Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama dalam perspektif sosiologis dapat dilihat dari adanya fenomena-


fenomena keagamaan yang muncul dalam masyarakat, baik dalam bentuk ritual,
perayaan maupun simbol-simbol keagamaan, sehingga agama tumbuh dan berkembang
menjadi bagian dari budaya masyarakat. Agama yang menjelma dalam bentuk budaya
inilah yang menuntut adanya dialektika internalisasi eksternalitas dan eksternalisasi
internalitas. Sehingga dalam agama muncul istilah misi keagamaan dalam bentuk
budaya.1 Berdasarkan hal tersebut, maka eksistensi agama dalam masyarakat memiliki
potensi integratif dan potensi konflik.
Secara sosiologis agama memiliki peran sebagai pemersatu (integratif) bagi
umat beragama yang sama. Fungsi integratif ini biasanya menjadi luntur atau melemah
ketika dalam kehidupan beragama melibatkan unsur-unsur keyakinan yang berbeda.
Menurut Hendropuspito agama memiliki fungsi sebagai pemupuk persaudaraan
terutama internal umat beragama. Namun ibarat sisi mata uang agama dalam realitas
sosial memiliki peran ganda antara fungsi integratif maupun fungsi dis- integratif,
tergantung konteks hubungan internal atau eksternal umat beragama2. Dalam konteks
internal umat beragama inilah agama lebih berperan sebagai pemersatu (integratif),
sekalipun juga tidak menutup kemungkinan terjadi disintegratif, terutama ketika
melibatkan perbedaan- perbedaan faham dalam suatu agama atau kepercayaan.
Islam sebagai agama kedua terbesar di dunia dan agama dengan jumlah pemeluk
tertinggi di Indonesia3, mengajarkan secara gamblang perihal kerukunan antar umat

1 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik sampai
Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), Judul asli
Sociological Theory, (New York: Mc.Graw-Hill, 2004), hal.581
2 Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta, 1984: Kanisius), hal.57-58
3
https;//id.m.wikipedia.org/wiki/Agama_menurut_jumlah_penganut. (Diunduh pada Tanggal
21 juli 2019, pukul 14.23).

1
beragama, bagaimana langkah-langkah mewujudkan harmonisasi antar umat beragama
dan bagaimana toleransi serta batasan bergaul antar umat beragama.

Berbicara tentang harmonisasi, lebih-lebih lagi harmonisasi antar umat


beragama seolah-olah sudah menjadi perbincangan yang usang, membosankan, dan
bukan sesuatu yang baru. Boleh dikatakan, setiap hari baik kalangan umum, para
akademisi, praktisi, politisi, budayawan maupun sastrawan memperbincangkannya.
Meminjam pernyataan Nurcholish Masjid dalam ‘Kerukunan Beragama’ dalam buku
Atas Nama Agama Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, apakah cukup
beralasan untuk bosan ketika akhir-akhir ini masih terlihat, terdengar dan bahkan
terasakan bahwa harmonisasi hubungan antarumat beragama, bahkan antar orang atau
kelompok dalam satu agama yang sama mencapai titik klimaks kehancuran. 4 Antar
individu atau kelompok baik interen maupun ekstern umat beragama sudah saling
mengklaim dan menuding, menghakimi atau mengkafirkan, menyalahkan dan
membenarkan, baik di dunia maya maupun di dunia nyata, di media massa maupun di
media sosial. Ujung-ujungnya mengarah pada disintegrasi, konflik kekerasan, bahkan
pertumpahan darah, walaupun agama seringkali sebagai faktor ikutan, bukan faktor
utama penyebab konflik kekerasan.

Dalam makalah ini, hendak diurai tentang bagaimana relasi harmonis antar umat
beragama yang ada di Indonesia serta bagaimana tuntunan al-Qur’an untuk menciptakan
relasi harmonis antar umat beragama? Dengan harapan makalah ini dapat memberikan
paparan tentang hal terkait.

B. Rumusan Masalah

1. Apa itu relasi harmonis antar umat beragama?


2. Bagaimana terciptanya relasi harmonis antar umat beragama?
3. Bagaimana al Quran menciptakan keharmonisan antar umat beragama?

4 Nurcholish Majid, “Kerukunan Beragama”, dalam Andito, ed., Atas Nama Agama Wacana
Agama Dalam Dialog Bebas Konflik (Bandung: Pustaka Hidayat, 1998), hal.177.

2
C. Tujuan

1. memahami cara al quran dalam menciptakan keharmonisan antar umat


beragama
2. mewujudkan keharmonisan beragama dalam bermasyarakat dan bernegara

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Secara Etimologi dan Terminologi

Relasi ditinjau dari segi bahasa, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
/re·la·si/ /rélasi/ n 1 hubungan; perhubungan; pertalian; 2 kenalan; 3 pelanggan.5 Jadi,
ditinjau dari segi bahasa dan keterkaitanya terhadap tema tulisan, maka sangatlah elok
diartikan bahwa relasi adalah hubungan.

Harmonis ditinjau dari segi bahasa , menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah /har·mo·nis/ a bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni; seia sekata;
pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat; keselarasan; keserasian.6

Sedangkan harmoni dalam bahasa Yunani: harmonia, berarti terikat secara


serasi/sesuai). Dalam bidang filsafat, harmoni adalah kerja sama antara berbagai faktor
dengan sedemikian rupa hingga faktor-faktor tersebut dapat menghasilkan suatu
kesatuan yang luhur. Pada bidang musik, sejak abad pertengahan pengertian harmoni
tidak mengikuti pengertian yang pernah ada sebelumnya, harmoni tidak lagi
menekankan pada urutan bunyi dan nada yang serasi, namun keserasian nada secara
bersamaan. Singkatnya harmoni adalah ketertiban alam dan prinsip/hukum alam
semesta.7

Dalam Wikipedia, pola harmoni adalah sebuah usaha untuk mempertemukan


berbagai pertentangan dalam masyarakat. Hal ini diterapkan pada hubungan-hubungan
sosial ekonomi untuk menunjukkan bahwa kebijaksanaan sosial ekonomi yang paling
sempurna hanya dapat tercapai dengan meningkatkan permusyawaratan antara anggota
masyarakat. Pola ini juga disebut sebagai pola integrasi.8 Jadi relasi harmonis memuat

5
https://kbbi.web.id/relasi.html. (Diunduh pada tanggal 21 juli 2019, pukul 16:13.)
6
https://kbbi.web.id/harmonis&harmoni.html. (Diunduh pada tanggal 21 juli 2018, pukul
16:15.)
7
https://id.wikipedia.org/wiki/Harmoni, (Diunduh pada tanggal 21 juli 2018, pukul 16:17.)
8 Hassan Shadily, Ensiklopedi Indonesia Volume 3. Ichtiar Baru-Van Hoeve.1984, hal.1262.

4
pengertian adanya sebuah hubungan yang serasi dan sesuai untuk menghasilkan sebuah
kesatuan.

B. Relasi Harmonis Antar Umat Beragama

Hidup bermasyarakat berarti hidup berdampingan dengan orang lain, dan hidup
berdampingan dengan orang lain memiliki konsekuensi untuk mau menerima setiap
kondisi yang terjadi di antara berbagai manusia yang ada di sekitar. Tidak menutup
kemungkinan bahwa di sekeliling kita terdapat orang yang berbeda agama dan
kepercayaannya. Maka dalam hal ini sangatlah diperlukan toleransi dan pemahaman
tentang kerukunan umat beragama. Kerukunan dalam hal ini dapat dilandasi dengan
sifat saling menghormati umat beragama, yang kemudian diharapkan muncul
komunikasi yang bersifat kemanusiaan dengan sebaik-baiknya, dan pada akhirnya dapat
pula mewujudkan integrasi dalam berbagai bidang untuk menjalin sebuah kesatuan.
Dengan demikian, kerukunan umat beragama merupakan suatu bentuk sosialisasi yang
damai dan tercipta berkat adanya sifat saling menghormati yang selanjutnya berwujud
toleransi dalam kehidupan beragama. Toleransi dapat diartikan sebagai sikap saling
pengertian dan menghargai tanpa adanya diskriminasi dalam hal apapun, khususnya
dalam masalah kehidupan beragama. Kerukunan umat beragama adalah hal yang sangat
penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup di negeri ini (Indonesia), yang
memiliki keragaman begitu banyak. Karena tidak hanya masalah adat istiadat atau seni
budaya yang begitu banyak perbedaannya, akan tetapi juga termasuk agama.
Bentuk keragaman yang ada di negeri ini memiliki dua mata pisau yang sangat
tajam, satu sisi mata pisau dapat digunakan sebagai suatu kekuatan dan di satu sisi mata
pisau yang lain dapat dimanfaatkan untuk menciptakan suatu kehancuran atau
perpecahan. Untuk dapat menjadikan keragaman menjadi sebuah kekuatan sangat
diperlukan peran serta berbagai warna dari keragaman untuk saling memahami antara
ragam yang satu dengan ragam yang lainnya. Apabila ini tidak dapat dilakukan, maka
yang akan muncul adalah sebuah kehancuran.

5
Dalam al-Quran yang menjadi sumber ajaran utama Islam, telah dijelaskan oleh
Allah terkait dengan anjuran agar dapat memanfaatkan keberagaman sebagai sebuah
kekuatan dengan langkah awal membangun kerukunan dan relasi yang harmonis yaitu
pengenalan. Hal ini secara jelas disampaikan dalam surat al-Hujurat ayat 13:

َّ ‫ٱَّللِ أ َ ۡتقَ َٰى ُك ۡم إِ َّن‬


١٣ ‫ير‬ٞ ِ‫ٱَّللَ َع ِلي ٌم َخب‬ َّ َ‫ارفُ َٰٓوا إِ َّن أَ ۡك َر َم ُك ۡم ِعند‬
َ َ‫شعُوبا َو َقبَآَٰئِ َل ِلتَع‬ ُ َّ‫َٰ َٰٓيَأَيُّ َها ٱلن‬
ُ ‫اس إِنَّا َخلَ ۡق َٰنَ ُكم ِمن ذَك َٖر َوأُنث َ َٰى َو َجعَ ۡل َٰنَ ُك ۡم‬

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.9
Ayat tersebut memberikan penekanan pada perlunya untuk saling mengenal.
Karena semakin kuat pengenalan satu pihak kepada selainnya, maka akan semakin
terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Perkenalan ini dimaksudkan untuk
meningkatkan ketaqwaan kepada Allah dengan cara saling menarik pelajaran dan
pengalaman dari pihak lain, yang dampaknya adalah tercerminnya kedamaian dan
kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan ukhrawi. Saling mengenal yang digaris bawahi
dalam ayat di atas adalah “pancing” untuk meraih manfaat dan bukan “ikan”nya. Maka
dalam hal ini yang diberikan adalah caranya dan bukan manfaatnya, karena memberi
pancing itu jauh lebih baik daripada memberi ikan.10
Namun apabila kita melihat masyarakat di negeri ini, nampaknya alat yang
diajarkan oleh al-Quran “saling mengenal” belum dimiliki oleh masing-masing pihak,
sehingga belum dapat menikmati hasilnya (kedamaian dan kesejahteraan). Dapat
dibuktikan dengan masih banyaknya perpecahan yang dilatar belakangi oleh
keberagaman yang ada di Indonesia, baik aliran keagamaan maupun perbedaan agama.
Maka untuk memanfaatkan keberagaman menjadi sebuah kekuatan besar yang tak
tertandingi, al-Quran memberikan “pancing” berupa “saling mengenal” yang

9
QS. al-Hujurat: 13
10
M. Quraish Shihab, Dia di mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena, (Jakarta:
Lentera Hati, 2011), Cet. 11, hal.155.

6
selanjutnya menuntut dari semua keberagaman yang ada untuk saling mengenal antara
pihak yang satu dengan pihak lain. Saling mempelajari dan juga saling memahami apa
yang melekat pada diri masing-masing. Dengan demikian, yang diperlukan dalam hal
ini adalah sebuah ukhuwah (persaudaraan).
Indonesia adalah kawasan yang unik. Dalam sejarah penyebaran ajaran agama
apapun hampir tidak dijumpai konflik yang sangat keras. Jika ada, sejauh yang bisa
dibaca adalah kepentingan politik di antara elitnya. Peralihan dari agama Hindu-Budha
di era akhir Majapahit dan tumbuhnya kekuasaan Islam Demak juga terjadi secara
relatif damai. Pertempuran yang terjadi hakikatnya adalah penetrasi kekuasaan kerajaan
Demak dan resistensi kerajaan Majapahit akhir dan realitasnya kemudian kekuasaan
diambil alih oleh Demak yang kemudian menjadi lokomotif bagi proses Islamisasi di
Jawa bahkan Nusantara.
Inilah uniknya Indonesia itu. Berbagai macam aliran masuk dan tumbuh tanpa
harus menimbulkan konflik yang kuat. Tumbuh suburnya gerakan Islam fundamental
ini, sedikit atau banyak, telah merisaukan berbagai organisasi keagamaan dominan.
Sejumlah kekhawatiran tersebut sesungguhnya dipicu oleh gerakan syariahisasi yang
diusung oleh gerakan Islam fundamental, yang ternyata memiliki keinginan menerapkan
Islam berdasar atas pola Islam Timur Tengah, khususnya Islam Wahabi. Aliran
puritanistik seperti ini dikhawatirkan akan merusak Islam yang sudah mapan dengan
pola Islam lokalitas atau Islam hasil adaptasi dengan berbagai elemen lokal dalam corak
budaya yang khas.
Islam yang sesungguhnya menjadi ciri khas Islam Indonesia adalah coraknya
yang ramah terhadap budaya lokal. Bukan ajaran ritual yang diadopsi ke dalam Islam,
namun aspek budaya yang elementer. Islam yang mengusung kolaborasi antar
penggolongan sosial budaya sehingga menjadi Islam yang khas. Bukan Islam dengan
pola Timur Tengah yang kering, tetapi juga bukan Islam lokal yang mencampur ritual
lokal dengan Islam, tetapi adalah Islam yang berciri Islam Indonesia yang unik. Islam
dengan nuansa relasinya dengan dunia sosial, budaya dan politik yang damai inilah
yang seharusnya menjadi mainstream bagi pengembangan Islam yang damai dan
menyumbang peradaban dunia.

7
Sebagai bangsa yang multi etnis, agama dan bahasa, masyarakat Indonesia
sesungguhnya sudah kaya pengalaman. Semenjak peralihan damai dari agama lokal ke
agama-agama dunia, masyarakat Indonesia sudah sangat kaya pengalaman hidup
bersama. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam banyak hal, hampir tidak membuat
masyarakat Indonesia lupa akan kenyataan dirinya di tengah pluralitas masyarakatnya.
Modal historis ini telah menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang besar dalam
dinamika relasi antar satu suku dengan lainnya, dan antara satu agama dengan lainnya.
Melalui berbagai forum yang digelar dalam rangka untuk menjaga relasi
harmonis antara elemen umat beragama, maka secara realistis akan dapat membentuk
kerukunan antar umat beragama. Kenyataan secara empiris menunjukkan bahwa cita-
cita untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang memberikan semangat dan dapat
menjadi model bagi kerukunan umat beragama tentunya bukan hanya pepesan kosong.
Hal ini sudah membumi. Oleh karena itu, koeksistensi harmonis yang telah terajut di
dalam kehidupan masyarakat tentunya harus terus dipelihara. Jangan sampai keinginan
sekelompok orang yang mengatas namakan agama atau lainnya dapat mengoyak
kerukunan yang telah terbina karena koeksistensi harmonis memang telah menjadi
bagian penting di dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.
Masyarakat Indonesia sudah belajar banyak tentang perbedaan atau pluralitas.
Pelajaran itu tentu saja diambil dari realitas empiris masyarakat Indonesia yang memang
terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras dan antar golongan. Masing-masing
memiliki ciri kehidupannya sendiri-sendiri. Agamanya juga bervariasi, sukunya
bervariasi, etnisnya bervariasi dan bahkan mereka bergolong-golongan dalam
variasinya. Pluralitas dan multikulturalitas adalah sunnatullah yang indah adanya. Bisa
diandaikan jika suatu masyarakat bercorak monokultur maka tentunya tidak akan
terdapat keindahan dan warna-warni kehidupan.11
Di dalam pertemuan antar agama di Roma, ternyata Indonesia dianggap sebagai
model relasi antar umat beragama yang sangat baik. Di dalam laporan khususnya,
Jakarta Post menyebutkan bahwa perdamaian di Indonesia adalah model relasi ko-

11
Nur Syam, Jurnal MEMBANGUN KEBERSAMAAN MENUAI KERUKUNAN: Relasi Umat
Beragama di Era Keterbukaan dan Demokratisasi, hal.4-6.

8
eksistensi perdamian, meskipun hal tersebut adalah tantangan. Di dalam pertemuan oleh
The Italian Ministry and the Rome-based Sants’ Edigio Community hosted a high-level
Conference on Unity and Diversity, tanggal 4 Maret 2009, dinyatakan bahwa baik dunia
Barat maupun secara khusus kementerian Luar Negeri Italia bahwa Indonesia adalah
model dan sekaligus contoh yang baik tentang eksperimen sebuah masyarakat yang
pluralistik dimana masyarakat yang berbeda dalam etnis dan agama membagi sebuah
ruang untuk hidup dan menjadi tempat di mana penghormatan terhadap perbedaan dapat
tumbuh kembang secara memadai. Bahkan juga dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri
Italia, Franco Frattini, Indonesia sebagai jembatan yang dapat menghubungkan antara
Barat dan Islam dalam kerangka mewujudkan perdamaian dunia.12
Pada tahun 2016, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Balitbang Diklat Kemenag
menerbitkan buku Relasi Antar Umat Beragama di Berbagai Daerah. Salah satu tulisan
didalamnya adalah tentang relasi antara Muslim dengan umat Khonghucu di Kota
Tangerang. Relasi ini terjadi secara unik, di mana sebagai minoritas, masyarakat
Tionghoa yang dominan beragama Khonghucu di Kawasan Benteng menolak keras
gagasan Cina Town dan terma 'Cina'. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka
menginginkan inklusifitas dalam berinteraksi sosial yang dicirikan dengan akulturasi
budaya. Dengan kesadaran membangun interaksi yang lebih inklusif inilah, umat
Khonghucu banyak berharap bahwa suasana kondusif dan harmonis tetap terjaga dalam
relasi antarumat Muslim dengan Khonghucu di Tangerang.
Pada tahun 2016 juga, dalam sebuah wawancara, Kepala Balitbang Diklat
Kemenag H Abdurrahman Mas’ud mengungkapkan bahwa bangsa Indonesia adalah
bangsa yang majemuk, baik dilihat dari sisi etnis, bahasa, budaya dan agama.
Kemajemukan yang dimiliki bangsa Indonesia di satu sisi menjadikan bangsa Indonesia
sebagai bangsa yang rawan konflik (fragile nation). Fakta yang tidak bisa dipungkiri
hingga sekarang masih sering ditemukan persoalan-persoalan konflik bernuansa etnik
maupun agama, meski dalam skala kecil. Di sisi lain, kemajemukan itu juga menjadi
pendorong lahirnya saling pengertian dan kerjasama dalam bermasyarakat dan

12
The Jakarta Post, “RI peaceful coexistence a model, challenge”, Tuesday, March 10, 2009.

9
bernegara, sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok keagamaan di berbagai
daerah yang menjadi sasaran penelitian Puslitbang Kehidupan Kegamaan Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama, pada tahun 2015.13
Hasil Survei Nasional Kerukunan Umat Beragama yang dilakukan Badan
Penelitian Pengembangan dan Pendidikan Pelatihan Kementrian Agama menunjukkan
Indeks Kerukunan Umat Beragama di Indonesia pada 2017 berada di angka 72,27 yang
menunjukkan kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia adalah baik. Indeks
tersebut diperoleh dari hasil pengukuran 3 indikator, yaitu toleransi (70,91), kesetaraan
(72,38) dan kerjasama (73,51).14
Hasil dari berbagai penelitian ini tidak lantas membuat kita tenang dan senang
karena sejatinya perbedaan yang ada masih saja berpotensi memicu gesekan-gesekan
kecil, maka upaya untuk mengantisipasi dan upaya menjalin dialog dan integrasi antar
umat beragama dalam berbagai bidang harus terus dilakukan seperti adanya Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dll.
Sebagaimana al-Qur’an sudah memberikan petujuk yang jelas terkait adanya
perbedaan dan dari perbedaan itu hendaklah diambil hikmah positifnya untuk
menciptakan sebuah kesatuan dan keharmonisan.
Dalam memantapkan persaudaraan dan kerukunan, pertama kali al-Quran
mengarisbawahi bahwa perbedaan adalah hukum yang berlaku dalam kehidupan, dan
merupakan kehendak Ilahi untuk kelestarian hidup dan mencapai tujuan kehidupan
makhluk di pentas bumi.
Hal ini dijelaskan dalam al-Quran surat al-Maidah ayat 48 sebagai berikut:15

‫ٱح ُكم بَ ۡينَ ُهم بِ َما َٰٓ أَنزَ َل ٱ ََّّللُ َو ََل تَتَّبِعۡ أ َ ۡه َوآَٰ َءه ُۡم‬ ِ َ ‫صدِقا ِل َما بَ ۡينَ يَدَ ۡي ِه ِمنَ ۡٱل ِك َٰت‬
ۡ َ‫ب َو ُم َه ۡي ِمنًا َعلَ ۡي ِه ف‬ ِ ‫ب بِ ۡٱل َح‬
َ ‫ق ُم‬ َ َ ‫َوأَنزَ ۡلنَا َٰٓ إِلَ ۡيكَ ۡٱل ِك َٰت‬
‫ٱَّللُ لَ َج َعلَ ُك ۡم أ ُ َّمة َٰ َو ِحدَة َو َٰلَ ِكن ِليَ ۡبلُ َو ُك ۡم فِي َما َٰٓ َءات ََٰى ُك ۡم‬ َ ‫ق ِل ُك ٖل َج َع ۡلنَا ِمن ُك ۡم ِش ۡر َعة َو ِم ۡن َهاجا َولَ ۡو‬
َّ ‫شا َٰٓ َء‬ ِ ‫َع َّما َجا َٰٓ َءكَ ِمنَ ۡٱل َح‬
٤٨ َ‫ٱَّللِ َم ۡر ِجعُ ُك ۡم َج ِميعا فَيُن َِبئ ُ ُكم ِب َما ُكنت ُ ۡم فِي ِه ت َ ۡختَ ِلفُون‬ ِ ‫ٱست َ ِبقُوا ۡٱلخ َۡي َٰ َر‬
َّ ‫ت ِإلَى‬ ۡ َ‫ف‬

13
http://www.nu.or.id/post/read/98855/relasi-antarumat-beragama-terbangun-oleh-kearifan-
lokal, (Diunduh pada tanggal 21 juli 2019, pukul 19:00.)
14
https://Antaranews.com. (Diunduh pada tanggal 21 juli 2019, pukul 19:39.).
15 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat

(Bandung: Mizan, 2007), Cet. 1, hal. 647.

10
“dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka
menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,”16
Dalam surat al-Hajj (22): 67 juga dijelaskan:

ُ ‫َاس ُكوهُ َف ََل يُ َٰنَ ِز‬


ُ ‫عنَّكَ فِي ۡٱۡلَمۡ ِر َوٱ ۡد‬
٦٧ ‫ع ِإلَ َٰى َر ِبكَ ِإنَّكَ لَعَلَ َٰى هُدى ُّم ۡست َ ِق ٖيم‬ َ ‫ِل ُك ِل أ ُ َّم ٖة َجعَ ۡلنَا َمن‬
ِ ‫س ًكا ه ُۡم ن‬
“bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, Maka
janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari'at) ini dan serulah
kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang
lurus.”17
Ayat di atas menyampaikan pesan bahwa sikap toleran adalah sikap ideal yang
harus digunakan dalam menyikapi perbedaan, sedangkan tindakan mendebat dan
memperuncing perbedaan tradisi merupakan tindakan yang keliru. Merupakan satu
bagian penting dari reformasi Islam adalah kesadaran bahwa toleransi bukanlah gagasan
Barat, melainkan konsep universal al-Quran.18 Maka dalam hal ini, seorang muslim
dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan
pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak ilahi,
dan dalam hal ini memerlukan sikap yang disebut toleran.
Menurut catatan sejarah, pada saat agama Islam masuk ke jazirah Arab,
masyarakat Arab saat itu sudah menganut berbagai agama, baik agama asli (agama
16
Q.S. Al-Maidah : 48
17
Q.S. Al-Hajj : 67
18 Sultan Abdulhameed, Al-Quran untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk Perubahan Diri

diterjemahkan dari The Quran and the Life of Excellence dengan penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman,
2012), hal. 403-404.

11
tradisional Arab), maupun agama yang berasal dari pengaruh wilayah lain (seperti
Yahudi dan Nasrani). Agama asli Arab merupakan suatu kepercayaan gabungan
antara kultus nenek moyang, totemisme, fetisisme, politheisme-animisme, agama
Sabi’un dan Majusi. Kepercayaan politeis merupakan agama mayoritas orang
Mekkah, yang pernah dijumpai oleh Nabi Muhammad.19
Oleh karena itu, menjadi suatu hal yang wajar, jika Nabi Muhammad saw.
sebelum mendapatkan wahyu dari Allah yang berupa ajaran Islam telah lebih
dahulu menjalin hubungan dengan para penganut agama-agama tersebut. Interaksi ini
sudah dimulai sejak masa mudanya dan berlangsung sampai akhir masa hidupnya.
Tidak cukup dalam ranah kultural, interaksi ini juga masuk ke ranah agama dan
politik khususnya setelah Muhammad diangkat menjadi rasul yang kemudian hijrah ke
Madinah. Maksudnya, Interaksi yang terjadi antara Islam dan agama semitik yang lain
tidak hanya terjadi pada ranah teologis dalam kitab suci saja, tetapi juga dalam ranah
politik kebangsaan. Dalam wilayah politik ini, Nabi Muhammad berperan sebagai
seorang kepala negara. Dalam rangka memperkukuh Madinah sebagai suatu
pemerintahan politis, Nabi Muhammad saw membuat beberapa kebijakan. Pertama,
Nabi mendirikan mesjid. Mesjid ini dipergunakan sebagai tempat ibadah, pusat
kegiatan dakwah, pemerintahan, dan tempat musyawarah. Kedua, Nabi
mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Ketiga, membuat Piagam
Madinah untuk mempersatukan berbagai suku, etnis, dan agama yang ada di Madinah
demi menjaga keharmonisan, kerukunan, serta menjaga keamanan bersama dari
serangan musuh.
Teladan persaudaraan Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad saw.
pada waktu berhijrah dari Makkah ke Yastrib (Madinah) adalah menjalin persaudaraan
antar berbagai unsur anggota masyarakat yang terutama golongan Muhajirin dan Anshar
serta beberapa golongan yang ada di sana.20 Nabi Muhammad tidak membeda-bedakan

19 Syafiq A. Mughni, “Masyarakat Pra Islam” dalam Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedi
Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar baru Van Houve, 2002), hal. 27-35.
20 Nurcholish Majid, Pinti-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. V, hal.238.

12
suku, etnis, dan agama mereka masing-masing. Hal ini selaras dengan tuntunan dalam
Firman Allah surah al-Mumtahanah ayat 8-9 sebagai berikut :

َّ ‫ط َٰٓوا ِإ َل ۡي ِه ۡم ِإ َّن‬
ُّ‫ٱَّللَ ي ُِحب‬ ِ ‫ٱَّللُ َع ِن ٱ َّلذِينَ لَ ۡم يُ َٰ َق ِتلُو ُك ۡم ِفي ٱلد‬
ُ ‫ِين َو َل ۡم ي ُۡخ ِر ُجو ُكم ِمن ِد َٰ َي ِر ُك ۡم أَن تَ َب ُّروه ُۡم َوت ُ ۡق ِس‬ َّ ‫ََّل َي ۡن َه َٰى ُك ُم‬
‫اج ُك ۡم أَن ت ََولَّ ۡوه ُۡم َو َمن‬ِ ‫ظ َه ُروا َعلَ َٰ َٰٓى إِ ۡخ َر‬َ َٰ ‫ِين َوأ َ ۡخ َر ُجو ُكم ِمن ِد َٰيَ ِر ُك ۡم َو‬ َٰ
ِ ‫ٱَّللُ َع ِن ٱلَّذِينَ قَتَلُو ُك ۡم فِي ٱلد‬
َّ ‫ إِنَّ َما يَ ۡن َه َٰى ُك ُم‬٨ َ‫ِطين‬ ِ ‫ۡٱل ُم ۡقس‬
٩ َ‫ظ ِل ُمون‬ َّ َٰ ‫يَت ََولَّ ُه ۡم فَأُو َٰ َٰٓلَئِكَ ُه ُم ٱل‬

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (8)
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang
yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu
(orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan,
maka mereka itulah orang-orang yang zalim (9).”21
Untuk mewujudkan persaudaraan antar pemeluk agama, Islam memperkenalkan
ajaran yang dalam hal ini dijelaskan dalam surat al-Kafirun (109): 6 dan as-Syura (42):
15
‫ٱَّللُ َربُّنَا‬ ٖ َ ‫ٱَّللُ ِمن ِك َٰت‬
َّ ‫ب َوأ ُ ِم ۡرتُ ِۡل َ ۡع ِد َل بَ ۡينَ ُك ُم‬ َّ ‫ٱست َ ِق ۡم َك َما َٰٓ أ ُ ِم ۡرتَ َو ََل تَت َّ ِبعۡ أ َ ۡه َوآَٰ َءه ُۡم َوقُ ۡل َءا َمنتُ ِب َما َٰٓ أَنزَ َل‬ ۡ ‫ع َو‬ ُ ‫فَ ِل َٰذَلِكَ فَٱ ۡد‬
١٥ ‫ير‬
ُ ‫ص‬ ِ ‫ٱَّللُ َي ۡج َم ُع َب ۡينَنَا َو ِإلَ ۡي ِه ۡٱل َم‬
َّ ‫َو َربُّ ُك ۡم لَنَا َٰٓ أ َ ۡع َٰ َملُنَا َولَ ُك ۡم أ َ ۡع َٰ َملُ ُك ۡم ََل ُح َّجةَ َب ۡينَنَا َو َب ۡينَ ُك ُم‬

“Maka karena itu serulah (mereka kepada agama ini) dan tetaplah sebagai mana
diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu mereka dan Katakanlah:
"Aku beriman kepada semua kitab yang diturunkan Allah dan aku diperintahkan supaya
Berlaku adil diantara kamu. Allah-lah Tuhan Kami dan Tuhan kamu. bagi Kami amal-
amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan
kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)".22
Al-Quran dalam hal ini juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik
temu antar pemeluk agama, dan apabila tidak ditemukan persamaannya hendaknya

21
Q.S. Al-Mumtahanah : 8-9
22
Q.S. as-Syura : 15

13
masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu mencari
kesalahannya.23 Ini dijelaskan dalam al-Quran surat ali imran (3) ayat 64:

‫ضنَا َبعۡ ضًا أَ ۡر َبابا ِمن‬ َّ ‫س َوآَٰ ِۢ ِء َب ۡي َننَا َو َب ۡينَ ُك ۡم أ َ ََّل نَعۡ بُدَ ِإ ََّل‬
ُ ۡ‫ٱَّللَ َو ََل نُ ۡش ِركَ ِبِۦه ش َۡيا َو ََل َيت َّ ِخذَ َبع‬ ِ َ ‫قُ ۡل َٰ ََٰٓيأ َ ۡه َل ۡٱل ِك َٰت‬
َ ‫ب ت َ َعالَ ۡوا ِإلَ َٰى َك ِل َم ٖة‬
٦٤ َ‫ٱش َهد ُوا بِأَنَّا ُم ۡس ِل ُمون‬ ۡ ‫ٱَّللِ فَإِن ت ََولَّ ۡوا فَقُولُوا‬ َّ ‫ُون‬ ِ ‫د‬

“Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan)
yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali
Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian
kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling
Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)".24
Jika ditelaah secara sosiologis, pada dasarnya agama membawa misi sebagai
pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, baik secara internal umat beragama
maupun secara eksternal dengan pemeluk agama lain. Alih-alih sebagai pemersatu
sosial, tidak jarang justru agama sebagai unsur konflik. Hal ini disebabkan oleh adanya
truth claim pada tiap-tiap pemeluknya, di samping pola pemahaman teks keagamaan
yang tekstualis. Al-Qur’an dan hadis sebagai wahyu Allah SWT, dalam pandangan dan
keyakinan umat Islam adalah sumber kebenaran mutlak, namun itu tidak akan tampak
manakala tidak dipahami secara tepat. Setiap agama membawa misi sebagai
pembawa kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar
sesama makhluk Tuhan. Dalam tataran historis, misi agama tidak selalu artikulatif.
Selain sebagai alat pemersatu sosial, agama pun menjadi sumber konflik. Dua unsur itu
menyatu dalam agama. Mungkin pernyataan ini agak berlebihan. Tetapi, jika melihat
perjalanan sejarah dan realitas di muka bumi ini, pernyataan itu menemukan
landasan historisnya sampai sekarang. Persoalannya, bagaimana realitas itu bisa
memicu para pemeluk agama untuk merefleksikan kembali ekspresi keberagamaannya
yang sudah sedemikian mentradisi dalam hidup dan kehidupannya. Berkaitan dengan

23
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2007), Cet. 1, hal. 648-654.
24
Q.S. Ali Imran : 64

14
itu, salah satu yang menjadi problem paling besar dalam kehidupan beragama dewasa
ini, yang ditandai oleh kenyataan pluralisme, adalah bagaimana teologi suatu agama
mendefinisikan diri di tengah-tengah agama lain, dengan semakin berkembangnya
pemahaman mengenai pluralisme agama, berkembanglah suatu paham teologia
religionum. Paham ini menekankan semakin pentingnya dewasa ini untuk berteologi
dalam konteks agama-agama. Atau, bias dikatakan bahwa memahami pluralitas
agama dan budaya merupakan bagian dari memahami agama, sebab memahami
agama pada dasarnya juga memahami kebudayaan masyarakat secara menyeluruh.
Langkah bijaksana bagi setiap umat adalah belajar dari kenyataan sejarah. Yaitu sejarah
yang mendorong terwujudnya masyarakat pluralis, toleran dan integratif. Agenda yang
perlu diluruskan oleh Islam Indonesia adalah mengubah pluralisme sebagai ideologi
konkret. Untuk mewujudkan cita-cita ini, dituntut peran negara yang positif dalam
memperlakukan agama. Agama bukan hanya sebagai intrumen mobilisasi politik, tetapi
yang lebih penting adalah memperlakukannya sebagai sumber etika dalam interaksi,
baik di antara sesama penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat.25

25
Salamah Noorhidayati, Relasi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Hadis, Jurnal KALAM
Volume 10, No. 2, Desember 2016, hal.512-513.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Usaha dialog dan kerjasama antarumat beragama adalah hasil pemahaman


terhadap realitas sosial. Dialog harus diakui sebagai suatu cara yang paling penting
untuk membudayakan hidup rukun dan harmonis di antara seluruh umat beragama yang
sekarang berada di era global dan plural. Agama dapat dihayati melalui semangat dialog
vertikal (antara individu dengan Tuhannya) dan dialog horizontal (antara sesama
manusia). Dialog vertikal akan membuahkan kehidupan yang suci, indah dan jauh dari
kesengsaraan. Sedangkan dialog horizontal akan menciptakan ketertiban, keserasian,
kedamaian, keharmonisan dan sebagainya.

Membudayakan pluralisme agama bukan sesuatu yang mudah, tetapi bukan juga
sesuatu yang mustahil. Sudah sepatutnya umat beragama saling bersikap menghargai
secara teologis. Hal itu bertujuan untuk mewujudkan adanya sikap yang inklusif dan
moderat antar umat beragama, dimana secara lebih jauh dapat menghindarkan dari
lahirnya konflik-konflik atas nama agama.

16
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim
Abdulhameed, Sultan, Al-Quran untuk Hidupmu: Menyimak Ayat Suci untuk Perubahan
Diri diterjemahkan dari The Quran and the Life of Excellence dengan
penerjemah Aisyah (Jakarta: Zaman, 2012)
Banawiratma, J.B., Bahir, Zaenal Abidin, Etc., Dialog Antar Umat Beragama. Gagasan
dan Praktik di Indonesia, (Bandung: Mizan, 2010)
Hendropuspito, Sosiologi Agama, (Yogyakarta, 1984: Kanisius)
Http://www.nu.or.id/
Https;//id.m.wikipedia.org/
Https://Antaranews.com/
Https://kbbi.web.id/
Majid, Nurcholish, “Kerukunan Beragama”, dalam Andito, ed., Atas Nama Agama
Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik (Bandung: Pustaka Hidayat, 1998)
Majid, Nurcholish, dkk., Fiqih Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif- pluralis
(Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina Kerjasama dengan The Asia Foundation,
2004)
Majid, Nurcholish, Pinti-pintu Menuju Tuhan (Jakarta: Paramadina, 1999), cet. V
Mughni, Syafiq A., “Masyarakat Pra Islam” dalam Taufik Abdullah (ed),
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar baru Van Houve, 2002)
Noorhidayati, Salamah, Relasi Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Hadis, Jurnal
KALAM Volume 10, No. 2, Desember 2016
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi dari Teori Sosiologi Klasik
sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern, (Yogyakarta: Kreasi
Wacana, 2010), Judul asli Sociological Theory, (New York: Mc.Graw-Hill,
2004)
Shadily, Hassan, Ensiklopedi Indonesia Volume 3. (Ichtiar Baru-Van Hoeve.1984)

17
Shihab, M. Quraish, Dia di mana-mana “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena,
(Jakarta: Lentera Hati, 2011), Cet. 11
Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Quran: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 2007), Cet. 1
Syam, Nur, Jurnal MEMBANGUN KEBERSAMAAN MENUAI KERUKUNAN: Relasi
Umat Beragama di Era Keterbukaan dan Demokratisasi.
The Jakarta Post, “RI peaceful coexistence a model, challenge”, Tuesday, March 10,
2009.

18

Anda mungkin juga menyukai