Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Netralitas atau neutrality (kenetralan) berasal dari kata neutral yang berarti murni
(Echols dan Shadily, 1989). Murni dalam hal ini disamakan dengan tidak memihak.
Dalam konteks manajemen PNS, UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian kata
’netralitas’ dijumpai pada Pasal 3 dan berikut kutipannya selengkapnya :
1. Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur Aparatur Negara yang bertugas untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata
dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
2. Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri
harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
3. Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2),
Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.
PENGERTIAN NETRAL
a. Sikap tidak memihak dan tidak berpihak terhadap salah satu kelompok/ golongan.
b. Tidak diskriminatif.
c. Steril dari kepentingan kelompok.
d. Tidak terpengaruh dari kepentingan partai politik.
PNS DILARANG :
1. Memberikan dukungan kepada Calon Presiden/ Wakil Presiden dengan cara :
Ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
Menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai/ PNS;
Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS di lingkungan kerjanya;
Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
Membuat keputusan dan/ atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu calon pasangan selama masa kampanye;
Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap calon pasangan
yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, sesudah masa kampanye meliputi
pertemuan, ajakan, himbauan, seruan dan pemberian barang kepada PNS dalam
lingkungan kerjanya, anggota keluarga dan masyarakat;
2. Memberikan dukungan kepada calon Kepala daerah/ Wakil Kepala Daerah, dg cara :
Terlibat dalamkegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala
daerah;
Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
Membuat keputusan dan/ atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon selama masa kampanye;
Menjadi anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS),
dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dalam kegiatan Pemilu tanpa
izin dari atasan langsung;
3. Memberikan dukungan kepada calon anggota DPR/ DPD/ DPRD dengan cara :
Sebagai pelaksana kampanye;
Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
Sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS di lingkungan kerjanya;
Sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
Memberikan surat dukungan disertai photo copy KTP atau Surat Keterangan Tanda
Penduduk sesuai praturan UU.
SANKSI
1. Pelanggaran sebagaimana ketentuan di atas diketegorikan sebagai pelanggaran disiplin
PNS menurut PP 30 Tahun 1980;
2. Terhadap pelanggaran tersebut, PNS dapat dijatuhi hukuman disiplin dari tingkat paling
ringan sampai berat tergantung latar belakang, pelanggaran dan jml kerugian negara
serta dampak sosial yang ditimbulkan;
3. Hukuman disiplin tingkat berat berupa penurunan pangkat setingkat lebih rendah untuk
paling lama 1 (satu) tahun bagi :
4. PNS yang melibatkan PNS lainnya untuk memberikan dukungan dalam kampanye;
5. PNS yang duduk sebagai panitia Pengawasan Pemilihan tanpa ijin dari Pejabat Pembina
Kepegawaian;
6. Hukuman disiplin tingkat berat Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan
sendiri sebagai PNS bagi :
7. PNS yang terlibat dalam kegiatan kampanye dengan menggunakan atribut partai/
seragam dinas untuk mendukung salah satu partai/ calon peserta pemilu;
8. PNS yang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya dalam kegiatan
kampanye;
9. PNS yang menjadi anggota PPK, PPS, KPPS tanpa ijin dari Pejabat Pembina Kepegawaian
atau Atasan Langsung;
10. Hukuman disiplin Tingkat Berat Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS bagi :
11. PNS yang menggunakan Anggaran Pemerintah /Pemerintah Daerah dalam proses
pemilihan Anggota Legeslatif, Presiden/ Wakil Presiden dan Kepala/Wakil Kepala
Daerah;
12. PNS yang menggunakan fasilitas terkait dengan jabatannya dalam proses pemilihan
Anggota Legeslatif, Presiden/ Wakil Presiden dan Kepala daerah/ Wakil Kepala Daerah;
13. PNS yang membuat keputusan dan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan
salah satu pasangan calon atau partai selama masa kampanye.
Penghasilan
1. PNS yang diberhentikan dari jabatan negeri menerima penghasilan berupa gaji pokok,
tunjangan keluarga dan tunjangan pangan;
2. Dibayarkan mulai bulan berikutnya sejak diberhentikan dari jabatan negeri;
3. Penghasilan tsb, dihentikan bila :
4. Mencapai usia 56 tahun saat proses pemilihan;
5. Dilantik menjadi Kepala/ Wakil Kepala Daerah;
6. PNS yang terpilih dilantik menjadi Kepala/ Wakil Kepala Daerah dan berlaku ketentuan
ttg PNS yang diangkat menjadi Pejabat Negara;
7. PNS yang tidak terpilih, dipekerjakan pada instansi semula;
8. PNS tsb dipekerjakan kembali setelah mengajukan permohonan untuk bekerja kembali
kepada PPK;
9. Pengajuan tsb, selambat-lambatnya 21 hari sejak dinyatakan tidak terpilih berdasar hasil
Pilkada yang ditetapkan oleh KPU;
10. Bila dalam waktu 21 hari tidak mengajukan permohonan untuk dipekerjakan kembali
tanpa alasan yang sah, PNS tersebut dipekerjakan kembali dan dijatuhi hukuman disiplin
berdasar perundangan yang berlaku;
11. Masa selama diberhentikan dari jabatan negeri tidak dihitung sebagai masa kenaikan
pangkat PNS;
12. Selama diberhentikan dari jabatan negeri PNS tsb tidak bisa diberikan kenaikan pangkat.
[JAKARTA] Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Yuddy
Chrisnandi menegaskan siap menindaklanjuti laporan resmi terverifikasi dari Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) maupun Kementerian Dalam Negeri terkait pelanggaran pilkada oleh aparatur sipil negara
(ASN).
Menurut Yuddy di kantornya, Jakarta, Selasa (15/12), pihaknya akan menindak tegas aparatur sipil
negara (ASN) yang melanggar peraturan netralitas dalam pelaksanaan pilkada serentak 2015 tersebut.
ASN sebagai aparatur negara, saat ini harus netral dan dilarang terlibat dalam dalam penyelenggaraan
kegiatan pemilihan kepala daerah dan kegiatan kampanye, baik secara aktif maupun tidak aktif, langsung
ataupun tidak langsung. Meski demikian, ASN memiliki hak untuk memilih.
Hal itu diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Yuddy mengatakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo telah mengatakan kepada dirinya secara lisan
terdapat 25 ASN yang diduga melanggar aturan tersebut.
Untuk itu, pihaknya juga telah meminta laporan resmi tertulis yang telah diverifikasi sehingga dapat
segera ditindaklanjuti.
Menteri Yuddy juga telah meminta secara resmi kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) guna
melaporkan secara tertulis (resmi) pelanggaran yang telah dilakukan para aparatur sipil negara yang
telah diverifikasi kebenarannya.
Dengan demikian, maka menurut dia, laporan tersebut nantinya langsung dapat menjadi bukti pemulaan
untuk memberikan sanksi tegas.
Yuddy menyatakan, tidak ada sanksi ringan yang akan diberikan kepada para pelanggar aturan. "Seperti
saya katakan, sanksinya langsung sedang dan berat," tukasnya.
Ia mengatakan, sanksi tegas tersebut dibutuhkan agar ASN tetap netral dan berwibawa serta kredibilitas
di mata masyarakat tidak jatuh.
"Jangan sampai gara-gara 35 orang, merusak jutaan PNS karenanya. Jangan gara-gara nila setitik rusak
susu sebelanga dan jangan dikira akan dipetieskan," ucapnya.
Menurut dia, pemberian sanksi tegas kepada ASN yang melanggar merupakan upaya mewujudkan
revolusi mental di kalangan ASN. [Ant/L-8]
Mendagri: 25 PNS terbukti lakukan
pelanggaran saat pilkada serentak
Reporter : Andrian Salam Wiyono | Jumat, 11 Desember 2015 13:59
Namun dia belum memerinci jenis pelanggaran yang dilakukan 25 aparatur negara.
Selanjutnya, pelanggaran itu akan ditindaklanjuti Kementerian Pemberdayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Termasuk pemberian sanksi.
"Kami serahkan semuanya kepada Kemenpan sepanjang itu data cukup, saksinya cukup
pasti kena sanksi," ungkapnya.
PNS harus bersikap netral dalam pilkada. Peraturan mengenai hal tersebut tertuang dalam
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah yang melarang PNS untuk terlibat dalam penyelenggaraan
kegiatan pemilihan kepala daerah dan kegiatan kampanye, baik secara aktif maupun tidak
aktif, langsung ataupun tidak langsung. Bagi PNS yang terbukti melakukan pelanggaran,
sanksi sudah disiapkan mulai dari sanksi ringan, sanksi sedang berupa dicopot dari
jabatan, hingga sanksi pemecatan.
Terlepas dari itu, Tjahjo mengapresiasi pelaksanaan pilkada serentak yang pertama kalinya
dilakukan di Indonesia. Salah satunya karena prosesnya berjalan aman dan lancar.
"Tidak ada gangguan kemudian emosional para pendukung pasangan calon juga berjalan
dengan baik. Pengaman bagus, deteksi dini juga bagus," jelasnya.
3. Apakah PNS Netral/seperti TNI dan POLRI
Pada setiap pemilu, isu netralitas Pegawai Negeri Sipil (PNS) adalah salah satu topik yang
hangat diperbincangkan. Seiring juga dengan isu netralitas TNI/POLRI. Namun berbeda
dengan TNI/POLRI yang memang secara jelas sesuai undang-undang diharuskan netral
tanpa hak pilih, PNS ada di area abu-abu. PNS secara tegas dilarang menjadi pengurus atau
anggota partai politik, tapi mereka memiliki hak pilih.
Lalu pertanyaannya adalah, di mana posisi PNS pada sistem politik di Indonesia? Apakah
diharuskan netral total seperti TNI/POLRI sementara mereka punya hak pilih? Bolehkah PNS ikut
berkampanye atau memberikan dukungan secara terbuka pada calon atau partai politik tertentu?
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian yang kemudian diganti dengan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Aparatur Sipil Negara (ASN) secara jelas menyatakan: Dalam upaya menjaga netralitas ASN
dari pengaruh partai politik dan untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan
ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang
dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Hal ini diperkuat Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden yang pada pasal 41 ayat 2 yang secara tegas melarang Pegawai Negeri Sipil
menjadi PELAKSANA kampanye politik.
Namun undang-undang yang sama pada pasal 41 ayat 4 dan 5 menyebutkan bahwa PNS
boleh menjadi PESERTA kampanye. Dengan prasyarat, tidak boleh menggunakan atribut
Partai Politik, Pasangan Calon, atau atribut pegawai negeri sipil. Serta dilarang mengerahkan
pegawai negeri sipil di lingkungan kerjanya dan dilarang menggunakan fasilitas negara.
Pasal 44 undang-undang nomer 42 tahun 2008 ini juga memuat topik yang bertema PNS
dan kampanye, isinya secara lengkap sebagai berikut:
(1) Pejabat negara, pejabat struktural dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri serta
pegawai negeri lainnya dilarang mengadakan kegiatan yang mengarah kepada
keberpihakan terhadap Pasangan Calon yang menjadi peserta Pemilu Presiden dan
Wakil Presiden sebelum, selama, dan sesudah masa Kampanye.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pertemuan, ajakan,
imbauan, seruan atau pemberian barang kepada pegawai negeri dalam lingkungan unit
kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pada bagian ini, perhatian perlu ditujukan pada larangan mengajak dan mengimbau
anggota keluarga dan masyarakat.
Satu dekade terakhir, dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan semakin
maraknya penggunaan jejaring sosial di internet serupa Facebook, Twitter atau sejenisnya,
orang perorang dengan mudahnya memaparkan ide, pilihan maupun pendapatnya kepada
publik.
Terkait hal tersebut di atas, PNS sebagai abdi negara yang statusnya dijamin dan diatur
undang-undang perlu memahami bahwa jejaring sosial adalah bagian dari masyarakat.
Karenanya, perlu ada kehati-hatian dalam menyuarakan pendapat khususnya terkait politik
dan keberpihakan.
Dalam paparan dua undang-undang di atas, dapat disimpulkan bahwa PNS sebagai
warga negara yang mempunyai hak pilih, diperbolehkan mengikuti kampanye serta
menyuarakan dukungan terhadap partai atau calon jabatan politik tertentu. Namun, PNS
dilarang mengajak orang lain untuk memilih partai atau calon tertentu termasuk dilarang
mengajak anggota keluarga.