Anda di halaman 1dari 32

HUKUM INTERNASIONAL

Mengabdi Untuk Allah


 Home
 Profile
 Tugas Kuliah
MINGGU, 09 DESEMBER 2012

Pencemaran Lingkungan Laut

PERLINDUNGAN TERHADAP PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DIKAWASAN ASIA TENGGARA


DALAM PRESPEKTIF HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

I. PENDAHULUAN

Hukum lingkungan internasional (huklin) merupakan bidang baru (new development) dalam

sistem hukum internasional. Bidang baru ini dapat pula dianggap bagian dari hukum baru dengan nama

hukum lingkungan laut internasional[1]. Untuk membahas sistem hukum lingkungan internasional ini

menurut dapat dikaji dalam kerangka hukum internasional berdasarkan, (i) customary international

law (CIL) dan(ii) conventional international law, dari kedua sumber hukum ini telah tumbuh hukum

lingkungan internasional sebagai bagian dari hukum lingkungan[2].

Terkait dengan lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non

hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi dan lain sebagainya. oleh karena itu sangat penting

untuk melindungi lingkungan laut dari ancaman pencemaran yang bersumber dari operasi kapal

tanker, kecelakaan kapal tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua),

serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai. Hal ini penting dilakukan agar lingkungan laut

diperairan Asia Tenggara yang merupakan daerah yang paling produktif dapat dinikmati secara

berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang[3].

Perairan Asia Tenggara mencakup didalamnya laut Andanan, Selat Malaka dan Singapura, Laut

Cina Selatan, perairan kepulauan Indonesia dan Filipina termasuk laut arafuru dan Laut Celebes.
Seluruh perairan ini meliputi luas 8.94 juta km2 yang merupakan 2,5% dari permukaan laut dan

dunia[4]. Dengan luas perairan yang dimiliki kawasan Asia Tengara menyebabkan lebih 7% dari

penduduk dikawasan ini hidup didaerah pantai[5]. suatu hal yang menyebabkan tingkat eksploitasi

yang tinggi daripada sumber kekayaan alam dan pemburukan lingkungan.

Pada saat ini zat pencemar yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan laut adalah

minyak[6]. Setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak mencemari lingkungan laut[7]. Pada tahun

2009 misalnya terjadi pencemaran Laut Timur Indonesia oleh perusahaan Montana Australia[8], yang

menurut Balai Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November

2009, luas terdampak pencemaran mencapai 16.420 kilometer persegi.

Zat pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak hanya dapat secara

langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula berbahaya bagi suplay makanan dan

habitat lingkungan laut yang merupakan sumber kekayaan alam bagi suatu Negara khususnya bagi

kawasan Asia Tengggara yang penduduknya banyak bergantung pada hasil perikanan. Dalam hal ini

terdapat beberapa aturan hukum lingkungan internasional yang mengatur masalah pencemaran

lingkungan laut yaitu:

(1). United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

(2). International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability

Convention).

(3). Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972

(London Dumping Convention).

(4). The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation

1990 (OPRC).

(5). International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution).

Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan secara tingkas diatas,

maka penulis akan mencoba mengkaji lebih jauh lagi, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk
makalah yang diberi judul “Perlindungan Terhadap Pencemaran Lingkungan Laut Dikawasan Asia

Tenggara Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Internasional”. Dari judul ini penulis akan menganalisis

secara yuridis yang akan diarahkan untuk menjawab pertanyaan mengenai

sejauhmana penanggulangan pencemaran lingkungan laut diperairan asia tenggara dalam prespektif

Hukum Lingkungan internasional. Adapun tujuan dari makalah ini adalah memberikan gambaran

terhadap perkembangan hukum lingkungan internasional serta pencemaran lingkungan laut yang

terjadi di perairan Asia Tenggara

II. PERKEMBANGAN PENGATURAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DALAM HUKUM


LINGKUNGAN INTERNASIONAL

A. United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)

Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut,

yang disetujui di montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982[9]. Konvensi Hukum Laut 1982

secara lengkap mengatur perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of

the marine environment) yang terdapat dalam Pasal 192-237.

Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk

melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam

pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara

mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan

lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan

laut.

Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya guna

mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut

dari setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun

yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi

dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran
lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun

global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara peserta

Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut

berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :

1. Kewajiban membuat peraturan perundang-undangan tentang perlindungan dan pelestarian

lingkungan laut yang mengatur secara komprehensif termasuk penanggulangan pencemaran

lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping,

dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu

proses pengadilannya

2. Kewajiban melakukan upaya-upaya mencegah, mengurangi, dan mengendalikan pencemaran

lingkungan laut,

3. Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama regional berarti kerja

sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain yang

melibatkan negara-negara di luar ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut

adalah persoalan global, sehingga penanganannya harus global juga.

4. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency plan

5. Peraturan perundang-undangan tersebut disertai dengan proses mekanisme

pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya

pencemaran laut.

Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut tersebut,

setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global. Keharusan

untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal

197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja

sama secara global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam

merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard internasional serta prosedur dan praktik yang
disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan

memperhatikan keadaan regional tersebut”.

Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan

adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut,

pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran

informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan

praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana

ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi

Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang

mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti

sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam

jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari

kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran dari dumping (pollution by

dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from

or through the atmosphere).

Tanggung Jawab Dan Kewajiban Ganti Rugi

Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi

berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan

bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai

perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti

rugi sesuai dengan hukum internasional.

Setiap Negara harus mempunyai peraturan perundang-undangan tentang kompensasi yang

segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang

dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya.

Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum internasional

yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat
pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya

asuransi wajib atau dana kompensasi.

Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara

(state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi

pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban

internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi

Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur

tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara

mengacu padaDraft Articles on Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibuat oleh

Komisi Hukum Internasional International Law Commission (ILC) yang menyatakan: setiap tindakan

negara yang salah secara internasional membebani kewajiban Negara yang bersangkutan[10]

B. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil
Liability Convention).

Konvensi Internasional Mengenai Pertanggungjawaban Perdata Terhadap Pencemaran Minyak di

Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). CLC 1969 merupakan

konvensi yang mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal

tanker. Konvensi ini berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta.

Dalam hal pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka prinsip yang dipakai

adalah prinsip tanggung jawab mutlak.

Lingkup Berlakunya

konvensi ini berlaku hanya pada kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil)

yang tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi tersebut mencakup kerusakan

pencemaran lokasi termasuk perairan negara anggota konvensi Negara Bendera Kapal dan

Kebangsaan pemilik kapal tangki tidak tercakup dalam tingkup aplikasi dan CLC Convention.

Notasi “kerusakan pencemaran” (Pollution Damage),termasuk usaha melakukan Pencegahan


atau mengurangi kerusakan akibat pencemaran didaerah teritorial negara anggota konvens,

(Preventive measures).

Konvensi ini diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan

muatan minyak dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan

atau usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada sama sekali Minyak yang

tumpah dari kapal tangki. Konvensi ini juga hanya berlaku pada kapal yang mengangkut

minyak sebagai muatan yakni kapal tangki pengangkut minyak. Tumpahan (Spills) dari kapal

tangki dalam pelayaran “Ballast Condition” dan spills dari bunker oil atau kapal selain kapal

tangki tidak termasuk dalam konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent

Oil” seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dan lain sebagainya, juga tidak termasuk dalam

CLC Convention.

Tanggung Jawab Mutlak

Pemilik kapal tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran

yang disebabkan oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan. Pemilik dapat

terbebas dan kewajiban tersebut hanya dengan alasan :

1. Kerusakan sebagai akibat perang atau bencana alam.

2. Kerusakan sebagai akibat dan sabotase pihak lain, atau

3. Kerusakan yang disebabkan oleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat bantu

navigasi dengan baik.

Alasan pengecualian tersebut diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan

berkewajiban memberikan ganti rugi akibat kerusakan pencemaran pada hampir semua

kecelakaan yang terjadi.

Batas Kewajiban Ganti Rugi (Limitation of Liability)

Pada kondisi tertentu, pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas

133 SDR (Special Drawing Rights) perton dari tonage kapal atau 14 juta SDR, atau sekitar
US$ 19,3 juta diambil yang lebih kecil. Apabila pihak yang mengklaim (Claimant) dapat

membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi (actual fault of privity) dari

pemilik, maka batas ganti rugi (limit his liability) untuk pemilik kapal tidak diberikan.

Permintaan Ganti Rugi (Channeling of Liability)

KIaim terhadap kerusakan pencemaran di bawah CLC Convention hanya dapat

ditujukkan pada pemilik kapal terdaftar. Hal ini tldak menghalangi korban mengklaim

kompensasi ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain pemlik kapal. Namun demikian,

konvensi melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau agen pemilik kapal. Pemilik kapal

harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga berdasarkan hukum nasional yang berlaku.

C. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter
1972 (London Dumping Convention).

London Dumping Convention merupakan Konvensi Internasional untuk mencegah terjadinya

Pembuangan (dumping), yang dimaksud adalah pembuangan limbah yang berbahaya baik itu dari kapal

laut, pesawat udara ataupun pabrik industri. Para Negara konvensi berkewajiban untuk

memperhatikan tindakan dumping tersebut. Dumping dapat menyebabkan pencemaran laut yang

mengakibatkan ancaman kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan mengganggu kenyamanan

lintasan di laut.

Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang diatur dalam London

Dumping Convention adalah air raksa, plastik, bahan sintetik, sisa residu minyak, bahan campuran

radio aktif dan lain-lain. Pengecualian dari tindakan dumping ini adalah apabila ada “foce

majeur”, yaitu dimana pada suatu keadaan terdapat hal yang membahayakan kehidupan manusia atau

keadaan yang dapat mengakibatkan keselamatan bagi kapal-kapal.

D. The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation


1990 (OPRC).
OPRC adalah sebuah konvensi kerjasama internasional menanggulangi pencemaran laut

dikarenakan tumpahan minyak dan bahan beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada, maka

dapat kita simpulkan bahwa Konvensi ini dengan cepat memberikan bantuan ataupun pertolongan

bagi korban pencemaran laut tersebut, pertolongan tersebut dengan cara penyediaan peralatan

bantuan agar upaya pemulihan dan evakuasi korban dapat ditanggulangi dengan segera.

Pencemaran laut oleh tumpahan minyak bukan merupakan hal yang baru bagi Negara-negara

Asia Tenggara khususnya di Indonesia, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 pencemaran laut

dikarenakan tumpahan minyak berulang kali terjadi di Kepulauan Seribu, korbannya adalah para

masyarakat pesisir dan nelayan, dampak pencemaran laut oleh minyak sangatlah luas, laut yang

tercemar oleh minyak akan menyebabkan gangguan pada fungsi ekosistem di pesisir laut, kehidupan

aquatic pantai seperti terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan terganggu. Pada sisi ekonomi,

hasil tangkapan seperti udang dan ikan tentu akan beraroma minyak yang berdampak pada nilai jual

yang rendah dan mutu ataupun kualitas menurun. Dengan adanya gelombang, arus dan pergerakan

massa air pasang surut, residu minyak akan tersebar dengan cepat. Bila tidak ditangani dengan segera,

pencemaran limbah minyak ini akan membawa dampak kesehatan bagi masyarakat yang

mengkonsumsi ikan yang tercemar.

Indonesia juga memiliki aturan mengenai pencemaran laut yang disebabkan oleh tumpahan

minyak dilaut tersebut. Bagi pelaku pencemaran laut oleh tumpahan minyak, dalam hal ini kapal-kapal

tanker wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak yang berasal dari kapalnya,

yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan

Darurat Tumpahan Minyak Di Laut.

e. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution).

Marpol 73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran dari kapal,1973

sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang dengan tujuan untuk meminimalkan

pencemaran laut , dan melestarikan lingkungan laut melalui penghapusan pencemaran lengkap oleh

minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.

MARPOL 73/78 garis besarnya mengatur :


1. mewajibkan negara untuk menyediakan fasilitas penerimaan untuk pembuangan limbah

berminyak dan bahan kimia. Ini mencakup semua aspek teknis pencemaran dari kapal, kecuali

pembuangan limbah ke laut oleh dumping, dan berlaku untuk kapal-kapal dari semua jenis, meskipun

tidak berlaku untuk pencemaran yang timbul dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral

laut.

2. Semua kapal berbendera di bawah Negara-negara yang menandatangani marpol tunduk pada

persyaratan , tanpa memperhatikan tempat mereka berlayar dan Negara anggota bertanggung jawab

atas kapal yang terdaftar dibawah kebangsaan Negara masing-masing.

3. Setiap Negara penandatangan bertanggung jawab untuk memberlakukan undang-undang

domestic untuk melaksanakan konvensi dan berjanji untuk mematuhi konvensi, lampiran dan hukum

terkait bangsa-bangsa lain;

4. mengatur desain dan peralatan kapal;

5. menetapkan sistem sertifikat dan inspeksi

International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 yang kemudian

disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL

1973/1978. MARPOL 1973/1978 memuat 6 (enam) Annexes yang berisi regulasi-regulasi mengenai

pencegahan polusi dari kapal terhadap :

a. Annex I : Prevention of pollution by oil ( 2 october 1983 )

Total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan untuk dibuang ke

laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000 dari total muatan kapal. Sebagai

tambahan, pembuangan limbah tidak boleh melebihi 60 liter setiap mil perjalanan kapal dan dihitung

setelah kapal berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat. Register Kapal harus memuat daftar jenis

sampah yang dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah minyak yang ada. Register Kapal harus dilaporkan

ke pejabat pelabuhan.

b. Annex II : Control of pollution by noxious liquid substances ( 6 april 1987


Aturan ini memuat sekitar 250 jenis barang yang tidak boleh dibuang ke laut, hanya dapat disimpan

dan selanjutnya diolah ketika sampai di pelabuhan. Pelarangan pembuangan limbah dalam jarak 12 mil

laut dari tepi pantai terdekat.

c. Annex III : Prevention of pollution by harmful substances in packaged form ( 1 july 1992 )

Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negar yaitu aturan standar pengemasan,

pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah berbahaya yang dihasilkan kapal

ketika sedang berlayar

d. Annex IV : Prevention of pollution by sewage from ships ( 27 september 2003 )

Aturan ini khusus untuk faecal waters dan aturan kontaminasi yang dapat diterima pada tingkatan

(batasan) tertentu. Cairan pembunuh kuman (disinfektan) dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih

dari 4 mil laut dari pantai terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat dibuang ke laut dengan jarak

lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan syarat kapal berlayar dengan kecepatan 4 knot.

e. Annex V : Prevention of pollution by garbage from ships ( 31 december 1988)

Aturan yang mengatur tentang melarang pembuangan sampah plastik ke laut.

f. Annex IV : Prevention of air pollution by ships

Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang meratifiskasi

(menandatangani persetujuan.)

MARPOL 1973/1978 memuat peraturan untuk mencegah seminimum mungkin minyak

yang mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa modifikasi yang

menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi kapal tangki pada Annex I dan

yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapai dengan Oily Water Separating

Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.


III. PENCEMARAN TERHADAP LINGKUNGAN LAUT DI PERAIRAN ASIA TENGGARA

Dalam dasawarsa terakhir ini gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution of marine

environment) [11] kian hari menarik perhatian berbagai pihak, baik diwujudkan dalam bentuk

kerjasama Negara-negara yang berada dikawasan tertentu maupun penelitian yang dilakukan oleh
Negara itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut M. Daud Silalahi mengatakan pencemaran dapat

diartikan sebagai bentukenvironmental impairment, adanya gangguan, perubahan, atau perusakan.

Bahkan, adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur lingkungan tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya (reasonable function)[12] sedangkan Dalam konvensi hukum laut 1982

disebutkan bahwa :

Pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung
bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang mengakibatkan atau mungkin
membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut,
bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan
penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan mengurangi
kenyamanan[13]

Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa pencemaran lingkungan laut itu disebabkan

beberapa faktor-faktor yang mengakibatkan menurunya kualitas air laut itu sendiri, terkait dengan

hal pencemaran minyak dikawan asia tenggara yang merupakan daerah yang sangat produktif terjadi

pencemaran yang sangat merugikan bagi kawasan asia tenggara yang setiap tahunnya 3 sampai 4 juta

ton minyak mencemari lingkungan laut, pencemaran tersebut bersifat lintas batas negara sehingga

bukan hanya Negara yang menjadi korban saja yang kena dampaknya tetapi semua Negara yang

pantainya saling berdekatan pasti terkena dampaknya.


sumber pencemaran dilaut beragam sumbernya sebagaimana yang penulis telah sebutkan

pada latar belakang diatas, yaitu operasi kapal tanker, kecelakaan kapal tanker, scrapping kapal

(pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai.

a. Operasi kapal tanker[14]

Produk minyak dunia diperkirakan sebanyak 3 miliar ton/tahun dan setengahnya dikirimkan melalui

laut. Setelah kapal tanker memuat minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem kestabilan

kapal menggunakan mekanisme bongkar – muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop.

Sampai dipelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan

juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi

dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki

diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.

Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun di alirkan kedalam tangki slop.

Sehingga didalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air

dalam tangki slop harus dikosongkan dengan memompakannya ke tangki penampung limbah di

terminal atau dipompakan kelaut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat disangkal

buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada

pencemaran laut tempat terjadi bongkar muat kapal

b. Kecelakaan kapal tanker

Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan

tabrakan. Beberapa kasus di perairan selat malaka adalah karna dangkalnya perairan dimana kapal

dalam muatan keadaan pernuh[15]. Tercatat beberapa kasus tumpahnya minyak akibat dari

kandasnya kapal misalnya kandasnya kapal showa Maru diselat malaka dan selat singapura pada

tahun 1975[16], diperkirakan 4.500 kilo liter minyak mentah sudah berceceran kelaut dan telah

meliputi laut sejauh 5 km dari tempat kejadian[17] yang membuka mata Negara-negara asia

tenggara betapa pentingnya perlindung terhadap laut dari pencemaran.

c. Scrapping kapal
Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini banyak dilakukan oleh

di industri kapal di asia tenggara termasuk Indonesia sendiri. Akibat proses ini banyak kandungan

metal dan lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang kelaut diperkirakan sekitar 1.500

ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini dapat merusakan lingkungan laut yang

berada disekitar industri kapal dinik

d. Kebocoran minyak dan gas dilepas pantai

Pada tanggal 21 Agustus 2009 telah terjadi kebocoran minyak bumi akibat terjadinya ledakan bawah

laut offshore rig yang dioperasikan oleh The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas, 140 mil

laut utara Perairan Australia pada posisi 120 41’ Lintang Selatan (LS) dan 1240 32’ Bujur Timur (BT).

Kebocoran ini telah menumpahkan minyak mentah (crude oil) dan gas hidrokarbon lebih-kurang 64

ton per hari. Tumpahan minyak tersebut telah memasuki wilayah perairan laut Provinsi NTT sejauh

50 mil atau lebih-kurang 70 km arah tenggara Pulau Rote[18]. Hal ini jelas mencemari lingkungan laut

Kawasan asia tenggara terletak di antara benua Asia dan Australia, yang merupakan wilayah

yang sangat produktif akan sumber daya alamnya. Disamping itu perairan wilayah asia tenggara ini

merupakan daerah yang banyak dilalui oleh kapal-kapal pengankut minyak maupun kargo barang karna

wilayah asia tenggara merupakan jalur perdagangan sehingga tidak mengherankan banyak kapal tiap

tahunnya lewat perairan asia tenggara. Sehingga perairan asia tenggara sangat rentang akan

pencemaran lingkungan laut.

Banyaknya kasus pencemaran di perairan asia tenggara nanti membuming dan menggemparkan

dunia internasional termasuk Negara-negara dikawasan Asia Tenggara yang menjadi korban dari

pencemaran tersebut dimana pada waktu kasus tangki raksasa jepang “Showa Maru” yang berbendera

jepang berukuran 237.698 ton penuh dengan muatan minyak mentah dari daerah teluk Persia menuju

jepang kandas diperairan selat malaka pada tahun 1975.

Bagi bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari wilayah Asia tenggara kasus Showa Maru

merupakan tonggak sejarah terbangunannya perhatian dan keprihatinan masyarakat luas terhadap

keselamatan dan kelestarian lingkungan laut nusantara[19]. Masyakat hukum Indonesia sendiri
tergugah untuk segera bertindak nyata melahirkan peraturan perundang-undangan pencegahan

pencemaran laut khususnya di selat malaka dan singapura. Untuk itu pemerintah Indonesia

meratifikasi beberapa konvensi seperti, Cilvil Liability Convention 1969 dan pembentukan Dana

Internasional (International Fund) 1971, masing-masing dengan keppres No 18 dan 19, dan MARPOL

1973 dengan Keppres No 15 Tahun 1985 semuannya merupakan konvensi-konvensi IMCO dan UNCLOS

1982 dengan UU No 17 Tahun 1986[20].

Disamping tindakan pemerintah indonesia meratifikasi konvensi-konvensi internasional tentang

pencemaran laut diatas juga mengadakan kesepakatan dengan Negara-negara tetangga dalam ASEAN

Treaty 1985 dan persetujuan Tiga Negara di selat malaka dan selat singapura dikenal sebagai Tripartie

Agreement Tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut di selat malaka antara

Indonesia, malaysi dan singapura sejak tahun 1971 dan terakhir pada tahun 1977 dengan diterimannya

kesepakatan ketiga Negara tentang Traffic Separation Scheme (TSS) di selat malaka oleh IMCO

berdasarkan Resolusi IMCO No A. 3759X 14 november 1975[21].


IV. ANALISI PENANGGULANGAN PENCEMARAN LINGKUNGAN LAUT DIKAWASAN ASIA TENGGARA
DALAM PRESPEKTIK HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

Kasus-kasus pencemaran lingkungan laut yang penulis telah uraikan di Bab III diatas merupakan

masalah yang harus ditanggulangi bersama oleh Negara-negara yang tergabung dalam organisasi

ASEAN karna dampak yang di timbulkan bukan hanya dirasakan oleh Negara yang menjadi korban

pencemaran tersebut tetapi Negara-negara yang lautnya berbatasan dengan Negara tersebut ikut

terkena dampaknya seperti kasus kandasnya showa maru dimana bukan hanya Indonesia yang

merasakan dampak dari pencemaran tersebut tapi singapura dan Malaysia juga terkena dampak dari

pencemaran tersebut, inilah sifat dari dari ciri dari lingkungan hidup yang senantiasa terhubung

secara utuh dan menyeleruh.

penanggulangan terhadap pencemaran lingkungan laut merupakan hal yang tidak mudah seperti

membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kordinasi dari semua Negara-negara khusunya Negara-

negara yang berada dikawasan asia tenggara untuk bekerjasama secara regional menanggulangi

dampak dari pencemaran tersebut, seperti yang disebutkan dalam UNCLOS 1982 sebagai berikut :

Negara-negara harus bekerjasama atas dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional secara
langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompoten, dalam merumuskan dan
mejelaskan ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek yang disarankan secara
internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan konvensi ini untuk tujuan perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut, dengan memperhatikan cirri-ciri regional yang khas[22]

Dari ketentuan pasal diatas dapatlah kita lihat bahwa hukum lingkungan dalam hal ini hukum

lingkungan internasional memberikan anjuran kerjasama untuk menanggulangi pencemaran

lingkungan laut baik ditingkat global maupun ditingkat regional. Ditinjau dari kerjasama Negara-

negara Asia Tenggara di tinggkat regional dimana kerjasama tersebut dimulai di tahun 1977 ketika

naskah ASEAN disiapkan mengenai program lingkungan sub-regional (ASEP ) yang dibantu oleh UNEP

(United Nations Environment Programme) untuk membicarakan masalah lingkungan[23], dimana

prioritas dari program kerjasama dibidang lingkungan mencakup 6 (enam) sub pembahasan yaitu:
1. Pengelolaan Lingkungan termasuk Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact

Assessment)

2. Pelestarian Alam dan ekosistem Terrestrial,

3. Industri dan lingkungan hidup

4. Lingkungan laut

5. Pendidikan dan latihan lingkungan

6. Penerangan lingkungan hidup[24]

Terkait dengan kerjasama Negara-negara Asia Tenggara dibidang lingkungan laut dilaksanakan

melalui tiga badan regional yaitu

1. The coordinating Body on the seas of east timur (COBSEA)

2. The ASEAN Experts Group on the Environment (AEGE)

3. The working Group on marine science (WGMS)[25]

Apa yang penulis paparkan diatas merupakan gambaran dari pada usaha-usaha Negara-negara asia

tenggara untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan laut yang sifatnya lintas batas

Negara. Disamping itu pula kerjasama bilateral maupun multilateral sangat diperlukan seperti

kerjasam tripartite antara Negara Indonesia, singapura dan Malaysia dalam penanggulangan

pencemaran laut di selat malaka. Secara umum terdapat tiga faktor yang dijadikan landasan sebagai

untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan

aspek kordinasi

a. Aspek Legalitas

Kalau kira lihat dari aspek nasional Benny Hartono dengan mengutip pendapatnya Husseyn Umar

mengatakan suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan formil
sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan atau

ditegakkan dalam kenyataan[26]. Undang-undang No 23 Tahun 1997 diganti dengan Undang-undang

No 32 tahun 2009 Tentangan Pengelolaan lingkungan hidup mengatur jelas aspek-aspek pengelolaan

dan sanksi bagi pelaku polusi dilaut, namun fakta dilapangan terkadang aparat yang berwenang justru

bermain kotor dengan pelaku pencemaran disamping itu sulitnya untuk mencari bukti-bukti untuk

meyeret mereka kepengadilan. Dari aspek internasional pada tahun 1945 Badan Maritim Internasional

(IMO) menghasilkan konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran di laut oleh minyak

kemudian kenvensi ini diperbaharui 1973 merupakan awal untuk mengatasi dampak pencemaran laut,

menjadi tugas bagi negara-negara yang tergabung dalam IMO untuk menegakan peraturan-peraturan

tersebut.

b. Aspek Perlengkapan

Kita ketahui bahwa penanggulangan terhadap pencemaran minyak sangat sulit untuk dilakukan

misalnya tumpahan minyak showa maru dimana lebih dari 30 kapal militer dan sipil ambil bagian dalam

usaha menyelamatkan pantai sebelah barat Singapore disamping itu usaha untuk penyelamatan laut

dari pencemaran minyak memerlukan biaya yang banyak. Untuk itu diperlukan bioremediation seperti

menyemprotkan nitrat dan phosphere ketumpahan minyak untuk mempercepat kerja bakteri pengurai

minyak. Dalam aspek ini yang paling utama adalah pentingnya penguasaan prosedur dan teknik-teknik

penanggulangan tumpahan minyak oleh petugas pelaksaan lapangan harus dimiliki oleh Negara-negara

yang terkena dampak pencemaran lingkungan

c. Aspek Kordinasi

Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak dilaut, aspek kordinasi memegang peranan

penting mengingat bahwa pencemaran laut ini merupakan pencemaran yang bersifat lintas batas

Negara sehingga perlu adanya kerjasama antara Negara-negara khususnya Negara-negara tetangga

yang pantainya saling berdekatan harus saling bahu-membahu untuk menanggulangi pencemaran

lingkungan tersebut. Dengan demikian maka bisa teratasi pencemaran laut sampai tuntas
menjadi kewajiban semua Negara tidak hanya Negara Asia Tenggara tetapi seluruh Negara-

negara didunia untuk menegakkan aturan-aturannya agar bisa meminimalisir dan mencegah terjadinya

pencemaran lingkungan yang lebih parah karna penyumbang terbesar protein hewani berasal dari laut,

untuk menegakkan pencemaran lingkungan tersebut haruslah memenuhi tidak aspek yang penulis

telah jelaskan diatas.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan analis diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan

1. Perlindungan pencemaran lingkungan laut merupakan suatu permasalahan yang bersifat lintas

batas Negara sehingga diperlukan kerjasama diantara Negara-negara dalam hal ini Negara-negara

dikawasan asia tenggara sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum lingkungan internasional yang

terdapat dalam konvensi hukum laut 1982. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah tiga

faktor yang dijadikan sebagai landasan untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu

aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi yang telah penulis paparkan di bab IV diatas

sehingga masalah pencemaran lingkungan bisa diatasi secara tuntas


B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, berikut saran-saran berkenaan dengan upaya mewujudkan

perlindungan terhadap pencemaran lingkungan laut

1. Kepada Negara-negara dikawasan Asia Tenggara hendaknya menerapkan prinsip penerapan

sistem pemberitauan secara dini terhadap kecelakaan-kecelakaan yang mengarah kepada

pencemaran lingkungan laut kepada negar-negara yang dianggap akan terkena dampak dari

pencemaran tersebut sehingga antisipasi sedini mungkin bisa dilakukan agar pencemaran tersebut

tidak meluas
Senin, 20 Juni 2016

5 Putusan Pengadilan Terkait


Kebakaran Lahan
Teranyar, Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
YOZ
Dibaca: 13739 Tanggapan: 1
Ilustrasi kebakaran lahan. Foto: RES
BERITA TERKAIT
 PT Jatim Jaya Perkasa Hanya Didenda Rp29 Miliar, KLHK Siapkan Banding
 Hakim Tolak Gugatan KLHK Terhadap PT BMH
 Simak Yuk! Kaidah Hukum 12 Putusan Berstatus Landmark Decisions
 Jerat Koorporasi Pembakar Lahan, Saatnya Konsep Strict Liability Digunakan
 Masyarakat Riau Gugat Presiden Terkait Bencana Asap
Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa bernafas lega. Soalnya, majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Utara mengabulkan sebagian gugatan KLHK atas kasus kebakaran lahan yang melibatkan PT
Jatim Jaya Perkasa. Meski demikian, KLHK merasa tidak puas dan berencana mengajukan upaya hukum banding.

Dalam kasus lain, ada pula gugatan KLHK yang ditolak oleh majelis hakim dalam kasus yang sama. Bahkan, pemerintah
terkadang menjadi pihak tergugat dalam kasus kebakaran lahan. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa putusan
pengadilan terkait kebakaran hutan yang dirangkum hukumonline:

1. Putusan PN Jakarta Utara, Tahun 2016


Pengadilan Negeri Jakarta Utara memutus perkara kebakaran lahan PT Jatim Jaya Perkasa, Rabu (15/6). Dalam
putusanya, majelis hakim yang diketuai Inrawaldi mengabulkan sebagian gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) dan menyatakan bahwa PT JJP telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) atas kebakaran
dilokasi kebun sawit mereka. Meski majelis hakim sudah memutuskan bahwa PT JJP melakukan PMH, KLHK akan
menyiapkan langkah hukum banding. Hal ini dilakukan karena majelis hakim hanya mengabulkan sebagian gugatan atas
kebakaran lahan seluas 1.000 Hektar di lokasi PT JJP.

Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani,
mengatakan KLHK meyakini bahwa luas lahan yang terbakar adalah 1.000 hektar sementara majelis hakim berpendapat
luas yang terbakar 120 hektar. “Untuk itu majelis hakim menjatuhkan ganti rugi Rp7.196.188.475 dan biaya pemulihan
Rp22.277.130.852. Ganti rugi dan biaya pemulihan ini lebih kecil dari yang digugat oleh KLHK yaitu sebesar Rp
491.025.500.000,” katanya.

Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, kata Ridho, KLHK akan terus melakukan langkah-langkah penegakan
hukum, baik melalui penerapan sanksi administratif, pidana maupun melalui gugatan perdata. “Langkah-langkah
penegakan hukum ini perlu dilakukan agar teruwujudnya efek jera bagi pelaku,” ujar Ridho.

2. Putusan PN Palembang, Tahun 2015


Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH)
senilai Rp7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Dalam putusannya, majelis menilai,
penggugat tidak bisa membuktikan adanya perbuatan melawan hukum dan unsur kerugian. Ketua majelis hakim Parlas
Nababan mengatakan, selain menolak gugatan, KLHK selaku penggugat juga diwajibkan membayar biaya perkara
sebesar Rp10.521.000. Putusan tersebut dibacakan dalam sidang terbuka yang dihadiri kedua belah pihak, organisasi
penggiat lingkungan dan awak media di Palembang, Rabu (30/12).

Parlas membacakan hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutus. Di antaranya, adanya ketersediaan peralatan
pengendalian kebakaran, lahan yang terbakar masih dapat ditanami lagi, pekerjaan penanaman diserahkan ke pihak
ketiga, adanya pelaporan secara reguler dan diketahui tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas Kehutanan Ogan
Komering Ilir (OKI).

Atas dasar itu, majelis menyatakan tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian. Dari hasil laboratorium
diketahui tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar, tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik.
Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan
kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati,sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan
hukumnya.

Selain itu, majelis juga menilai justru PT BMH yang mengalami kerugian sehingga menolak gugatan perdata KLHK
senilai Rp7,8 trilun.Parlas mengatakan, berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli diketahui bahwa pihak penggugat
(KLHK) tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi
sesuai peraturan UU. "Atas pertimbangan itu, majelis hakim menolak gugatan dan membebankan biaya perkara ke pihak
penggugat (KLHK)," kata Parlas.

Gugatan ini dilayangkan negara atas terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare milik
PT BMH pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten OKI.

3. Putusan PN Palalawan, Tahun 2013


Perkara pidana pembakaran hutan di Desa Pangkalan Panduk, Riau ini menyeret Suheri Terta serta Fachruddin Lubis,
masing-masing Direktur Utama dan Kepala Proyek perusahaan kelapa sawit PT Mekarsari Alam Lestari (PT MAL).
Keduanya didakwa sejak tahun 2008 telah membakar hutan dalam rangka membuka dan menyiapkan lahan gambut
untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Pembakaran itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kadar keasaman tanah agar cocok ditanami kelapa sawit. Mereka
disinyalir sengaja melakukan pembakaran itu dengan cara membuat kanal-kanal yang berfungsi sebagai pembatas petak
lahan perkebunan sekaligus untuk melokalisir kebakaran agar api tetap berada di jalur penanaman yang telah
direncanakan. Kerugian ekologis dan ekonomis yang terjadi akibat peristiwa itu ditaksir lebih dari Rp87 miliar.

Selain itu, ternyata perusahaan tersebut diketahui tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Izin
Usaha Perkebunan (IUP), sarana dan prasarana serta sumber daya manusia maupun prosedur dalam penanggulangan
kebakaran hutan. Padahal, di tahun 2007 PT MAL telah mendapat teguran mengenai hal itu dari Badan Pengendali
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau setelah terjadi kebakaran di lahan perkebunan mereka.

Suheri dan Fachrudin pun dituntut hukuman satu tahun penjara dan denda RP100 juta. Pada tanggal 11 September 2012,
Pengadilan Negeri Pelalawan melalui putusan nomor: 08/PID.B/2012/PN.PLW, menyatakan keduanya terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana ”Karena Lalainya Melakukan Perbuatan yang Mengakibatkan
Kerusakan Lingkungan Hidup”. Keduanya pun dihukum membayar denda masing-masing Rp133 juta. Atas putusan
tersebut, tiga hari kemudian Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Kemudian pada 31
Januari 2013, PT Pekanbaru menghukum keda terdakwa penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun dan
denda masing-masing Rp100 juta.

4. Putusan PN Meulaboh, 2014


Pada 8 November 2012, Menteri Lingkungan Hidup menggugat PT Kallista Alam, yang salah satu kuasa hukumnya
adalah Luhut MP Pangaribuan, karena lahan perkebunannya berada di kawasan konservasi Leuser. Selain itu, selama
Januari-November 2011 juga ada indikasi kebakaran di lahan perusahaan tersebut. Pihak perusahaan pun mengakui telah
terjadi kebakaran lahan, namun hanya berlangsung selama tiga hari di pertengahan bulan Maret. Pihak Menteri
Lingkungan Hidup juga mensinyalir pembukaan lahan dengan membakar hutan dari laporan keuangan perusahaan.

Menurut Menteri, untuk membuka satu hektar lahan secara normal dibutuhkan sekitar Rp40 juta,namun perusahaan
melaporkan biaya pembukaan seratus hektar lahan hanya sekitar Rp8 juta. Akibat perbuatannya, perusahaan dinilai telah
menurunkan kualitas lingkungan hidup dengan menghilangkan fungsi tanah gambut dan merusak keanekaragaman
hayati. Perusahaan pun digugat untuk tidak menanami kelapa sawit di atas lahan seluas seribu hektar yang telah terbakar.
Sebaliknya, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan itu sekitar Rp250 miliar. Selain itu,
perusahaan diminta membayar ganti rugi sebesar lebih dari Rp114 miliar.

Pada tanggal 8 Januari 2014, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh yang terdiri dari Rahmawati, Rahma
Novatiana, dan Juanda Wiajaya mengabulkan sebagian gugatan Menteri Lingkungan Hidup. Perusahaan dinyatakan telah
melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening kas negara
sekitar Rp114 juta. Perusahaan juga tidak boleh menanami lahan gambut seluas seribu hektar yang izinnya telah dimiliki
itu. Ditambah pula, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan sesuai permintaan penggugat. Jika
perusahaan terlambat melaksanakan putusan nomor: 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO tersebut, dikenakan uang paksa Rp5
juta per hari.

5. Putusan PN Jakarta Pusat, 2014


LSMWahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang diwakili Ketua, Sekretaris, dan Bendaharanya mengajukan
gugatan kepada Negara Republik Indonesia pada bulan Oktober 2013. Ada Sembilan belas instansi kementerian maupun
pemerintah daerah yang menjadi tergugat. Di antaranya, Presiden, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan
Hidup, Kapolri, Gubernur Riau, Gubernur Jambi, dan Bupai/Walikota di kedua provinsi itu.

Walhi menggugat pemerintah atas maraknya kebakaran hutan yang besar dan terus menerus sejak tahun 1980-an di
Indonesia. Pemerintah dinilai tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi, menegakkan hukum dan melakukan
penanggulangan dini peristiwa itu. Dengan demikian, pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum
yang mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil. WALHI pun mengajukan beberapa tuntutan, antara lain membuat
peta kerawanan kebakaran hutan nasional. Kedua, mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan. Ketiga,
menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Keempat, menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan.
Kelima, membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran.

Keenam, menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran. Pemerintah juga dituntut melaksanakan pembinaan dan
pengawasan. Khusus untuk Kementerian Lingkungan Hidup, dituntut melakukan audit lingkungan terhadap semua izin
Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Selain itu, semua tergugat diminta
menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada seluruh rakyat Indonesia melalui media masa.

Namun, pada 25 November 2014 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan gugatan WALHI tidak dapat diterima.
Majelis hakim yang diketuai Nani Indrawati menerima eksepsi para tergugat. Dengan demikian, menurut majelis hakim,
gugatan yang diajukan oleh WALHI kurang subjek dan kabur (obscuur). Akibatnya, pokok perkara gugatan tidak perlu
dipertimbangkan dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Contoh Kasus dan Penyelesaian
KASUS LIMBAH TAHU ( PN SIDOARJO, 1998)
Perkara ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai delik lingkungan yaitu
pencemaran air Kali Surabaya akibat limbah tahu dan limbah kotoran babi oleh terdakwa
Bambang Goenawan, direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo serta diputus PN Sidoarjo
Tanggal 6 Mei 1989 Nomor : 122/Pid/1989/PN.Sda
Duduk perkaranya menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 6
November 1988, primer dan subsidair sebagai berikut: terdakwa Bambang Goenawan alias Oei
Ling Gwat, lahir di Surabaya, umur 48 tahun, jenis kelamin laki – laki, kebangsaan Indonesia,
keturunan China, tempat tinggal JL. Ngagel No. 125 – 127 Surabaya, agama Katolik, pekerjaan
Direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo dihadapkan ke pengadilan negeri Sidoarjo
dengan dakwaan bahwa antara bulan Maret 1986 - Juli 1988, di perusahaan PT. Sidomakmur
dan PT. Sidomulyo yang terletak di desa Sidomulyo. kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo,
telah terjadi perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya
lingkungan hidup dengan cara terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur yang
memproduksi tahu, membuang air limbah ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 3095,4
mg/I dan mengandung COD 12293 mg/I dan juga sebagai pengusaha PT. Sidomulyo yang
berupa peternakan babi membuang limbah kotoran babi ke Kali Surabaya yang mengandung
BOD 426,3 mg/I dan mengandung COD 1802,9 sebagaimana hasil dari pemeriksaan air limbah
yang dilakukan oleh badai teknik kesehatan Lingkungan tanggal 20 Juli 1988 No. 261/ Pem/
BTKL.Pa/VII/1988. Kandungan limbah tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan SK
Gubernur Jawa Timur No 43 Tahum 1987, yaitu maksimum BOD 30 mg/I dan COD 80 mg/I.
Terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo telah membuat
instansi (septictank) yang tidak memenuhi daya tampung limbah kedua perusahaan tersebut,
sehingga kotoran atau limbah meluber keluar dan mengalir ke Kali Surabaya. Pembuangan air
limbah tersebut menyebabkan menurunnya kualitas air Kali Surabaya dan menyebabkan air
kekurangan oksigen yang mengakibatkan matinya kehidupan dalam air serta sangat sukar untuk
diolah menjadi air bersih untuk bahan baku PDAM.
Jadi terdakwa Bambang Goenawan didakwa telah melanggar pasal 22 ayat 1 dan 2
Undang – Undang No. 4 Tahun 1982.
Pada tanggal 23 Februari 1989, tuntutan pidana dibacakan, pada pokoknya berbunyi :
Menyatakan terdakwa Bambang Goenawan bersalah karena kelalaiannya melakukan
perbuatan menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup – pasal 22 ayat 2 UU No. 4 Tahun
1982 (dakwaan subsidair).
Menjatuhkan pidana terhadap Bambang Goenawan selama 6 (enam) bulan dalam masa
percobaan 1 (satu) tahun dan denda Rp 1.000.0000,00 subsidair 2 (dua) bulan
kurungan. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya sebesar Rp 2.500,00 .
Pledoi penasihat hukum dibacakan pada tanggal 11 Maret 1989 dengan kesimpulan :
1. Menolak dakwaan dan tuntutan penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah
melakukan perbuatan kelalaian sebagaimana dimaksud pada tuntutannya (23 Februari 1989).
2. Menyatakan batal demi hukum dakwaan sehingga melanggar pasal 143 (3) KUHAP atau
menyatakan dakwaan jaksa kurang cukup bukti dan tidak beralasan, menurut hukum harus
ditolak.
3. Menyatakan dakwaan Bambang Goenawan tidak bersalah melakukan perbuatan pidana
sebagaimana yang didakwakan dan karena itu membebaskannya dari segala tuduhan hukum
atau melepaskan dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuntutan hukum (vide
pasal 191 KUHP).
4. Menyatakan untuk merehabilitasi nama baik terdakwa di mata umum (vide pasal 97
KUHP).
5. Membebankan biaya perkara ini pada Negara.
Dalam pemeriksaan terhadap Rochim Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo, diperoleh
keterangan bahwa diketemukan adanya sejumlah ikan yang mengambang di permukaan air Kali
Surabaya, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ikan yang mengambang di permukaan air Kali
Surabaya itu sebagai akibat dari tercemarnya Kali Surabaya yang disebabkan oleh limbah tahu
industri yang dibuang terdakwa ke kali tersebut. Selain banyak faktor yang menyebabkan ikan
bisa mati lemas, juga mengingat banyaknya perusahaan lain yang menbuang limbah ke Kali
Surabaya.
Saksi Soekarsono Dirja Sukarta, B.A. Pejabat PDAM Pejabat PDAM Surabaya
menyatakan bahwa pernah kadar kimia air Kali Surabaya yang diolah menjadi air minum
sangat tinggi, sehingga PDAM harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menormalkan kembali
kadar air tersebut, namun tidak dapat dipastikan kalau kejadian itu disebabkan oleh limbah tahu
yang dibuang terdakwa ke Kali Surabaya. Yang pasti, kejadian itu akibat dari tercemarnya Kali
Surabaya, tetapi siapa sesungguhnya yang mencemarkan, saksi tidak dapat menentukan , karena
pada kenyataannya banyak perusahaan yang membuang air limbah pabriknyaa ke Kali
Surabaya.
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara telah mengadakan pemeriksaan
di lokasi perusahaan dengan konfirmasi keterangan terdakwa sendiri dengan hasil sebagai
berikut:
1. Di lokasi, yang dibuang itu adalah bekas air rendaman kedelai bercampur kulit kedelai yang
mengalir melalui saluran-saluran kecil di dalam pabrik menuju septic tank.
2. Tidak ada air yang dibuang setelah kedelai dimasak, karena yang ditinggal hanya sari air
kedelai - diendapkan menjadi tahu. Ampasnya di tampung pada tempat penampungan untuk di
konsumsi oleh ternak.
3. Air cucian atau rendaman diendapkan di beberapa septic tank dialirkan ke selokan menuju
danau kecil di lokasi perusahaan.
4. Dalam pembuatan tahu tidak menggunakan cuka.
5. Di sekitar pekarangan pabrik ada beberapa kelompok septic tank yang masing-masing
berukuran panjang 4 m, lebar 3 m, dalam 3 m, yang dahulu digunakan sebagai bak
penampungan atau pengendapan, penyaringan dan pembuangan air ke kali. Sekarang tidak
digunakan lagi karena limbah setelah diendapkan pada kelompok bak penampungan pertama
langsung mengalir ke danau-danau kecil pada lahan di lokasi perusahaan.
6. Pada kandang babi terdapat 10 petak kandang.
7. Limbah cucian ternak dan kotoran babi dari dalam kandang mengalir ke kiri kanan melalui
parit-parit bersemen ke selokan besar lebar 2 m, dalam 1 m, panjang 500 m.
8. Terdapat septic tank limbah ternak babi yang tidak terpakai lagi dan ditutup atas perintah
Sekwilda Tingkat 2 Sidoarjo.
9. Sekarang tidak ada lagi pembuangan limbah dalam keadaan bagaimanapun ke Kali
Surabaya karena semua saluran pembuangan ditutup dengan beton semen.
10. Kedua perusahaan tersebut mempunyai ijin dan mempunyai syarat serta ditinjau Sekwilda
Kabupaten Sukoarjo.
11. Air limbah telah dibuatkan bak pengendapan dan tidak benar sampai meluber ke Kali
Surabaya, terkecuali hujan turun lebat, mau tidak mau terjadi perembesan dan masuk ke kali
Surabaya bersama – sama dengan air hujan
12. Air yang dipergunakan memproses tahu diambil dari Kali Surabaya berdasarkan surat ijin
dari gubernur Jawa Timur yang sudah ada dan telah dimiliki oleh terdakwa.

Dalam pemeriksaan perkara di temukan ketidaksesuaian alat bukti mengenai besarnya


BOD dan COD dari limbah tahu. Perbedaan hasil penilitian laboratorium tentang kadar BOD
dan COD yang bervariasi membuat majelis hakim ragu – ragu terhadap kebenaran dari
besarnya BOD dan COD tersebut, sehingga ditetapkan asas In Dubio Pro Reo (putusan yang
menguntungkan bagi terdakwa) majelis hakim menetapkan bahwa besarnya BOD dan COD
yang terkandung dalam limbah industri tahu terdakwa adalah sebesar 17,54 m/I dan 68,58 m/I
sesuai dan seperti hasil penelitian pada Balai Pengembangan dan Penelitian Industri Kanwil
Departemen Perindustrian Jawa Timur, Surabaya, tanggal 4 Juni 1988.
Di samping itu, menurut majelis hakim karena tidak adanya hasil penelitian itu sendiri
tentang akibat yang timbul dari limbah yang dibuang ke kali, maka kasus tersebut tidak dapat di
pertanggungjawabkan kepada terdakwa. Dengan demikian menurut hukum, tidak terbukti
limbah yang dibuang terdakwa itu menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup, sehingga
perbuatan terdakwa bukan merupakan tindak kejahatan dan bukan pula merupakan
pelanggaran. Oleh karenanya, pada tanggal 6 Mei 1989 putusan PN Sidoarjo :
1. Menyatakan Bambang Goenawan alias Oei Ling Gwat telah melakukan perbuatan
membuang limbah industri tahu ke Kali Surabaya, tetapi perbuatan itu bukan merupakan
perbuatan tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup.
2. Menyatakan oleh karena itu terdakwa diputus “lepas” dari segala tuntutan hukum.
3. Membebankan biaya perkara kepada Negara.
4. Menetapkan surat – sutrat yang diperiksa sebagai alat bukti tetap terlampir dalam berkas.
Berkaitan dengan adanya putusan PN Sidoarjo di atas , Siti Sundari Rangkuti
menyatakan bahwa baik jaksa maupun hakim sangat dipengaruhi oleh pemikiran ilmu hukum
pidana, sedangkan pledoi penasehat hukum tidak mengandung argumentasi yang
mencerminkan pengusaan materi hukum lingkungan. Kepolisian, Kejaksaan dan juga Penasehat
Hukum berpendapat bahwa perbuatan “melanggar baku mutu air limbah” identik dengan
“mencemarkan air Kali Surabaya” yang merupakan tindakan pidana lingkungan dan terkena
pasal 22 UULH. Dari sudut pandang yang demikian dapatlah dimengerti, mengapa sampai
terjadi perbedaan persepsi dalam proses pemeriksaan perkara “pencemaran” kali Surabaya
tersebut yang dapat dibahas dalam pemikiran hukum lingkungan.[7]
Perbuatan terdakwa sesuai dengan pemeriksaan air limbah oleh laboratorium Balai
Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) sebagai saksi ahli, terbukti melanggar Baku Mutu Air
Limbah yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 44
Tahun 1987 Tentang Penggolongan dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur, dan bukan
mencemarkan air Kali Surabaya yang tunduk pada pasal 22 UULH. Air Kali Surabaya yang
menjadi pencemaran akibat perbuatan terdakwa yaitu korban pencemaran, tidak pernah
diajukan sebagai alat bukti untuk syarat pembuktian hubungan kausal antara limbah terdakwa
dengan cemarnya air yang merupakan salah satu unsur delik lingkugan. Dengan demikian
pertimbangan hakim tentang asas In Dubio Pro Reo (yang menguntungkkan bagi terdakwa)
karena perbedaan hasil pemeriksaan tentang besarnya BOD dan COD yang terkandung dalam
limbah tahu oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Industri Kanwil Dep. Perindustrian Jawa
Timur dengan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dalam kasus ini, menjadi tidak relevan.
Walaupun belum sepenuhnya berlandaskan pemikiran hukum lingkungan kepemidanaan,
namun putusan Majelis Hakim cukup beralasan, yaitu terdakwa terbukti melakukan
pembuangan limbah industry tahu ke kali Surabaya, tetapi perbuatan itu tidak merupakan satu
tindak pidana, yakni tidak menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup. Terdakwa diputus
lepas dari segala tuntutan hukum. Dapat dimengerti, karena alat buktinya limbah tahu, bukan air
kali Surabaya yang sudah tercemar secara kumulatif. Air mempunyai sifat “self-
purification” kalau hanya menerima limnbah. Dengan demikian perbuatan terdakwa
merupakan pelanggaran hukum lingkungan administratif yang sanksinya diatur dalam pasal
putusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur Nomor 414 Tahun 1987 tentang Penggolongan
dan Baku Mutu Air Limbah di Jawa Timur.
Dari rumusan pasal 8 di atas, jelaslah bahwa sanksi perbuatan mekanggar Baku Mutu
Air Limbah tidak diatur sewaktu terjadinya kasus limbah tahu Sidoarjo baik sanksi administrasi
maupun sanksi pidana. Semua peraturan hukum yang dimaksud dalam pasal 8 tersebut tidak
mengatur tentang perbuatan “ Melanggar Baku Mutu Air Limbah”. Dapat dimengerti, karena
pada waktu itu (1987), pembuat peraturan masih dalam proses belajar tentang hukum
lingkungan. Hal ini terbukti dalam hal dari perbedaan pengaturan sanksi yang kemudian
diberlakukan terhadap perlanggaran sejenis, yaitu pasal 33 PP No. 20 Tahun 1990 tentang
Pengendalian Pencemaran Air.
Dengan berlakunya keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Timur No. 136
Tahun 1994 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Industri Atau Kegiatan Usaha Lainnya di
Jawa Timur, tanggal 21 November 1994, Keputusan Gubernur KDH tingkat I Jawa Timur No.
414 Tahun 1987 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dari ketentuan di atas Siti Sundari Rangkuti menyatakan bahwa perbuatan ”Melanggar
Baku Mutu Air Limbah“ penyelesaiannya bukan melalui jalur pengadilan tetapi merupakan
pelanggaran hukum lingkungan administratif dengan konsekuensi sanksi administrasi. Dewasa
ini perbuatan tersebut tunduk pada pasal 33 PP No.20 Tahun 1990 tentang Pengendalian
Pencemaran Air jo. Keputusan Gubernur KDH tungkat I Jawa Timur No. 136 Tahun 1994.[8]
Setelah keputusan PN Sidoarjo memutuskan membebaskan terdakwa dari segala
hukuman maka Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan
Mahkamah Agung menyatakan mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi Jaksa
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Sidoarjo tanggal 6 Mei 1989 No.
122/pid/1988/PN.Sad. Mahkamah Agung dalam putusan rek. 1479/K/pid/1989, tanggal 20
Maret 1993 memutuskan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan kejahatan “karena kelalaiannya melakukan oerbuatan yang menyebabkan
tercemarnya lingkungan hidup“. Kendatipun demikian, terdakwa “hanya” dihukum kurungan 3
(tiga) bulan dengan waktu percobaan 6 (enam) bulan, di samping itu terdakwa juga dihukum
dengan pidana denda dengan Rp 1.000.000, 00 (satu juta rupiah).
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung tersebut, Siti Sundari Rangkuti mengatakan
bahwa perlu dikaji Ratio Decidendi yang melandasi putusan, khususnya masalah pencemaran
itu:
1. MA mengakui bahwa merupakan kewenangan aparatur tata usaha Negara untuk
menentukan batas kadar keamanan untuk masing – masing objek lingkungan yang harus
dilindungi. Sehubungan dengan itu, oleh pejabat TUN ditentukan pula standar kadar limbah
yang boleh dibuang ke air. Masalahnya adalah mengapa keputusan pejabat TUN yang dilanggar
dikenakan sanksi pidana oleh MA?
2. Pertimbangan MA yang cukup memprihatinkan adalah menimbang bahwa walaupun secara
individu membuang limbah melebihi yang diperbolehkan An sich memang baru merupakan
perbuatan yang potensial dapat mencemarkan lingkungan, namun hal itu tidak berlaku dalam
perkara ini, karena dalam perkara ini kesalahan terdakwa merupakan satu dari sekian banyak
perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai itu, maka pembuangan limbah yang
melampaui ambang batas yang diperbolehkan yang dilakukan terdakwa (yang ternyata bersama
– sama dengan perusahaan lain itu) harus dianggap mencemarkan air sungai tersebut.
3. MA berpendapat bahwa, berdasarkan keterangan – keterangan terdakwa, saksi – saksi serta
bukti surat – surat yang dihasilkan dalam persidangan, terdakwa harus dinyatakan telah terbukti
lalai memenuhi syarat- syarat pembuangan limbah yang baik dengan demikian, terdakwa harus
dinyatakan terbukti akan dakwaan subsidair.
Dari berkas perkara putusan MA termaksud, tidak ditemukan argumentasi hukum
lingkungan bahwa karena kelalaiannya terdakwa terbukti melakukan perbuatan menyebabkan
tercemarnya air kali yang pembuktiannya menyimpang dari pasal 183 KUHAP yang berbunyi:
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-
kurang nya 2 alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa sesuatu tindak pidana benar-
benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Sampai sekarang belum
ada aturan hukum yang menyatakan bahwa perbuatan melanggar Baku Mutu Air Limbah
adalah tindak pidana, yang berarti terdakwa tidak melakukan delik lingkungan, sehingga dapat
dikatakan bahwa MA melanggar asas legalitas
(pasal 1 KUHP).
Menurut Siti Sundari Rangkuti, sebenarnya kasus Sidoarjo dapat diproses sebagai
perkara pidana pencemaran air Kali Surabaya dengan syarat agar unsur-unsur delik lingkungan
sebagai delik materiil berhasil dibuktikan. Untuk dapat dijadikan alat bukti adalah air Kali
Surabaya, bukan air limbah tahu sehingga dapat dibuktikan unsur hubungan kausal antara
perbuatan terdakwa dengan tercemarnya air Kali Surabaya. Dasar hukum yang berlaku adalah
keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987 tentang Penggolongan
dan Baku Mutu Air di Jawa Timur. Prosedur pembuktian didasarkan pada baku mutu air
sebelum limbah tahu dibuang. Apabila setelah air limbah tahu di buang ke Kali Surabaya,
penggolongan dan baku mutu air berubah menjadi turun kualitasnya, melalui ketentuan dalam
keputusan Gubernur KDH Tingkat I Jawa Timur No. 413 Tahun 1987, maka dapat dikatakan
bahwa perbuatan terdakwa melanggar pasal UULH (sekarang pasal 41-44 UULPH) Tentang
Tindak Pidana Lingkungan sebagaimana diketahui, delik lingkungan hanya menyangkut
perbuatan konkrit. [9]
Dengan mengkaji putusan MA tentang kasus limbah tahu di atas sebagai bahan
pemikiran dapatlah dikemukakan bahwa putusan MA itu :
1. Melanggar asas legalitas.
2. Melanggar baku mutu air limbah tanpa dasar hukum yang konkrit yang dinyatakan sebagai
delik.
3. Pengertian delik pencemaran air dalam pasal 22 UULH tidak dikaitkan dengan pasal 1
angka 7 UULH;
4. Tidak sesuai dengan pasal 183 KUHAP tentang alat bukti.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
 Pencemaran air yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Kualitas air sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan bagi makhluk hidup.
 Efek dari pencemaran air antara lain pengaruhnya terhadap lingkungan hidup, pengaruhnya
pada kesehatan bagi manusia, dan pengaruhnya pada industri pertanian.
 Indikator adanya pencemaran air dapat dilihat dari :
a. Nilai pH, keasaman dan alkalinitas;
b. Suhu;
c. Warna, bau dan rasa;
d. Jumlah padatan;
e. Nilai BOD/COD;
f. Pencemaran mikroorganisme patogen;
g. Kandungan minyak;
h. Kandungan logam berat;
i. Kandungan bahan radioaktif.
 Penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan dapat diselesaikan di dalam maupun di
luar pengadilan. Apabila sengketa hukum lingkungan ini diselesaikan di dalam pengadilan
maka dapat digunakan tiga instrumen hukum, yaitu instrumen hukum administrasi, instrumen
hukum perdata, maupun instrumen hukum pidana.

3.2 Saran
Pemerintah seharusnya lebih menaruh perhatian lagi dalam upaya pengelolaan maupun
pelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya sekedar dalam pembuatan regulasi atau peraturan
perundang-undangan saja tetapi juga pada pengawasan penegakannya, terutama pada proses
penegakan di dalam pengadilan. Jangan sampai terjadi majelis hakim di suatu peradilan dapat
lalai dalam memutus suatu perkara karena perbedaan penafsiran hukum atau peraturan
perundang-undangan. Mungkin perlu ditunjuk majelis hakim yang tidak hanya berkompeten di
bidang hukum tetapi juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang tinggi.

Anda mungkin juga menyukai