Anda di halaman 1dari 55

PENGARUH PEMBERIAN GULA PASIR TERHADAP

KEBERHASILAN MINUM OBAT PUYER


PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PERAWATAN LAYENI

OLEH
NAMA : GRACELYA JUNEKE ALFONS
NPM: 12114201160040
KELAS : B

PROGRAM STUDI KEPERAWATANFAKULTAS


KESEHATANUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
MALUKUAMBON

2019

i
PENGARUH PEMBERIAN GULA PASIR TERHADAP
KEBERHASILAN MINUM OBAT PUYER
PADA BALITA DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS PERAWATAN LAYENI

OLEH
NAMA : GRACELYA J ALFONS
NPM : 12114201160068
KELAS: B

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
AMBON

2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat Rahmat serta

Karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal ini dengan

judul :Pengaruh Pemberian Gula Pasir terhadap Keberhasilan Minum Obat Puyer

pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas nusalaut.

Penulisan proposal ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Keperawatan Fakultas

Kesehatan Universitas Kristen Indonesia Maluku. Dalam penulisan proposal ini tidak

lepas dari hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan, bantuan, nasehat dan

saran serta kerjasama dari berbagai pihak, segala hambatan tersebut akhirnya dapat

diatasi dengan baik.

Ambon 18, desember 2019

GRACELYA J ALFONS

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………... i

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………… iii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………... iv

DAFTAR TABEL …………………………………………………………... v

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. vi

DAFTAR LAMPIRAN …………………………… viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakan………………………………………………………….. 1

B. Rumusan masalah ……………………………………………………. 6

C. Tujuan penelitian …………………………………………………….. 6

D. Manfaat penelitian 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 9

BAB III METODE PENELITIAN

A. Rancangan Desain Penelitian …………………………………………… 33

B. Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………………… 34

C. Populasi dan Sampel ………………………………………… 34

D. Variabel Penelitian ……………………………………………………... 34

E. Defenisi Operasional …………………………………………………… 35

iv
F. Instrumen Penelitian ……………………………………………………. 36

G. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………….. 38

H. Teknik Pengolahan Data………………………………………………… 39

I. Etika Penelitian …………………………………………………………. 41

DAFTAR PUSTAKA

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Rute, letak masuk dan bentuk obat berdasarkan efek sistemik … 18

Tabel 2.2 Rute, letak masuk dan bentuk obat berdasarkan efek local …….. 19

Tabel 2.3 Komposisi Zat Gizi Gula Pasir (per 100 gram berat bahan) …… 25

Tabel 3.1 Defenisi Operasional Variabel ………………………………... 37

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan kelompok umur

balita yang mempunyai masalah minum obat puyer di Wilayah

Kerja Puskesmas Nusalaut Desember 2018


46
…………………........

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis Kelamin yang

mempunyai masalah minum obat puyer di Wilayah Kerja

Puskesmas Nusalaut Desember 2018 ………………………..


46

Tabel 4.3 Hasil Uji Statistik ………………………………………………... 47

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rute Pemberian Obat ……………………….…………………. 20

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian …...………………………………. 32

Gambar 3.1 Skema Post Test Only Control Group Design …………………. 34

vii
DAFTAR LAMPIRAN

1. Informed Consent

2. SOP Pemberian Obat secara Oral

3. Lembar Observasi

4. Distribusi Frekuensi Responden

5. Hasil Uji Normalitas

6. Hasil Uji Mann Whitney

7. Master Tabel

8. Surat Pengambilan Data Awal

9. Surat Ijin Penelitian

10. Surat Keterangan Telah Selesai Melakukan Penelitian

11. Dokumentasi

viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Anak adalah kelompok sosial yang spesifik yang bukan merupakan orang

dewasa kecil. Anak memiliki perbedaan psikologi dan fisiologi yang spesifik yang

dapat berpengaruh terhadap baik farmakokinetik maupun farmakodinamik obat. Anak

merupakan populasi dengan risiko tinggi dalam pengobatan (Widyaswari &

Wiedyaningsih, 2012). Obat merupakan salah satu komponen yang tidak tergantikan

dalam pelayanan kesehatan (Menkes RI, 2008). Pemberian obat yang aman dan

akurat merupakan salah satu tugas terpenting perawat (Heriana, 2014).

Menurut Forough, et al (2018) rute oral umumnya merupakan metode yang

disukai dan sering dilakukan dalam pemberian obat karenalebih nyaman, hemat

biaya, dan dapat diterima untuk semua pasien. Namun, sebagian

anakmemilikikesulitan menelan obat, karena bentuk sediaan obat padat (tablet dan

kapsul) menyebabkan anak sulit untuk menelan dan rasa obat yang pahit.

Ketersediaan formula obat untuk anak di Indonesia masih terbatas sehingga

pemberian obat racikan, terutama puyer merupakan alternatif pengobatan yang

diberikan.Obat racikan adalah obat yang dibentuk dengan mengubah atau mencampur

sediaan obat. Bentuk obat racikan bisa berupa bentuk padat, semi padat maupun cair.

Di Indonesia bentuk racikan terutama dibuat dalam bentuk puyer, dan banyak

diresepkan untuk anak-anak di bawah 5 tahun.Berbagai hal telah menjadi alasan

sebagai penyebab diberikannya obat dalam bentuk puyer, meliputi: tidak tersedianya

1
formula obat untuk anak, harga obat formula anak relatif lebih mahal, anak memang

belum mampu menelan obat bentuk tablet atau pertimbangan lain seperti kepatuhan

penggunaan obat bila obat yang diberikan terlalu banyak jenisnya (Widyaswari &

Wiedyaningsih, 2012).

Pemberian obat bagi pasien anak masih banyak diresepkan oleh dokter dalam

bentuk sediaan puyer, dikarenakan memiliki beberapa keunggulan dibandingkan

bentuk sediaan jadi buatan pabrik, yaitu mudah untuk mengatur dosis dan kombinasi

obatnya sesuai dengan kebutuhan pasien (Pratama, dkk, 2014).

Penelitian “The Practice of Compounded Medicines for Children Suffering

from Tuberculosis in Indonesia” (2013) menjelaskan tentang keuntungan dan

kerugian dari peracikan obat puyer bagi pasien TB. Menurut dokter dan apoteker

keuntungannya adalah lebih mudah mengatur dosis, karena dapat disesuaikan dengan

berat badan anak secara lebih tepat, lebih murah, dan lebih mudah diberikan kepada

anak karena hanya memberikan satu macam yang terdiri dari berbagai gabungan obat,

serta cara pemberian lebih mudah untuk anak yang tidak dapat menelan bentuk

sediaan padat (tablet dan pil). Kerugian yang ditimbulkan menurut keluarga pasien

TB adalah pada waktu menyiapkan, ada serbuk yang tumpah atau terbuang dan rasa

obat yang pahit(Siahaan & Mulyani, 2013).

Keengganan terhadap rasa pahit dapat menghambat penerimaan dan kegunaan

atau khasiat dari obat. Rasa pahit dari sebuah obat seringkali merupakan ekspresi

sensori dari aktivitas farmakologi obat tersebut. Dalam banyak kasus semakin kuat

obat, maka semakin pahit rasa obat itu. Semakin pahit obat, maka semakin besar

2
kemungkinan obat itu akan ditolak. Rasa obat yang manis dapat meningkatkan

kemampuan pasien anak untuk mematuhi terapi obat (Mennella, 2013). Kepatuhan

terapi merupakan penentu utama keberhasilan pengobatan (Jimmy & Jose, 2011).

Dengan demikian tantangan utama adalah mengurangi rasa pahit obat di lidah

khusunya pada pasien anak (Mennella, 2013).

Ketidakpatuhan untuk mengkonsumsi obat dapat membahayakan dan dalam

beberapa kasus nyawa menjadi terancam. Pada tahun 2012 diperkirakan 125.000

kematian per tahun di Amerika adalah karena ketidakpatuhan minum obat, tingkat

ketidakpatuhan minum obat di rumah sakit masuk dalam kategori buruk yaitu

mencapai 33% - 69%, dan hampir setengah penduduk Amerika 133 juta orang

menderita satu kondisi kesehatan yang berkelanjutan atau kronis karena

ketidakpatuhan minum obat dan diperkirakan akan meningkat hingga 157 juta orang

pada tahun 2020(Benjamin, 2012).

Menurut Mennella (2015) anak lebih menyukai rasa manis dan tidak menyukai

rasa pahit merupakan sifat biologi yang ada sejak lahir. Seiring dengan pertambahan

usia, kesukaan akan rasa yang manis akan berkurang, sebaliknya anak akan

mentolerir rasa pahit seiring dengan pertambahan usia. Hal ini dikaitkan dengan

kebutuhan kalori anak dalam pertumbuhan. Mennella menjelaskan garam dapat

memblokir rasa pahit bagi orang dewasa, namun tidak untuk anak–anak. Untuk anak–

anak, gula merupakan penghambat rasa pahit yang lebih baik dibanding dengan

garam.

3
Gula secara umum telah digunakan untuk menyamarkan obat–obatan

tradisional yang memiliki rasa tidak enak dan pahit (Baguley, 2012). Di Indonesia

gula juga digunakan untuk menyamarkan rasa pahit dari beberapa ramuan tradisional,

misalnya gula ditambahkan pada ramuan air buah jamblang untuk mengatasi batuk

rejang, dan gula ditambahkan juga pada ramuan air kayu manis untuk mengatasi diare

(Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB, 2014). Jamu merupakan salah satu obat

trandisional yang memiliki rasa yang pahit, gula pasir juga telah digunakan untuk

mengurangi rasa pahit dari jamu (Fhitryani, dkk, 2017).

Newton (2012) menjelaskan pada abad ke–16 di Inggris akar Peony bubuk

dapat menyembuhkan batu kandung kemih pada anak–anak kemudian dicampurkan

dengan gula pasir. Pada abad ke–17 untuk mengatasi rasa obat yang pahit madu

dijadikan sebagai pemanis tradisional, namun pada pertengahan abad ke–17 gula

lebih sering digunakan sebagai pemanis dan dianggap sebagai makanan yang lebih

sehat. Menurut Abbott (2008), pada abad ke–17 gula dipercaya sebagai obat karena

gula dapat menyeimbangkan hormon dalam tubuh, dan dapat berinteraksi dengan

obat serta meningkatkan efektivitas obat. Pemberian gula pasir untuk mengatasi rasa

obat yang pahit di lidah juga digunakan pada praktik terapi antiretroviral anak

penderita HIV/AIDS(Hapsari & Azinar, 2017).

Anak–anak sering tidak suka dengan rasa obat yang pahit dan hal itu menjadi

penghalang dalam pemberian obat. Hal ini di dukung dengan hasil penelitian di

Pennsylvania, Amerika Serikatoleh Mennella (2015), dari 86 anak 73 diantaranya

menolak minum obat dengan alasan rasa obat yang pahit, 7 anak memiliki masalah

4
menelan obat, 2 anak mengatakan alergi, dan 4 anak menolak dengan alasan obat

hanya untuk orang dewasa.

Menurut Wibowo (2008), salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan

ketidakpatuhan pasien rawat jalan dalam melaksanakan pengobatan antibiotika

jangka pendek di Poliklinik Umum Departemen IKA FKUI-RSCM adalah rasa obat

yang pahit. Dari 82 responden berusia 1 bulan–18 tahun, 15 responden menolak

untuk meminum obat karena rasa obat yang pahit. Hasil penelitian tentang “Analisis

Profil dan Faktor Penyebab Ketidakpatuhan Pengasuh Terhadap Penggunaan

Antibiotik pada Pasien Anak” (2018) menjelaskan bahwa jenis sediaan obat yang

didapat menjadi salah satu faktor penyebab ketidakpatuhan pengasuh memberikan

antibiotik pada pasien anak. Menurut pengasuh, setiap obat puyer yang diberikan

kepada anak pasti akan dimuntahkan karena rasa obat yang terasa pahit di lidah, dan

pengasuh tidak meneruskan pemberian obat, akibatnya dapat menyebabkan

munculnya kasus resistensi antibiotik.

Hasil observasi yang didapat oleh penulis di Puskesmas Nusalaut yaitu, data

balita sakit yang dibawa berobat4 bulan terakhir adalah sebanyak 60 balita, dengan

penyakit yang di derita antara lain batuk-pilek, demam, diare, bisul, gatal–gatal serta

campak. Obat puyer merupakan bentuk sediaan obat yang paling sering diberikan

bagi balita sakit yang dibawa berobat ke Puskemas Nusalaut, karena lebih mudah

mengatur dosis, dapat disesuaikan dengan berat badan balita sakit secara lebih tepat,

lebih murah, dan lebih mudah diberikankarena hanya memberikan satu macam yang

terdiri dari berbagai gabungan obat. Menurut hasil survey dan wawancara yang

5
dilakukan antara penulis dan 10 orang tua pasien balita, dengan usia balita sakit

antara lain 1 tahun, 2 tahun, 3,5 tahun, 4 tahun, dan 5 tahun yang dibawa berobat ke

Puskesmas Passo Ambon didapati 6 dari 10 anak mempunyai masalah minum obat

puyer karena rasa obat yang pahit.

Berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua pasien balita yang berkunjung

di Puskesmas nusalaut, berbagai strategi telah dilakukan untuk mengatasi masalah

minum obat puyer, antara lain memberikan gula pasir sebagai pemanis serta

memberikan ASI sesaat setelah minum obat agar anak tidak muntah karena rasa pahit

obat di lidah.Hal ini didukung Lokakarya Perkembangan Anak di Washington DC

(2017) oleh Actelion sebuah Perusahaan Farmasi dan Bioteknologi di Swiss,

menjelaskan tentang cara lain untuk mengatasi rasa obat yang pahit pada anak yang

sedang sakit yaitu dengan memberikan gula pasir (Actelion, 2017).

Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka peneliti ingin melakukan penelitian

tentang “Pengaruh Pemberian Gula Pasir terhadap Keberhasilan Minum Obat Puyer

Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas nusalaut ”. Dimana tujuan dari penelitian

ini adalah untuk menganalisis pengaruh pemberian gula pasir terhadap keberhasilan

minum obat puyer pada balita khususnya di Wilayah Kerja Puskesmas nusalaut .

6
B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian yaitu

“Apakah ada pengaruh pemberian gula pasir terhadap keberhasilan minum obat puyer

pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas nusalaut ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui Pengaruh pemberian

gula pasir terhadap keberhasilan minum obat puyer pada balita di Wilayah Kerja

Puskesmas nusalaut

Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui keberhasilan minum obat puyer pada balita yang

diberikan gula pasir.

b. Untuk mengetahui keberhasilan minum obat puyer pada balita yang tidak

diberikan gula pasir.

c. Untuk mengetahui perbedaan keberhasilan minum obat puyer antara balita

yang diberikan dan tidak diberikan gula pasir.

7
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu keperawatan khususnya di stase

komunitas yang berhubungan dengan anak, juga sebagai bahan kajian bagi

penelitian selanjutnya, sehingga hasilnya akan lebih luas dan mendalam.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Masyarakat

Membantu masyarakat untuk mengatasi masalah minum obat puyer pada

balita.

b. Bagi Petugas Kesehatan

Memberikan cara yang relevan dan dapat dipercaya dalam mengatasi

masalah minum obat puyer pada balita.

c. Bagi Peneliti Selanjutnya

Dapat dijadikan sebagai bahan referensi untuk melakukan penelitian sejenis

dan lebih lanjut dalam bidang yang sama.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Balita

1. Pengertian Balita

Balita adalah anak umur 12 bulan sampai dengan 59 bulan(Menkes RI,

2014). Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan masa yang paling

hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1 sampai 5 tahun. Masa ini

merupakan masa yang penting terhadap perkembangan kepandaian dan

pertumbuhan intelektual (Mitayanti & Sartika, 2010). Upaya Kesehatan Anak

dilakukan sejak janin dalam kandungan sampai berusia 18 tahun (Kementrian

Kesehatan, 2014).

Setiap anak mengalami proses tumbuh kembang yang berbeda–beda, serta

memiliki keunikan tersendiri. Secara umum, tumbuh kembang anak ditentukan

oleh kesehatannya. Semakin baik kesehatan seorang anak maka semakin baik pula

tumbuh kembangnya. Pertumbuhan seorang anak dapat diukur. Apabila

mengalami pertambahan ukuran tubuh maka anak tersebut sedang mengalami

pertumbuhan. Yang menjadi indicator pertumbuhan anak adalah berat dan tinggi

badan. Dengan bertambahnya usia seorang anak maka akan bertambah pula berat

dan tinggi badannya. Pada anak yang sering mengalami sakit akan memiliki grafik

pengukuran berat dan tinggi badan yang rendah (Eveline & Djamaludin, 2010).

2. Karakteristik Balita

Menurut Betty (2012) karakteristik balita dibagi menjadi 2 yaitu :

9
a. Anak usia 1–3 tahun

Pada usia ini anak masih bergantung sepenuhnya pada orang tua. Tumbuh

kembang anak pada usia ini lebih besar dibandingkan anak pada usia pra-

sekolah.

b. Anak usia 3–5 tahun (Pra-sekolah)

Pada usia ini anak lebih banyak terlibat dalam melakukan berbagai

aktivitas, dan berat badan anak pun cenderung mengalami penurunan

akibat menolak makanan yang tidak disukai.

3. Tumbuh Kembang Balita

Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah dan besar sel organ yang dapat diukur

dengan ukuran berat, panjang, dan usia tulang. Perkembangan adalah kemampuan

atau keterampilan struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang

teratur dan dapat diramalkan, yang dicapai melalui pertumbuhan, kematangan dan

belajar (Deslideldkk, 2011). Maka dapat disimpulkan pertumbuhan berhubungan

dengan aspek fisik, dan perkembangan berhubungan dengan pematangan fungsi

tubuh.

a. Tahap pertumbuhan

Menurut Deslideldkk (2011) pembagian tahap pertumbuhan menurut usia

adalah sebagai berikut:

1) Masa Prenatal

a) Masa Mudigah (embrio) : konsepsi sampai 8 minggu

b) Masa Janin (fetus) : 9 minggu sampai lahir

10
2) Masa Bayi atau Infant

a) Masa Neonatal (0–28 hari)

b) Masa Neonatal dini (0–7 hari)

c) Masa Neonatal Lanjut (8–28 hari)

d) Masa Pasca Neonatal (29 hari–1 tahun)

3) Masa Toddler(1–3tahun)

4) Masa Prasekolah (4–5 tahun)

5) Masa Sekolah (6–12 tahun)

6) Masa Remaja (8–20 tahun)

a) Remaja Dini

(1) Wanita 8–13 tahun

(2) Pria 10–15 tahun

b) Remaja Lanjut

(1) Wanita 13–18 tahun

(2) Pria 15–20 tahun

7) Dewasa (20–65tahun)

a) Dewasa Muda Usia 20–25 tahun

b) Dewasa penuh (maturitas) usia 25–65 tahun

8) Lanjut Usia (>65 tahun)

a) Young Old (70–75 tahun)

b) Old (75–80 tahun)

c) Very Old (>80 tahun)

11
b. Tahap Perkembangan

Pola perkembangan anak pada dasarnya adalah sama, yang membedakan

hanya kecepatan perkembangan yang berbeda–beda pada setiap anak.

Misalnya, anak akan belajar duduk sebelum belajar berjalan. Menurut

Deslideldkk (2011) pertumbuhan dan perkembangan mengikuti pola yaitu:

1) Directoral Trend :

a) Sefalokaudal (head to tail) atau dari kepala ke kaki.

b) Proksismedital (near to far direction), anak mampu menggerakan

anggota gerak yang paling dekat dengan pusat kemudian

menggerakan anggota gerak yang lebih jauh dari pusat, misalnya

menggerakan bahu lebih dahulu kemudian menggerakan jari–jari.

c) Most specific/Simple to complex, anak mampu menggerakan daerah

yang sederhana dahulu kemudian daerah yang lebih kompleks,

misalnya mengangkat tangan, melambaikan tangan, dan

menggerakkan jari–jari.

2) Sequintel Trend, semua anak yang normal pasti akan melalui fase ini.

Fase ini dipengaruhi oleh fase sebelumnya. Contohnya, tengkurap,

merangkak, berdiri atau berlari.

c. Faktor yang mempengaruhi Tumbuh Kembang Balita

Kondisi anak yang selalu sehat merupakan dambaan bagi setiap orang

tua. Semakin baik kesehatan seorang anak maka semakin baik pula tumbuh

kembangnya. Namun, bila anak sering sakit maka proses tumbuh kembangnya

12
pun akan terganggu. Menurut Soetjiningsih dan Ranuh (2013)secara umum

terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak,

yaitu :

1) Faktor Genetik

Faktor genetik merupakan modal dasar dan mempunyai peran utama dalam

mencapai hasil akhir proses tumbuh kembang. Yang termasuk faktor

genetik antara lain adalah berbagai faktor bawaan yang normal dan

patologik, jenis kelamin, suku bangsa, atau bahasa.

2) Faktor Lingkungan

a) Faktor Lingkungan Pranatal

Faktor lingkungan yang mempengaruhi anak pada waktu masih di dalam

kandungan sampai akhir, antara lain adalah gizi ibu pada waktu hamil,

mekanisme (trauma, cairan ketuban, dan posisi janin), toksik/ zat kimia,

endokrin, radiasi, infeksi, stress, imunitas, dan anoksia embrio

(gangguan fungsi plasenta).

b) Faktor Lingkungan Postnatal

Faktor lingkungan yang mempengaruhi tumbuh kembang anak setelah

lahir, secara umum dapat digolongkan menjadi :

(1) Lingkungan biologis, antara lain ras/suku bangsa, jenis kelamin,

umur, gizi yang merupakan suatu komponen ASI, perawatan

kesehatan, kepekaan terhadap penyakit, penyakit kronis, fungsi

metabolisme, dan hormon.

13
(2) Faktor Fisik, antara lain cuaca, musim, keadaan geografis suatu

daerah, sanitasi, radiasi, dan keadaan rumah seperti struktur

ruangan, ventilasi, cahaya, dan kepadatan hunian.

(3) Faktor Psikososial, antara lain stimulasi, motivasi belajar, ganjaran

atau hukuman yang wajar, kelompok sebaya, stress, sekolah, cinta

dan kasih sayang, serta kualitas interaksi anak dengan orangtua.

(4) Faktor Keluarga dan Adat Istiadat, antara lain pekerjaan/

pendapatan keluarga, pendidikan ayah/ibu, jumlah saudara, jenis

kelamin dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian

ayah/ibu, adat-istiadat, norma-norma, tabu-tabu, agama,

urbanisasi, dan kehidupan politik dalam masyarakat.

B. Tinjauan tentang Obat

1. Pengertian Obat

Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan

untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi

dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan,

peningkatan kesehatan (Menkes RI, 2016). Obat adalah setiap substansi yang

dapat memengaruhi fungsi normal tubuh pada tingkat sel (Tambayong, 2014).

Obat adalah semua zat, baik yang berasal dari bahan kimiawi atau nabati, hewani

maupun mineral dalam dosis yang tepat, atau layak dapat digunakan untuk

mencegah atau meringankan, mendiagnosis, menyembuhkan penyakit, dan gejala-

gejalanya (Heriana, 2014).

14
Obat merupakan salah satu komponen yang tidak tergantikan dalam

pelayanan kesehatan(Kepmenkes, 2008).Penggunaan obat untuk maksud

pengobatan telah ada sejak pra–peradaban. Nenek moyang kita sudah

memanfaatkan tumbuhan dan substansi lain sebagai “obat” sejak 50.000 tahun

yang lalu. Orang Samaria yang mengembara di lembah sungai Tigris dan Euphrate

5.000 tahun yang lalu menggunakan garam, akar–akaran, biji–bijian, hingga kulit

pohon sebagai obat. Orang Mesir Kuno mengobati buta senja dengan hati sapi

yang dipanggang dan digerus.Buta senja memang disebabkan karena kekurangan

vitamin A, dan kandungan vitamin A terbanyak ada di dalam hati. Antibiotik yang

berasal dari jamur dianggap sebagai obat moderen. Akan tetapi, orang Cina sudah

mengobati bisul dengan ramuan jamur sekitar 2.500 Sebelum Masehi. Dan orang

Yunani memakai ekstrak kulit pohon tertentu untuk mengobati demam, dan aspirin

sangat erat hubungannya dengan ekstrak tersebut (Tambayong, 2014).

2. Rute Pemberian Obat

Tanggung jawab pertama terhadap terapi obat yang benar diemban oleh dokter

yang menulis resep obat, dan tanggung jawab terakhir pemberian obat yang tepat

kepada pasien terletak di tangan perawat yang memberikan obat. Cara pemberian

obat bergantung pada keadaan umum pasien, kecepatan respon yang diinginkan,

sifat obat, dan tempat kerja obat yang diinginkan (Tambayong, 2014). Rute

pemberian obat secara oral merupakan rute pemberian yang paling sederhana,

paling mudah, dan paling umum digunakan bagi balita (Patrick, 2012). Menurut

15
Heriana (2014), dalam penggunaannya obat mempunyai berbagai macam jenis,

antara lain :

a. Larutan Cair : Satu atau lebih dari satu obat dilarutkan dalam air. Preparat

cairan dapat digunakan peroral, parenteral, atau secara eksternal; dapat juga

dimasukkan ke dalam organ atau rongga tubuh. Misalnya irigasi kandung

kemih.

b. Aerosol Sprai/Busa : Suatu cairan, bubuk, atau busa yang diberikan dengan

mengoleskan secara tipis pada kulit dan digosok.

c. Suspensi Cair : Satu atau lebih dari satu obat yang dilarutkan dengan baik

dalam cairan. Contoh : Ampisilin di tambah air.

d. Kapsul : Obat dalam bentuk cair, bubuk atau minyak yang dibungkus

gelatin.

e. Krim : Suatu obat semi padat untuk dipakai di kulit.

f. Lozenge : Obat dalam bentuk datar, padat/oval yang lumat sewaktu ditaruh

di mulut.

g. Salep : Satu atau lebih dari satu obat dalam bentuk semi padat untuk dipakai

di kulit atau selaput lender.

h. Pasta : Obat dalam bentuk seperti salep, tetapi lebih tebal dan lengket.

i. Pil : Satu atau lebih dari satu obat yang dicampur dengan bahan kohesif

dalam bentuk lonjong, bulat atau lempengan.

j. Bubuk : Obat yang ditumbuk halus.

16
k. Spirit : Larutan yang dikonsentrasikan dalam alcohol yang mudah menguap.

Contoh H2O2.

l. Ekstrak : Suatu konsentrasi obat terbuat dari binatang atau tumbuh-

tumbuhan.

m. Gel/Jelly : Obat semi padat yang jernih dan tembus cahaya yang mencair

sewaktu dioleskan di kulit.

n. Liniment : Cairan berminyak dipakai di kulit.

o. Supositoria : Obat yang dibungkus dengan gelatin dan berbentuk khas

seperti peluru agar dapat dimasukkan ke dalam tubuh (rectum atau vagina).

p. Sirup : Larutan obat yang manis.

q. Tablet : Obat bubuk yang dipadatkan dalam bentuk lonjong atau lempengan.

Berdasarkan efek obat, rute pemberian obat dibagi menjadi beberapa cara,

antara lain :

a. Efek Sistemik

Efek Sistemik terjadi bila obat beredar ke seluruh tubuh melalui peredaran

darah (Suhardiman, 2012). Tabel 2.1 menjelaskan tentang rute, letak masuk dan

bentuk obat yang akan menghasilkan efek secara sistemik.

Tabel 2.1
Rute, letak masuk dan bentuk obat berdasarkan efek sistemik
Rute Letak Masuk Bentuk
Rute Oral Mulut Tablet, kapsul, larutan, sirup, suspense, emulsi, serbuk
Inhalasi Hidung Berupa cairan yang diubah menjadi gas atau uap,
kemudian dihirup
Parenteral/ Intravena, Berupa larutan dalam air, contoh injeksi Vit C
injeksi intramuskuler, Berupa larutan dalam minyak, contoh injeksi Oleum

17

Sumber : (Tambayong, 2014)


dan Camphoratum
intrakutan, Berupa suspense obat padat dalam aqua, contoh Injeksi
subkutan Suspensi Hidrokortison
Berupa emulsi, contoh obat–obat hormone, berupa
cairan infus intravena
b. Efek Lokal

Efek ini hanya bekerja pada daerah setempat saja misalnya, salep

(Suhardiman, 2012). Tabel 2.2 ini menjelaskan tentang rute, letak masuk dan

bentuk obat yang akan menghasilkan efek secara lokal.

Tabel 2.2
Rute, letak masuk dan bentuk obat berdasarkan efek lokal
Rute Letak Masuk Bentuk
Intraokular, Mata, hidung, dan Berupa cairan yang diteteskan langsung pada
intranasal, aural telinga mata, hidung, telinga
Rektal, uretral, Dubur, saluran Supositoria, basila, dan ovula
vaginal kencing, dan
vagina
Sumber :(Tambayong, 2014)

3. Pemberian Obat bagi Balita

Perawatan yang ekstrim harus dilakukan saat menyiapkan dan memberikan

obat bagi balita. Dosis diestimasi melalui usia, berat badan, ukuran, tinggi badan,

dan kondisi fisik. Peresepan obat dapat diberikan lebih dari satu pil, membelah

tablet menjadi setengah atau seperempat, atau menghancurkan dan atau

mencampurkan obat menjadi puyer satu dosis jika terdapat kesulitan dalam

menelan obat (Boyer, 2013).

a. Rute Pemberian Obat bagi Balita

Setelah absorbs dari saluran gastrointestinal, obat tersebut masuk ke dalam

hati melalui siklus portal. Setelah melewati hati, obat memasuki sirkulasi

18
sistemik dan dihantarkan ke jaringan target (Patrick, 2012). Rute pemberian

obat serta proses absorbsinya di dalam tubuh dapat dilihat pada gambar 2.1.

Sumber : (Patrick, 2012)

Gambar 2. 1
Rute Pemberian Obat
Menurut Patrick (2012) bentuk sediaan yang sering digunakan untuk rute

oral adalah:

1) Bentuk sediaan cair, obat yang diberikan dalam bentuk ini lebih cepat

diabsorbsi daripada bentuk lain.

2) Sistem terdispresi, meliputi emulsi dan suspensi

3) Bentuk sediaan padat, meliputi serbuk, tablet, kaplet, dan kapsul.

Widyaswari dan Wiedyaningsih (2012) menjelaskan bahwa di Indonesia

obat puyer lebih banyak diresepkan untuk anak–anak di bawah 5 tahun.

b. Prinsip dalam Pemberian Obat

Menurut Heriana (2014) terdapat 6 hal benar dalam pemberian obat, yaitu :

1) Benar Pasien

19
Pasien bertanggung jawab untuk secara tepat dalam mengidentifikasi

setiap orang pada saat memberikan obat.

2) Benar Obat

Periksa kartu medikasi pasien atau catatan dengan program dokter.

Bandingkan label pada botol obat atau label pada kemasan dengan kartu

atau catatan medikasi pasien.

3) Benar Dosis

Dosis yang benar adalah dosis yang diresepkan harus diberikan untuk

pasien.

4) Benar Waktu Pemberian

Waktu yang benar adalah saat dimana obat yang diresepkan harus

diberikan pada waktu tertentu dalam sehari.

5) Benar Rute

Rute yang paling sering ialah melalui oral, sublingual, dan parenteral.

Implikasi dalam keperawatan termasuk :

a) Nilai kemampuan pasien untuk menelan sebelum memberikan obat-

obat peroral.

b) Pergunakan teknik aseptik sewaktu memberikan obat. Teknik steril

dibutuhkan dalam rute parenteral.

c) Tetaplah bersama pasien sampai obat–obat oral telah ditelan.

6) Benar Pendokumentasian

20
Membutuhkan tindakan segera dari seorang perawat untuk mencatat

informasi yang sesuai mengenai obat yang telah diberikan. Penundaan

dalam mencatat pengobatan mengakibatkan lupa untuk mencatat

pengobatan atau perawat lain memberikan obat itu kembali karena ia

berpikir obat itu belum diberikan.

c. Standar Operasioan Prosedur (SOP) Pemberian Obat Oral

Standar Operasional Prosedur (SOP) merupakan panduan yang digunakan

untuk memastikan kegiatan operasional organisasi atau perusahaan berjalan

dengan lancar (Sailendra, 2015). Menurut Hartatik (2014) tujuan dan fungsi

Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah sebagai berikut :

1) Tujuan SOP :

a) Untuk menjaga konsistensi tingkat penampilan kinerja atau kondisi

tertentu dan kemana petugas dan lingkungan, dalam melaksanakan

sesuatu tugas atau pekerjaan tertentu.

b) Sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan tertentu bagi sesama pekerja,

dan supervisor.

c) Untuk menghindari kegagalan atau kesalahan (dengan demikian

menghindari dan mengurangi konflik), keraguan, duplikasi, serta

pemborosan dalam proses pelaksanaan kegiatan.

d) Merupakan parameter untuk menilai mutu pelayanan.

e) Untuk lebih menjamin penggunaan tenaga dan sumber daya secara

efisien dan efektif.

21
f) Untuk menjelaskan alur tugas, wewenang, dan tanggung jawab dari

petugas yang terkait.

g) Sebagai dokumen yang akan menjelaskan dan menilai pelaksanaan

proses kerja bila terjadi suatu kesalahan atau dugaan malpraktek dan

kesalahan administratif lainnya, sehingga sifatnya melindungi rumah

sakit dan petugas.

h) Sebagai dokumen yang digunakan untuk pelatihan.

i) Sebagai dokumen sejarah bila telah di buat revisi SOP yang baru.

2) Fungsi SOP :

a) Memperlancar tugas petugas/pegawai atau tim/unit kerja.

b) Sebagai dasar hukum bila terjadi penyimpangan.

c) Mengetahui dengan jelas hambatan-hambatannya dan mudah dilacak.

d) Mengarahkan petugas/pegawai untuk sama-sama disiplin dalam bekerja.

e) Sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan rutin.

Berikut ini adalah standar opersional pemberian obat secara oral menurut

Hidayat (2008):

1) Alat dan Bahan :

a) Sendok takar

b) Obat oral

c) Alat gerus (digunakan bagi sediaan obat padat)

2) Prosedur :

a) Cuci tangan

22
b) Jelaskan prosedur apa yang akan dilakukan

c) Gerus tablet (bila bentuk sediaan obat padat)

d) Ambil obat menggunakan sendok takar sesuai dosisnya

e) Gendong anak dalam posisi agak bersandar

f) Tempatkan lengan terdekat anak di belakang punggung anda kemudian

peluk lengan dan tangan anak

g) Rapatkan kepala anak diantara lengan dan badan anda

h) Tempatkan sendok takar yang berisi obat ke dalam mulut anak, agak

ke belakang di atas lidah atau di sisi lidah

i) Beri obat secara perlahan, biarkan anak menelan obat

j) Jangan memaksa anak untuk meminum obat karena akan sangat

berbahaya bila terjadi aspirasi. Tunda 20–30 menit kemudian berikan

kembali obat yang ada

k) Bila sudah selesai bilas dengan air

l) Puji anak atas kerja samanya

m) Cuci tangan

C. Tinjauan tentang Gula Pasir

1. Pengertian Gula Pasir

Gula pasir merupakan hasil olahan dari nira tebu dan dikristalkan membentuk

serbuk-serbuk seperti pasir. Gula pasir umumnya berwarna putih kekuningan atau

sedikit coklat. Gula pasir memiliki rasa yang manis dan mudah larut dalam air.

Gula pasir banyak ditemui di manapun dalam bentuk kemasan. Gula pasir menjadi

23
salah satu dari sembilan bahan pokok yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan

masyarakat Indonesia. Di dalam teknologi pangan, gula pasir berfungsi sebagai

pemanis, pengawet, substrat fermentasi serta dapat untuk memodifikasi

tekstur(Kusumawati, 2017). Pada penelitian ini, peneliti melihat pengaruh

pemberian gula pasir terhadap keberhasilan minum obat pada balita, khusunya

obat puyer.

2. Komposisi Zat Gizi dalam Gula Pasir

Komposisi zat gizi yang terdapat dalam gula antara lain kalori, karbohidrat,

kalsium, fosfor, dan air. Tabel 2.3 menjelaskan tentang komposisi zat gizi gula

pasir dalam 100 gram berat bahan.

Tabel 2. 3
Komposisi Zat Gizi Gula Pasir (per 100 gram berat bahan)
Zat Gizi Kandungan dalam Gula Pasir
Kalori 364 kkal
Karbohidrat 94,0 g
Kalsium 5 mg
Fosfor 1 mg
Air 5,40 g
Sumber :(Darwin, 2013)

3. pH Gula Pasir

Sari tebu memiliki pH yang rendah yaitu sekitar 4,5–5,5 dan melalui proses

kristalisasi, pH gula kemudian menjadi 7,0 atau netral. Pengendalian pH dalam

proses pembuatan gula pasir sangatlah penting karena apabila pH gula pasir berada

pada tingkat asam maka sukrosa meluruh menjadi fruktosa dan glukosa. Sebaliknya

bila pH gula pasir berada pada tingkat basa maka akan cepat membusuk (Sensorex,

24
2017). Apabila gula pasir dicampurkan ke dalam air, maka gula pasir (sukrosa) akan

larut namun tidak akan pecah menjadi ion–ion komponennya (glukosa dan

fruktosa). Berbeda dengan garam, apabila garam dicampurkan ke dalam air maka

garam akan larut dan akan pecah menjadi ion–ion komponennya yaitu natrium dan

klorida (Anne, 2018).

4. Dampak Gula terhadap Kesehatan

Gula dibutuhkan manusia sebagai sumber karbohidrat sederhana. Karbohidrat

diperlukan untuk menghasilkan kalori (energi). Energi inilah yang digunakan untuk

menjalankan bermacam-macam tugas, misalnya fungsi kognitif otak, fungsi sistem

pencernaan, dan fungsi gerak tubuh (Anindyaputri, 2017). Tidak selamanya gula

menjadi hal yang merugikan bagi kesehatan. Gula juga memiliki manfaat yang baik

untuk kesehatan, akan tetapi dalam takaran yang pas dan tidak berlebihan. Menurut

hasil penelitian yang dilakukan oleh Bennett, et al (2016) gula membantu mengatasi

hiperglikemia pada bayi baru lahir. Dalam penelitian ini digunakan gel glukosa 40%

yang diberikan oleh perawat dengan menggunakan spuit kepada bayi dengan

hiperglikemia pada bukal kiri dan kanan kemudian memijat pipi dengan lembut

untuk merangsang bayi menelan. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Barber, pada

bayi baru lahir dengan gangguan hiperglikemia di Australia. Dari penelitian ini

tidak ada hasil yang merugikan, dan beberapa rumah sakit di Australia telah

menggunakan cara ini untuk mengatasi hiperglikemia pada bayi baru lahir (Barber,

et al, 2018).

25
Manfaat lain dari gula adalah sebagai cairan rehidrasi oral. Terapi rehidrasi oral

(ORT) adalah jenis penggantian cairan yang digunakan untuk mencegah dan

mengobati dehidrasi, terutama yang disebabkan oleh diare. Larutan yang digunakan

adalah larutan oralit yang terdiri dari gula, garam dan air. Secara global pada tahun

2015 terapi rehidrasi oral digunakan oleh 41% anak-anak dengan diare. Penggunaan

terapi rehidrasi oral ini menurunkan resiko kematian akibat diare sekitar 93% .

Larutan oralit dapat dibuat sendiri di rumah dengan mencampurkan 6 sendok teh

gula, ½ sendok teh garam, dan 1 liter air, maka akan mendapatkan 5 gelas larutan

oralit, 200 cc dalam setiap gelasnya(Kresnawati, 2011).

Gula juga dapat membantu penyembuhan luka atau dengan kata lain gula

sebagai pengganti antibiotik. Penemuan ini ditemukan oleh Moses Murandu,

seorang dokter yang berasal dari Zimbabwe. Sebagai seorang anak yang tumbuh

dalam kemiskinan di dataran rendah pedesaan Timur Zimbabwe, Moses Murandu

terbiasa menggunakan gula yang digosok dalam lukanya ketika dia jatuh atau

terpotong. Gula tampaknya membantu menyembuhkan luka lebih cepat daripada

tanpa perawatan apapun. Setelah direkrut untuk bekerja sebagai perawat untuk

Sistem Kesehatan Nasional Inggris (NHS) pada tahun 1997, dia menemukan bahwa

gula tidak digunakan dalam kapasitas resmi apa pun untuk menyembuhkan luka.

Dia memutuskan untuk melakukan penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan gula pasir yang sering digunakan untuk minum teh. Murandu

menuangkan gula pada luka dan menggunakan perban di atasnya. Granul menyerap

26
semua kelembaban yang memungkinkan bakteri untuk berkembang. Tanpa bakteri,

luka sembuh lebih cepat. Hal ini didukung dengan percobaan yang dilakukannya di

laboratorium. Murandu telah melakukan studi klinis pada 41 pasien di Inggris. Studi

kasus dari seluruh dunia pun mendukung temuan ini. Murandu memenangkan

penghargaan dari Journal of Wound Care pada Maret 2018 untuk karyanya

(Wiggins, 2018).

Selain sebagai penghasil energi gula juga memiliki banyak manfaat bagi

kesehatan antara lain menjaga kesehatan kulit, asam glikolat di dalam gula

membantu menjaga kesehatan dan tampilan kulit, meningkatkan tekanan darah bagi

penderita hipotensi, meningkatkan fungsi otak, dan menyembuhkan depresi (Rina,

2016).

Gula akan menimbulkan masalah bagi kesehatan bila dikonsumsi dengan

takaran yang berlebih. Hal inilah yang melatarbelakangi American Heart

Association (AHA) untuk mengurangi jumlah konsumsi gula per hari dari 23 sendok

teh per hari menjadi 6 sendok teh per hari. Seperti yang kita ketahui garam dapat

menyebabkan tekanan darah meningkat, namun berdasarkan hasil penelitian

Nguyaen dan Lustig, gula juga dapat menyebabkan tekanan darah meningkat.

Penelitian dilakukan pada 810 orang dewasa dengan tekanan darah normal dan

hipertensi selama 18 bulan. Hasil penelitian menunjukkan dengan pengurangan 1

porsi gula per hari akan menurunkan tekanan darah sistolik 0,7 mmHg dan diastolik

0,4 mmHg (Nguyen & Lustig, 2014).

27
Dengan mengkonsumsi gula secara berlebih maka dapat menimbulkan karies

gigi dan obesitas. Karies gigi disebabkan oleh interaksibakteriStreptococcus mutans

dengan makanan manis di enamel gigi. Meskipun karies gigi dapat dikatakan

sebagai penyakit mikroba, konsumsi gula memainkanperanan penting dan dianggap

sebagai faktor risiko terjadinya karies gigi. Penelitian terbaru menunjukkan pada

tahun 1976–2016 terjadi peningkatan obesitas 10 kali lipat di masa kanak–kanak

dan remaja. Penyebab terjadinya obesitas adalah mengkonsumsi makanan dan

minuman yang mengandung gula berlebih. Selain itu, masalah–masalah kesehatan

yang akan ditimbulkan bila mengkonsumsi gula secara berlebih antara lain resiko

terserang penyakit diabetes tipe 2, penyakit jantung, kanker, dan resiko terserang

penyakit alzheimer (Breda, et al, 2018).

5. Mengatasi Masalah Minum Obat dengan Gula Pasir

Lidah berfungsi sebagai indera pengecap. Lidah memiliki reseptor rasa untuk

merasakan makanan, minuman, atau apa saja yang masuk ke dalam mulut, dan

reseptor-reseptor rasa terletak pada kuncup–kuncup lidah. Reseptor rasa pada lidah

manusia dibagi menjadi 2 yaitu, reseptor manis(Taste Receptor Type 1 Member 2-

Taste Receptor Type 1 Member 3) dan reseptor pahit(Taste Receptor Type 2

Member1-Taste Receptor Type 2 Member 50, dan Taste Receptor Type 2 Member

60). Reseptor–reseptor ini kemudian akan berkontribusi terhadap persepi rasa yang

berbeda. Lidah manusia memiliki 43 reseptor pahit. Rasa pahit dimulai ketika

senyawa pahit memasuki rongga mulut, kemudian berikatan dengan reseptor pahit

(Taste Receptor Type 2 Member 1-Taste Receptor Type 2 Member 50, dan Taste

28
Receptor Type 2 Member 60)dalam membran apikal sel reseptor yang ditemukan

dalam pengecap, memicu rangkaian berantai dari peristiwa pensinyalan,

menyebabkan pelepasan neurotransmitter yang mengaktifkan serat saraf aferen yang

mentransmisikan sinyal melalui saraf kranial ke otak (Mennella, et al, 2013).

Menurut Mennella (2013), keengganan terhadap rasa pahit dapat menghambat

penerimaan dan kegunaan atau khasiat dari obat. Rasa pahit dari sebuah obat

seringkali merupakan ekspresi sensori dari aktivitas farmakologi obat tersebut.

Dalam banyak kasus semakin kuat obat, maka semakin pahit rasa obat itu. Semakin

pahit obat, maka semakin besar kemungkinan obat itu akan ditolak. Rasa obat yang

manis dapat meningkatkan kemampuan pasien anak untuk mematuhi terapi obat.

Kegagalan untuk mengkonsumsi obat dapat membahayakan dan dalam beberapa

kasus, nyawa menjadi terancam. Enkapsulasi obat dalam bentuk pil atau tablet dapat

membantu untuk menghilangkan rasa pahit obat pada orang dewasa, namun tidak

untuk anak–anak.

Berdasarkan hasil penelitian Mennella (2015) alasan utama anak menolak

minum obat adalah karena rasa obat yang pahit. Salah satu cara yang digunakan

untuk mengatasi masalah ini adalah memberikan gula pasir. Gula pasir telah

digunakan sejak zaman dahulu kala, sekitar abad ke-17 sebagai penawar rasa obat

yang pahit (Newton, 2012). Hal ini didukung Lokakarya Perkembangan Anak di

Washington DC (2017) oleh Actelion sebuah Perusahaan Farmasi dan Bioteknologi

di Swiss, menjelaskan tentang cara lain untuk mengatasi rasa obat yang pahit pada

anak yang sedang sakit yaitu dengan memberikan gula pasir. Mennella (2013)

29
menjelaskan dengan memberikan gula pasir maka dapat membantu mengurangi rasa

pahit dari beberapa obat–obatan di lidah, dan dapat meningkatkan kemampuan

pasien anak untuk mematuhi terapi obat.

Pada tahun 2016, AHA (American Heart Association) menyatakan bahwa

kebutuhan gula tambahan pada anak usia 2–18 tahun tidak melebihi 6 sendok teh

per hari. Enam sendok teh gula tambahan setara dengan 100 kalori atau 25 gram.

Diperkirakan kalori yang dibutuhkan berkisar 1.000 per hari untuk anak berusia 2

tahun yang tidak banyak bergerak, 2.400 untuk anak perempuan yang aktif berusia

14–18tahun dan 3.200 untuk anak laki–lakiaktif berusia 16–18tahun.Mengonsumsi

makanan yang mengandung gula tambahan sepanjang masa kanak-kanak dikaitkan

dengan perkembangan faktor risiko penyakit jantung, seperti peningkatan risiko

obesitas dan peningkatan tekanan darah pada anak-anak dan dewasa muda.Anjuran

konsumsi gula per orang dalam 1 hari sesuai dengan Permenkes No 63 tahun 2015

adalah tidak melebihi 50 gram atau setara dengan 4 sendok makan gula, karena akan

beresiko terkena hipertensi, stroke, diabetes dan serangan jantung (Menkes RI,

2018).

Belum ada literatur yang menjelaskan tentang berapa jumlah atau takaran gula

pasir yang digunakan untuk mengatasi rasa obat yang pahit di lidah. Berdasarkan

rekomendasi AHA (American Heart Association) dan Kementrian Kesehatan

tentang kebutuhan gula tambahan pada anak tidak boleh melebihi 6 sendok teh (25

gram) per hari atau tidak melebihi 4 sendok makan (50 gram) per hari, maka dalam

penelitian ini gula pasir diberikan sesaat setelah obat di minum dengan takaran ¼

30
sendok teh (1 gram), selama kurun waktu 1 hari (pagi, siang, dan malam). Dalam

penelitian ini, peneliti menganalisis pengaruh pemberian gula pasir terhadap

keberhasilan minum obat puyer pada balita.

D. Kerangka konsep

Kerangka konsep merupakan visualisasi pemikiran seorang peneliti yang diwujudkan

dalam hubungan variabel yang akan diteliti. Arah pemikiran merupakan hubungan

antara variabel yang diteliti. Untuk menggambarkan kerangka konsep diperlukan

teori–teori yang diteliti dan selanjutnya didefenisikan dari setiap variabel

(Notoatmodjo, 2012).

KEBERHASILAN
PEMBERIAN
MINUM OBAT PUYER
GULA PASIR
PADA BALITA

Keterangan :

Variabel Dependen :

Variabel Independen :

Pengaruh :

Gambar 2.2
Kerangka Konsep Penelitian
“Pengaruh pemberian gula pasir terhadap keberhasilan minum obat puyer
pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Passo Ambon”

E. Hipotesis

1. Ha

31
Ada pengaruh pemberian gula pasir terhadap keberhasilan minum obat puyer

pada balita.

2. H0

Tidak ada pengaruh pemberian gula pasir terhadap keberhasilan minum obat

puyer pada balita.

32
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain Penelitian adalah metode yang digunakan oleh peneliti untuk melakukan suatu

penelitian yang memberikan arah terhadap jalannya penelitian.Desain penelitian

ditetapkan berdasarkan tujuan dan hipotesis penelitian.Jika suatu penelitian bertujuan

mengetahui efektifitas, hubungan, dan pengaruh suatu intervensi keperawatan

terhadap peningkatan derajat kesehatan pasien, maka desain yang paling tepat adalah

desain eksperimen(Dharma, 2011). Desain penelitian ini true eksperimendengan

menggunakan pendekatan post test only control group design. Pendekatan post test

only control group design yaitu pendekatan dengan cara membandingkan data post

test antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol. Berikut ini skema yang

digunakan pada pendekatan post test only control group design :

R1 X1 O1
R
R2 X0 O2

(Modifikasi Dharma, 2011)

Gambar 3.1
Skema Post Test Only Control Group Design
Keterangan :

R1 : Kelompok Eksperimen (kelompok balita yang diberikan gula pasir)

R2 : Kelompok Kontrol (kelompok balita yang tidak diberikan gula pasir)

X1: Perlakuan pada Kelompok eksperimen (diberikan gula pasir)

X0: Perlakuan pada Kelompok Kontrol (tidak diberikan gula pasir)

33
O1: Pasca Uji Kelompok Eksperimen (hasil akhir kelompok balita yang

diberikan gula pasir)

O2: Pasca Uji Kelompok Kontrol (hasil akhir kelompok balita yang tidak

diberikan gula pasir)

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Waktu

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 02 Desember 2018–05Januari 2019.

2. Lokasi

Penelitian dilakukan di Wilayah Kerja Puskesmas nusalaut .

C. Populasidan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi target adalah unit dimana suatu hasil penelitian akan diterapkan

(Dharma, 2011). Populasi dalam penelitian ini adalah semua balita yang

berkunjung di Puskesmas Nusalaut berjumlah 22 orang. Dengan kriteria inklusi

dan eksklusi yaitu:

a. Kriteria Inklusi

1) Mendapat obat puyer

2) Susah minum obat

3) Ibu dan anak bersedia menjadi responden

b. Kriteria Eksklusi

1) Memiliki kelainan bawaan atau cacat

2) Tidak bersedia menjadi responden

34
2. Sampel

Sampel penelitian sebagai unit yang lebih kecil lagi adalah sekelompok individu

yang merupakan bagian dari populasi, dimana peneliti langsung mengumpulkan

data atau melakukan pengukuran pada unit ini. Metode pengambilan sampel pada

penelitian ini menggunakan metode Total sampling adalah teknik pengambilan

sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi(Dharma, 2011). Sesuai

dengan jumlah populasi maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 22

orang, yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol masing–masing 11 orang.

D. Variabel Penelitian

1. Variabel Independen

Variabel independen pada penelitian ini adalah pemberian gula pasir.

2. Variabel Dependen

Variabel Dependen (Variabel terikat) adalah variabel akibat atau variabel

yang akan berubah akibat pengaruh atau perubahan yang terjadi pada variabel

independen (Dharma, 2011). Variabel dependen pada penelitian ini adalah

keberhasilan minum obat puyer pada balita.

35
E. Defenisi Operasional

Defenisi Operasional adalah penjelasan tentang hal–hal apa saja yang dijadikan

indikator untuk mengukur vaariabel, bagaimana mengukurnya, alat ukur yang

digunakan, data hasil pengukuran, dan skala pengukuran (Dharma, 2011).

Tabel 3. 1
Defenisi Operasional Variabel
No Variabel Defenisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Variabel Independen (Bebas)
1. Pemberian Gula pasir diberikan ¼ sendok - -
gula pasir sesaat setelah obat teh setara
diminum, dengan dengan 1
tujuan menghilangkan gram
rasa pahit obat puyer
di lidah dan mencegah
anak muntah. Gula
pasir yang diberikan ¼
sendok teh atau 1
gram, selama 1 hari
(pagi, siang, dan
malam)
Variabel Dependen (Terikat)
2. Keberhasilan Kemampuan dalam Lembar a. Berhasil Ordinal
Minum Obat minum obat bila obat Observasi minum obat
Puyer Pada yang diberikan ditelan puyer, jika
Balita semuanya dan tidak ≥ 67
dimuntahkan kembali b. Tidak berhasil
sesaat setelah obat minum obat
puyer, jika
diminum, selama 1
< 67
hari (pagi, siang, dan
malam)

36
F. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah suatu alat yang digunakan oleh peneliti untuk

mengobservasi, mengukur atau menilai suatu fenomena. Data yang diperoleh dari

suatu pengukuran kemudian dianalisis dan dijadikan sebagai bukti (evidence) dari

suatu penelitian(Dharma, 2011). Instrumen pada penelitian ini adalah obat puyer, gula

pasir, sendok, gelas yang berisi air untuk diminum dan lembar observasi. Lembar

observasi digunakan oleh observer untuk mengamati dan menilai responden sesuai

tindakan yang dilakukan, dengan memberi tanda cek list () pada kolom tindakan.

Mengacu pada penelitian yang dilakuakan oleh van Riet - Nales dkk (2012)

tentang “Acceptability of different oral formulations in infants and preschool

children”, plasebo oral diberikan dalam 4 bentuk sediaan yaitu tablet 4 mm, bubuk,

suspensi, dan sirup selama 4 hari berturut–turut dan setiap bentuk sediaan diberikan 2

kali setiap harinya. Untuk menentukan sediaan obat yang paling disukai oleh anak,

dalam penelitian ini digunakan 2 cara yaitu, yang pertama menggunakan VAS (Visual

Analogue Scale) dimulai dari 0 “sangat tidak menyenangkan” sampai 10

“menyenangkan”, dan yang kedua dengan menggunakan pengamatan orang tua

secara langsung yaitu apakah dosis plasebo ditelan semua, ditelan hanya sebagian

atau tidak ditelan sama sekali.

Berdasarkan penelitian tersebut, maka dalam penelitian ini obat puyer

diberikan sebanyak 3 kali yaitu pagi, siang, dan malam selama 1 hari, baik untuk

kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol. Untuk menentukan keberhasilan

minum obat puyer, peneliti mengamati secara langsung balita saat minum obat dan

37
setiap balita dikatakan berhasil minum obat puyer bila mampu menelan semua dosis

obat lebih dari atau sama dengan 2 kali dalam sehari tanpa memuntahkan obat

kembali.Untuk mengukur keberhasilan minum obat puyer dari lembar observasi,

peneliti menggunakan rumus yang dimodifikasi dari rumus dasar penentuan

persentase dari jumlah total (Istafida, 2017).

𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝐵𝑎𝑔𝑖𝑎𝑛


𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 = × 100%
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙

Maka didapatkan rumus :

𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑡𝑖𝑑𝑎𝑘 𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙


𝐾𝑒𝑏𝑒𝑟ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙𝑎𝑛 = × 100
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑒𝑟𝑖𝑎𝑛

G. Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data untuk penelitian ini terdiri dari prosedur administrasi

yang dimulai dari fakultas untuk permintaan izin penelitian dan prosedur teknis yaitu

proses pengumpulan data penelitian antara lain :

1. Peneliti mengajukan proposal penelitian

2. Peneliti meminta surat pengantar izin penelitian pada Fakultas Kesehatan

Universitas Kristen Indonesia Maluku untuk kemudian diberikan kepada

Sekretariat Kota (Kepala Bagian Tata Pemerintahan), Dinas Kesehatan Kota

Ambon, dan Puskesmas nusalaut .

3. Peneliti meminta surat rekomendasi penelitian pada Kepala Bagian Tata

Pemerintahan dengan membawa KTP, KTM, dan proposal yang sudah

38
disetujui. Kemudian membawa surat rekomendasi penelitian bersama surat izin

penelitian dari fakultas pada Dinas Kesehatan Kota Ambon untuk melakukan

penelitian di Puskesmas nusalaut.

4. Setelah mendapat izin dari Dinas Kesehatan Kota Ambon, peneliti kemudian

membawa surat izin penelitian bersama surat rekomendasi penelitian ke Kepala

Puskesmas Passo dan meminta izin untuk dapat melakukan penelitian.

5. Peneliti membagi responden menjadi 2 kelompok (eksperimen dan kontrol).

Peneliti menjelaskan tujuan penelitian kepada keluarga responden. Setelah

mendapat persetujuan, peneliti dan orang tua responden menuju ke rumah

responden. Peneliti menjelaskan SOP pemberian obat secara oral kepada orang

tua responden.

6. Pada kelompok eksperimen, peneliti membantu orang tua responden untuk

memberikan obat kepada responden, dan memberikan gula pasir sesaat setelah

minum obat.

7. Pada kelompok kontrol, peneliti membantu orang tua responden untuk

memberikan obat kepada responden, dan tidak memberikan gula pasir sesaat

setelah minum obat.

8. Peneliti mengamati dan mencatat hasil pada lembar observasi.

9. Setelah melakukan pengumpulan data, peneliti kemudian menganalisis ada

tidaknya pengaruh pemberian gula pasir terhadap keberhasilan minum obat

puyer pada balita.

39
H. Pengolahan Data

Proses pengolahan data dalam penelitian ini terdiri dari (Notoatmodjo, 2012):

1. Editing

Hasil observasi harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu. Editing

adalah memeriksa kelengkapan data dari setiap jawaban pada lembar

observasi.Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data dan atau

setelah data terkumpul.

2. Coading

Coading adalah memberikan pengkodean pada data yang telah diedit yakni,

mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data angka atau bilangan.

Misalnya pada jenis kelamin, 1 = laki – laki dan 2 = perempuan.

3. Memasukan Data (Entry Data)

Entry Data adalah kegiatan memasukan data yang telah dikumpulkan ke dalam

master table. Data yakni hasil dari observasi responden.

4. Pembersihan Data (Cleaning)

Apabila semua data dari setiap responden selesai dimasukan, perlu dicek

kembali untuk melihat kemungkinan–kemungkinan adanya kesalahan kode,

atau ketidaklengkapan, kemudian dilakukan pembetulan koreksi.

40
I. Analisa Data

Analisa data yang ditabulasi akan diolah menggunakan teknik komputerisasi dan

disajikan dalam bentuk tabel. Analisa data ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah

ada pengaruh pemberian gula pasir terhadap keberhasilan minum obat puyer pada

balita di Wilayah Kerja Puskesmas nusalaut.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik setiap variabel

penelitian (Notoatmodjo, 2012). Karakteristik responden meliputi umur dan

jenis kelamin.

2. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat digunakan untuk menganalisis 2 variabel. Dalam penelitian

ini, peneliti menganalisis adakah pengaruh pemberian gula pasir terhadap

keberhasilan minum obat puyer pada balita. Uji statistic yang digunakan adalah

uji Mann Whitney(Dharma, 2011).

41
J. Etika Penelitian

Menurut Notoatmodjo (2012) dalam melakukan penelitian, peneliti perlu membawa

rekomendasi dari institusi untuk pihak lain dengan cara mengajukan permohonan izin

kepada institusi lembaga tempat penelitian yang diajukan oleh peneliti. Setelah

mendapat persetujuan barulah peneliti dapat melakukan penelitian dengan

mengedepankan masalah etika yang meliputi :

1. Persetujuan (Informed Consent)

Informed Consent merupakan persetujuan antara peneliti dan responden

penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.Selama melakukan

penelitian, peneiliti memberikan penjelasan kepada responden dan meminta

persetujuan responden terlebih dahulu.

2. Tanpa Nama (Anomity)

Setiap responden akan dijaga kerahasiaan atas informasi yang diberikan.

Peneliti tidak akan mencantumkan nama responden tetapi pada lembar tersebut

diberi kode.

3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok

data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

42
DAFTAR PUSTAKA

Abbott, E. 2012. Sugar : A Bittersweet History. Canada: Penguin Group.

Actelion. 2017, Maret 24. American Course on Drug Development and Regulatory
Sciences. Age Appropriate and Acceptable Paediatric Dosage Forms: Making
Medicines Child Size. Washington, D.C, Amerika Serikat: Actelion
Pharmaceuticals Ltd.

American Heart Association. 2016, Agustus 22. American Heart Association.


Retrieved from Children should eat less than 25 grams of added sugars daily.
American Heart Association Scientific Statement:
http://newsroom.heart.org/news/children-should-eat-less-than-25-grams-of-
added-sugars-daily

Anindyaputri, I. 2017, September 6. Hello Sehat. Retrieved from Mana yang Lebih
Bahaya: Kebanyakan Gula Atau Kebanyakan Garam?:
https://hellosehat.com/hidup-sehat/fakta-unik/bahaya-kebanyakan-gula-dan-
garam/

Anne, M. H. 2018, April 09. Thought Co. Retrieved from Dissolving Sugar in Water:
Chemical or Physical Change?: https://www.thoughtco.com/dissolving-sugar-
water-chemical-physical-change-608347

Baguley, D. L. 2012. Archives of Disease in Childhood. Prescribing for Children -


taste and palatability affect adherence to antibiotics : a review, 293-297.
Barber , R. L., Ekin , A. E., Sivakumar , P., Howard , K., & O’Sullivan, T. A. 2018.
International Journal of Environmental Research and Public Health. Glucose
Gel as a Potential Alternative Treatment to Infant Formula for Neonatal
Hypoglycaemia in Australia, 1 - 9.

Benjamin, R. M. 2012. Public Health Reports. Volume 127. Surgeon General’s


Perspectives. Medication Adherence : Helping Patients Take Their Medicines
As Directed, 127 - 128.

Bennett, C., Fagan, E., Chaharbakhshi, E., Zamfirova, I., & Flicker, J. 2016. Nursing
for Women s Health. Implementing a Protocol Using Glucose Gel to Treat
Neonatal Hypoglycemia, 64 - 74.
Boyer, M. J. 2013. Perhitungan Dosis Obat. Panduan Praktis untuk Menghitung
Dosis dan Menyiapkan Obat. Jakarta: Erlangga.

Breda, J., Jewell, J., & Kelle, A. 2018. Caries Research. The Importance of the World
Health, 149 - 152.
Darwin, P. 2013. Menikmati Gula Tanpa Rasa Takut. Jakarta: Sinar Ilmu.

Deslidel, Zuchrach, H., Rully, H., & Yan, S. 2011. Buku Ajar Asuhan Neonatus,
Bayi, & Balita. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Dharma, K. K. 2011. Metodologi Penelitian Keperawatan. Panduan Melaksanakan


dan Menerapkan Hasil Penelitian. Jakarta Timur: CV. Trans Info Media.
Elin, H. B., Torstein, B. R., & Aslak, S. 2017. Scandinavian Journal of Primary
Health Care. Strategies parents use to give children oral medicine: a
qualitative study of online discussion forums, 221-228.

Eveline, & Djamaludin, N. 2010. Panduan Pintar Merawat Bayi dan Balita. Jakarta:
PT Wahyu Media.

Fhitryani, S., Suryanto, D., & Karim, A. 2017. Pemeriksaan Escherichia coli,
Staphylococcus aureus dan Salmonella sp. Pada Jamu Gendong Yang
Dijajakan Di Kota Medan. Jurnal Biologi Lingkungan, Industri, Kesehatan.
Vol. 3, 142 - 151.

Forough, A. S., Lau, E. T., Steadman, K. J., Cichero, J. A., Kyle, G. J., Santos, J. M.,
& Nissen, L. M. 2018. Patient Preference and Adherence. A spoonful of sugar
helps the medicine go down? A review of strategies for making pills easier to
swallow, 1337–1346.

Hapsari, T. A., & Azinar, M. 2017. Higeia Journal of Public Health Research And
Develompment. Praktik Terapi Antiretroviral Pada Anak Penderita
HIV/AIDS, 1 - 10.
Hartatik, I. P. 2014. Buku Praktis Mengembangkan SDM. Yogyakarta: Laksana.

Heriana, P. 2014. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang Selatan:


Binarupa Aksara.
Hidayat, A. A. 2008. Buku Saku Praktikum Keperawatan Anak. Jakartaa: EGC.
Istafida. 2017, November 4. Rumus Online. Retrieved from TRIK MUDAH! Cara
Menghitung Persen dari Jumlah Total & Contohnya:
https://rumusonline.com/736/cara-menghitung-persen-dari-jumlah-total.html

Jimmy, B., & Jose, J. 2011. Oman Medical Jurnal. Volume 26 No 3. Patient
Medication Adherence: Measures in Daily Practice, 155 -159.

Joana, M., Talia, F., James, M., & Nikoletta, F. 2017. Journal of Pharmacy and
Pharmacology. Recommended strategies for the oral administration of
pediatric medicines with food and drinks in the context of their
biopharmaceutical properties: a review, 384-397.
Kementrian Kesehatan. 2014. Permenkes No 25 tentang Upaya Kesehatan Anak.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI.

Kementrian Kesehatan. 2016. Permenkes No 74 tentang Standar Pelayanan


Kefarmasian di Puskesmas. Jakarta: Kementrian Kesehatan Nasional.
Kementrian Kesehatan. 2018. Praktik Pemberian Makanan Bayi Dan Anak (Pmba)
Untuk Perubahan Perilaku Pemenuhan Asupan Gizi Anak Dalam Upaya
Pencegahan Stunting. Serpong: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kepmenkes. 2008. Pedoman Teknis Pengadaan Obat Publik Dan Perbekalan


Kesehatan Untuk Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Mentri Kesehatan.

Kresnawati, W. 2011, Agustus 22. Grup Sehat. Menyayangi - Berani -


Bertanggungjawab. Retrieved from Mengenal Cairan Rehidrasi Oral:
http://milissehat.web.id/?p=1852

Krisnanta, I. A., Parfati, N., Presley, B., & Setiawan, E. 2018. Analisis Profil dan
Faktor Penyebab Ketidakpatuhan Pengasuh Terhadap Penggunaan Antibiotik
pada Pasien Anak. JMPF Vol. 8 No. 1, 39 - 50.

Kusumawati, M. 2017, Mei 30. Kerjanya. Retrieved from Gula Pasir:


http://www.kerjanya.net/faq/17928-gula-pasir.html

Mennella, J. A., & Bobowski, N. K. 2015. Physiology and Behavior. The sweetness
and bitterness of childhood: Insights from basic research on taste
preferences, 502 - 507.
Mennella, J. A., Roberts, K. M., Mathew , P. S., & Reed, D. R. 2015. BMC
Pediatrics. Children’s perceptions about medicines: individual differences and
taste, 1 - 6.

Mennella, J. A., Spector, A. C., Reed, D. R., & Coldwell, S. E. 2013. Clinical
Therapeutics. Volume 35 No. 8. The Bad Taste of Medicines: Overview of
Basic Research on Bitter Taste, 1225 - 1246.
Mitayanti, & Sartika, W. 2010. Buku Saku Ilmu Gizi. Jakarta: Trans Info Media.

Newton, H. 2012. The Sick Child in Early Modern England 1580 - 1720. Oxford,
UK: MPG Books Group, Bodmin and King's Lynn.

Nguyen, S., & Lustig, R. H. 2014. Expert Review of Cardiovascular Therapy. Just a
spoonful of sugar helps the blood pressure, 1497 - 1499.
Notoadmojo, S. 2011. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Patrick, J. 2012. Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika Martin. Jakarta: EGC.

Pratama, K., Niruri, R., Wati, K. D., Widotama, I. G., & Dewantara, I. G. 2014.
Peranan Penggunaan Alat Bantu Dalam Metode Pembagian Visual Terhadap
Keseragaman Bobot Puyer Lamivudin Dosis Kecil untuk Terapi Anak dengan
HIV/AIDS . Jurnal Farmasi Udayana, 103.

Pusat Studi Biofarmaka LPPM IPB. 2014. Sehat Alami dengan Herbal. 250 Tanaman
Berkhasiat Obat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Rina. 2016, Oktober. Manfaat Cantik Sehat. Retrieved from Manfaat serta Bahaya
Gula untuk Kesehatan dan Kecantikan:
http://www.manfaatcantiksehat.com/2016/10/manfaat-serta-bahaya-gula.html

Sailendra, A. 2015. Langkah-Langkah Praktis Membuat Standart Operating


Procedures. Yogyakarta: Trans Idea Publishing.

Sensorex. 2017, Agustus 9. Sensorex Your Water Measurements Matter. Retrieved


from pH Monitoring for Sugar Processing and Refinement:
https://sensorex.com/blog/2017/08/09/sugar-processing/
Siahaan, S., & Mulyani, U. A. 2013. Kesmas National Public Health Jurnal. The
Practice of Compounded Medicines for Children Suffering from Tuberculosis
in Indonesia, 158 - 163.
Soetjiningsih, & Ranuh, G. 2013. Tumbuh Kembang Anank Edisi 2. Jakarta: EGC.

Suhardiman. 2012, Maret 29. Membagi Ilmu Keperawatan. Retrieved from Efek
Obat: http://materifarmakologi.blogspot.com/2012/03/efek-obat.html
Tambayong, J. 2014. Farmakologi Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Kedokteran : EGC.

van Riet-Nales, D. A., de Neef, B. J., Schobben, A. F., Ferreira, J. A., Egberts, T. C.,
& Rademaker, C. M. 2012. Arch Dis Child. Acceptability of different oral
formulations in infants and preschool children, 1 - 7.

Wibowo, R., & Soedibyo, S. 2008. Kepatuhan Berobat dengan Antibiotik Jangka
Pendek di Poliklinik Umum Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sari Pediatri, Vol. 10, No. 3, 171 - 176.

Widyaswari, R., & Wiedyaningsih , C. 2012. Evaluasi Peresepan Obat Racikan Dan
Ketersediaan Formula Obat Untuk Anak Di Puskesmas Propinsi DIY.
Majalah Farmasuetik, Vol. 8 No. 3, 227 - 234.

Wiggins, C. 2018, Maret 30. BBC Future. Retrieved from The Hidden Healing Power
of Sugar: http://www.bbc.com/future/story/20180328-how-sugar-could-help-
heal-wounds

Anda mungkin juga menyukai