Bayan al-Nasakh
Dalam pengertian fungsi hadis bayan al-nasakh banyak ulama yang berbeda
pendapat jika mengartikan hanya dalam bahasa.
Perbedaan pendapat ini terlihat jelas antara pendapat ulama mutaakhirin dan ulama
mutaqaddimin. Menurut ulama mutaqaddimin, terjadinya nasakh karena terdapat
dalil syara' yang mengubah hukum (ketentuan) meskipun sudah jelas, karena telah
berakhir masa keberlakuannya (tidak dapat diamalkan lagi untuk saat ini), dan
karena dalil syari' (pembuat syariat) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan
untuk selamanya (hanya untuk kurun waktu tertentu).
Kelompok yang memperbolehkan adanya nasakh ialah golongan Mu'tazilah,
Hanafiyah, dan Mazhab Ibn Hazm Al-Dhahiri. Sedangkan yang menentang bayan
al-nasakh ini ialah Imam Syafi'i dan sebagian besar pengikutnya.1
1
Abbas Mutawali Hamadah, op. cit., hal. 169-170
2
Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi, Al-Mishbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir li Al-Rafi’i, juz 11, (Beirut:
Dar Al-KUtub Al-Ilmiyah, 1398H/1978), hal. 321
Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang dapat memberi keyakinan bahwa
mereka mustahil bersepakat untuk berdusta.
Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat
selanjutnya.
Harus berdasarkan panca indera yaitu berita yang disampaikan harus hasil pendengaran
atau penglihatannya sendiri, dan bukan hasil renungan atau pemikiran dari peristiwa
tertentu.
o Mutawatir Lafzhi, yaitu hadis yang mutawatir periwayatannya satu lafdzi. Salah satu
contoh hadis Lafdzi ialah sabda Rasulullah SAW.
"Barang siapa berbuat dusta terhadap diriku, hendaklah ia menempati neraka."
Menurut Abu Bakar Al-Sairi, hadis ini diriwayatkan secara marfu' oleh 60 sahabat Nabi
SAW. Menurut Ibnu Al-Shalah, hadis ini diriwayatkan oleh 62 orang sahbat, termasuk
10 sahabat yang diakui akan masuk surga.
o Mutawatir Ma'nawi, yaitu hadis yang maknanya mutawatir tapi lafadznya tidak.
Contoh hadis mutawatir ma'nawi , antara lain adalah Nabi SAW mengangkat
tangannya ketika berdoa.
o Mutawatir Amali, yaitu hadis mengenai sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa
dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam, bahwa Nabu SAW
mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu.
Hadis Mutawatir mempunyai nilai 'ilmu dharuri (yufid ila 'ilmi al-dharuri) yaitu
keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberikan oleh
hadis mutawatir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang qath'i (pasti).
b. Hadist Ahad
Al-Ahad secara epistimologis artinya al-wahid atau satu. Khabar wahid adalah
berita yang disampaikan oleh satu orang. Yang membedakan dengan hadis mutawatir
ialah jumlah perawi, di dalam hadis ahad jumlah perawi tidak sebanyak jumlah perawi
hadis mutawatir. Ada pula yang mengartikan hadis ahad merupakan hadis yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi persyaratan
hadis masyhur dan hadis mutawatir.