Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari kata Yunani yang bermakna schizo artinya terbagi atau
terpecah dan phrenia yang berarti pikiran. Skizofrenia merupakan suatu penyakit yang
mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan, dan
perilaku yang aneh dan terganggu.(Videbeck, 2008 dalam Nuraenah, 2012).
Skizofrenia merupakan gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi
fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, mempengaruhi emosional dan
tingkah laku (Depkes RI, 2015). Gangguan jiwa skizofrenia sifatnya adalah ganguan yang
lebih kronis dan melemahkan dibandingkan dengan gangguan mental lain (Puspitasari,
2009).
Stuart (2007) menjelaskan bahwa skizofrenia merupakan penyakit otak yang
persisten dan juga serius yang bisa mengakibatkan perilaku psikotik, kesulitan dalam
memproses informasi yang masuk, kesulitan dalam hubungan interpersonal, kesulitan
dalam memecahkan suatu masalah.

Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang ditandai dengan gangguan utama dalam
pikiran, emosi, dan perilaku, pikiran yang terganggu, dimana berbagai pemikiran tidak
salaing berhubungan secara logis, persepsi dan perhatian yang keliru afek yang datar atau
tidak sesuai, dan berbagai gangguan aktifitas motorik yang bizzare (perilaku aneh), pasien
skizofrenia menarik diri dari orang lain dan kenyataan, sering kali masuk ke dalam
kehidupan fantasi yang penuh delusi dan halusinasi. Orang-orang yang menderita
skozofrenia umunya mengalami beberapa episode akut simtom–simtom, diantara setiap

5
6

episode mereka sering mengalami simtom–simtom yang tidak terlalu parah namun tetap
sangat menggagu keberfungsian mereka. Komorbiditas dengan penyalahguanaan zat
merupakan masalah utama bagi para pasien skizofrenia, terjadi pada sekitar 50 persennya.
(Konsten & Ziedonis. 1997, dalam Davison 2010).

2.2 Epidemiologi Skizofrenia

Menurut WHO jika 10% dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa maka
harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa. Satu dari empat orang di
dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di
dunia yang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia diperkirakan mencapai 264 dari 1000
jiwa penduduk yang mengalami gangguan jiwa.
Salah satu gangguan jiwa Psikosa Fungsional yang terbanyak adalah Skizofrenia.
Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka prevalensi Skizofrenia secara
umum berkisar antara 0,2% hingga 2,0% tergantung di daerah atau negara mana studi itu
dilakukan. Insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun sekitar 0,01% (Lesmanawati,
2012). Data dari Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi pasien gangguan jiwa berat di
Indonesia sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7 per
mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa
Tengah (2,3 per mil) (Lesmanawati, 2012).Di Indonesia sendiri, kasus klien dengan
Skizofrenia 25 tahun yang lalu diperkirakan 1/1000 penduduk dan diperkirakan dalam 25
tahun mendatang akan mencapai 3/1000 penduduk (Hawari, 2001).
Data dari Schizophrenia Information & Treatment Introductiondi Amerika penyakit
Skizofrenia menimpa kurang lebih 1% dari jumlah penduduk. Lebih dari2 juta orang
Amerika menderita skizofrenia pada waktu tertentu. Separuh dari pasien gangguan jiwa
yang dirawat di RSJ adalah pasien dengan skizofrenia (Pitoyo, 2012). Jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237,6 juta. Dengan asumsi angka 1 % tersebut di atas
7

maka jumlah penderita Skizofrenia di Indonesia pada tahun 2012 sekitar 2.377.600 orang.
Angka yang fantastis dibanding jumlah daya tampung 32 rumah sakit jiwa di seluruh
Indonesia sebanyak 8.047 tempat tidur. Daya tampung tetap, pasien gangguan jiwa
meningkat (Pitoyo, 2012).

2.3 Etiologi Skizofrenia

Skizofrenia dianggap sebagai gangguan yang penyebabnya multipel dan saling


berinteraksi. Diantara faktor multipel itu dapat disebut :
1. Keturunan
Penelitian pada keluarga penderita skizofrenia terutama anak kembar satu telur
angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, bagi saudara kandung 7-15%, anak
dengan salah satu orang tua menderita skizofrenia 7-16%. Apabila kedua orang tua
menderita skizofrenia 40-60%, kembar dua telur 2-15%. Kembar satu telur 61-68%.
Menurut hukum Mendel skizofrenia diturunkan melalui genetik yang resesif.
(Lumbantobing, 2007).
Faktor genetik, meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul
kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut faktor epigenetik, seperti virus
atau infeksi lain selama kehamilan, menurunnya auto-immune yang mungkin
disebabkan infeksi selama kehamilan, berbagai macam komplikasi kandungan dan
kekurangan gizi yang cukup berat (Hawari, 2006).

2. Gangguan Anatomik
Dicurigai ada beberapa bangunan anatomi di otak berperan, yaitu : Lobus temporal,
system limbic dan reticular activating system. Ventrikel penderita skizofrenia lebih
besar daripada kontrol. Pemeriksaan MRI menunjukkan hilangnya atau 9
kemungkinan budaya atau adat yang dianggap terlalu berat bagi seseorang dapat
menyebabkan seseorang menjadi gangguan jiwa.
8

Abnormalitas korteks cerebral, talamus, dan batang otak pada penderita skizofrenia
ditunjukkan dengan penelitian neuropatologi dan pemeriksaan dengan Ctscan
(Sadock dan Sadock, 2007).

3. Faktor Presipitasi
Secara umum klien dengan gangguan halusinasi timbul gangguan setelah adanya
hubungan yang bermusuhan, tekanan, isolasi, perasaan tidak berguna, putus asa dan
tidak berdaya. Penilaian individu terhadap stressor dan koping dapat
mengindikasikan kemungkinan kekambuhan (Anna, 2008). Factor presipitasi
terjadinya gangguan halusinasi adalah :
a. Biologis
Faktor biologi seperti hiperaktivitas sistem dopaminergik, faktor serotonin,
faktor neuroimunovirologi, hipoksia atau kerusakan neurotoksik selama
kehamilan dan kelahiran (Sadock dan Sadock, 2007).
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak yang mengatur proses
informasi serta abnormalitas pada mekanisme pintu masuk yang ada di dalam
otak, yang dapat mengakibatkan gangguan.
b. Stress Lingkungan
Faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi penyalahgunaan
obat, pendidikan yang rendah, dan status ekonomi (Carpenter, 2010).
c. Sumber Koping
d. Faktor psikososial dan sosiokultural (Supratiknya, 2003).
9

2.4 Pedoman Diagnostik

Berikut ini merupakan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia berdasarkan PPDGJ III :
1. Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas):
a. Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama,
namun kualitasnya berbeda; atau Thought insertion or withdrawal : isi
pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi
pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan
Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya.
b. Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu
kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion of influence : waham tentang
dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion of
passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap sesuatu
kekuatan dari luar; dan Delusional perception : pengalaman inderawi yang
tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat
mistik atau mukjizat.
c. Halusinasi auditorik : suara halusinasi yang berkomentar secara terus
menerus terhadap perilaku pasien; atau mendiskusikan perihal pasien
diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.
d. Waham : waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan
agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia
biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan
makhluk asing dari dunia lain)
10

2. Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik
oleh waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa
kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over-
valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus berulang.
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation),
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau
neologisme.
c. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan
stupor.
d. Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan
respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang
mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh
depresi atau medikasi neuroleptika.
3. Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu
satu bulan atau lebih.
4. Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu
keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi
(personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed
atitude), dan penarikan diri secara sosial.
11

2.5 Jenis-Jenis Skizofrenia

Kraeplin (dalam Maramis, 2009) membagi skizofrenia menjadi beberapa jenis.


Penderita digolongkan ke dalam salah satu jenis menurut gejala utama yang terdapat
padanya. Akan tetapi batas-batas golongan-golongan ini tidak jelas, gejala-gejala dapat
berganti-ganti atau mungkin seorang penderita tidak dapat digolongkan ke dalam satu jenis.
Pembagiannya adalah sebagai berikut:

1. Skizofrenia Simpleks
Skizofrenia simpleks, sering timbul pertama kali pada masa pubertas. Gejala utama
ialah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berfikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali terdapat. Jenis ini
timbul secara perlahan. Pada permulaan mungkin penderita kurang memperhatikan
keluarganya atau menarik diri dari pergaulan. Makin lama ia semakin mundur
dalam kerjaan atau pelajaran dan pada akhirnya menjadi pengangguran, dan bila
tidak ada orang yang menolongnya ia akan mungkin akan menjadi “pengemis”,
“pelacur” atau “penjahat” (Maramis, 2008).
Sering timbul pertama kali pada masa pubertas.Gejala utama pada jenis simplex
adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir
biasanya sukar ditemukan. Waham dan halusinasi jarang sekali ditemukan.

2. Skizofrenia Hebefrenik
Skizofrenia hebefrenik atau disebut juga hebefrenia, menurut Maramis (2008)
permulaannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15–
25 tahun. Gejala yang menyolok adalah gangguan proses berfikir, gangguan
kemauan dan adanya depersonalisasi. Gangguan psikomotor seperti perilaku
kekanak-kanakan sering terdapat pada jenis ini. Waham dan halusinasi banyak
sekali.
12

3. Skizofrenia Katatonik
Menurut Maramis (2008) skizofrenia katatonik atau disebut juga katatonia,
timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun dan biasanya akut serta sering
didahului oleh stres emosional. Mungkin terjadi gaduh gelisah katatonik atau stupor
katatonik.
a. Stupor katatonik Pada stupor katatonik, penderita tidak menunjukan perhatian
sama sekali terhadap lingkungannya dan emosinya sangat dangkal. Secara tiba-
tiba atau perlahan-lahan penderita keluar dari keadaan stupor ini dan mulai
berbicara dan bergerak.
b. Gaduh gelisah katatonik Pada gaduh gelisah katatonik, terdapat hiperaktivitas
motorik, tapi tidak disertai dengan emosi yang semestinya dan tidak
dipengaruhi oleh rangsangan dari luar.
4. Skizofrenia Paranoid
Jenis ini berbeda dari jenis-jenis lainnya dalam perjalanan penyakit. Hebefrenia dan
katatonia sering lama-kelamaan menunjukkan gejala-gejala skizofrenia simplek atau
gejala campuran hebefrenia dan katatonia. Tidak demikian halnya dengan
skizofrenia paranoid yang jalannya agak konstan (Maramis, 2008). Jenis skizofrenia
ini sering mulai sesudah mulai 30 tahun.Permulaanya mungkin subakut, tetapi
mungkin juga akut. Kepribadian penderita sebelum sakit sering dapat digolongkan
schizoid. Mereka mudah tersinggung, suka menyendiri, agak congkak dan kurang
percaya pada orang lain.

5. Episode Skizofrenia Akut


Gejala skizofrenia ini timbul mendadak sekali dan pasien seperti keadaan mimpi.
Kesadarannya mungkin berkabut. Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan
dunia luar dan dirinya sendiri berubah. Semuanya seakan-akan mempunyai arti
yang khusus baginya. Prognosisnya baik dalam waktu beberapa minggu atau
13

biasanya kurang dari enam bulan penderita sudah baik. Kadang-kadang bila
kesadaran yang berkabut tadi hilang, maka timbul gejala-gejala salah satu jenis
skizofrenia yang lainnya (Maramis, 2008).
6. Skizofrenia Residual
Skizofrenia residual, merupakan keadaan skizofrenia dengan gejala-gejala
primernya Bleuler, tetapi tidak jelas adanya gejala-gejala sekunder. Keadaan ini
timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia (Maramis, 2008).
7. Skizofrenia skizoafektif Pada skizofrenia skizoafektif, di samping gejala-gejala
skizofrenia terdapat menonjol secara bersamaan, juga gejala-gejala depresi atau
gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek, tetapi
mungkin juga timbul lagi serangan (Maramis, 2008).

2.6 Tanda dan Gejala

Simtom-simtom yang dialami pasien skizofrenia mencakup gangguan dalam


beberapa hal penting pikiran, persepsi, dan perhatian. Perilaku motorik , afek, atau emosi,
dan keberfungsian hidup. Rentang masalah orang-orang yang didiagnosis menderita
skizofrenia sangat luas, meskipun dalam satu waktu pasien umumnya mengalami hanya
beberapa dari masalah tersebut. Dalam hal ini akan diuraikan beberapa simtom-simtom
utama skizofrenia dalam tiga kategori. Simtom positif, simtom negatif, dan simtom
disorganisasi. (Davison, 2010).

1. Simtom positif.
Mencakup hal–hal yag berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan waham,
simtom–simtom ini, sebagian terbesarnya, menjadi ciri episode akut
skizofrenia.
14

a. Delusi (waham), yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan


semacam itu merupakan simtom–simtom positif yang umum pada
skizofrenia.
b. Halusinasi, para pasien skizofrenia seringkali menuturkan bahwa dunia
tampak berbeda dalam satu atau lain cara atau bahkan tidak nyata bagi
mereka. Dan distorsi persepsi yang paling dramatis adalah halusinasi
yaitu diamana pengalaman indrawi tanpa adanya stimulasi dari
lingkuangan.
2. Simtom negatif.
Simtom–simtom negatif skizofrenia mencakup berbagai devisit behavioral,
seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar dan asosiolitas. Simtom–simtom
ini ini cenderung bertahan melampaui suatu episode akut dan memiliki afek
parah terhadap kehidupan para pasien skizofrenia.
3. Simtom disorganisasi.
Simtom–simtom disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan
perilaku aneh (bizarre). Disorganisasi pembicaraan juga dikenal sebagai
gangguan berfikir formal, disorganisasi pembicaraan merujuk pada masalah
dalam mengorganisasi berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga
pendengar dapat memahaminya. Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk,
pasien dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak
dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah seperti anak–
anak, atau dengan gaya yang konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan
sampah atau melakukan perilaku seksual yang tidak pantas.
Gejala-gejala skizofrenia terdiri dari dua jenis yaitu simtom positif dan simtom
negatif. Simtom positif berupa delusi atau waham, halusinasi, kekecauan alam pikir, gaduh,
gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira
berlebihan. Simtom negatif berupa alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”,
15

menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan
orang lain, suka melamun (day dreaming), kontak emosional amat miskin, sukar diajak
bicara, pendiam dan pola pikir stereotip (Muhyi, 2011).
Menurut Bleuler dalam Maramis (2008) gejala skizofrenia dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
1. Gejala Primer
Gejala primer terdiri dari gangguan proses berpikir, gangguan emosi, gangguan
kemauan serta autisme.
2. Gejala Sekunder
Gangguan sekunder terdiri dari waham, halusinasi, dan gejala katatonik maupun
gangguan psikomotor yang lain.
2.7 Fase Skizofrenia
American Psychiatric Association(APA) menyatakan bahwa perjalanan penyakit
skizofrenia terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase stabilisasi dan fase stabil
(Reverger, 2012). Ketiga fase tersebut disebut dengan fase psikotik. Sebelum fase
psikotik muncul, terdapat fase premorbid dan fase prodormal (Muhyi, 2011).
Pada fase premorbid, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif
(Muhyi, 2011). Pada fase prodormal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang
lamanya bisa sampai beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis pasti
skizofrenia ditegakkan (Herdaetha, 2009). Gejala non spesifik berupa gangguan tidur,
ansietas, iritabilitas, depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya defisit
perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial (Muhyi, 2011).
Hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi
perawatan diri juga muncul pada fase prodormal (Safitri, 2010).
Simtom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan
berarti sudah mendekati fase psikotik (Muhyi, 2011). Masuk ke fase akut psikotik,
simtom positif menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham,
16

halusinasi disertai gangguan afek (Safitri, 2010). Kemudian muncul fase stabilisasi
yang berlangsung setelah dilakukan terapi dan pada fase stabil terlihat simtom negatif
dan residual dari simtom positif. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis,
sedangkan individu lain mengalami gejala non psikotik misalnya, merasa tegang
(tension), ansietas, depresi, atau insomnia (Muhyi, 2011).

2.8 Penatalaksanaan
Ada berbagai macam terapi yang bisa kita berikan pada skizofrenia. Hal ini
diberikan dengan kombinasi satu sama lain dan dengan jangka waktu yang relatif
cukup lama. Terapi skizofrenia terdiri dari pemberian obat-obatan, psikoterapi, dan
rehabilitasi. Terapi psikososial pada skizofrenia meliputi: terapi individu, terapi
kelompok, terapi keluarga, rehabilitasi psikiatri, latihan ketrampilan sosial dan
manajemen kasus (Hawari, 2009).
WHO merekomendasikan sistem 4 level untuk penanganan masalah gangguan
jiwa, baik berbasis masyarakat maupun pada tatanan kebijakan seperti puskesmas dan
rumah sakit.
1. Level keempat adalah penanganan kesehatan jiwa di keluarga
2. Level ketiga adalah dukungan dan penanganan kesehatan jiwa di masyarakat
3. Level kedua adalah penanganan kesehatan jiwa melalui puskesmas
4. Level pertama adalah pelayanan kesehatan jiwa komunitas

2.8.1 Terapi Farmakologik


a. Haloperidol
Dasar pengobatan skizofrenia adalah medikasi dengan antipsikotik
yang dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antipsikotik tipikal dan
antipsikotik atipikal (Sadock dan Sadock, 2007). Haloperidol merupakan
antipsikotik tipikal yang merupakan antagonis reseptor dopamin
17

berafinitas tinggi (Sianturi, 2014). Aksi terapi dari obat-obat antipsikotik


tipikal secara langsung memblok reseptor dopamin tipe 2 (D2) yang
spesifik di jalur dopamin mesolimbik (Stahl, 2000). Dopamin merupakan
neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia.
Terdapat empat jalur penting dalam teori dopamin, yaitu jalur mesolimbik,
mesokorteks, nigrostriatal, dan tuberoinfundibuler (Safitri, 2010). Aksi
memblok reseptor dopamin tipe 2 mempunyai efek menurunkan
hiperaktifitas dalam jalur yang menyebabkan munculnya simtom positif
dari psikotik (Stahl, 2000).
Semua antagonis reseptor dopamin dengan preparat liquid lebih
efisien diabsorpsi dibandingkan dengan tablet atau kapsul (Sianturi,
2014). Waktu paruh Haloperidol adalah kira-kira 24 jam. Orang dewasa
dalam keadaan akut cukup sesuai dengan menggunakan dosis ekivalen
Haloperidol 5-20 mg (Stahl, 2000). Sediaan Haloperidol yang disediakan
oleh sistem JKN menurut Pedoman Penerapan Formularium Nasional
adalah tablet 0,5 mg; 1,5 mg; dan 5 mg serta injeksi 5 mg/mL.
Efek samping Haloperidol adalah timbulnya gejala ekstrapiramidal
(Lesmanawati, 2012). Gejala ekstrapiramidal yang terjadi bisa berupa
distonia dan akitsia. Efek samping lain yang sangat berbahaya adalah
Sindroma Neuroleptik Maligna yang ditandai dengan hipertermia,
rigiditas, akinesia, mutisme, kebingungan, agitasi, hipertensi hingga
kolapsnya sistem kardiovaskular (Reverger, 2012).

b. Risperidon
Risperidon merupakan obat atipikal atau obat antipsikotik generasi
kedua (Lesmanawati, 2012). Cara kerja Risperidon adalah dengan
memblok reseptor dopamin dan reseptor 5 HT-2. Cara kerja seperti ini
efektif untuk menurunkan atau menghilangkan simtom positif maupun
18

negatif (Sianturi, 2014). Karena sebab ituah saat ini Risperidon menjadi
terapi firstline pasien skizofrenia menggantikan obat antipsikotropika
tipikal (Reverger, 2012).
Dosis efektif Risperidon yang digunakan sebesar 2,7 mg/hari dan
aman digunakan pada fase akut psikotik dengan dosis dibawah 4 mg/hari
(Lesmanawati, 2012). Pemberian Risperidon 4 mg/hari menunjukkan
kerja yang sangat cepat dalam menangani psikosis atau skizofrenia
dibandingkan dengan pemberian Haloperidol 10 mg/hari terutama selama
minggu pertama (Sianturi, 2014). Penggunaan obat antipsikotik yang
direkomendasikan berdasarkan American Psychiatric Association (APA)
menyebutkan bahwa rentang dosis untuk Haloperidol adalah 5 sampai 20
mg/hari setara dengan Risperidon 2 sampai 8 mg/hari (Mclntyere, 2006).
Sediaan Risperidon yang disediakan oleh sistem JKN menurut Pedoman
Penerapan Formularium Nasional adalah tablet salut 1 mg dan 2 mg serta
tablet 3 mg.
Risperidon diabsorpsi dengan cepat dari saluran cerna setelah
pemberian peroral sebesar 70-85%. Proses absorpsi tidak dipengaruhi
oleh makanan sehingga dapat diberikan dengan atau tanpa makanan.
Risperidon mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 2 jam (Stahl,
2000).
Risperidon terlihat lebih unggul bila dibandingkan dengan
penggunaan jenis antipsikotik tipikal dan rata-rata terjadinya relaps lebih
rendah. Obat ini juga dilaporkan dapat menimbulkan gejala
ekstrapiramidal, namun sangat kecil dibandingkan dengan antipsikotik
tipikal (Lesmanawati, 2012). Efek samping yang ditimbulkan oleh
Risperidon adalah meningkatkan konsentrasi prolaktin yang memicu
terjadinya galaktore dan gangguan menstruasi pada wanita serta gangguan
19

seksual pada pria. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah
konstipasi, takikardi dan peningkatan berat badan (Reverger, 2012).
c. Klorpromazin
Klorpromazin merupakan obat antipsikotik golongan pertama yang
merupakan turunan alifatik dari Fenotiazin. Obat ini mempunyai efek
pada sistem saraf pusat, autonom, dan endokrin. Kerjanya dengan
menghambat beberapa reseptor seperti reseptor dopamin, alfa-
adrenoreseptor, muskarinik, H1 histaminik, dan serotonin (Katzung,
2012).
Oleh karena Klorpromazin merupakan obat pertama yang
digunakan pada skizofrenia, banyak sekali efek samping yang
ditimbulkan (Katzung, 2012). Efek samping yang sering ditimbulkan
adalah munculnya gejala ekstrapiramidal, efek sedatif, dan hipotensi
(Sims dkk, 2011). Efek samping lain seperti kehilangan akomodasi, mulut
kering, kesulitan kencing, konstipasi, impotensi, dan gagal ejakulasi
mungkin ada karena kerjanya pada sistem saraf pusat. Amenorrhea-
galacthorrhea dan infertilitas juga mungkin muncul karena adanya
penghambatan reseptor dopamin yang mengakibatkan hiperprolaktinemia
(Katzung, 2012). Menurut APA, dosis yang dianjurkan bagi Klorpromazin
adalah 300-1000 mg per hari.
d. Triheksifenidil
Triheksifenidil merupakan obat yang direkomendasikan dan paling
sering digunakan untuk mengatasi efek samping dari obat antipsikotik
tipikal yaitu gejala ekstrapiramidal (Perwitasari, 2008). Obat yang
merupakan senyawa Pepiridin yang bekerja melalui neuron dopaminergik
dan tergolong jenis antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih
kuat dibanding efek perifer (Swayami, 2014). Efek sentral berupa mual,
20

mutah, dilatasi pupil, demam tinggi, agitasi, halusinasi, dan gangguan


kognitif; sedangkan efek perifer contohnya mulut dan hidung kering,
pandangan kabur, retensi urin, dan konstipasi (Wijono dkk, 2013). Obat
ini spesifik menekan dan menghambat reseptor muskarinik sehingga
menghambat sistem saraf parasimpatik (Swayami, 2014). Akibat dari
dihambatnya reseptor muskarinik tersebut dapat memicu timbulnya efek
samping yang serius yaitu munculnya kembali gejala psikosis seperti
halusinasi, agresif dan kebingungan (Wijono dkk, 2013).
Dengan adanya efek samping serius yang ditimbulkan maupun efek
sentral dan efek perifer, maka dibuat panduan dalam penggunaan obat ini
(Swayami, 2014). Panduan berasal dari konsensus WHO berupa
pemberian dosis obat sesuai dengan kebutuhan pasien dimulai dari dosis
terendah yang direkomendasikan yaitu 1-4 mg diminum 2-3 kali sehari
dan tidak melebihi 15 mg sehari, kemudian dinaikkan secara bertahap
sampai terdapat kejadian toleransi dari pasien (Swayami, 2014), dan
dievaluasi setiap 3 bulan sekali dengan mengurangi dosis secara bertahap,
bila dalam pengurangan dosis timbul gejala ekstrapiramidal maka dosis
dikembalikan dan dievaluasi ulang setiap 6 bulan (Wijono dkk, 2013).
2.9 Prognosis
Pemberian antipsikotik atipikal sebagai pengobatan lini awal dapat
meningkatkan prognosis yang lebih baik untuk gangguan psikotik fase akut. Namun
demikian penggunaan antipsikotik tipikal seperti Haloperidol tetap dipakai sampai
sekarang. Pada penderita dewasa muda, antipsikotik dosis rendah biasanya efektif
untuk mengendalikan halusinasi, waham, gangguan isi pikir dan perilaku aneh. Dosis
yang rendah juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping gejala
ekstrapiramidal (Mar, 2012).
21

Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada (Ferri, 2011) :

1. Usia pertama kali timbul (onset) : makin muda maka makin buruk.
2. Mula timbulnya akut atau kronik : bila akut maka lebih baik.
3. Tipe skizofrenia : episode skizofrenia dan katatonik
lebih baik.
4. Kecepatan, ketepatan, dan keteraturan pengobatan yang didapat.
5. Ada atau tidaknya faktor pencetus : jika ada maka lebih buruk.
6. Ada atau tidaknya faktor keturunan : jika ada maka lebih buruk.
7. Kepribadian prepsikotik : jika skizoid, skizotin, atau introvert
maka lebih jelek.
8. Keadaan sosial ekonomi : jika rendah maka lebih jelek.

2.10 Kepatuhan Minum Obat


Kepatuhan pada pasien skizofrenia dapat dipengaruhi oleh efikasi obat,
dukungan terhadap pasien, insight, efek samping obat , dan sikap pasien. Kurangnya
insight atau kesadaran menderita penyakit jiwa merupakan alasan utama yang
menyebabkan ketidakpatuhan pasien skizofrenia terhadap pengoban psikotik.
1. Faktor insight
Melipuri kesadaran pasien terhadap gangguan yang di deritanya, mengenal
gejala yang mereka alami, dan menyadari bahwa mereka memerlukan
pengobatan.
2. Faktor regimen pengobatan
a. Efek samping obat
Adanya perubahan emosi atau ingin marah, pandangan kabur, kemungkinan
mengalamai kenaikan berat badan karena aktivitas pasien yang hanya tidur
dan makan, dan sangat mengantuk sehingga membuat aktivitas responden
terganggu dan membuat tidak nyaman
22

b. Biaya pengobatan
Kebanyakan pasien skizofrenia mengeluhkan besarnya biaya pengobatan
seperti biaya perawatan dan obat-obatan yang sangat besar. Selain itu
keluarga pasien tidak mengetahui bagaimana cara mengurus surat untuk
mendapatkan keringanan biaya pengobatan. Oleh karena itu disini
dibutuhkan peranan penting petugas kesehatan untuk memberikan
penjelasan mengenai keringanan biaya yang dapat diperoleh pasien dan
keluarga dan juga ketersedian obat gratis bagi penderita skizofrenia serta
bagaimana kualitas pelayanan/ obat yang akan didapatkan.
c. Lama pengobatan
Skizofrenia merupakan penyakit kronis sehingga memerlukan penangan
yang lama dan terus-menerus. Waktu penangan yang lam dan tidak kunjung
sembuh membuat pasien dan keluarga mengeluh, yang nantinya
berhubungan dengan biaya yang dibutuhkan.
3. Faktor dukungan keluarga
Ketidakpatuhan pasien skizofrenia juga dipengaruhi oleh rendahnya dukungan
sosial dan dukungan keluarga. Bantuan dari pihak keluarga yang diberikan
secara konsisten pada pasien skizofrenia menunjukkan adanya peningkatan
kepatuhan minum obat. Adanya penolakan keluarga untuk ikut berpartisipasie
dalam pengobatan pasien memiliki hubungan dengan ketikpatuhan pada pasien
skizofrenia.

Anda mungkin juga menyukai