Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rifa Fauzia Yusuf

NPM : 12100118127
Kelompok : 17
Tugas : Uveitis

UVEITIS

1. Definisi

Uveitis didefinisikan sebagai inflamasi yang terjadi pada uvea. Meskipun


demikian, sekarang istilah uveitis digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk
inflamasi intraokular yang tidak hanya pada uvea tetapi juga struktur yang ada di dekatnya,
baik karena proses infeksi, trauma, neoplasma, maupun autoimun. Uvea, berasal dari bahasa
Latin “Uva” yang berarti anggur, terdiri dari beberapa kompartemen mata yang berperan
besar dalam vaskularisasi bola mata, yaitu iris, badan silier, dan koroid. Uveitis merupakan
suatu penyakit yang mudah mengalami kekambuhan, bersifat merusak, menyerang pada
usia produktif, dan kebanyakan berakhir dengan kebutaan.

2. Klasifikasi

Berdasarkan anatomis, uveitis dibagi menjadi:

 Uveitis anterior disebut juga iritis jika inflamasi mengenai bagian iris dan
iridosiklitis jika inflamasi mengenai iris dan bagian anterior badan silier.
 Uveitis intermedia jika peradangan mengenai bagian posterior badan silier dan
bagian perifer retina.
 Uveitis posterior jika peradangan mengenai uvea di belakang vitreous base.
 Panuveitis merupakan uveitis anterior, intermedia dan posterior yang terjadi secara
bersamaan.

Berdasarkan klinis, uveitis dibedakan menjadi:

 Uveitis akut terjadi apabila awitan gejala timbul tiba-tiba dan berlangsung 6 minggu
atau kurang.
 Uveitis kronik adalah apabila perjalanan penyakit terjadi dalam hitungan bulan atau
tahun.

3. Manifestasi klinis

a) Uveitis anterior

Gejala uveitis anterior dapat berupa fotofobia, nyeri, mata merah, penurunan
tajam penglihatan, dan lakrimasi. Tanda- tandanya dapat berupa injeksi perikorneal,
presipitat keratik, nodul iris, sel-sel aquous, flare, sinekia posterior, dan sel-sel vitreus
anterior.

b) Uveitis intermedia

Gejala dapat berupa floaters (benda apung). Penurunan tajam penglihatan


disebabkan oleh edema makular kistik kronik. Tandanya terdapat inflitrasi sel ke
vitreous (vitritis) dengan sedikit sel pada ruang anterior dan tidak ada lesi inflamasi
fokal pada fundus.

c) Uveitis posterior

Gejala berupa floaters dan penurunan tajam penglihatan. Pada pasien dengan
lesi di perifer akan mengeluh pandangannya sedikit kabur. Pada koroiditis aktif dengan
keterlibatan fovea atau makula penglihatan sentral bisa hilang. Tanda-tanda kondisi ini
antara lain sebagai berikut. (i) Perubahan vitreus, meliputi sel, flare, opasitas, dan yang
tersering adalah lepasnya bagian posterior vitreus. (ii) Koroiditis, ditandai dengan
bercak kuning atau keabu-abuan dengan garis demarkasi yang jelas. (iii) Retinitis,
menyebabkan gambaran retina menjadi putih berawan.

4. Terapi

Terapi pada uveitis bertujuan untuk mencegah komplikasi lanjut yang


membahayakan penglihatan pasien. Selain itu tujuannya adalah mengurangi rasa tidak
nyaman yang dialami pasien, dan jika memungkinkan, untuk mengobati kasus yang
melatarbelakanginya. Terapi uveitis dapat dibagi menjadi 4 kelompok: (i) midriatikum, (ii)
steroid, (iii) obat-obatan sitotoksik, dan (iv) siklosporin (immunosupresan). Pada pasien
yang menderita uveitis akibat infeksi, harus diberi terapi antimikrobial atau antivirus yang
sesuai.

Indikasi pemberian midriatikum adalah untuk memberikan rasa nyaman dengan


mengurangi spasme m. ciliaris dan m. sphincter pupillae yang terjadi pada uveitis anterior
akut. Dapat dilakukan dengan pemberian atropin. Biasanya atropin tidak digunakan lebih
dari 1 – 2 minggu. Jika inflamasi sudah mulai reda dapat diganti dengan midriatikum yang
bekerja singkat, seperti tropikamid atau siklopentolat. Midriatikum juga penting untuk
mencegah terjadinya sinekia posterior, dengan menggunakan midratikum kerja singkat yang
akan menjaga pupil tetap mobil. Selain itu midriatikum bermanfaat untuk melepaskan
sinekia yang telah terjadi, jika memungkinkan. Dengan menggunakan midriatikum topikal
(atropin, fenilefrin) atau injeksi subkonjungtiva midrikain (adrenalin, atropin, dan prokain).

Steroid topikal diberikan hanya untuk uveitis anterior, karena dengan cara ini obat
tidak dapat mencapai konsentrasi yang cukup untuk jaringan di belakang lensa. Steroid yang
dipakai adalah yang kuat, seperti deksametason, betametason, dan prednisolon. Komplikasi
yang timbul akibat pemberian steroid secara topikal berupa glaukoma, katarak subkapsular
posterior, komplikasi pada kornea, dan efek sistemik lain. Steroid bisa juga diberikan
dengan cara injeksi periokular. Dengan cara ini konjungtiva harus dianestesi terlebih dahulu.
Cara ini ada 2 macam, yaitu: (i) injeksi anterior sub- Tenon, yang digunakan untuk uveitis
anterior yang parah atau yang resisten; dan (ii) injeksi posterior sub-Tenon, yang digunakan
untuk uveitis intermedia atau sebagai alternatif dari terapi sistemik pada uveitis posterior.

Terapi sistemik untuk uveítis dilakukan dengan pemberian prednison 5 mg atau


tablet salut enterik (2,5 mg) untuk pasien dengan ulkus gastrik. Selain itu bisa juga dengan
injeksi hormon adrenokortikotropik (ACTH) untuk untuk pasien yang intoleran terhadap
terapi oral.

Pada uveitis posterior seperti penyakit Behçet, sering digunakan klorambusil,


meskipun azatriopin dan siklosporin juga bisa. Oftalmia simpatika merupakan indikasi
relatif penggunaaan obat-obatan sitotoksik karena pada umumnya dapat dikontrol dengan
terapi steroid yang adekuat. Agen sitotoksik yang digunakan klorambusil dan siklofosfamid.
Pada uveitis intermedia digunakan azatioprin, klorambusil, dan siklofosfamid. Untuk uveitis
yang resisten terhadap steroid atau obat-obatan sitotoksik, siklosporin bisa menjadi pilihan.
Komplikasi utamanya adalah hipertensi dan nefrotoksisitas.

5. Komplikasi

Komplikasi uveitis dapat berupa sinekia posterior (30%), katarak (20%),


glaukoma karena sinekia perifer anterior (15%), dan keratopati pita atau band keratopathy
(10%).

Anda mungkin juga menyukai