Anda di halaman 1dari 3

Artikel lengkap yg pernah dimuat di Fajar, Februari 2019 lalu.

Mungkin bisa jadi


referensi atau pembanding pemikiran para pembaca.

MENGAPA ANAK MILENIAL BERTINDAK BEGITU DI SEKOLAH?


(Sebuah Refleksi Kritis)
Oleh: Abdullah Pandang

Anak-anak sekarang sulit diatur. Berbuat seenaknya. Tak ada rasa hormat pada
gurunya....
Saya masuk kelas... anak-anak tetap saja sibuk dg hpnya.... bikin emosi dan naik
darah...
Nasehat tak mempan lagi.. dianggap angin lalu saja... diingatkan malah cuek...
bahkan ada yg berani melawan guru.....
Belakangan ini makin banyak saja muncul berita tentang siswa yang berani melawan
guru, bahkan ada yag tega membunuh gurunya....
---------------

Itu adalah contoh komentar dan keluhan dari para orangtua dan guru tentang perilaku
dari sebagian anak-anak milenial sekarang.

Suatu fenomena yang membelalakkan mata banyak pihak karena tak menyangka hal
seperti itu bisa terjadi dan ditunjukkan oleh siswa pada orangtua dan gurunya.
Dilakukan secara berhadapan langsung, dan terjadinya di sekolah tempat sakral bagi
otoritas sang guru.

Apa sesungguhnya yang sedang terjadi?

Mari kita coba urai dari perspektif psikologi pendidikan dan bimbingan-konseling.
Setidaknya menurut yang saya pahami. Boleh sepaham, boleh juga tidak. Namanya juga
perspektif, tergantung sudut pandang dan referensi acuan.

Secara teoritik, pandangan kita tentang anak dan cara memaknai tindak-tanduk mereka
sangat tergantung pada mindset dan skema yang terbentuk dalam pikiran kita. Mereka,
siswa-siswa itu, adalah sebagaimana yang tergambar dan terbayang dalam skema di
kepala kita. Jika di skema di kepala gambaran tentang siswa itu bundar, misalnya,
maka siswa dalam fakta yang berdiri di depan kita itu juga haruslah bundar. Kalau
ia menyimpang dari bentuk bundar, maka pasti ada yang salah dengan fakta yang
ditunjukkan oleh siswa itu.

Masalahnya sekarang, apakah skema di kepala kita tentang anak mileniel masa kini
sudah tepat, atau ada struktur kognisi di dalamnya yang harus rekonstruksi ulang?

Saya menduga (tentu perlu diverifikasi lagi secara empirik lewat riset), sebagian
besar para orang dewasa, khususnya para orangtua dan pendidik, membangun skema
tentang anak hanya berdasar pengalaman sendiri di masa lalu, ataupun hasil jiplakan
dari skema orang-orang terdahulu yang menjadi anutan kita, dan/atau dari referensi
bacaan yang sudah lama uzur.

Kita memahami anak masa kini sebagai objek kognisi yang sama dengan anak di masa
lalu. Memandang bahwa karakeristik perkembangan anak hanya berpatok pada priode
usia, dan akan sama cirinya pada semua masa. Karena itu, jika di masa lalu suatu
perilaku X anak dikategorikan sebagai A, maka bentuk yang sama jika ditunjukkan di
masa kini juga tetaplah itu masuk kategori A. Sebab itulah definisi perilaku X itu
dalam skema di benak kita.

Tapi apakah perilaku yang sama di skema anak milenial juga seperti itu? Apakah anak
milineal juga sama anggapannya bahwa perilaku X tsb masuk kategori A, atau justeru
mereka punya cara pandang sendiri dalam struktur kognisi mereka? Jangan-jangan di
skema kognitif mereka perilaku X itu adalah B atau C atau D?
Tentu ini bisa terjadi karena sumber informasi dan model-model perilaku yang masuk
ke kognisi anak jauh berbeda dengan yang masuk kedalam kognisi guru.

Sang guru bertumbuh dan membangun skema tentang perilaku X berdasar sumber dan
akses informasi masa lalu yang terbatas, ketika saluran TV masih terbatas dan
terkontrol, di saat akses ke seantero dunia lewat internet sama sekali belum
dikenal, di era segala sesuatunya dikontrol ketat oleh pemerintah. Sumber referensi
utama kognisi kita hanya apa yang didengar dari guru di sekolah dan orangtua di
rumah.

Si anak sendiri lahir dan besar di era di mana akses sumber informasi sedemikian
melimpah dan tak terbatas. Itu sebabnya generasi mereka biasa disebut dengan
pendudk dunia maya (cyber-citizen). Mereka bisa mengakses, melihat, dan mengadopsi
rupa-rupa model perilaku hanya lewat layar hp yang hampir tak pernah lepas dari
genggamannya. Anak mengkonstruksi kognisi dan membangun skema dari variasi sumber
yang kaya dan beragam, termasuk dalam memaknai perilaku X tadi. Karena itu perilaku
X di pikiran anak menjadi amat berbeda dengan yang ada di pikiran guru.

Jika ini yang terjadi, maka terjadilah apa yang disebut 'gap-mindset,' jurang
pendapat antar generasi. Ada ketidaksinkronan anggapan tentang perilaku X yang ada
di skema anak dengan yang diyakini dalam skema pendidik. Si anak merasa tak apa-apa
bila X dilakukan, sementata si pendidik merasa amat gusar dan marah bila perilaku X
itu ditunjukkan di hadapan mereka.

Inilah salah satu sumber konflik yang mungkin banyak kita alami di lapangan.
Pendidik punya ekspektasi sendiri tentang apa yang seharusnya anak lakukan dan
tunjukkan, sementara anak punya ekspektasi dan fokus hidupnya sendiri yang boleh
jadi amat berbeda. Anak menjadi tak mengerti dan marasa perlu berontak ketika
pendidik mencoba memaksakan agar anak bersikap, berperilaku, dan bertindak sesuai
ekspektasi dan definisi skema koginisi sang pendidik.

Ketika guru merampas HP anak yang sedang belajar, itu tentu karena di skema
kogntisi sang guru, main HP saat belajar itu adalah perilaku tercela dan harus
dihentikan. Sementara dalam skema kognisi si anak boleh jadi persitiwa 'perampasan'
HP tsb dipandang sebagai hal yang tak berdasar, berlebihan, mempermalukan, dan
tindak sewenang-wenang atas hak dirinya. Karena itu, dia merasa perlu bertindak dan
bereaksi menurut cara yang dia pahami perlu dilakukan.
Ternyata pilihan cara bereaksinya itu di mata pendidik adalah hal amat tak pantas,
kurang ajar, dan macam-macam simbol perilaku negatif yang ada di ruang skema
kognisi para pendidik. Hebohlah kita. Marahlah kita. Cari kambing hitamlah kita.
Pertanyaan kritisnya, bila perilaku X itu menurut kita adalah salah, sudahkah kita
berusaha memahamkan anak-anak kita tentang kesalahan itu, kenapa salah, dan
bagaimana agar tidak salah? Atau baru sekadar mengharapkan dan menuntut agar anak
paham sendiri dari referensinya yang dimilikinya, lalu tahu sendiri cara bersopan
santun itu?

Sudahkah kita mencoba menyamakan "gelombang frekuensi" struktur kognisi kita


tentang kesopansantunan agar sejalan dan seirama dengan struktur kognisi di kepala
anak?

Sudahkah kita secara serius merancang upaya dan melaksanakan praktik pendidikan
yang terencana untuk membantu anak bisa paham, memperaktikkan, membiasakan
berperilaku santun menurut definisi kita?

Periksalah apa yang memang sudah kita lakukan di sekolah, di kelas, di rumah, atau
dalam interaksi langsung kita dengan sang anak. Seberapa banyak waktu dan usaha
yang telah kita berikan untuk melatihkan dan mencontohkan cara berutur kata dan
bertindak yang santun itu?
Jika anak diminta agar tahu cara bersepeda yang benar, maka kita akan mendampingi
dan mengajari langsung mereka. Prinsi yang sama juga berlaku dalam mendidik etika
berperilaku. Jika kita menginginkan anak mampu bertutur santun dan beretika,
latihlah mereka melakukan itu semua ketika berhadapan dan berinteraksi dengan
mereka di kelas. Tunjukkan contohnya yang benar itu seperti apa.

Jika mereka menurut kita kurang ajar, itu artinya kita sendiri telah mengaku kurang
mengajari mereka. Tidak ada anak yang lahir dengan bawaan kurang ajar. Jika mereka
kini 'kurang ajar' di mata kita, maka itu adalah hasil belajar mereka dari
berinterkasi dengan lingkungan yang mengitarinya, termasuk orangtua dan pendidik.
Kita hanya biarkan mereka belajar dari sumber yang salah, dan tidak mencoba
mengambil bagian langsung mengajari dan mencontohkan. Yang kita lakukan baru tahap
menilai, melabeli, memvonis, marah, dan menghukum. Belum mengajari dan melatihkan.
Tidak ada waktu, itu urusan orangtua. Siapapun orangtua si anak, ngerti tidak
ngerti cara mendidik, harmonis atau broken home, punya waktu atau sibuk, anaknya
haruslah datang ke sekolah dalam keadaan sudah baik perilakunya.

Pendidik di sekolah tidak punya waktu mendidik perilaku mereka. Pendidik harus
sibuk menuntaskan beban dan target kurikulum untuk memintarkan, bukan membuat
santun anak. Kesantunan anak memang dinilai dan masuk rapor, tapi kesantunan hanya
dianjurkan, diwajibkan. Seperti mewajibkan anak datang ke sekolah pakai sepatu
hitam dan baju seragam yang bisa dibeli di toko. Kalau tak bisa santun, itu salah
anak sendiri dan orangtuanya. Kenapa tidak beli di toko?

Yang saya tahu, perdefinisi, menurut Ki Hajar Dewantara (Bapak Pendidikan


Nasional), pendidikan adalah "upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta
jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup dan menghidupkan anak yang
selaras dengan alam dan masyarakatnya."
Entahlah... apa yang kini sebenarnya sedang terjadi di institusi pendidikan formal
kita. Masihkah di situ ada pendidikan (menurut definisi Dewantoro)? Apakah kita
memaknai pendidikan itu sama dengan pembelajaran saja? Atau kita perlu mengubah
saja kementerian/dinas pendidikan, menjadi kementerian/dinas pembelajaran? Toh
fokus mereka hanya itu, bukan?

Anda mungkin juga menyukai