Anda di halaman 1dari 3

Ada Harapan bagi Gerakan Rakyat di Luar

Pertarungan Politik Pemilu 2019


Redaksi Buruh.co 08/12/2018
0 195 4 minutes read
Seruan aksi nasional

PERNYATAAN SIKAP, KONFEDERASI PERSATUAN BURUH INDONESIA, AKSI NASIONAL KPBI

Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI) melihat harapan-harapan dari Pemilu 2019 tidaklah nyata. Para calon presiden
dan partai-partai yang bertarung di laga tersebut tidak memiliki kinerja pembangunan untuk rakyat. Sebaliknya, masih ada asa
di luar pertarungan politik 2019. Harapan itu terletak pada punggung rakyat tertindas yang terorganisir. Karena itu, KPBI dalam
aksi pada 8 Desember 2018 ini mendeklarasikan sikap politiknya untuk tidak terlibat dalam politik dukung-mendukung partai
politik dan calon presiden selama pemilu 2019.

Dengan tidak terlibat politik dukung-mendukung, KPBI menegaskan bahwa politik pemilu bukanlah pertarungan rakyat dan
masih ada harapan dengan membangun politik yang lahir dari rahim rakyat.

KPBI melihat tidak ada satupun partai politik peserta pemilu bebas dari kasus korupsi. Mulai Partai Bulan Bintang hingga
pemenang pemilu, PDI-P, semuanya memiliki kader yang terlibat korupsi. Para kader itu melakukan korupsi ketika memangku
jabatan dan jelas partai-partai berperan dalam terciptanya para koruptor tersebut. Korupsi telah menjadi laku untuk
mempertahankan kekuasaan para oligarki partai-partai tersebut.

Korupsi jelas-jelas merugikan buruh. Vonis 6 tahun penjara hakim korup Pengadilan Hubungan Industrial Imas Dianasari
hanyalah puncak gunung es dari kerugian buruh akibat korupsi. Berkali-kali kami melihat hakim dan suku dinas ketenagakerjaan
yang tiba-tiba satu suara. Belum lagi dampak tidak langsung korupsi, ketika anggaran-anggaran Negara yang diperuntukan
untuk rakyat, buruh, amblas digerogoti tikus-tikus berdasi. Sepanjang 2017, 576 kasus korupsi merugikan Negara hingga Rp
6,5 triliun.

Tidak ada keseriusan pemerintah dalam memberikan dukungan untuk pengusutan politik ketika itu menyangkut kekuasaan
oligakri. Persoalan Novel Baswedan macet tanpa menetapkan satupun tersangka.

Selama berbagai macam pemilu, pemerintah maupun partai-partai di DPR juga tidak menunjukan sikap untuk mendorong
jaminan sosial secara berarti. Ketika para investor mendapat berbagai potongan pajak dan kemudahaan, rakyat justru diminta
membayar sendiri melalui iuran BPJS. Saat pemerintah jor-joran membangun infrastruktur untuk mempermudah kelancaran
investasi, pemerintah membiarkan defisit BPJS Kesehatan Rp 16 triliun. Rakyat rentan dikorbankan ketika layanan memburuk
dengan alasan dana. Belum lagi pencabutan subsidi-subsidi mulai dari listrik hingga perumahan. Subsidi perumahan untuk
Masyarakat Berpenghasilan Rendah yang sempat mencapai Rp 9,7 triliun kini berkurang hingga Rp 6 triliun.

Di sektor HAM, berbagai atraksi dan janji-janji pemerintah dan DPR tak pernah mengarah pada penuntasan HAM. Kasus
penghilangan paksa, pembunuhan marsinah, dan pembantaian 65/66 tak kunjung mendapatkan titik cerah. Belum lagi
pelanggaran hak-hak berupa perampasan tanah dan penggusuran yang menjauhkan hak atas tempat tinggal layak dan rezim
kontrak/outsourcing/magang yang menjauhkan buruh dari kerja layak. Masih segar dalam ingatan betapa rezim bahkan
menembak mati Poro Duka pada April 2018 ketika ia mempertahankan tanah adat.

Dalam hal demokrasi, pemerintahaan semakin rajin membredel kebebasan berbicara para pengkritiknya, terutama melalui UU
ITE. Tidak hanya itu, sistem pemilu dirancang untuk menyulitkan rakyat mendirikan partai politik dan memaksa rakyat hanya
menjadi penggembira dari pesta kelompok elit.
Terlebih lagi di sektor perburuhan, buruh dikondisikan untuk “kerja, kerja, kerja” dengan upah murah, status kerja tanpa
kepastian, dan kerap kondisi lingkungan kerja berbahaya. Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan menutup ruang
berunding bagi buruh. Alhasil, dalam tiga tahun belakangan, President Joko Widodo menyerahkan penetapan upah pada
mekanisme pasar dengan penyesuaian upah berdasarkan inflasi nasional plus pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, penyesuaian
upah terus menurun dari 11 persen pada 2016, 8,25 persen pada 2017, 8,7 persen pada 2018, dan 8,03 persen pada 2019.
Akibatnya, daya beli buruh semakin menurun. Pemberangusan serikat semakin menjadi-njadi dan menjadikan pabrik tak
ubahnya camp kerja paksa.

Terlebih, pemerintah semakin membiarkan hubungan kerja kontrak/outsourcing/magang yang memaksa buruh bekerja dengan
kondisi tidak pasti. Buruh tidak dapat hidup tenang tanpa kepastian kerja di hari esok. PHK sewaktu-waktu berarti lemahnya
atau bahkan tidak adanya serikat dan itu merupakan pintu masuk dari berbagai pelanggaran-pelanggaran lainnya. Dari semua
itu penindasan itu, kaum perempuan berada dalam lapisan ketertindasan yang paling bawah. Hak-hak maternitas, seperti cuti
haid dan melahirkan serta hak menyusui, semakin tidak dapat dijangkau dalam status kerja tak pasti.

Kerja layak merupakan hak asasi mansuia yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945. Selain itu, pengusaha tidak bisa
sewenang-wenang melemparkan resiko bisnis dengan mengorbankan buruh melalui kontrak/outsourcing.

KPBI melihat perdebatan-perdebatan selama kampanye mengabaikan persoalan-persoalan tersebut. Jikapun disinggung,
seperti halnya Janji Jokowi akan tiga layak, untuk menghapus outsourcing, hanyalah pemanis untuk kemudian diingkari. Begitu
juga dengan calon presiden oposisi, perlu diingat, calon wakil presiden Sandiaga Uno bahkan langsung mengingkari kontrak
politik dengan buruh untuk menaikan upah di atas PP Pengupahan ketika baru saja menjabat sebagai calon wakil gubernur DKI
Jakarta. Lantas, pantaskah buruh percaya janji politikus cum pengusaha itu untuk mencabut PP Pengupahan dan
menghapuskan outsourcing? Jelas tidak!

Untuk itu, ribuan massa dari KPBI di Jakarta dan Sumatera Utara menggelar aksi pada 8 November 2018 sebagai bentuk kritik
terhadap sistem penindasan yang ada. Kami menyerukan agar buruh dan rakyat tidak perlu lagi berharap pada partai-partai
politik dan para calon presiden.

KPBI juga menyerukan pada berbagai elemen gerakan rakyat untuk mengandalkan kekuatan sendiri. Kekuatan rakyat tidak
boleh terus menerus menitipkan nasib dan suara pada partai-partai korup dan pelanggar HAM.

Membangun kekuatan sendiri mungkin akan membutuhkan waktu. Gerakan rakyat yakin rezim oligarki tidak akan tinggal diam.
Sejarah sudah membuktikan itu. Pada 2016, ketika gabungan gerakan buruh dan rakyat mendeklarasikan embrio partai politik
Rumah Rakyat Indonesia, rezim langsung menjawab dengan pembatasan pembentukan partai politik.

Tapi, dengan ketekunan dan keyakinan bahwa inilah satu-satunya solusi bagi kelas tertindas, baik buruh, tani, miskin kota,
masyarakat adat, dan minoritas. Kerja keras dan penyatuan yang selama ini sudah dilakukan akan terus diperhebat. Kami akan
terus mengajak anggota-anggota dan rakyat pada umumnya untuk menyadari, tak ada gunanya bertikai, membela para
kepentingan kelas atas sehingga layaknya menjadi para fanatis. Rakyat akan dapat berdaya hanya ketika mengandalkan
kekuatannya sendiri, berorganisasi, dan terorganisir dalam kekuatan politik yang lahir dari rahim rakyat.

Maka dari itu, aksi massa ini sekaligus untuk menunjukan perlunya persatuan rakyat lintas sektor untuk membangun alat politik
bagi rakyat tertindas. Untuk itu KPBI menyerukan gerakan rakyat untuk mendukung:

1. Lawan Korupsi! Tuntaskan kasus Novel Baswedan dan Tuntaskan kasus-kasus mega korupsi seperti BLBI, Century dan yang
menyeret pejabat-pejabat tinggi. Tangkap, adili, dan miskinkan koruptor. Hentikan pungli di pelabuhan. Buruh mendukung
KPK!

2. Pemerintah bertanggungjawab atas jaminan sosial bagi seluruh rakyat.

3. Wujudkan demokrasi sejati, tempat rakyat dapat berpartisipasi.


4. Tuntaskan pelanggaran HAM masa lalu. Usut habis para penculik dan pelaku pembunuhan Marsinah serta tangkap otak
pembunuhan Munir, usut tuntas pelaku kerusuhan mei 1998, pembantaian 1965/66, dan penculikan aktivis.

5. Tolak Upah Murah dengan mencabut PP Pengupahan, upah padat karya, upah pedesaan, dan kontrak/outsourcing/magang.

6. Wujudkan kesetaraan di dunia kerja, jamin hak-hak maternitas (cuti melahirkan dan menyusui), dan hapus kekerasan
berbasis gender, dan kekerasan seksual.

7. Wujudkan reformasi agrarian sejati, tidak hanya bagi-bagi sertifikat, tapi juga pemberdayaan petani, teknologi untuk petani,
dan kesejahteraan petani.

8. Wujudkan demokrasi rakyat. Lawan pemberangusan serikat buruh, berikan hak berunding untuk serikat, dan hentikan
kriminalisasi aktivis.

9. Wujudkan jaminan sosial untuk rakyat! Gratiskan pendidikan dan kesehatan berkualitas! Wujudkan perumahan murah untuk
rakyat!

10. Hentikan perusakan lingkungan, hentikan pabrik semen rembang, pembangunan bandara NYIA, penambangan tumpang
pitu, save Gunung Slamet, hentikan reklamasi teluk Benoa dan Jakarta!

11. Bangun industrialisasi nasional!

Jakarta, 8 Desember 2018

https://buruh.co/ada-harapan-bagi-gerakan-rakyat-di-luar-pertarungan-politik-pemilu-2019/

Anda mungkin juga menyukai