Anda di halaman 1dari 32

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU


SMF/BAGIAN SARAF
Sekretariat : Gedung Kelas 03, RSUD Arifin Achmad Lantai 04
Jl. Mustika, Telp. 0761-7894000
E-mail : saraffkur@gmail.com
PEKANBARU

STATUS PASIEN

Nama Koass Suci Isma Putri

NIM/NUK 1808436249

Pembimbing dr. Muhammad Faisal Akbari, Sp.S

I. IDENTITAS PASIEN
Nama Nn. FDA
Umur 20 tahun
Jenis kelamin Perempuan

Alamat Jl. Ramakasih, Tenayan Raya, Pekanbaru

Agama Islam
Status perkawinan Belum menikah
Pekerjaan Mahasiswa
Tanggal Masuk RS 10 Desember 2019
Medical Record 00933826

1
II. ANAMNESIS : Autoanamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 hari SMRS.

Riwayat Penyakit Sekarang


1 hari SMRS pasien mengeluhkan sesak napas yang dirasakan tiba-tiba saat
beraktivitas, sesak tidak dipicu oleh makanan, cuaca maupun debu. Sesak dirasakan
berkurang saat pasien beristirahat. Sesak tidak disertai dengan bunyi “ngik”.
Namun terdengar suara seperti ada dahak yang tertumpuk ditenggorokan, pasien
sangat kesulitan untuk mengeluarkan dahaknya. 1 minggu SMRS kadang-kadang
keluhan pasien disertai sulit menelan dan mengunyah makanan, keluhan memberat
kalau pasien tidak minum obat dan keluhan berkurang saat pasien istirahat. Riwayat
pasien mengeluhkan mata sulit dibuka, terlihat pandangan ganda dan tidak mampu
untuk melihat lama sebelumnya tidak ada. Pasien dapat beraktivitas seperti biasa di
pagi hingga siang hari, namun ketika pasien banyak beraktivitas, pasien merasa
keluhannya semakin memberat dan anggota gerak tubuh pasien terasa berat
sehingga sulit untuk berjalan. Pasien lalu dibawa ke IGD RSUD AA.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Pasien memiliki riwayat miasthenia gravis sebelumnya sejak 7 tahun yang
lalu
 Riwayat pengobatan terkontrol (mestinon)
 Riwayat penyakit jantung tidak ada
 Riwayat operasi tidak ada
 Riwayat thimus presisten tidak ada
 Riwayat alergi tidak ada

Riwayat Kebiasaan
 Pasien seorang mahasiswa
 Minum obat rutin setiap hari
 Banyak beraktivitas di luar rumah
 Bekerja sehari-hari di rumah tidak berat

2
 Pasien dapat melakukan aktivitas sendiri dipagi hingga siang hari.
Riwayat Penyakit Keluarga
 Keluarga pasien tidak ada mengeluhkan keluhan yang sama dengan pasien.

RESUME ANAMNESIS
Perempuan usia 20 tahun datang dengan keluhan sesak napas tiba-tiba saat
beraktifitas ringan dan berkurang ketika beristirahat. Kesulitan mengeluarkan
dahak yang tertumpuk ditenggorokan, gerakan anggota tubuh terasa berat, pasien
sulit berjalan dan duduk. Keluhan berkurang dengan istirahat dan dirasakan
memberat ketika beraktifitas.

III. PEMERIKSAAN (11 Desember2019)


A. KEADAAN UMUM
Tekanan darah : Kanan : 110/70 mmHg, Kiri : 110/70 mmHg
Denyut nadi : Kanan : 88 x/mnt, teratur,
Kiri : 88x/mnt, teratur
Jantung : HR : 88x/mnt, irama, teratur.
Paru : Respirasi : 30 x/mnt , tipe : torako-abdominal
Keadaan Gizi : Berat badan : 52 kg Tinggi badan : 159 cm
Kesan : BMI : 20,6 (normoweigt)
Ekstermitas : Udem (-)

B. STATUS NEUROLOGIK
1) Kesadaran : Composmentis kooperatif, GCS 15 (E4M6V5)
2) Fungsi luhur : Normal
3) Kaku kuduk : Tidak ditemukan
4) Saraf kranial :

3
1. N. I (Olfactorius)
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau Normal Normal Normal
2. N. II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan >3/60 > 3/60
Lapang pandang Normal Normal Normal
Pengenalan warna Normal Normal
3. N. III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis (-) (-)
Pupil
Normal
Bentuk Bulat Bulat
Ukuran 2 mm 2 mm
Gerak bola mata Normal Normal
Refleks pupil Normal Normal Normal
Langsung (+) (+) Normal
Tidak langsung (+) (+)
4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal Normal
5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Sensibilitas Normal Normal Normal
Nyeri (+) (+)
Suhu (+) (+)
Raba (+) (+)
Tekan (+) (+)
Diskriminasi (+) (+)
Refleks kornea (+) (+)

4
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Normal Normal
Strabismus (-) (-) Normal
Deviasi (-) (-)

7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Tic (-) (-)
Motorik
Mengerutkan dahi Normal Normal
Mengangkat alis Normal Normal Normal
Menutup mata Normal Normal
Sudut mulut Normal Normal

Daya perasa Normal Normal


Normal
Tanda chvostek (-) (-)

8. N. VIII (Akustikus)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran Normal Normal Normal

9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Normal Normal
Daya perasa Normal Normal Gangguan N.IX
Refleks muntah (-) (-)
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus faring Normal Normal
Gangguan N.X
Dysfonia (+) (+)

5
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi

12. N. XII (Hipoglossus)


Kanan Kiri Keterangan
Motorik Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Normal
Tremor (-) (-)
Disartri (-) (-)

I. SISTEM MOTORIK
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan
Distal 4 4
Medial 4 4
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Ger. Involunter (-) (-)
Tetraparese
Ekstremitas bawah
Kekuatan
Distal 4 4
Medial 4 4
Tonus Normal Normal
Trofi Eutrofi Eutrofi
Ger. Involunter (-) (-)
Badan
Trofi Eutrofi Eutrofi Normal
Ger. Involunter (-) (-)

6
II. SISTEM SENSORIK
Kanan Kiri Keterangan
Raba Normal Normal
Nyeri Normal Normal
Normal
Suhu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Proprioseptif (+) (+)

III. REFLEKS
Kanan Kiri Keterangan
Refleks Fisiologis
Biseps (+) (+) Normal
Triseps (+) (+)
Refleks fisiologis
KPR (+) (+) Normal
APR (+) (+)
Refleks patologis
Babinski (-) (-)
Chaddock (-) (-) Reflek patologis
Hoffman-Tromer (-) (-) (-)
Refleks primitif
Palmomental (-) (-)
Snout (-) (-)

IV. FUNGSI KOORDINASI


Kanan Kiri Keterangan
Tes telunjuk-hidung Normal Normal
Tes tumit-lutut Normal Normal
Gait Normal Normal Normal
Tandem Normal Normal
Romberg Normal Normal
Test waternberg (-) (-) Ptosis (-/-)
diplopia (-/-)

7
Test Pita Suara (+) (+) Suara melemah
(+)

V. SISTEM OTONOM
Miksi : Normal
Defekasi : Normal

VI. PEMERIKSAAN KHUSUS


a. Laseque : -/-
b. Kernig : -/-
c. Patrick : -/-
d. Kontrapatrick : -/-
e. Valsava test : -/-
f. Brudzinski : -/-
g. Tes waternberg : ptosis (-/-)
h. Tes pita suara : suara melemah (+)

VII. RESUME PEMERIKSAAN


Keadaan umum
Kesadaran : Composmentis, GCS E4M6V5
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Denyut nadi : 88x/menit, teratur
Pernafasan : 30 x/menit
Fungsi luhur : Normal
Rangsang meningeal : Tidak ditemukan
Saraf kranial : Paresis N.IX dan N.X
Motorik : Tetraperese
Sensorik : Normal
Koordinasi : Normal
Otonom : Normal
Refleks

8
Fisiologis : (+/+)
Patologis : (-/-)

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Diagnosis klinis : Tetraparese, Dysphonia
Diagnosis topik : Neuromuscular junction
Diagnosis etiologik : Autoimun
Diagnosis banding : Lambert eaton myastenia syndrome

IX. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah perifer lengkap
X-ray toraks
Pemeriksaan serum antibodi ( antiacetilcholin receptor )
Tes tensilon (edrophonium chloride)
Tes prostigmin (Neostigmin)

X. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah rutin (10 Desember 2019)
- Hb : 11,5 gr/dl
- Ht : 36,0 %
- Leukosit : 8.490/uL
- Trombosit : 282.000/uL

Kadar gula darah (10 Desember 2019)


- Gula darah sewaktu : 80 mg/dl

Fungsi ginjal (10 Desember 2019)


- Ureum : 17,0 mg/dl - Kreatinin : 0,69 mg/dl

Kadar elektrolit serum (10 Desember 2019)


- Na+: : 137 mmol/l
- K+ : 3,1mmol/l

9
- Ca2+ : 1,10 mmol/l

Analisa gas darah (10 Desember 2019)


- pH : 7,41mmHg
- pCO2 : 45 mmHg
- pO2 : 82 mmol/L
- pCO3 : 28 mmol/L
- BE : 3%

Fungsi hati (10 Desember 2019)


- AST : 14 U/L
- ALT : 13 U/L

X-ray toraks (12 Desember 2019)

XI. DIAGNOSIS AKHIR


Miasthenia gravis

10
XII. RENCANA TERAPI
- Umum
- IVFD RL 20 tpm
- O2 NK 3L/menit
- Observasi tanda-tanda vital dan status neurologis
- Mobilisasi dan rehabilitasi medik
- Khusus
- Piridostigmin bromida 5 x 60 mg
- Inj Metilprednisolon 3 x 125 mg
- Inj Omeprazol 1 x 40 mg
- Inj Metyhlcobalamin 1 x 500 mcg

XIII. FOLLOW UP
11 Desember 2019 (BANGSAL)
S: sesak napas O: A : Miastenia P:
dan sulit Kes: CM, GCS gravis  IVFD RL 20
menelan 15 tpm
TD: 120/80  O2 NK
mmHg 3L/menit
HR: 82x/i  Mestinon 5 x
RR: 28x/i 60 mg
T: 36,7°C  Inj
Paru: vesikuler Metilprenisolon
(+/+) 3 x 125 mg
Saraf kranial :  Inj Omeprazol
parase N.IX 1 x 40 mg
dan N.X  Inj
Motorik : Mecobalamin 1
444 444 x 500 mcg
444 444
Tetraparese

11
Ref. Fisiologis:
+/+
Ref. Patologis:
-/-
12 Desember 2019 (BANGSAL)
S: sesak napas, O: A : Miastenia P:
sulit menelan Kes: CM, GCS gravis  IVFD RL 20
dan dahak 15 tpm
yang TD: 120/90  O2 NK
menumpuk di mmHg 3L/menit
tenggorokan HR: 88x/i  Mestinon 5 x
sulit RR: 30x/i 60 mg
dikeluarkan T: 36,7°C  Inj
Paru : Metilprenisolon
Vesikuler (+/+) 3 x 125 mg
Saraf kranial :  Inj Omeprazol
parase N.IX 1 x 40 mg
dan N.X  Inj
Motorik : Mecobalamin 1
444 444 x 500 mcg
444 444
Tetraparese
Ref. Fisiologis:
+/+
Ref. Patologis:
-/-

12
15 Desember 2019 (BANGSAL)
S: sesak napas, O: A : Krisis P:
sulit menelan Kes: CM, GCS miastenia  IVFD RL 20
dan dahak 15 Pneumonia tpm
yang TD: 110/80  O2 NK
menumpuk di mmHg 3L/menit
tenggorokan HR: 88x/i  Mestinon 5 x
sulit RR: 28x/i 60 mg
dikeluarkan T: 37,5°C  Inj
Paru: vesikuler Metilprenisolon
(+/+), ronkhi 3 x 125 mg
(+/+)  Inj Omeprazol
Saraf kranial : 1 x 40 mg
parase N.IX  Inj
dan N.X Mecobalamin 1
Motorik : x 500 mcg
444 444  Indikasi ICU
444 444
Tetraparese
Ref. Fisiologis:
+/+
Ref. Patologis:
-/-

13
16 Desember 2019 (ICU)
S: sesak napas O: A : Krisis P:
(+), demam (- Kes: CM, GCS miastenia  IVFD RL 20
), napas 15 Pneumonia tpm
spontan TD: 114/55  Mestinon 5 x
dengan mmHg 60 mg
bantuan HR: 82x/i  Inj
ventilator (+) RR: 24x/i Metilprenisolon
T: 37,9°C 3 x 125 mg
Paru: vesikuler  Inj Omeprazol
(+/+), ronkhi 1 x 40 mg
(+/+)  Inj
Saraf kranial : Mecobalamin 1
parase N.IX x 500 mcg
dan N.X  Inj. Ceftriaxon
Motorik : 2 x 1 gr
444 444
444 444
tetraparese
Ref. Fisiologis:
+/+
Ref. Patologis:
-/-

21 Desember 2019 (BANGSAL)


S: sesak napas O: A : Miastenia P:
(-), demam (-) Kes: CM, GCS gravis  IVFD RL 20
15 tpm
TD: 118/65  Mestinon 5 x
mmHg 60 mg
HR: 84x/i
RR: 22x/i

14
T: 36,9°C  Inj
Saraf kranial : Metilprenisolon
parase N.IX 3 x 125 mg
dan N.X  Inj Omeprazol
Motorik : 1 x 40 mg
555 555  Inj
555 555 Mecobalamin 1
Ref. Fisiologis: x 500 mcg
+/+
Ref. Patologis:
-/-

15
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Myasthenia gravis atau selanjutnya disingkat MG merupakan suatu penyakit
autoimun dari neuromuscular junction (NMJ) yang disebabkan oleh antibodi yang
menyerang komponen dari membran postsinaptik, mengganggu transmisi
neuromuskular, sehingga menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot rangka.
Penurunan jumlah hasil AChR dalam pola karakteristik kekuatan otot
semakin berkurang dengan penggunaan berulang dan pemulihan kekuatan otot
setelah masa istirahat. Otot yang sering terkena otot gerakan bola mata, otot
ekspresi wajah, otot untuk berbicara, pernafasan dan otot menelan tetapi tidak selalu
ditemukan.1

B. Epidemiologi
Prevalensi penderita dengan miastenia gravis di Amerika Serikat pada tahun
2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti mungkin
lebih tinggi karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak terdiagnosis.Insiden
Miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok
umur. Penelitian epidemiologi telah menunjukkan kecenderungan peningkatan
prevalensi penyakit Miastenia gravis dan angka kematian yang meningkat di atas
umur 50 tahun. Pada umur 20-30 tahun miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada
wanita, dan untuk diatas 60 tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita
dan pria adalah 3:2).2,3

C. Anatomi dan fisiologis neuromuscular junction


Sebelum memahami tentang miastenia gravis, pengetahuan tentang anatomi
dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting. Potensial aksi di
neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP ke otot rangka di
sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron. Sewaktu mendekati otot,
akson membentuk banyak cabang terminal dan kehilangan selubung mielinnya.
Masing-masing dari terminal akson ini membentuk persambungan khusus,
neuromuscular junction, dengan satu dari banyak sel otot yang membentuk otot

16
secara keseluruhan. Sel otot, disebut juga serat otot, berbentuk silindris dan
panjang. Terminal akson membesar membentuk struktur mirip tombol, terminal
button yang pas masuk ke cekungan dangkal atau groove di serat otot bagian bawah.
Sebagian ilmuwan menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end plate”.1
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya, seperti
di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang mengangkut sinyal
antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini disebut sebagai asetilkolin
(ACh).1 Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage Gated
Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan terjadinya
influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel tersebut untuk
bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking pada tepi membran.
Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang terkandung di dalam vesikel
tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic. ACh yang dilepaskan tadi, akan
berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR) yang terdapat pada membran post-
synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-lekukan pada membran post-synaptic.
AChR terdiri dari 5 subunit protein, yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta,
gamma, dan delta. Subunit-subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap
untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang
Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx Na+.
Influks Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada membran post-
synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu (firing level), maka
akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial aksi ini akan
dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan karakteristik sel
eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh yang masih tertempel
pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim Asetilkolinesterase (AChE)
yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak pada celah synaptic. ACh akan
dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat. Kolin kemudian akan kembali masuk ke
dalam membran pre-synaptic untuk membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini

17
dilakukan untuk dapat mencegah terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan
mengakibatkan kontraksi terus menerus. 2,3,4

D. Patofisiologi
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor (AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi menuju
membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh yang tetap pada
jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah serabut saraf yang
diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian menyebabkan rasa sakit pada
pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya disebabkan karena proses auto-
immun di dalam tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies, yang dapat memblok
AChR dan merusak membran post-synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada
miastenia gravis tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar
timus turut berperan pada patogenesis miastenia gravis. Sekitar 75 % pasien
miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien menunjukan
hiperplasi timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 % berhubungan
dengan timoma.4

18
Gambar 1.1 Neuro Muscular Junction.4

D. Gejala klinis
Penyakit miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan kelelahan.
Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara berulang, dan
semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan menghilang atau membaik
dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang melemah pada penyakit miastenis gravis
memiliki pola yang khas. Pada awal terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata
dan gerakan bola mata terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot
tersebur, muncul gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua
atau disebut diplopia) dan turunnya kelopak mata secara abnormal (ptosis).2,4

Gambar 2. Ptosis pada miastenia gravis generalisata


(A) Kelopak mata tidak simetris, kiri lebih rendah dari kanan. (B) Setelah
menatap 30 detik ptosis semakin bertambah.3

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan


penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti tanpa
ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah dan
menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi. Selain itu,
terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan kelemahan dari langit-
langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita miastenia gravis akan mengalami
kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk tangan dan kaki. Kelemahan pada

19
anggota gerak ini akan dirasakan asimetris. Bila seorang penderita miastenia gravis
hanya mengalami kelemahan di daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan
kecil penyakit tersebut akan menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya
kelemahan di sekitar mata disebut miastenia gravis okular. Penyakit miastenia
gravis dapat menjadi berat dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat
menyerang otot-otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila
sampai diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit miastenia gravis tersebut
dikenal sebagai krisis miastenia gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis
miastenik disebabkan karena adanya infeksi pada penderita miastenia gravis.2,4
Secara umum, gambaran klisnis miastenia yaitu:
- Kelemahan otot yang progresif pada penderita
- Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang
berulang
- Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
- Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
- Otot mata sering terkena pertama (ptosis, diplopia) atau otot faring
lainnya (disfagia, suara sengau)
- Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
- Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
- Tidak ada atrofi atau fasikulasi.5,6
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia gravis
dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

20
Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular, kelemahan pada saat
menutup mata, dan kekuatan otot-otot lain normal.

Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang semakin parah, serta


adanya kelemahan ringan pada otot-otot lain selain otot
okular.

Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota tubuh atau


keduanya. juga terdapat kelemahan otot-otot orofaringeal
yang ringan.

Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot pernapasan atau


keduanya. Kelemahan pada otot-otot anggota tubuh dan otot-
otot aksial lebih ringan dibandingkan klas IIa.

Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-otot okular.


Sedangkan otot-otot lain selain otot-otot ocular mengalami
kelemahan tingkat sedang.

Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.

Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan, atau


keduanya secara predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot- otot aksial, atau keduanya dalam derajat
ringan.

Kelas IV Otot-otot lain selain otot-otot okular mengalami kelemahan


dalam derajat yang berat, sedangkan otot-otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai derajat.

21
Kelas IVa Secara predominan mempengaruhi otot-otot anggota tubuh
dan atau otot-otot aksial. Otot orofaringeal mengalami
kelemahan dalam derajat ringan.

Kelas IVb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot pernapasan atau


keduanya secara predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh, otot-otot aksial,
atau keduanya dengan derajat ringan. Penderita
menggunakan feeding tube tanpa dilakukan intubasi.

Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik.3,6

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman


membuat klasifikasi klinis sebagai berikut :
a. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai ptosis
dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
b. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada mata ,
lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem pernafasan tidak
terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian rendah (30 %)
Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering disertai
gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan terserangnya otot-otot
rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien terbatas. (25 %)
c. Kelompok III : Miastenia fulminan akut : Progres yang cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai terserangnya otot-otot
pernafasan. Biasanya penyakit berkembang maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam
kelompok ini, persentase thymoma paling tinggi. Respon terhadap obat buruk dan
angka kematian tinggi. (15%)
d. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat dan prognosis
buruk. (10 %).7

22
F. Diagnosis
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk antibodi
AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan atau kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas
dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata
(dengan manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan
anggota badan (terutama triceps dan ekstensor jari-jari),
kelemahan/kelumpuhan otot-otot yang dipersarafi oleh nervi cranialis,
dpat pula mengenai otot pernafasan yang menyebabkan penderita bisa
sesak.
2. Pemeriksaan Fisik
- Tes klinik sederhana:
a). Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata >s30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif).
b). Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).
- Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam
beberapa menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara
intravena selama 15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka
disuntikkan lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera setelah
tensilon disuntikkan kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah
seperti misalnya kelopak mata yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu
akan segera lenyap. Pada uji ini kelopak mata yang lemah harus
diperhatikan dengan sangat seksama, karena efektivitas tensilon sangat
singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan bradikardi dan untuk
mengatasinya dapat digunakan atropin.5,8,9,10

23
- Uji Prostigmin (neostigmin)
Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara
intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila kelemahan
itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala seperti
misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap.3,7,10
3. Laboratorium
- Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang menderita
timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan salah satu
tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Pada pasien tanpa
timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien
dengan usia lebih dari 40 tahun. 3,7
- Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab.
- Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita
dengan Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin
reseptor antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis
sering kali terjadi false positive anti-AChR antibody.3,7
4. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada transmisi
neuro muscular melalui 2 teknik :
Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber
berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena
menggunakan jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk
merekam serat otot penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu

24
titer (variabilitas pada interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot
tunggal pada motor unit yang sama) dan suatu fiber density (jumlah
potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat direkam oleh jarum
perekam).
Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial
aksi.7,10,12
5. Gambaran Radiologi
- Chest x-ray (foto rontgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada roentgen
thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada bagian
anterior mediastinum.
-
MRI
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan
rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis tidak dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari
penyebab defisit pada saraf otak. 7,10

G. Penatalaksanaan
1. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4 jam/oral.
Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu pasien untuk
mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari. Pada malam hari,
dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila diperlukan,
neostigmin bromida (prostigmine) 7,5-45 mg/2-6 jam/oral. Dosis
parenteral: 0,5-1 mg/4 jam/iv atau im. Neostigmin dapat menginaktifkan
atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin tidak segera
dihancurkan.Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan mendekati normal,
sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan semula. Pemberian
antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan
IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh

25
stimulasi parasimpatis, termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi
berkebihan, berkeringat, lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek
samping gastro intestinal (efek samping muskarinik) berupa kram atau diare
dapat diatasi dengan pemberian propantelin bromida atau atropin.8,9,10
2. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg, dinaikkan
bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal 120 mg/6
jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif. Efek
sampingnya dapat berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia,
osteopenia, ulkus gaster dan duodenum, katarak.2
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil
yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan
terutama berupa gangguan saluran cerna, peningkatan enzim hati dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral selama
8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan darah
lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium dikerjakan
setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan azatioprin
sangat dianjurkan.2, 12
4. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek yang
menguntungkan menjadi prioritas. Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif. Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE. Terapi ini digunakan pada
pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari
penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4
liter sebanyak 5x dalam 2 minggu. 7, 10, 12

26
5. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari.10, 12

6. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun dengan
miastenia gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan terapi
standar di berbagai pusat pengobatan namun efektivitasnya belum dapat
dipastikan oleh penelitian prospektif yang terkontrol. Timektomi diindikasi
pada terapi awal pasien dengan keterlibatan ekstremitas bawah dan bulbar.
10,12

H. Diagnosis banding
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis,
antara lain :
a. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
- Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
- infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
- Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
- Paralisis pasca difteri
- Pseudoptosis pada trachoma
b. Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan
adanya suatu sklerosis multipleks.
c. Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Lambert-Eaton myasthenic syndrome (LEMS) adalah kelainan
presinaptik langka dari transmisi neuromuskuler di mana pelepasan
kuantitatif asetilkolin (ACh) terganggu, menyebabkan seperangkat
karakteristik klinis yang unik, yang meliputi kelemahan otot proksimal,
refleks tendon yang tertekan, potensiasi post tetanic dan perubahan
otonom. Gejala sindrom miasthenik Lambert-Eaton (LEMS) biasanya
berkembang perlahan. Kelemahan adalah otot proksimal lebih

27
terpengaruh dari pada otot distal, otot ekstremitas bawah lebih banyak
dipengaruhi. Otot pernapasan biasanya tidak terpengaru, pasien biasanya
mengalami kesulitan bangkit dari kursi, naik tangga dan berjalan. LEMS
dengan gejala yang mungkin termasuk ptosis, diplopia dan disartria,
tetapi mereka biasanya tidak terpengaruh pada tingkat atau keparahan
yang sama seperti pada myasthenia gravis (MG).10

I. Prognosis
Pada miastenia gravis ocular, dimana kelemahan pada mata menetap lebih
dari 2 tahun, hanya 10-20% yang berkembang menjadi miastenia gravis
generalisata. Penanganan dengan steroid dan imusupresi masih kontroversial. Pada
miastenia gravis generalisata, membaik dengan pemberian imunosupresi,
timektomi, dan pemberian obat yang dianjurkan. Grob melaporkan angka kematian
7 %, membaik 50 % dan tidak ada perubahan 30 %.12

28
PEMBAHASAN

A. Dasar diagnosa
a. Dasar diagnosa klinis :
Tetraparese merupakan kelemahan keempat anggota gerak pada
ekstremitas superior dan inferior, dari pemeriksaan fisik pada pasien
didapatkan kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah dengan skor
masing-masing adalah 4.
Dysphonia terjadi akibat kelumpuhan N.X mengakibatkan suara pasien
sengau, hal ini terjadi karena terganggunya N.X yang mempersarafi
bagian laring (plica vocalis). Pada pasien didapat dari pemeriksaan Tes
Pita suara pasien disuruh untuk berhitung dari 1-100, didapatkan lama-
kelamaan suara pasien semakin tidak terdengar.
Hilangnya refleks muntah, terjadi akibat kelumpuhan N.IX yang
mempersarafi area disekitar faring. Pada pemeriksaan yaitu dengan
pemberian rangsangan muntah menggunakan tounge spatle pada area
faring, pasien tidak memberikan respon muntah.
b. Dasar diagnosa topik : Neuromuskular Juction ditandai oleh suatu
kelemahan otot dan cepat lelah akibat adanya antibodi terhadap
reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah AchR di neuromuskular
juction berkurang. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada
pasien didapatkan dysphonia dan hilangnya refleks muntah, akibat dari
kelumpuhan otot-otot tersebut, muncul gejala berupa hilangnya suara
secara perlahan dan hilangnya rangsangan muntah pada pasien.
c. Dasar diagnosa etiologik : Didapatkan dari anamnesis pasien
mengeluhkan sesak, sulit mengeluarkan dahak dan menelan, pada
anggota gerak bagian atas dan bawah terasa berat digerakan saat
melakukan aktivitas. Dari pemeriksaan fisik kekuatan otot didapatkan
tetraplegi dan pada tes pita suara dan refleks muntah juga terganggu.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan pasien
diagnosis miasthenia Gravis merupakan penyakit autoimun dengan
akibat gangguan penghantaran impuls pada neuromuscular junction

29
yang ditandai oleh hilangnya refleks muntah, suara sengau dan
kelemahan atau kelumpuhan otot-otot lurik setelah melakukan aktivitas
dan membaik setelah istirahat.
d. Diagnosis Banding
Berdasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pada MG, seperti
fluktuasi kelemahan yang mudah lelah, memburuk dengan aktivitas
berulang dan membaik dengan istirahat. Distribusi kelemahan
umumnya okular, bulbar, ekstremitas proksimal dan leher, dan pada
beberapa pasien, ini melibatkan otot-otot pernapasan. Tapi itu semua
juga bisa ditemukan di LEMS. Standar untuk perbedaan antara MG dan
LEMS dengan antibodi reseptor ACh (AChR) dan uji elektromiografi.
e. Tatalaksana
- Pada pasien diberi terapi Piridostigin. merupakan terapi lini pertama
berfungsi menghambat pemecahan asetilkolin pada synaptic cleft,
sehingga memperbanyak jumlah asetilkolin untuk transmisi
neuromuskuler.
- Kortikosteroid adalah obat imunosupresan yang pertama dan paling
sering digunakan dalam MG. Terapi steroid dan atau imunosupresif
harus dipertimbangkan pada semua pasien dengan penyakit
progresif, sedang atau berat yang tidak merespons dengan
piridostigmin secara memadai. Pada pasien diberikan
metilprednisolon.
- Omeprazole, Pemberian injeksi Omeprazol sebagai pencegah
terjadinya stress ulcer akibat pengaruh obat-obatan.
- Methylcobalamin adalah Vitamin B12 yang berperan membantu
metabolism sel saraf, sel tubuh dan produksi DNA.

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's Principles of


Neurology. In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The
Neuromuscular Junction 8 th ed. United State of America: McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2005.
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. In: Taut Neuromuskular.
6 th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012.
3. Howard JF. Myasthenia Gravis A Manual for the Health Care Provider.
Myasthenia Gravis Foundation of America 2008.
4. Hughes BW, Casillas, Maria Luisa Moro De , Kaminski, Henry J.,.
Pathophysiology of Myasthenia Gravis. Thieme Medical Publishers
2004;24 Number 1:p21-7.
5. Mumenthaler M, Mattle H. Fundamentals of Neurology. In: Myasthenia
Gravis. Germany: Georg Thieme Verlag; 2006.
6. Christiane Schneider-Gold KVT. Myasthenia Gravis: Pathogenesis and
Immunotherapy. Dtsch Arztebl 2007.
7. Ropper AH, Brown, Robert H. ,. Adam And Victor's Principles of
Neurology. In: Myasthenia Gravis And Related Disorders Of The
Neuromuscular Junction 8 th ed. United State of America: McGraw-Hill
Medical Publishing Division; 2005.
8. Setiyohadi B. Miologi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi, Bambang, Alwi, idrus,
Simadibrata K.,Marcellus, Setiati, Siti, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta: InternaPublishing; 2009.
9. Wilkinson l, Lenox, Graham. Essential Neurology. In: Peripheral
Neuromuscular Disorders USA: Blackwell Publishing Ltd; 2005.
10. Feldman EL, Grisold W, Russell JW, Zifko UA. Atlas of Neuromuscular
Diseases. In: Myastenia Gravis. Austria: SpringerWienNewYork; 2005. p.
p337-44.
11. Ilmu Penyakit Saraf S. Standar Pelayanan Medik. Makassar: Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin; 2014.

31
12. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. In: Myopathies. New York: Thieme
Verlag; 2004.

32

Anda mungkin juga menyukai