Perdarahan Post Partum BUKU
Perdarahan Post Partum BUKU
1 Perdarahan Postpartum
darah setelah persalinan pervaginam atau 1000 ml atau lebih setelah seksio sesaria (Leveno,
1) Atonia Uteri
setelah plasenta lahir. Perdarahan postpartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi
serat-serat miometrium terutama yang berada di sekitar pembuluh darah yang mensuplai
Kegagalan kontraksi dan retraksi dari serat miometrium dapat menyebabkan perdarahan
hipovolemik. Kontraksi miometrium yang lemah dapat diakibatkan oleh kelelahan karena
persalinan lama atau persalinan yang terlalu cepat, terutama jika dirangsang. Selain itu,
dan nifedipin juga dapat menghambat kontraksi miometrium. Penyebab lain adalah situs
hipoksia pada solusio plasenta, dan hipotermia karena resusitasi masif (Rueda et al., 2013).
Atonia uteri merupakan penyebab paling banyak PPP, hingga sekitar 70% kasus. Atonia
dapat terjadi setelah persalinan vaginal, persalinan operatif ataupun persalinan abdominal.
Penelitian sejauh ini membuktikan bahwa atonia uteri lebih tinggi pada persalinan
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma. Pertolongan
persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan robekan jalan lahir
dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan serviks belum
lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan perineum, trauma
forsep atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi (Prawirohardjo, 2010).
10
Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan yaitu (Rohani, Saswita dan Marisah,
2011):
a. Derajat satu
b. Derajat dua
c. Derajat tiga
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum, dan otot sfingter ani
eksternal.
d. Derajat empat
Robekan mengenai mukosa vagina, kulit perineum, otot perineum, otot sfingter ani
3) Retensio plasenta
Retensio plasenta adalah plasenta belum lahir hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah
bayi lahir. Hal ini disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta
sudah lepas tetapi belum dilahirkan. Retensio plasenta merupakan etiologi tersering kedua
dari perdarahan postpartum (20% - 30% kasus). Kejadian ini harus didiagnosis secara dini
karena retensio plasenta sering dikaitkan dengan atonia uteri untuk diagnosis utama
plasenta, resiko untuk mengalami PPP 6 kali lipat pada persalinan normal (Ramadhani,
2011).
a. Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga
b. Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian
lapisan miometrium.
c. Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan serosa
dinding uterus.
d. Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus serosa dinding
uterus.
e. Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri, disebabkan oleh
4) Koagulopati
Perdarahan postpartum juga dapat terjadi karena kelainan pada pembekuan darah. Penyebab
tersering PPP adalah atonia uteri, yang disusul dengan tertinggalnya sebagian plasenta.
Namun, gangguan pembekuan darah dapat pula menyebabkan PPP. Hal ini disebabkan
karena defisiensi faktor pembekuan dan penghancuran fibrin yang berlebihan. Gejala-gejala
kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan ataupun didapat. Kelainan
(hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count), Disseminated Intravaskuler
2010).
Kejadian gangguan koagulasi ini berkaitan dengan beberapa kondisi kehamilan lain seperti
solusio plasenta, preeklampsia, septikemia dan sepsis intrauteri, kematian janin lama,
emboli air ketuban, transfusi darah inkompatibel, aborsi dengan NaCl hipertonik dan
1. Perdarahan Postpartum Primer yaitu perdarahan postpartum yang terjadi dalam 24 jam
pertama kelahiran. Penyebab utama perdarahan postpartum primer adalah atonia uteri,
retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri.
2. Perdarahan Postpartum Sekunder yaitu perdarahan postpartum yang terjadi setelah 24 jam
sekunder disebabkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta
yang tertinggal.
Faktor risiko PPP dapat ada saat sebelum kehamilan, saat kehamilan, dan saat persalinan.
Faktor risiko sebelum kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, dan riwayat perdarahan
postpartum. Faktor risiko selama kehamilan meliputi usia, indeks massa tubuh, riwayat
antibiotik. Sedangkan untuk faktor risiko saat persalinan meliputi plasenta previa anterior,
plasenta previa mayor, peningkatan suhu tubuh >37⁰, korioamnionitis, dan retensio plasenta
Meningkatnya usia ibu merupakan faktor independen terjadinya PPP. Pada usia lebih tua
jumlah perdarahan lebih besar pada persalinan sesar dibanding persalinan vaginal. Secara
konsisten penelitian menunjukkan bahwa ibu yang hamil kembar memiliki 3-4 kali
meningkat dengan meningkatnya indeks massa tubuh. Pada wanita dengan indeks massa
tubuh lebih dari 40 memiliki resiko sebesar 5,2% dengan persalinan normal (Blomberg,
2011).
14
Efek perdarahan banyak bergantung pada volume darah sebelum hamil, derajat
yang dapat mengecohkan adalah kegagalan nadi dan tekanan darah untuk mengalami
perubahan besar sampai terjadi kehilangan darah sangat banyak. Kehilangan banyak darah
tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut
nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain (Wiknjosastro, 2006; Cunningham,
2005).
2.1.7 Penatalaksanaan
Penanganan pasien dengan PPP memiliki dua komponen utama yaitu resusitasi dan
pengelolaan perdarahan obstetri yang mungkin disertai syok hipovolemik dan identifikasi
postpartum mengharuskan kedua komponen secara simultan dan sistematis ditangani (Edhi,
2013).
Penggunaan uterotonika (oksitosin saja sebagai pilihan pertama) memainkan peran sentral
diagnosis dan resusitasi cairan kristaloid isotonik juga dianjurkan. Penggunaan asam
traneksamat disarankan pada kasus perdarahan yang sulit diatasi atau perdarahan tetap
terkait trauma. Jika terdapat perdarahan yang terus- menerus dan sumber perdarahan
diketahui, embolisasi arteri uterus harus dipertimbangkan. Jika kala tiga berlangsung lebih
dari 30 menit, peregangan tali pusat terkendali dan pemberian oksitosin (10 IU) IV/IM dapat
intervensi bedah harus dilakukan tanpa penundaan lebih lanjut (WHO, 2012).
Kompresi
manual
bimanual Pada
Oksitosin
kuretase
Eksplorasi vagina, uteri
oksitosin
manual vulva
Perdarahan tetap
Perbaikan Histerektomi
berlangsung
laserasi
Infus vasogensia
Embolisasi, angiografi
Perdarahan teratasi
2.1.8 Pencegahan
Klasifikasi kehamilan risiko rendah dan risiko tinggi akan memudahkan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan antenatal
dan melahirkan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua kehamilan mempunyai
risiko untuk terjadinya patologi persalinan, salah satunya adalah PPP (Prawirohardjo,
2010).
Pencegahan PPP dapat dilakukan dengan manajemen aktif kala III. Manajemen aktif kala
III adalah kombinasi dari pemberian uterotonika segera setelah bayi lahir, peregangan tali
pusat terkendali, dan melahirkan plasenta. Setiap komponen dalam manajemen aktif kala
Semua wanita melahirkan harus diberikan uterotonika selama kala III persalinan untuk
Peregangan tali pusat terkendali harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang terlatih dalam
menangani persalinan. Penarikan tali pusat lebih awal yaitu kurang dari satu menit setelah
2.2 Preeklampsia
Preeklampsia adalah kelainan malfungsi endotel pembuluh darah atau vaskular yang
menimbulkan terjadinya hipertensi, edema, dan dijumpai proteinuria 300 mg per 24 jam
atau 30 mg/dl (+1 pada dipstick) pada minimal dua sampel urin secara acak yang
dikumpulkan setidaknya 4-6 jam tetapi tidak lebih dari 7 hari. Hilangnya semua kelainan
tersebut sebelum akhir minggu keenam postpartum (Sibai, 2005; Brooks, 2011).
Dari berbagai gejala, preeklampsia dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia
berat.
- Hipertensi dengan sistolik/diastolik > 140/90 mmHg, sedikitnya enam jam pada dua kali
- Tekanan darah sistolik/diastolik ≥ 160/110 mmHg sedikitnya enam jam pada dua kali
menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan telah menjalani tirah
baring.
- Proteinuria ≥ 5 gram/24 jam atau > 3 + dipstik pada sampel urin sewaktu yang
- Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala persisten, skotoma, dan
pandangan kabur.
- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya
kapsula glisson.
- Sindrom HELLP.
Prawirohardjo, 2010).
Etiologi penyakit ini sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Banyak teori-teori
dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Oleh karena itu
disebut “penyakit teori” namun belum ada memberikan jawaban yang memuaskan.
mungkin terjadi adalah kelainan aliran darah menuju rahim, kerusakan pembuluh darah,
masalah dengan sistem ketahanan tubuh, diet atau konsumsi makanan yang salah
Patofisiologi yang mendasari preeklampsia tidak sepenuhnya dipahami, tetapi saat ini
diyakini bahwa inisiasi terjadinya preeklampsia adalah berkurangnya perfusi plasenta, yang
berkembang dari migrasi sitotrofoblas menuju arteriol spiral rahim yang mengarah ke
remodeling vaskular yang tidak adekuat dan hipoperfusi plasenta (Roberts, 2005). Adapun
miometrium dan arteri spiralis dengan mengganti endotel, merusak jaringan elastik pada
tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri. Perubahan tersebut berhubungan
dengan perubahan fungsi arteri spiralis seperti menurunkan resistensi pembuluh darah, yang
sedikit sensitif atau bahkan tidak sensitif terhadap substansi vasokonstriktif (Uzan, 2011).
22
Pada preeklampsia tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis dan
jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri spiralis menjadi tetap kaku dan keras
sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi.
Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami vasokonstriksi dan terjadi kegagalan remodeling
arteri spiralis sehingga aliran darah uteroplasenta menurun dan terjadilah hipoksia dan
Plasenta yang mengalami iskemia akibat tidak terjadinya invasi trofoblas secara benar akan
menghasilkan radikal bebas. Salah satu radikal bebas yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil. Radikal hidroksil akan mengubah asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lemak. Peroksida lemak akan merusak membran sel endotel pembuluh darah dan
mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel.
Keadaan ini disebut sebagai disfungsi endotel (Prawirohardjo, 2010; Uzan, 2011).
yang disekresi dari sel-sel endotel dan menurunnya respon vaskular pada endotel yang
dimediasi
23
sistemik ibu hamil belum diketahui, mediator disfungsi endotel seperti penurunan nitrat
oksida (NO) telah memainkan peran dalam perkembangan hipertensi pada wanita
preeklampsia (Matsubara,2010).
Perubahan selama kehamilan normal seperti peningkatan volume darah dalam sistem
dalam gangguan hipertensi kehamilan. Nitrat oksida juga menghambat adhesi leukosit dan
penderita normotensi yang dimulai sejak awal trimester dua. Antibodi yang melawan sel
endotel ditemukan pada 50% wanita dengan preeklampsia, sedangkan pada kontrol hanya
Maladaptasi sistem imun dapat menyebabkan invasi yang dangkal dari arteri spiralis oleh
sel sitotrofoblas endovaskuler dan disfungsi sel endotel yang dimediasi oleh peningkatan
24
pelepasan sitokin seperti Tumor Necroting Factor (TNF-) dan interleukin-1 (IL-1), enzim
proteolitik dan radikal bebas oleh desidua. Sitokin TNF- dan IL-1 berperan dalam stres
oksidatif yang berhubungan dengan preeklampsia. Akibat dari stres oksidatif akan
meningkatkan produksi sel makrofag lipid laden, aktivasi dari faktor koagulasi
2.2.5.1 Jantung
Sistem kardiovaskular pada ibu hamil mengalami beberapa adaptasi selama kehamilan yaitu
curah jantung, denyut jantung, dan volume jantung meningkat selama kehamilan. Hal ini
menyebabkan peningkatan volume plasma dan vasodilatasi pembuluh darah sistemik pada
ibu hamil. Perubahan- perubahan tersebut sering berhubungan dengan komplikasi pada
2.2.5.2 Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus menyeluruh pada satu atau beberapa
arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat. Spasmus arteri retina yang nyata dapat
yang ringan adalah preeklampsia yang ringan. Walaupun gangguan penglihatan sering
terjadi pada preeklampsia berat, kebutaan, baik tersendiri atau disertai kejang jarang
2.2.5.3 Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Edema paru
dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah paru,
2.2.5.4 Hati
dengan peningkatan transaminase serum dan/atau fosfatase alkali serum. Sebagian besar
peningkatan fosfatase alkali serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang
Keterlibatan hepar pada preeklampsia-eklampsia adalah hal serius dan sering disertai oleh
tanda-tanda keterlibatan organ lain, terutama ginjal dan otak bersama dengan hemolisis dan
trombositopenia. Keadaan ini sering disebut sindrom HELLP. Pada wanita dengan sindrom
2.2.5.5 Ginjal
perifer. Pada ginjal, laju filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal meningkat akibat
preeklampsia. Jumlah podosituria, banyaknya podosit dalam urin dapat diketahui dengan
mengukur struktur protein podocalyxin, podocin, nefrin, dan synaptopodin pada urin.
Podosituria mempunyai nilai prediktif yang tinggi untuk diagnosis preeklampsia dan
membedakannya dengan faktor angiogenik lainnya. Oleh karena itu, podosituria dapat
derajat keparahan gangguan ginjal yang diakibatkan oleh preeklampsia (Craici, 2013;
Amaral, 2015).
2.2.5.6 Darah
Kelainan hematologis terjadi pada sebagian, tetapi jelas tidak semua, wanita yang menderita
kehamilan. Kelainan tersebut antara lain trombositopenia yang kadang-kadang sangat parah
aktivasi dan konsumsi trombosit pada saat yang sama dengan peningkatan produksi
trombosit. Makna klinis trombositopenia selain jelas mengganggu pembekuan darah adalah
bahwa hal tersebut mencerminkan keparahan proses patologis. Secara umum, semakin
rendah hitung trombosit, semakin besar morbiditas dan mortalitas ibu serta janin
(Cunningham, 2005).
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II, dan aldosteron dalam plasma
meningkat. Penyakit hipertensi akibat kehamilan menyebabkan kadar berbagai zat ini
menurun ke kisaran tidak hamil normal. Pada retensi natrium, hipertensi atau keduanya,
angiotensin II, maka kadar angiotensin II menurun sehingga sekresi aldosteron berkurang
(Cunningham, 2005).
Gangguan perfusi plasenta akibat vasospasme hampir pasti merupakan penyebab utama
mikroskop elektron terhadap arteri yang diambil dari tempat implantasi uteroplasenta,
Keputusan dalam penanganan harus menyeimbangkan risiko kehamilan yang dimiliki ibu
dan risiko pada janin dengan kelahiran prematur diinduksi. Kriteria persalinan didasarkan
pada dua faktor yang saling berkaitan yaitu usia kehamilan saat didiagnosis dan keparahan
mencegah efek bahaya dari peningkatan tekanan darah dan mencegah eklampsia
(Pottecher,2009).
Terlepas dari keparahan preeklampsia, tidak ada keuntungan dalam melanjutkan kehamilan
ketika preeklampsia ditemukan setelah usia kehamilan 36-37 minggu. Pada usia kehamilan
membatasi risiko induksi persalinan prematur, tetapi untuk preeklampsia berat, persalinan
Pada usia kehamilan 24-34 minggu, penanganan juga tergantung pada keparahan
preeklampsia. Munculnya satu atau lebih tanda seperti hipertensi berat tidak terkontrol,
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi obat sedatif kuat untuk mencegah
timbulnya kejang. Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang, dapat diberikan larutan
magnesium sulfat (MgSO4) 20% dengan dosis 4 gram secara intravena loading dose dalam
15-20 menit. Kemudian dilanjutkan dengan MgSO4 40% sebanyak 12 gram dalam 500 cc
ringer laktat (RL) atau sekitar 14 tetes/menit. Tambahan MgSO4 hanya dapat diberikan jika
diuresis pasien baik (>30 ml/jam), refleks patella positif dan frekuensi pernafasan lebih dari
12 kali/menit. Obat ini memiliki efek menenangkan, menurunkan tekanan darah, dan
Penanganan dengan antihipertensi berguna hanya untuk preeklampsia berat untuk menekan
risiko terjadinya komplikasi pada ibu. Terdapat empat jenis obat antihipertensi untuk
preeklampsia berat yaitu nikardipin, labetalol, klonidin, dan dihidralazin. Tidak ada target
darah yang terlalu drastis juga dapat berbahaya pada janin (Duley, 2006).
Tekanan darah sistolik >180 mmHg Tekanan darah sistolik < 180 mmHg
atau atau
Tekana darah diastolik >140 mmHg Tekana darah diastolik < 140 mmHg
Pengurangan dosis
terapi
2.2.7 Pencegahan
Pencegahan primer pada preeklampsia adalah mendeteksi faktor risiko yang dapat
dimodifikasi. Wanita dengan risiko tinggi adalah wanita yang pernah mengalami
preeklampsia berat sebelumnya, sedangkan wanita dengan risiko rendah adalah wanita yang
tidak pernah mengalami preeklampsia namun memiliki minimal satu dari beberapa faktor
risiko. Deteksi dini dan penanganan yang optimal sangat dibutuhkan pada wanita yang
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi secara dini preeklampsia
ultrasound. Pemeriksaan klinis dilakukan dengan mengukur tekanan darah selama trimester
kedua kehamilan. Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan memeriksa kadar asam urat,
kadar kalikrein pada urin, dan fibronektin. Selain itu, pengukuran kadar hemoglobin dari
trimester pertama hingga ketiga kehamilan dapat mendeteksi secara dini preeklampsia.
Nilai rata-rata hemoglobin pada wanita preeklampsia akan tinggi pada trimester pertama
Uterine artery Doppler ultrasound tidak disarankan pada wanita dengan risiko rendah pada
trimester pertama dan kedua kehamilan. Untuk wanita dengan risiko tinggi, pemeriksaan
trimester kedua kehamilan dan dilakukan pemeriksaan kembali satu bulan kemudian jika
ditemukan hasil yang abnormal. Kombinasi dari uterine artery Doppler ultrasound dan
ultrasonografi tiga dimensi yang menilai volume plasenta dapat mendeteksi kemungkinan
preeklampsia lebih awal yaitu pada trimester pertama kehamilan (Rizzo, 2008; Uzan, 2011).
Pencegahan sekunder pada preeklampsia adalah dengan terapi antiplatelet yaitu aspirin.
Pemberian aspirin dapat menurunkan risiko preeklampsia sebanyak 10% pada wanita yang
mempunyai salah satu faktor risiko. Asam asetilsalisilat dosis rendah (aspirin 75 g)
diberikan pada wanita dengan risiko tinggi preeklampsia. Pemberian suplemen kalsium
dengan dosis 1,5 g/hari dimulai saat usia kehamilan 15 minggu dan diteruskan selama
pada ibu dengan preeklampsia mengalami penurunan volume plasma yang mengakibatkan
menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah. Keadaan seperti ini
fibrinogen dalam darah berkurang cukup banyak, maka perdarahan pada saat
33
proses persalinan akan sulit dihentikan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya perdarahan
(Yuliawati, 2015).