Anda di halaman 1dari 27

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah utama bagi setiap
negara-negara di dunia termasuk negara-negara maju yang disebut sangat
menghargai dan peduli terhadap Hak Asasi Manusia. Sudah seharusnya
dalam suatu Negara dibutuhkan adanya perlindungan bagi para wanita yang
menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang salah satunya adalah
hak-hak perempuan terutama korban kekerasan seksual.
Di Indonesia, jaminan atas hak asasi manusia secara umum bisa ditemui di
dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen kedua Pasal 28 A-J dan
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Lebih khusus lagi,
jaminan atas hak asasi perempuan dapat ditemui dalam Undang-Undang No.
7 Tahun 1984 tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan atau
Pengesahan Konvensi Perempuan. Didalam Undang-Undang No. 7 Tahun
1984 tersebut dinyatakan bahwa negara akan melakukan upaya semaksimal
mungkin untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan, termasuk adanya kekerasan terhadap perempuan, baik yang
meliputi kekerasan di wilayah publik maupun di wilayah domestik.
Melalui hukum, hak-hak asasi manusia baik laki-laki maupun perempuan
diakui dan dilindungi, karenanya hukum akan selalu dibutuhkan untuk
mengakomodasi adanya komitmen negara untuk melindungi hak asasi
manusia warganya, termasuk perempuan. Kekerasan seksual adalah isu
penting dan rumit dari seluruh peta kekerasan terhadap perempuan karena ada
dimensi yang sangat khas bagi perempuan. Persoalan ketimpangan relasi
kuasa antara pelaku dan korban adalah akar kekerasan seksual terhadap
perempuan. Dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan,
ketimpangan relasi kuasa yangdimaksud adalah antara laki-laki dan
perempuan. Ketimpangan diperparah ketika satu pihak (pelaku) memiliki
kendali lebih terhadap korban. Kendali ini bisa berupa sumber daya, termasuk
pengetahuan, ekonomi dan juga penerimaan masyarakat (status

1
sosial/modalitas sosial). Termasuk pula kendali yang muncul dari bentuk
hubungan patron-klien atau feodalisme, seperti antara orangtua-anak,
majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat-warga dan kelompok
bersenjata/aparat-penduduk sipil.
Di Jaman yang serba modern ini saat ini angkutan umum makin beragam,
mulai dari yang bermuatan kecil hingga dapat menampung penumpang dalam
jumlah yang banyak. Dari segi keamanan, ada yang keamanan nya sangat di
perhatikan dan ada yang hanya memikirkan banyaknya jumlah penumpang
pada angkutan tersebut dan mengabaikan keamanan dan kenyamanan para
penumpang.6 Kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap perempuan
di tempat-tempat umum makin memprihatinkan, kasus pemerkosaan makin
marak terjadi di fasilitas-fasilitas umum ataupun karena fasilitas umum yang
tidak memadai. Fakta tersebut menunjukkan posisi perempuan kian rentan
terhadap aksi kejahatan seperti pemerkosaan dan pencabulan. Kondisi ini
diperparah dengan rentannya posisi korban terhadap teror, intimidasi, tidak
terlindungi hukum dan terisolir dari masyarakat luas. Pemerintahan memiliki
tanggung jawab besar menangani kasus tersebut.
Oleh karena itu dengan adanya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan, maka sudah seharusnya dapat melindungi
perempuan dari korban perkosaan. Korban perkosaan seharusnya
mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan hak korban. Korban sendiri
seharusnya mendapatkan perlindungan berupa mendapatkan kompensasi dan
restitusi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu kekerasan seksual terhadap perempuan ?
2. Apa itu kekerasan dalam rumah tangga ?
3. Bagaimana cara penanganan/mendiagnosis kasus kekerasan
seksual/KDRT ?
4. Apa itu kekerasan pada anak ?
5. Apa saja trend dan issue mengenai kasus tersebut?

2
BAB II
PEMBAHASAN
I. Kekerasan Seksual Pada Perempuan
A. Pengertian
Sexual Harassment (pelecehan seksual) menurut Advisory Commite
Yale College Grevance Board and New York, seperti dikutip oleh Judith
Berman Bradenburg adalah semua tingkah laku seksual atau
kecenderungan untuk bertingkah laku seksual yang tidak diinginkan oleh
seseorang baik verbal (psikologis) atau fisik yang menurut si penerima
tingkah laku sebagai merendahkan martabat, penghinaan, intimidasi, atau
paksaan. Sedangkan menurut BKKBN (Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional, 2012) pelecehan seksual adalah segala
macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang
yang menjadi sasaran sehingga menimbulkan reaksi negatif seperti malu,
marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi
korban pelecehan tersebut.
Rentang pelecehan seksual ini sangat luas, yakni meliputi: main mata,
siulan nakal, komentar berkonotasi seks atau gender, humor porno,
cubitan, colekan, tepukan atau sentuhan di bagian tubuh tertentu, gerakan
tertentu atau isyarat yang bersifat seksual, ajakan berkencan dengan iming-
iming atau ancaman, ajakan melakukan hubungan seksual hingga
perkosaan. Pelecehan seksual bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
Berdasarkan pengertian diatas tingkat pelecehan seksual dapat dibagi
dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan ringan, seperti godaan nakal,
ajakan iseng, dan humor porno. Kedua, tingkatan sedang, seperti
memegang, menentuh, meraba bagian tubuh tertentu, hingga ajakan serius
untuk “berkencan”. Ketiga, tingkatan berat seperti perbuatan terang-
terangan dan memaksa, penjamahan, pemaksaan kehendak, hingga
percobaan pemerkosaan. Sedang pemerkosaan itu sendiri sudah masuk
dalam kategori kejahatan seksual. Meskipun pada umumnya korban

3
pelecehan seksual adalah kaum perempuan bukan berarti bahwa kaum pria
kebal (tidak pernah mengalami) terhadap pelecehan seksual. Seorang
manusia, siapapun atau dari kalangan apapun, sejak lahir telah memiliki
hak yang melekat dalam dirinya yang harus dipenuhi dan dihormati oleh
siapapun, yang disebut hak asasi manusia. Salah satu hak asasi adalah hak
untuk bebas dari penyiksaan dan perilaku buruk. Pelecehan dan kekerasan
seksual termasuk dalam penyiksaan dan perilaku buruk. Oleh karena itu,
kepada siapapun pelecehan seksual dilakukan, hal itu selalu merupakan
tindakan yang salah.
B. Kategori Pelecehan Seksual
1. Quid pro quo
Pelecehan seksual yang seperti ini adalah pelecehan seksual yang
biasanya dilakukan oleh seseorang yang memiliki kekuasaan otoritas
terhadap korbannya, disertai iming-iming pekerjaan atau kenaikan gaji
atau promosi.
2. Hostile work environment
Pelecehan seksual yang terjadi tanpa janji atau iming-iming maupun
ancaman. Kategori pelecehan seksual menurut Nichaus:
a. Blitz rape yaitu pelecehan seksual yang terjadi sangat cepat,
sedangkan pelaku tidak saling kenal.
b. Confidence rape yaitu pelecehan seksual dengan penipuan, hal ini
jarang dilaporkan karena malu.
c. Power rape yaitu pelecehan seksual yang saling tidak mengenal,
pelaku bertindak cepat dan menguasai korban, dilakukan oleh
orang yang berpengalaman dan yakin korban akan menikmati.
d. Anger rape, yaitu pelecehan seksual dimana korban menjadi marah
dan balas dendam.
e. Sadistie rape yaitu pelecehan seksual dengan ciri kekejaman atau
sampai pembunuhan

4
Pelecehan seksual memiliki berbagai bentuk. Secara luas, terdapat lima
bentuk pelecehan seksual menurut ILO (International Labour
Organization) yaitu:

a. Pelecehan fisik termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah


ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik
atau menatap penuh nafsu.
b. Pelecehan lisan termasuk ucapan verbal/ komentar yang tidak
diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau
penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual.
c. Pelecehan isyarat termasuk bahasa tubuh dan atau gerakan tubuh
bernada seksual, kerlingan yang dilakukan berulang-ulang, isyarat
dengan jari, dan menjilat bibir.
d. Pelecehan tertulis atau gambar termasuk menampilkan bahan
pornografi , gambar, screensaver atau poster seksual, atau
pelecehan lewat email dan moda komunikasi elektronik lainnya.
e. Pelecehan psikologis/emosional terdiri atas permintaan-permintaan
dan ajakanajakan yang terusmenerus dan tidak diinginkan, ajakan
kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang
bersifat seksual
C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelecehan Seksual
1. Faktor Fisik
dapat mengalami penurunan keinginan seksual karena alasan fisik,
karena bagamanapun aktivitas seks bisa menimbulkan nyeri dan
ketidaknyamanan. Kondisi fisik dapat berupa penyakit ringan/berat,
keletihan, medikasi maupun citra tubuh. Citra tubuh yang buruk,
terutama disertai penolakan atau pembedahan yang mengubah bentuk
tubuh menyebabkan seseorang kehilangan gairah.
2. Faktor Hubungan
Masalah dalam berhubungan (kemesraan, kedekatan) dapat
mempengaruhi hubungan seseorang untuk melakukan aktivitas
seksual. Hal ini sebenarnya tergantung dari bagimana kemampuan

5
mereka dalam berkompromi dan bernegosiasi mengenai perilaku
seksual yang dapat diterima dan menyenangkan.
3. Faktor Gaya Hidup
Gaya hidup disini meliputi penyalahgunaan alkohol dalam aktivitas
seks, ketersediaan waktu untuk mencurahkan perasaan dalam
berhubungan, dan penentuan waktu yang tepat untuk aktivitas seks.
Penggunaan alkohol dapat menyebabkan rasa sejahtera atau gairah
palsu dalam tahap awal seks dengan efek negatif yang jauh lebih besar
dibanding perasaan eforia palsu tersebut. Sebagian klien mungkin
tidak mengetahui bagaiman mengatur waktu antara bekerja dengan
aktivitas seksual, sehingga pasangan yang sudah merasa lelah bekerja
merasa kalau aktivitas seks merupakan beban baginya.
4. Faktor Harga Diri
Jika harga-diri seksual tidak dipelihara dengan mengembangkan
perasaan yang kuat tentang seksual-diri dan dengan mempelajari
ketrampilan seksual, aktivitas seksual mungkin menyebabkan perasaan
negatif atau tekanan perasaan seksual. Harga diri seksual dapat
terganggu oleh beberapa hal antara lain: perkosaan, inses,
penganiayaan fisik/emosi, ketidakadekuatan pendidikan seks,
pengaharapan pribadi atau kultural yang tidak realistik.

D. Dampak Dari Pelecehan Seksual


Dampak pelecehan seksual secara garis besar dapat dibagi menjadi
dampak fisik, dampak psikologis, hingga dampak sosial. Dampak fisik
yang biasa ditimbulkan akibat pelecehan seksual, antara lain adanya
memar, luka, bahkan robek pada bagian-bagian tertentu. Pada perempuan,
yang tentunya sangat berat adalah terjadinya kehamilan yang tidak
diinginkan. Dampak fisik lain adalah kemungkinan penularan penyakit
berupa infeksi menular seksual. Dampak kejiwaan antara lain berupa
kecurigaan dan ketakutan terhadap orang tertentu atau orang asing, serta
ketakutan pada tempat atau suasana tertentu. Dampak sosial yang dialami

6
korban, terutama akibat stigma atau diskriminasi dari orang lain
mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan
ini timbul akibat adanya harga diri yang rendah karena ia menjadi korban
pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga
merasa tidak layak untuk bergaul bersama temantemannya. Beberapa studi
juga menunjukkan dampak pelecehan seksual sebagai berikut:
1. Dampak Psikologis
Beberapa penelitian menemukan bahwa korban pelecehan seksual
merasakan beberapa gejala yang sangat bervariasi, diantaranya merasa
menurunnya harga diri, menurunnya kepercayaan diri, depresi, kecemasan,
ketakutan terhadap perkosaan serta meningkatnya ketakutan terhadap
tindakan-tindakan kriminal lainnya.
2. Dampak Fisik
Dampak fisik berikut ini telah tercatat dalam literatur yang membahas
tentang pelecehan seksual di antaranya yaitu sakit kepala, gangguan
makan, gangguan pencernaan (perut), rasa mual, serta menurun atau
bertambahnya berat badan tanpa sebab yang jelas.
3. Dampak Sosial
Dampak pelecehan seksual di tempat kerja adalah menurunnya kepuasaan
kerja, mengganggu kinerja, mengurangi semangat bekerja, menurunnya
produktivitas kerja, merusak hubungan antara teman/rekan kerja,
menurunnya tingkat kepercayaan diri, dan menurunnya motivasi.

II. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)


A. Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam
Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk

7
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan
perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang
antara lain menegaskan bahwa:
a. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes
dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan
Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
b. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah
tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan
terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus
dihapus.
c. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan
adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari
Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari
kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang
merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang
penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya
merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah
KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis
besar isi pasal yang berbunyi: “Barang siapa yang melakukan
penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteriatau anak diancam hukuman
pidana”
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tindak kekerasan
terhadap istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam 4 (empat) macam :

8
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh
sakit atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan
ini antara lain adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut
(menjambak), menendang, menyudut dengan rokok, memukul/melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya perlakuan ini akan nampak
seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya
kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan
psikis berat pada seseorang. Perilaku kekerasan yang termasuk
penganiayaan secara emosional adalah penghinaan, komentar-komentar
yang menyakitkan atau merendahkan harga diri, mengisolir istri dari
dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.
3. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa
selera seksual sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.
Kekerasan seksual berat, berupa:
a) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh
organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan
lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa
dikendalikan.
b) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada
saat korban tidak menghendaki.
c) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai,
merendahkan dan atau menyakitkan.
d) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan
pelacuran dan atau tujuan tertentu.

9
e) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
f) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa
bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal
seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan
atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun
perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak
dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke
dalam jenis kekerasan seksual berat.
4. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena
persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan
atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini
adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan menghabiskan uang istri.
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan
pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
a) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
b) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
c) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban,
merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja
yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi
atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

C. Faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga


Strauss A. Murray mengidentifikasi hal dominasi pria dalam konteks
struktur masyarakat dan keluarga, yang memungkinkan terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga (marital violence) sebagai berikut:

10
a) Pembelaan atas kekuasaan laki-laki.
Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan
dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan
wanita.
b) Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk
bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap
suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri
mengalami tindakan kekerasan.
c) Beban pengasuhan anak
Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban
sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan
terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga
tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
d) Wanita sebagai anak-anak
Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum,
mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan
mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki
merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang
bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
e) Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami
kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum,
sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup.
Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu
adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan
sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

11
III. Penanganan / cara mendiagnosis kasus kekerasan seksual dan KDRT
1. Cara Mencegah Dan Menangani Pelecehan Seksual
Beberapa cara yang dapat dilakukan oleh anggota masyarakat untuk
ikut mencegah dan menangani pelecehan seksual antara lain :
a) Bangun pemahaman tentang pelecehan seksual
b) Jangan tinggal diam bila mengetahui adanya tindak pelecehan seksual.
Segera laporkan pada pihak berwajib
c) Temani korban pelecehan seksual, bangun keyakinan korban untuk
tidak menyalahkan dirinya sendiri
d) Temani dan dukung korban bila ia hendak melapor. Bila korban enggan
melapor, jangan dihakimi keputusannya itu.
e) Berikan informasi kepada korban hak-haknya dan juga keberadaan
lembaga-lembaga yang dapat ia hubungi untuk memperoleh informasi
lebih lanjut ataupun masukan bagi upaya pencarian keadilan dan
pemulihan
f) Berikan informasi tentang pelecehan seksual kepada anggota keluarga,
teman,tetangga, teman sekerja atau lainnya
g) Ajak mereka untuk ikut mendukung korban dengan cara tidak
menyalahkan korban, tidak menstigma, tidak mengucilkan apalagi
mengusir korban
h) Ikut serta dalam advokasi perubahan hukum untuk kepentingan korban
pelecehan, termasuk dengan memantau jalannya proses penegakan
hukum
i) Dukung kerja-kerja lembaga pengada layanan bagi korban pelecehan
dengan mengumpulkan informasi tentang pelecehan seksual yang
terjadi disekelilingnya, memberikan dukungan, ikut serta dalam
kampanye atau dalam penggalangan dana bagi penanganan korban.

Sedangkan usaha yang dapat dilakukan orang tua kepada anaknya untuk
menghindari terjadinya pelecehan seksual adalah sebagai berikut:

12
a) Ajarkan kepada anak mengenai perbedaan antara sentuhan yang baik
dengan sentuhan yang buruk dari orang dewasa.
b) Beritahu anak mengenai bagian tubuh tertentu yang tak boleh disentuh
oleh orang dewasa kecuali saat mandi atau pemeriksaan fisik oleh
dokter.
c) Ajarkan kepada anak untuk mengatakan ’tidak’ jika merasa tidak
nyaman dengan perlakuan orang dewasa dan menceritakan kejadian itu
kepada orang dewasa yang meraka percaya.
d) Ajarkan bahwa orang dewasa tidak selalu ’benar’, dan semua orang
mempunyai kontrol terhadap tubuh mereka, sehingga ia dapat
memutuskan siapa yang boleh atau tidak boleh untuk memeluknya.

Jika terjadi pelecehan seksual pada anak, beberapa hal yang perlu
diperhatikan:

a) Ciptakan kondisi sehingga anak merasa leluasa dalam menceritakan


tentang bagian tubuhnya dan menggambarkan kejadian dengan akurat.
b) Yakinkan anak bahwa orang dewasa yang melakukannya adalah salah,
sedangkan anaknya sendiri adalah benar.Orang tua harus bisa
mengkontrol ekspresi emosional didepan anak.

Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk menangani dampak yang dialami


korban pelecehan seksual.

a) Perlindungan dan penanganan secara fisik (contohnya penyembuhan


atau terapi oleh dokter).
b) Perlindungan dan penanganan kejiwaan (bisa dengan konsultasi, terapi
kejiwaan atau pendidikan mental spiritual).
c) Secara sosial dengan memberi dukungan sosial dan emosional,
menerima kehadirannya, membicarakan sesuatu yang sesuai dengan
pemahamannya seharihari, serta memberikan kesempatan untuk terlibat
aktif dalam berbagai kegiatan di lingkungannya.

13
2. Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Untuk menghindari terjadinya Kekerasan dalam Rumah Tangga,
diperlukan cara-cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga,
antara lain:
a) Perlunya keimanan yang kuat dan akhlaq yang baik dan berpegang
teguh pada agama sehingga dapat menyelesaikan permasalahan dengan
kesabaran.
b) Harus tercipta kerukunan dan kedamaian di dalam sebuah keluarga,
serta dapat saling mengahargai setiap pendapat yang ada.
c) Harus adanya komunikasi yang baik antara suami dan istri, agar tercipta
sebuah rumah tangga yang rukun dan harmonis.
d) Butuh rasa saling percaya, pengertian, saling menghargai dan
sebagainya antar anggota keluarga. Sehingga rumah tangga dilandasi
dengan rasa saling percaya. Jika sudah ada rasa saling percaya, maka
mudah bagi kita untuk melakukan aktivitas. Jika tidak ada rasa
kepercayaan maka yang timbul adalah sifat cemburu yang kadang
berlebih dan rasa curiga yang kadang juga berlebih-lebihan.
e) Seorang istri harus mampu mengkoordinir berapapun keuangan yang
ada dalam keluarga, sehingga seorang istri dapat mengatasi apabila
terjadi pendapatan yang minim, sehingga kekurangan ekonomi dalam
keluarga dapat diatasi dengan baik.

IV. Kekerasan pada anak


1. Pengertian
Menurut Sutanto (2006) kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa
atau anak yang lebih tua dengan menggunakan kekuasaan/otoritasnya
terhadap anak yang tak berdaya yang seharusnya menjadi tanggung jawab
dari orangtua atau pengasuh yang berakibat penderitaan, kesengsaraan,
cacat/kematian.Kekerasan pada anak lebih bersifat sebagai bentuk
penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang
anak.

14
Nadia (2004) mengartikan kekerasan anak sebagai bentuk penganiayaan
baik fiisk maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah tindakan kasar yang
mencelakakan anak dan segala bentuk kekerasan fisik pada anak yang
lainnya.Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua tindakan
merendahkan/meremehkan anak.
Lebih lanjut Hoesin (2006) melihat kekerasan anak sebagai bentuk
pelanggaran terhadap hak-hak anak dan dibanyak negara dikategorikan
sebagai kejahatan sehingga untuk mencegahnya dapat dilakukan oleh para
petugas hukum.
Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan perlakuan
yang salah dari orangtua. Patilima mendefinisikan perlakuan yang salah
pada anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat dari
kekerasannya mengancam kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik
secara fisik, psikologi sosial maupun mental.
2. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kekerasan terhadap Anak
Ada banyak faktor kenapa terjadi kekerasan terhadap anak :
a) Lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak dalam menonton tv,
bermain dll. Hal ini bukan berarti orang tua menjadi diktator/over
protective, namun maraknya kriminalitas di negeri ini membuat
perlunya meningkatkan kewaspadaan terhadap lingkungan sekitar.
b) Anak mengalami cacat tubuh, gangguan tingkah laku, autisme, terlalu
lugu
c) Kemiskinan keluarga (banyak anak).
d) Keluarga pecah (broken Home) akibat perceraian, ketiadaan Ibu dalam
jangka panjang.
e) Keluarga yang belum matang secara psikologis, ketidak mampuan
mendidik anak, anak yang tidak diinginkan (Unwanted Child)atau anak
lahir diluar nikah.
f) Pengulangan sejarah kekerasan orang tua yang dulu sering
memperlakukan anak-anaknya dengan pola yang sama
g) Kondisi lingkungan yang buruk, keterbelakangan

15
h) Kesibukan orang tua sehingga anak menjadi sendirian bisa menjadi
pemicu kekerasan terhadap anak
i) Kurangnya pendidikan orang tua terhadap anak.
3. Bentuk Kekerasan Terhadap Anak
a. Kekerasan Fisik
Bentuk kekerasan seperti ini mudah diketahui karena akibatnya bisa
terlihat pada tubuh korban Kasus physical abuse: persentase
tertinggiusia 0-5 tahun (32.3%) dan terendah usia 13-15 tahun
(16.2%).Kekerasan biasanya meliputi memukul, mencekik,
menempelkan benda panas ke tubuh korban dan lain-lainnya. Dampak
dari kekerasan seperti ini selain menimbuBlkan luka dan trauma pada
korban, juga seringkali membuat korban meninggal
b. Kekerasan secara Verbal
Bentuk kekerasan seperti ini sering diabaikan dan dianggap biasa atau
bahkan dianggap sebagai candaan. Kekerasaan seperti ini biasanya
meliputi hinaan, makian, maupun celaan. Dampak dari kekerasaan
seperti ini yaitu anak jadi belajar untuk mengucapkan kata-kata kasar,
tidak menghormati orang lain dan juga bisa menyebabkan anak
menjadi rendah diri.
c. Kekerasan secara Mental
Bentuk kekerasan seperti ini juga sering tidak terlihat, namun
dampaknya bisa lebih besar dari kekerasan secara verbal. Kasus
emotional abuse: persentase tertinggi usia 6-12 tahun (28.8%) dan
terendah usia 16-18 tahun (0.9%) Kekerasaan seperti ini meliputi
pengabaian orang tua terhadap anak yang membutuhkan perhatian,
teror, celaan, maupun sering membanding-bandingkan hal-hal dalam
diri anak tersebut dengan yang lain, bisa menyebabkan mentalnya
menjadi lemah.Dampak kekerasan seperti ini yaitu anak merasa cemas,
menjadi pendiam, belajar rendah diri, hanya bisa iri tanpa mampu
untuk bangkit.
d. Pelecehan Seksual

16
e. Bentuk kekerasan seperti ini biasanya dilakukan oleh orang yang telah
dikenal anak, seperti keluarga, tetangga, guru maupun teman
sepermainannya sendiri. Kasus pelecehan eksual: persentase
tertinggiusia 6-12 tahun (33%) danterendah usia 0-5 tahun
(7,7%).Bentuk kekerasan seperti ini yaitu pelecehan, pencabulan
maupun pemerkosaan. Dampak kekerasan seperti ini selain
menimbulkan trauma mendalam, juga seringkali menimbulkan luka
secara fisik.
4. Dampak dari Kekerasan pada Anak
Dampak kekerasan pada anak yang diakibatkan oleh orangtuanya sendiri
atau orang lain sangatlah buruk antara lain:
a) Agresif.
Sikap ini biasa ditujukan anak kepada pelaku kekerasan. Umumnya
ditujukan saat anak merasa tidak ada orang yang bisa melindungi
dirinya. Saat orang yang dianggap tidka bisa melindunginya itu ada
disekitarnya, anak akan langsung memukul datau melakukan tindak
agresif terhadap si pelaku. Tetapi tidak semua sikap agresif anak
muncul karena telah mengalami tindak kekerasan.
b) Murung/Depresi
Kekerasan mampu membuat anak berubah drastis seperti menjadi anak
yang memiliki gangguan tidur dan makan, bahkan bisa disertai
penurunan berat badan. Ia akan menjadi anak yang pemurung,
pendiam, dan terlihat kurang ekspresif.
c) Memudah menangis
Sikap ini ditunjukkan karena anak merasa tidka nyaman dan aman
dengan lingkungan sekitarnya. Karena dia kehilangan figur yang bisa
melindunginya, kemungkinan besar pada saat dia besar, dia
tidak akan mudah percaya pada orang lain.
d) Melakukan tindak kekerasan terhadap orang lain

17
Dari semua ini anak dapat melihat bagaimana orang dewasa
memperlakukannya dulu. Ia belajar dari pengalamannya, kemudian
bereaksi sesuai dengan apa yang dia alami.

V. TREND DAN ISSUE

“HENTIKAN IMPUNITAS PELAKU KEKERASAN SEKSUAL


DAN WUJUDKAN PEMULIHAN YANG KOMPREHENSIF BAGI
KORBAN”

Jakarta, 6 Maret 2019

Tanggal 8 Maret diperingati sebagai Hari Perempuan Internasional


sebagai bentuk solidaritas internasional agar perempuan di seluruh dunia
terbebas dari diskriminasi dan kekerasan. Setiap tahun Komisi Nasional
Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
memperingati Hari Perempuan Internasional salah satunya dengan
meluncurkan Catatan Tahunan (CATAHU) Kekerasan terhadap
Perempuan di Indonesia. Tahun 2019, Komnas Perempuan meluncurkan
CATAHU dengan judul “Korban Bersuara, Data Bicara Sahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Wujud Komitmen Negara”
yang merupakan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap
perempuan yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga pengadalayanan,
baik yang diselenggarakan pemerintah maupun organisasi masyarakat,
serta pengaduan yang langsung datang ke Komnas Perempuan.

Pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada tahun 2018


meningkat 14% dari tahun sebelumnya. Peningkatan pengaduan ini
mengindikasikan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
mengungkapkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan semakin
membaiknya mekanisme pencatatan dan pendokumentasian kasus-kasus
kekerasan terhadap perempuan di lembaga-lembaga layanan. Situasi ini
tidak seragam di semua wilayah, karena hingga tahun ini, 3 propinsi di
Bagian Timur Indonesia yaitu Maluku Utara, Papua dan Papua Barat,
masih belum memiliki data tentang kekerasan terhadap perempuan yang
bisa diakses secara nasional. Seperti tahun sebelumnya, wilayah tertinggi
yang mencatat angka pengaduan kekerasan terhadap perempuan
(termasuk anak perempuan), adalah Propinsi Jawa Tengah, Propinsi
Jawa Timur dan DKI Jakarta. Peningkatan ini sejalan dengan intensitas
upaya perbaikan akses keadilan yang telah dilakukan melalui

18
Pengembangan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus
Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP), khususnya di Jawa
Tengah.

CATAHU Tahun 2019 ini merekam kasus kekerasan terhadap


perempuan dan anak perempuan yang dilaporkan sepanjang tahun 2018,
di mana terdapat sejumlah temuan, pola dan trend kekerasan, yaitu:

a. Kekerasan di ranah privat (korban dan pelaku berada dalam relasi


perkawinan, kekerabatan, atau relasi intim lainnya) baik dalam
lingkup rumah tangga maupun di luar rumah tangga, masih
merupakan kasus yang dominan dilaporkan. Kasus WS yang
tertinggi dilaporkan adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga
(KDRT), kedua, Kekerasan dalam Pacaran (KDP), dan ketiga
Incest;
b. Pelaporan kasus Marital Rape (perkosaan dalam perkawinan)
mengalami peningkatan pada tahun 2018. Hubungan seksual
dengan cara yang tidak diinginkan dan menyebabkan penderitaan
terhadap isteri ini, mencapai 195 kasus pada tahun 2018.
Mayoritas kasus perkosaan dalam perkawinan dilaporkan ke
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta
P2TP2A (sebanyak 138 kasus), selebihnya dilaporkan ke
organisasi masyarakat dan lembaga lainnya. Meningkatnya
pelaporan kasus perkosaan dalam perkawinan ini mengindikasikan
implementasi UU Penghapusan KDRT (UU P-KDRT) masih
memiliki sejumlah persoalan, terutama pada bagian pencegahan
kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga dan penanganan
KDRT sendiri. Meski UU P-KDRT telah 14 tahun diberlakukan,
namun hanya 3% dari kasus KDRT yang dilaporkan ke lembaga
layanan yang sampai ke pengadilan;
c. Incest (perkosaan oleh orang yang memiliki hubungan darah)
masih cukup tinggi dilaporkan pada tahun 2018, mencapai 1071
kasus dalam 1 tahun. Pelaku tertinggi incest adalah Ayah
Kandung dan Paman. Fakta yang mengkhawatirkan di tengah
kuatnya konstruksi sosial yang menempatkan laki-laki sebagai
wali dan pemimpin keluarga yang tentunya diharapkan dapat
melindungi perempuan dan anak perempuan di dalam keluarga.
Fakta ini juga menjadi penting dipertimbangkan sebagai basis
utama dalam membangun konsep ketahanan keluarga. Incest dan
marital rape merupakan kekerasan yang sulit diungkapkan, karena
terjadi dalam relasi keluarga dan terhadap korban telah diletakkan

19
kewajiban untuk patuh dan berbakti serta tidak membuka aib
keluarga. Pengungkapan kasus incest dan marital rape ini perlu
ditindaklanjuti dengan penyediaan mekanisme pemulihan yang
komprehensif dan berpihak kepada korban, serta penghukuman
pelaku yang berorientasi pada perubahan perilaku, sehingga tidak
mengulangi lagi kejahatan yang pernah dilakukannya;
d. Selain incest dan marital rape, hal lain yang menarik perhatian
dari kekerasan di ranah privat, adalah meningkatnya pengaduan
kasus kekerasan dalam pacaran ke institusi pemerintah (1750 dari
2073 kasus). Bentuk kekerasan tertinggi dalam relasi pacaran ini
adalah kekerasan seksual. Relasi pacaran adalah relasi yang tidak
terlindungi oleh hukum, sehingga jika terjadi kekerasan dalam
relasi ini, korban akan menghadapi sejumlah hambatan dalam
mengakses keadilan. Meningkatnya pengaduan kasus kekerasan
dalam relasi pacaran ke institusi pemerintah pada tahun 2018,
dapat dilihat sebagai upaya korban/masyarakat untuk
memperlihatkan fakta kekerasan dalam relasi yang tidak
terlindungi ini, agar ada penyikapan yang cepat dan tepat dari
negara, sehingga kekerasan dapat diminimalkan dan pemulihan
yang komprehensif bagi korban dapat diupayakan. Hal yang patut
diapresiasi adalah, ditanganinya 1750 kasus kekerasan dalam
relasi pacaran oleh pemerintah, meskipun tidak ada payung
hukum yang melindunginya. Respon yang baik ini diharapkan
meminimalisasi kekerasan dalam relasi pacaran;
e. Penggunaan teknologi untuk menyebarkan konten-konten yang
merusak reputasi korban (malicious distribution) merupakan
kekerasan berbasis cyber yang dominan terjadi pada tahun 2018.
Kekerasan ini ditujukan untuk mengintimidasi atau meneror
korban, dan sebagian besar dilakukan oleh mantan pasangan baik
mantan suami maupun pacar. Pola yang digunakan korban
diancam dengan menyebarkan foto atau video korban yang
bernuansa seksual di media sosial, jika korban menolak
berhubungan seksual dengan pelaku atau korban tidak mau
kembali berhubungan dengan pelaku. Kekerasan berbasis cyber
meningkat setiap setiap tahunnya, dan tidak sepenuhnya dikenali
oleh korban. Di sisi lain, layanan bagi korban kekerasan berbasis
cyber belum sepenuhnya terbangun dan bisa diakses korban secara
mudah, baik mekanisme pelaporan, maupun pendampingan
korban. Sementara hukum yang kerap digunakan untuk
penanganan kasus-kasus seperti ini adalah UU Pornografi dan UU
ITE, yang dalam penerapannya justru dapat mengkriminalkan

20
korban. Dalam hal ini perempuan korban mengalami
ketidaksetaraan di depan hukum, karena hukum yang tersedia
lebih berpotensi menjerat korban dan mengimpunitas pelaku
kekerasan;
f. Kekerasan di ranah publik (di tempat kerja, institusi pendidikan,
transportasi umum, lingkungan tempat tinggal, dll dan korban
tidak memiliki relasi perkawinan, kekerabatan atau relasi intim
lainnya dengan pelaku), masih didominasi oleh kekerasan seksual.
Sebagaimana tahun 2017, kekerasan seksual tertinggi adalah
pencabulan/perbuatan cabul. Tingginya angka perbuatan cabul ini
disebabkan keterbatasan KUHP dalam mengenali perkosaan,
sehingga kasus-kasus perkosaan yang dilaporkan ke Polisi yang
tidak memenuhi unsur perkosaan sebagaimana dimaksud dalam
KUHP, oleh Polisi ditempatkan sebagai perbuatan cabul, agar
proses hukumnya dapat dilanjutkan. Padahal menyamakan
perkosaan dengan perbuatan cabul berdampak pada terlanggarnya
rasa keadilan korban. Dalam RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual, perbuatan cabul ini dikategorikan dalam Pelecehan
Seksual, di mana kekerasan seksual yang dilakukan belum berupa
pemaksaan hubungan seksual, namun jika sudah terjadi
pemaksaan hubungan seksual, maka tindakan tersebut disebut
Perkosaan;
g. Berbeda dengan tahun sebelumnya, wilayah tertinggi terjadinya
kekerasan di ranah publik adalah lingkungan tempat tinggal,
dengan jumlah pelaku tertinggi adalah tetangga dan teman.
Mayoritas pelaku berusia 25 s.d 40 tahun dan korban berusia 13
s.d 18 tahun;
h. Dalam konteks perempuan dan anak perempuan dalam kondisi
khusus, dalam hal ini perempuan/anak perempuan dengan
disabilitas, perempuan/anak perempuan dengan HIV/AIDS dan
perempuan/anak perempuan minoritas seksual, serta Perempuan
Pembela HAM, kekerasan yang masih dominan dialami adalah
kekerasan seksual. Dari 89 kasus kekerasan terhadap perempuan
dengan disabilitas, 64% adalah kekerasan seksual. Perempuan
dengan disabilitas yang paling rentan menjadi korban terutama di
ranah publik, adalah perempuan dengan tuna grahita dan
intelektual. Dari laporan lembaga layanan diketahui, banyak kasus
kekerasan seksual terhadap perempuan dengan disabilitas yang
sulit diproses secara hukum, karena masih lemahnya
dukungan/kepedulian masyarakat dan minimnya pemahaman
tentang disabilitas di kalangan aparat penegak hukum/petugas

21
layanan. Seringkali kasus terhenti karena kurangnya alat bukti,
tidak adanya saksi, dan keterangan korban dianggap tidak cukup
meyakinkan. Minimnya penerjemah yang memahami bahasa
isyarat juga menjadi kendala tersendiri dalam penanganan kasus;
i. Pada ranah negara atau dengan pelaku negara, jumlah kasus
tertinggi yang dilaporkan ke Komnas Perempuan adalah kasus
kekerasan terhadap perempuan akibat pemberlakuan kebijakan
diskriminatif, kebijakan tata ruang dan eksploitasi sumber daya
alam.

Terhadap sejumlah temuan terkait kekerasan terhadap perempuan


sepanjang tahun 2018, Komnas Perempuan merekomendasikan:

1. Seluruh elemen negara (Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif) perlu


segera mengakhiri impunitas dan pembiaran atas sejumlah
persoalan kekerasan terhadap perempuan, dengan menindaklanjuti
rekomendasi-rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh mekanisme
nasional dan internasional HAM, termasuk dalam hal ini
rekomendasi dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan);
2. Pemerintah dan DPR RI perlu segera membahas dan mensahkan
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, untuk menghentikan
impunitas bagi pelaku kekerasan seksual dan membuka akses
korban atas kebenaran, keadilan, pemulihan dan jaminan atas
ketidakberulangan, termasuk dalam hal ini menyetarakan posisi
perempuan di depan hukum untuk mendapatkan perlindungan
sepenuhnya atas tindakan pelanggaran hukum yang berbasis
gender;
3. Aparat Penegak Hukum perlu mengoptimalkan penggunaan UU
PKDRT, Undang Undang Perlindungan Anak dan Undang
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dalam
penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama
kasus-kasus yang rentan menempatkan perempuan sebagai
pelanggar hukum;
4. Tokoh-Tokoh Masyarakat, Pemuka Agama dan Tokoh Adat agar
semakin meningkatkan upaya pendidikan masyarakat agar
kebiasaan, praktik dan budaya yang mendiskriminasi perempuan
dan menempatkan perempuan sebagai objek kekerasan, dapat
diminimalkan;
5. Masyarakat agar tetap fokus pada perlindungan korban yang
menjadi tanggung jawab Pemerintah dengan pelibatan korban,

22
keluarga, masyarakat,dan korporasi sehingga tidak
mereviktimisasi perempuan korban berkelanjutan.

Demikian siaran pers ini untuk menjadi informasi publik, dan agar
bersama-sama baik negara maupun masyarakat mencegah, mengurangi
kekerasan terhadap perempuan, dan mengedepankan keadilan dan
pemulihan korban.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pelecehan Seksual adalah perilaku atau tindakan yang mengganggu,
menjengkelkan dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang terhadap pihak lain, yang berkaitan langsung dengan jenis
kelamin pihak yang diganggunya dan dirasakan menurunkan martabat dan
harkat diri orang yang diganggunya.
Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari keluarga, masyarakat
maupun pemerintah. Dalam penyelenggaraan perlindungan anak yang
tercantum dalam UU No. 23 Tahun 2002 maka semua pihak mempunyai
kewajiban untuk melindungi anak dan mempertahankan hak-hak
anak. Pemberlakuan Undang-undang ini juga di sempurnakan dengan adanya
pemberian tindak pidana bagi setiap orang yang sengaja maupun tidak
sengaja melakukan tindakan yang melanggar hak anak. Dalam undang-
undang ini juga dijelaskan bahwa semua anak mendapat perlakuan
yang sama dan jaminan perlindungan yang sama pula, dalam hal ini tidak ada
diskriminasi ras, etnis, agama, suku dsb. Anak yang menderita cacat
baik fisk maupun mental juga memiliki hak yang sama dan wajib dilindungi
seperti hak memperoleh pendidikan, kesehatan, dsb.
Perlindungan wanita dalam konteks KDRT ternyata sangat penting
untuk diperhatikan, mengingat kasus seperti ini sangat banyak di Indonesia.
KDRT merupakan suatu tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kekerasan
Dalam Rumah Tangga (KDRT) jika dilihat sudut pandangnya dari pancasila
sudah sangat jelas merupakan tindakan yang tidak sesuai terutama dengan sila
ke-2, yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Beberapa uraian dari sila
ini yang sangat bertentangan dengan tindak kekerasan terutama KDRT adalah
saling mencintai sesama manusia, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, dan
tidak semena-mena terhadap orang lain.

24
B. Saran
Undang-undang ini telah dibuat dengan baik dan memperhatikan atau
peduli terhadap hak-hak anak namun pemerintah kurang mensosialisasikan
dan merealisasikan isi undang-undang ini. Pemerintah dan masyarakat kurang
berperan dalam menjalankan undang-undang ini sebab anak masih dalam
pengawasan dan pengasuhan keluarga jadi pihak lain belum menjalankan
tanggung jawab seperti yang telah tercatum diatas.
Telah kita ketahui bahwa semakin majunya perkembangan zaman,
maka semakin maju pula peradaban manusia dan semakin banyak pula
kejadian-kejadian yang tidak diinginkan yang terjadi pada setiap manusia,
diantaranya termasuk pelecehan seksual.

25
DAFTAR PUSTAKA
Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang,
Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif
Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung,
Alumni.
Asian Decent Work decade 2006-2015. Declaration on Fundamental Principles
and Rights at Work. ILO
BKKBN, 2013. Buku Suplemen Bimbingan Teknis Kesehatan Reproduksi
Pelecehan Seksual. Jakarta: ISBN.
Department of Defense United State of America, 2015. Annual Report on Sexual
Harassment and Violence at the Military Service Academies. USA:
department of Defense USA
Dharma, Willieano Satya. 2008. Pelecehan Seksual Pada Wanita Di Tempat
Kerja. Universitas Gunadarma.
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, 2011. Pedoman Pencegahan
Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Jakarta: Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi.
Kinasih, Sri Endah. 2007. Perlindungan dan Penegakan HAM terhadap
Pelecehan Seksual. Surabaya: Universitas Airlangga.
Komnas Perempuan Grup, 2014. 15 Bentuk Kekerasan Seksual, komnas
perempuan. Jakarta 8. Komnas Perempuan (2008), National Commission
on Violence against Women, 2010.
Komnas Perempuan (2010), “National Commission on Violence against Women,
2010”. 10. UNESCO, UNAIDS, UNFPA, UNICEF, WHO. 2009.
International Technical Guidance on Sexuality Education. Vol. II. Paris:
UNESCO.

26
Hadisuprapto, Paulus, (5 Oktober 1996) Masalah Perlindungan Hukum Bagi
Anak,Jakarta:PT.Gramedia Indonesia

Joni, Muhammad, (1999) Aspek Hukum Perlindungan Anak


Dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, Bandung: Citra Aditya Bakti

Sutanto, Retnowulan, (5 Oktober 1996) Makalah “Hukum Acara Peradilan


Anak”,

Wadong, Maulana Hassan, (2000) Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan


Anak, Jakarta: PT. Gramedia Indonesia, Jakarta 2000

27

Anda mungkin juga menyukai