Anda di halaman 1dari 20

BAB XII

PEMELIHARAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Salah satu hubungan antara organisasi dengan para anggotanya menyangkut apa yg
lazim dikenal dengan istilah hubungan industrial. Pemeliharaan hubungan industrial dalam
rangka keseluruhan proses manajemen sumber daya manusia berkisar pada pemikiran bahwa
hubungan yg serasi dan harmonis antara manajemen dengan para pekerja yang terdapat dalam
organisasi mutlak perlu ditumbuhkan, dijaga dan dipelihara demi kepentingan semua pihak
yang telah mempertaruhkan kepentingannya dalam organisasi. Kekurangberhasilan
memelihara hubungan yang serasi dan harmonis itu akan merugikan banyak pihak dan tidak
terbatas hanya pada pihak manajemen dan para pekerja saja.

Dalam tulisan ini istilah hubungan industri digunakan dalam arti umum, yaitu hubungan
formal yang terdapat antara kelompok manajemen dan kelompok pekerja yang terdapat dalam
suatu organisasi. Istilah lain yang juga biasa digunakan dengan makna yang sama ialah
"hubungan kerja." Dalam tulisan ini kedua istilah tersebut digunakan secara silih berganti
dengan latar belakang pemikiran bahwa antara kedua istilah tersebut tidak terdapat perbedaan
yang prinsipal sifatnya. Hanya saja dalam penggunaan sehari-hari "hubungan kerja" mencakup
segala jenis organisasi sedangkan "hubungan industrial" lebih lumrah dipakai dalam
organisasi-organisasi niaga.

Banyak pihak yang berkepentingan dalam keberhasilan suatu organisasi untuk mencapai
tujuan dan berbagai sasarannya. Pihak-pihak yang berkepentingan itu dikenal dengan istilah
"stakeholders." Dikatakan berkepentingan karena setiap pihak memepertaruhkan suatu demi
kepentingan organisasi. Pihak-pihak tersebut ialah:

Pertama : Manajemen - yang dalam organisasi niaga modern biasanya merupakan


kelompok profesional yang bukan lagi pemilik organisasi - mempertaruhkan waktu,
pengetahuan, keahlian, keterampilan dan reputasi profesionalnya, bukan hanya demikian
kepentingan organisasi yang dipimpinnya, akan juga demi kepentingan yang lebih luas,
termasuk kepentingan masyarakan dan bahkan kepentingan negara dalam rangka pemenuhan
tanggung jawab sosial dari organisasi yang bersangkutan.

Kedua : Para anggota organisasi yang dengan pemanfaatan waktu, pengetahuan,


keterampilan dan tenaga melakukan tugas-tugas yang dipercayakan oleh organisasi kepadanya
dengan harapan bahwa dengan jalur organisasi itulah berbagai jenis kebutuhannya, baik yang
bersifat material, maupun yang bersifat mental, psikologi, sosial dan intelektual, dapat
terpenuhi dengan memuaskan yang pada gilirannya merupakan wahana yang amat penting
dalam mempertahankan harkat dan martabatnya sebagai manusia.

Ketiga : Para pemilik modal dan pemegang saham - bagi organisasi niaga - yang telah
menanamkan sebagian dari hartanya dalam organisasi dengan harapan bahwa modal yang
ditanam itu secara kontinue akan memberikan keuntungan yang layak baginya, misalnya dalam
bentuk dividen.

Keempat : Kelompok tertentu di masyarakat yang menjadi konsumen barang atau jasa
yang dihasilkan oleh organisasi dan yang mengharapkan bahwa penyediaan barang atau jasa
tersebut tidak mengalami gangguan yang apabila terjadi akan mempengaruhi kemampuannya
untuk memuaskan kebutuhannya.

kalima : Para pemasok bahan baku atau bahan penolongan yang diperlukan oleh
organisasi dalam menghasilkan barang atau jasa melalui mana rekanan itu berusaha memenuhi
keperluannya atau keperluan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya.

Keenam : Para distributor dan agen telah dimaklumkan bahwa pada umumnya
organisasi niaga - terutama yang besar - tidak lagi menjual barang atau jasa yang dihasilkannya
langsung kepada konsumen. Oleh karena itu para distributor dan agen itu pun
mempertaruhkan kepentingannya dalam keberhasilan organisasi "induknya."

Ketujuh : Jajaran pemerintahan. Seperti telah dimaklumi, pemerintah mempunyai hak,


wewenang dan tanggung jawab untuk meningkatkan mutu dari seluruh warganya. Oleh karena
itu tidak dapat disangkal bahwa pemerintah, dengan seluruh jajarannya, juga sangat
berkepentingan dalan keberhasilan organisasi-organisasi niaga merupakan mitra kerja
pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran bagi seluruh warga masyarakat yang disertai oleh
rasa keadilan dan solideritas sosial yang tinggi karena berbagai usaha yang perlu dilakukan
untuk mewujudkannya bukanlah tanggung jawab pemerintah semata-mata, khususnya mereka
yang dikenal sebagai tokoh-tokoh keniagaan.

Dilihat dari persepsi yang sempit pun, yaitu kepentingan organisasi dan kepentingan
para karyawannya saja - pemeliharaan hubungan kerja yang serasi sangat penting karena
dengan adanya hubungan yang demikian, kontinuitas produksi terjamin, suasana kerja menjadi
semakin menggairahkan semangat kerja sama sehingga organisasi akan lebih mampu mencapai
tujuannya dan pemuasan berbagai kebutuhan para pekerja pun menjadi lebih terjamin.

Jelas bahwa tinjauan dari sudut pandangan yang sempit, yaitu kepentingan internal
suatu organisasi, maupun dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, yaitu kepentingan umum,
khususnya kepentingan para stakeholder, bagi manajemen dan para pekerja sesungguhnya
tidak ada pilihan lain kecuali terus berusaha untuk menumbuhka, memelihara dan
mengembangkan hubungan kerja yang serasi. Terganggunya hubungan industrial akan
mempunyai resonasi yang kuat tidak hanya dalam lingkungan organisasi yang bersangkutan
saja, akan tetapi juga diluarnya. Resonasi itu tidak hanya bersifat ekonomi danbkeuangan, akan
tetapi di bidang-bidang lainnya.

Dalam konteks demikianlah berbagai hal yang menyangkut pemeliharaan hubungan


industrial dibahas. Cakupan materi yang dibahas meliputi:

a) tinjauan singkat mengenai pertumbuhan gerakan buruh,


b) tahap-tahap dalam hubungan kerja,
c) arbitrasi dan peranan pemerintah dalam penyelesaian pertikaian perburuhan,

Kesemuanya itu dikaitkan dengan manajemen sumber daya manusia dalam setiap organisasi.
PERKEMBANGAN GERAKAN BURUH SEPINTAS KILAS

Dapat dikatakan bahwa dalam masyarakat pra industrial tidak terdapat kebutuhan
untuk pemeliharaan industrial karena masyarakat tersebut pada umumnya adalah masyarakat
petani yang melakukan kegiatannya dengan teknik dan metode yang relatif sama dengan teknik
dan metode bertani yang sudah berlangsung turun temurun. Artinya, dibandingkan dengan
masyarakat industri, masyarakat pra industri relatif statik. Kegiatan-kegiatan diluar bidang
pertanian pun, seperti misalnya pembuatan pakaian, pandai besi dan pembangunan
perumahan, dapat dikatakn bebas dari atau sangat sedikit dapat dipengaruhi oleh apa yang
dewasa ini disebut teknologi karena keterampilan untuk melakukan berbagai kegiatan tersebut
merupakan keterampilan untuk melakukan berbagai kegiatan tersebut merupakan
keterampilan yang diperoleh sebagai warisan dari generasi yang lebih tua.

Akan tetapi dalam pada itu roda sejarah terus berputar dan waktu pun terus berjalan.
Berbarengan dengan perputaran roda sejarah, dinamika manusia melahirkan berbagai
fenomena sosial dan ekonomi. Salah satu fenomenon tersebut ialah timbulnya kota-kota yang
bermula di Inggris sekitar abad kesebelas. Dinamika kehidupan di daerah perkotaan melahirkan,
antara lain, apa yang dikenal sebagai gilda.

Gilda yang pertama lahir adalah gilda pedagang yang bertugas mengatur lalu lintas
perdagangan di satu wilayah tertentu, biasanya dalam suatu sistem monopoli yang diperoleh
atas "kemurahan hati raja." Jika pada mulanya istilah perdagangan terbatas pada pengertian
jual beli barang atau jasa, dalam perkembangannya istilah perdagangan mencakup
kegiatan-kegiatan menghasilkan dan menjual barang atau jasa tertentu. Pada masa itu hanya
anggota gildalah yang boleh berdagang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang dikeluarkan
oleh gilda bersangkutan. Secara berkala para anggota gilda berkumpul, baik untuk menikmati
hasil perdagangannya maupun untuj menetapkan peraturan-peraturan baru, juga untuk
memilih dan menerima anggota-anggota baru.

Pada masa itu semua segi perekonomian masyarakat dikendalikan secara ketat oleh ketiga
pihak, yaitu pemerintah daerah, para konsumen dan gilda. Dari ketiga kelompok yang berperan
dalam oengaturan kehidupan perekonomian itu, gildalah yang paling dominan perannya.
Dengan peranan yang dominan itu, berkembang pula pola hubungan yang sangat penting
artinya dalam tata kehidupan kemasyarakatan melalui mana dijamin bahwa:

a. jumlah orang yang menguasai suatu keterampilan tertentu disesuaikan dengan


kebutuhan masyarakat setempat;
b. mutu barang atau jasa dapat diperintahkan sesuai dengan keingian konsumen atau
pelanggan;
c. harga yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan bersifat wajar dan adil;
d. organisasi yang menghasilkan barang atau jasa memperoleh keuntungan yang wajar
sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diseoakati bersama antara tiga pihak yang
disebut di atas.

Hal yang ketiga dan keempat di atas mempunyai hubungan yang sangat erat karena apabila
seorang menjual barang atau jasa hasil karyanya, harga barang atau jasa itu sudah identik
dengan upah jerih payahnya sebab semua faktor biaya, seperti untuk bahan dan tenaga, telah
diperhitungkan dengan harga jual. Yang menarik untuk diperhatikan ialah bahwa jika terjadi
pelanggaran terhadap standar upah, harga, mutu dan tenaga yang telah diseoakati bersama,
orang yang melanggar dapat diancam hukuman yang dipandang sangat berat pada masa itu,
yaitu dikeluarkannya orang tersebut dari keanggotaannya dalam gilda.

Karena organisasi gilda yang masih sangat sederhana dan jumlah tenaga yang dipekerjakan
oleh seorangpun kecil, sudah barang tentu sifat hubungan karyawan dengan majikannya pada
waktu itu sangat berbeda dengan apa yang dikenal kemudian. Dalam suatu pabrik, misalnya,
akan dijumpai beberapa pekerja, yaitu pemilik, dua atau tiga orang karyawan dan beberapa
orang tenaga kerja baru yang sedang dilatih dalam suatu keterampilan tertentu melalui sistem
magang. Pada umumnya, dalam pabrik seperti itu tidak terdapat perbedaan status sosial yang
mencolok karena seorang anggota organisasi berasal dari keluarga yang sama pula. Pimpinan
pabrik - yang umumnya sekaligus pemilik - mengenal setiap bawahannya secara intim dan oleh
karenanya merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka. Sistem gilda memungkinkan
setiap pekerja meninggalkan tempatnya bekerja dan memulai usaha sendiri apabila ia telah
diakui sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan keterampilan sedemikian rupa sehingga ia
mampu menghasilkan barang atau jasa yang mutu dan harganya sama dengan permintaan dan
tuntunan para konsumen atau pelanggan. Dengan perkataan lain, setiap karyawan adalah calon
anggota gilda. Kenyataan ini membuat setiap pemilik suatu usaha sangat berhati-hati dalam
memperlakukan karyawannya karena dengan sikap keterampilan yang diperlukan pada waktu
itu, dibutuhkan waktu sekitar enam tahun untuk melatih seorang magang sebelum dinyatakan
lulusan sebagai tenaga kerja terampil yang mampu berdiri sendiri.

Dampak Revolusi Industri Tahap Gerakan Buruh

Sejarah telah mencatat bahwa timbulnya revolusi industry telah membawa dua perubahan
yang fundamental dalam kehidupan perekonomian para pekerja, yaitu :

1. Perubahan dalam produksi barang atau jasa yang beralih dari tangan perseorangan ke
tangan perusahaan,
2. Beralihnya pengelolaan ekonomi dari system feudal dan perorangan yang sifatnya static
menjadi system yang sifatnya “impersonal” dan dinamika.
Dalam usaha menghasilkan barang terjadi perubahan yang sangat penting karena sebelum
revolusi industri, baik dibidang pertanian maupun industri seseorang menghasilkan sendiri
barang produksinya. Dengan tenaga sendiri yang dapat dikendalikannya, ia mengubah bahan
baku atau bahan mentah menjadi produk yang dapat digunakannya sendiri atau yang dapat
ditukarkannya dengan barang lain yang dibutuhkannya. Atau menjual barang yang dihasilkan
dan dengan uang yang diterimanya membeli barang yang diperlukannya. Contoh yang sangat
sederhana adalah kegiatan seorang tukang sepatu. Seorang tukang sepatu akan mengolah kulit
binatang sebagai bahan baku sedemikian rupa sehingga berubah bentuknya menjad sepatu
dengan nilai tambah dibandingkan dengan nilainya sebagai kulit. Akan tetapi dalam era setelah
revolusi industri, sepatu tidak lagi dihasilkan oleh perorangan akan tetapi oleh perusahaan.
Suatu perusahaan sepatu akan terdiri dari berbagai bagian atau komponen seperti bangunan,
mesin-mesin, bahan dan tenaga kerja. Tenaga kerja pun akan berdiri dari berbagai kelompok
seperti kelompok manajemen dan para pekerja. Tergantung pada besar kecilnya perusahaan,
kelompok manajemen dapat terdiri dari manajemen puncak, manajemen tingkat menengah
dan manajemen tingkat rendah. Para pekerja pun akan digolongkan kepada berbagai kelompok
kerja seperti pembuatan sepatu, staf perkantoran, tenaga penjual, tenaga perencana, tenaga
peneliti, tenaga yang mengelola sumber daya manusia, tenaga pekerja pengelola keuangan,
tenaga yang bergerak dibidang promosi dan lain sebagainya. Artinya kehidupan organisasional
semakin rumit. Menghasilkan barang atau jasa tertentu tidak dapat lagi diselesaikan hanya oleh
seorang, akan tetapi oleh beberapa orang karena penyelesaian satu tugas tertentu memerlukan
spesialisasi tertentu pula.
Perubahan-perubahan organisasional yang terjadi dan terus berlangsung setelah revolusi
indutri mempunyai tiga jenis akibat langsung pada kehidupan para pekerja. Pertama : Manfaat
keterampilan seorang pekerja dalam kaitannya dengan pemuasan kebutuhannya hanya terlihat
apabila keterampilan itu disalurkan melalui suatu organisasi. Kedua : Adalah diluar kemampuan
seorang pekerja untuk memiliki dan mengendalikan perusahaan. Berarti masuknya seorang
kedalam suatu perusahaan adalah sebagai pekerja, bukan sebagai pemilik. Ketiga : Timbulnya
spesialisai dan mekanisasi mengakibatkan mudahnya tenaga kerja diganti, baik oleh tenaga
kerja yang lain maupun oleh mesin.
Perubahan yang pertama berakibat pada adanya keharusan dan tuntutan hidup seseorang
untuk menggabungkan diri dengan suatu perusahaan agar dapat memuaskan suatu
kebutuhannya. Berubahan yang kedua menyebabkan seorang menjadi penerima dan bukan
pemberi pemerintah. Perubahan yang ketiga menumbuhkanpandangan bahwa seseorang
pekerja menjadi kurang penting perananya karena orang lain atau mesin dengan mudah dapat
“mengambil alih” peranan yang dimainkannya. Harus ditegaskan bahwa dalam hubungan ini
ditinjau dari segi harkat dan martabat manusia, pandangan demikian adalah pandangan yang
kurang tepat.
Perubahan penting yang kedua sebagai salah satu akibat timbulnya revolusi indutri ialah
lahirnya system pengelolaan perekonomian yang dinamika, mobil dan “impersional.”
Perubahan itulah yang kemudian melahirkan system kapitalisme dan teori “kekuatan pasar.”
Sebelum lahirnya revolusi industri, system kehidupan masyarakat diliputi oleh suasana
solidaritas yang tinggi. Setiap orang mempunyai tugas yang harus dilakukannya bagi masyarakat
dan, sebaliknya, masyarakat berkewajiban untuk memuaskan berbagai kebutuhan para
anggotanya. Lahirnya revolusi industry ternyata mengubah filsafat itu sehingga timbul
pendapat yang mengatakan bahwa dalam system kapitalisme terjadilah “penghisapan”
sekelompok manusia – dalam hal ini para pemilik modal – terhadap manusia lain, yaitu para
pekerja yang bukan pemilik modal. Bahkan sesungguhnya, kenyataan demikianlah yang sering
menimbulkan ketidakserasian hubungan kerja antara majikan dan para pekerja.

Latar Belakang Lahirnya Serikat Pekerja

Salah satu akibat lahirnya revolusi industry ialah pesatnya pertumbuhan kota-kota besar.
Dengan perkataan lain, urbanisasi timbul bersama dengan industrialisasi. Banyak orang yang
tadinya tingal di daerah pedesaan dan bekerja dibidang pertanian pindah ke kota-kota besar
dan mencari nafkah sebagai pekerja. Dalam hal seorang yang tidak memiliki keahlian atau
keterampilan yang dituntut oleh industi, ia menjadi pengangguran dengan segala konsekuensi
dan implikasinya. Dalam hal seseorang bekerja pun, ia tidak selalu bebas dari kekhawatrian
terjadinya pemutusan hubungan kerja. Dalam hal demikian, perusahaan tidak merasa
berkewajiban untuk memikirkan nasib para karyawan. Pada permulaan timbulnya revolusi
industry, akibat beroprasinya berbagai pabrik selalu merupakan sumber keresahan bagi para
pekerja karena memang pada masa itu terdapat berbagai macam keadaan yang tidak
menguntungkan para pekerja seperti upah yang rendah, jam kerja yang panjang, kondisi kerja
yang tidak manusiawi, yang kesemuanya turut berpengaruh terhadap sikap antipasti para
pekerja terhadap para pemilik perusahaan.

Sejarah telah mencatat bahwa kondisi seperti digambaarkan diatas yang tidak
menggembirakan itulah yang dihadapi oleh para pekerja, yang pada gilirannya menimbulkan
reaksi. Salah satu bentuk reaksi itu ialah tumbuhnya serikat-serikat perkerja yang dilandasi oleh
kesadaran bahwa apabila para pekerja berjuang sendiri-sendiri, mereja akan berada pada posisi
yang lemah. Sebaliknya apabila para pekerja berjuang ebrsama, para pemilik modal dan
perusahaan terpaksa memberikan tanggapan sebab apabila tidak, para karyawan tidak akan
melakukan tugasnya yang tentunya berakibat pada disrupsi pada proses produksi yang pada
ilirannya akan mendatangkan kerugian bagi perusahaan.

Jelaslah bahwa ada beberapa alsan – yang bersifat ekonomi, psikologikal dan pragmatikal –
mengapa para pekerja berkeinginan untuk memperjuangkan kepentingannya dalam
menghadapi manajemen dengan menggunakan saluran organisasional yang kini dikenal dengan
istilah “serikat pekerja”. Pertama: hasrat untuk diakui dalam arti bahwa dalam organisasi
serikat pekerja ia mempunyai hak suara untuk turut menentukan nasibnya sendiri. Kedua:
melalui serikat pekerja, mereka mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk didengar
pendapat dan masalahnya oleh manajemen. Ketiga: melalui berbaga kegiatan yang dilakukan
oleh serikat pekerja, para karyawan dapat meningkatkan pengetahuannya dalam bebrbagai
bidang diluar tugasnya sehari-hari, seperti di bidang sosial dan politik yang meskipu tidak
langsung mempengaruhi cara yang bersangkutan melaksanakan tugasnya, akan tetapi
berpengaruh dalam perjalanan hidupnya. Keempat: melalui serikat pekerja integritas
kepribadian seseorang dirasakan mendapat pengakuan dan penghargaan yang wajar.

Terlihat dengan jelas bahwa serikat pekerja sejak mulanya sudah berperan, antara lain
sebagai juru bicara para karyawan dalam memperjuangkan kepentingannya vis a vis
manajemen yang sesungguhnya empunyai kewajiban tidak hanya mencapai tujuan organisasi
yang dipimpinnya dengan efisien den efektif, akan tetapi juga kewajiban terhadap para pekerja
dan bahkan juga terhadap masyarakat luas. dengan persepsi demikianlah hubungan indsutrial
ditumbuhkan dan dipelihara.
HAKIKAT KEBERADAAN SERIKAT PEKERJA

Sering terdapat persepsi yang tidak tepat mengenai hubungan industrial antara para
pekerja dengan manajemen, seolah-olah kepentingan para pekerja dan kepentingan
manajemen berada pada posisi yang bertentangan secara diametrikal dan oleh karenanya
menimbulkan suasana yang konfrontasional. Persepsi demikian dikatakan tidak tepat karena
sesungguhnya kedua kepentingan maajemen berada pada posisi yang bertentangan secara
diametrikal dan oleh karenanya menimbulkan suasana yang konfrontasional. Persepsi demikian
dikatakan tidak tepat karena sesungguhnya kedua kepentingan, yaitu kepentingan para pekerja
dan kepentingan manajemen, justru harus dilihat sebagai kepentingan yang saling berkaitan
dengan tingkat interdependensi yang tinggi.

Persepsi yang tidak tepat demikianlah yang sering mengakibatkan terjadinya konflik antara
majikan dan para pekerja yang, bagaimanapun, harus dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam dunia usaha, negosiasi yang terjadi antara manajemen dan para pekerja harus
dilandasi oleh persepsi yang sama dan kedua belah pihak harus bertekda dan mempunyai itikad
baik untuk menumbuhkan dan memelihara hubungan industrial yang serasi. Memang
merupakan hal yang wajar apabila dalam suatu negosiasi antara majikan dan para pekerja,
masing-masing pihak berusaha untuk memperkuat posisinya. Artinya, melalui perundingan
masing-masing pihak berusaha mencapai tujuannya dengan, apabila mungkin, memperoleh
konsesi dari pihak lain. Logis pula apabila alam suatu negosiasi, masing-masing pihak berusaha
mengutamakan bidang-bidang negosiasi dalam mana pihak yang bersangkutan memiliki
keunggulan. Akan tetapi, jika diperkirakan dengan menonjolkan keunggulan itu tidak tercapai
penyelesaian yang menguntungkan, paing sedikit harus diusahakan agar hubungan antara
manajemen dan para pekerja tidak semakin memburuk.
Pentingnya Persamaan Persepsi

Dilihat dari sudut pandangan manajeen, usaha-usaha yang dilaukan oleh organisasi aruslah
dalam rangka terjminnya hak-hak prerogif manajemen untuk menjalankan roda organisasi.
Hak-hak prerogatif itu mencakup antara lain kebebasan manajemen menjalankan fungsinya dan
kewenangannya mengambil keputusan yang dipandangnya terbaik. Manajemen
berkeinginan …ar para pekerjamengakui dan menerima hak-hak prerogatif tersebut.

Di lain pihak para pekerja sering berpendpat bahwa salah satu peranan terpenting dari
serikat pekerja dalah untuk justri turut campur tangan dalam proses manajemen, khususnya
dalam proses pengambilan keputusan, terutama keputusan yang menyangkut kepentingan para
pekerja sendiri.

Dengan conth diatas terlihat bahwa hubungan industrial , yang sering menjadi sumber
konflik antara manajemen dan para pekerja adalah ketidaksepakatan tentang apa yang
dimaksud dengan keputusan manajerial, mengapa dan bagaimana keputusan itu diambil dan
sampai sejauh mana manajemen mempunyai kebebasan untuk mengambilnya tanpa
melibatkan para pekerja. Bagaimana caranya kedua belah pihak menghilangkan sumber konflik
itu akan sangat menentukan sifat hubungan industrial yang terdapat dalam organisasi.

Dalam suatu organisasi, ada dua jenis keputusan untuk mana diperlukan kesamaan
persepsi dari semua pihak yang terlibat. Pertama: serangkaian keputusan yang menjadi hak
prerogatif salah satu pihak untuk mengambilnya , dalam hal ini manajemen atau pekerja, tanpa
campur tangan pihak lain. Kedua, bentuk dan jenis berbagai keputusan yang dibuat bersama.

Contoh sederhana berikut ini akan memberikan gambaran yang jelas tentang apa yang
dimaksud seorang ibu rymah tangga memerlukan seorang pembantu untuk dipekerjakan
sebagai tukang masak. Setelah mencari sekian lama, ibu rumah tangga tersebut menemukan
seorang calon yang nampaknya memenuhi syarat untuk dipekerjakan. Sebelum pembantu itu
dipekerjakan, ibu rumah tangga tersebut tentunya mebicarakan terlebi dahulu dengan calon
pembantunya itu berbagai hal yang bersangkutan dengan pekerjannya seperti tugas dan
kewajiban pembantu, syarat-syarat kerja, gaji yang akan diperoleh, heri-hari libur dan hal-hal
lain yang dipandang bersama sebagai hal yang diputuskan dan disepakati bersama.

Jika pembicaraan antara keduanya berjalan lancar, berarti terdaat kesepakatan antara
kedua belah pihak. Syarat-syarat kerja yang telah disepakati bersama tidak dapat diubah oleh
salah satu pihak tanpa persetujuan pihak yang lain. Artinya, jika ada keinginan salah satu pihak
untuk mengubah keputusan yang telah diambil bersama itu, perubahan tersebut harus
dirundingkan dan menjadi bahan negosiasi untuk diputuskan bersama.

Akan tetapi jika pada suatu ketika pembantu itu mengatakan kepada ibu rumah tangga
bahwa antara pembantu dan ibu rumah tangga perlu dilakukan perundingan tentang warna cat
tembk rumah karena cat yang sekarang tidak disenangi oleh pembantu yang bersangkutan, ibu
rumah tangga tidak akan dapat disalahkan apabila ia mengatakan keputusan mengenai
merubah atau tidak merubah cat rumah bukan urusan pembantu, melainkan merupakan hak
prerogatif nyonya rumah yang bersangkutan. Artinya, pengambilan keputusan untuk mengubah
atau tidak mengubah cat tembok rumah merupakan hal yang tidak harus dinegosiasikan ibu
rumah tangga dengan pembantu. Karenanya ibu rumah tangga tersebut dapat mengambil
keputusan secara unilateral.

Di lain pihak, ibu rumah tangga tidak mempunyai wewenang untuk turut mengambil
keputusan tentang “urusan pribadi” pembantunya. Seperti misalnya bagaimana pembantu
tersebut harus memanfaatkan hari-hari liburnya, atau bagaimana cara pembantu itu akan
menggunakan uangnya.

Contoh yang amat sederhana di atas memberikan gambaran bahwa dalam hubungan
industrial, ada keputusan yang memang menjadi hak prerogatif manajemen untuk
mengambilnya, ada keputusan yang menjadi hak prerogatif pekerja dan ada yang harus
diberikan sebagai bahan negosiasi untuk diputuskan bersama. Sangat penting untuk mencapai
kesepakatan tentang batas-batas hak-hak prerogatif tersebut. Tidak kalah pentingnya adalah
mencapai kesepakatan tentang hal-hal yang memang harus diputuskan bersama oleh kedua
belah pihak.
Pengamatan menunjukan bahwa dengan semakin kuatnya semangat pekerja, ada
kecenderungan bagi serikat pekerja tersebut …k mengajukan semakin banyak hal yang mereka
pandang merupakan hal-hal yang harus diputuskan bersama. Dilain pihak, manajemen ingin
mmegang teguh pendirian bahwa terdapat serangkaian hak dan wewenang tertentu yang harus
tetap menjadi “hak” manajemen.

Beberapa hal yang meurut pandangan pihak manajemen me…kan ruang lingkup hak dan
wewenang manajemen untuk me…skan tanpa mengikutsertakan para karyawan, antara lain,
ialah:

 Penentuan barang atau jasa apa yang akan dihasilkan,


 Lokasi perusahaan, termasuk pabrik jika ada,
 Tata ruang perusahaan dan pabrik,
 Jenis-jenis peralatan yang akan digunakan,
 Metode dan teknik produksi,
 Pola distribusi,
 Bahan yang akan diolah, kecuali ada kaitannya dengan keselamatan atau kesehatan
pekerja,
 Kebijaksanaan di bidang keuangan dan prosedur pengelolaannya,
 Penetapan harga jual barang atau jasa yang dihasilkan,
 Struktur organisasi dan pemilihan tenaga-tenaga manajerial,
 Uraian tugas para karyawan untuk berbagi tingkat dan golongan pangkat serta jabatan,
 Standar produk yang harus dipenuhi,
 Jumlah tenaga kerja yang akan dipekerjakan,
 Jadwal kerja dan jadwal lembur,
 Tata cara pemeliharaan disiplin kerja dan pengenaan sanksi jika terjadi pelanggaran,
 Mekanisme pemeliharaan hubungan dengan pelanggan,
 Tata cara ematuhi peraturan perundaang-undangan yang berlaku.
Jika terdpaat perbedaan antara majmen dan pekerj engenai berbagai hal diatas, harus
diusahakan agar penyelesainnya dilakukan melalui dialog yang, agar berhasil, harus bertitik
tolak dari itikad baik kedua belah pihak. Dalam dialog seperti itu, keberhasilan akan lebih
mungkin dicapai apabila kedua belah pihak berusaha melihat permasalah dari sudut pandang
pihak lain. Manajemen harus berusaha menempatkan diri dalam melihat permasalahan
tersebut pada posisi pekerja dan demikiaan pula sebaliknya. Dengan sikap yang demikian, dapat
dicegah timbulnya konflik dan hubungn industrial yang serasi dapat ditumbuhsuburkan.

Jelaslah bahwa keberhasilan suatu negosiasi antara para pekerja dengan manajemen
sangat dipengaruhi oleh dua hal, yaitu:

Pertama: kesepakatan tentang keterlibatan pihak lain dlam proses pemngambilan


keputusan dalm hal-hal dimana kepentingannya terlibat.

Kedua: kesediaan kedua belah pihak untuk menempatkan diri pada posisi pihak
lain dalam menginterpretasikan kepentinagn tersebut.

Dengan perkataan lain, proses negosiasi antara manajemen dan serikat pekerja hanya
akan mendatangkan hasil yang menguntungkan kedua belah pihak pabila semangat give and
take terdapat pada meja perundingan. Sesungguhnya semangat give and take itulah yang
merupakan landasan yang kokoh bagi bertumbuh dan terspeliharanya hubungan insutrial yang
serasi.

Pentingnya sikap demikianterlihat jelas lagi apabila diingat bahwa dengan sikap seperti
itu saja masalah dalam hubungan industrial akan tetap timbul, apalagi tanpa sikap demikian.

Jelaslah bahwa hubungan industrial dalam suatu organisasi akan cenderung tegang
apabila masing-masing pihak secara kaku mepertahankan apa yang dianggapnya sebagai
hak-hak prerogatifnya, yang bahkan mungkin menjurus ke suasana yang sifatnya
konfrontasional. Pada hal adalah demi kebaikan bersama apabila kedua belah pihak sama-sama
berusaha menghilangkan suasana konfrontasional seperti itu.
TAHAP-TAHAP DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Hubungan industrial dalam suatu organisasi pada umummnya dapat digolongkan kedalam
lima tahap pertumbuhan, yaitu:

a. Tahap konflik,
b. Tahap pengakuan eksistensis,
c. Tahap negosiasi,
d. Tahap akomodasi,
e. Tahap kerja sama.

Masing-masing tahap tersebut dibahas secara singkat dibawah ini.

Tahap Konflik

Jika sifat hubungan kerja antara pekerja dan manajemen berada pada tahap ini, apa
yang biasanya terjadi ialah bahwa manajemen berusaha sedapat mungkin untuk mencegah
masuknya para pekerja menjadi anggota serikat pekerja. Dalam hal demikian, tak mustahil
apabila manajemen memberhentikan – biasanya dengan alasan yang dicari-cari – atau
memasukan dalam “daftar am” siapa saja diantara para pekerja yang menunjukan minat
memasuki suatu organisasi serikat pekerja. Tegasnya, pada tahap ini manajemen menolak
kehadiran serikat pekerja dalam organisasiyang bersangkutan. Hal ini tentunya menimbulkan
suasana kontrak. Dalam tahap ini manajemen akan menolak untuk berhubungan dengan wakil
serikat pekerja yang datang kepadanya.

Pada tahap ini dalam hal timbulnya pertikaian perubahan yang serius antara manajemen
dengan para pekerja, manajemen akan mengambil semua langkah yang dapat diambilnya agar
pertikaian yang tidak terselesaikan dengan perundingan langsung dengan sampai berakhir
dengan pemogokan. Bahkan tidak mustahil manajemen akan mengirimkan “mata-mata” nya
untuk melihat siapa yang bertindak selaku agitator diantara para karyawannya. Langkah lain
yang mungkin saja diambil oleh manajemen dalam tahap ini ialah melakukan infiltrasi ke dalam
organisasi serikat pekerja. Sesungguhnya sikap dan tindakan demikian bukanlah tindakan dan
sikap terpuji karena dalam prilaku manajerial demikian manajemen mengingkari pentingnya
proses give and take dalam kehidupan organisasional.

Tahap Pengakuan Eksistensi.

Pada tahap ini manajemen mebiarkan dan mengakui adanya serikat pekerja dalam
organisasi yang dipimpinnya, meskipun sebenarnya disertai oleh ”sikap terpaksa.” Artinya,
manajemen memang mau berhubungan dengan para wakil serikat pekerja untuk
membicarakan hal-hal yang merupakan sumber pertikaian dalam hubungan industrial, akan
tetapi tidak dengan sikap yang ikhlas. Seandainya ada pilihan lain, manajemen akan tetap
memilih untuk tidak berhubungan dengan serikat pekerja dalam menyelesaikan partikel yang
timbul.

Pada tahap ini, terdapat tiga pola tindakan manajemen vis a vis serikat pekerjaan, yaitu:

1. Apabila tidak mendapat tekanan kuat, misalnya dari pemerintah atau dari pihak lain,
manajemen akan menolak memberikan jaminan keberadaan serikat pekerjaan dalam
organisasi.
2. Berusaha untuk mendiskreditkan para pimpinan serikat pekerja dimata para karyawan.
3. Jika harus melakukan negosiasi, manajemen membatasi ruang lingkup negosiasi itu pada
cakupan yang sesempit mungkin.

Jika negosiasi yang terpaksa dilakukan itu tidak berhasil, dan sebagai akibatnya para pekerja
melakukan pemogokan, manajemen akan berusaha untuk menjadikan serikat pekerja menjadi
tidak berfungsi dan akan melakukan segala cara yang dapat ditempuhnya untuk mengakhiri
pemogokan dengan secepat mungkin.

Jelas bahwa tahap ini bukanlah tahap yang diinginkan, baik demi kepentingan organisasi
sebagai keseluruhan maupun dilihat dari sudut pandang pada para pekerja sendiri.
Tahap Negosiasi

Tahap ini pun bukanlah tahap didambakan dalam menumbuhkan dan memelihara
hubungan industrial yang serasi. Dikatakan demikian karen pada tahap ini, manajemen tetap
memandang serikat pekerja sebagai faktor penghalang dalam hubungan kerja antara
manajemen dengan para pekerja. Hanya saja dalam pada itu manajemen menyadari bahwa
kehadiran serikat pekerja dalam organisasi sudah merupakan kenyataan hidup industrial dan
oleh karenanya tidak lagi berusaha menghalangi kehadiran serikat pekerja tersebut. Dengan
tekanan yang tidak terlalu kuat pun, manajemen bersedia mengakui bahwa keberadaan serikat
pekerjaan dalam organisasi mempunyai arti yang bernilai pula bagi manajemen. Dengan
persepsi demikian pada tahap ini akan terlihat yang lemah dan defensif.

Jika terjadi pertikaian dengan para pekerja, negosiasi akan cenderung berlangsung
“keras” karena masing-masing pihak akan mempertahankan pendirian dan haknya secara gigih.
Dalam situasi “keras” demikian, tidak mustahil bahwa manajemen akan berusaha mencari
tenaga kerja sementara untuk menggantikan tenaga kerja yang ada, tetapi tidak produktif karen,
misalnya, melakukan pemogokan. Dengan demikian kelangsungan proses produksi dan
kegiatan organisasional lainnya tetap terjamin. Hanya saja pada tahap ini manajemen tidak lagi
menggunakan tindakan kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian yang timbul, termasuk
penyelesaian pemogokan. Tindakan yang mungkin ditempuhnya ialah, misalnya, menyerahkan
kegiatan produksi atau jasa yang biasanya dihasilkannya kepada organisasi lain untuk
sementara waktu selama program berlangsung. Atau, jika telah diduga sebelumnya bahwa akan
tidak tercapai penyelesaian yang baik atas konflik yang timbul dan para pekerja akan melakukan
pemogokan, manajemen akan menimbun barang-barang produksi yang dihasilkan untuk dijual
selama terjadinya disrupsi dalam proses produksi. Alasan yang lumrah digunakan untuk
membenarkan tindakan demikian ialah dalih bahwa kepentingan para konsumen tidak boleh
sampai terganggu.
Pada tahap ini serikat pekerja pun mengambil langkah-langkah yang menurut
perhitungannya akan efektif dalam menggolongkan kepentingan dan tuntutan para pekerja,
seperti penyediaan dana yang cukup untuk menjamin kesejahteraan para pekerja selama
pertikaian belum terselesaikan. Sikap serikat pekerja yang lebih keras dapat berbentuk usaha
pemupukan rasa antagonisme dikalangan para pekerja dan masyarakat luas terhadap
perusahaan dan bahkan juga mungkin berusaha memperoleh dukunag politik atas usaha yang
dilancarkannya. Jika pada akhirnya terjadi negosiasi, masing-masing pihak akan tidak
segan-segan mempergunakan segala cara yang legal untuk mencapai tujuan.

Tahap Akomodatif

Dalam hubungan industrial yang sifatnya akomodatif, tidak berarti bahwa manajemen
munyukai kehadiran serikat pekerja dalam organisasi. Oleh karenanya manajemen belum tentu
bersedia untuk memberikan kesempatan kepada pimpinan serikat pekerja untuk memperkuat
kedudukannya dikalangan para pekerja. Akan tetapi pada tahap ini manajemen pada umumnya
menyadari bahwa serikat pekerja dapat memainkan peranan yang positif dalam kehidupan
organisasional para pekerja seperti dalam rangka penegakan disiplin dan dalam mengarahkan
prilaku para karyawan sedemikian rupa sehingga terjalin hubungan kerja yang baik antara para
pekerja dan manajemen. Artinya pada tahap ini manajemen mempergunakan serikat pekerja
sebagai seluruh hubungan antara manajemen dan para karyawan dan tidak lagi memandang
pimpinan organisasi dengan para anggotanya.

Salah satu manifestasi dari hubungan yang akomodatif ialah dalam mengambil
keputusan yang menyangkut kepntingan para
KESIMPULAN

Salah satu hubungan antara organisasi dengan para anggotanya menyangkut apa yg lazim
dikenal dengan istilah hubungan industrial

istilah hubungan industri digunakan dalam arti umum, yaitu hubungan formal yang terdapat
antara kelompok manajemen dan kelompok pekerja yang terdapat dalam suatu organisasi

Sejarah telah mencatat bahwa timbulnya revolusi industry telah membawa dua perubahan
yang fundamental dalam kehidupan perekonomian para pekerja

Salah satu akibat lahirnya revolusi industry ialah pesatnya pertumbuhan kota-kota besar.

Pada permulaan timbulnya revolusi industry, akibat beroprasinya berbagai pabrik selalu
merupakan sumber keresahan bagi para pekerja karena memang pada masa itu terdapat
berbagai macam keadaan yang tidak menguntungkan para pekerja seperti upah yang rendah,
jam kerja yang panjang, kondisi kerja yang tidak manusiawi, yang kesemuanya turut
berpengaruh terhadap sikap antipasti para pekerja terhadap para pemilik perusahaan.

Hubungan industrial dalam suatu organisasi pada umummnya dapat digolongkan kedalam
lima tahap pertumbuhan, yaitu:

f. Tahap konflik,
g. Tahap pengakuan eksistensis,
h. Tahap negosiasi,
i. Tahap akomodasi,
j. Tahap kerja sama.
CONCLUTION

One of the relationships between organizations and their members concerns what is commonly
known as industrial relations

the term industrial relations is used in a general sense, namely the formal relationship that
exists between management groups and groups of workers contained in an organization

History has noted that the emergence of the industrial revolution has brought two fundamental
changes in the economic life of the workers

One of the consequences of the birth of the industrial revolution was the rapid growth of big
cities

At the beginning of the industrial revolution, due to the operation of various factories is always
a source of unrest for workers because indeed at that time there were various kinds of
conditions that did not benefit workers such as low wages, long working hours, inhuman work
conditions, all of which also influence the antipasti attitude of the workers towards the owners
of the company.

Industrial relations in an organization in general can be classified into five stages of growth,
namely:

a. Stage of conflict,

b. Stage of recognition of existentis,

c. Negotiation stage,

d. Accommodation stage

e. Cooperation stage.

Anda mungkin juga menyukai