Anda di halaman 1dari 3

TATALAKSANA

TATALAKSANA AWAL EPISTAKSIS AKUT

Kebanyakan kasus perdarahan dari hidung merupakan kasus self-limited dengan kehilangan darah
yang minimal. Namun, dalam situasi yang jarang, sebuah perdarahan dari hidung dapat signifikan dan
fatal sehingga setiap pasien perlu dievaluasi dengan baik. Rencana tatalaksana yang jelas dan logis perlu
dilakukan. Protokol guideline American Heart Association Basic Life Support memprioritaskan untuk
memperbaiki situasi gawat darurat lebih dahulu. Konsiderasi pertama adalah proteksi dan manajemen
jalan napas. Setelah jalan napas dikatakan aman, perhatian dapat dilanjutkan dengan mengkontrol
perdarahan dan secara bersamaan membuat akses vaskuler untuk penggantian volume yang hilang dan
pertahanan hemodinamik pasien.

Pasien harus dalam posisi duduk dengan badan ditekuk ke depan dan mulut terbuka, dengan alas
posisi telentang perlu dihindari untuk menurunkan tekanan vena dan mencegah aspirasi. Pasien
disarankan untuk menekan cartilago nasal superolateral selama 10 sampai 15 menit tanpa melepasnya
sebagai cara untuk membuat tampon pada pembuluh darah septum anterior. Jika tersedia, dekongestan
topikel seperti oxymetazoline HCl dapat digunakan. Untuk epistaksis yang menetap atau tidak terkontrol
setelah langkah tadi, visualisasi langsung dan tindakan yang lebih agresif diperlukan.

Asesmen dan tatalakana awal dapat dilakukan pada ruangan yang mempunyai monitor tanda vital,
suction, pencahayaan yang adekuat dan jika memungkinkan peralatan endoskopi. Kewaspadaan universal
harus selalu dilaksanakan karena risiko untuk terkena darah sangat tinggi. Bekuan darah harus dievakuasi
dan dilanjtkan dengan pemberian vasokonstriktor topical dan agen anesthesia. Hidung pada awalnya
dapat dilakukan pemeriksaan dengan spekulun hidung dan lampu kepala. Jika terjadi epistaksis anterior,
sumber perdarahan dapat diidentifikasi dengan metode tersebut, dan dapat menggunkan endoskopi pada
episaksis posterior.

KAUTERISASI HIDUNG DENGAN ENDOSKOPI

Setelah memberikan agen vasokostriktor dan anestesi topikel pada cavum nasi, dapat dilakukan
pemeriksaan dengan endoskopi rigid dan suction. Jika tersedia, seluruh cavum nasi termasuk metatus
media dan inferior, recessus sphenoethmoidalis dan nasopharynx perlu divisualisasi untuk
menyingkirkan kemungkiann adanya sumber perdarahan muktiep atau adanya massa ataupun lesi.
Lokasi spesifik dari perdarahan kadang secara jelas dapat terindetifikasi dan dikontrol. Tekinik
hemostasis spesifik yang dilakukan tergantung dari avibilitas dari peralatan dan pengalaman dokter.
Teknik tersebut seperti kauterisasi kimia, diathermi mono maupun bipolar, aplikasi local dari matrix
hemostasis absorbable. Kauterisasi monopolar dekat apex orbita, fossa pterigopalatina atau pada
sphenoid perlu dilakukan secara hati-hati karena neuropraxia dapat terjadi dari propagasi lstrik melalui
struktur neurovascular sekitarnya. Pada HHT, kauteriasi dengan bantuan laser dapat digunkan, dengan
cara laser argon atau kalium titanyl phosphate (KTP) dengan Teknik memberikan laser ke perifer lesi
pada awalnya.

Pemberian nitrat perak merupakan metode yang sering digunakna untuk katerisasi dengan kimiawi,
terutama pada epistaksis anterior. Cottonbud yang Sudha diberikan nitrat perak harus secara tepat
diberikan pada sumber perdarahan dan hanya diberikan dalam beberapa detik. Terjadinya gumpalan
putih setelah pemberian zat ini diakibatka oleh adanya denaturasi protein. Selain itu perlu diperhatian
bawa kauterisasi tidak dilakukan pada septium anterio secara bilateral untuk menghindari adanya risiko
perforasi septum. Walaupun hal tersebut sepertinya jarang ditemui, perforasi yang terjadi sulit untuk
diatasi.

PACKING NASAL ABSORBABLE

Jika identikasi dari sumber perdarahan tidak efektif atau tidak dapat diidentifikasi, penghentian
perdarhaan dapat digunakan nasal packing. Packing sendiri adalah peletakan benda dari bahan apa saja
ke dalam hidung untuk mengkontrol atau menrunkan perdarahan. Terdapat variasi yang luas dari
packing nasal, dan secara umum dapat dibagi berdasarkan dapat diserap maupun tidak dapat diserap.

Perkembangan agen hemostatic topical biodegradable memungkinkan meninggalkan packing non-


absrobable. Bahan yang sering digunakan adalah cellulose teroksidasi, kolagel mikrofibriller, gelatin
porcine atau bovine, dan thrombin manusia. Walaupun bahan tersebut tidak memberikan tamponade
mekanikal yang baik, mereka dapat memprnetrasi dan masuk ke rongga sinonasal dengan mudah untuk
kontak langsung dengan lokasi sumber perdaraan. Pada salah satu trial yang disponsori oleh Baxter
mengenai perbandingan antara zat hemostasis berbasis gelatin dibandingkan dengan bahan tradisional,
zat berbasis gelatin secara signifiann dapat menrunkan waktu perdarahan ulang pada 1 minggu. Selain
itu, tingkat kepuadan dan kenyamanan pasien juga lebih tinggi, namun mempunyai harga yang lebih
mahal.

Beberapa bahan yang dipakat bersamaan, pada intinya seluruh bahan tersebut bekerja denganc ara
yang sama untuk memberikan agegasi trombosit dan fibrin yang stabil. Mekanisme alternative dari
hemostasis dengan bahan baru dari aminopolisakarida yang disebut chitosan. Chitosan adalah sebuah
polumer mukoadheren biokompaktibel yang dikenal dapat melekat pada jaringan. Chitosan juga bersifat
kation sehingga dapat menarik sel darah merah pada sumber perdarahan sehingga membantu
hemostasis yang independent dengan kaskade pembekuan darah local. Beberapa penelitan dengan gel
chitosan/dextran menunjukan bahwa kedua zat tersebut bersifat hemostasis dan mampu menghambat
pembentukan adhesi setelah operasi sinus.

NASAL PACKING NON-ABSORBABEL

Jika nasal packing absorbable tidak tersedia maupun tidak dapat menghentkan perdarahan, pack
tradisional nonabosebabel dapat digunkaan Secara tradisional dapat digunakan kassa gulung, namun
spons polymer polyvinyl acetate (PVA) lebih sering digunakan. Secara statistic perdaan antara kedua
metode ini tidak signifkan, namun spons lebih mudah untuk dimasukan dan lebih nyaman untuk pasien.
Nasal packing dengan tambahan zat lemak seperti minyak perlu digunakan lebih hati-hati karena
dikaitkan dengan myospherulosis yang mungkin meningkatkan risiko adhesi dan outcome yang lebih
buruk.

Pada perdarahan posterior massif, pack spons mungkin gagal untuk mengkontrol perdarhan. Pada kasus
tersebut alat yang bisa mengembang diperlukan dimana balon akan dikembangan pada nasopharynx
dan cavum nasi untuk membuat tamponade seluruh cabum. Jika balon nasal tidak tersedia, kateter foley
ukuran 14 Fr dapat dikembangkan dengan 15 ml saline atau nacl untuk membuat tamponade
nasopharynx dan diberikan packing lainnya pada bagian anteriornya.

Sama seperti intervensi akut, packing nasal juga memiliki risiko secara teori. Packing, terutama jika
diletakan secara bilateral, dapat menekan septum mukosa sehingga menimbulka ulkus dan perforasi.
Packing posterior bilateral juga secara teori dapat menginduksi reflek nasopulmoner shingga
menyebabkan hiperkarbia, hipoksia dan penurunan volume paru, sehingga perlunya monitoring tanda
vital pasien. Toxic shock syndrome (TSS) merupakan risiko yang jarang terjadi akibat exotoxin dari
staphylococcus pada 24 jam pertama pasca operasi sinus. Perlu dicatat, TSS tidak diaiktan dengan
seluruh tipe packing asal dan tidak dapat diprediksi dan dicehaj dengan antibiotic profilakus. Oleh
karena kebanyakan packing nasal dilepas antara 1 sampai 7 hari, penggunakan antibiotic merupakan hal
kontroversi walaupuns erring digunakan.

TATALAKSANA FAKTOR KOMORBID SISTEMIK

Setelah perdarahan dapat dikontrol, sefek sistemuk dari kehilangan darah perlu dipertimbangkan. Jika
pasien terlihat hipovolekuk, pemberian cairand an plasma expander dapat diberikan. Transfuse darah
setelah kehilangan darah secara signdikan dengan gangguan hemodinamik perlu dipertimbangkan. Jika
pasien terlihat sehat, tsiiko transfuse perlu diperimbangkan, sehingga diperlukan asesmen status pasien
yang lengkap. Tatalaksana hipertensi, thrombositopenia dan koagulopati dapat membantu tatalaksana
epsitaksis dan dapat mencegah rekurensi.

Anda mungkin juga menyukai