Anda di halaman 1dari 8

BAB IV

STRUKTUR GEOLOGI REGIONAL

4.1 Struktur Geologi Regional

Pulau Jawa secara tektonik dipengaruhi oleh dua lempeng besar, yaitu
Lempeng Eurasia dibagian utara dan Lempeng Indo-Australia dibagian selatan.
Pergerakan dinamis dari lempeng-lempeng ini menghasilkan perubahan tatanan
tektonik Jawa dari waktu ke waktu. Secara berurutan, rezim tektonik Jawa
mengalami perubahan yang dimulai dengan kompresi, kemudian mengalami
regangan dan kembali mengalami kompresi.

Pulunggono dan Martodjojo (1994) menjelaskan bahwa tektonik kompresi


terjadi pada Kapur Akhir – Eosen (80-50 juta tahun yang lalu), yang diakibatkan
oleh penunjaman berarah timurlaut – baratdaya dari Lempeng Indo-Australia ke
bawah Lempeng Eurasia. Tektonik regangan terjadi pada Kala Eosen-Oligosen
Akhir akibat dari berkurangnya kecepatan gerak Lempeng Indo-Australia.
Tektonik kompresi kembali terjadi pada kala Oligosen-Miosen Awal, akibat
terbentuknya jalur penunjaman baru di selatan Jawa. Pada Eosen Akhir – Miosen
Awal pusat kegiatan magma berada di Pegunungan Serayu Selatan, Bayat, dan
Parangtritis. Kegiatan magma yang lebih muda yang berumur Miosen Akhir –
Pliosen bergeser ke utara dengan dijumpai singkapan batuan volkanik di daerah
Karangkobar, Banjarnegara (Asikin, 1992). Pada kala Miosen Tengah – Pliosen
Awal, posisi tektonik Cekungan Serayu Utara merupakan bagian dari cekungan
belakang busur (Kartanegara dkk., 1987)

Pada pulau Jawa berkembang 3 pola struktur geologi yang dominan, yaitu
Pola Meratus yang berarah timurlaut – baratdaya, Pola Sunda yang berarah utara –
selatan dan Pola Jawa yang berarah timur – barat. Pola Meratus memiliki arah
timurlaut – barat daya dan berumur Kapur Akhir hingga Paleosen (80-52 juta
tahun yang lalu). Rezim tektonik kompresi Lempeng Indo-Australia tersubduksi
ke bawah Lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya Pola Meratus ini. Salah
satu sesar yang mencerminkan Pola Meratus di Pulau Jawa adalah Sesar
Cimandiri yang terbentang mulai dari Teluk Pelabuhan Ratu hingga ke Subang,
yang berada di sisi barat. Sesar tersebut tergolong sesar mendatar dengan arah
timurlaut – baratdaya. Di Jawa Tengah singkapan batuan Pra-Tersier di Lok Ulo
juga menunjukan arah ini.

Gambar 4.1 Pola Struktur Pulau Jawa (Martodjojo dan Pulunggono, 1994)

Pola struktur yang berkembang setelah Pola Meratus adalah Pola Sunda,
pola struktur ini berarah utara – selatan dan berumur Eosen Awal – Oligosen
Akhir (53 – 32 juta tahun yang lalu). Setelah rezim kompresi pada Pola Meratus
terjadi penurunan kesecapatan gerak dari lempeng Indo-Australia sehingga terjadi
rezim tektonik regangan pada masa ini yang membentuk struktur dengan Pola
Sunda. Purnomi dan Purwoko (1994) menyebut periode ini sebagai Paleogene
Extensional Riftin. Struktur sesar yang termasuk ke dalam Pola Sunda umumnya
berkembang di utara Jawa (Laut Jawa).

Pola Jawa merupakan pola struktur dengan arah timur – barat yang berumur
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal (32 juta tahun lalu). Pola struktur ini
terbentuk akibat rezim kompresi yaitu subduksi antar Lempeng Indo-Australia
yang berada di selatan Jawa hingga ke arah Sumatera. Purnomo dan Purwoko
(1994) menyebut periode ini sebagai Neogene Compressional Wrenching hingga
Plio-Pleistocene Compressional Thrust Folding. Di Jawa Tengah hampir semua
sesar di jalur Serayu Utara dan Selatan mempunyai arah yang sama, yaitu barat-
timur. Salah satu sesar yang mencerminkan Pola Jawa adalah Sesar Baringis yang
membentang mulai dari Purwakarta hingga ke Jawa Tengah di daerah Baribis
Kadipaten Majalengka dengan arah barat – timur.

IV.1. Struktur Geologi Daerah Penelitian


Pada daerah pemetaan terdapat struktur geologi berupa perlipatan sinklin
dan antiklin pada daearah desa cikamuning, selogading, dan cikalapa. Struktur ini
ditentukan berdasarkan pengamatan awal peta topografi daerah pemetaan skala
1:12.500 serta gejala yang terekam di lapangan berupa data kemiringan lapisan
batuan dan pengukuran kekar yang terdapat pada beberapa lokasi pengamatan.
Penamaan struktur pada daerah pemetaan didasarkan oleh nama desa
dimana ditemukan bukti struktur pada sekitar daerah tersebut. Berikut adalah
struktur pada daerah pemetaan:

A. Antiklin Cikalapa
B. Sinklin Cikamuning
C. Antiklin Selogading

4.2.1 Antiklin Cikalapa


Penamaan berdasarkan dimana tempat ditemukannya lipatan antiklin hasil
rekonstruksi penampang geologi, yaitu di desa Cikalapa. Antiklin ini melipat
satuan batulempung karbonatan yang berada pada bagian baratlaut daerah
penelitian dengan memiliki arah sumbu lipatan yang memanjang dari Baratdaya -
Timurlaut yang didapatkan disebelah barat laut pada daerah penelitian
berdasarkan hasil pengamatan jurus dan kemiringan yang memiliki arah yang
berlawanan.

Interpretasi penarikan Struktur Lipatan Antiklin ini di indikasikan dengan


adanya beberapa bukti yaitu:
• Ditemukannya hasil pengukuran dip yang saling berlawanan
• Dan di interpretasikan dari gaya utama yang menyebabkan terjadinya lipatan
• Dan interpretasi dari besar jurus dan kemiringan

Tabel 4.1 Kedudukan Lapisan Daerah Cikalapa

LP STRIKE DIP
16 N258°E/72°
87 N238°E/15°
71 N70°E/27°
72 N68°E/62°

Gambar 4.1 Analisa Gaya Utama Pada Lipatan Antiklin Cikalapa

4.2.2 Sinklin Cikamuning


Penamaan berdasarkan dimana tempat ditemukannya lipatan sinklin hasil
rekonstruksi penampang geologi, yaitu di desa Cikamuning. Antiklin ini melipat
satuan batupasir karbonatan dengan arah sumbu lipatan memanjang Baradaya –
Timurlaut yang didapatkan di sebelah tengah pada daerah penelitian.

Interpretasi penarikan Struktur Lipatan Sinklin ini di indikasikan dengan


adanya beberapa bukti yaitu:
• Ditemukannya hasil pengukuran dip yang saling berlawanan
• Dan di interpretasikan dari gaya utama yang menyebabkan terjadinya lipatan
• Dan interpretasi dari besar jurus dan kemiringan

Tabel 4.2 Kedudukan Lapisan Daerah Cikamuning


LP STRIKE DIP
1 N75°E/45°
2 N55°E/30°
3 N35°E/59°
4 N85°E/39°
61 N68°E/42°
62 N70°E/50°
63 N83°E/25°
64 N70°E/42°
65 N80°E/40°
54 N198°E/15°
55 N190°E/25°

Gambar 4.2 Analisa Gaya Utama Pada Lipatan Sinklin Cikamuning

4.2.3 Antiklin Selogading


Penamaan berdasarkan dimana tempat ditemukannya lipatan antiklin hasil
rekonstruksi penampang geologi, yaitu di desa Selogading, Antiklin ini melipat
satuan batupasir karbonatan dengan arah sumbu lipatan memanjang Baratlaut -
Tenggara yang didapatkan di sebelah tenggara pada daerah penelitian berdasarkan
hasil pengamatan jurus dan kemiringan yang memiliki arah yang berlawanan.

Interpretasi penarikan Struktur Lipatan Antiklin ini di indikasikan dengan


adanya beberapa bukti yaitu:
• Ditemukannya hasil pengukuran dip yang saling berlawanan
• Dan di interpretasikan dari gaya utama yang menyebabkan terjadinya lipatan
• Dan interpretasi dari besar jurus dan kemiringan

Tabel 4.3 Kedudukan Lapisan Daerah Selogading

LP STRIKE DIP
54 N198°E/15°
55 N190°E/25°
56 N228°E/25°
58 N350°E/25°
59 N340°E/26°
60 N18°E/32°
45 N120°E/45°
46 N115°E/42°
96 N115°E/40°

Gambar 4.3 Analisa Gaya Utama Pada Lipatan Antiklin Selogading


4.3 Mekanisme Daerah Penelitian
Metode penentuan arah gaya dari daerah pemetaan adalah analisis
kinematika dengan stereografi dan diagram rose menggunakan data-data jurus
dari lapisan batuan pada daerah pemetaan dan sekitarnya.
Data jurus-jurus yang didapat dari hasil perhitungan di sejumlah lokasi
pengamatan pada daerah pemetaan dan sekitarnya, dimana arah gaya adalah tegak
lurus terhadap jurus perlapisan, kemudian nilai-nilai tersebut digabungkan untuk
memperoleh arah gaya utama yang bekerja pada daerah pemetaan. Dengan
menggunakan metode diagram rose, dilihat dari dominan arah tegak lurus
terhadap arah penyebaran batuan yang merupakan arah gaya utama (Gambar
4.4).

Gambar 4.4 Analisa Gaya Utama Daerah Penelitian

Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa arah gaya utama yang


mendukung proses struktur geologi adalah relatif mendekati baratlaut-tenggara
yang mana sesuai dengan arah gaya utama yang terjadi pada Pulau Jawa. Dalam
melakukan pendekatan penentuan arah gaya penulis juga menggunakan data gaya
utama pada daerah yang terjadi maupun di sekitar struktur, berdasarkan Billings
(1977) yang memaparkan bahwa gaya regangan terbesar terletak pada sumbu
horizontal apabila gaya kompresional dilakukan dari arah baratlaut – tenggara.
Oleh karena itu, hasil akhir dari kegiatan ini akan menghasilkan suatu sumbu
lipatan, yang memiliki arah relatif barat daya – timur laut pada daerah pemetaan.

Gambar 4.5 Model strain ellipsoid oleh Billings (1977)

Anda mungkin juga menyukai