به خالصا لوجهه (وافعلو الخير) واجبا ومندوبا واتوجهوا الى هللا تعالى فى جميع احوالكم (لعلكم‬
‫]‪[19‬تفلحون) اى لتضفروا بنعيم الجنة اىافعلوا هده كلها وانتم راجعون بها الفالح غير متيقنين‬
‫‪Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu dan‬‬
‫‪berbuatlah kebaikan agar kamu beruntung.‬‬
‫‪2.‬‬ ‫‪Qur’an : al Baqarah : 261‬‬
‫(مثل الدين ينفقون امولهم فى سبيل هللا كمثل حبت انبتت سبع سنا بل ) اى سفة صدقاة الدين ينفقون اموا لهم فى دين هللا‬
‫كصفة حبة اخرجت سبع سنا بل او المعنى مثل الدين ينفقون اموالهم فى وجوه الخيرات من الوجب والنفل كمثل‬
‫زراع اخرجث ساقا تشعب منه سبع شعب فى كلى واحدة منها سنبلة (فى كلى سنبلة مائة حبة ) كما يشاهد دلك فى الدرة‬
‫والدخن بل فيهما اكثر من دلك (وهللا يضعف ) فوق دلك (لمن يشاء ) على اليضيق عليه ما يتفضل به من التضعيف (وهللا‬
‫]‪[20‬وا سع ) ائ ال يضيق عليه ما يتفضل به من التضعيف (عليم ) بنية المنفق وبمن يستحق ىالمضاعفة‬
‫‪Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di‬‬
‫‪jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap‬‬
‫‪butir: seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah‬‬
‫‪Maha luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.‬‬
‫‪3.‬‬ ‫‪Qur’an Ali Imran : 92‬‬
‫لن تنالوا الير حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فان هللا به عليم‬
‫‪Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan‬‬
‫‪sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah‬‬
‫‪mengetahuinya.‬‬
‫قال ابو حعفر يعنى بدلك جل ثناه ‪ :‬لن تدركو ايها المومنون‬
‫البر ‪ :‬وهو البر من هللا الدى يطلبونه منه بطاعتهم اياه وعباد تهم له ويرجونه منه‪ ,‬ودلك تفضله عليهم بادخالهم جنة‪ ,‬وصرف‬
‫عدابه عنهم‪.‬‬
‫حدثن ابو كريب قال‪ :‬حدثن وكيع عن شريك عن ابى اسحاق عن عمرو بن ميمون في قوله ‪ :‬لن تنالوا البر‪ ,‬فل ألجنة‪.‬‬
‫قال ابو جعفر ‪ :‬فتاويل الكالم لن تنالوا ايها المومنون ‪ :‬جنة ربكم‬
‫حتى تنفقوا مما تحبون يقول ‪ :‬حتى تتصدقوا مما تحبون وهوون ان نكون لكم من نفيس اموالكم‬

‫‪Kutipan Al-Quran surat Ali Imran ayat 92 tersebut benar-benar menyentuh. Ternyata‬‬
‫‪menafkahkan harta yang kita cintai merupakan salah satu jalan sekaligus syarat untuk‬‬
‫‪menyempurnakan semua kebajikan lain yang sudah, sedang, dan akan kita lakukan. Bisa jadi‬‬
‫‪seseorang telah banyak berbuat baik. Tampaknya dengan menafkahkan sebagian hak milik yang‬‬
sangat dicintai untuk perjuangan di jalan Allah, barulah akan sampai kepada
kebajikan/keshalehan yang sempurna.
Sabab Nuzul ayat tersebutadalah, Seperti diterangkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan
oleh Imam Buchori, Muslim, Tarmidzi, dan An-Nasa’i, yang diterima dari Anas bin Malik,
Beliau menrangkan :
Abu Tholhah diantara salah seorang Sahabat Nabi yang paling banyak memiliki kebun
kurmanya di Madinah, salah satunya kebun kurma Bairuha,kebun tersebut berhadapan dengan
Masjid tempat Nabi sembahyang dan Nabi sering keluar masuk memakan kurma tersebut dan
meminum airnya yang harum.
Ketika turun ayat tersebut (Ali Imran : 92) Tholhah langsung mendatangi Rasull lalu ia
berkata, :Ya Rasulullah, sesungguhnya kekayaan yang sangat kucintai yaitu kebun
kurma Bairuha, karena ada perintah dari Allah melalui ayat tadi, kusedekahkan bairuha ini
kepadamu Ya Rasulullah.
Mendengar ucapan Abu Tholhah, Rasulullah berkata, wahai Tholhah sungguh engkau
beruntung, kebun kurma itu membawa keberuntungan, kalau begitu alangkah baiknya
disedekahkan kebun kurma itu kepada karib kerabatmu. Timpal Abu Tholhah, ya Rasulullah
akan kusedekahkan harta itu sesuai dengan petunjukmu Ya Rasulullah.
Kemudian dalam Riwayat Abi Hatim dari Muhammad bin Al-Munkodir, beliau berkata,
bahwa ketika turun ayat Ali Imran ke 92, datang sahabat Zaid bin Haritsyah membawa seekor
kuda yang bernama Sibul, Zaid tidak memiliki lagi kekayaan lain selain kuda itu.
Beliau berkata, Ya Rasulullah saya datang akan menyerahkan kuda ini untuk kepentingan
agama, Rasull menjawab “Aku menerima sedekahmu” wahai Zaid.
Selanjutnya oleh Rasulullah ditunggangkan diatas punggung kuda itu Usamah bin Zaid
anaknya Zaid, lantas Rasull melihat muka Zaid agak muram masih merasa berat hati melepaskan
kuda kesayangannya.
Namun Rasulullah melanjutkan perkataannya. Sesungguhnya Allah telah menerima sedekah
engakau Zaid.
Pemahaman konteks atas ajaran wakaf juga diambilkan dari beberapa hadits Nabi yang
menyinggung masalah shadaqah jariyah, yaitu :
‫ ادا مات ابن ادم انقطع عمله اال من ثلث صدقة جارية او علم ينتفع به او‬: ‫عن ابى هريرة ان رسول هللا صلى عليه و سلم قال‬
) ‫ولد صالح يدعوله (رواه مسلم‬
Dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda : “Apabila anak Adam (manusia
meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara:
Shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR.
Muslim)
Penafsiran shadaqah jariyah dalam hadits tersebut dikataakan asuk dalam pemebahasan wakaf,
seperti yang diuangkapkan seorang Imam
‫دكره باب الوقف النه فسر العلماء الصدقة الجارية بالوقف‬
Hadit tersebut dikemukakan di dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shadaqah
jariyah dengan wakaf[21].

Hadits Nabi yang secara tegas menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi
kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :
: ‫عن ابن عمر رضى هللا عنهما ان عمر بن الخطاب اصاب ارضا بخيبر فئاتى النبي صلى هللا عليه وسلم يستئامره فيها فقال‬
‫ ان شئت حبست اصلها فتصدقت‬: ‫يا رسول هللا انى اصبت ارضا بخيبر لم اصب ماال قط انفس عندى منه فما تئامرنى به قال‬
‫بها عمر انه ال يباع وال يوهب وال يرث وتصدق بها فى الفقراء وفى القربى وفى الرقاب وفى سبيل هللا وابن السبيل والضيف‬
) ‫الجناح على من وليها ان ياكل منها با المعرف ويطعم غير متمول (رواه مسلم‬
Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar Ra. Memperoleh sebidang tanah d Khaibar
kemudian menghadap kepada Rasulullah untukm memohon petunjuk Umar berkata : Ya
Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan
harta sebaik itu, maka apakah engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab: Bila kamu
suka, kamu tahan (pokoknya) ntanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar
menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil
dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu
(pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau makan dengan
tidak bermaksud menumpuk harta (HR. Muslim).

Pada sabda Nabi yang lainnya disebutkan :


‫ قال عمر للنبي صلى هللا عليه وسلم ان مائة سهم لى بخيبر لم اصب ماال قط اعجب الي منها قد اردت ان‬: ‫عن ابن عمر قال‬
‫ احبس اصلها وسبل ثمرتها (رواه ألبخارى و مسلم‬: ‫اتصدق بها فقال النبي صلعم‬
Dari Ibnu Umar, ia berkata : “Umar mengatakan kepada Nabi Saw, saya mempunyai seratus
dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti
itu. Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi Saw mengatakan kepada Umar : Tahanlah
(jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya sedekah
untuk sabilillah” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Bertitik tolak dari beberapa ayat al-Quran dan hadits Nabi yang menyinggung tentang akaf
tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang
diterapkan berdasarkan kedua sumber tersebut. Sehingga ajaran wakaf ini diletakan pada wilayah
yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis
wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, ayat al-Quran dan Sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman
para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafaur Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan
mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad)
mereka. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil
ijtihad, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.
Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk dalam wilayah ijtihadi,
maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru,
dinamis, fururistik dan berorientasi pada masa depan. Sehingga dengan demikian, ditinjau dari
aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup besar untuk bisa dikembangkan
sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang
memiliki jangkauan yang sangat luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.
Memang, bila ditijau dari kekuatan sandaan hukum yang dimiliki, ajaran wakaf merupakan
ajaran yang bersifrat anjuran (sunnah), namun kekuatan yang dimiliki sesungguhnya begitu besar
sebagai tonggak menjalankan roda kesejahteraan masyarakat banyak. Sehingga dengan
demikian, ajaran wakaf yang masuk dalam wilayah ijtihadi, dengan sendirinya menjadi
pendukung non manajerial yang bisa dikembangkan pengelolaannya secara optimal.

B. Perwakafan Dalam Undang-Undang Di Indonesia


1. Wakaf sebagai pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi yang perlu
dikelola secara efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan
umum.
2. Wakaf merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam
masyarakat.
C. Regulasi Perwakafan di Indonesia
1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tantang Wakaf
3. Peraturan pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004
4. Peraturan pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik[22]

Benda Tidak Bergerak yang Dapat Diwakafkan


1. Hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik
yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar.
2. Bangunan atau bagian bangunan yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.
3. Tanaman dan beda lain yang berkaitan dengan tanah
4. Hal milik atas satuan rumah sesuai dengan peraturan perundag-undangan yang berlaku.
5. Benda tidak bergerak lain yang sesuai dengan sejarah dan peraturan perundang-unagan.

D. Benda Bergerak yang dapat Diwakafkan


1. Uang Rupiah
2. Logam Mulia
3. Surat Berharga
4. Benda bergerak lain yang berlaku
5. Kendaraan
6. Hak atas kekayaan intelektual
7. Hak sewa sesuai ketentuan syariah dan peraturan perunda-undanga yang berlaku.
E. Unsur-Unsur Wakaf
1. Wakif
2. Nadzir
3. Harta Benda Wakaf
4. Peruntukan Wakaf
5. Jangka Waktu Wakaf
6. Sighat Wakaf/Akad
F. WakIf
1. Wakif perseorangan (dewasa, sehat, dan cakap) Organisasi (Pengurus memenuhi syarat
sebagai wakif perseorangan, bergerak dalam bidang
sosial/pendidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
2. Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai wakif perseorangan, Badan Hukum sah,
bergerak dalam bidang sosial/pendidikan/keagamaan Islam dan kemasyarakatan
3. Pemilik sah harta benda yang akan diwakafkan.
G. NadzIr
1. Nadzir Perorangan (dewasa, sehata, cakap).
2. Organisasi (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, bergerrak dalam bidang
sosial/pemdidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
3. Badan Hukum (Pengurus memenuhi syarat sebagai Nadzir perseorangan, Badan Hukum sah,
bergerak dalam bidang sosial/ pendidikan/kemasyarakatan /keagamaan Islam.
4. Terdaftar di BWI dan Kemenag (Pendaftaran dapat dilaksanakan setelah proses wakaf bagi
nadzir baru.
H. Tugas Nadzir
1. Pengadministrasian
2. Mengelola dan mengembangkan harta wakaf sesuai tujuan
3. Mengawasi proses pengelolaan
4. Melaporkan hasil pengelolaan kepada BW) dan Kemenag.
Nadzir dapat memperoleh imbalan maksimal 10 % dari hasil pengelolaan.

I. Tata Cara Perwakafan Tanah Milik


1. Calon Wakif menyerahkan bukti kepemilikan tanah yang akan diwakafkan berupa sertifikat,
Keterangan tidak sengketa Pendaftaran tanah, Keterangan Bupati tentang kesesuaian Master Plan
untuk diteliti PPAIW.
2. PPAIW melakukan pemeriksaan terhadap Nazir.
3. Wakif menyatakan Ikrar Wakaf dihadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan 2 orang saksi
bermaterai cukup
4. PPAIW menuangan Ikrar Wakaf alam bentuk tertulis
5. PPAIW menuangkan membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazir, Saksi dan PPAIW.
6. AIW diserahkan kepada Nazir beserta dokumen tanah.
7. PPAIW menerbitkan pendaftaran wakaf dan mendaftarkan kepada BWI dan Menteria Agama
dengan tembusan Kemenag dan Kanwil Kemenag Provinsi.
8. PPAIW memberikan bukti pendaftaran harta wakaf kepada Nazir.
9. Nazir mengurus sertifikat tanah wakaf ke BPN.
10. Terbit Sertifikat Tanah Wakaf.

J. Wakaf Benda Bergerak Selain Uang


1. Calon Wakif menyerahkan dokumen bukti kepemilikan hata benda wakaf (jika ada)
2. PPAIW melakukan pemeriksaan Nazhir.
3. Wakif menyatakan Ikrar Wakaf di hadapan PPAIW dengan dihadiri Wakif dan dua oang saksi.
4. PPAIW menuangkan Ikrara Wakaf dalam bentuk tertulis
5. PPAIW membuat AIW ditandatangani Wakif, Nazhir, saksi, PPAIW bermaterai cukup.
6. AIW disrahkan kepada Nazhir beserta Harta Wakaf.
7. PPAIW mendaftarkan Benda Wakaf kepada BWI dan Menag dengan tembusan Kemenag dan
Kanwil Kemenag Provinsi.
8. Nazhir mengurus pengalihan bukti kepemilikan kepada Instansi terkait.
9. Terbit bukti kepemilikan Harta Benda Wakaf.

BAB III
KESIMPULAN
1. Wakaf menahan dzat/benda dan membiarkan nilai manfaatnya demi mendapatkan pahala dari
Allah Ta’ala.
2. Merupakan ibadah kebendaan yang secara tekstualitas tidak ditemukan ayat nya di dalam al-
Quran, kecuali ada beberapa hadist Nabi yang secara eksplisit memberikan kepastian tentang
hukum wakaf.
3. Wakaf adalah amalan yang disunnahkan, teermasuk jenis sedekah yang paling utama yang
dianjurkan Allah dan termasuk bentuk taqarrub yang ermulia, serta merupakan bentuk kebaikan
dan ihsan yang terluas serta banyak manfaatnya.
4. Wakaf merupakan amal yang tidak pernah terputus, meski orang yang memberikan wakaf
sudah meninggal dunia.
5. Wakaf ditentukan peruntukannya, seperti untuk sarana peribatan seperti; masjid, langgar,
mushala, yayasan pendidikan, yayasan panti jompo dan untuk sarana peribadatan sosial lainnya.
6. Disyariatkan harta yang diwakafkan bermanfaat secara langgeng seperti gedung, hewan,
kebun, senjata, perabot dan yang berkembang sekarang adalah wakaf uang tunai, dan wakaf hak
kekayaan intelektual.
7. Pensyariatan wakaf adalah hadits Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, “Umar memperoleh tanah
Khaibar, Kemudian mendatangi Nabi SAW Seraya berkata, Saya memperoleh tanah yang tidak
pernah saya dapatkan harta yang lebih berharga darinya, Lalu apa yang engkau perintahakan
kepada saya? Nabi SAW bersabda, Jika berkenan, kamu dapat menahan (menafkahkan)
pokoknya dan bersedekah dengannya. Kemudian Umar bersedekah agar tanah tersebut tidak
dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan, tapi hanya untuk fakir miskin, kerabat, budak-
budak, orang yang dijalan Allah, para tamu dan ibnu sabil. Sehingga orang yang mengurusnya
tidak berdosa mengambil makan darinya dengan cara yang baik atau memberikan makan kepada
semua yang tidak mempunyai harta.
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama, Al-Quran Dan Terjemahnya


Tafsir Imam Baghawi
Imam Taqqy al Din Abi Bkr Ibnu Muhammad al Hasaeni al Dimasqi, Kifayat al Ahyar fi Hall Gayat al
Ikhtishar, (Semarang: Thoha Putra, tth.), hlm. 319
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo persada, 1077). h. 490
Muhammad Bin Ismail al Bukhari, Shahih al Bukhari, (Semarang: Thoha Putra, 1981). Juz II. Hlm. 196.
Ali Fikri, Al-Muamalat al-Madaniyah wa al Addabiyah, (Mesir: Musthafa al-Babi al Halabi wa Auladuh,
1983). Juz II. Hlm. 300.
Imam Muslim, Shahih Muslim, (Bandung. Tth). Juz II. hlm. 14
Abi Bakr Muhammad Ibn al Syarkhasi, Kitab Al-Mabsuth, (Beirut: Dar al Kutub al-Ilmyah, tth). Jld. IV
Juz XII. hlm. 33-34.
Imam Malik Ibn Annas, Al-Mudawamat al-Kubra, (Beeirut: dar al-Kutub al Ilmiyah, tth). Juz IV. hlm. 417.
Muhammad Ibn Idris al-syafi’I, al Umm, (Mesir: Maktabat Kuliyat al Azhariyah, tth) Juz III. hlm. 51
Ali Fikri, Muamalat al Madaniyah, (Mesir: Musthafa al Babi al-Halabi wa Auladuh, 1983). Juz II. hlm.
300.
Al-Romli, Nihayah al Muntaj ila Syarh al-Minhaj, (Beirut: Dar al-Fkr, 1984), Juz. 4. hlm. 357.
Al-Imam Abi Husin Ibn Ahmad al Wahidi, Marh labid Tafsir An Naw, (Syirkah Atas nama-Nur Asia, tth).
Juz II. hlm. 61.
Imam Muhammad Ismail al-Kahlani, As Subulu as sallam, tth. hlm. 87
Undang-Undang Perwakafan RI
Ensiklopedi Islam Al kamil.

8a. peringatan tertulis:b. penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf
bagi lembagakeuangan syariah;c. penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari
jabatan PPAIW.(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif
sebagaimana dimaksudpada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.Pengaturan
dalam Peraturan Pemerintah dimaksud pada Pasal 68 ayat (3) Undang-UndangNomor 41 Tahun
2004 tersebut adalah Pasal 57 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006yang menyatakan
sebagai berikut :(1) Menteri dapat memberikan peringatan tertulis kepada LKS-PWU yang tidak
menjalankankewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.(2) Peringatan tertulis paling
banyak diberikan 3 (tiga) kali untuk 3 (tiga) kali kejadian yangberbeda.(3) Penghentian
sementara atau pencabutan izin sebagai LKS-PWU dapat dilakukan setelah LKS-PWU dimaksud
telah menerima 3 kali surat peringatan tertulis.(4) Penghentian sementara atau pencabutan izin
sebagai LKS-PWU dapat dilakukan setelahmendengar pembelaan dari LKS-PWU dimaksud
dan/atau rekomendasi dari instansi terkait.Apabila diuraikan, muatan pasal-pasal pelaksanaan
wakaf yang apabila dilanggar dikenakansanksi adalah :a. Wakif yang mewakafkan bendanya
tidak diikrarkan secara tegas, dihadapan PPAIW kepadanadzir tanpa disaksikan dua saksi;b.
Nadzir tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat;c. Nadzir tidak mengurus
dan mengawasi kekayaan wakaf dan hasilnya;d. Nadzir tidak membuat laporan secara periodik;e.
Wakif tidak datang dihadapan PPAIW untuk ikrar wakaf;f. PPAIW tidak mengajukan
permohonan kepada Bupati/Walikotamadya c.q Kepala BadanPertanahan untuk mendaftarkan
perwakafan;g. Kepala Badan Pertanahan Kabupaten/Kotamadya atas nama Bupati/
Walikotamadya tidakmencatat permohonan pencatatan tanah wakaf;h. Perubahan peruntukan
tanah wakaf tanpa persetujuan Menteri Agama.

9Untuk mengetahui praktik penyelesaian sengketa wakaf, berikut disampaikan terlebih


dahulusalah satu contoh kasus sengketa wakaf yang terjadi di Kabupaten Kudus, yaitu antara
Raginahsebagai wakif dan Ridwan sebagai Nadzirnya.Seorang penduduk Desa Beru Genjang
Kecamatan Undaan Kudus yang tidak mempunyaiketurunan bernama Raginah mewakafkan
sebidang tanah berupa tanah sawah terletak di blokPereng. Tanah wakaf tersebut diterima dan
dikelola untuk keperluan masjid yang bernamamasjid Al Mubarok sedang yang bertindak
sebagai Nadzir pada waktu itu adalah Ridwan. Sejakdiikrarkan lafal wakaf tanah oleh wakif yang
bernama Raginah pada tahun 1974 dengandiketahui dan disaksikan oleh adik kandung Raginah,
maka wakaf oleh Raginah dinyatakan sah.Dalam perkembangannya, setelah Raginah selaku
wakif dan Ridwan selaku Nadzir meninggaldunia, ahli waris Ridwan menjual tanah
wakaf tersebut kepada pihak ketiga.Dari pihak Raginah, yaitu kedua adik kandungnya yang
pernah menjadi saksi merasa keberatanatas jual beli tanah yang diwakafkan oleh Raginah. Kedua
adik Raginah tersebut sempatberkonsultasi kepada kepala desa dan tokoh agama setempat untuk
menyelesaikanpermasalahan tersebut secara kekeluargaan, namun karena ahli waris Ridwan
bersikukuh bahwatanah yang dijualnya bukan tanah wakaf tetapi hak milik almarhum Ridwan,
maka pihak Raginahmengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama Kudus, yang pada akhirnya
sesuai dengan bukti-bukti dan fakta yang ada Pengadilan Agama Kudus memenangkan gugatan
kedua adik kandungRaginah.Mendasarkan pada contoh kasus tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa dalam hal terjadisengketa wakaf, upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tama
adalah melalui upayamusyawarah, baru apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukan
belum menemukan titiktemu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama.

10
BAB IIIPENUTUP
A.

KesimpulanDari apa yang telah penulis kemukakan di atas, maka penulis dapat menarik
kesimpulansebagai berikut:1. Alasan atau penyebab terjadinya sengketa wakaf adalah belum
tertampungnyapengaturan tentang tanah wakaf yang banyak terjadi di Indonesia pada Undang-
UndangNomor 41 Tahun 2004, masih banyaknya wakaf tanah yang tidak ditindaklanjuti
denganpembuatan akta ikrar wakaf, dimintanya kembali tanah wakaf oleh ahli waris wakif
dantanah wakaf dikuasai secara turun temurun oleh Nadzir.2. Dalam hal terjadi sengketa wakaf,
upaya penyelesaian yang dilakukan pertama-tamaadalah melalui upaya musyawarah, baru
apabila kemudian dari musyawarah yang dilakukanbelum menemukan titik
temu, penyelesaiannya diupayakan melalui Pengadilan Agama.B.

SaranSesuai dengan tujuan awal ditulisnya makalah ini, penulis sempat menyinggung pada
latarbelakang pembuatan makalah. Penulis sangat berharap sekiranya makalah yang penulisbuat
ini dapat dijadikan sebagai sumber referensi alternatif yang memiliki nilai lebih dandapat
memberikan lebih banyak pengetahuan tentang putusan MK No.46/PUU/VIII/2010.Dalam
membahas lebih tentang pemahaman terhadap putusan MK tentang anak di luarnikah tersebut,
penulis telah berupaya untuk menyempurnakan makalah ini dengansesempurna mungkin.
Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapatbeberapa kesalahan baik dalam cara
penulisan ataupun materi yang termuat dalam makalahini sehingga penulis menyarankan kepada
pihak manapun untuk memberikan kritik maupunsaran yang bersifat membangun untuk
melengkapi dan menambah wawasan yang masihkurang dalam prihal penulisan ataupun materi
yang termuat makalah ini.
Pendahuluan

Menurut pendapat Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad, wakaf dianggap telah terlaksana dengan
adanya lafadz atau sighat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Milik semula dari wakaf
telah hilang atau berpindah dengan terjadinya lafadz, walaupun barang itu masih berada di
tangan wakif.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak persyaratan
menyangkut prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat
bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif, sampai hakim memberikan putusan yaitu
mengumumkan barang wakaf tersebut.

Salah satu permasalahan yang paling mendasar dan pertama untuk dibicarakan dalam rangka
pemberdayaan harta benda wakaf adalah proses dan adminitrasi perwakafan tanah. Hal ini
dilakukan sebagai langkah awal untuk pengamanan harta benda wakaf sebagai salah satu aset
umat Islam.

Latar Belakang.
Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW, karena wakaf disyari’atkan
setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriah. Walau ada dua
pendapat yang berkembang dikalangan ahli yurisprudensi Islam ( Fuqoha ) tentang siapa yang
pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Ada yang berpendapat Rasulullah

( Ansor ) ada juga yang berpendapat Umar ( Muhajirin ).

Seiring dengan perjalanan waktu, perwakafan tetap berkembang sampai dengan masa
pemerintahan sahabat-sahabat dan dinasti Umayyahlah yang saat itu dipimpin oleh khalifah
Hisyam bin Abd.Malik terbentuk lembaga wakaf. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali
melakukan pengadministrasian wakaf di Mesir, bahkan ditiru oleh seluruh Negara Islam.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia, wakaf telah berkembang di masyarakat sejak zaman
dahulu. Akan tetapi pengurusan dan pengelolaannya masih bersifat konvensional atau tradisional
atas dasar saling percaya antara nadzir dan wakif. Sikap atau perilaku seperti ini syah-syah saja,
akan tetapi kurang bisa optimal pengelolaannya bahkan cenderung kurang memperhatikan
pengamanan benda wakaf.

Oleh karena itu perlu diadakan penertiban dan pendataan harta benda wakaf melalui
pengadministrasian yang tertib dan benar sehingga benda wakaf tersebut bisa aman bahkan bisa
dikembangkan. Pengadministrasian perwakafan tanah akan lebih tertib dan baik bilamana wakaf
tersebut dimulai dengan proses yang sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, baik itu
secara syar’I maupun hukum dan peraturan pemerintahan.
Landasan Hukum
1. Al qur’an surat Al-Baqoroh ayat 282,
4

Yang artinya : “Hai orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
diantara Kamu menuliskannya dengan benar”.
1. Al qur’an surat Al-Imron ayat 92.
Yang artinya : “ Kamu sekali – kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum
kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka Allah mengetahuinya”
1. UU No. 5 tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria
2. UU No. 41 tahun 2004 Bab I pasal I :
Wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

1. PP No. 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik


2. PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Wakaf
5.

1. PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf


2. Peraturan Menteri Agama No 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 28
tahun 1997 tentang Perwakahan Tanah milik
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No 3 tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
10. Keputusan Kepala BPN No 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Perngaturan dan
Pelayanan Dilingkungan Pertanahan Nasional

11. Peraturan Kepala BPN RI No. 6 tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar
Prosedur Operasi Pengaturan Dan pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Pertanahan
tertentu

Tujuan
Dengan penertiban prosedur dan pengadministrasian perwakafan tanah, maka diharapkan :

1. Tersusun administrasi perwakafan tanah dengan tertib dan benar.


2. Proses perwakafan tanah sesuai dengan peraturan dan Undang- Undang
3. Tanah wakaf akan tercatat sehingga lebih terjaga keamanan, kelestarian dan
pengembangannya karena terdata dengan kongkrit.
4. Pemberdayaan tanah wakaf akan lebih optimal.
5. Aset wakaf akan mudah diakses sewaktu – waktu bilamana diperlukan.
6

BAB III
RUMUSAN KEGIATAN
Untuk memperlancar dan mendukung kegiatan pengadministrasian perwakafan tanah, maka
harus dimulai dengan proses dan prosedur terjadinya peristiwa wakaf yang sesuai dengan syariah
dan Undang-Undang Pemerintahan yang berlaku, sebagaimana berikut :

1. Mengadakan pendataan harta benda wakaf secara lengkap dan akurat.


2. Mengadakan sosialisasi tentang Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dan peraturan
lainnya.
3. Gerakan pendataan tanah wakaf bagi yang bersertifikat ataupun belum bersertifikat
4. Mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan tanah wakaf untuk meningkatkan
kesejahteraan umat melalui pengembangan pengelolaan dan pemberdayaan.
5. Mengadakan data base tanah wakaf baik ditingkat Kecamatan ( KUA ) maupun tingkat
Kabupaten.
7

BAB IV
Permasalahan dan Pemecahannya
1. A. PERMASALAHAN.
1. Kurangnya sosialisasi tentang tata cara perwakafan tanah.
2. Kurangnya pendataan inventarisasi harta benda wakaf.
3. Minimnya informasi kepada masyarakat tentang tanah wakaf yang ada di
lingkungan tempat tinggalnya.
4. B. PEMECAHAN MASALAH.
1. I. Diadakan sosialisasi tentang Tata Cara Perwakafan kepada
masyarakat yang antara lain meliputi :
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2. Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan
jenis harta benda yang diwakafkan , diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang
dihadiri Nazhir, Mauquf Alaih dan sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
3. Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Dalam melaksanakan ikrar wakaf pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan
kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, surat-surat sebagai berikut :
8

1. Tanda bukti kepemilikan harta benda/ tanah.


2. Tanah yang akan diwakafkan , maka harus disertai dengan surat keterangan dari kepala
desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan kepemilikan benda tidak
bergerak dimaksud.
3. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan pernyataan status tanah
tersebut.
Agar perwakafan tanah milik dapat dilaksanakan dengan tertib, maka tata cara perwakafannya
harus ditentukan pula. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab fikih
tradisional dan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat adat , tata cara perwakafan tanah milik
menurut PP ini adalah sebagai brikut :

1. Seseorang atau badan hukum yang hendak mewakafkan tanahnya (sebagai calon wakif)
datang sendiri kepada pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan
kehendaknya. Apabila calon wakif itu tidak dapat datang sendiri karena sakit , sudah tua
atau karena alasan lain yang dapat diterima, ia dapat membuat surat kuasa secara tertulis
dengan persetujuan dengan ditandatangani 2 orang saksi . Ikrar wakaf itu kemudian
dibacakan pada nadzir dihadapan PPAIW. Pada waktu menghadap Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf itu, wakif harus membawa surat-surat berikut : sertifikat hak milik
atau benda bukti pemilikan tanah lainnya,
2. Surat keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat mengenai kebenaran
pemilikan tanah itu dan penjelasan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa,
3. Surat keterangan pendaftaran tanah,
9

1. Surat-surat yang dibawa calon wakif itu diperiksa lebih dahulu oleh Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf , apakah telah memenuhi aturan yang telah ditetapkan oleh
perundang-undangan. Kemudian PPAIW meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan
nadzir ;
2. Di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan dua orang saksi, wakif
mengucapkan ikrar wakafnya kepada nadzir yang telah disahkan dengan ucapan yang
jelas dan terang. Bila wakif tidak dapat mengucapkan ikrarnya karena bisu misalnya, ia
dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar
wakaf. Setelah selesai pengucapkan ikrar wakaf, wakif nadzir, saksi-saksi dan PPAIW
segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama
(yang telah melimpahkan wewenang itu kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama)
untuk membuat Akta Ikrar Wakaf. Pejabat tersebut adalah Kepala Kantor Urusan Agama
kecamatan setempat. Bila di suatu kecamatan belum ada Kantor Urusan Agama, maka yang
menjadi PPAIW untuk kecamatan bersangkutan adalah Kepala Urusan Agama Kecamatan
terdekat. Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf itu adalah
otentik. dibuat setelah wakif mengikrarkan penyerahan tanah wakafnya.

1. II. Dalam rangka penertiban administrasi perwakafan tanah, maka perlu


diadakan
Pendaftaran Tanah Wakaf.
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan – ketentuan tersebut di

10

atas, maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama nadzir yang bersangkutan

diharuskan mengajukan pendaftaran tanah wakaf kepada instansi yang berwenang guna menjaga
keutuhan dan kelestariannya.

Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir diharuskan mengajukan
permohonan kepada instansi berwenang setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik
tersebut menurut ketentuan PP No. 42 Tahun 2006. Instansi berwenang tersebut mencatatnya
pada buku register wakaf dan menerbitkan bukti pendaftaran tanah wakaf. Setelah itu nadzir
yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama,
dalam hal ini adalah Kepala KUA Kecamatan.

Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata cara Pendaftaran
Tanah Milik menyebutkan bahwa “untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan perwakafan
tanah , tidak dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya pengukuran dan materai”

Berdasarkan PP No. 42 Tahun 2006, tata cara pendaftaran harta benda wakaf yaitu :

Wakaf tanah sebagai Harta Benda Tidak Bergerak

- Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan AIW .

- Tanah yang diwakafkan sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf atas
nama nazhir.
11

- Apabila tanah yang diwakafkan hanya sebagian dari keseluruhan, harus dilakukan
pemecahan sertifikat milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama
nazhir.

- Pejabat yang berwenang di bidang pertanahan kabupaten/kota setempat mencatat


perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.

III. Penyampaian informasi kepada masyarakat tentang keberadaan Tanah Wakaf di


daerahnya.
1. PPAIW menyampaikan AIW kepada Kantor Kementerian Agama dan BWI untuk
dicatat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota dan BWI.
2. Nadzir hendaknya memberitahukan kepada masyarakat tentang keberadaan tanah wakaf
kepada masyarakat sekitar lokasi.
3. Masyarakat dapat mengetahui atau mengakses informasi tentang tanah wakaf sebagai
benda tak bergerak yang termuat dalam register umum yang tersedia pada
Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota.
12

BAB V
Kesimpulan Saran Dan Penutup
Kesimpulan.
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf, dan pelaksanaan Ikrar
Wakaf tersebut dilaksanakan dalam Majlis Ikrar Wakaf.
2. Majelis Ikrar Wakaf tersebut dihadiri oleh Wakif/Kuasa Wakif, Nadhir, Mauquf Alaih
dan sekurang – kurangnya 2 orang saksi.
3. Form,isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka PPAIW atas
nama nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada instansi
berwenang untuk mendaftar perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga
keutuhan dan kelestariannya.
5. PPAIW menyampaikan AIW kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota
dan BWI untuk dicatat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor
Kementerian Agama Kabupaten / Kota dan BWI.
13

S a r a n.
1.
1. Agar Kementerian Agama memberikan pembinaan dan penyuluhan
kepada masyarakat agar ditumbuhkan gerakan wakaf tanah yang
diperuntukkan tidak sebatas untuk tempat ibadah, sehingga diharapkan dapat
memberikan keleluasaan kepada nadzir untuk pengelolaan dan pengembangan,
dalam rangka memberikan manfaat kepada masyarakat .
2. Diharapkan kepada nadzir agar selalu mencatatkan tanah wakah serta hasil
pengembangannya
3. Diharapkan kepada nadzir untuk bisa amanah, kreatif dan inovatif dalam
pengelolaan dan pengembangan, sehingga hasilnya lebih optimal untuk
mensejahterakan umat.
Penutup
Demikian hasil kertas kerja kelompok I semoga dapat bermanfaat untuk perkembangan
pengelolaan wakaf baik ditingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten/ Kota. Sumbang saran dan
masukan yang konstruktif dari pihak lain demi penyempurnaan hasil tulisan ini

14

Daftar Pustaka

1.
1.
1. DEPAG RI, UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, PP No. 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaannya, Jakarta, 2008.
2. DEPAG RI Al Qur’an dan terjemahannya.
3. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Fiqih Wakaf, tahun 2005
15

Memuat...

TATA CARA PERWAKAFAN TANAH MILIK

Fiqh Islam tidak banyak membicarakan prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf secara
terperinci. Untuk menjamin kepastian hukum atas tanah wakaf, Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) telah menggariskan adanya keharusan untuk melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh
wilayah Republik Indonesia (Pasal 19 ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960). Sebagai tindak lanjut
dari hal tersebut pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
pendaftaran tanah yang memuat pengaturan secara teknis penyelenggaraan pendaftaran tanah di
negara Indonesia. Pada pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1977 bahwa
tanah yang akan diwakafkan harus merupakan tanah hak milik dan harus bebas ikatan, jaminan,
sitaan dan juga bebas dari persengketaan. Hal ini juga dinyatakan dalam pasal 4 Peraturan
Pemerintah No. 8 Tahun 1977.

Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang


suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam dan juga salah satu pengamalan dari
Pancasila. Berhubungan dengan itu, maka tanah yang hendak diwakafkan itu harus betul-betul
merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya dari sudut pemilikan. Selain dari pada itu
persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan
dikemudian hari. Berdasarkan pandangan diatas, maka tanah yang mengandung pembebanan
seperti hipotik, credietverband, tanah dalam proses perkara dan sengketa tidak dapat diwakafkan
sebelum masalahnya diselesaikan terlebih dahulu.

Untuk dapat mencapai hak milik suatu tanah terlebih dahulu harus diadakan pendaftaran
tanah. Hak milik atas tanah dalam pengertian sekarang, sebagimana tercantum dalam pasal 20
ayat (1) UUPA No. 5 Tahun 1960 adalah: “Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengikat ketentuan dalam pasal 6.”
Menurut pasal 6 dari UUPA tersebut menyatakan semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.
Terkuat dan terpenuh disini tidak berarti bahwa hak milik merupakan hak yang mutlak, tidak
terbatas dan tidak dapat diganggu gugat. Ini dimaksudkan untuk membedakan dengan hak-hak
atas tanah lainnya yang dimiliki oleh individu. Dengan kata lain, hak milik yang merupakan hak
yang paling kuat dan paling penuh diantara semua hak-hak atas tanah lainnya. Sehingga si
pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali di tangan siapapun benda itu berada. Seseorang
yang mempunyai hak milik dapat berbuat apa saja sekehendak hatinya atas miliknya itu, asal saja
tindakannya itu tidak bertentangan dengan undang-undang atau melanggar hak atau kepentingan
orang lain.

Yang dapat mempunyai hak milik, menurut pasal 21 UUPA yaitu:

a. Warga Negara Indonesia

b. Badan-badan hukum tertentu

c. Badan-badan hukum yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan sepanjang tanahnya
dipergunakan untuk itu.

Hak milik terhadap suatu tanah dapat terhapus apabila:

1) Tanahnya kepada Negara, karena:

a. Pencabutan hak

b. Penyerahan sukarela oleh pemiliknya

c. Diterlantarkan

d. Berdasarkan ketentuan pasal 21 ayat (3) dan pasal 26 ayat (2) UUPA.

2) Tanahnya musnah

Setelah tanah yang hendak diwakafkan itu sudah didaftarkan dan sudah memperoleh
kekuatan hukum sebagai hak milik, barulah perwakafan dapat dilaksanakan. Tetapi lain halnya
menurut pendapat Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad, wakaf dianggap telah terlaksana dengan
adanya lafad atau sighat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Milik semula dari wakif telah
hilang atau berpindah dengan terjadinya sighat walaupun barang itu masih berada di tangan
wakif. Dari keterangan tersebut, terlihat bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak
persyaratan menyangkut porsedur atau tata cara pelaksanaan wakaf. Hanya Abu Hanifah yang
berpendapat bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif sampai hakim memberikan
putusan yaitu dengan mengumumkan barang wakaf tersebut.

Pada tanggal 27 Mei 1977, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 28


Tahun 1977 yang mengatur tentang perwakafan Tanah Milik. Karena Peraturan Pemerintah ini
hanya menyangkut garis-garis besarnya saja tentang pelaksanaan perwakafan, maka Menteri
Dalam Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang tata
cara pendaftaran tanah wakaf.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 ini menegaskan bahwa semua tanah
yang diwakafkan harus didaftarkan kepada Sub. Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya.
Teknis pelaksanaan secara adminitratif diakui dengan peraturan Menteri Dalam Negeri Agama
No. 1 Tahun 1978 tertanggal 10 Januari 1978.

Menteri Dalam Negeri Agama No. 1 Tahun 1978 ini mengatur secara menyeluruh teknis
administatif dari pada pelaksanaan perbuatan hukum wakaf, maka secara diam-diam
memberikan penegasan tentang kompetensi Departemen Agama sebagai pelaksanaan urusan
wakaf.

Dengan PP No. 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 serta
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 lengkaplah sudah perbuatan hukum wakaf tanah
milik dapat dilaksanakan dengan baik. (Suhadi, 1981: 32)

Secara garis besar cukup sudah peraturan ini menampung segi-segi perbuatan hukum
wakaf, yang di Indonesia merupakan masalah penting. Dengan adanya PP No. 28 Tahun 1977
tersebut secara tegas mencabut ketentuan-ketentuan dan peraturan tentang perwakafan tanah hak
milik sebagaimana tercantum dalam bijblad No. 6196 Tahun 1905, bijblad No. 13480 Tahun
1935 beserta peraturan pelaksanaannya.

Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 dan peraturan pelaksanaannya telah


menentukan bagian prosedur tata cara perwakafan tanah milik harus dilakukan pertama, maka
pihak yang mewakafkan tanahnya diharuskan datang menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW). Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya mengikrarkan kehendaknya secara
tegas, jelas, dan lugas kepada nadzir dihadapan PPAIW tersebut. Isi dan bentuk dibuktikan
dengan tertulis dan ini ditentukan oleh Menteri Agama. Bentuk dan isi dari pada ikrar wakaf ini
telah ditentukan di dalam Peraturan Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam tanggal 18
April 1978 dengan Nomor. Kep/D/75/78. Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan tentang
perwakafan tanah milik harus digunakan formulir-formulir sebagaimana telah ditentukan dalam
Peraturan Direktorat Jendral BIMAS tersebut. Formulir-formulir tersebut ada dalam pasal 2,
sebagai berikut:

a. Ikrar Wakaf menurut bentuk W.1

b. Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.2

c. Salinan Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.2a

d. Surat Keterangan Kepala Desa tentang Perwakafan Tanah Milik menurut bentuk W.K

e. Surat Pendaftaran Tanah Wakaf yang terjadi sebelum berlakunya PP Nomor 28 Tahun 1977
menurut bentuk W.D

f. Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.3

g. Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.3a

h. Daftar Akta Pengganti Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.4a

i. Daftar Akta Ikrar Wakaf menurut bentuk W.4

j. Surat Pengesahan Nadzir menurut bentuk W.5

k. Buku catatan tentang keadaan tanah wakaf menurut bentuk W.6

l. Buku catatan tentang pengelolaan dan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6a

m. Buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf menurut bentuk W.6b

n. Permohonan pendaftaran tanah wakaf menurut bentuk W.7


Pasal 9 dari PP No. 28 Tahun 1977 mengharuskan adanya perwakafan secara tertulis
tidak cukup hanya dengan ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang
otentik yang dapat dipergunakan untuk berbagai persoalan, seperti untuk bahan-bahan
pendaftaran pada kantor Sub. Direktorat Agraria Kabupaten/ Kotamadya dan bentuk keperluan
penyelesaian sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari tentang tahan yang diwakafkan.

Pelaksanaan ikrar demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf dianggap sah jika dihadiri
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi. Saksi ikrar wakaf harus telah
dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan
hukum.

Dalam melaksanakan ikrar tersebut maka pihak yang mewakafkan tanah diharuskan
membawa serta dan menyerahkan kepada PPAIW tersebut sebagimana yang tercantum dalam
ayat (2):

1. Sertifikat hak milik atau benda bukti pemilikan tanah lainnya.

2. Surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sengketa.

3. Surat keterangan pendaftaran tanah.

4. Izin dari Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub. Direktorat Agraria setempat.

Sesaat setelah pelaksanaan ikrar, PPAIW membuat Akta Ikrar Wakaf dan salinannya.
Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap 3 (tiga). Sedangkan salinan Akta Ikrar Wakaf dibuat rangkap 4
(empat):

1. Salinan lembar pertama disampaikan kepada wakif.

2. Salinan lembar kedua disampaikan kepada nadzir.

3. Salinan lembar ketiga disampaikan kepada Kandepag.

4. Salinan lembar keempat dikirim kepada Kepala Desa/ Lurah.


Kemudian sebagaimana tercantum pada pasal 10 PP No. 28 Tahun 1977, setelah Akta
Ikrar Wakaf dilaksanakan, maka PPAIW atas nama nadzir yang bersangkutan mengajukan
permohonan kepada Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah melalui Kepala Sub. Direktorat
Agraria setempat yang menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut dalam
suatu sengketa dan kemudian didaftarkan sebagai perwakafan tanah milik.

Sesuai dengan ketentuan pasal 18 Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 maka
penyelesaian administrasi perwakafan tanah milik yang diatur dalam peraturan ini dibebaskan
dari biaya kecuali bea materai. Pengaturan lebih lanjut tentang bea materai ini dijumpai dalam
Surat Edaran Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji tanggal 25 Juni
1980 No. DII/5/Ed/14/1980 tentang pemakaian bea materai yang selanjutnya menunjuk pada
Surat Edaran Direktur Jendral Pajak tanggal 27 Mei 1980 No. S-629/PJ.331/1980 yang antara
lain menetapkan adanya beberapa formulir dalam proses perwakafan yang terkena bea materai,
yaitu Surat Ikrar Wakaf (wakif membubuhkan tanda tangan diatas materai). Akta Ikrar Wakaf
menurut pasal 31/II No. 15 Aturan Bea Materai 1921 dan pengganti Ikrar Wakaf yang masing-
masing terkena bea materai Rp. 25,-, sedangkan untuk formulir-formulir lainnya bebas bea
materai.

.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1
A. Latar Belakang....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................. 3
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia............ 3
B. Tata Cara Perwakfan Tanah Milik......................................... 3
C. Bagaimakah Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi
Terhadap Pelanggaran yang Dilakukan dalam Permasalahan
Wakaf Tanah Hak Milik......................................................... 4
BAB III KESIMPULAN.................................................................. 7

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dalam Pasal 16 menerangkan harta benda yang
dapat diwakafkan. Pasal ini menyebutkan bahwa benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat
menjadi objek wakaf (dapat diwakafkan). Ayat (2) dari Pasal 16 menerangkan : benda tidak
bergerak yang dapat diwakafkan meliputi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum didaftar. Pasal ini tidak
menerangkan pengertian wakaf tanah, namun secara tersurat pasal ini menjelaskan bahwa tanah
hak milik yang merupakan benda tidak bergerak dapat diwakafkan.
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
wakaf tanah adalah perbuatan hukum Seseorang atau Badan Hukum yang memisahkan sebagian
dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentianagn peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam
(Pasal 1 ayat 1 PP.No.28/1977 dan Pasal 1 Sub B Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1978).
Menurut PP.No.28 Tahun 1977, orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya disebut wakif, dan untuk adanya wakaf maka diperlukan adanya suatu Ikrar atau
pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. Sedangkan orang atau
Badan Hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf disebut Nadzir.
Perwakafan ini harus dilakukan dimuka Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Menurut Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978, kepala kantor urusan agama (KUA)
ditunjuk sebagi PPAIW. Sedangkan untuk administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Menurut pasal 9 ayat (2) PP No. 28 tahun 1977 PPAIW ini
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Akan tetapi demi efektifitas dan kelancaran
pelaksanaan, maka dilakukan pendelegasian wewenang pengangkatan atau penunjukkan serta
pemberhentian Kepala Kantor Urusan Agama sebagai PPAIW kepada kepala kantor Wilayah
Departemen Agama Propinsi atau setingkat, sesuai keputusan Menteri Agama No. 73 tahun
1978.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah yang berjudul
“Perwakafan Tanah Hak milik” ini adalah:
1. Apakah dasar hukum Pelaksanaan perwakafan di Indonesia?
2. Bagimanakah tata cara perwakafan tanah hak milik?
3. Bagaimakah ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan
dalam permasalahan wakaf tanah hak milik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia.
Adapun dasar hukum yang menjamin pelaksanaan perwakafan di Indonesia antara lain
diatur dalam:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik Jo PMA No. 1
Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
2. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
B. Tata Cara Perwakafan Tanah Hak Milik.
Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif)
diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW,
surat-surat sebagai berikut:
a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah.
b. Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan
tanah dan tidak dalam sengketa.
c. Surat Keterangan pendaftaran tanah.
d. Ijin Bupati/Walikotamadya c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam
rangka tata kota atau master plan city.
3. PPAIW meneliiti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak
atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir.
4. Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak
wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan.Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas
dan dituangkan dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa
mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan
kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1.Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis
dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau
naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan
semua yang hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk
W.1).
5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap empat dengan dibubuhi
materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat
ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai
berikut. Akta Ikrar Wakaf:
a. Lembar pertama disimpan PPAIW.
b. Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Subdit
Agraria setempat (W.7).
c. Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat.
Salinan Akta Ikrar Wakaf :
a. Lembar pertama untuk wakif.
b. Lembar kedua untuk nadzir.
c. Lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan/Kotamadya.
d. Lembar keempat untuk Kepala Desa setempat.Disamping telah membuat Akta, PPAIW
mencatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya
dengan baik.
C. Bagaimakah ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang
dilakukan dalam permasalahan wakaf tanah hak milik.
Negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi Hukum, sehingga segala pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan akan ditindak dan diberi sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi
Administrasi sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Demikian pula dengan pelanggaran yang
dilakukan dalam permasalahan wakaf terutama mengenai wakaf tanah.
Dalam UU. No. 41 tahun 2004 tentang wakaf disampaikan dengan jelas sanksi yang akan
diterima apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan wakaf. Baik sanksi pidana maupun
sanksi administratif. Bentuk pelanggaran dan berat sanksi yang diberikan termuat jelas dalam
pasal 67 UU. No. 41 tahun 2004 yaitu:
Ayat (1) : Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghilangkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa menukar harta benda wakaf yang
telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, dipidana dengan pidana paling lama 5
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah ).
Ayat (2) : Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukkan harta benda wakaf
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Ayat ( 3 ) : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas
hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagimana dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sedangkan dibagian kedua pasal 68 UU. No. 41 tahun 2004 disebutkan kriteria
pelanggaran mengenai perwakafan, sanksi, dan lembaga yang berhak memberikan sanksi yaitu
berupa sanksi administratif, disebutkan dalam:
Ayat (1), Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak
didaftarkannya harta benda wakaf oleh Lembaga Keuangan Syariah dan PPAIW.
Ayat (2), Sanksi administratif sebagimana dimaksud ayat (1) berupa:
- Peringatan tertulis
- Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi Lembaga
Keuangan Syariah.
- Penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW
Ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) diatur dengan peraturan pemerintah.
Sangat jelas disebutkan didalam pasal-pasal diatas, mengenai bentuk pelanggaran dan
Sanksi-sanksi mengenai tanah wakaf, Undang-undang tersebut yang bisa dianggap masih awal
belum dapat terinterprestasikan dengan seharusnya. Seperti kita ketahui praktik perwakafan
tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efesien
sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya,
terlantar atau teralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu
tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli
memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan, tujuan fungsi, dan peruntukan wakaf.
BAB III
KESIMPULAN
Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas
keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik
tersebut ditinjau dari sudut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berhubung dengan
masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi),maka hak atas tanah yang
jangka waktunya terbatas tidak dapat diwakafkan. Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya
hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya
seperti hak guna usaha, hak guna bangunan,hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang
terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan
kewenangan seperti halnya pemegang hak milik,oleh karena itu lebih mudah dan simple tanah
yang sifatnya hak milik untuk di wakafkan.
PP 28/1977, PERWAKAFAN TANAH MILIK
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu
sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam,
dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila;

b.bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang
perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga
membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-
data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan ;

c.bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan pendaftaran
perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (2) Undang-undang 1945;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara ;
3.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAHAN TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
*19097 Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan
(1)Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam.
(2)Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya.
(3)Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
(4)Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
BAB II
FUNGSI WAKAF
Bagian Pertama
Pasal 2
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf
Pasal 3
(1)Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan
memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Dalam hal Badan-badan Hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya
yang sah menurut hukum.
Pasal 4
Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik
yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Pasal 5
(1)Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas
kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat
(2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
*19098 (2)Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 6
(1)Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus
memenuhi syarat-syarat berikut
a.warganegara Republik Indonesia;
b.beragama Islam;
c.sudah dewasa;
d.sehat jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak berada dibawah pengampuan;
f.bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(2)Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut :
a.badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(3)Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
(4)Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3),
ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 7
(1)Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf
(2)Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut
kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama.
Pasal 8
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan
lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB III
TATACARA MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA
Bagian Pertama
Tatacara perwakafan tanah milik
*19099 Pasal 9
(1)Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5)Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah
diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) surat surat
berikut :
a.sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Bagian Kedua
Pendaftaran wakaf tanah milik
Pasal 10
(1)Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9,
maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan
mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub
Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan
menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2)Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah
menerima permohonan tersebut dalam ayat (I) mencatat perwakafan tanah milik yang
bersangkutan pada bukti tanah dan sertifikatnya.
(3)Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang
dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4)Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan dalam
ayat (2) dan (3).
(5)Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya
seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya
kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
BAB V
*19100 PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN
PERWAKAFAN TANAH MILIK
Bagian Pertama
Perubahan perwakafan tanah milik
Pasal 11
(1)Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan
peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.
(2)Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
a.karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.karena kepentingan umum.
(3)Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai
akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk
mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan
melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 13
Pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Agama.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 14
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11, dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
10.000,-(sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15
*19101 Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama Badan
Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan, baik
terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan
tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab dalam perbuatan atau
kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1)Perwakafan tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan kepada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
(2)Cara-cara dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh
Menteri Agama.
Pasal 17
(1)Peraturan dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana
tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931, Nomor
13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak
berlaku lagi.
(2)Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada 17 Mei 1977 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA, *19102 SUDHARMONO, SH.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK

I.UMUM. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas
keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik
tersebut ditinjau dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada waktu yang
lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia tidak diatur secara tuntas dalam bentuk
suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari
hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam
bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan
untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf
yang tidak diketahui lagi keadaannya. Malahan dapat terjadi, benda-benda yang diwakafkan itu
seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus(Nadzir).
Kejadian-kejadian tersebut diatas menimbulkan keresahan dikalangan umat beragama,
khususnya mereka yang menganut agama Islam, dan menjurus ke arah antipati. Dilain pihak
banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya status tanahnya,
sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak saja akan mengurangi kesadaran
beragama dari mereka yang menganut agama Islam,bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-
usaha Pemerintah untuk menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah
beragama,sebagaimana terkandung dalam ajaran Pancasila dan digariskan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya
seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian
pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk
menghindari kekacauan dikemudian hari.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan
bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang
hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik.
Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka
hak atas tanah yang *19103 jangka waktunya ter-batas tidak dapat diwakafkan.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai kepengurusan dari wakif
(Nadzir), tatacara perwakafan, tatacara pemberian hak dan tata cara untuk mendapatkan
kepastian hak atas tanah yang diwakafkan.
II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Ayat (1) sampai dengan ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan kelompok orang dalam ayat ini ialah kelompok orang yang
merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Dalam pasal ini dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi,seseorang yang mewakafkan.
Pencantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari tidak sahnya
perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern (cacad atau kurang sempurna cara
berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa orang lain. Ketentuan-ketentuan ini
berlaku juga bagi badan hukum dan Yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan
dengan penyesuaian persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci,
mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubung dengan itu, maka tanah-tanah
yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacadnya ditinjau
dari sudut pemilikan. Selain daripada itu persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk sering berhadapan dengan
Pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan syariat agama Islam. Berdasarkan pandangan
tersebut diatas, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti hipotik, crediet verband,
tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya
diselesaikan terlebih dahulu.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Dalam pasal ini diatur tentang persyaratan Nadzir (pengurus) dari wakaf, sehingga pengurus baik
yang *19104 terdiri dari kelompok orang-orang maupun suatu badan hukum dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Jumlah Nadzir untuk suatu daerah perlu dibatasi dan di daftar dengan
maksud untuk mengurangi benih-benih perselisihan disebabkan banyak orang yang mengurusi
sesuatu hal atas benda yang sama. Pendaftaran dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan
pengawasan.
Pasal 7
Dalam rangka memudahkan pengawasan perwakafan tanah, maka nadzir yang telah diangkat
diharuskan memberikan laporan secara berkala terhadap keadaan perwakafan tanah yang
diurusnya dan penggunaan dari hasil-hasil dari wakaf itu. Pelaporan ini dimaksudkan juga untuk
memudahkan pengawasan.
Pasal 8
Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas kepada
Nadzir. Dengan telah diberinya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan Nadzir ini, maka
diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan wakaf.
Pasal 9
Pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis,tidak cukup hanya dengan
ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat
dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub
Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang
yang hendak mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan
(sertifikat/kekitir tanah) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk
melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut, maka diperlukan
pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk
dan isi Ikrar Wakaf perlu diseragamkan.
Pasal 10
Salah satu hal yang selama ini belum pernah diatur dan dilaksanakan secara seksama adalah
pendaftaran tanah-tanah yang diwakafkan menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya. Pendaftaran tanah perwakafan ini sangat penting
artinya baik ditinjau dari segi tertib hukum maupun dari segi administrasi penguasaan dan
penggunaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan agraria. Dengan telah
didaftarkan dan dicatatnya waktu *19105 tersebut dalam sertifikat tanah hak milik yang
diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah mempunyai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 11
Pada waktu yang lampau, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan begitu saja
oleh Nadzirnya tanpa alasan-alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang demikian sudah barang tentu
akan menimbulkan reaksi dalam masyarakat terutama dari mereka yang langsung berkepentingan
dengan perwakafan tanah tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah diadakan pembatasan-
pembatasan yang ketat dan disamping itu maksud perubahan status harus terlebih dahulu
mendapat izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan cara pembatasan-
pembatasan yang demikian ini diharapkan dapat dihindarkan praktek-praktek yang merugikan
perwakafan. Untuk kepentingan administrasi pertanahan perubahan status wakaf diharuskan
untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang. Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan
tersebut dalam Pasal 11 Ayat (2) disamping terkena sanksi seperti dimaksud dalam Pasal 15,
juga perbuatan itu batal dengan sendirinya menurut hukum.
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini yang termasuk yurisdiksi Pengadilan
Agama adalah masalah sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan seperti dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah ini dan lain-lain masalah yang menyangkut masalah wakaf berdasarkan
syariat Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah-masalah lainnya yang secara nyata
menyangkut Hukum Perdata dan Hukum Pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam
Pengadilan Negeri.
Pasal 13
Pada umumnya perwakafan tanah terjadi di daerah-daerah tingkat Kecamatan. Untuk
memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik di tingkat Kecamatan,
Kabupaten, Propinsi dan Pusat. Mengenai cara pengawasan menurut jalur timbal-balik akan
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Pasal ini merupakan pasal peralihan perwakafan tanah yang terjadi sebelum Peraturan
Pemerintah ini dikeluarkan. Kewajiban menyesuaikan perwakafan yang telah ada dengan
Peraturan Pemerintah ini *19106 yang harus dilakukan oleh Nadzir yang bersangkutan tidak
hanya cukup dengan mendaftarkan pada Kantor Urusan Agama setempat, melainkan juga harus
dengan menyelesaikan status tanah dan pendaftaran haknya melalui acara yang diperlukan pada
perwakafan tanah milik seperti dimaksud dalam Pasal 10. Berhubung masalah penyesuaian
perwakafan yang telah ada dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
diperlukan waktu dan kebijaksanaan khusus, maka tatacara, jangka waktu penyesuaian demikian
pula kemungkinan perpanjangannya akan diatur lebih lanjut oleh MenteriAgama.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.

PERADILAN AGAMA
FAK. SYARI’AH & HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2010/2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmatNya baik itu berupa
nikmat kesehatan serta kesempatan sehingga tugas makalah Perwakafan ini dapat terselesaikan,
meskipun masih banyak terdapat kekurangan baik dalam penulisan, pembahasan serta materi
muatan yang kami angkat didalamnya.
Rasulullah SAW pernah bersabdah tentang pentingnya ilmu pengetahuan diantaranya,
“tuntutlah ilmu walaupun dinegeri Cina”. Sakin pentingnya ilmu pengetahuan Rasulullah
sampai-sampai memerintahkan menuntut ilmu meskipun itu jauh tempatnya. Kenapa musti ilmu?
Karena dengan ilmu pengetahuan maka segalanya akan didapat ridha Allah SWT pun akan
didapat. Ilmu juga sangat penting karena bagaimana mungkin kita melakukan praktek muamalah
baik itu jual beli sampai praktek perwakafan kalau ilmunya tidak kita miliki.
Terima kasih kami ucapkan kepada kedua orang tua kami, dosen pembimbing, karena
berkat beliau ilmu tentang perwakafan dapat kami ketahui meskipun belum sepenuhnya serta
teman-teman yang mendukung atas terselesaikannya makalah kami ini.
Kami sadar bahwa dalam makalah kami ini terdapat kekurangan. Maka atas saran dan
kritiknya kami ucapkan banyak terima kasih, demi perbaikan makalah kami selanjutnya.
Mudah-mudahan makalah kami ini dapat berguna bagi penulis sendiri dan siapapun yang
membutuhkannya terutama dibidang perwakafan.

Penulis.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................ 1
A. Latar Belakang....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................. 3
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia............ 3
B. Tata Cara Perwakfan Tanah Milik......................................... 3
C. Bagaimakah Ketentuan Pidana dan Sanksi Administrasi
Terhadap Pelanggaran yang Dilakukan dalam Permasalahan
Wakaf Tanah Hak Milik......................................................... 4
BAB III KESIMPULAN.................................................................. 7

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut
syariah. Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dalam Pasal 16 menerangkan harta benda yang
dapat diwakafkan. Pasal ini menyebutkan bahwa benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat
menjadi objek wakaf (dapat diwakafkan). Ayat (2) dari Pasal 16 menerangkan : benda tidak
bergerak yang dapat diwakafkan meliputi hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku baik yang sudah maupun yang belum didaftar. Pasal ini tidak
menerangkan pengertian wakaf tanah, namun secara tersurat pasal ini menjelaskan bahwa tanah
hak milik yang merupakan benda tidak bergerak dapat diwakafkan.
Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
wakaf tanah adalah perbuatan hukum Seseorang atau Badan Hukum yang memisahkan sebagian
dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
untuk kepentianagn peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam
(Pasal 1 ayat 1 PP.No.28/1977 dan Pasal 1 Sub B Peraturan Menteri Agama No.1 tahun 1978).
Menurut PP.No.28 Tahun 1977, orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya disebut wakif, dan untuk adanya wakaf maka diperlukan adanya suatu Ikrar atau
pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya. Sedangkan orang atau
Badan Hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf disebut Nadzir.
Perwakafan ini harus dilakukan dimuka Pejabat pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
Menurut Peraturan Menteri Agama No. 1 tahun 1978, kepala kantor urusan agama (KUA)
ditunjuk sebagi PPAIW. Sedangkan untuk administrasi perwakafan diselenggarakan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan. Menurut pasal 9 ayat (2) PP No. 28 tahun 1977 PPAIW ini
diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Agama. Akan tetapi demi efektifitas dan kelancaran
pelaksanaan, maka dilakukan pendelegasian wewenang pengangkatan atau penunjukkan serta
pemberhentian Kepala Kantor Urusan Agama sebagai PPAIW kepada kepala kantor Wilayah
Departemen Agama Propinsi atau setingkat, sesuai keputusan Menteri Agama No. 73 tahun
1978.
B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah yang berjudul
“Perwakafan Tanah Hak milik” ini adalah:
1. Apakah dasar hukum Pelaksanaan perwakafan di Indonesia?
2. Bagimanakah tata cara perwakafan tanah hak milik?
3. Bagaimakah ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang dilakukan
dalam permasalahan wakaf tanah hak milik?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dasar Hukum Pelaksanaan Perwakafan di Indonesia.
Adapun dasar hukum yang menjamin pelaksanaan perwakafan di Indonesia antara lain
diatur dalam:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik Jo PMA No. 1
Tahun 1978 Tentang Pelaksanaan PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.
2. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
3. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang telah di ubah dengan
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006.
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam.
5. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.
B. Tata Cara Perwakafan Tanah Hak Milik.
Tata cara perwakafan tanah milik secara berurutan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Perorangan atau badan hukum yang mewakafkan tanah hak miliknya (sebagai calon wakif)
diharuskan datang sendiri di hadapan PPAIW untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2. Calon wakif sebelum mengikrarkan wakaf, terlebih dahulu menyerahkan kepada PPAIW,
surat-surat sebagai berikut:
a. Sertifikat hak milik atau tanda bukti kepemilikan tanah.
b. Surat Keterangan Kepala Desa diperkuat oleh Camat setempat mengenai kebenaran pemilikan
tanah dan tidak dalam sengketa.
c. Surat Keterangan pendaftaran tanah.
d. Ijin Bupati/Walikotamadya c.q. Sub Direktorat Agraria setempat, hal ini terutama dalam
rangka tata kota atau master plan city.
3. PPAIW meneliiti surat-surat dan syarat-syarat, apakah sudah memenuhi untuk pelepasan hak
atas tanah (untuk diwakafkan), meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan nadzir.
4. Di hadapan PPAIW dan dua orang saksi, wakif mengikrarkan atau mengucapkan kehendak
wakaf itu kepada nadzir yang telah disahkan.Ikrar wakaf tersebut diucapkan dengan jelas, tegas
dan dituangkan dalam bentuk tertulis (ikrar wakaf bentuk W.1). Sedangkan bagi yang tidak bisa
mengucapkan (misalnya bisu) maka dapat menyatakan kehendaknya dengan suatu isyarat dan
kemudian mengisi blanko dengan bentuk W.1.Apabila wakif itu sendiri tidak dapat menghadap
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), maka wakif dapat membuat ikrar secara tertulis
dengan persetujuan dari Kandepag yang mewilayahi tanah wakaf dan kemudian surat atau
naskah tersebut dibacakan dihadapan nadzir setelah mendapat persetujuan dari Kandepag dan
semua yang hadir dalam upacara ikrar wakaf tersebut ikut menandatangani Ikrar Wakaf (bentuk
W.1).
5. PPAIW segera membuat Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.2) rangkap empat dengan dibubuhi
materi menurut ketentuan yang berlaku dan selanjutnya, selambat-lambatnya satu bulan dibuat
ikrar wakaf, tiap-tiap lembar harus telah dikirim dengan pengaturan pendistribusiannya sebagai
berikut. Akta Ikrar Wakaf:
a. Lembar pertama disimpan PPAIW.
b. Lembar kedua sebagai lampiran surat permohonan pendaftaran tanah wakaf ke kantor Subdit
Agraria setempat (W.7).
c. Lembar ketiga untuk Pengadilan Agama setempat.
Salinan Akta Ikrar Wakaf :
a. Lembar pertama untuk wakif.
b. Lembar kedua untuk nadzir.
c. Lembar ketiga untuk Kandep. Agama Kabupatan/Kotamadya.
d. Lembar keempat untuk Kepala Desa setempat.Disamping telah membuat Akta, PPAIW
mencatat dalam Daftar Akta Ikrar Wakaf (bentuk W.4) dan menyimpannya bersama aktanya
dengan baik.
C. Bagaimakah ketentuan pidana dan sanksi administrasi terhadap pelanggaran yang
dilakukan dalam permasalahan wakaf tanah hak milik.
Negara kita adalah negara yang menjunjung tinggi Hukum, sehingga segala pelanggaran
dan kejahatan yang dilakukan akan ditindak dan diberi sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi
Administrasi sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Demikian pula dengan pelanggaran yang
dilakukan dalam permasalahan wakaf terutama mengenai wakaf tanah.
Dalam UU. No. 41 tahun 2004 tentang wakaf disampaikan dengan jelas sanksi yang akan
diterima apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan wakaf. Baik sanksi pidana maupun
sanksi administratif. Bentuk pelanggaran dan berat sanksi yang diberikan termuat jelas dalam
pasal 67 UU. No. 41 tahun 2004 yaitu:
Ayat (1) : Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghilangkan, menjual,
mewariskan, mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah
diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 atau tanpa menukar harta benda wakaf yang
telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 41, dipidana dengan pidana paling lama 5
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah ).
Ayat (2) : Setiap orang yang dengan sengaja mengubah peruntukkan harta benda wakaf
tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta
rupiah).
Ayat ( 3 ) : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan atau mengambil fasilitas atas
hasil pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf melebihi jumlah yang ditentukan
sebagimana dimaksud dalam pasal 12, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sedangkan dibagian kedua pasal 68 UU. No. 41 tahun 2004 disebutkan kriteria
pelanggaran mengenai perwakafan, sanksi, dan lembaga yang berhak memberikan sanksi yaitu
berupa sanksi administratif, disebutkan dalam:
Ayat (1), Menteri dapat mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran tidak
didaftarkannya harta benda wakaf oleh Lembaga Keuangan Syariah dan PPAIW.
Ayat (2), Sanksi administratif sebagimana dimaksud ayat (1) berupa:
- Peringatan tertulis
- Penghentian sementara atau pencabutan izin kegiatan di bidang wakaf bagi Lembaga
Keuangan Syariah.
- Penghentian sementara dari jabatan atau penghentian dari jabatan PPAIW
Ayat (3) : Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat ( 1 ) dan ayat ( 2 ) diatur dengan peraturan pemerintah.
Sangat jelas disebutkan didalam pasal-pasal diatas, mengenai bentuk pelanggaran dan
Sanksi-sanksi mengenai tanah wakaf, Undang-undang tersebut yang bisa dianggap masih awal
belum dapat terinterprestasikan dengan seharusnya. Seperti kita ketahui praktik perwakafan
tanah yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya berjalan tertib dan efesien
sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara sebagaimana mestinya,
terlantar atau teralih ketangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum. Keadaan demikian itu
tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nadzir dalam mengelola dan
mengembangkan harta benda wakaf tetapi karena juga sikap masyarakat yang kurang peduli
memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan, tujuan fungsi, dan peruntukan wakaf.
BAB III
KESIMPULAN
Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas
keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik
tersebut ditinjau dari sudut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Berhubung dengan
masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi),maka hak atas tanah yang
jangka waktunya terbatas tidak dapat diwakafkan. Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya
hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya
seperti hak guna usaha, hak guna bangunan,hak pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang
terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan
kewenangan seperti halnya pemegang hak milik,oleh karena itu lebih mudah dan simple tanah
yang sifatnya hak milik untuk di wakafkan.
PP 28/1977, PERWAKAFAN TANAH MILIK
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a.bahwa wakaf adalah suatu lembaga keagamaan yang dapat dipergunakan sebagai salah satu
sarana guna pengembangan kehidupan keagamaan, khususnya bagi umat yang beragama Islam,
dalam rangka mencapai kesejahteraan spiritual dan material menuju masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila;

b.bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ini yang mengatur tentang
perwakafan tanah milik, selain belum memenuhi kebutuhan akan cara-cara perwakafan, juga
membuka kemungkinan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan disebabkan tidak adanya data-
data yang nyata dan lengkap mengenai tanah-tanah yang diwakafkan ;

c.bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, maka dipandang perlu untuk mengatur tatacara dan pendaftaran
perwakafan tanah milik dengan Peraturan Pemerintah;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (2) Undang-undang 1945;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar
Haluan Negara ;
3.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
4.Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara
Tahun 1961 Nomor 28; Tambahan Lembaran Negara Nomor 2171);
MEMUTUSKAN : Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAHAN TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
*19097 Pasal 1
Yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini dengan
(1)Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama islam.
(2)Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya.
(3)Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
(4)Nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
BAB II
FUNGSI WAKAF
Bagian Pertama
Pasal 2
Fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf.
Bagian Kedua
Unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf
Pasal 3
(1)Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya dengan
memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)Dalam hal Badan-badan Hukum, maka yang bertindak atas namanya adalah pengurusnya
yang sah menurut hukum.
Pasal 4
Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik
yang bebas dari segala pembebanan, ikatan, sitaan, dan perkara.
Pasal 5
(1)Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas
kepada Nadzir dihadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat
(2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf, dengan disaksikan oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
*19098 (2)Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
Pasal 6
(1)Nadzir sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Pasal 1 yang terdiri dari perorangan harus
memenuhi syarat-syarat berikut
a.warganegara Republik Indonesia;
b.beragama Islam;
c.sudah dewasa;
d.sehat jasmaniah dan rohaniah;
e.tidak berada dibawah pengampuan;
f.bertempat tinggal di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(2)Jika berbentuk badan hukum, maka Nadzir harus memenuhi persyaratan berikut :
a.badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b.mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.
(3)Nadzir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didaftar pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat untuk mendapatkan pengesahan.
(4)Jumlah Nadzir yang diperbolehkan untuk sesuatu daerah seperti dimaksud dalam ayat (3),
ditetapkan oleh Menteri Agama berdasarkan kebutuhan.
Bagian Ketiga
Kewajiban dan Hak-hak Nadzir
Pasal 7
(1)Nadzir berkewajiban untuk mengurus dan mengawasi kekayaan wakaf serta hasilnya menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur lebih lanjut oleh Menteri Agama sesuai dengan tujuan wakaf
(2)Nadzir diwajibkan membuat laporan secara berkala atas semua hal yang menyangkut
kekayaan wakaf sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Tatacara pembuatan laporan seperti dimaksud dalam ayat (2), diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agama.
Pasal 8
Nadzir berhak mendapatkan penghasilan dan fasilitas yang besarnya dan macamnya ditentukan
lebih lanjut oleh Menteri Agama.
BAB III
TATACARA MEWAKAFKAN DAN PENDAFTARANNYA
Bagian Pertama
Tatacara perwakafan tanah milik
*19099 Pasal 9
(1)Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya diharuskan datang di hadapan Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
(2)Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf seperti dimaksud dalam ayat (1) diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Agama.
(3)Isi dan bentuk Ikrar Wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
(4)Pelaksanaan Ikrar, demikian pula pembuatan Akta Ikrar Wakaf, dianggap sah, jika dihadiri
dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(5)Dalam melaksanakan Ikrar seperti dimaksud ayat (1) pihak yang mewakafkan tanah
diharuskan membawa serta dan menyerahkan kepada Pejabat tersebut dalam ayat (2) surat surat
berikut :
a.sertifikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya;
b.surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sesuatu sengketa;
c.surat keterangan pendaftaran tanah;
d.izin dari Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat.
Bagian Kedua
Pendaftaran wakaf tanah milik
Pasal 10
(1)Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ayat (4) dan (5) Pasal 9,
maka Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf atas nama Nadzir yang bersangkutan, diharuskan
mengajukan permohonan kepada Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. Kepala Sub
Direktorat Agraria setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan
menurut ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.
(2)Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq. kepala Sub Direktorat Agraria setempat, setelah
menerima permohonan tersebut dalam ayat (I) mencatat perwakafan tanah milik yang
bersangkutan pada bukti tanah dan sertifikatnya.
(3)Jika tanah milik yang diwakafkan belum mempunyai sertifikat maka pencatatan yang
dimaksudkan dalam ayat (2) dilakukan setelah untuk tanah tersebut dibuatkan sertifikatnya.
(4)Oleh Menteri Dalam Negeri diatur tatacara pencatatan perwakafan yang dimaksudkan dalam
ayat (2) dan (3).
(5)Setelah dilakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya
seperti dimaksud dalam ayat (2) dan (3), maka Nadzir yang bersangkutan wajib melaporkannya
kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama.
BAB V
*19100 PERUBAHAN, PENYELESAIAN PERSELISIHAN DAN PENGAWASAN
PERWAKAFAN TANAH MILIK
Bagian Pertama
Perubahan perwakafan tanah milik
Pasal 11
(1)Pada dasarnya terhadap tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan
peruntukan atau penggunaan lain daripada yang dimaksud dalam Ikrar Wakaf.
(2)Penyimpangan dari ketentuan tersebut dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal
tertentu setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Agama, yakni :
a.karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b.karena kepentingan umum.
(3)Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya sebagai
akibat ketentuan tersebut dalam ayat (2) harus dilaporkan oleh Nadzir kepada
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah cq Kepala Sub Direktorat Agraria setempat untuk
mendapatkan penyelesaian lebih lanjut.
Bagian Kedua
Penyelesaian Perselisihan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan perwakafan tanah, disalurkan
melalui Pengadilan Agama setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Ketiga
Pengawasan Perwakafan Tanah Milik
Pasal 13
Pengawasan perwakafan tanah milik dan tatacaranya diberbagai tingkat wilayah ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri Agama.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 14
Barangsiapa melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud
Pasal 5, Pasal 6 ayat (3) Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11, dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
10.000,-(sepuluh ribu rupiah).
Pasal 15
*19101 Apabila perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan oleh-atau atas nama Badan
Hukum maka tuntutan pidana dilakukan dan pidana serta tindakan tatatertib dijatuhkan, baik
terhadap badan hukum maupun terhadap mereka yang memberi perintah melakukan perbuatan
tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin atau penanggungjawab dalam perbuatan atau
kelalaian itu atau terhadap keduaduanya.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
(1)Perwakafan tanah milik demikian pula pengurusannya yang terjadi sebelum dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah ini, oleh Nadzir yang bersangkutan harus didaftarkan kepada Kantor
Urusan Agama Kecamatan setempat, untuk disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
(2)Cara-cara dan pelaksanaan ketentuan tersebut dalam ayat (1) ditentukan lebih lanjut oleh
Menteri Agama.
Pasal 17
(1)Peraturan dan atau ketentuan-ketentuan tentang perwakafan tanah milik sebagaimana
tercantum dalam Bijblad-Bijblad Nomor 6196 Tahun 1905, Nomor 12573 Tahun 1931, Nomor
13390 Tahun 1934, dan Nomor 13480 Tahun 1935 beserta ketentuan pelaksanaannya, sepanjang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tidak
berlaku lagi.
(2)Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Pemerintah ini diatur lebih lanjut oleh
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri sesuai dengan bidangnya masing-masing.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar supaya setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah
ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 17 Mei 1977 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada 17 Mei 1977 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK
INDONESIA, *19102 SUDHARMONO, SH.
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR
28 TAHUN 1977 TENTANG PERWAKAFAN TANAH MILIK

I.UMUM. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas
keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Begitu pentingnya masalah perwakafan tanah milik
tersebut ditinjau dari sudut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, sehingga perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah. Pada waktu yang
lampau, pengaturan tentang perwakafan tanah milik ia tidak diatur secara tuntas dalam bentuk
suatu peraturan perundang-undangan, sehingga memudahkan terjadinya penyimpangan dari
hakekat dan tujuan wakaf itu sendiri, terutama sekali disebabkan terdapatnya beraneka ragam
bentuk perwakafan (wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain) dan tidak adanya keharusan
untuk didaftarkannya benda-benda yang diwakafkan, sehingga banyaklah benda-benda wakaf
yang tidak diketahui lagi keadaannya. Malahan dapat terjadi, benda-benda yang diwakafkan itu
seolah-olah sudah menjadi milik dari ahli waris pengurus(Nadzir).
Kejadian-kejadian tersebut diatas menimbulkan keresahan dikalangan umat beragama,
khususnya mereka yang menganut agama Islam, dan menjurus ke arah antipati. Dilain pihak
banyak terdapat persengketaan-persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya status tanahnya,
sehingga apabila tidak segera diadakan pengaturan, maka tidak saja akan mengurangi kesadaran
beragama dari mereka yang menganut agama Islam,bahkan lebih jauh akan menghambat usaha-
usaha Pemerintah untuk menggalakkan semangat dan bimbingan kewajiban ke arah
beragama,sebagaimana terkandung dalam ajaran Pancasila dan digariskan dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973. Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
diatur hanyalah wakaf sosial (untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya
seperti perwakafan keluarga tidak termasuk yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pembatasan ini perlu diadakan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan. Demikian
pula mengenai bendanya dibatasi hanya kepada tanah milik. Hal ini juga dimaksudkan untuk
menghindari kekacauan dikemudian hari.
Dalam Undang-undang Pokok Agraria hanya hak milik yang mempunyai sifat yang penuh dan
bulat, sedangkan hak-hak atas tanah lainnya seperti Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak
Pakai, hanyalah mempunyai jangka waktu yang terbatas, sehingga oleh karenanya pemegang
hak-hak tersebut tidak mempunyai hak dan kewenangan seperti halnya pemegang hak milik.
Berhubung dengan masalah perwakafan tersebut bersifat untuk selama-lamanya (abadi), maka
hak atas tanah yang *19103 jangka waktunya ter-batas tidak dapat diwakafkan.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini diatur juga mengenai kepengurusan dari wakif
(Nadzir), tatacara perwakafan, tatacara pemberian hak dan tata cara untuk mendapatkan
kepastian hak atas tanah yang diwakafkan.
II. PASAL DEMI PASAL.
Pasal 1
Ayat (1) sampai dengan ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4) Yang dimaksud dengan kelompok orang dalam ayat ini ialah kelompok orang yang
merupakan satu kesatuan atau merupakan suatu pengurus.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Dalam pasal ini dijelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi,seseorang yang mewakafkan.
Pencantuman secara terperinci syarat-syarat ini dimaksudkan untuk menghindari tidak sahnya
perbuatan mewakafkan, baik karena adanya faktor intern (cacad atau kurang sempurna cara
berfikir) maupun faktor ekstern karena merasa dipaksa orang lain. Ketentuan-ketentuan ini
berlaku juga bagi badan hukum dan Yayasan Indonesia yang bergerak di bidang keagamaan
dengan penyesuaian persyaratan seperlunya sesuai dengan persyaratan subyek hukum tersebut
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 4
Sebagaimana telah dikemukakan, perbuatan mewakafkan adalah suatu perbuatan yang suci,
mulia, dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubung dengan itu, maka tanah-tanah
yang hendak diwakafkan itu betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacadnya ditinjau
dari sudut pemilikan. Selain daripada itu persyaratan ini dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya atau terbawa-bawanya lembaga perwakafan ini untuk sering berhadapan dengan
Pengadilan yang dapat memerosotkan wibawa dan syariat agama Islam. Berdasarkan pandangan
tersebut diatas, maka tanah yang mengandung pembebanan seperti hipotik, crediet verband,
tanah dalam proses perkara dan sengketa, tidak dapat diwakafkan sebelum masalahnya
diselesaikan terlebih dahulu.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Dalam pasal ini diatur tentang persyaratan Nadzir (pengurus) dari wakaf, sehingga pengurus baik
yang *19104 terdiri dari kelompok orang-orang maupun suatu badan hukum dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Jumlah Nadzir untuk suatu daerah perlu dibatasi dan di daftar dengan
maksud untuk mengurangi benih-benih perselisihan disebabkan banyak orang yang mengurusi
sesuatu hal atas benda yang sama. Pendaftaran dimaksudkan untuk menghindari perbuatan
perwakafan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan dan juga untuk memudahkan
pengawasan.
Pasal 7
Dalam rangka memudahkan pengawasan perwakafan tanah, maka nadzir yang telah diangkat
diharuskan memberikan laporan secara berkala terhadap keadaan perwakafan tanah yang
diurusnya dan penggunaan dari hasil-hasil dari wakaf itu. Pelaporan ini dimaksudkan juga untuk
memudahkan pengawasan.
Pasal 8
Pasal ini memberikan dasar bagi penetapan suatu penghasilan dan pemberian fasilitas kepada
Nadzir. Dengan telah diberinya imbalan yang pantas terhadap kebutuhan Nadzir ini, maka
diharapkan dapat dihindari penyimpangan dari penggunaan wakaf.
Pasal 9
Pasal ini mengharuskan adanya perwakafan dilakukan secara tertulis,tidak cukup hanya dengan
ikrar lisan saja. Tujuannya adalah untuk memperoleh bukti yang otentik yang dapat
dipergunakan untuk berbagai persoalan seperti untuk bahan pendaftaran pada Kantor Sub
Direktorat Agraria Kabupaten/Kotamadya dan untuk keperluan penyelesaian sengketa yang
mungkin timbul dikemudian hari tentang tanah yang diwakafkan. Untuk keperluan itu seseorang
yang hendak mewakafkan tanah harus membawa serta tanda-tanda bukti pemilikan
(sertifikat/kekitir tanah) dan surat-surat lain yang menjelaskan tidak adanya halangan untuk
melakukan perwakafan atas tanah milik tersebut. Untuk keperluan tersebut, maka diperlukan
pejabat-pejabat yang khusus melaksanakan pembuatan aktanya. Demikian pula mengenai bentuk
dan isi Ikrar Wakaf perlu diseragamkan.
Pasal 10
Salah satu hal yang selama ini belum pernah diatur dan dilaksanakan secara seksama adalah
pendaftaran tanah-tanah yang diwakafkan menurut ketentuan-ketentuan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaannya. Pendaftaran tanah perwakafan ini sangat penting
artinya baik ditinjau dari segi tertib hukum maupun dari segi administrasi penguasaan dan
penggunaan tanah sesuai dengan peraturan perundang-undangan agraria. Dengan telah
didaftarkan dan dicatatnya waktu *19105 tersebut dalam sertifikat tanah hak milik yang
diwakafkan, maka tanah wakaf itu telah mempunyai alat pembuktian yang kuat.
Pasal 11
Pada waktu yang lampau, perubahan status tanah yang diwakafkan dapat dilakukan begitu saja
oleh Nadzirnya tanpa alasan-alasan yang meyakinkan. Hal-hal yang demikian sudah barang tentu
akan menimbulkan reaksi dalam masyarakat terutama dari mereka yang langsung berkepentingan
dengan perwakafan tanah tersebut. Dalam Peraturan Pemerintah diadakan pembatasan-
pembatasan yang ketat dan disamping itu maksud perubahan status harus terlebih dahulu
mendapat izin dari Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuknya. Dengan cara pembatasan-
pembatasan yang demikian ini diharapkan dapat dihindarkan praktek-praktek yang merugikan
perwakafan. Untuk kepentingan administrasi pertanahan perubahan status wakaf diharuskan
untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang. Penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan
tersebut dalam Pasal 11 Ayat (2) disamping terkena sanksi seperti dimaksud dalam Pasal 15,
juga perbuatan itu batal dengan sendirinya menurut hukum.
Pasal 12
Penyelesaian perselisihan yang dimaksud dalam pasal ini yang termasuk yurisdiksi Pengadilan
Agama adalah masalah sah atau tidaknya perbuatan mewakafkan seperti dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah ini dan lain-lain masalah yang menyangkut masalah wakaf berdasarkan
syariat Islam. Dengan demikian jelaslah bahwa masalah-masalah lainnya yang secara nyata
menyangkut Hukum Perdata dan Hukum Pidana diselesaikan melalui hukum acara dalam
Pengadilan Negeri.
Pasal 13
Pada umumnya perwakafan tanah terjadi di daerah-daerah tingkat Kecamatan. Untuk
memudahkan pengawasan diperlukan adanya administrasi yang tertib baik di tingkat Kecamatan,
Kabupaten, Propinsi dan Pusat. Mengenai cara pengawasan menurut jalur timbal-balik akan
ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri Agama.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Pasal ini merupakan pasal peralihan perwakafan tanah yang terjadi sebelum Peraturan
Pemerintah ini dikeluarkan. Kewajiban menyesuaikan perwakafan yang telah ada dengan
Peraturan Pemerintah ini *19106 yang harus dilakukan oleh Nadzir yang bersangkutan tidak
hanya cukup dengan mendaftarkan pada Kantor Urusan Agama setempat, melainkan juga harus
dengan menyelesaikan status tanah dan pendaftaran haknya melalui acara yang diperlukan pada
perwakafan tanah milik seperti dimaksud dalam Pasal 10. Berhubung masalah penyesuaian
perwakafan yang telah ada dengan ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini
diperlukan waktu dan kebijaksanaan khusus, maka tatacara, jangka waktu penyesuaian demikian
pula kemungkinan perpanjangannya akan diatur lebih lanjut oleh MenteriAgama.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.

Diposkan oleh JENDELA HUKUM di 21.46

HUKUM WAKAF DI INDONESIA

HUKUM WAKAF DI INDONESIA


(Perkembangan Peraturan Wakaf Sebelum UU No. 41 Tahun 2004)
Oleh: UJANG SUTARYAT
NPM. 066.1180

A. Pendahuluan
Hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang
ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan
nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi
seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan sosial maupun keadilan ekonomi.
Salah satu institusi atau pranata sosial Islam yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah
lembaga perwakafan. Sebagai kelanjutan dari ajaran tauhid, yang berarti bahwa segala sesuatu
berpuncak pada kesadaran akan adanya Allah Swt., lembaga perwakafan adalah salah satu
bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam
menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang, karena akan
melahirkan eksploitasi kelompok minoritas (si kaya) terhadap kelompok mayoritas (si miskin)
yang akan menimbulkan kegoncangan sosial dan akan menjadi penyakit masyarakat yang
mempunyai akibat-akibat negatif yang beraneka ragam.

Wakaf telah disyari'atkan dan telah dipraktekkan oleh umat Islam seluruh dunia sejak zaman
Nabi Muhammad Saw. sampai sekarang, termasuk oleh masyarakat Islam di negara Indonesia.
Menurut Ameer Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang terpenting dalam syari'at Islam,
sebab ia terjalin kepada seluruh kehidupan ibadat dan perekonomian sosial kaum muslimin.
Kajian wakaf sebagai pranata sosial merujuk pada tiga corpus, yaitu:
1. Wakaf sebagai lembaga keagamaan, yang sumber datanya meliputi: Quran, Sunnah, dan
Ijtihâd;
2. Wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku di negara itu;
3. Wakaf sebagai lembaga kemasyarakatan atau suatu lembaga yang hidup di masyarakat berarti
mengkaji wakaf dengan tinjauan sosial yang meliputi fakta dan data yang ada dalam masyarakat.
Pada tulisan yang sederhana ini, penulis akan mencoba memaparkan wakaf sebagai lembaga
yang diatur oleh negara, yang merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di
negara Indonesia mulai zaman Kolonial Hindia Belanda, zaman kemerdekaan, mulai keluarnya
UU No. 5 Tahun 1960 sampai keluarnya PP No. 28 Tahun 1977, dan Kompilasi Hukum Islam.

B. Pengertian, Unsur-unsur, dan Macam-macam Wakaf


Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (maşdar)
‫ وقف‬atau kata kerja (fi`il) ‫ يقف‬-‫ وقف‬yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitif (fi`il lâzim)
atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta
wakaf. Dan kata wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata
di antaranya: ( ‫ سبل‬- ‫ احبس – صدقة – تحريم – سبيل – يسبل‬- ‫) حبس‬. Sedangkan menurut istilah ada
beberapa definisi wakaf, di antaranya:
1. EJ. Bill Leiden dalam The Shorter Encyclopaedia of Islam sebagaimana dikutip oleh
Muhamad Daud Ali menyatakan bahwa wakaf adalah to protect a thing, to provent it from
becoming the property of a third person (memelihara suatu barang atau benda dengan jalan
menahannya agar tidak menjadi milik pihak ketiga).
2. Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian
dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau
keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
3. Mayoritas ahli fiqih (pendukung mazhab Hanafi, Syafi`i, dan Hambali) merumuskan
pengertian wakaf menurut syara sebagai berikut:
‫حبس مال يمكن االنتفاع به مع بقاء عينه بقظع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود‬
"Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara
tidak melakukan tindakan pada bendanya disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan
ada"
4. Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu:
Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan
tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap
benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada
sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.

Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu: adanya penahanan
(pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang diwakafkan berupa harta, dapat
dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan
disalurkan kepada hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam.
Penyelenggaraan wakaf harus memenuhi empat unsur, yaitu:
1. Wâkif, yakni pihak yang menyerahkan wakaf;
2. Mauqûf 'alaih, yakni pihak yang diserahi wakaf;
3. Mauqûf Bih, yakni benda atau manfaat benda yang diwakafkan;
4. Şigat atau iqrâr, yakni pernyataan penyerahan wakaf dari pihak wakif.
Wakaf itu adakalanya untuk anak cucu atau kaum kerabat dan kemudian sesudah mereka itu
untuk orang-orang fakir miskin. Wakaf yang demikian dinamakan wakaf ahli atau wakaf żurri
(wakaf keluarga). Bila wakaf tersebut diperuntukkan bagi kebajikan semata-mata, maka wakaf
seperti ini disebut wakaf ħairi.

C. Pandangan Fuqaha tentang Wakaf

1. Abu Hanifah
Abu Hanifah mengartikan wakaf sebagai şadaqah yang kedudukannya seperti 'ariyah, yakni
pinjam meminjam. Perbedaan antara keduanya terletak pada bendanya. Dalam 'ariyah, benda ada
di tangan si peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil manfaat benda itu.
Sedangkan benda dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil
manfaat benda itu. Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif
sepenuhnya, hanya manfaatnya saja yang dişadaqahkan. Oleh karena itu, wakaf tidak
mempunyai kepastian hukum dalam arti gair lâzim, kecuali dalam tiga hal, yaitu: (1) wakaf
masjid, (2) apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim, dan (3) apabila benda wakaf itu
dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat.
Mengenai akad wakaf dinyatakan oleh semua mazhab sebagai 'aqad tabarru', yaitu transaksi
sepihak yang sah sebagai suatu akad yang tidak memerlukan qâbul dari pihak penerima dan
dicukupkan atas ijâb si wakif.

2. Imam Malik
Menurut teori Imam Malik, wakaf itu mengikat dalam arti lâzim, tidak mesti dilembagakan
secara abadi dalam arti mu'abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu
(mu'aqqat). Namun demikian, wakaf itu tidak boleh ditarik di tengah perjalanan. Dengan kata
lain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakafnya sebelum habis tenggang waktu yang telah
ditetapkannya. Harta atau benda yang diwakafkan adalah benda yang mempunyai nilai ekonomis
dan tahan lama. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai hak
untuk menggunakan harta tersebut (taşarruf) selama masa wakafnya belim habis. Jika dalam
şigat atau ikrar wakaf itu tidak menyatakan dengan tegas tenggang waktu perwakafan yang ia
kehendaki, maka dapat diartikan bahwa ia bermaksud mewakafkan hartanya itu untuk selamanya
(mu'abbad). Landasan hukum yang dijadikan rujukan Imam Malik adalah hadis Ibn 'Umar yang
berbunyi:
… ‫أصاب عمرأرضابخيبرفأتى النبي صلعم يستأمره فيهافقال يارسول هللا اني أصبت أرضالم أصب قط ماالأنفس عندي منه‬
‫فماتأمرني فيه؟ قال ان شئت حبست أصلهاوتصدقت بهاغيرعلى أنه واليباع أصلهاواليبتاع واليوهب واليورث قال فتصدق‬
‫ الجناح على من وليهاأن يأكل منهابالمعروف ويطعم غيرمتمول "وفى‬.‫بهاعمر فى الفقراء وذوالقربى والرقاب وابن السبيل‬
‫اللفط" غيرمتأثل ماال‬
…Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia dating kepada Rasulullah Saw. meminta
untuk mengolahnya seraya berkata: "Wahai Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar,
tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat?" Nabi bersabda: "Jika
Kau menginginkannya, tahanlah itu dan shadaqahkan hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual
atau diperjualbelikan, dihibahkan, atau diwariskan. Ibn 'Umar menshadaqahkannya (mewakafkan
tanah Khaibar itu) kepada fakir miskin, karib kerabat, budak (riqab) dan ibn sabil. Tidaklah
berdosa bagi orang yang mengurus harta wakaf itu untuk menggunakannya sekedar
keperluannya tanpa maksud memiliki harta itu (mutamawwil). Sedang dalam riwayat lain
digunakan lafaz gair mutaaśśil, yakni tanpa tujuan untuk menguasai harta wakaf itu.

3. Imam al-Syafi'i

Imam al-Syafi'i menamakan wakaf dengan istilah al-şadaqat, al-şadaqat al-muharramat, al-
∏adaqat al-muharramat al-mauqûfat. Selanjutnya ia membagi jenis pemberian ke dalam dua
macam, yaitu: (1) pemberian yang diserahkan si pemberi ketika ia masih hidup dan (2)
pemberian yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat. Menurut pendapat al-Syafi'i, Status
hukum wakaf dan al-'itq (pembebasan hamba sahaya) adalah sama berdasarkan qiyâs. Keduanya
dianggap memiliki kesamaan 'illat, yaitu kemerdekaan dalam al-'itq sama dengan mengeluarkan
harta milik dalam perwakafan. Al-Syafi'i berpegang kepada persamaan antara kedua status
hukum institusi tersebut dari segi adanya bentuk penyerahan benda atau harta itu kepada Allah
sehingga si harta itu menjadi milik Allah. Oleh karena itu, dalam kedua kasus hukum tersebut
terdapat persamaan, yaitu pelepasan milik si wakif sehingga menjadi milik Allah.

D. Perkembangan Peraturan Wakaf di Indonesia

Wakaf yang berasal dari lembaga hukum Islam telah diterima oleh hukum adat bangsa Indonesia
sejak dahulu di berbagai daerah di Nusantara ini. Praktek mewakafkan tanah untuk keperluan
umum terutama untuk keperluan peribadatan atau sosial seperti masjid, surau, sekolah,
madrasah, dan kuburan telah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia sejak dulu.

Peraturan tentang wakaf yang bertujuan untuk mengatur dan mengawasi tanah wakaf telah
banyak dikeluarkan sejak zaman pemerintah Kolonial Hindia Belanda, pemerintah zaman
kemerdekaan sampai terbitnya perundang-undangan yang mengatur tentang perwakafan, antara
lain Undang-undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik jo. PMDN No. 6 Tahun 1977 dan PMA No, 1 Tahun 1978, dan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

1. Peraturan Wakaf Zaman Kolonial Hindia Belanda

Pada zaman Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda telah dikeluarkan peraturan-peraturan, yaitu:

a. Surat Edaran Sekretaris Gubernemen Pertama tanggal 31 Januari 1905 No. 435 sebagaimana
termuat dalam Bijblad 1905 Nomor 6196 tentang Toezict opden bouw van Mohammedaansche
bedenhuizen. Surat edaran ini ditujukan kepada para kepala wilayah mengharuskan para Bupati
membuat daftar rumah-rumah ibadat bagi orang Islam. Dalam daftar itu harus dimuat asal-usul
tiap rumah ibadat dipakai shalat jum'at atau tidak, keterangan tentang segala benda yang tidak
bergerak yang oleh pemiliknya ditarik dari peredaran umum, baik dengan nama wakaf atau
dengan nama lain.
b. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 04 Juni 1931 Nomor 1361/A termuat dalam
Bijblad No. 125/3 tahun 1931 tentang Toezict van de Regering op Mohammedaansche
bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini merupakan kelanjutan dan perubahan
dari Bijblad No. 6196, yaitu tentang pengawasan Pemerintah atas rumah-rumah peribadatan
orang Islam, sembahyang jum'at dan wakaf. Untuk mewakafkan tanah tetap harus ada izin
Bupati, yang menilai permohonan itu dari segi tempat wakaf dan maksud pendirian.

c. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 24 Desember 1934 Nomor 3088/A termuat dalam
Bijblad No. 13390 tahun 1934 tentang Toezict de Regering op Mohammedaansche bedehuizen
Vrijdagdiensten en Wakafs. Surat edaran ini mempertegas SE sebelumnya. Di dalamnya antara
lain disebutkan seandainya dalam mengadakan shalat jum'at terdapat sengketa dalam masyarakat
Islam, Bupati boleh memimpin usaha mencari penyelesaian asalkan dimintakan oleh pihak-pihak
yang bersangkutan.

d. Surat Edaran Sekretari Gubernemen tanggal 27 Mei 1935 Nomor 1273/A termuat dalam
Bijblad No. 13480 tahun 1935 tentang Toezict van de Regering op Mohammedaansche
bedehuizen Vrijdagdiensten en Wakafs. Dalam surat edaran ini antara lain ditentukan bahwa
Bijblad No. 61696 menginginkan registrasi tanah wakaf yang dapat dipercaya. Maksud untuk
mewakafkan tetap harus diberitahukan kepada Bupati agar ia mendapat kesempatan untuk
mendaftarkan wakaf tersebut dan meneliti apakah ada peraturan umum atau peraturan setempat
yang melanggar dalam pelaksanaan maksud itu.

2. Peraturan Wakaf Zaman Kemerdekaan

Pada zaman kemerdekaan telah dikeluarkan pula beberapa ketentuan tentang wakaf ini, baik
penunjukkan instansi yang mengurusnya dan juga teknis pengurusannya. Antara lain dapat kita
lihat dari ketentuan-ketentuan di bawah ini:
a. Departemen Agama lahir pada tanggal 03 Januari 1946. Dalam PP. No. 33 Tahun 1949 jo. No.
8 Tahun 1950 disebutkan bahwa tugas pokok atau lapangan tugas pekerjaan Kementrian Agama
RI adalah di antaranya: … k. menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi pemeliharaan
wakaf-wakaf.

b. Dalam Peraturan Menteri Agama RI No. 2 Tahun 1958 tentang lapangan tugas, susunan, dan
Pimpinan Kementrian Agama RI, disebutkan bahwa lapangan tugas kementrian Agama RI
adalah: … 25. Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf umum, dan
wakaf masjid, dan bersama-sama dengan Kementrian Agraria dan Dalam Negeri mengatur soal-
soal yang bersangkut-paut dengan perwakafan.

c. Dalam Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1958 disebutkan bahwa lapangan tugas Jawatan
Urusan Agama (JAURA) yaitu salah satu jawatan dalam Departemen Agama meliputi: … 18.
Menyelidiki, menentukan, mendaftar, dan mengawasi wakaf-wakaf umum, dan wakaf masjid,
dan bersama-sama dengan Kementrian Dalam Negeri mengatur soal-soal yang bersangkut-paut
dengan perwakafan.

d. Menurut Keputusan Menteri Agama No. 114 Tahun 1969 jo. No. 18 Tahun 1975 disebutkan
bahwa di Tingkat Pusat pengurusan wakaf ini termasuk dalam wewenang Direktorat Urusan
Agama (DITURA) Sub Direktorat Zakat, Wakaf, dan Ibadah Sosial (Zawaib). Di Tingkat
Provinsi/tingkat wilayah termasuk tugas bidang Urusan Agama Islam seksi Zakat, Wakat, dan
Ibadah Sosial. Di tingkat Kabupaten menjadi tugas wewenang Seksi Urusan Agama Islam dan
akhirnya di tingkat Kecamatan menjadi tugas dan wewenang Kantor Urusan Agama Kecamatan.
Berdasarkan ketentuan terakhir, bahwa Kepala KUA Kecamatan ditunjuk sebagai PPAIW
mempunyai tugas dan wewenang untuk pengesahan nażir.

e. Untuk melaksanakan tugasnya di bidang perwakafan ini, Departemen Agama RI telah


mengeluarkan berbagai peraturan dan petunjuk yang berhubungan dengan wakaf, antara lain: (1)
Surat JAURA No. 3/D/1956 tanggal 08 Oktober 1956, (2) Surat Edaran JAURA No. 5/D/1956,
dan (3) Instruksi JAURA No. 6 Tahun 1961 tanggal 31 Oktober 1961.
f. Tata cara mewakafkan tanag yang berlaku sebelum berlakunya PP. No. 28 Tahun 1977, antara
lain dapat dilihat dari bentuk blanko wakaf yang disebut "Surat Pernyataan Wakif" (SPW, model
D.2 1960), "Peta Tanah Wakif" (PTW), dan "Surat Pernyataan Nazir" (SPN, model D.3 1960).

3. UU No. 5 Tahun 1960.

Dalam Undang-undang Pokok Agraria, masalah wakaf dapat diketahui pada pasal 5, pasal 14
ayat (1), dan pasal 49 yang memuat rumusan-rumusan sebagai berikut:
a. Pasal 5 UUPA menyatakan bahwa Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang
angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan
Negara … segala sesuatu dengan mengindahkan unsur yang berstandar pada hukum agama.
Dalam rumusan pasal ini, jelaslah bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria
Indonesia, yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI
yang di sana-sini mengandung unsur agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat
khususnya lembaga wakaf.

b. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat
suatu rencana umum mengenai peruntukan dan penggunaan bumi, air, dan ruang angkasa serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk keperluan Negara, untuk keperluan
peribadatan, dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan Ketuhanan Yang Maha Esa
dan seterusnya. Dalam rumusan UUPA pasal 14 ini terkandung perintah kepada pemerintah
Pusat dan Daerah untuk membuat skala prioritas penyediaan peruntukan, dan penggunaan bumi,
air, dan ruang angkasa dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah Pusat maupun
Daerah termasuk pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan
kepentingan suci lainnya.

c. Pasal 49 UUPA menyatakan bahwa (1) Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial
sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi.
Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial. (2) Untuk keperluan peribadatan dan keperluan
suci lainnya sebagai dimaksud pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh
negara dengan hak pakai. (3) Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur oleh Peraturan
Pemerintah. Pasal-pasal ini memberikan ketegasan bahwa soal-soal yang bersangkut-paut dengan
dengan peribadatan dan keperluan suci lainnya dalam hukum agraria akan mendapatkan
perhatian sebagaimana mestinya. Terkait dengan rumusan tersebut, Pemerintah RI telah
mengeluarkan peraturan tentang perwakafan tanah hak milik yaitu PP. No. 28 Tahun 1977.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 terdiri atas tujuh bab delapan belas pasal yang
meliputi pengertian, syarat-syarat, fungsi, tata cara, dan pendaftararan wakaf, ketersediaan
tenaga yang menangani pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan
pengawasan wakaf, ketentuan pidana, serta ketentuan peralihan.

Menindaklanjuti PP Nomor 28 Tahun 1977 telah dikeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 6 Tahun 1977 yang mengatur tentang tatacara pendaftaran perwakafan tanah hak milik
yang memuat antara lain persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar wakaf,
proses pendaftaran, biaya pendaftaran, dan ketentuan peralihan. Selanjutnya Peraturan Menteri
Agama Nomor 1 Tahun 1978 memerinci lebih lanjut tentang tata cara perwakafan tanah milik,
antara lain tentang ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan
kewajiban nażir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan, penyelesaian
perselisihan tanah wakaf, serta biaya perwakafan tanah milik.

Maksud dikeluarkannya PP Nomor 28 Tahun 1977 adalah untuk memberikan jaminan kepastian
hukum mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf. Berbagai
penyimpangan dan sengketa wakaf dengan demikian dapat diminimalisir. Namun demikian,
masih dirasakan adanya hambatan dan atau permasalahan terkait dengan PP nomor 28 Tahun
1977 ini, antara lain:

a. Tanah yang dapat diwakafkan hanyalah tanah hak milik dan badan-badan sosial keagamaan
dijamin dapat mempunyai hak atas tanah dengan hak pakai. Bagaimana wakaf tanah dengan hak
guna bagunan atau guna usaha yang di dalam prakteknya dapat diperpanjang waktunya sesuai
dengan tujuan pemanfaatan wakaf.

b. Penerima wakaf (nażir) disyaratkan oleh peraturan mempunyai cabang atau perwakilan di
kecamatan di mana tanah wakaf terletak. Dalam pelaksanaannya menimbulkan kesulitan dan
justru menimbulkan hambatan. Terkait dengan masalah tersebut, bagaimana jika nażir itu
bersifat perorangan atau perkumpulan yang tidak memiliki cabang atau perwakilan.

c. PP Nomor 28 Tahun 1977 hanya membatasi wakaf benda-benda tetap khususnya tanah.
Bagaimana wakaf yang objeknya benda-benda bergerak selain tanah atau bangunan.

d. Hambatan-hambatan lain yang bersifat non-yuridis, antara lain kesadaran hukum masyarakat
akan pentingnya sertifikasi wakaf, ketersediaan tenaga yang menangani pendaftaran/sertifikasi
wakaf serta peningkatan kesadaran para nażir akan tugas dan tanggung jawabnya.

Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 dibuat berdasarkan tiga motif utama, yaitu:

a. Motif keagamaan sebagaimana tercermin dalam konsiderannya yang menyatakan bahwa


"wakaf sebagai lembaga keagamaan yang sifatnya sebagai sarana keagamaan". Dalam hal ini
adalah motif agama Islam. Kalau UUPA berlandaskan tujuan untuk mencapai "sosialisme
Indonesia", maka PP ini bertujuan untuk tercapainya kesejahteraan spiritual dan material menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
b. Peraturan perwakafan sebelumnya tidak memadai bagi penertiban hukum perwakafan secara
tuntas, bahkan menimbulkan berbagai masalah, seperti tidak adanya data tentang perwakafan.

c. Adanya landasan hukum yang kokoh dengan diundangkannya UUPA No. 5 Tahun 1960,
khususnya pasal 14 (1) huruf b, dan pasal 49 (3).

Beberapa point penting yang terdapat dalam penjelasan umum PP no. 28 Tahun 1977 adalah
sebagai berikut:

a. Salah satu masalah di bidang keagamaan yang menyangkut pelaksanaan tugas-tugas


keagrariaan adalah perwakafan tanah milik. Masalah perwakafan tanah milik ini sangat penting
ditinjau dari sudut pandang Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960.

b. Bahwa pada waktu yang lampau pengaturan tentang perwakafan tanah milik tidak diatur
secara tuntas dalam bentuk peraturan perundang-undangan sehingga memudahkan terjadinya
penyimpangan dari hakikat tujuan wakaf itu sendiri, terutama disebabkan karena banyaknya
ragam perwakafan, seperti wakaf keluarga, wakaf umum, dan lain-lain. Tidak adanya keharusan
mendaftarkan tanah milik yang diwakafkan telah mengakibatkan, bukan saja tidak tercatatnya
tanah wakaf, melainkan juga beralihnya status wakaf menjadi milik perorangan yang diwariskan
turun temurun.

c. Kejadian-kejadian tersebut di atas telah menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Islam


yang menjurus kepada sikap antipati terhadap pelaksanaan wakaf.

d. Penjelasan PP tersebut menyatakan bahwa yang terkandung di dalamnya adalah bentuk wakaf
khairi, dan bentuk wakaf hanyalah wakaf tanah milik. Benda-benda wakaf lainnya belum diatur.
Unsur-unsur wakaf yang dijelaskan dalam PP ini adalah:

a. Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

b. Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah
miliknya.

c. Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah miliknya.
d. Nażir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.

3. Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 berisi Instruksi Presiden untuk menyebarluaskan
Kompilasi Hukum Islam ---selanjutnya disingkat KHI--- yang terdiri dari Buku I tentang Hukum
Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, dan Buku III tentang Hukum Perwakafan.
Hukum Perwakafan terdiri dari lima bab dan lima belas pasal yang memuat ketentuan umum
tentang wakaf, fungsi, unsur-unsur dan syarat-syarat wakaf, kewajiban dan hak-hak nażir, tata
cara perwakafan, pendaftaran wakaf, perubahan benda wakaf, penyelesaian perselisihan benda
wakaf, pengawasan dan ketentuan peralihan. KHI ini disusun dengan maksud untuk dijadikan
pedoman dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan ketiga bidang
hukum tersebut, baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat yang memerlukannya.

Dalam penjelasan umum dinyatakan bahwa pedoman yang dipergunakan Peradilan Agama
dalam bidang-bidang hukum tersebut yaitu tiga belas kitab fiqih Mażhab Syafi'i dipandang tidak
sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan bahwa KHI merupakan hasil lokakarya yang
diselenggarakan pada bulan Februari 1988 di Jakarta yang telah diterima baik oleh para alim
ulama Indonesia disertai perbandingan dengan yurisprudensi peradilan agama maupun
perbandingan dengan Negara-negara lain.

Beberapa catatan terhadap KHI dan pelaksanaannya dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
1. Dari sisi formal, KHI diberi baju dalam bentuk Instruksi Presiden yang oleh sementara pihak
dianggap kurang kuat karena tidak memiliki landasan hukum/rujukan konstitusi maupun
Ketetapan MPR yang selama ini ada. Namun pendapat ini disanggah oleh Prof. DR. Ismail
Sunny yang merujuk pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 17 tentang wewenang Presiden
untuk menetapkan peraturan-peraturan dan kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan
serta para menteri Negara sebagai pembantu Presiden memimpin departemen untuk
melaksanakan keputusan dan atau instruksi presiden. Oleh karena itu, akan semakin kuat dan
mantap apabila KHI yang di dalamnya mengatur tentang hukum perwakafan dapat ditingkatkan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, misalnya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah atau Undang-undang.

2. Dari sisi substansial atau materi, KHI hanya memuat beberapa ketentuan masalah wakaf
menurut hukum Islam. Oleh karena itu, seyogyanya merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dengan peraturan perundangan yang lain dalam hal ini PP nomor 28 Tahun 1977 sehingga perlu
disatukan dalam bentuk Undang-undang. Dalam konteks perwakafan, maka lembaga hibah dan
wasiat merupakan cara penyampaian kehendak dari pihak pemberi wakaf kepada penerima
wakaf. Oleh karena itu selain diatur dalam hukum pewarisan, seharusnya juga diatur dan
dimasukan ke dalam salah satu bagian tentang pemberian wakaf dengan cara wasiat (baik lisan
maupun tertulis) serta pemberian wakaf dengan cara hibah-wakaf.

3. Dalam kaitannya dengan PP 28 Tahun 1977, maka penyelesaian perselisihan perwakafan


tanah milik atau menurut KHI penyelesaian perselisihan benda wakaf, seyogyanya tidak hanya
melalui proses perdata (Pengadilan Agama) tetapi dapat pula diajukan secara pidana
sebagaimana diatur pada pasal 14 dan 15 PP 28 Tahun 1977.
4. Perlu diatur lebih lanjut tentang perubahan benda wakaf atas dasar alasan tidak sesuai dengan
tujuan wakaf dan atau karena adanya alasan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam pasal
225 KHI agar tidak menyalahi ketentuan-ketentuan Syariat Islam serta tujuan pemberian wakaf
semula dalam ikrak wakaf.

Mengenai unsur-unsur wakaf, dalam KHI dijelaskan sebagai berikut:

(1) Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang badan hukum yang
memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
(2) Wakif adalah orang atau orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda
miliknya.
(3) Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkan benda miliknya.
(4) Benda wakaf adalah segala benda, baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki
daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam.
(5) Nażir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf.
Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan perwakafan
yang diatur dalam KHI pada dasarnya sama. Dalam beberapa hal, hukum perwakafan dalam
Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan penyempurnaan pengaturan perwakafan
sesuai dengan hukum Islamm di antaranya:

a. Obyek wakaf.

Menurut KHI, bahwa obyek wakaf tersebut tidak hanya berupa tanah milik sebagaimana
disebutkan dalam PP No. 28 Tahun 1977. Obyek wakaf menurut kompilasi lebih luas. Hal ini
sebagaimana disebutkan dalam pasal 215 (4) yang berbunyi: "Benda wakaf adalah segala benda
baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai
dan bernilai menurut ajaran Islam".
b. Sumpah Nażir
Nażir sebelum melaksanakan tugas harus melaksanakan sumpah di hadapan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan. Hal ini diatur dalam pasal 219 ayat 4 yang berbunyi:
Nażir sebelum melaksanakan tugas harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala Kantor
Urusan Agama Kecamatan disaksikan oleh sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi.

c. Jumlah Nażir
Jumlah nażir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan sekurang-kurangnya terdiri dari
tiga orang dan sebanyak-banyaknya sepuluh orang yang diangkat oleh Kepala Kantor Urusan
Agama Kecamatan atas dasar Majelis Ulama dan Camat setempat.

d. Perubahan Benda Wakaf


Menurut pasal 225 perubahan benda wakaf hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu
setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan, dan camat setempat.

e. Pengawasan Nażir
Pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab nażir dilakukan secara bersama-
sama oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan, Majelis Ulama Kecamatan, dan Pengadilan
Agama yang mewilayahinya.

f. Peranan Majelis Ulama dan Camat


KHI dalam hal perwakafan memberikan kedudukan dan peranan yang lebih luas kepada Majelis
Ulama Indonesia Kecamatan dan Camat setempat dibanding dengan ketentuan yang diatur oleh
perundang-undangan sebelumnya.

D. KESIMPULAN
Dari paparan yang sederhana ini, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Peraturan tentang wakaf sudah ada sejak zaman Pemerintah Kolonial Hindia Belanda
dilanjutkan pada zaman kemerdekaan.
2. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu UU No. 5 Tahun 1960 merupakan unifikasi
hukum tanah di seluruh Indonesia (DI. Yogyakarta baru melaksanakan pada tahun 1984)
memperkokoh dasar hukum perwakafan, khususnya perwakafan tanah milik. Pasal 14 (1) huruf
b.
3. Bila perwakafan yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 dibandingkan dengan
perwakafan yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka pada dasarnya sama. Dalam
beberapa hal, hukum perwakafan dalam Kompilasi tersebut merupakan pengembangan dan
penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islamm di antaranya.
4. PP Nomor 28 Tahun 1977 merupakan pedoman perwakafan di Indonesia yang sudah relatif
lengkap sekalipun masih harus dilengkapi lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1979. Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Kedudukan Tanah Wakaf di Negara
Kita. Bandung:Alumni.
Abidin, HE. Zaenal. 2002. Wakaf dalam Syariat Islam, Kumpulan Makalah Hasil Workshop
Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif di Wisma
Haji Batam, 7-8 Januari
Al-Syafi'i. t.t. Al-Umm. Mekah: al-Maktabah al-Islamiyyah.
Ali, Muhamad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf . Jakarta: UI Press.
Djunaedi, Ahmad dkk. 2003. Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf. Jakarta: Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji..
Ibrahim, M. Anwar. 2002. Wakaf dalam Syariat Islam, Kumpulan Makalah Hasil Workshop
Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif di Wisma
Haji Batam, 7-8 Januari
Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku III Hukum Perwakafan.
Munawir, Ahmad Warson. 1984. .Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku-buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-Munawir.
PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
Praja, Juhaya S. 1993. Perwakafan di Indonesia: Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara.
Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 M/ 28 Shafar 1423 H.
Usman, Suparman. 1999. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Radar Jaya Offset.

Diposkan oleh IKHLAS di 21.21

Tanah Wakaf
Wednesday, April 10th, 2013 - Hukum Agraria

Pengertian Tanah Wakaf

Tanah wakaf adalah tanah hak milik yang sudah diwakafkan.1 Menurut Boedi Harsono,
perwakafan tanah hak milik merupakan suatu perbuatan hukum yang suci, mulia dan terpuji yang
dilakukan oleh seseorang atau badan hukum, dengan memisahkan sebagian dari harta
kekayaannya yang berupa tanah hak milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
menjadi wakaf sosial.2 Wakaf sosial adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran agama Islam.3

Dasar hukum dari perwakafan tanah milik dapat ditemukan di Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut
UUPA) yang menentukan bahwa perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Peraturan Pemerintah yang dimaksud dalam ketentuan tersebut adalah Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik (selanjutnya disebut PP
28/1977).

Pengertian wakaf menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) PP 28/1977 adalah sebagai berikut:
Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk
kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya seuai dengan ajaran agama Islam.

Unsur-Unsur Perwakafan Tanah

Tanah yang diwakafkan adalah tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala
pembebanan, ikatan, sitaan atau perkara. Sedangkan pihak yang mewakafkan tanah miliknya
disebut wakif. Pada umumnya wakif adalah seseorang atau beberapa orang pemilik tanah yang
telah dewasa, sehat akalnya dan tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum. Perwakafan
tanah milik harus dilakukan atas kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain.

Selain manusia, badan hukum juga dapat melakukan perwakafan tanah milik, namun hanya
badan hukum tertentu yang menguasai tanah hak milik yang dapat mewakafkan tanah miliknya.
Badan hukum yang dimaksud adalah bank pemerintah, lembaga keagamaan dan badan sosial,
sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) huruf b Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak
atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

Pihak yang bertugas untuk memelihara dan mengurus benda wakaf disebut nadzir. Nadzir dapat
berupa perorangan atau badan hukum. Adapun syarat-syarat seorang nadzir adalah sebagai
berikut:

1. warganegara Republik Indonesia;


2. beragama Islam;
3. sudah dewasa;
4. sehat jasmaniah dan rohaniah;
5. tidak berada di bawah pengampuan;
6. bertempat tinggal di kecamatan tempat tanah yang diwakafkan.

Apabila nadzir berbentuk badan hukum, syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah:

1. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;


2. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letaknya tanah yang diwakafkan.

Selain syarat-syarat tersebut, nadzir juga harus didaftarkan dan mendapat pengesahan di kantor
Urusan Agama kecamatan setempat.

Tatacara Perwakafan Tanah

Wakif harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan tegas kepada nadzir di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (selanjutnya disebut PPAIW). PPAIW kemudian menuangkan ikrar
wakaf ke dalam Akta Ikrar Wakaf dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi.
Dalam melaksanakan ikrar wakaf, wakif harus membawa dan menyerahkan kepada PPAIW
surat-surat sebagai berikut:

1. sertipikat hak milik atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya


2. surat keterangan dari Kepala Desa yang diperkuat oleh Kepala Kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut suatu sengketa
3. surat keterangan pendaftaran tanah
4. izin dari Bupati atau Walikota cq Kepala Sub Direktorat Agraria.

Selanjutnya PPAIW atas nama nadzir akan mengajukan permohonan kepada Bupati atau
Walikota cq Kepala Sub Direktorat Agraria untuk mendaftar perwakafan tanah milik tersebut.
Kemudian Bupati atau Walikota cq Kepala Sub Direktorat Agraria akan mencatat perwakafan
tanah milik pada buku tanah dan sertifikatnya. Apabila tanah milik yang diwakafkan belum
mempunyai sertifikat, maka terlebih dahulu akan dibuatkan sertifikatnya. Nadzir kemudian
melaporkan selesainya perwakafan ke Kantor Departemen Agama.

Perubahan Perwakafan Tanah

Pada prinsipnya tanah milik yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan terhadap
peruntukan atau penggunaannya selain dari apa yang telah ditentukan dalam ikrar wakaf. Namun
perubahan peruntukan atau penggunaan tanah milik yang telah diwakafkan dapat dilakukan
karena:

1. tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf sesuai dengan apa yang diikrarkan oleh wakif
2. kepentingan umum

Perubahan peruntukan tanah wakaf tersebut harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
Menteri Agama.

Perlu diketahui bahwa tanah wakaf tidak dapat dijadikan jaminan utang. Hal ini disebabkan
karena sifat dan tujuan wakaf yang tidak dapat dipindahtangankan.

Referensi:

1. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok


Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2005, Hlm. 272.
2. Ibid., Hlm. 345.
3. Ibid.

tata cara perwakafan indonesia

A. Latar belakang

Istilah wakaf di Indonesia menurut beberapa ulama’ dalam mengartikannya sebagai


hakikat dari wakaf itu sendiri masih banyak yang simpang siur atau masih dalam batas
perdebatan mengenai hal itu. Undang-undang sendiri mengartikan atri wakaf dengan arti adalah
perbuatan hukum seseorang, kelompok orang atau badan hokum yang memisahkan sebagian dari
benda miliknya atau melembagakannya selama-lamanya guna kepentingan ibadah keperluan
lainnya sesuai ajaran islam. Ketika berbicara masalah cara atau system perwakafan di Indonesia
sebelumnya kita bicara masalah definisi wakaf itu sendiri, kita lihat menurut beberapa ulama’
fiqh dalam mengartikannya, menurut beberapa dari mereka masih memperdebatkan masalah
definisi, ada yang hanya boleh di ambil manfaatnya saja, ada yang sudah terlepas total dari
epemilikannya, ada juga yang di ambil manfaatnya dalam jangka waktu tyertentu saja.
B. Rumusan masalah

1. Adakah perdebatan di antara para ulama mengenai hukum perwakafan?

2. Bagaimana tata cara perwakafan di indonesia?

3. Sebutkan tata cara perwakafan sebelum dan sesudah UU No 41 tahun 2004?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tata cara perwakafan di Indonesia

Secara eksplisit kitab-kitab fiqih tidak menguraikan tata cara atau proses perwakafan
dalam hokum islam, akan tetapi sacara imlisit kitab-kitab fiqih telah menguraikannya secara
detail, yaitu dengan di bahasnya syarat dan rukun wakaf, baik dari segi wakif, mawaqif, mawquf
alaih maupun shighot wakaf.Lain halnya dengan peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977
tentang perwakafan tanah milik serta UU nomor 41 tahun 2004 tentang perwakafan ddan PP
nomor 42 tahun 2006 yang menguraikan tata cara atau proses perwakafan secara detail, yakni:

Peraturan pemerinah nomor 28 tahun 1977 pasal 9 tentang tata cara perwakafan tanah
milik:
1. Pihak yang hendak mewakafkan tanahnya di haruskan dating di hadapan pejabat pembuat akta
ikrar wakaf untuk melaksanakan ikrar wakaf.

2. pejabat pembuat akta ikrar wakaf seperti yang di maksud dalam ayat satu di angkat dan di
berhentikan oleh menteri agama.

3. Isi dan bentuk ikrar wakaf di tentukan menteri agama.

4. Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf di anggap sah jika di hadiri
sekurang-kurangnya 2 orang saksi

5. Dalam melaksanakan ikrar seperti yang di maksud ayat satu pihak yang mewakafkan tanah
harus membawa dan serta menyerahkan kepada pejabat tersebut dalam ayat 2 surat-surat berikut:

a. Sertifikat hak milim atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya.

b. Surat keterangan darikepala desa yang di perkuat oleh kepala kecamatan setempat yang
menerangkan kebenaran pemilikan tanah dan tidak tersangkut sengketa.

c. Surat keterangan pendaftaran tanah.

d. Izin dari buppati atau walikota madya kepala daerah cq. Kepala sub direktorat agrarian
setempat.

Peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 pasal 10 tentang pendaftaran wakaf tanah
milik:

1. Setelah akta iktrar wakaf di laksanakan sesuai dengan ketentuan ayat 4 dan 5 pasal 9 maka
pejabat pembuat pembuat akta ikrar wakaf. Natas nama nadlir yang bersangkutan di haruskan
mengajukan permohonan kepada bupati atau walikota madya kepada daerah cq, kepala sub.
Direktorat agrarian setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik yang bersangkutan
menurut ketentuan peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1961.

2. bupati atau walikota madya kepada daerah cq, kepala sub. Direktorat agrarian setempat, setelah
menerima permohonan tersebut dalam ayat satu mencatat perwakafan tanah tanah milik yang
bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.
3. Jika tanah milik yang di wakafkan belum memeliki sertifikat maka pencatatan yang di maksud
dalam ayat 2 di lakukan setelah untuk tanah tersebut di buatkan sertifikatnya.

4. Oleh menteri dalam negeri di atur tata cara pencatatan perwakafan yang di maksud dalam ayat
2 dan 3.

5. Setelah di lakukan pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya
seperti di maksudkan dalam ayat 2 dan 3, maka nadlir yang bersangkutan wajib melaporkan
kepada pejabat yang di tunjuk oleh menteri agama.

Menurut imam syafi’I, maliki, dan ahmad wakaf di anggap telah terlaksana dengan
adanya lafadz dan shighot walau tidak di tetapkan oleh hakim, milik semua dari di wakif telah
hilang atau berpindah dengan terjadinya laadz walaupun barang itu masih ada di tangan wakif.
Dari keterangan ini terlihat bahwasannya dalam hokum islam tidak di perlukan banyak
persyaratan menyangkut proseduratau tata cara pelaksanaan wakaf, hanya abu hanifah yang
berpendapat bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif, sampai hakim memberikan
putusan yaitu memberkan barang wakaf tersebut[1].

Sebagai contoh kami melihat dan memberikan gambaran proses perwakafan di daerah
KUA wonocolo,

Dalam menjalankan proses perwakafan banyak hal yang di perlukan, di antaranya adalah:

Syarat dan rukunnya, di antaranya

a. Adanya barang yang di wakafkan

b. Wakif

c. Nadlir

d. Saksi

e. Ta’bid

f. Tanjiz atau kontan

g. Kejelasan mashraf, atau peruntukan


h. Ilzam atau bersifat mengikat[2]

Proses wakaf di KUA

1. Sebelum datang ke kantor KUA wakif bermusyawarah dengan keluarganya. Dengan


mempersiapkan wakif, saksi 2 orang, dan nadlir bersama-sama berangkat ke kantor KUA.

2. Wakif, saksi, nadlir pergi ke kua, menghadap kepala KUA selaku PPAIW

3. PPAIW memeriksa persyaratan wakif, persyaratan yang di maksud di sina adalah surat-
surat kelengkapan persyaratan perwakafan, seperti surat keterangan dari kepala desa dan
sertifikat benda atau benda yang di wakafkan.

4. Nadlir membaca ikrar atau sumpah yang sebelumnya nadlir mengisi pernyataan atau
formulir dari PPAIW.

5. Nadlir di sahkan PPAIW

6. Wakif mengucapkan ikrar wakaf di hadapan saksi-saksi dan PPAIW, untuk ikrar wakaf di
buat rangkap tiga, yait, lembar pertama di simpan PPAIW, lembar 2 di lampirkan pada surat
permohonan pendaftaran pada kepaala kantor pertanahan kota, lembar 3 di kirim ke pengadilan
agama.

7. Wakif, nadlir dan saksi pulang dengan membawa salinan akta ikrar wakaf

8. PPAIW atas nama nadlir menuju ke badan kantor pertanahan nasional di kabupaten dengan
membawa berkas permohonan pendaftaran tanah wakaf dengan membawa surat pengantar

9. Kepala kantor pertanahan menyerahkan srtifikat tanah wakaf untuk di catat pada daftar
ikrar wakafdan selanjutnya sertifikat wakaf di serahkan pada nadlir[3]

B. Tata cara wakaf dari pasal 28 sampsi 44

Pasal 28
Wakif dapat mewakafkan benda bergerak berupa uang melalui lembaga keuangan syariah
yang di tunjuk oleh menteri

Pasal 29

(1) Wakaf benda berggerak berupa uang sebagai mana di maksud dalam pasal 28 di laksanakan
oleh wakkif dengan pernyataan kehendak wakif yang di lakukan secara tertulis

(2) Wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana di sebit dalam pasal 1 di terbitkan dalam
bentuk sertifikat wakaf uang.

(3) Sertifikat wakaf yang sebagaimana di maksud pada ayat 2 di terbitkan dan di sampaikan oleh
lembaga keuangan syariah terhadap wakif dan nadhir sebagai bukti penyeahan harta benda wakaf

Pasal 30

Lembaga keuangan syariah atas nama nadhir mendaftarkan harta benda wakaf berupa uang
kepada menteri selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak di terbitkannya sertifikat uang wakaf

Pasal 31

Ketentuan lebih lanjut mengenai wakaf benda bergerak berupa uang sebagaimana di maksud
dalam pasal 28, pasal 29, dan pasal 30 di atur dalam peraturan pemerintah.

BABIII

PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 32

PPAIW atas nama nadhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang
paling lambat 7 hari kerja sejak akta ikrar wakaf di tanda tangani.

Pasal 33
Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana di maksud dalam pasal 32, PPAIW
menyerahkan:

a. Salinan akta ikrar wakaf

b. Surat/ dan bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.

Pasal 34

Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf

Pasal 35

Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana di maksud dalam pasal 34 di sampaikan
PPAIW kepada Nadlir

Pasal 36

Dalam hal harta benda wakaf di tukar atau di ubah peruntukannya, nadhir melalui PPAIW
mendaftarkan kembali pada instansi yang berwenang dan badan wakaf Indonesia atas harta
benda wakaf yang di tukar atau di ubah peruntukannya sesuai dengan peruntukannya itu sesuai
dengan ketentuan yang beraku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 37

Menteri dan badan wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran benda wakaf.

Pasal 38

menteri dan badan wakaf Indonesia mengumumkan pada masyarakat harta benda wakaf
yang telah terdaftar.

Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta
benda wakaf di atur dengan peraturan pemerintah.

BAB IV

PERUBAHAN STATUS HARTA BENDA WAKAF

Pasal 40

Harta benda wakaf yang sudah di wakafkan di larang

a. Di jadikan jaminan

b. Di sita

c. Di hibahkan

d. Di jual

e. Di wariskan

f. Di tukar, atau

g. Di alihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya

Pasal 41

(1) Ketentuan sebagaimana di maksud dalam pasal 40 huruf F di kecualikan apabila harta benda
wakaf yang telah di wakafkan di gunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana
umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan tidak bertentangan dengan syariah

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana di maksud dalam ayat 1 hanya dapat di lakukan setelah
memperoleh izin tertulis dari menteri dan persetujuan badan wakaf Indonesia.

(3) Harta benda wakaf yang telah di rubah statusnya karena kketentuan pengecualian sebagaimana
di maksud pada ayat 1 wajib di tukar dengan harta benda yang manfaat dan nilai tukar sekurang-
kurangnya sama dengan harta benda wakaf semula.
(4) Ketentuan mengenai perubahan setatus harta benda wakaf sebagaimana di maksud pada ayat 1,
ayat2, dan ayat 3 di atur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.

BAB V

PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 42

Nadlir wajib mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi, dan peruntukannya.

Pasal 43

(1) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nadlir sebagaimana di maksud dalam
pasal 42 di laksanakan dengan prinsip syariah

(2) Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf sebagaimana di maksud dalam ayat 1 di
lakukan secara produktif

(3) Dalam hal pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang di maksud dalam ayat 1 di
perlukan penjamin, maka di gunakan lembaga penjamin syariah

Pasal 44

(1) Dalam pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf, nadlir di larang melakukan
perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin tertulis dari badan wakaf
Indonesia.

(2) Izin sebagaimana di maksud dalam ayat 1 hanya dapat di berikan apabila harta benda wakaf
ternyata tidak dapat di pergunakan sesuai dengan peruntukan yang di nyatakan dalam ikrar
wakaf[4].

C. Sebelum di sahkannya UU No 41 tahun 2004


Sebelum di sahkannya UU 41 Tahun 2004 indonesia memakai Kompilasi Hukum Islam
(KHI) sebagai dasar pelaksanaan perwakafan , di antaranya adalah

BAB III

TATA CARA PERWAKAFAN DAN PENDAFTARAN BENDA WAKAF

Bagian kesatu

Tata cara perwakafan

pasal:223

1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf di hadapan pejabat pembuat
akta ikrar wakaf.

2. Isi dan bentuk ikrar wakaf di tetapkan oleh menteri agama

3. Pelaksanaan ikrar, demikian pula pembuatan akta ikrar wakaf di anggap sah jika di hadiri dan
di saksikan oleh sekurang-kurangnya dua orang saksi

4. Dalam melaksanakan ikrar seperti yang di maksud dalam ayat (1) pihak yang mewakafkan di
haruskan menyerahkan pada pejabat yang tersebut dalam pasal 215 ayat (6), surat-surat sebagai
berikut:

a. Tanda bukti pemilikan harta wakkaf

b. Jika benda yang di wakafkan berupa benda yang tidak bergerak, maka harus di sertai surat
keterangan dari kepala desa, yang di perkuat oleh camat setempat yang menerangkan pemilikan
benda tidak bergerak tersebut

c. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan dari benda tidak bergerak yang
bersangkutan.

Bagian kedua

pendaftaran benda wakaf

pasal 224
setelah akta ikrar wakaf di laksanakan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 223 ayat (3)
dan (4), maka kepalakantor urusan Agama kecamatan atas nama nadzir yang bersangkutan di
haruskan engajukan permohonan pada camat untuk mendaftarkan perwakafan benda yang
bersangkutan guna menjaga keutuhan dan kelestarian[5].

Setelah di sahkannya UU No 41 tahun 2004 , maka yang di pakai di Indonesia dalam tata
cara perwakafan di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia namor 41 tahun 2004
tentang wakaf , khususnya mengenai tata caranya ada di dalam BAB III.

BABIII

PENDAFTARAN DAN PENGUMUMAN HARTA BENDA WAKAF

Pasal 32

PPAIW atas nama nadhir mendaftarkan harta benda wakaf kepada instansi yang berwenang
paling lambat 7 hari kerja sejak akta ikrar wakaf di tanda tangani.

Pasal 33

Dalam pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana di maksud dalam pasal 32, PPAIW
menyerahkan:

a. Salinan akta ikrar wakaf

b. Surat/ dan bukti-bukti kepemilikan dan dokumen terkait lainnya.

Pasal 34

Instansi yang berwenang menerbitkan bukti pendaftaran harta benda wakaf

Pasal 35

Bukti pendaftaran harta benda wakaf sebagaimana di maksud dalam pasal 34 di


sampaikan PPAIW kepada Nadlir

Pasal 36
Dalam hal harta benda wakaf di tukar atau di ubah peruntukannya, nadhir melalui
PPAIW mendaftarkan kembali pada instansi yang berwenang dan badan wakaf Indonesia atas
harta benda wakaf yang di tukar atau di ubah peruntukannya sesuai dengan peruntukannya itu
sesuai dengan ketentuan yang beraku dalam tata cara pendaftaran harta benda wakaf.

Pasal 37

Menteri dan badan wakaf Indonesia mengadministrasikan pendaftaran benda wakaf.

Pasal 38

menteri dan badan wakaf Indonesia mengumumkan pada masyarakat harta benda wakaf
yang telah terdaftar.

Pasal 39

Ketentuan lebih lanjut mengenai PPAIW, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta
benda wakaf di atur dengan peraturan pemerintah.

D. Analisis

Dalam kaitannya dengan tata cara atau prosedur pelaksanaan perwakafan di Indonesia
sangat jelas bahwasanya adanya kesinambungan antara hukum atau aturannya yang sudah ada di
dalam al qur’an yang menjelaskannya baik hukum wakaf ataupun tata cara di dalamnya, di
samping itu di jelaskan pula dalam hukum positif Indonesia, yang di dalamnya dijadikan sebagai
pedoman pokok pelaksanaan perwakafan di Indonesia yang mengacu pada undang-undang
Nomor 41 tahun 2004 yang menjelaskan ketentuan pelaksanaan perwakafan di Indonesia.

Di Indonesia hokum perwakafan di atur dalam undang-undan nomor 41 tahun 2004, serta
jua peraturan pemerintah nomo 42 tahun 2006 tentang pelaksanaan perwakafan tersebut, itu
dapat di katakana bahwasannya indonesia memakai aturan yang di berlakukan oleh Negara , lalu
bagaimana dengan hokum atau dasar yang ada di dalam al qur’an? Itu adalah sebagai landasan
juga bagi umat islam kgususnya di Negara Indonesa. Terkait tata cara lebih memakai pada
Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf dan peraturan pemerintah nomor 42 tahun
2006 tentang pelaksanaannya di indonesia.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menurut imam syafi’I, maliki, dan ahmad wakaf di anggap telah terlaksana dengan
adanya lafadz dan shighot walau tidak di tetapkan oleh hakim, milik semua dari di wakif telah
hilang atau berpindah dengan terjadinya laadz walaupun barang itu masih ada di tangan wakif.
Dari keterangan ini terlihat bahwasannya dalam hokum islam tidak di perlukan banyak
persyaratan menyangkut prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf, hanya abu hanifah yang
berpendapat bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif, sampai hakim memberikan
putusan yaitu memberkan barang wakaf tersebut

Wakif, saksi, nadlir pergi ke KUA, menghadap kepada kepala KUA selaku PPAIW,
kepala KUA memeriksa persyaratan wakif dan Nadlir membaca ikrar lalu Nadlir di sahkan
PPAIW, Wakif mengucapkan ikrar wakaf di hadapan saksi-saksi dan PPAIW, untuk ikrar wakaf
di buat rangkap tiga, yaitu, lembar pertama di simpan PPAIW, lembar 2 di lampirkan pada surat
permohonan pendaftaran pada kepaala kantor pertanahan kota, lembar 3 di kirim ke pengadilan
agama lalu Wakif, nadlir dan saksi pulang dengan membawa salinan akta ikrar wakaf. PPAIW
atas nama nadlir menuju ke badan kantor pertanahan nasional di kabupaten dengan membawa
berkas permohonan pendaftaran tanah wakaf dengan membawa surat pengantar dan terakhir
Kepala kantor pertanahan menyerahkan srtifikat tanah wakaf untuk di catat pada daftar ikrar
wakafdan selanjutnya sertifikat wakaf di serahkan pada nadlir.

Sebelum adanya UU No 41 tahun 2004 tata cara perwakafan di Indonesia mamakai KHI,
dan setelah di sahkannya UU No 41 tahun 2004 maka Undang-undang innilah yang di pakai di
Indonesia.

[1] Adijani al-alabij, perwakafan tanah di Indonesia,(Jakarta, raja grafindo persada, 2002)hal 38

[2] Abdul aziz Muhammad azzam, fiqh muamalah,(Jakarta, amzah, 2010) hal 411

[3] Arsip KUA wonocolo, surabaya

[4]Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang wakaf, (depag, 2007)

[5] Kompilasi Hukum islam, (bandung, nuansa Aulia, 2008) hal 72


endahuluan

Menurut pendapat Imam Syafi’i, Malik dan Ahmad, wakaf dianggap telah terlaksana dengan
adanya lafadz atau sighat, walaupun tidak ditetapkan oleh hakim. Milik semula dari wakaf
telah hilang atau berpindah dengan terjadinya lafadz, walaupun barang itu masih berada di
tangan wakif.

Dari keterangan di atas terlihat bahwa dalam hukum Islam tidak diperlukan banyak persyaratan
menyangkut prosedur atau tata cara pelaksanaan wakaf. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat
bahwa benda wakaf belum terlepas dari milik wakif, sampai hakim memberikan putusan yaitu
mengumumkan barang wakaf tersebut.

Salah satu permasalahan yang paling mendasar dan pertama untuk dibicarakan dalam rangka
pemberdayaan harta benda wakaf adalah proses dan adminitrasi perwakafan tanah. Hal ini
dilakukan sebagai langkah awal untuk pengamanan harta benda wakaf sebagai salah satu aset
umat Islam.

Latar Belakang.
Dalam sejarah Islam wakaf dikenal sejak masa Rasulullah SAW, karena wakaf disyari’atkan
setelah Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah pada tahun kedua Hijriah. Walau ada dua
pendapat yang berkembang dikalangan ahli yurisprudensi Islam ( Fuqoha ) tentang siapa yang
pertama kali melaksanakan syariat wakaf. Ada yang berpendapat Rasulullah

( Ansor ) ada juga yang berpendapat Umar ( Muhajirin ).

Seiring dengan perjalanan waktu, perwakafan tetap berkembang sampai dengan masa
pemerintahan sahabat-sahabat dan dinasti Umayyahlah yang saat itu dipimpin oleh khalifah
Hisyam bin Abd.Malik terbentuk lembaga wakaf. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali
melakukan pengadministrasian wakaf di Mesir, bahkan ditiru oleh seluruh Negara Islam.
Begitu pula yang terjadi di Indonesia, wakaf telah berkembang di masyarakat sejak zaman
dahulu. Akan tetapi pengurusan dan pengelolaannya masih bersifat konvensional atau tradisional
atas dasar saling percaya antara nadzir dan wakif. Sikap atau perilaku seperti ini syah-syah saja,
akan tetapi kurang bisa optimal pengelolaannya bahkan cenderung kurang memperhatikan
pengamanan benda wakaf.

Oleh karena itu perlu diadakan penertiban dan pendataan harta benda wakaf melalui
pengadministrasian yang tertib dan benar sehingga benda wakaf tersebut bisa aman bahkan bisa
dikembangkan. Pengadministrasian perwakafan tanah akan lebih tertib dan baik bilamana wakaf
tersebut dimulai dengan proses yang sesuai dengan prosedur dan aturan yang berlaku, baik itu
secara syar’I maupun hukum dan peraturan pemerintahan.
Landasan Hukum
1. Al qur’an surat Al-Baqoroh ayat 282,
4

Yang artinya : “Hai orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis
diantara Kamu menuliskannya dengan benar”.
1. Al qur’an surat Al-Imron ayat 92.
Yang artinya : “ Kamu sekali – kali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum
kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai, dan apa saja yang kamu nafkahkan,
maka Allah mengetahuinya”
1. UU No. 5 tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-pokok agraria
2. UU No. 41 tahun 2004 Bab I pasal I :
Wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

1. PP No. 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik


2. PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Wakaf
5.

1. PP No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No 41 tahun 2004 tentang wakaf


2. Peraturan Menteri Agama No 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No 28
tahun 1997 tentang Perwakahan Tanah milik
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN No 3 tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP No 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
10. Keputusan Kepala BPN No 1 tahun 2005 tentang Standar Prosedur Operasi Perngaturan dan
Pelayanan Dilingkungan Pertanahan Nasional

11. Peraturan Kepala BPN RI No. 6 tahun 2008 tentang Penyederhanaan dan Percepatan Standar
Prosedur Operasi Pengaturan Dan pelayanan Pertanahan untuk Jenis Pelayanan Pertanahan
tertentu

Tujuan
Dengan penertiban prosedur dan pengadministrasian perwakafan tanah, maka diharapkan :

1. Tersusun administrasi perwakafan tanah dengan tertib dan benar.


2. Proses perwakafan tanah sesuai dengan peraturan dan Undang- Undang
3. Tanah wakaf akan tercatat sehingga lebih terjaga keamanan, kelestarian dan
pengembangannya karena terdata dengan kongkrit.
4. Pemberdayaan tanah wakaf akan lebih optimal.
5. Aset wakaf akan mudah diakses sewaktu – waktu bilamana diperlukan.
6

BAB III
RUMUSAN KEGIATAN
Untuk memperlancar dan mendukung kegiatan pengadministrasian perwakafan tanah, maka
harus dimulai dengan proses dan prosedur terjadinya peristiwa wakaf yang sesuai dengan syariah
dan Undang-Undang Pemerintahan yang berlaku, sebagaimana berikut :

1. Mengadakan pendataan harta benda wakaf secara lengkap dan akurat.


2. Mengadakan sosialisasi tentang Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 dan peraturan
lainnya.
3. Gerakan pendataan tanah wakaf bagi yang bersertifikat ataupun belum bersertifikat
4. Mengoptimalkan fungsi dan pemanfaatan tanah wakaf untuk meningkatkan
kesejahteraan umat melalui pengembangan pengelolaan dan pemberdayaan.
5. Mengadakan data base tanah wakaf baik ditingkat Kecamatan ( KUA ) maupun tingkat
Kabupaten.
7

BAB IV
Permasalahan dan Pemecahannya
1. A. PERMASALAHAN.
1. Kurangnya sosialisasi tentang tata cara perwakafan tanah.
2. Kurangnya pendataan inventarisasi harta benda wakaf.
3. Minimnya informasi kepada masyarakat tentang tanah wakaf yang ada di
lingkungan tempat tinggalnya.
4. B. PEMECAHAN MASALAH.
1. I. Diadakan sosialisasi tentang Tata Cara Perwakafan kepada
masyarakat yang antara lain meliputi :
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf.
2. Pernyataan kehendak wakif dituangkan dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf sesuai dengan
jenis harta benda yang diwakafkan , diselenggarakan dalam Majelis Ikrar Wakaf yang
dihadiri Nazhir, Mauquf Alaih dan sekurang-kurangnya 2 orang saksi.
3. Isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Dalam melaksanakan ikrar wakaf pihak yang mewakafkan diharuskan menyerahkan
kepada Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, surat-surat sebagai berikut :
8

1. Tanda bukti kepemilikan harta benda/ tanah.


2. Tanah yang akan diwakafkan , maka harus disertai dengan surat keterangan dari kepala
desa, yang diperkuat oleh Camat setempat yang menerangkan kepemilikan benda tidak
bergerak dimaksud.
3. Surat atau dokumen tertulis yang merupakan kelengkapan pernyataan status tanah
tersebut.
Agar perwakafan tanah milik dapat dilaksanakan dengan tertib, maka tata cara perwakafannya
harus ditentukan pula. Berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam kitab-kitab fikih
tradisional dan kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat adat , tata cara perwakafan tanah milik
menurut PP ini adalah sebagai brikut :

1. Seseorang atau badan hukum yang hendak mewakafkan tanahnya (sebagai calon wakif)
datang sendiri kepada pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) untuk melaksanakan
kehendaknya. Apabila calon wakif itu tidak dapat datang sendiri karena sakit , sudah tua
atau karena alasan lain yang dapat diterima, ia dapat membuat surat kuasa secara tertulis
dengan persetujuan dengan ditandatangani 2 orang saksi . Ikrar wakaf itu kemudian
dibacakan pada nadzir dihadapan PPAIW. Pada waktu menghadap Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf itu, wakif harus membawa surat-surat berikut : sertifikat hak milik
atau benda bukti pemilikan tanah lainnya,
2. Surat keterangan Kepala Desa yang diperkuat oleh camat setempat mengenai kebenaran
pemilikan tanah itu dan penjelasan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa,
3. Surat keterangan pendaftaran tanah,
9

1. Surat-surat yang dibawa calon wakif itu diperiksa lebih dahulu oleh Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf , apakah telah memenuhi aturan yang telah ditetapkan oleh
perundang-undangan. Kemudian PPAIW meneliti saksi-saksi dan mengesahkan susunan
nadzir ;
2. Di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dan dua orang saksi, wakif
mengucapkan ikrar wakafnya kepada nadzir yang telah disahkan dengan ucapan yang
jelas dan terang. Bila wakif tidak dapat mengucapkan ikrarnya karena bisu misalnya, ia
dapat menyatakan kehendaknya itu dengan isyarat, kemudian mengisi formulir ikrar
wakaf. Setelah selesai pengucapkan ikrar wakaf, wakif nadzir, saksi-saksi dan PPAIW
segera membuat Akta Ikrar Wakaf rangkap tiga.
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) adalah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama
(yang telah melimpahkan wewenang itu kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama)
untuk membuat Akta Ikrar Wakaf. Pejabat tersebut adalah Kepala Kantor Urusan Agama
kecamatan setempat. Bila di suatu kecamatan belum ada Kantor Urusan Agama, maka yang
menjadi PPAIW untuk kecamatan bersangkutan adalah Kepala Urusan Agama Kecamatan
terdekat. Akta Ikrar Wakaf yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf itu adalah
otentik. dibuat setelah wakif mengikrarkan penyerahan tanah wakafnya.

1. II. Dalam rangka penertiban administrasi perwakafan tanah, maka perlu


diadakan
Pendaftaran Tanah Wakaf.
Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan – ketentuan tersebut di

10

atas, maka Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan atas nama nadzir yang bersangkutan

diharuskan mengajukan pendaftaran tanah wakaf kepada instansi yang berwenang guna menjaga
keutuhan dan kelestariannya.

Setelah selesai Akta Ikrar Wakaf, maka PPAIW atas nama nadzir diharuskan mengajukan
permohonan kepada instansi berwenang setempat untuk mendaftar perwakafan tanah milik
tersebut menurut ketentuan PP No. 42 Tahun 2006. Instansi berwenang tersebut mencatatnya
pada buku register wakaf dan menerbitkan bukti pendaftaran tanah wakaf. Setelah itu nadzir
yang bersangkutan wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agama,
dalam hal ini adalah Kepala KUA Kecamatan.

Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata cara Pendaftaran
Tanah Milik menyebutkan bahwa “untuk keperluan pendaftaran dan pencatatan perwakafan
tanah , tidak dikenakan biaya pendaftaran, kecuali biaya pengukuran dan materai”

Berdasarkan PP No. 42 Tahun 2006, tata cara pendaftaran harta benda wakaf yaitu :

Wakaf tanah sebagai Harta Benda Tidak Bergerak

- Pendaftaran sertifikat tanah wakaf dilakukan berdasarkan AIW .

- Tanah yang diwakafkan sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf atas
nama nazhir.
11

- Apabila tanah yang diwakafkan hanya sebagian dari keseluruhan, harus dilakukan
pemecahan sertifikat milik terlebih dahulu, kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama
nazhir.

- Pejabat yang berwenang di bidang pertanahan kabupaten/kota setempat mencatat


perwakafan tanah yang bersangkutan pada buku tanah dan sertifikatnya.

III. Penyampaian informasi kepada masyarakat tentang keberadaan Tanah Wakaf di


daerahnya.
1. PPAIW menyampaikan AIW kepada Kantor Kementerian Agama dan BWI untuk
dicatat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor Kementerian Agama
Kabupaten/Kota dan BWI.
2. Nadzir hendaknya memberitahukan kepada masyarakat tentang keberadaan tanah wakaf
kepada masyarakat sekitar lokasi.
3. Masyarakat dapat mengetahui atau mengakses informasi tentang tanah wakaf sebagai
benda tak bergerak yang termuat dalam register umum yang tersedia pada
Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota.
12

BAB V
Kesimpulan Saran Dan Penutup
Kesimpulan.
1. Pihak yang hendak mewakafkan dapat menyatakan ikrar wakaf dihadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf untuk melaksanakan Ikrar Wakaf, dan pelaksanaan Ikrar
Wakaf tersebut dilaksanakan dalam Majlis Ikrar Wakaf.
2. Majelis Ikrar Wakaf tersebut dihadiri oleh Wakif/Kuasa Wakif, Nadhir, Mauquf Alaih
dan sekurang – kurangnya 2 orang saksi.
3. Form,isi dan bentuk ikrar wakaf ditetapkan oleh Menteri Agama.
4. Setelah Akta Ikrar Wakaf dilaksanakan sesuai dengan ketentuan, maka PPAIW atas
nama nadzir yang bersangkutan diharuskan mengajukan permohonan kepada instansi
berwenang untuk mendaftar perwakafan benda yang bersangkutan guna menjaga
keutuhan dan kelestariannya.
5. PPAIW menyampaikan AIW kepada Kantor Kementerian Agama Kabupaten / Kota
dan BWI untuk dicatat dalam register umum wakaf yang tersedia pada kantor
Kementerian Agama Kabupaten / Kota dan BWI.
13

S a r a n.
1.
1. Agar Kementerian Agama memberikan pembinaan dan penyuluhan
kepada masyarakat agar ditumbuhkan gerakan wakaf tanah yang
diperuntukkan tidak sebatas untuk tempat ibadah, sehingga diharapkan dapat
memberikan keleluasaan kepada nadzir untuk pengelolaan dan pengembangan,
dalam rangka memberikan manfaat kepada masyarakat .
2. Diharapkan kepada nadzir agar selalu mencatatkan tanah wakah serta hasil
pengembangannya
3. Diharapkan kepada nadzir untuk bisa amanah, kreatif dan inovatif dalam
pengelolaan dan pengembangan, sehingga hasilnya lebih optimal untuk
mensejahterakan umat.
Penutup
Demikian hasil kertas kerja kelompok I semoga dapat bermanfaat untuk perkembangan
pengelolaan wakaf baik ditingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten/ Kota. Sumbang saran dan
masukan yang konstruktif dari pihak lain demi penyempurnaan hasil tulisan ini

14

Daftar Pustaka

1.
1.
1. DEPAG RI, UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, PP No. 42 Tahun
2006 Tentang Pelaksanaannya, Jakarta, 2008.
2. DEPAG RI Al Qur’an dan terjemahannya.
3. Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Fiqih Wakaf, tahun 2005
15

Anda mungkin juga menyukai