Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. PENDAHULUAN
Hukum lingkungan internasional (huklin) merupakan bidang baru (new development) dalam
sistem hukum internasional. Bidang baru ini dapat pula dianggap bagian dari hukum baru dengan nama
hukum lingkungan laut internasional[1]. Untuk membahas sistem hukum lingkungan internasional ini
menurut dapat dikaji dalam kerangka hukum internasional berdasarkan, (i) customary international
law (CIL) dan(ii) conventional international law, dari kedua sumber hukum ini telah tumbuh hukum
Terkait dengan lingkungan laut terdapat sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non
hayati, sebagai sarana penghubung, media rekreasi dan lain sebagainya. oleh karena itu sangat penting
untuk melindungi lingkungan laut dari ancaman pencemaran yang bersumber dari operasi kapal
tanker, kecelakaan kapal tanker, scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua),
serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai. Hal ini penting dilakukan agar lingkungan laut
diperairan Asia Tenggara yang merupakan daerah yang paling produktif dapat dinikmati secara
berkelanjutan, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan datang[3].
Perairan Asia Tenggara mencakup didalamnya laut Andanan, Selat Malaka dan Singapura, Laut
Cina Selatan, perairan kepulauan Indonesia dan Filipina termasuk laut arafuru dan Laut Celebes.
Seluruh perairan ini meliputi luas 8.94 juta km2 yang merupakan 2,5% dari permukaan laut dan
dunia[4]. Dengan luas perairan yang dimiliki kawasan Asia Tengara menyebabkan lebih 7% dari
penduduk dikawasan ini hidup didaerah pantai[5]. suatu hal yang menyebabkan tingkat eksploitasi
Pada saat ini zat pencemar yang berbahaya dan sering mencemari lingkungan laut adalah
minyak[6]. Setiap tahunnya 3 sampai 4 juta ton minyak mencemari lingkungan laut[7]. Pada tahun
2009 misalnya terjadi pencemaran Laut Timur Indonesia oleh perusahaan Montana Australia[8], yang
menurut Balai Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP). Hasil survey mereka pada tanggal 4 November
Zat pencemar dalam hal ini minyak yang masuk pada ekosistem laut tidak hanya dapat secara
langsung merusak lingkungan laut, namun lebih jauh dapat pula berbahaya bagi suplay makanan dan
habitat lingkungan laut yang merupakan sumber kekayaan alam bagi suatu Negara khususnya bagi
kawasan Asia Tengggara yang penduduknya banyak bergantung pada hasil perikanan. Dalam hal ini
terdapat beberapa aturan hukum lingkungan internasional yang mengatur masalah pencemaran
(1). United Nation Covention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS)
(2). International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil Liability
Convention).
(3). Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter 1972
(4). The International Covention on Oil Pollution Preparedness Response And Cooperation
1990 (OPRC).
(5). International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution).
Berdasarkan latar belakang permasalahan sebagaimana telah diuraikan secara tingkas diatas,
maka penulis akan mencoba mengkaji lebih jauh lagi, sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk
makalah yang diberi judul “Perlindungan Terhadap Pencemaran Lingkungan Laut Dikawasan Asia
Tenggara Dalam Prespektif Hukum Lingkungan Internasional”. Dari judul ini penulis akan menganalisis
sejauhmana penanggulangan pencemaran lingkungan laut diperairan asia tenggara dalam prespektif
Hukum Lingkungan internasional. Adapun tujuan dari makalah ini adalah memberikan gambaran
terhadap perkembangan hukum lingkungan internasional serta pencemaran lingkungan laut yang
Konvensi Hukum Laut 1982 adalah merupakan puncak karya dari PBB tentang hukum laut,
yang disetujui di montego Bay, Jamaica tanggal 10 Desember 1982[9]. Konvensi Hukum Laut 1982
secara lengkap mengatur perlindungan dan pelestarian lingkungan laut (protection and preservation of
Pasal 192 berbunyi : yang menegaskan bahwa setiap Negara mempunyai kewajiban untuk
melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Pasal 193 menggariskan prinsip penting dalam
pemanfaatan sumber daya di lingkungan laut, yaitu prinsip yang berbunyi : bahwa setiap Negara
mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan
lingkungan mereka dan sesuai dengan kewajibannya untuk melindungi dan melestarikan lingkungan
laut.
Konvensi Hukum Laut 1982 meminta setiap Negara untuk melakukan upaya-upaya guna
mencegah (prevent), mengurangi (reduce), dan mengendalikan (control) pencemaran lingkungan laut
dari setiap sumber pencemaran, seperti pencemaran dari pembuangan limbah berbahaya dan beracun
yang berasal dari sumber daratan (land-based sources), dumping, dari kapal, dari instalasi eksplorasi
dan eksploitasi. Dalam berbagai upaya pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran
lingkungan tersebut setiap Negara harus melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun
global sebagaimana yang diatur oleh Pasal 197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Negara peserta
Konvensi Hukum Laut 1982 mempunyai kewajiban untuk menaati semua ketentuan Konvensi tersebut
berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, yaitu antara lain sebagai berikut :
lingkungan laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti pencemaran dari darat, kapal, dumping,
dan lainnya. Dalam peraturan perundang-undangan tersebut termasuk penegakan hukumnya, yaitu
proses pengadilannya
lingkungan laut,
3. Kewajiban melakukan kerja sama regional dan global, kalau kerja sama regional berarti kerja
sama ditingkat negara-negara anggota ASEAN, dan kerja sama global berarti dengan negara lain yang
melibatkan negara-negara di luar ASEAN karena sekarang persoalan pencemaran lingkungan laut
4. Negara harus mempunyai peraturan dan peralatan sebagai bagian dari contingency plan
pertanggungjawaban dan kewajiban ganti ruginya bagi pihak yang dirugikan akibat terjadinya
pencemaran laut.
Dalam melaksanakan kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut tersebut,
setiap Negara diharuskan melakukan kerja sama baik kerja sama regional maupun global. Keharusan
untuk melakukan kerja sama regional dan global (global and regional co-operation) diatur oleh Pasal
197-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 197 Konvensi berbunyi : “Negara-negara harus bekerja
sama secara global dan regional secara langsung atau melalui organisasi internasional dalam
merumuskan dan menjelaskan ketentuan dan standard internasional serta prosedur dan praktik yang
disarankan sesuai dengan Konvensi bagi perlindingan dan pelestarian lingkungan laut dengan
Kerja sama regional dan global tersebut dapat berupa kerja sama dalam pemberitahuan
adanya pencemaran laut, penanggulangan bersama bahaya atas terjadinya pencemaran laut,
pembentukan penanggulangan darurat (contingency plans against pollution), kajian, riset, pertukaran
informasi dan data serta membuat kriteria ilmiah (scientific criteria) untuk mengatur prosedur dan
praktik bagi pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran lingkungan laut sebagaimana
ditegaskan oleh Pasal 198-201 Konvensi Hukum Laut 1982. Di samping itu, Pasal 207-212 Konvensi
Hukum Laut 1982 mewajibkan setiap Negara untuk membuat peraturan perundang-undangan yang
mengatur pencegahan dan pengendalian pencemaran laut dari berbagai sumber pencemaran, seperti
sumber pencemaran dari darat (land-based sources), pencemaran dari kegiatan dasar laut dalam
jurisdiksi nasionalnya (pollution from sea-bed activities to national jurisdiction), pencemaran dari
kegiatan di Kawasan (pollution from activities in the Area), pencemaran dari dumping (pollution by
dumping), pencemaran dari kapal (pollution from vessels), dan pencemaran dari udara (pollution from
Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur persoalan tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi
berkenaan dengan perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Pasal 235 Konvensi menegaskan
bahwa setiap Negara bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban internasional mengenai
perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, sehingga semua Negara harus memikul kewajiban ganti
segera dan memadai atas kerugian (damage) yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan laut yang
dilakukan orang (natural person) atau badan hukum (juridical person) yang berada dalam jurisdiksinya.
Oleh karena itu, setiap Negara harus bekerja sama dalam mengimplementasikan hukum internasional
yang mengatur tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi untuk kompensasi atas kerugian akibat
pencemaran lingkungan laut, dan juga prosedur pembayarannya seperti apakah dengan adanya
Tanggung jawab dan kewajiban ganti rugi dari Negara atau disebut tanggung jawab Negara
(state sovereignty) merupakan prinsip fundamental dalam hukum internasional, sehingga kalau terjadi
pelanggaran kewajiban internasional akan timbul tanggung jawab Negara. Pelanggaran kewajiban
internasional tersebut seperti tidak melaksanakan ketentuan-ketenuan yang terdapat dalam Konvensi
Hukum Laut 1982 yang sudah mengikat negaranya. Belum ada perjanjian yang secara khusus mengatur
tanggung jawab Negara dalam hukum internasional. Selama ini persoalan tanggung jawab Negara
mengacu padaDraft Articles on Responsibility of States for International Wrongful Acts yang dibuat oleh
Komisi Hukum Internasional International Law Commission (ILC) yang menyatakan: setiap tindakan
negara yang salah secara internasional membebani kewajiban Negara yang bersangkutan[10]
B. International Conventions on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969 (Civil
Liability Convention).
Laut (International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage). CLC 1969 merupakan
konvensi yang mengatur tentang ganti rugi pencemaran laut oleh minyak karena kecelakaan kapal
tanker. Konvensi ini berlaku untuk pencemaran lingkungan laut di laut territorial Negara peserta.
Dalam hal pertanggungjawaban ganti rugi pencemaran lingkungan laut maka prinsip yang dipakai
Lingkup Berlakunya
konvensi ini berlaku hanya pada kerusakan pencemaran minyak mentah (persistent oil)
yang tertumpah dan muatan kapal tangki. Konvensi tersebut mencakup kerusakan
pencemaran lokasi termasuk perairan negara anggota konvensi Negara Bendera Kapal dan
Kebangsaan pemilik kapal tangki tidak tercakup dalam tingkup aplikasi dan CLC Convention.
(Preventive measures).
Konvensi ini diberlakukan hanya pada kerusakan yang disebabkan oleh tumpahan
muatan minyak dari kapal tangki dan tidak termasuk tumpahan minyak yang bukan muatan
atau usaha pencegahan murni yang dilakukan dimana tidak ada sama sekali Minyak yang
tumpah dari kapal tangki. Konvensi ini juga hanya berlaku pada kapal yang mengangkut
minyak sebagai muatan yakni kapal tangki pengangkut minyak. Tumpahan (Spills) dari kapal
tangki dalam pelayaran “Ballast Condition” dan spills dari bunker oil atau kapal selain kapal
tangki tidak termasuk dalam konvensi ini, Kerusakan yang disebabkan oleh “Non-presistent
Oil” seperti gasoline, kerosene, light diesel oil, dan lain sebagainya, juga tidak termasuk dalam
CLC Convention.
Pemilik kapal tangki mempunyai kewajiban ganti rugi terhadap kerusakan pencemaran
yang disebabkan oleh tumpahan minyak dan kapalnya akibat kecelakaan. Pemilik dapat
3. Kerusakan yang disebabkan oleh karena pihak berwenang tidak memelihara alat bantu
Alasan pengecualian tersebut diatas sangat terbatas, dan pemilik boleh dikatakan
berkewajiban memberikan ganti rugi akibat kerusakan pencemaran pada hampir semua
Pada kondisi tertentu, pemilik kapal memberikan kompensasi ganti rugi dengan batas
133 SDR (Special Drawing Rights) perton dari tonage kapal atau 14 juta SDR, atau sekitar
US$ 19,3 juta diambil yang lebih kecil. Apabila pihak yang mengklaim (Claimant) dapat
membuktikan bahwa kecelakaan terjadi karena kesalahan pribadi (actual fault of privity) dari
pemilik, maka batas ganti rugi (limit his liability) untuk pemilik kapal tidak diberikan.
ditujukkan pada pemilik kapal terdaftar. Hal ini tldak menghalangi korban mengklaim
kompensasi ganti rugi diluar konvensi ini dari orang lain selain pemlik kapal. Namun demikian,
konvensi melarang melakukan klaim kepada perwakilan atau agen pemilik kapal. Pemilik kapal
harus mengatasi masalah klaim dari pihak ketiga berdasarkan hukum nasional yang berlaku.
C. Convention on the Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter
1972 (London Dumping Convention).
Pembuangan (dumping), yang dimaksud adalah pembuangan limbah yang berbahaya baik itu dari kapal
laut, pesawat udara ataupun pabrik industri. Para Negara konvensi berkewajiban untuk
memperhatikan tindakan dumping tersebut. Dumping dapat menyebabkan pencemaran laut yang
mengakibatkan ancaman kesehatan bagi manusia, merusak ekosistem dan mengganggu kenyamanan
lintasan di laut.
Beberapa jenis limbah berbahaya yang mengandung zat terlarang diatur dalam London
Dumping Convention adalah air raksa, plastik, bahan sintetik, sisa residu minyak, bahan campuran
radio aktif dan lain-lain. Pengecualian dari tindakan dumping ini adalah apabila ada “foce
majeur”, yaitu dimana pada suatu keadaan terdapat hal yang membahayakan kehidupan manusia atau
dikarenakan tumpahan minyak dan bahan beracun yang berbahaya. Dari pengertian yang ada, maka
dapat kita simpulkan bahwa Konvensi ini dengan cepat memberikan bantuan ataupun pertolongan
bagi korban pencemaran laut tersebut, pertolongan tersebut dengan cara penyediaan peralatan
bantuan agar upaya pemulihan dan evakuasi korban dapat ditanggulangi dengan segera.
Pencemaran laut oleh tumpahan minyak bukan merupakan hal yang baru bagi Negara-negara
Asia Tenggara khususnya di Indonesia, sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2009 pencemaran laut
dikarenakan tumpahan minyak berulang kali terjadi di Kepulauan Seribu, korbannya adalah para
masyarakat pesisir dan nelayan, dampak pencemaran laut oleh minyak sangatlah luas, laut yang
tercemar oleh minyak akan menyebabkan gangguan pada fungsi ekosistem di pesisir laut, kehidupan
aquatic pantai seperti terumbu karang, hutan mangrove dan ikan akan terganggu. Pada sisi ekonomi,
hasil tangkapan seperti udang dan ikan tentu akan beraroma minyak yang berdampak pada nilai jual
yang rendah dan mutu ataupun kualitas menurun. Dengan adanya gelombang, arus dan pergerakan
massa air pasang surut, residu minyak akan tersebar dengan cepat. Bila tidak ditangani dengan segera,
pencemaran limbah minyak ini akan membawa dampak kesehatan bagi masyarakat yang
Indonesia juga memiliki aturan mengenai pencemaran laut yang disebabkan oleh tumpahan
minyak dilaut tersebut. Bagi pelaku pencemaran laut oleh tumpahan minyak, dalam hal ini kapal-kapal
tanker wajib menanggulangi terjadinya keadaan darurat tumpahan minyak yang berasal dari kapalnya,
yang tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 Tentang Penanggulangan Keadaan
e. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 (Marine Pollution).
Marpol 73/78 adalah konvensi internasional untuk pencegahan pencemaran dari kapal,1973
sebagaimana diubah oleh protocol 1978. Marpol 73/78 dirancang dengan tujuan untuk meminimalkan
pencemaran laut , dan melestarikan lingkungan laut melalui penghapusan pencemaran lengkap oleh
minyak dan zat berbahaya lainya dan meminimalkan pembuangan zat-zat tersebut tanpa disengaja.
berminyak dan bahan kimia. Ini mencakup semua aspek teknis pencemaran dari kapal, kecuali
pembuangan limbah ke laut oleh dumping, dan berlaku untuk kapal-kapal dari semua jenis, meskipun
tidak berlaku untuk pencemaran yang timbul dari eksplorasi dan eksploitasi sumber daya mineral
laut.
2. Semua kapal berbendera di bawah Negara-negara yang menandatangani marpol tunduk pada
persyaratan , tanpa memperhatikan tempat mereka berlayar dan Negara anggota bertanggung jawab
domestic untuk melaksanakan konvensi dan berjanji untuk mematuhi konvensi, lampiran dan hukum
International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973 yang kemudian
disempurnakan dengan Protocol pada tahun 1978 dan konvensi ini dikenal dengan nama MARPOL
1973/1978. MARPOL 1973/1978 memuat 6 (enam) Annexes yang berisi regulasi-regulasi mengenai
Total hydrocarbons (oily waters, crude, bilge water, used oils, dll) yang diizinkan untuk dibuang ke
laut oleh sebuah kapal adalah tidak boleh melebihi 1/15000 dari total muatan kapal. Sebagai
tambahan, pembuangan limbah tidak boleh melebihi 60 liter setiap mil perjalanan kapal dan dihitung
setelah kapal berjarak lebih 50 mil dari tepi pantai terdekat. Register Kapal harus memuat daftar jenis
sampah yang dibawa/dihasilkan dan jumlah limbah minyak yang ada. Register Kapal harus dilaporkan
ke pejabat pelabuhan.
dan selanjutnya diolah ketika sampai di pelabuhan. Pelarangan pembuangan limbah dalam jarak 12 mil
c. Annex III : Prevention of pollution by harmful substances in packaged form ( 1 july 1992 )
Aturan tambahan ini tidak dilaksanakan oleh semua negar yaitu aturan standar pengemasan,
pelabelan, metode penyimpanan dan dokumentasi atas limbah berbahaya yang dihasilkan kapal
Aturan ini khusus untuk faecal waters dan aturan kontaminasi yang dapat diterima pada tingkatan
(batasan) tertentu. Cairan pembunuh kuman (disinfektan) dapat dibuang ke laut dengan jarak lebih
dari 4 mil laut dari pantai terdekat. Air buangan yang tidak diolah dapat dibuang ke laut dengan jarak
lebih 12 mil laut dari pantai terdekat dengan syarat kapal berlayar dengan kecepatan 4 knot.
Aturan ini tidak dapat efektif dilaksanakan karena tidak cukupnya negara yang meratifiskasi
(menandatangani persetujuan.)
yang mencemari laut. Tetapi, kemudian pada tahun 1984 dilakukan beberapa modifikasi yang
menitik-beratkan pencegahan hanya pada kagiatan operasi kapal tangki pada Annex I dan
yang terutama adalah keharusan kapal untuk dilengkapai dengan Oily Water Separating
Dalam dasawarsa terakhir ini gejala pencemaran lingkungan laut (the pollution of marine
environment) [11] kian hari menarik perhatian berbagai pihak, baik diwujudkan dalam bentuk
kerjasama Negara-negara yang berada dikawasan tertentu maupun penelitian yang dilakukan oleh
Negara itu sendiri. Sejalan dengan hal tersebut M. Daud Silalahi mengatakan pencemaran dapat
Bahkan, adanya benda asing di dalamnya yang menyebabkan unsur lingkungan tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya (reasonable function)[12] sedangkan Dalam konvensi hukum laut 1982
disebutkan bahwa :
Pencemaran lingkungan laut berarti dimasukkannya oleh manusia secara langsung atau tidak langsung
bahan atau energi ke dalam lingkungan laut termasuk kuala yang mengakibatkan atau mungkin
membawa akibat buruk sedemikian rupa seperti kerusakan pada kekayaan hati dan kehidupan di laut,
bahaya bagi kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk penangkapan ikan dan
penggunaan laut yang sah lainnya, penurunan kualitas kegunaan air laut dan mengurangi
kenyamanan[13]
Dari pengertian diatas dapat kita lihat bahwa pencemaran lingkungan laut itu disebabkan
beberapa faktor-faktor yang mengakibatkan menurunya kualitas air laut itu sendiri, terkait dengan
hal pencemaran minyak dikawan asia tenggara yang merupakan daerah yang sangat produktif terjadi
pencemaran yang sangat merugikan bagi kawasan asia tenggara yang setiap tahunnya 3 sampai 4 juta
ton minyak mencemari lingkungan laut, pencemaran tersebut bersifat lintas batas negara sehingga
bukan hanya Negara yang menjadi korban saja yang kena dampaknya tetapi semua Negara yang
pada latar belakang diatas, yaitu operasi kapal tanker, kecelakaan kapal tanker, scrapping kapal
(pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua), serta kebocoran minyak dan gas dilepas pantai.
Produk minyak dunia diperkirakan sebanyak 3 miliar ton/tahun dan setengahnya dikirimkan melalui
laut. Setelah kapal tanker memuat minyak kargo, kapal pun membawa air ballast (sistem kestabilan
kapal menggunakan mekanisme bongkar – muat air) yang biasanya ditempatkan dalam tangki slop.
Sampai dipelabuhan bongkar, setelah proses bongkar selesai sisa muatan minyak dalam tangki dan
juga air ballast yang kotor disalurkan ke dalam tangki slop. Tangki muatan yang telah kosong tadi
dibersihkan dengan water jet, proses pembersihan tangki ini ditujukan untuk menjaga agar tangki
diganti dengan air ballast baru untuk kebutuhan pada pelayaran selanjutnya.
Hasil buangan dimana bercampur antara air dan minyak ini pun di alirkan kedalam tangki slop.
Sehingga didalam tangki slop terdapat campuran minyak dan air. Sebelum kapal berlayar, bagian air
dalam tangki slop harus dikosongkan dengan memompakannya ke tangki penampung limbah di
terminal atau dipompakan kelaut dan diganti dengan air ballast yang baru. Tidak dapat disangkal
buangan air yang dipompakan ke laut masih mengandung minyak dan ini akan berakibat pada
Beberapa penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran dan
tabrakan. Beberapa kasus di perairan selat malaka adalah karna dangkalnya perairan dimana kapal
dalam muatan keadaan pernuh[15]. Tercatat beberapa kasus tumpahnya minyak akibat dari
kandasnya kapal misalnya kandasnya kapal showa Maru diselat malaka dan selat singapura pada
tahun 1975[16], diperkirakan 4.500 kilo liter minyak mentah sudah berceceran kelaut dan telah
meliputi laut sejauh 5 km dari tempat kejadian[17] yang membuka mata Negara-negara asia
c. Scrapping kapal
Proses scrapping kapal (pemotongan badan kapal untuk menjadi besi tua) ini banyak dilakukan oleh
di industri kapal di asia tenggara termasuk Indonesia sendiri. Akibat proses ini banyak kandungan
metal dan lainnya termasuk kandungan minyak yang terbuang kelaut diperkirakan sekitar 1.500
ton/tahun minyak yang terbuang ke laut akibat proses ini dapat merusakan lingkungan laut yang
Pada tanggal 21 Agustus 2009 telah terjadi kebocoran minyak bumi akibat terjadinya ledakan bawah
laut offshore rig yang dioperasikan oleh The Montara Well Head Platform di Blok West Atlas, 140 mil
laut utara Perairan Australia pada posisi 120 41’ Lintang Selatan (LS) dan 1240 32’ Bujur Timur (BT).
Kebocoran ini telah menumpahkan minyak mentah (crude oil) dan gas hidrokarbon lebih-kurang 64
ton per hari. Tumpahan minyak tersebut telah memasuki wilayah perairan laut Provinsi NTT sejauh
50 mil atau lebih-kurang 70 km arah tenggara Pulau Rote[18]. Hal ini jelas mencemari lingkungan laut
Kawasan asia tenggara terletak di antara benua Asia dan Australia, yang merupakan wilayah
yang sangat produktif akan sumber daya alamnya. Disamping itu perairan wilayah asia tenggara ini
merupakan daerah yang banyak dilalui oleh kapal-kapal pengankut minyak maupun kargo barang karna
wilayah asia tenggara merupakan jalur perdagangan sehingga tidak mengherankan banyak kapal tiap
tahunnya lewat perairan asia tenggara. Sehingga perairan asia tenggara sangat rentang akan
Banyaknya kasus pencemaran di perairan asia tenggara nanti membuming dan menggemparkan
dunia internasional termasuk Negara-negara dikawasan Asia Tenggara yang menjadi korban dari
pencemaran tersebut dimana pada waktu kasus tangki raksasa jepang “Showa Maru” yang berbendera
jepang berukuran 237.698 ton penuh dengan muatan minyak mentah dari daerah teluk Persia menuju
Bagi bangsa Indonesia yang merupakan bagian dari wilayah Asia tenggara kasus Showa Maru
merupakan tonggak sejarah terbangunannya perhatian dan keprihatinan masyarakat luas terhadap
keselamatan dan kelestarian lingkungan laut nusantara[19]. Masyakat hukum Indonesia sendiri
tergugah untuk segera bertindak nyata melahirkan peraturan perundang-undangan pencegahan
pencemaran laut khususnya di selat malaka dan singapura. Untuk itu pemerintah Indonesia
meratifikasi beberapa konvensi seperti, Cilvil Liability Convention 1969 dan pembentukan Dana
Internasional (International Fund) 1971, masing-masing dengan keppres No 18 dan 19, dan MARPOL
1973 dengan Keppres No 15 Tahun 1985 semuannya merupakan konvensi-konvensi IMCO dan UNCLOS
pencemaran laut diatas juga mengadakan kesepakatan dengan Negara-negara tetangga dalam ASEAN
Treaty 1985 dan persetujuan Tiga Negara di selat malaka dan selat singapura dikenal sebagai Tripartie
Agreement Tentang pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut di selat malaka antara
Indonesia, malaysi dan singapura sejak tahun 1971 dan terakhir pada tahun 1977 dengan diterimannya
kesepakatan ketiga Negara tentang Traffic Separation Scheme (TSS) di selat malaka oleh IMCO
Kasus-kasus pencemaran lingkungan laut yang penulis telah uraikan di Bab III diatas merupakan
masalah yang harus ditanggulangi bersama oleh Negara-negara yang tergabung dalam organisasi
ASEAN karna dampak yang di timbulkan bukan hanya dirasakan oleh Negara yang menjadi korban
pencemaran tersebut tetapi Negara-negara yang lautnya berbatasan dengan Negara tersebut ikut
terkena dampaknya seperti kasus kandasnya showa maru dimana bukan hanya Indonesia yang
merasakan dampak dari pencemaran tersebut tapi singapura dan Malaysia juga terkena dampak dari
pencemaran tersebut, inilah sifat dari dari ciri dari lingkungan hidup yang senantiasa terhubung
penanggulangan terhadap pencemaran lingkungan laut merupakan hal yang tidak mudah seperti
membalikan telapak tangan. Dibutuhkan kordinasi dari semua Negara-negara khusunya Negara-
negara yang berada dikawasan asia tenggara untuk bekerjasama secara regional menanggulangi
dampak dari pencemaran tersebut, seperti yang disebutkan dalam UNCLOS 1982 sebagai berikut :
Negara-negara harus bekerjasama atas dasar global dan dimana perlu, atas dasar regional secara
langsung atau melalui organisasi-organisasi internasional yang kompoten, dalam merumuskan dan
mejelaskan ketentuan-ketentuan, standar-standar dan praktek-praktek yang disarankan secara
internasional serta prosedur-prosedur yang konsisten dengan konvensi ini untuk tujuan perlindungan
dan pelestarian lingkungan laut, dengan memperhatikan cirri-ciri regional yang khas[22]
Dari ketentuan pasal diatas dapatlah kita lihat bahwa hukum lingkungan dalam hal ini hukum
lingkungan laut baik ditingkat global maupun ditingkat regional. Ditinjau dari kerjasama Negara-
negara Asia Tenggara di tinggkat regional dimana kerjasama tersebut dimulai di tahun 1977 ketika
naskah ASEAN disiapkan mengenai program lingkungan sub-regional (ASEP ) yang dibantu oleh UNEP
prioritas dari program kerjasama dibidang lingkungan mencakup 6 (enam) sub pembahasan yaitu:
1. Pengelolaan Lingkungan termasuk Analisis Dampak Lingkungan (Environmental Impact
Assessment)
4. Lingkungan laut
Terkait dengan kerjasama Negara-negara Asia Tenggara dibidang lingkungan laut dilaksanakan
Apa yang penulis paparkan diatas merupakan gambaran dari pada usaha-usaha Negara-negara asia
tenggara untuk menanggulangi masalah pencemaran lingkungan laut yang sifatnya lintas batas
Negara. Disamping itu pula kerjasama bilateral maupun multilateral sangat diperlukan seperti
kerjasam tripartite antara Negara Indonesia, singapura dan Malaysia dalam penanggulangan
pencemaran laut di selat malaka. Secara umum terdapat tiga faktor yang dijadikan landasan sebagai
untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu aspek legalitas, aspek kelengkapan dan
aspek kordinasi
a. Aspek Legalitas
Kalau kira lihat dari aspek nasional Benny Hartono dengan mengutip pendapatnya Husseyn Umar
mengatakan suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan formil
sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan atau
No 32 tahun 2009 Tentangan Pengelolaan lingkungan hidup mengatur jelas aspek-aspek pengelolaan
dan sanksi bagi pelaku polusi dilaut, namun fakta dilapangan terkadang aparat yang berwenang justru
bermain kotor dengan pelaku pencemaran disamping itu sulitnya untuk mencari bukti-bukti untuk
meyeret mereka kepengadilan. Dari aspek internasional pada tahun 1945 Badan Maritim Internasional
(IMO) menghasilkan konvensi internasional mengenai pencegahan pencemaran di laut oleh minyak
kemudian kenvensi ini diperbaharui 1973 merupakan awal untuk mengatasi dampak pencemaran laut,
menjadi tugas bagi negara-negara yang tergabung dalam IMO untuk menegakan peraturan-peraturan
tersebut.
b. Aspek Perlengkapan
Kita ketahui bahwa penanggulangan terhadap pencemaran minyak sangat sulit untuk dilakukan
misalnya tumpahan minyak showa maru dimana lebih dari 30 kapal militer dan sipil ambil bagian dalam
usaha menyelamatkan pantai sebelah barat Singapore disamping itu usaha untuk penyelamatan laut
dari pencemaran minyak memerlukan biaya yang banyak. Untuk itu diperlukan bioremediation seperti
menyemprotkan nitrat dan phosphere ketumpahan minyak untuk mempercepat kerja bakteri pengurai
minyak. Dalam aspek ini yang paling utama adalah pentingnya penguasaan prosedur dan teknik-teknik
penanggulangan tumpahan minyak oleh petugas pelaksaan lapangan harus dimiliki oleh Negara-negara
c. Aspek Kordinasi
Dalam hal penanggulangan polusi tumpahan minyak dilaut, aspek kordinasi memegang peranan
penting mengingat bahwa pencemaran laut ini merupakan pencemaran yang bersifat lintas batas
Negara sehingga perlu adanya kerjasama antara Negara-negara khususnya Negara-negara tetangga
yang pantainya saling berdekatan harus saling bahu-membahu untuk menanggulangi pencemaran
lingkungan tersebut. Dengan demikian maka bisa teratasi pencemaran laut sampai tuntas
menjadi kewajiban semua Negara tidak hanya Negara Asia Tenggara tetapi seluruh Negara-
negara didunia untuk menegakkan aturan-aturannya agar bisa meminimalisir dan mencegah terjadinya
pencemaran lingkungan yang lebih parah karna penyumbang terbesar protein hewani berasal dari laut,
untuk menegakkan pencemaran lingkungan tersebut haruslah memenuhi tidak aspek yang penulis
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Perlindungan pencemaran lingkungan laut merupakan suatu permasalahan yang bersifat lintas
batas Negara sehingga diperlukan kerjasama diantara Negara-negara dalam hal ini Negara-negara
dikawasan asia tenggara sebagaimana yang diamanatkan oleh hukum lingkungan internasional yang
terdapat dalam konvensi hukum laut 1982. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah tiga
faktor yang dijadikan sebagai landasan untuk penanggulangan pencemaran lingkungan laut, yaitu
aspek legalitas, aspek kelengkapan dan aspek kordinasi yang telah penulis paparkan di bab IV diatas
pencemaran lingkungan laut kepada negar-negara yang dianggap akan terkena dampak dari
pencemaran tersebut sehingga antisipasi sedini mungkin bisa dilakukan agar pencemaran tersebut
tidak meluas
Senin, 20 Juni 2016
Dalam kasus lain, ada pula gugatan KLHK yang ditolak oleh majelis hakim dalam kasus yang sama. Bahkan, pemerintah
terkadang menjadi pihak tergugat dalam kasus kebakaran lahan. Untuk lebih jelasnya, berikut beberapa putusan
pengadilan terkait kebakaran hutan yang dirangkum hukumonline:
Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani,
mengatakan KLHK meyakini bahwa luas lahan yang terbakar adalah 1.000 hektar sementara majelis hakim berpendapat
luas yang terbakar 120 hektar. “Untuk itu majelis hakim menjatuhkan ganti rugi Rp7.196.188.475 dan biaya pemulihan
Rp22.277.130.852. Ganti rugi dan biaya pemulihan ini lebih kecil dari yang digugat oleh KLHK yaitu sebesar Rp
491.025.500.000,” katanya.
Berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan, kata Ridho, KLHK akan terus melakukan langkah-langkah penegakan
hukum, baik melalui penerapan sanksi administratif, pidana maupun melalui gugatan perdata. “Langkah-langkah
penegakan hukum ini perlu dilakukan agar teruwujudnya efek jera bagi pelaku,” ujar Ridho.
Parlas membacakan hal-hal yang menjadi pertimbangan sebelum memutus. Di antaranya, adanya ketersediaan peralatan
pengendalian kebakaran, lahan yang terbakar masih dapat ditanami lagi, pekerjaan penanaman diserahkan ke pihak
ketiga, adanya pelaporan secara reguler dan diketahui tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas Kehutanan Ogan
Komering Ilir (OKI).
Atas dasar itu, majelis menyatakan tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian. Dari hasil laboratorium
diketahui tidak ada indikasi tanaman rusak karena setelah terbakar, tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik.
Kemudian, pihak penggugat juga tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan
kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati,sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan
hukumnya.
Selain itu, majelis juga menilai justru PT BMH yang mengalami kerugian sehingga menolak gugatan perdata KLHK
senilai Rp7,8 trilun.Parlas mengatakan, berdasarkan fakta, keterangan saksi dan ahli diketahui bahwa pihak penggugat
(KLHK) tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi
sesuai peraturan UU. "Atas pertimbangan itu, majelis hakim menolak gugatan dan membebankan biaya perkara ke pihak
penggugat (KLHK)," kata Parlas.
Gugatan ini dilayangkan negara atas terbakarnya lahan hutan tanaman industri pohon akasia seluas 20 ribu hektare milik
PT BMH pada 2014 di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten OKI.
Pembakaran itu dilakukan dalam rangka meningkatkan kadar keasaman tanah agar cocok ditanami kelapa sawit. Mereka
disinyalir sengaja melakukan pembakaran itu dengan cara membuat kanal-kanal yang berfungsi sebagai pembatas petak
lahan perkebunan sekaligus untuk melokalisir kebakaran agar api tetap berada di jalur penanaman yang telah
direncanakan. Kerugian ekologis dan ekonomis yang terjadi akibat peristiwa itu ditaksir lebih dari Rp87 miliar.
Selain itu, ternyata perusahaan tersebut diketahui tidak memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL), Izin
Usaha Perkebunan (IUP), sarana dan prasarana serta sumber daya manusia maupun prosedur dalam penanggulangan
kebakaran hutan. Padahal, di tahun 2007 PT MAL telah mendapat teguran mengenai hal itu dari Badan Pengendali
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Riau setelah terjadi kebakaran di lahan perkebunan mereka.
Suheri dan Fachrudin pun dituntut hukuman satu tahun penjara dan denda RP100 juta. Pada tanggal 11 September 2012,
Pengadilan Negeri Pelalawan melalui putusan nomor: 08/PID.B/2012/PN.PLW, menyatakan keduanya terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana ”Karena Lalainya Melakukan Perbuatan yang Mengakibatkan
Kerusakan Lingkungan Hidup”. Keduanya pun dihukum membayar denda masing-masing Rp133 juta. Atas putusan
tersebut, tiga hari kemudian Penuntut Umum mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Pekanbaru. Kemudian pada 31
Januari 2013, PT Pekanbaru menghukum keda terdakwa penjara enam bulan dengan masa percobaan satu tahun dan
denda masing-masing Rp100 juta.
Menurut Menteri, untuk membuka satu hektar lahan secara normal dibutuhkan sekitar Rp40 juta,namun perusahaan
melaporkan biaya pembukaan seratus hektar lahan hanya sekitar Rp8 juta. Akibat perbuatannya, perusahaan dinilai telah
menurunkan kualitas lingkungan hidup dengan menghilangkan fungsi tanah gambut dan merusak keanekaragaman
hayati. Perusahaan pun digugat untuk tidak menanami kelapa sawit di atas lahan seluas seribu hektar yang telah terbakar.
Sebaliknya, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan atas lahan itu sekitar Rp250 miliar. Selain itu,
perusahaan diminta membayar ganti rugi sebesar lebih dari Rp114 miliar.
Pada tanggal 8 Januari 2014, majelis hakim pada Pengadilan Negeri Meulaboh yang terdiri dari Rahmawati, Rahma
Novatiana, dan Juanda Wiajaya mengabulkan sebagian gugatan Menteri Lingkungan Hidup. Perusahaan dinyatakan telah
melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar ganti rugi materiil secara tunai melalui rekening kas negara
sekitar Rp114 juta. Perusahaan juga tidak boleh menanami lahan gambut seluas seribu hektar yang izinnya telah dimiliki
itu. Ditambah pula, perusahaan harus membayar biaya pemulihan lingkungan sesuai permintaan penggugat. Jika
perusahaan terlambat melaksanakan putusan nomor: 12/ PDT.G/ 2012/ PN.MBO tersebut, dikenakan uang paksa Rp5
juta per hari.
Walhi menggugat pemerintah atas maraknya kebakaran hutan yang besar dan terus menerus sejak tahun 1980-an di
Indonesia. Pemerintah dinilai tidak mampu dan tidak berhasil mengatasi, menegakkan hukum dan melakukan
penanggulangan dini peristiwa itu. Dengan demikian, pemerintah dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum
yang mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil. WALHI pun mengajukan beberapa tuntutan, antara lain membuat
peta kerawanan kebakaran hutan nasional. Kedua, mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan. Ketiga,
menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat. Keempat, menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan.
Kelima, membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran.
Keenam, menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran. Pemerintah juga dituntut melaksanakan pembinaan dan
pengawasan. Khusus untuk Kementerian Lingkungan Hidup, dituntut melakukan audit lingkungan terhadap semua izin
Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri di Propinsi Riau dan Propinsi Jambi. Selain itu, semua tergugat diminta
menyampaikan permohonan maaf secara tertulis kepada seluruh rakyat Indonesia melalui media masa.
Namun, pada 25 November 2014 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan gugatan WALHI tidak dapat diterima.
Majelis hakim yang diketuai Nani Indrawati menerima eksepsi para tergugat. Dengan demikian, menurut majelis hakim,
gugatan yang diajukan oleh WALHI kurang subjek dan kabur (obscuur). Akibatnya, pokok perkara gugatan tidak perlu
dipertimbangkan dan harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Contoh Kasus dan Penyelesaian
KASUS LIMBAH TAHU ( PN SIDOARJO, 1998)
Perkara ini diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai delik lingkungan yaitu
pencemaran air Kali Surabaya akibat limbah tahu dan limbah kotoran babi oleh terdakwa
Bambang Goenawan, direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo serta diputus PN Sidoarjo
Tanggal 6 Mei 1989 Nomor : 122/Pid/1989/PN.Sda
Duduk perkaranya menurut surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum tertanggal 6
November 1988, primer dan subsidair sebagai berikut: terdakwa Bambang Goenawan alias Oei
Ling Gwat, lahir di Surabaya, umur 48 tahun, jenis kelamin laki – laki, kebangsaan Indonesia,
keturunan China, tempat tinggal JL. Ngagel No. 125 – 127 Surabaya, agama Katolik, pekerjaan
Direktur PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo dihadapkan ke pengadilan negeri Sidoarjo
dengan dakwaan bahwa antara bulan Maret 1986 - Juli 1988, di perusahaan PT. Sidomakmur
dan PT. Sidomulyo yang terletak di desa Sidomulyo. kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo,
telah terjadi perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya
lingkungan hidup dengan cara terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur yang
memproduksi tahu, membuang air limbah ke Kali Surabaya yang mengandung BOD 3095,4
mg/I dan mengandung COD 12293 mg/I dan juga sebagai pengusaha PT. Sidomulyo yang
berupa peternakan babi membuang limbah kotoran babi ke Kali Surabaya yang mengandung
BOD 426,3 mg/I dan mengandung COD 1802,9 sebagaimana hasil dari pemeriksaan air limbah
yang dilakukan oleh badai teknik kesehatan Lingkungan tanggal 20 Juli 1988 No. 261/ Pem/
BTKL.Pa/VII/1988. Kandungan limbah tersebut melebihi ambang batas yang ditetapkan SK
Gubernur Jawa Timur No 43 Tahum 1987, yaitu maksimum BOD 30 mg/I dan COD 80 mg/I.
Terdakwa sebagai pengusaha PT. Sidomakmur dan PT. Sidomulyo telah membuat
instansi (septictank) yang tidak memenuhi daya tampung limbah kedua perusahaan tersebut,
sehingga kotoran atau limbah meluber keluar dan mengalir ke Kali Surabaya. Pembuangan air
limbah tersebut menyebabkan menurunnya kualitas air Kali Surabaya dan menyebabkan air
kekurangan oksigen yang mengakibatkan matinya kehidupan dalam air serta sangat sukar untuk
diolah menjadi air bersih untuk bahan baku PDAM.
Jadi terdakwa Bambang Goenawan didakwa telah melanggar pasal 22 ayat 1 dan 2
Undang – Undang No. 4 Tahun 1982.
Pada tanggal 23 Februari 1989, tuntutan pidana dibacakan, pada pokoknya berbunyi :
Menyatakan terdakwa Bambang Goenawan bersalah karena kelalaiannya melakukan
perbuatan menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup – pasal 22 ayat 2 UU No. 4 Tahun
1982 (dakwaan subsidair).
Menjatuhkan pidana terhadap Bambang Goenawan selama 6 (enam) bulan dalam masa
percobaan 1 (satu) tahun dan denda Rp 1.000.0000,00 subsidair 2 (dua) bulan
kurungan. Menetapkan agar terdakwa membayar biaya sebesar Rp 2.500,00 .
Pledoi penasihat hukum dibacakan pada tanggal 11 Maret 1989 dengan kesimpulan :
1. Menolak dakwaan dan tuntutan penuntut umum yang menyatakan bahwa terdakwa bersalah
melakukan perbuatan kelalaian sebagaimana dimaksud pada tuntutannya (23 Februari 1989).
2. Menyatakan batal demi hukum dakwaan sehingga melanggar pasal 143 (3) KUHAP atau
menyatakan dakwaan jaksa kurang cukup bukti dan tidak beralasan, menurut hukum harus
ditolak.
3. Menyatakan dakwaan Bambang Goenawan tidak bersalah melakukan perbuatan pidana
sebagaimana yang didakwakan dan karena itu membebaskannya dari segala tuduhan hukum
atau melepaskan dari segala tuduhan hukum atau melepaskan dari segala tuntutan hukum (vide
pasal 191 KUHP).
4. Menyatakan untuk merehabilitasi nama baik terdakwa di mata umum (vide pasal 97
KUHP).
5. Membebankan biaya perkara ini pada Negara.
Dalam pemeriksaan terhadap Rochim Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sidoarjo, diperoleh
keterangan bahwa diketemukan adanya sejumlah ikan yang mengambang di permukaan air Kali
Surabaya, tetapi tidak dapat dipastikan apakah ikan yang mengambang di permukaan air Kali
Surabaya itu sebagai akibat dari tercemarnya Kali Surabaya yang disebabkan oleh limbah tahu
industri yang dibuang terdakwa ke kali tersebut. Selain banyak faktor yang menyebabkan ikan
bisa mati lemas, juga mengingat banyaknya perusahaan lain yang menbuang limbah ke Kali
Surabaya.
Saksi Soekarsono Dirja Sukarta, B.A. Pejabat PDAM Pejabat PDAM Surabaya
menyatakan bahwa pernah kadar kimia air Kali Surabaya yang diolah menjadi air minum
sangat tinggi, sehingga PDAM harus mengeluarkan biaya tinggi untuk menormalkan kembali
kadar air tersebut, namun tidak dapat dipastikan kalau kejadian itu disebabkan oleh limbah tahu
yang dibuang terdakwa ke Kali Surabaya. Yang pasti, kejadian itu akibat dari tercemarnya Kali
Surabaya, tetapi siapa sesungguhnya yang mencemarkan, saksi tidak dapat menentukan , karena
pada kenyataannya banyak perusahaan yang membuang air limbah pabriknyaa ke Kali
Surabaya.
Majelis Hakim dalam melakukan pemeriksaan perkara telah mengadakan pemeriksaan
di lokasi perusahaan dengan konfirmasi keterangan terdakwa sendiri dengan hasil sebagai
berikut:
1. Di lokasi, yang dibuang itu adalah bekas air rendaman kedelai bercampur kulit kedelai yang
mengalir melalui saluran-saluran kecil di dalam pabrik menuju septic tank.
2. Tidak ada air yang dibuang setelah kedelai dimasak, karena yang ditinggal hanya sari air
kedelai - diendapkan menjadi tahu. Ampasnya di tampung pada tempat penampungan untuk di
konsumsi oleh ternak.
3. Air cucian atau rendaman diendapkan di beberapa septic tank dialirkan ke selokan menuju
danau kecil di lokasi perusahaan.
4. Dalam pembuatan tahu tidak menggunakan cuka.
5. Di sekitar pekarangan pabrik ada beberapa kelompok septic tank yang masing-masing
berukuran panjang 4 m, lebar 3 m, dalam 3 m, yang dahulu digunakan sebagai bak
penampungan atau pengendapan, penyaringan dan pembuangan air ke kali. Sekarang tidak
digunakan lagi karena limbah setelah diendapkan pada kelompok bak penampungan pertama
langsung mengalir ke danau-danau kecil pada lahan di lokasi perusahaan.
6. Pada kandang babi terdapat 10 petak kandang.
7. Limbah cucian ternak dan kotoran babi dari dalam kandang mengalir ke kiri kanan melalui
parit-parit bersemen ke selokan besar lebar 2 m, dalam 1 m, panjang 500 m.
8. Terdapat septic tank limbah ternak babi yang tidak terpakai lagi dan ditutup atas perintah
Sekwilda Tingkat 2 Sidoarjo.
9. Sekarang tidak ada lagi pembuangan limbah dalam keadaan bagaimanapun ke Kali
Surabaya karena semua saluran pembuangan ditutup dengan beton semen.
10. Kedua perusahaan tersebut mempunyai ijin dan mempunyai syarat serta ditinjau Sekwilda
Kabupaten Sukoarjo.
11. Air limbah telah dibuatkan bak pengendapan dan tidak benar sampai meluber ke Kali
Surabaya, terkecuali hujan turun lebat, mau tidak mau terjadi perembesan dan masuk ke kali
Surabaya bersama – sama dengan air hujan
12. Air yang dipergunakan memproses tahu diambil dari Kali Surabaya berdasarkan surat ijin
dari gubernur Jawa Timur yang sudah ada dan telah dimiliki oleh terdakwa.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pencemaran air yaitu masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan atau komponen lain kedalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai
ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.
Kualitas air sangatlah berpengaruh terhadap kesehatan bagi makhluk hidup.
Efek dari pencemaran air antara lain pengaruhnya terhadap lingkungan hidup, pengaruhnya
pada kesehatan bagi manusia, dan pengaruhnya pada industri pertanian.
Indikator adanya pencemaran air dapat dilihat dari :
a. Nilai pH, keasaman dan alkalinitas;
b. Suhu;
c. Warna, bau dan rasa;
d. Jumlah padatan;
e. Nilai BOD/COD;
f. Pencemaran mikroorganisme patogen;
g. Kandungan minyak;
h. Kandungan logam berat;
i. Kandungan bahan radioaktif.
Penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan dapat diselesaikan di dalam maupun di
luar pengadilan. Apabila sengketa hukum lingkungan ini diselesaikan di dalam pengadilan
maka dapat digunakan tiga instrumen hukum, yaitu instrumen hukum administrasi, instrumen
hukum perdata, maupun instrumen hukum pidana.
3.2 Saran
Pemerintah seharusnya lebih menaruh perhatian lagi dalam upaya pengelolaan maupun
pelestarian lingkungan hidup. Tidak hanya sekedar dalam pembuatan regulasi atau peraturan
perundang-undangan saja tetapi juga pada pengawasan penegakannya, terutama pada proses
penegakan di dalam pengadilan. Jangan sampai terjadi majelis hakim di suatu peradilan dapat
lalai dalam memutus suatu perkara karena perbedaan penafsiran hukum atau peraturan
perundang-undangan. Mungkin perlu ditunjuk majelis hakim yang tidak hanya berkompeten di
bidang hukum tetapi juga memiliki kepedulian terhadap lingkungan yang tinggi.