Anda di halaman 1dari 16

BAHAN MAKANAN DAN ZAT GIZI PADA BAHAN PANGAN

Zat gizi adalah, komponen pembangun tubuh manusia dimana zat tersebut dibutuhkan
untuk pertumbuhan, mempertahankan dan memperbaiki jaringan tubuh, mengatur proses dalam
tubuh dan menyediakan energi bagi fungsi tubuh. Zat gizi dibedakan menjadi golongan protein,
lemak, dan karbohidrat yang disebut zat gizi makro, serta vitamin dan mineral yang disebut zat
gizi mikro. Air juga merupakan bagian penting dari gizi yang baik. Berbagai macam bahan pangan
berperan sebagai pembawa zat gizi dan mempengaruhi stabilitasnya.

CARA PENGOLAHAN MEMPENGARUHI KADAR ZAT GIZI PADA BAHAN


PANGAN

Kerusakan zat gizi berlangsung secara berangsur tergantung dari cara pengolahannya.
Berbagai macam cara pengolahan dapat mempercepat atau menghambat perubahan kadar zat gizi.
Faktor utama kerusakan bahan pangan adalah kadar air yang secara hayati aktif dalam jumlah
besar, seperti pada sayuran daun dan daging, dapat rusak hanya dalam beberapa hari, sedangkan
biji-bijian kering yang hanya mengandung air struktural dapat disimpan bertahun- tahun.

 Penyebab utama kerusakan bahan pangan adalah :


1. pertumbuhan mikroba,
pertumbuhan mikroba merupakan penyusutan utama bahan pangan. Kegiatan dan
reaksi ini berlangsung paling cepat pada aktivitas air yang tinggi, didukung pula
oleh faktor suhu, pH, dan faktor lingkungan lainnya.
2. kegiatan enzim, dan
3. perubahan kimia,
4. faktor suhu/pH, dan
5. faktor lingkungan
 Ada enam ( 6 ) prinsip dasar pengolahan pangan untuk pengawetan :

1. Penghilangan (penurunan kadar) air, pengeringan, dehidrasi dan pengentalan


Metabolisme mikroba memerlukan banyak air bebas. Penghilangan air yang secara
hayati aktif melalui pengeringan atau dehidrasi menghentikan pertumbuhan
mikroba. Penghentian ini juga menurunkan aktivitas enzim dan reaksi kimia.
Ketengikan komponen lipid menurun apabila air struktural yang melindunginya
dibiarkan tetap seperti semula.
2. Perlakuan panas , blansing, pasteurisasi dan sterilisasi
Pengaruh utama perlakuan panas adalah denaturasi protein, yaitu proses yang
menyebabkan mikroba dan sejumlah enzim lain tidak aktif. Pasteurisasi
membebaskan bahan pangan dari zat patogen dan sebahagian besar sel
vegetatif mikroba, sedangkan pensterilan dapat didefenisikan sebagai proses
mematikan semua mikroba yang hidup. Pensterilan dengan panas merupakan
proses pengawetan pangan yang lebih efektif namun mempunyai pengaruh
yang merugikan terhadap zat gizi yang tak mantap, terutama vitamin, dan
menurunkan nilai gizi protein, terutama melalui reaksi Maillard.
3. Perlakuan suhu rendah, pendinginan, pembekuan
Pengawetan dengan suhu rendah, terutama pengawetan dengan suhu beku,
ditinjau dari banyak segi merupakan pengawetan bahan pangan yang paling
tidak merugikan. Suhu rendah menghambat pertumbuhan mikroba dan
memperlambat laju reaksi kimia dan enzim. Aktivitas enzim dalam daging
dapat berhenti akibat penyimpanan pada suhu beku, sedangkan bahan
pangan nabati perlu diblansing terlebih dahulu sebelum dibekukan untuk
mencegah perubahan mutu yang tidak diinginkan. Penurunan vitamin akan
minimum dibandingkan dengan cara pengawetan lain. Penyebab utama kerusakan
mutu adalah karena kondisi yang kurang menguntungkan pada proses pembekuan,
penyimpanan, dan pelelehan kristal es.
4. Pengendalian keasaman, fermentasi dan pemberian zat tambahan
Pertumbuhan mikroorganisme perusak bahan pangan sangat terhambat
dalam lingkungan yang keasamannya tinggi. Salah satu cara mengawetkan
makanan adalah dengan menurunksn pH dengan cara fermentasi anaerob
senyawa karbohidrat menjadi asam laktat. Keasaman beberapa bahan
pangan dapat dinaikkan dengan menambah zat tambahan yang bersifat asam
seperti asam cuka atau asam sitrat yang menimbulkan pengaruh
penghambatan yang sama. Tidak banyak kehilangan zat gizi akibat
fermentasi. Dalam beberapa hal zat gizi dapat ditingkatkan melalui sintesis
vitamin dan protein oleh mikroba.
5. Berbagai macam zat kimia tambahan
Zat tambahan kimia mempunyai daya pengawet terhadap bahan pangan
karena menyediakan lingkungan yang menghambat pertumbuhan mikroba,
reaksi enzim, dan reaksi kimia. Pengolahan demikian termasuk juga
penggunaan zat curing dan pengasapan daging, pengawetan sayuran dan
buah melalui pemanisan, serta perlakuan dengan berbagai jenis zat tambahan
kimia. Pengaruh cara ini terhadap zat gizi beragam, namun pada umumnya
kecil.
6. Irradiasi/penyinaran
Penyinaran dengan cara irradiasi merupakan cara pengawetan bahan pangan
yang lebih canggih. Penggunaan cara ini tidak banyak digunakan karena
penyinaran dengan energi tinggi menghasilkan senyawa baru dalam bahan
pangan yang disinari, bentuk radikal bebas yang sangat reaktif. Mekanisme
radikal bebas tidak hanya mematikan mikroba tetapi juga sangat merusak zat
gizi, terutama vitamin. Kelemahan lain cara ini adalah perubahan yang cukup
besar dalam cita rasa.

STABILISASI ZAT GIZI PADA BAHAN PANGAN

Stabilitas zat gizi selama pengolahan pangan lebih banyak ditekankan pada vitamin,
karena vitamin mudah hilang melalui pencucian, perusakan oleh panas, cahaya, dan
oksidasi. Vitamin yang secara alami terdapat dalam bahan pangan mungkin berada dalam bentuk
koenzim yang sifat stabilitasnya berbeda. Sebagai contoh, vitamin B6 terdapat sebagai piridoksin,
piridoksamin, dan piridoksal. Piridoksal lebih tidak stabil terhadap panas dibandingkan dengan
piridoksin.

 Beberapa contoh kerusakan vitamin :

1. Thiamin mudah mengalami pemecahan dalam larutan netral dan alkalis bahkan sampai
suhu rendah
2. Riboflavin bersifat stabil terhadap panas, dalam larutan dan oksidator kuat
3. Niasin merupakan vitamin yang paling stabil (stabilitas yang tinggi terhadap panas dan
cahaya pada seluruh kisaran pH makanan
4. Piridoksin, stabil terhadap panas dalam larutan asam dan alkalis tetapi peka terhadap
cahaya pada pH 6.0
5. Asam askorbat, mudah dioksidasi
6. Vitamin A, mudah teroksidasi dan peka terhadap cahaya, pada tanaman vitamin A terdapat
sebagai provitamin A yang disebut karotenoid. Senyawa ini sifatnya sama dengan vitamin
A hanya sifatnya lebih stabil
7. Vitamin D, peka terhadap oksigen dan cahaya
8. Vitamin K, peka terhadap cahaya
9. Alfa tokoferol (aktivitas Vitamin E), mudah teroksidasi
10. Pengaruh pengolahan terhadap mineral tidak begitu nyata
11. Pada lemak isomerisasi cis-trans selama pengolahan bahan pangan dapat menurunkan nilai
hayati asam lemak tak jenuh
12. Kadar asam amino dalam suatu protein tidak secara kuantitatif menunjukkan nilai gizinya
karena pembatas dalam penggunaan protein adalah nilai cerna protein. Pengolahan dapat
menaikkan dan menurunkan nilai denaturasi protein oleh panas dapat mempermudah
hidrolisis protein oleh protease dalam usus halus, namun demikian, panas juga dapat
menurunkan mutu protein akibat perombakan beberapa asam amino tertentu.
PENANGANAN TERHADAP BAHAN PANGAN

Pengaruh penyimpanan bahan mentah untuk pengolahan dan pemasaran

Pengangkutan dan sifat bahan hewani yang mudah rusak menyebabkan perlunya
pendinginan selama penyimpanan dan pengangkutan. Perlakuan ini mengurangi perubahan zat
gizi yang terjadi selama penanganan, dan untuk tujuan praktis, kadar zat gizi produk pada waktu
dibeli masih sama dengan pada waktu diproduksi, kecuali auaut akibat pembersihan dan perlakuan
mekanis.

Penguapan cairan melalui potongan daging akan mengurangi bobot selama pendinginan.
Selain susut bobot, dehidrasi juga mengakibatkan kenampakan yang jelek dan memperkeras
permukaan daging, sehingga mengurang harga jualnya. Umumnya susut bobot tersebut tidak
besar, berkisar antara 1 dan 5%.

Banyak faktor yang mempengaruhi besarmya susut akibat pendinginan, antara lain karena
laju gerakan udara dan kelembapan. selain mengurangi besarnya susut, kelembaban yang tinggi
juga memperbesar kecenderungan pertumbuhan bakteri dan kapang.

Susut merupakan faktor ekonomi penting, namun tidak mempengaruhi kadargizi,


bahkan susut air mempertinggi kadar zat padat dalam makanan dan tidak mengurangi jumlah
totalnya.

Pada umumnya dapat diamati bahwa perubahan utama yang terjadi dalam bahan pangan
hewani selama pengolahan segar adalah susut bobot akibat pembuangan yang tidak dapat dimakan
dan akibat susut air selama pendinginan atau penyimpanan sementara. Susut gizi hanya sedikit
sehingga perhatian terhadap retensi warna, cita rasa, bau,, dan mutu organoleptis lebih
diperhatikan.

PENGARUH PENGOLAHAN PANAS TERHADAP ZAT GIZI

1. Pengaruh pengukusan, pasteurisasi, dan pensterilan


Pengolahan panas merupakan salah satu cara paling penting yang telah
dikembangkan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Walaupun demikian
pengolahan panas juga mempunyai pengaruh yang merugikan terhadap zat gizi, karena
degradasi panas dapat terjadi pada zat gizi. Karena itu pengolahan panas dapat
memperpanjang dan menaikkan ketersediaan bahan pangan untuk konsumen, tetapi bahan
pangan tersebut mungkin mempunyai kadar gizi yang rendah (dibandingkan dengan
keadaan segarnya). Tantangan bagi industri pengolahan pangan adalah memperkecil susut
gizi selama pengolahan panas tetapi cukup menjamin umur simpan yang lebih lama.

Beberapa pengolahan panas banyak diterapkan beberapa diantaranya bertujuan


untuk menaikkan kelezatan makanan tersebut. Contohnya adalah pemasakan, termasuk
pembakaran dalam oven atau langsung di atas arang atau api, pendidihan, penggorenagan,
dan perebusan. Untuk pengolahan panas lain, tujuannya adalah menaikkan umur simpan
bahan pangan dan memperkecil timbulnya penyakit yang berasal dari makanan.
Contohnya, pengukusan, pasteurisasi, dan pensterilan.

Pengukusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem


jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, atau pengalengan. Tujuan proses pengukusan
bergantung kepada perlakuan lanjutan terhadap bahan pangan. Misalnya pengukusan
sebelum pembekuan atau pengeringan bertujuan untuk menginaktifkan enzim yang akan
menyebabkan perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama
penyimpanan. Pengukusan sebelum pengalengan mempunyai beberapa fungsi , termasuk
pelayuan jaringan sebelum penutupan kaleng, dan menginaktifkan enzim. Yang penting
dalam pengukusan bahwa tujuan utama bukanlah perusakan mikroba.

Pasteurisasi adalah pengolahan panas yang dirancang untuk untuk menginaltifkan


enzim sebagian saja mikroorganisme vegetatif yang terdapat dalam pangan. Karena
makanan tidak steril, maka pasteurisasi sebagaimana pengukusan harus juga digunakan
secara bersamaan dengan cara pengawetan lain seperti fermentasi , pendinginan (misalnya
susu ), mempertahankan kondisi anerob ( misalnya bir ), atau harus digunakan pada produk
sari buah yang sangat asam yang lingkungannya tidak cocok untuk pertumbuhan mikroba
yang berbahaya bagi kesehatan.

Steril adalah istilah yang menunjukkan kondisi tanpa mikroorganisme hidup.


Penstrerilan merupakan istilah untuk setiap proses yang menghasilkan kondisi steril dalam
makanan. Beberapa mikroorganisme dan sporanya sangat tahan panas dan biasanya tidak
praktis untuk menterilkan makanan dengan pengolahan panas. Apabila hal ini dilakukan
maka organoleptik dan nilai gizi makanan akan rusak sehingga tidak dapat diterima. Karena
itu pensterilan yang digunakan pada pengolahan panas makanan dibarengi dengan cara
pengawetan lain, misalnya pengemasan dan pengaturan suhu penyimpanan. Cara tersebut
dimaksudkan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme atau sporanya dalam
lingkungan kondisi penyimpanan. Makanan yang telah diproses dengan panas dan
memenuhi persyaratan ini disebut steril komersil.

Mengoptimumkan proses panas untuk retensi zat gizi

Untuk menentukan kondisi optimum retensi zat gizi, persaan yang menggambarkan
keadaan waktu atau suhu suatu produk harus dikaitkan dengan parameter yang
menggambarkan kinetika reaksi perusakan zat gizi dan faktor lain. Hal ini memungkinkan
pengoptimunan proses, ditinjau dari retensi zat gizi.

Pengoptimuman proses pengukusan ditinjau dari retensi zat gizi meliputi


pertimbangan susut gizi akibat degradasi termal. Misalnya pengukusan dalam air panas
dapat mengakibatkan susut gizi akibat penelusan. begitu pula susut akibat oksidasi dapat
terjadi selama pengukusan dalam udara panas. Jadi apabila kita hanya memperhatikan
degradasi termal zat gizi untuk mengoptimumkan pengukusan, sukar untuk memperkirakan
suatu proses yang optimum, karena dasar untuk untuk proses (enzim tahan panas) dan
faktor gizi menunjukkan ketergantungan pada suhu yang hampir sama. Karena itu
pengukusan lama dan suhu yang rendah tidak mempunyai keuntungan yang nyata
dinadingkan dengan pengukusan dengan sebentar pada suhu tinggi. Tetapi jika terjadi
penelusan yang berarti atau susut akibat oksidasi, maka pengukusan pada suhu tinggi waktu
singkat (STWS) akan menghasilkan retensi zat gizi yang lebih besar.

Untuk pasteurisasi dan pensterilan komersil, ada peluang untuk


mengoptimumkan proses untuk retensi zat gizi. Untuk makanan atau makanan berbentuk
cair yang dipasteurisasi, proses STWS menghasilkan retensi zat gizi yang maksimum. Hal
ini dapat diperkirakan dengan cara membandingkan energi pengaktifan mikroorganisme
terhadap energi pengaktifan zat gizi tersebut. Kenaikan suhu proses (dengan semakin
singkatnya waktu proses) akan sangat mempengaruhi laju perusakan mikroba
dibandingkan dengan pengaruhnya pada tingkat perusakan zat gizi. Akibatnya STWS
menghasilkan retensi zat gizi yang lebih besar.
Untuk sterilisasi komersil, pengoptimuman proses panas tidak bersifat
langsung. Untuk sterilisasi komersil, baik diluar wadah (pengolahan panas aseptik),
ataupun di dalam wadah dengan pemanasan konveksi, proses suhu tinggi waktu singkat
akan menghasilkan retensi zat gizi dan faktor mutu yang maksimum. Sebagaimanan dalam
perlakuan pasteurisasi hal ini disebabkan oleh perbedaan tanggapan suhu terhadap laju
kerusakan mikroba dibandingkan dengan tanggapan terhadap laju perusakan zat gizi dan
faktor mutu. Hal ini menguntungkan unit pengalengan aseptik yang dapat menggunakan
suhu sampai 1770C. Namun dalam pengolahan pangan yang mungkin mengandung enzim
alami, ada pembatas suhu maksimum yang dapat digunakan. Batas maksimum ini adalah
apabila proses panas tersebut mematikan mikroba tetapi tidak merusak enzim. Hal ini
merupakan perbedaan konsekuensi perbedaan tanggapan laju degradasi mikroba dan enzim
terhadap suhu.

Pada suhu pengolahan panas yang lebih rendah, laju perusakan enzim lebih
besar daripada perusakan mikroorganisme, tetapi dengan naiknya suhu proses, laju
perusakan mikoba naik lebih cepat dibandingkan dengan perusakan enzim. Dengan
demikian terdapat suatu suhu yang menyebabkan laju perusakan enzim yang tahan panas
sama dengan laju perusakan mikroba yang digunakan sebagai dasar proses tersbut. Di atas
suhu tersebut, ketidak aktifan enzim harus digunakan sebagai dasar proses, karena laju
perusakan enzim lebih rendah dari perusakan mikroba. Apabila hal ini tidak diperhatikan
dalam pengolahan produk yang mengandng enzim tahan panas alami, mutu produk dapat
rusak selama penyimpanan karena aktifitas dari sisa dari enzim. Kisaran suhu yang laju
perusakan enzimnya samadengan laju perusakan mikroba biasanya antara 132-1430C.
Karena itu untuk produk yang mengandung enzim tahan panas, proses di atas persimpangan
suhu ini harus didasarkan pada ketidak aktifan enzim.

Dalam situasi ini pengoptimuman proses untuk retensi gizi sukar diduga karena laju
perusakan zat gizi dan faktor mutu menunjukkan kebergantungan suhu yang besarnya mirip
dengan laju perusakan enzim tahan panas.

Pengoptimuman proses panas untuk retensi zat gizi ditentukan oleh kebergantungan relatif
pada suhu, yaitu antara laju perusakan enzim atau mikroba dengan laju perusakan zat gizi.
Tabel berikut menunjukkan ringkasan cara mengoptimumkan pengukusan,
pasteurisasi, dan pensterilan niaga, dilihat dari retensi zat gizi.

Tabel. Pengoptimuman tiga proses panas untuk retensi zat gizi

Proses Cara mengoptimumkan

Pengukusan Berdasarkan tinjauan selain karena susut karena panas


(misalnya susut akibat penelusan, susut akibat degradasi
oksidati, kerusakan produk)

Pasteurisasi STWS apabila tidak terdapat enzim yang tahan panas

Pensterilan niaga Pemanasan konveksi bahan pangan dan pengolahan aseptik,


STWS sampai pengaruh enzim tahan panas menjadi penting

Bahan pangan penghantar panas, tidak selalu perlu STWS,


sukar tetapi dapat dihitung.

2. Pengaruh pemanggangan dengan oven terhadap zat gizi

Perusakan zat gizi terhadap makanan yang dipanggang dengan (terutama roti dan kue)
terutama berkaitan dengan suhu oven dan lamanya pemanggangan, serta pH adonan. Nampaknya
tidak ada susut vitamin yang berarti dalam tahap pencampuran, fermentasi, dan pencetakan.
Bahkan kadar beberapa vitamin dapat meningkat sedikit selama fermentasi, yaitu vitamin yang
disintesa oleh sel kamir.

a) Mineral

Secara keseluruhan unsur ini tidak diharapkan berubah hanya karena pemanggangan, tetapi
ketersediaan zat gizi mineral tertentu memang dapat berubah. Fitin yang ada dalam bekatul
gandum dapat mengkompleks kalsium dengan erat dan mungkin kation lain, membuat zat ini tidak
tersedia bagi gizi manusia. Oleh sebab itu jika diperlukan roti yang terbuat dari tepung gandum
murni sebagai makanan pokok, disarankan penambahan kalsium ( misalnya dengan menambahkan
kapur kepada roti )
b) Vitamin

Dalam lingkungan agak asam di dalam bahan yang difermentasi (roti, roti manis dll ),
tiamin hanya susut sedikit dari jumlah yang tersisa berkaitan dengan intentitas panas perlakuan
panas.

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa roti yang dipanggang sampai kulitnya berwarna
pucat, sedang atau gelap masing-masing menyisakan 83,80%, dan 78% tiamin dalam adonan.
Lebih jauh diungkapkan bahwa retensi terbesar terjadi dalam potongan adonan yang dipanggang
dalam waktu singakat.

Apabila pH meningkat sampai diatas 6, hampir semua tiamin dapat hilang. Hal ini
berlangsung untuk kebanyakan bahan makanan yang diadoni dengan bahan kimia seperti bolu
panggang, cake, roti jagung, dan berbagai jenis donat.

c) Protein dan asam amino

Yang menjadi perhatian adalah lisina, karena asam amino ini sangat terbatas dalam tepung
serealia. Tingkat kerusakan asam amino bebas ternyata berkaitan dengan banyaknya gula
pereduksi yang ada.

Dari hasil penelitian dilaporkan susut lisin rata-rata 15% dalam pemanggangan roti. Lisin
(yang ditambahkan dalam bentuk asam amino ) juga susut dengan laju yang sama.

PENGARUH PENGAWETAN BEKU TERHADAP ZAT GIZI

Penanganan, penyimpanan, dan pengawetan bahan pangan sering mengubah nilai gizi,
yang umumnya tidak diinginkan. Apabila proses pembekuan (perlakuan prapembekuan,
pembekuan, gudang beku, dan pencairan) dilakukan dengan benar, metode ini dianggap yang
terbaik dalam pengawetan jangka panjang, dipandang dari retensi atribut sensorium dan zat gizi.

Walaupun demikian proses ini bukanlah yang sempurna karena tetap ada susut zat gizi.
Susut vitamin selama proses ini beragam bergantung kepada bahan pangan, kemasan, kondisi
pengolahan dan penyimpanan.
Susut zat gizi dapat disebabkan, pemisahan ragawi (mis; pengupasan dan pemotongan
selama masa prapembekuan, atau penetesan pada waktu pencairan), penelusan ( terutama selama
pengukusan), atau penguraian kimiawi.

Tingkat penyusutan bergantung kepada; zat gizi (apakah jumlahnya melimpah atau sedikit
dalam bahan pangan ), sifat bahan pangan (apakah bahan pangan itu memasok zat gizi yang
bersangkutan dalam jumlah besar atau kecil).

A. Sayuran
Susut zat gizi selama pembekuan

Dari beberapa data yang dikumpulkan disimpulkan bahwa susut vitamin selama
pembekuan biasanya tidak berarti. Susut vitamin C selama penyimpanan sayuran beku beragam
bergantung kepada produk. Pada suhu -180C susut ini meningkat sesuai dengan waktu. Persen
susut vitamin C pada buncis cukup besar dan pada bunga kol, tetapi kecil pada brokoli dan kapri.
Kenyataan bahwa susut vitamin C sangat besar pada brokoli selama pengukusan dan kecil selama
penyimpanan beku, sekali lagi memberi petunjuk bahwa susut selama pengukusan terutama terjadi
melalui mekanisme penelusan, bukan penguraian kimiawi.

B. Buah

Susut zat gizi selama perlakuan prapendinginan

Perlakuan prapendinginan menunjukkan pengaruh buruk pada kadar zat gizi buah biasanya
melibatkan penyimpanan dalam waktu panjang atau pada suhu relatif terlalu tinggi. Dari hasil
penelitian ditemukan bahwa juka buah frambus dibiarkan pada suhu kamar selama 24 – 48 jam
sebelum pembekuan, masing-masing menunjukkan susut vitamin C 17% dan 30%. Sebaliknya
penyimpanan buah arbei selama 2 – 4 hari pada 0 – 110C sebelum pembekuan hanya sedikit
mempengaruhi kadar vitamin C.

Susut zat gizi selama pembekuan

Dua penelitian pada buah frambus dan kismis hitam mengatakan bahwa susut vitamin C
selama pembekuan tidak berarti.
C. Jaringan hewan

Susut zat gizi selama perlakuan prapendinginan

Perlakuan prapendinginan utama pada jaringan hewan adalah pemeraman. Dari penelitian
yang telah dilakuakan; ¼ kg contoh lemusir (longisimus dorsi) dan otot has (semi membran)
daging sapi diperam 21 hari pada suhu 21 hari pada suhu 10C, tidak menyusutkan tiamin dan
riboflavin, tetapi ada susut niasin sebesar 35%. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa daging
babi yang diperam pada suhu -10C, tidak ada pengaruh pada riboflavin, tiamin, asam pantotenat
dan asam nikotinat. Kelihatannya tidak ada pengaruh pemeraman dalam waktu singkat pada suhu
non beku yang rendah.

Susut zat gizi selama pembekuan

Susut vitamin B selama pembekuan otot hewan bangsa sapi, bangsa domba, dan bangsa
babi, tidak nyata dipengaruhi oleh laju pembekuan. tetapi laju pembekuan dapat mempengaruhi
banyaknya tetesan selama pencairan kebekuan dan pemasakan, serta banyaknya kerusakan
jaringan dalam daging unggas.

Perubahan oksidatif dalam daging sapi dan babi berlangsung lebih lambat apabila daging
dibekukan secara lambat dibandingkan dengan jika pembekuannya cepat. Beberapa vitamin
menjadi tidak aktif akibat oksidasi.

Susut zat gizi dalam tetesan pencairan

Tetesan pencairan banyak mengandung zat gizi. Walaupun susut kebanyakan zat gizi
biasanya tidak besar kewaspadaan harus ada agar tetsan pencairan dapat digunakan konsumen dan
agar pengolah dapat melakukan pengendalian apa saja untuk meminimumkan jumlah tetesan
pencairan.

Banyaknya tetesan pencairan dari jaringan hewan dapat berkisar kurang dari 1% sampai
lebih dari 30%. Beberapa faktor yang mempengaruhi banyaknya tetesan pencairan dapat
digolongkan sebagai berikut, 1). jenis produk, 2). keragaman alami dalam produk tertentu, dan 3).
peubah pengolahan.

Jenis produk. Perbedaan dalam tetesan pencairan dapat terjadi bergantung kepada jenis
produk yang dibekukan.
Sifat produk yang dibekukan. pH daging ternyata sangat mempengaruhi banyaknya
tetesan pencairan. pH tertinggi sebesar 6.4 memberikan tetesan pencairan tersedikit dalam daging
babi, domba, dan sapi, dan tetesan bertambah bila pH diturunkan menjadi 5 – 5,2. Kekakuan pada
waktu jaringan hewan dibekukan juga mempengaruhi banyaknya tetesan pencairan. Untuk
jaringan yang peka akan pengaruh ini ( beberapa ikan, otot paus, daging unggas, otot mamalia),
urutan pengolahan yang meliputi prapengkakuan pembekuan yang cepat, penyimpanan pada suhu
rendah, dan pencairan yang cepat dapat mengakibatkan tetesan pencairan yang banyak.

Perubah pengolahan.

Pemeraman daging sapi menjelang pembekuan ternyata mengurangi jumlah tetesan


pencairan. Potongan kecil dari jaringan hewan (nisbah permukaan terhadap volume yang besar)
cenderung menunjukkan lebih banyak tetesan pencairan dibandingkan dengan potongan jaringan
yang besar.

Pembekuan cepat sering mengakibatkan tetesan pencairan yang lebih sedikit dibandingkan
dengan pembekuan lambat, terutama pada potongan kecil jaringan hewan. Pembekuan lambat
menyebabkan produk tetap berada pada suhu bawah baku yang tinggi selama periode yang nisbi
lama, sehingga glikolisis dapat berlangsung dan karena itu mengurangi kemungkinan kaku pada
pencairan.

Tetesan pencairan umumnya semakin banyak dengan semakin panjangnya waktu simpan,
terutama untuk potongan kecil jaringan hewani. Laju pencairan dapat pula mempengaruhi
banyaknya tetesan pencairan. Banyaknya tetesan pencairan dari jaringan hewan yang dilakukan
sebelum beku sering lebih sedikit dibandingkan jika pencairan dilakukan lambat-lambat
dibandingkan dengan jika dilakukan dengan cepat.

Perlakuan kimiawa juga dapat mempengaruhi banyaknya tetesan pencairan. Misalnya jika
ikan sebelum dibekukan dicelupkan ke dalam larutan trinatrium polipospat maka banyaknya
tetesan pencairan akan berkurang.

Selama proses pembekuan, susut vitamin dari sayuran terutama disebabkan oleh
pengukusan dan penyimpanan beku yang berkepanjangan (6-12 bulan), susut dalam buah akibat
penyimpanan beku yang terlalu lama dan pencairan kebekuan (apabila cairan kebekuannya tidak
dikonsumsi), dan dalam jaringan hewan akibat penyimpanan beku yang lama dan oleh pencairan
kebekuan (tetesan pencairan).

Vitamin larut air dalam jumlah sedang sampai banyak, susut dari sayuran selama
pengukusan, dari jaringan hewan selama pencairan kebekuan (tetesan pencairan), dan dari buah
akibat penelusan ke dalam sirup, dan selama pencairan kebekuan (tetesan pencairan ). Hampir
semua susut dapat dihindari jika, 1. sayuran dikukus dan didinginkan dengan cara tidak melibatkan
air, 2. tetesan cairan dari jaringan hewan dan sirup serta tetesan cairan dari buah juga dikonsumsi.

Untuk sayuran dan jaringan hewan, susut zat gizi larut air yang tinggi dapat terjadi selama
pemasakan. Untuk sayuran, susut ini dapat diperkecil dengan menyingkat waktu pemasakan dan
menggunakan air pemasak yang sedikit, sedangkan untuk jaringan hewan dengan mengkonsumsi
tetesan cairan, misalnya dalam bentuk kuah.

PENGARUH TURUNNYA KADAR AIR TERHADAP ZAT GIZI

Bahan pangan terdehidrasi dan bahan pangan pekat, keduanya sebagai bahan pangan
olahan lanjutan, dan sebagai barang konsumsi, adalah produk industri yang penting. Susu, telur,
buah dan sari buah, sayuran, daging, dan lain-lain yang penting secara gizi dapat dijumpai dalam
bentuk terdehidrasi. Sari buah dan susu adalah produk utama yang penting secara gizi yang dapat
ditemukan dalam bentuk pekat. Produk yang dihasilkan melalui kedua pekerjaan pengolahan ini
telah mengalami berbagai pendahuluan seperti pencucian, pengupasan, pengukusan, dan
pemasakan, yang dapat mempengaruhi nilai gizi. Bahan pangan terdehidrasi bila disimpan dalam
keadaan pada kondisi yang benar, tidak akan rusak oleh mikroba, sehingga proses pemekatan
sering dilanjutkan dengan proses pengawetan lanjutan.

Penguapan dan proses pengeringan pada umumnya, melibatkan penambahan kalor kepada
bahan pangan dan penghilangan lembab dalam bentuk uap air. Dalam banyak hal suhu pengolahan
di atas suhu kamar, tetapi dibawah suhu yang digunakan untuk pensterilan. Terdapat berbagai
proses untuk menghasilkan produk kering atau produk pekat, dan setiap prose mempunyai
keuntungan tersendiri dibandingkan dengan proses produksi lainnya. Untuk setiap proses, ada
kisaran kondisi pengolahan yang akan mempengaruhi retensi zat gizi pada produk olahan.
Pembahasan ini akan menjadi jauh lebih mudah apabila dibuat aturan sederhanan untuk semua
pekerjaan pengeringan agar dapat diramalkan kondisi terbaik dalam proses pengeringan dan
pemekatan. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan karena rumitnya perubahan yang terjadi dalam
bahan pangan selama pengolahan.

Suhu

Suhu bahan pangan selama pengeringan atau pemekatan sangat beragam dan bergantung
pada teknik pengolahan yang dipakai. Suhu biasanya berkisar dari 29 – 1000C, bergantung pada
proses dan produknya. Dalam membahas sejenis produk yang dikeringkan atau dipekatkan melalui
satu proses, sudah jelas bahwa suhu tinggi yang dialami bahan pangan meningkatkan laju reaksi
kimia. Dampak ini adalah akibat perubahan tetapan laju reaksi karena perubahan suhu. Pengolahan
pada suhu rendah memberikan produk dengan tingkat kerusakan kimiawi yang kecil, Namum
pengolahan pada suhu rendah biasanya lebih mahal karena memerlukan waktu lebih lama.
Disamping itu ada kemungkinan pertumbuhan mikroba selama pengolahan, terutama pada suhu
diantara 4 sampai 400C. Karena itu metode yang mengurangi waktu pengolahan tanpa memakai
suhu yang terlalu tinggi di atas suhu pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan, akan
mempertahankan zat gizi sebesar-besarnya. Metode ini meliputi perbaikan pola aliran udara dan
peningkatan nisbah permukaan terhadap voluime.

Air

Air tersebar dalam bahan pangan keringa atau pekat, dalam berbagai bentuk. Air mungkin
dijumpai sebagai cairan yang mengandung zat terlarut pada saat bahan pangan “basah” dan
berasosiasi dengan komponen lain. Parameter termodinamika yang menjelaskan keadaan air
adalah aktivitas air, yang menurut defenisi kerja diartikan sebagai kelembaban nisbih dalam
kesetimbangan dengan bahan pangan, dibagi 100.

Dalam produk pekat, larutan air ini adalah cairan, tetapi dalam bahan kering dan agak
lembab larutan ini mungkin dijumpai dalam kapiler atau dipegang oleh protein yang mengembang
atau gel polisakarida. Jika aktivitas air menurun, bentuk air yang menonjol menjadi air yang
menghidrasi komponen yang bersifat hidrofil.

Keadaan air yang menimbulkan pengaruh nyata pada susut gizi. Air dapat pula merupakan
produk dari beberapa reaksi yang dapat balik sehingga dapat memperlambat laju reaksi ke depan.
Beberapa pereaksi, seperti vitamin yang larut air, ada dalam konsentrasi rendah. Jika kadar air dan
aktivitas air menurun dari harga alaminya, seperti yang terjadi pada pengeringan, terjadilah
beberapa dampak penting. Larutan berair menjadi lebih pekat. Beberapa komponen bahan pangan
mungkin membentuk larutan lewat jenuh, dan akhirnya mengendap.

Pemekatan

Pemekatan adalah sebagian dari proses produksi sari buah pekat, bubur buah, selai, sup,
susu kental, dan susu bubuk. Sejauh ini penguapan air adalah metode yang paling sering digunakan
untuk mengurangi kadar air, walaupun akhir-akhir ini telah dikembangkan proses membran dan
pemekatan beku. Keuntungan nyata dari produk pekat adalah berkurangnya bobot bobot dan
volume melalui pengolahan. Tambahan lagi jika produk harus dikeringkan setelah dipekatkan,
biaya pengolahan total jauh lebih rendah apabila sebagian air dibuang malalui pemekatan sebelum
pengeringan. Dari penelitian diperoleh bahwa pemekatan sebelum pengeringan menahan cita rasa
yang mudah menguap dengan lebih baik selama proses pengeringan. Beberapa produk pekat
diproduksi tanpa pengolahan tambahan.

Penguapan

Sejauh ini penguapan adalah metode paling umum digunakan untuk memekatkan produk
bahan pangan cair. Proses ini dapat dipandang sebagai pendidihan air yang sederhana pada suhu
yang keragamannya bergantung pada produk dan prosesnya. Karenan air memerlukan sekitar 2200
BTU per kg untuk menguapkannya, kalor harus dipasok kepada cairan selama penguapan.
Perlengkapan yang digunakan untuk memindahkan kalor ke dalam bahan pangan bermacam-
macam dan telah mengalami perkembangan teknis yang pesat. Tujuannya adalah menghasilkan
produk dengan perubahan sekecil-kecilnya selama pengolahan

Anda mungkin juga menyukai