Anda di halaman 1dari 26

2.

1 Perdarahan Postpartum

2.1.1 Pengertian Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum (PPP) didefinisikan sebagai kehilangan 500 ml atau lebih

darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah seksio sesaria (Leveno,

2009; WHO, 2012).

2.1.2 Etiologi Perdarahan Postpartum

Perdarahan postpartum bisa disebabkan karena :

1) Atonia Uteri

Atonia uteri adalah ketidakmampuan uterus khususnya miometrium untuk berkontraksi

setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi

serat-serat miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai

darah pada tempat perlengketan plasenta (Wiknjosastro, 2006).

Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan perdarahan

yang cepat dan parah serta syok


9

hipovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan karena

persalinan lama atau persalinan yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu,

obat-obatan seperti obat anti-inflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik,

dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab lain adalah situs

implantasi plasenta di segmen bawah rahim, korioamnionitis, endomiometritis, septikemia,

hipoksia pada solusio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif (Rueda et al., 2013).

Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP, hingga sekitar 70% kasus. Atonia

dapat terjadi setelah persalinan vaginal, persalinan operatif ataupun persalinan abdominal.

Penelitian sejauh ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih tinggi pada persalinan

abdominal dibandingkan dengan persalinan vaginal (Edhi, 2013).

2) Laserasi jalan lahir

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan

persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir

dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum

lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma

forsep atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
10

Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu (Rohani, Saswita dan Marisah,

2011):

a. Derajat satu

Robekan mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.

b. Derajat dua

Robekan mengenai mukosa vagina, kulit, dan otot perineum.

c. Derajat tiga

Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum, dan otot sfingter ani

eksternal.

d. Derajat empat

Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum, otot sfingter ani

eksternal, dan mukosa rektum.

3) Retensio plasenta

Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah

bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta

sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Retensio plasenta merupakan etiologi tersering kedua

dari perdarahan postpartum (20% - 30% kasus). Kejadian ini harus didiagnosis secara dini

karena retensio plasenta sering dikaitkan dengan atonia uteri untuk diagnosis utama

sehingga dapat membuat kesalahan diagnosis. Pada retensio


11

plasenta, resiko untuk mengalami PPP 6 kali lipat pada persalinan normal (Ramadhani,

2011).

Terdapat jenis retensio plasenta antara lain (Saifuddin, 2002) :

a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga

menyebabkan mekanisme separasi fisiologis.

b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian

lapisan miometrium.

c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa

dinding uterus.

d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus serosa dinding

uterus.

e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh

konstriksi ostium uteri.

4) Koagulopati

Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan pada pembekuan darah. Penyebab

tersering PPP adalah atonia uteri, yang disusul dengan tertinggalnya sebagian plasenta.

Namun, gangguan pembekuan darah dapat pula menyebabkan PPP. Hal ini disebabkan

karena defisiensi faktor pembekuan dan penghancuran fibrin yang berlebihan. Gejala-gejala

kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat. Kelainan

pembekuan darah dapat berupa hipofibrinogenemia,


12

trombositopenia, Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP), HELLP syndrome

(hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count), Disseminated Intravaskuler

Coagulation (DIC), dan Dilutional coagulopathy (Wiknjosastro, 2006; Prawirohardjo,

2010).

Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa kondisi kehamilan lain seperti

solusio plasenta, preeklampsia, septikemia dan sepsis intrauteri, kematian janin lama,

emboli air ketuban, transfusi darah inkompatibel, aborsi dengan NaCl hipertonik dan

gangguan koagulasi yang sudah diderita sebelumnya. Penyebab yang potensial

menimbulkan gangguan koagulasi sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga persiapan

untuk mencegah terjadinya PPP dapat dilakukan sebelumnya (Anderson, 2008).

2.1.3 Klasifikasi Perdarahan Postpartum

Klasifikasi klinis perdarahan postpartum yaitu (Manuaba, 2008) :

1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang terjadi dalam 24 jam

pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,

retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.

2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang terjadi setelah 24 jam

pertama kelahiran. Perdarahan postpartum


13

sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta

yang tertinggal.

2.1.4 Faktor Risiko

Faktor risiko PPP dapat ada saat sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan saat persalinan.

Faktor risiko sebelum kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, dan riwayat perdarahan

postpartum. Faktor risiko selama kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, riwayat

perdarahan postpartum, kehamilan ganda, plasenta previa, preeklampsia, dan penggunaan

antibiotik. Sedangkan untuk faktor risiko saat persalinan meliputi plasenta previa anterior,

plasenta previa mayor, peningkatan suhu tubuh >37⁰, korioamnionitis, dan retensio plasenta

(Briley et al., 2014).

Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya PPP. Pada usia lebih tua

jumlah perdarahan lebih besar pada persalinan sesar dibanding persalinan vaginal. Secara

konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil kembar memiliki 3-4 kali

kemungkinan untuk mengalami PPP (Anderson, 2008).

Perdarahan postpartum juga berhubungan dengan obesitas. Risiko perdarahan akan

meningkat dengan meningkatnya indeks massa tubuh. Pada wanita dengan indeks massa

tubuh lebih dari 40 memiliki resiko sebesar 5,2% dengan persalinan normal (Blomberg,

2011).
14

2.1.5 Gejala Klinik Perdarahan Postpartum

Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil, derajat

hipervolemia-terinduksi kehamilan, dan derajat anemia saat persalinan. Gambaran PPP

yang dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi dan tekanan darah untuk mengalami

perubahan besar sampai terjadi kehilangan darah sangat banyak. Kehilangan banyak darah

tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut

nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2006; Cunningham,

2005).

Gambaran klinis pada hipovolemia dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 1. Gambaran klinis perdarahan obstetri

Volume darah yang


Tekanan darah Tanda danDerajat syok
hilang (sistolik) gejala
500-1000 mLNormal Tidak ditemukan -
(<15-20%)

1000-1500 mL80-100 mmHg Takikardi (<100Ringan


(20-25%) kali/menit)
Berkeringat Lemah

1500-2000 mL70-80 mmHg Takikardi (100-Sedang


(25-35%) 120 kali/menit)
Oliguria Gelisah

2000-3000 mL50-70 mmHg Takikardi (>120Berat


(35-50%) kali/menit)
Anuria
Sumber : B-Lynch (2006)

2.1.6 Diagnosis Perdarahan Postpartum

Diagnosis perdarahan postpartum dapat digolongkan berdasarkan tabel berikut ini :


15

Tabel 2. Diagnosis Perdarahan Postpartum

No. Gejala dan tanda yangGejala dan tanda yangDiagnosis


selalu ada kadang-kadang ada kemungkinan

1. - Uterus tidak berkontraksi dan- Syok - Atonia Uteri


lembek
-Perdarahan segera setelah anak
lahir (Perdarahan Pascapersalinan
Primer atau P3)

2. - Perdarahan segera (P3) - Pucat -Robekan jalan


- Darah segar yang mengalir segera
- Lemah lahir
setelah bayi lahir (P3) - Menggigil
- Uterus kontraksi baik
- Plasenta lengkap

3. - Plasenta belum lahir setelah 30-Tali pusat putus akibattraksi-Retensio


menit berlebihan Plasenta
- Perdarahan segera (P3) -Inversio uteri akibat tarikan
- Uterus kontraksi baik -Perdarahan lanjutan

4. - Plasenta atau sebagian


- Uterus berkontraksi tetapi
-Tertinggalnya sebagian
selaput tidak lengkap tinggi fundus tidakplasenta
- Perdarahan segera (P3) berkurang

5. - Uterus tidak teraba - Syok neurogenik - Inversio uteri


- Lumen vagina terisi massa - Pucat dan limbung
-Tampak tali pusat (jika
plasenta belum lahir)
- Perdarahan segera (P3)
- Nyeri sedikit atau berat

6. - Sub-involusi uterus - Anemia -Perdarahan


- Nyeri tekan perut bawah - Demam terlambat
- Perdarahan lebih dari 24 -Endometritis atau sisa
jam setelah persalinan. plasenta (terinfeksi
Perdarahan sekunder atau P2S. atau tidak)
- Perdarahan bervariasi
(ringan atau berat, terus menerus
atau tidak teratur) dan berbau
(jika disertai infeksi)

7. -Perdarahan segera (P3)


- Syok -Robekan dinding
(Perdarahan intraabdominal dan
- Nyeri tekan perut uterus (ruptura uteri)
atau vaginum) -Denyut nadi ibu cepat
- Nyeri perut berat

Sumber : Saifuddin (2002)


16

2.1.7 Penatalaksanaan

Penanganan pasien dengan PPP memiliki dua komponen utama yaitu resusitasi dan

pengelolaan perdarahan obstetri yang mungkin disertai syok hipovolemik dan identifikasi

serta pengelolaan penyebab dari perdarahan. Keberhasilan pengelolaan perdarahan

postpartum mengharuskan kedua komponen secara simultan dan sistematis ditangani (Edhi,

2013).

Penggunaan uterotonika (oksitosin saja sebagai pilihan pertama) memainkan peran sentral

dalam penatalaksanaan perdarahan postpartum. Pijat rahim disarankan segera setelah

diagnosis dan resusitasi cairan kristaloid isotonik juga dianjurkan. Penggunaan asam

traneksamat disarankan pada kasus perdarahan yang sulit diatasi atau perdarahan tetap

terkait trauma. Jika terdapat perdarahan yang terus- menerus dan sumber perdarahan

diketahui, embolisasi arteri uterus harus dipertimbangkan. Jika kala tiga berlangsung lebih

dari 30 menit, peregangan tali pusat terkendali dan pemberian oksitosin (10 IU) IV/IM dapat

digunakan untuk menangani retensio plasenta. Jika perdarahan berlanjut, meskipun

penanganan dengan uterotonika dan intervensi konservatif lainnya telah dilakukan,

intervensi bedah harus dilakukan tanpa penundaan lebih lanjut (WHO, 2012).

Mengenai penanganan perdarahan post partum berdasarkan penyebab adalah sebagai

berikut (Wuryanti, 2010) :


17

Pasien Dengan Perdarahan Banyak Setelah Melahirkan

Periksa darah lengkap,


golongan
darah dan cross test,periksa Periksa darah lengkap,
faktor golongan darah dan
koagulasi. cross test,periksa
Predisposisi : faktor
- atonia uteri koagulasi.
- retensio plasenta
- trauma jalan lahir
- riwayat perdarahan

Perhatikan vagina dan serviks apakah ada trauma


dan perdarahan evaluasi adanya atonia uteri.
Perhatikan kelengkapan plasenta, eksplorasi uterus
bila diperlukan.

Atonia uteri Laserasi Terdapat kelainan


koagulasi

Kompresi
manual
bimanual Pada
Oksitosin
kuretase
Eksplorasi vagina, uteri
oksitosin
manual vulva

Perdarahan tetap
Perbaikan Histerektomi
berlangsung
laserasi

Kompresi uterus Plasma beku


segar,
Evaluasi perdarahan
transfusi
Kompresi aorta
trombosit

Perdarahan banyak Perdarahan sedikit

Infus vasogensia
Embolisasi, angiografi
Perdarahan teratasi

Ligasi arteri iliaka Tetap perdarahan


interna bilateral observasi

Gambar 1. Skema penatalaksanaan perdarahan postpartum


18

2.1.8 Pencegahan

Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan penyelenggaraan

pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal

dan melahirkan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai

risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah PPP (Prawirohardjo,

2010).

Pencegahan PPP dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala III. Manajemen aktif kala

III adalah kombinasi dari pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir, peregangan tali

pusat terkendali, dan melahirkan plasenta. Setiap komponen dalam manajemen aktif kala

III mempunyai peran dalam pencegahan perdarahan postpartum (Edhi, 2013).

Semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala III persalinan untuk

mencegah perdarahan postpartum. Oksitosin ( IM/IV 10 IU ) direkomendasikan sebagai

uterotonika pilihan. Uterotonika injeksi lainnya dan misoprostol direkomendasikan sebagai

alternatif untuk pencegahan perdarahan postpartum ketika oksitosin tidak tersedia.

Peregangan tali pusat terkendali harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dalam

menangani persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu kurang dari satu menit setelah

bayi lahir tidak disarankan (WHO, 2012).


19

2.2 Preeklampsia

2.2.1 Pengertian Preeklampsia

Preeklampsia adalah kelainan malfungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang

menyebar luas sehingga terjadi vasospasme setelah usia kehamilan 20 minggu,

mengakibatkan terjadinya penurunan perfusi organ dan pengaktifan endotel yang

menimbulkan terjadinya hipertensi, edema, dan dijumpai proteinuria 300 mg per 24 jam

atau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) pada minimal dua sampel urin secara acak yang

dikumpulkan setidaknya 4-6 jam tetapi tidak lebih dari 7 hari. Hilangnya semua kelainan

tersebut sebelum akhir minggu keenam postpartum (Sibai, 2005; Brooks, 2011).

2.2.2 Klasifikasi Preeklampsia

Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia

berat.

a. Kriteria preeklampsia ringan :

- Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam jam pada dua kali

pemeriksaan tanpa kerusakan organ.

- Proteinuria > 300 mg/24 jam atau > 1 + dipstik.

- Edema generalisata yaitu pada lengan, muka, dan perut.

b. Kriteria preeklampsia berat :

- Tekanan darah sistolik/diastolik ≥ 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada dua kali

pemeriksaan. Tekanan darah ini tidak


20

menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah

baring.

- Proteinuria ≥ 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu yang

dikumpulkan paling sedikit empat jam sekali.

- Oliguria yaitu produksi urin < 500 ml / 24 jam.

- Kenaikan kadar kreatinin plasma > 1,2 mg/dl.

- Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten, skotoma, dan

pandangan kabur.

- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya

kapsula glisson.

- Edema paru dan sianosis.

- Hemolisis mikroangiopatik karena meningkatnya enzim laktat dehidrogenase.

- Trombositopenia ( trombosit < 100.000 mm3).

- Sindrom HELLP.

- Oligohidroamnion, pertumbuhan janin terhambat, dan abrupsio plasenta (Carty, 2010;

Prawirohardjo, 2010).

2.2.3 Etiologi Preeklampsia

Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori

dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Oleh karena itu

disebut “penyakit teori” namun belum ada memberikan jawaban yang memuaskan.

Penyebab preeklampsia hingga kini belum diketahui. Penyebab lain yang


21

mungkin terjadi adalah kelainan aliran darah menuju rahim, kerusakan pembuluh darah,

masalah dengan sistem ketahanan tubuh, diet atau konsumsi makanan yang salah

(Prawirohardjo, 2010; Cunningham, 2005).

2.2.4 Patofisiologi Preeklampsia

Patofisiologi yang mendasari preeklampsia tidak sepenuhnya dipahami, tetapi saat ini

diyakini bahwa inisiasi terjadinya preeklampsia adalah berkurangnya perfusi plasenta, yang

berkembang dari migrasi sitotrofoblas menuju arteriol spiral rahim yang mengarah ke

remodeling vaskular yang tidak adekuat dan hipoperfusi plasenta (Roberts, 2005). Adapun

hipotesis yang diajukan diantaranya adalah:

2.2.4.1 Iskemik Plasenta

Selama kehamilan normal, sitotrofoblas akan menginvasi sepertiga bagian dalam

miometrium dan arteri spiralis dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastik pada

tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri. Perubahan tersebut berhubungan

dengan perubahan fungsi arteri spiralis seperti menurunkan resistensi pembuluh darah, yang

sedikit sensitif atau bahkan tidak sensitif terhadap substansi vasokonstriktif (Uzan, 2011).
22

Pada preeklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan

jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras

sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.

Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling

arteri spiralis sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan

iskemia plasenta (Fisher, 2009; Prawirohardjo, 2010).

2.2.4.2 Disfungsi Endotel

Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi trofoblas secara benar akan

menghasilkan radikal bebas. Salah satu radikal bebas yang dihasilkan plasenta iskemia

adalah radikal hidroksil. Radikal hidroksil akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi

peroksida lemak. Peroksida lemak akan merusak membran sel endotel pembuluh darah dan

mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.

Keadaan ini disebut sebagai disfungsi endotel (Prawirohardjo, 2010; Uzan, 2011).

Disfungsi endotel ditandai dengan peningkatan endotelin-1, sebuah vasokonstriktor kuat,

yang disekresi dari sel-sel endotel dan menurunnya respon vaskular pada endotel yang

dimediasi
23

vasodilator. Sementara mekanisme yang bertanggung jawab untuk disfungsi endotel

sistemik ibu hamil belum diketahui, mediator disfungsi endotel seperti penurunan nitrat

oksida (NO) telah memainkan peran dalam perkembangan hipertensi pada wanita

preeklampsia (Matsubara,2010).

Perubahan selama kehamilan normal seperti peningkatan volume darah dalam sistem

kardiovaskular dapat ditoleransi melalui vasodilatasi sistemik yang berkaitan dengan

produksi NO, sehingga menunjukkan bahwa defisiensi NO memainkan peranan penting

dalam gangguan hipertensi kehamilan. Nitrat oksida juga menghambat adhesi leukosit dan

mempunyai efek antitrombotik serta anti-apoptosis (Moncada, 2006).

2.2.4.3 Tinjauan Imunologis

Pada penderita preeklampsia terjadi penurunan proporsi T- helper dibandingkan dengan

penderita normotensi yang dimulai sejak awal trimester dua. Antibodi yang melawan sel

endotel ditemukan pada 50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya

terdapat 15% (Amaral, 2015).

Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri spiralis oleh

sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan
24

pelepasan sitokin seperti Tumor Necroting Factor (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1), enzim

proteolitik dan radikal bebas oleh desidua. Sitokin TNF- dan IL-1 berperan dalam stres

oksidatif yang berhubungan dengan preeklampsia. Akibat dari stres oksidatif akan

meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi dari faktor koagulasi

mikrovaskuler serta peningkatan permeabilitas mikrovaskuler (Hansson, 2015).

2.2.5 Akibat Preeklampsia pada Ibu

2.2.5.1 Jantung

Sistem kardiovaskular pada ibu hamil mengalami beberapa adaptasi selama kehamilan yaitu

curah jantung, denyut jantung, dan volume jantung meningkat selama kehamilan. Hal ini

menyebabkan peningkatan volume plasma dan vasodilatasi pembuluh darah sistemik pada

ibu hamil. Perubahan- perubahan tersebut sering berhubungan dengan komplikasi pada

kehamilan dan peningkatan risiko berkembangnya penyakit kardiovaskular di kemudian

hari (Garovic, 2007; Ahmed, 2014).

2.2.5.2 Mata

Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa

arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat

menunjukkan adanya preeklampsia yang berat, tetapi bukan berarti spasmus


25

yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Walaupun gangguan penglihatan sering

terjadi pada preeklampsia berat, kebutaan, baik tersendiri atau disertai kejang jarang

dijumpai (Cunningham, 2005).

2.2.5.3 Paru

Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Edema paru

dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah paru,

dan menurunnya diuresis (Prawirohardjo, 2010).

2.2.5.4 Hati

Preeklampsia berat dan eklampsia menyebabkan disfungsi hepatoseluler yang ditandai

dengan peningkatan transaminase serum dan/atau fosfatase alkali serum. Sebagian besar

peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang

berasal dari plasenta (Udenze, 2014).

Keterlibatan hepar pada preeklampsia-eklampsia adalah hal serius dan sering disertai oleh

tanda-tanda keterlibatan organ lain, terutama ginjal dan otak bersama dengan hemolisis dan

trombositopenia. Keadaan ini sering disebut sindrom HELLP. Pada wanita dengan sindrom

HELLP, prognosis untuk kehamilan berikutnya kurang baik (Cunningham, 2005).


26

2.2.5.5 Ginjal

Vasodilatasi pembuluh darah selama kehamilan menyebabkan penurunan resistensi total

perifer. Pada ginjal, laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal meningkat akibat

penurunan resistensi vaskular ginjal. Wanita dengan preeklampsia sering memiliki

perubahan fungsi ginjal, endoteliosis glomerulus dan proteinuria (Muller-Deile, 2014).

Beberapa penelitian menunjukkan podosituria meningkat pada wanita dengan

preeklampsia. Jumlah podosituria, banyaknya podosit dalam urin dapat diketahui dengan

mengukur struktur protein podocalyxin, podocin, nefrin, dan synaptopodin pada urin.

Podosituria mempunyai nilai prediktif yang tinggi untuk diagnosis preeklampsia dan

membedakannya dengan faktor angiogenik lainnya. Oleh karena itu, podosituria dapat

digunakan sebagai biomarker yang sensitif terhadap perkembangan preeklampsia dan

derajat keparahan gangguan ginjal yang diakibatkan oleh preeklampsia (Craici, 2013;

Amaral, 2015).

2.2.5.6 Darah

Kelainan hematologis terjadi pada sebagian, tetapi jelas tidak semua, wanita yang menderita

gangguan hipertensi akibat


27

kehamilan. Kelainan tersebut antara lain trombositopenia yang kadang-kadang sangat parah

sehingga dapat mengancam nyawa. Penyebab trombositopenia kemungkinan besar adalah

aktivasi dan konsumsi trombosit pada saat yang sama dengan peningkatan produksi

trombosit. Makna klinis trombositopenia selain jelas mengganggu pembekuan darah adalah

bahwa hal tersebut mencerminkan keparahan proses patologis. Secara umum, semakin

rendah hitung trombosit, semakin besar morbiditas dan mortalitas ibu serta janin

(Cunningham, 2005).

2.2.5.7 Endokrin dan Metabolik

Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II, dan aldosteron dalam plasma

meningkat. Penyakit hipertensi akibat kehamilan menyebabkan kadar berbagai zat ini

menurun ke kisaran tidak hamil normal. Pada retensi natrium, hipertensi atau keduanya,

sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerular berkurang. Karena renin mengkatalisis

perubahan angiotensinogen menjadi angiotensin I yang kemudian diubah menjadi

angiotensin II, maka kadar angiotensin II menurun sehingga sekresi aldosteron berkurang

(Cunningham, 2005).

2.2.5.8 Perfusi Uteroplasenta

Gangguan perfusi plasenta akibat vasospasme hampir pasti merupakan penyebab utama

meningkatnya morbiditas dan


28

mortalitas perinatal yang menyertai preeklampsia. Dengan menggunakan studi-studi

mikroskop elektron terhadap arteri yang diambil dari tempat implantasi uteroplasenta,

dilaporkan bahwa perubahan-perubahan awal pada preeklampsia meliputi kerusakan

endotel, perembesan konstituen plasma ke dalam dinding pembuluh, proliferasi sel

miointima, dan nekrosis medial (Cunningham, 2005).

2.2.6 Penatalaksanaan Preeklampsia

Keputusan dalam penanganan harus menyeimbangkan risiko kehamilan yang dimiliki ibu

dan risiko pada janin dengan kelahiran prematur diinduksi. Kriteria persalinan didasarkan

pada dua faktor yang saling berkaitan yaitu usia kehamilan saat didiagnosis dan keparahan

preeklampsia. Preeklampsia berat membutuhkan penanganan dengan dua tujuan yaitu

mencegah efek bahaya dari peningkatan tekanan darah dan mencegah eklampsia

(Pottecher,2009).

Terlepas dari keparahan preeklampsia, tidak ada keuntungan dalam melanjutkan kehamilan

ketika preeklampsia ditemukan setelah usia kehamilan 36-37 minggu. Pada usia kehamilan

34 -37 minggu, penatalaksanaan tergantung pada tingkat keparahan preeklampsia.

Penanganan memungkinkan untuk dilakukan terhadap preeklampsia ringan untuk

membatasi risiko induksi persalinan prematur, tetapi untuk preeklampsia berat, persalinan

meningkatkan risiko pada ibu dan komplikasi janin (Haddad, 2009).


29

Pada usia kehamilan 24-34 minggu, penanganan juga tergantung pada keparahan

preeklampsia. Munculnya satu atau lebih tanda seperti hipertensi berat tidak terkontrol,

eklampsia, edema paru akut, hematom subskapular hati, atau trombositopenia

mengindikasikan dibutuhkannya persalinan (Carty, 2010).

Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi obat sedatif kuat untuk mencegah

timbulnya kejang. Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang, dapat diberikan larutan

magnesium sulfat (MgSO4) 20% dengan dosis 4 gram secara intravena loading dose dalam

15-20 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 12 gram dalam 500 cc

ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Tambahan MgSO4 hanya dapat diberikan jika

diuresis pasien baik (>30 ml/jam), refleks patella positif dan frekuensi pernafasan lebih dari

12 kali/menit. Obat ini memiliki efek menenangkan, menurunkan tekanan darah, dan

meningkatkan diuresis (Wiknjosastro, 2006; Pryde, 2009).

Penanganan dengan antihipertensi berguna hanya untuk preeklampsia berat untuk menekan

risiko terjadinya komplikasi pada ibu. Terdapat empat jenis obat antihipertensi untuk

preeklampsia berat yaitu nikardipin, labetalol, klonidin, dan dihidralazin. Tidak ada target

tekanan darah yang ideal yang ditetapkan dan penurunan tekanan


30

darah yang terlalu drastis juga dapat berbahaya pada janin (Duley, 2006).

Algoritma pemberian antihipertensi dapat dilihat pada diagram berikut:

Tekanan Darah Sistolik (TDS) > 160 mmHg

Tekanan darah sistolik >180 mmHg Tekanan darah sistolik < 180 mmHg
atau atau
Tekana darah diastolik >140 mmHg Tekana darah diastolik < 140 mmHg

Nikardipin Intravena 0,5 – 1 mg Nikardipin Intravena 1 - 6 mg/jam


bolus kemudian 4 – 7 mg dalam 30 atau Labetalol Intravena 5 – 20
menit mg/jam

Setelah 30 menit : Penilaian toleransi dan efikasi terapi


140 < TDS < 160 mmHg TDS > 160 mmHg atau Efek samping (nyeri
100 < TDD < 120mmHg TDD > 120 mmHg kepala, palpitasi, dll)

Nikardipin 1 – 6 mg/jam Nikardipin 6 mg/jam + Penurunan dosis


atau Labetalol 5-20 mg/jam nikardipin dan
Labetalol 5 – 20 mg/jam atau Labetalol 5-20 mg/jam
Klonidin 15-40 µg/jam atau
Klonidin 15-40 µg/jam

TDS < 140 mmHg


TDD < 100 mmHg

Pengurangan dosis
terapi

Setelah 30 menit dan setiap jam: penilaian ulang efek terapi

Gambar 2. Algoritma terapi antihipertensi pada preeklampsia


31

2.2.7 Pencegahan

Pencegahan primer pada preeklampsia adalah mendeteksi faktor risiko yang dapat

dimodifikasi. Wanita dengan risiko tinggi adalah wanita yang pernah mengalami

preeklampsia berat sebelumnya, sedangkan wanita dengan risiko rendah adalah wanita yang

tidak pernah mengalami preeklampsia namun memiliki minimal satu dari beberapa faktor

risiko. Deteksi dini dan penanganan yang optimal sangat dibutuhkan pada wanita yang

memiliki resiko tinggi untuk terjadinya preeklampsia (Uzan, 2011).

Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi secara dini preeklampsia

meliputi pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium, dan uterine artery Doppler

ultrasound. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan mengukur tekanan darah selama trimester

kedua kehamilan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan memeriksa kadar asam urat,

kadar kalikrein pada urin, dan fibronektin. Selain itu, pengukuran kadar hemoglobin dari

trimester pertama hingga ketiga kehamilan dapat mendeteksi secara dini preeklampsia.

Nilai rata-rata hemoglobin pada wanita preeklampsia akan tinggi pada trimester pertama

dan ketiga (Nasiri, 2015).

Uterine artery Doppler ultrasound tidak disarankan pada wanita dengan risiko rendah pada

trimester pertama dan kedua kehamilan. Untuk wanita dengan risiko tinggi, pemeriksaan

ini dilakukan pada


32

trimester kedua kehamilan dan dilakukan pemeriksaan kembali satu bulan kemudian jika

ditemukan hasil yang abnormal. Kombinasi dari uterine artery Doppler ultrasound dan

ultrasonografi tiga dimensi yang menilai volume plasenta dapat mendeteksi kemungkinan

preeklampsia lebih awal yaitu pada trimester pertama kehamilan (Rizzo, 2008; Uzan, 2011).

Pencegahan sekunder pada preeklampsia adalah dengan terapi antiplatelet yaitu aspirin.

Pemberian aspirin dapat menurunkan risiko preeklampsia sebanyak 10% pada wanita yang

mempunyai salah satu faktor risiko. Asam asetilsalisilat dosis rendah (aspirin 75 g)

diberikan pada wanita dengan risiko tinggi preeklampsia. Pemberian suplemen kalsium

dengan dosis 1,5 g/hari dimulai saat usia kehamilan 15 minggu dan diteruskan selama

kehamilan disarankan untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada wanita dengan

konsumsi kalsium harian

< 600mg/hari (WHO, 2011).

2.3 Hubungan Preeklampsia dan Perdarahan Postpartum

Peningkatan kejadian preeklampsia yang mengalami perdarahan postpartum dikarenakan

pada ibu dengan preeklampsia mengalami penurunan volume plasma yang mengakibatkan

hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Vasospasme siklik lebih lanjut

menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah. Keadaan seperti ini

menyebabkan terjadinya hipofibrinogemia (kurangnya zat fibrinogen dalam darah). Jika

fibrinogen dalam darah berkurang cukup banyak, maka perdarahan pada saat
33

proses persalinan akan sulit dihentikan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perdarahan

(Yuliawati, 2015).

Anda mungkin juga menyukai