Sebagai organ terbesar di tubuh manusia, kulit memiliki berbagai fungsi vital, termasuk
proteksi terhadap luka fisik dan kimia, mencegah kehilangan air tubuh, regulasi suhum fungsi
imunologis dan sensasi. Dermatitis Atopik (DA) merupakan kelainan umum pada kulit dengan
patofisiologi yang kompleks, DA dapat terjadi pada individu dengan predisposisi genetik dan
faktor provokasi eksogen. Secara lebih spesifik, penyebab DA dapat dikaitkan dengan defek barier
epidermis dan disregulasi imun inang dan sistem imun adaptif.
Abnormalitas barier dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti paparan kimia,
mikroorganisme, suhu rendah, dan kelembaban rendah. Gen filagrin (FLG) juga memerankan
peran penting dalam pembentukan barier kulit. FLG meregulasi diferensiasi epidermis terminal,
membuat template untuk perakitan envelope, dan memberikan substrat untuk faktor pelembab
natural. Mutasi pada FLG dapat menyebabkan dermatitis atopi pada beberapa pasien.
Fenotipe DA dimulai dengan pruritus, eritem, plak dermatitis yang dapat berkrusta atau
berskuama tergantung pada durasi lesi. Pada infant dan anak-anak DA lebih banyak terdpaat pada
wajah, leher dan permukaan ekstensor. Pada remaja dan dewasa lesi biasanya terdapat likenifikasi,
dan ditemukan pada permukaan fleksural dan ekstremitas.
Epidemiologi
Dermatitis atopi ditemukan pada 85% pasien usia kurang dari 5 tahun. Biasanya berkurang
pada masa remaja,tetapi pada beberapa dapat menetap sampai usia dewasa. Pada negara
berkembang, DA merupakan kelainan kulit yang paling umum ditemukan, yang mengenai sampai
20% anak-anak dan 1-3% dewasa. Hal ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan prevalensi DA.
Rasio peningkatan prevalensi DA dapat terjadi akibat faktor lingkungan, hal ini dapat dihubungkan
dengan gaya hidup kebarat-baratan dibandingkan dengan faktor perubahan genetik.
Dermatitis atopi dapat diturunkan didalam keluarga dengan peningkatan risiko 2 kali lipat
untuk timbul DA jika salah satu orang tua atopi, dan peningkatan risiko 3 kali lipat jika kedua
orang tua atopi. DA dianggap sebagai langkah awal perjalanan trias alergi, diketahui sebagai
“Atopic March “, dimana terjadi evolusi penyakit atopi yang dimulai dengan dermatitis atopi, lalu
berprogres menjadi asma dna rhinitis alergi.
Tidak didapatkan data konkrit yang mengindikasikan proporsi dari pasien DA yang akan
timbul alergi makanan walaupun mereka berhubungan. Keseluruhan kelainan alergi yang telah
disebutkan diatas berhhubungan melalui atopi, predisposisi untuk respon immunoglobulin E
terhadap stimuli lingkungan.
Salah satu cara beberapa yuridiksi telah mengatasi permasalahan tersebut pada populasi
anak adalah melalui edukasi. Lebih sepesifik, yaitu dengan mendukung “sekolah eksim”. Fungsi
dari sekolah ini bervariasi tergantung pada negara/kota, kriteria kultural, pelatihan klinisi lokal dan
fasilitas yang tersedia untuk menjalankan program ini. Manajemen yang buruk terhadap DA terjadi
karena kepatuhan yang buruk, hal ini sering dihubungkan dengan isu yang lebih signifikan seperti
misdiagnosis, kondisi hidup yang buruk, pengangguran, strain finansial, dan perbedaan sosial dan
kultural. Disinilah nilai memiliki tim yang komprehensif ikut bermain, karena banyak dari masalah
ini dapat dieksplorasi.
Terapi topikal
Terapi non-medikamentosa — bleach baths
Bleach baths adalah teknik antiseptik yang hanya digunakan sebagai terapi dermatitis atopi
sedang sampai berat yang sering terinfeksi bakteri kulit. Kegunaan bleach baths terdapay pada
aktivitas anti staphylococcal, termasuk melawan multiresistent staphylococcus aureus. Bleach
baths tidak hanya bermanfaat untuk infeksi aktif pada kulit tetapi juga sebagai terapi maintenance,
sebagaimana pada hasil kultur tidak meunjukkan pembersihan bakteri pada sebagian besar pasien.
Rentang konsentrasi larutan bleach baths berkisar dari 0,005% sampai 0,009% (0.25 gelas bleach
dalam setengah bak air sampai 0,5 gelas bleach dalam setengah bak air). Efek antimikrobial pada
bleach baths dapat dikaitkan dengan kemampuannya untuk menyebabkan agregasi irreversibel dari
protein bakteri.
Pada fase I uji klinis pasien berusia 6 bulan-17 tahun dengan dermatitis atopi sedang
sampai berat dengan gejala klinis infeksi bakteri sekunder. Pasien dilakukan tatalaksana acak
dengan lengan dimandikan dengan latutan bleach 0,005% (iodium hipoklorida) selama 5-10 menit
dua kali seminggu dan mendapatkan terapi salep muciprocin intranasal 2 kali perhari selama 5 hari
berturut-turut setiap bulannya. Sementara pasien plasebo dengan lengan dimandikan
menggunakan air biasa dan diberikan petrolatum intranasal 2 kali perhari selama 5 hari berturut-
turut setiap bulannya. Pada 1 dan 3 bulan pengobatan, grup yang diberi treatment menunjukkan
reduksi yang signifikan pada skor area eksim dan keparahan dibandingkan dengan grup plasebo.
Walaupun satu dari 31 pasien melaporkan rasa gatal dan iritasi kulit dengan menggunakan bleach
baths. Tidak terdapat laporan pasien yang mengundurkan diri dari penelitian akibat intoleransi
bleach baths.
Sebagai perbandingan terhadap terapi antibiotik pada infeksi sekunder dengan dermatitis
atopi, agen atiseptik seperti bleach baths ditemukan toleransinya lebih baik dan lebih kecil
menginduksi resistensi bakteri. Saat ini, literatur mengenai peran bleach baths dan agen antiseptik
lain dalam manajemen dermatitis atopi ditemukan menjanjikan. Akan tetapi, penelitian leibih
lanjut harus dilakukan untuk menilai efikasi jangka panjang dan keamnaan agen ini, terlebih untuk
penggunaan berkelanjutan.
Salah satu prinsip fundamental dibalik terapi jangka panjang yang efektif untuk dermatitis atopik
adalah maintenance barier kulit pasien. Hal ini dapat dicapai dengan berbagai cara seperti
menggunakan emolien dan pelembab dan kebiasaan mandi yang lebih tepat— seperti
menggunakan air hangat dibandingkan air panas dan menggunakan sabun lemah dibandingkan
sabun yang kuat. Emolien merupakan modalitas terapi yang paling efektif pada rentang penyakit
ringan sampai berat, pengunaan emolien secara reguler dapat mereduksi penggunaan jumlah
kortikostreroid topikal secara drastis pada pasien dengan DA berat. Faktanya, aplikasi reguler
emolien pada nenonatus yang memiliki resiko tinggi timbul dermatitis atopi dapat membantu
mencegah timbulnya penyakit. Salah satu studi menunjukkan aplikasi emolien diseluruh tubuh
paling sedikit satu kali perhari, dimulai sejak 3 minggu setelah lahir, memiliki efek protektif
signifikan dalam insidens dermatitis atopi pada infant usia 6 bulan dibandingkan dengan yang
tidak menggunakan emolien. Lebih pentingnya, tidak ditemukan efek samping yang berhubungan
dengan aplikasi emollien. Studi neonatal lain juga menunjukkan penurunan signifikan insidensi
dermatitis atopi dengan aplikasi reguler emolien pada 32 minggu pertama kehidupan dibandingkan
dengan kontrol. Studi ini juga mempelajari mengenai sensitisasi alergi pada kedua grup intervensi
dan kontrol, dan ditemukan bahwa proporsi infant yang tersensitasi oleh alergen putih telur pada
kedua grup adalah sama.
Penting untuk diketahuai perbedaan dari emolien dan pelembab. Secara bahasa emolien
dan pelembab sering disamakan, namun pelembab seringkali mengandung himectant seperti urea
dan asam alfa hidroksi, yang menghidrasi stratum korneum, sedangkan emolien merujuk kepada
bahan yang didisain untuk menghaluskan kulit. Namun untuk memudahkan emolien dan pelembab
akan dianggap sama pada review ini.
Diluar efikasi yang sudah terbukti dari bahan ini, terdapat halangan untuk kepatuhan pasien
dalam penggunaannya. Contohnya, petroleum, oklusif yang sangat efektif, bersifat berminyak dan
dapat menjadi berantakan, yang secara negatif dapat mempengaruhi kepatuhan pasien. Idealnya,
emollien harus diaplikasikan satu atau dua kali perhari, dalam 3 menit mandi untuk oklusif yang
optimal dalam menghidrasi stratum corneum.
Terdapat banyak preparat emolien dengan variasi efektivitas dalam meningkatkan fungsi
barier kulit pada pasien dengan dermatitis atopi. Contohnya, 1 percobaan menemukan krim
peningkat barier (dengan 5% urea) lebih baik dari krim referensi. Percobaan lain menemukan
bahwa ceramide-dominan, emolien perbaikan barier mengurangi kehilangan air transepdiermal
lebih baik dibandingkan pelembab dominan nonceramide. Sebagai tambahan untuk urea dan
ceramide, komponen seperti glycerin, asam laktat, asam hyaluronid, dan nicotinamide adalah
tambahan lain yang umum ditemukan pada pelembab. Simpson dan Dutronc melaporkan berbagai
percobaan yang menunjukkan efek dari pelembab yang didesain untuk penderita dermatitis atopi
yang mengandung prekusor ceramide, produk pemecahan FLG, humektan, emolien dan oklusif.
Hidrasi kulit dinilai lebih unggul dari 2 pelembab referensi setelah satu aplikasi. Produk ceramide
juga unggul dalam mengembalikan penghalang kulit setelah gangguan dengan patch 24 jam
natrium dodecyl sulfate dibandingkan dengan produk referensi.34
Selain itu, produk ceramide juga diuji secara terpisah pada 127 pasien dengan AD yang
menggunakan obat topikal steroids pada semua area lesi tetapi juga menggunakan produk
ceramide hanya pada setengah dari tubuh. Sisi yang dirawat dengan Ceramide + steroid topikal
memiliki hidrasi superior dan lebih cepat dan signifikan dalam skor EASI pada hari ke 7, 14, dan
21 dibandingkan dengan sisi yang hanya menggunakan steroid topikal, meskipun ukuran efeknya
kecil karena penyakit yang lebih ringan (P <0,05).
Sebagai tambahan, telah ditemukan bahwa DA berat berhubungan dengan derajat
biodiversitas bakteri yang rendah, lebih spesifik dibawah kemunculan dari actinobacter,
proteobacteria, dan cyanobacteria. Peningkatan proporsi staphylococcus diketahui berperan pada
keparahan dermatitis atopi. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa pada DA yang tidak
diobati memiliki penurunan keanekaragaman mikrobioma dan peningkatan porsi Staphylococcus
dibandingkan dengan baseline, postflare, dan intermittent pengobatan flare. Pada banyak pasien
dengan DA, Infeksi kulit Staphylococcus aureus berulang adalah masalah. Pada pasien tersebut,
bleach baths encer dua kali seminggu menunjukkan reduksi keparahan AD, sehingga membantu
mencegah infeksi berulang.
Terapi medikamentosa— peresepan emollien
Baru-baru ini, didapatkan pengembangan dari peresepan bahan emolien untuk terapi DA. Emolien
bertujuan untuk membantu peran struktural dalam fungsi perlindungan kulit dan tidak memberikan
efeknya dengan interaksi kimia apapun. Produk ini mengandung preparat dengan rasio lipid yang
menyerupai komposisi endogen kulit dan krim yang mengandung palmitoylethanolamide, asam
glycyrrhetinic, dan hidrolipid lain. Aplikasinya direkomendasikan sebanyak 2 sampai 3 kali
perhari tergantung pada agen tertentu. Beberapa halangan dalam penggunaan agen ini termasuk
biayanya yang tinggi dan terdapat fakta bahwa saat ini terdpat pelembab bebas resep yang
mengandung perhitungan berlebihan dari ceramide, produk penghancuran FLG, dan komponen
endogen kulit lainnya yang tersedia yang tidak sesuai dengan komposisi ideal peresepan emolien.
Peresepan preparat emolien ini berbeda dari pelembab bebas resep yang sudah disetujui
oleh US Food and Drug Administration (FDA) sebanyak 510.000 perangkat medis. Berdasarkan
klasifikasi ini, perstujuan produk tersebut tidak berdasarkan data efektivitas klinis, dibandingkan
dengan hal-hal yang dibutuhkan untuk persetujuan pengobatan oleh FDA. Karena itu, publikasi
yang berkaitan dengan efektivitas dan keamanan dari produk-produk untuk terapi dermatitis atopi
sangat terbatas.
Kortikosteroid topikal telah menjadi terapi utama dermatitis atopik sejak kemunculannya
di dunia dermatologi tahun 1950. Mereka memiliki berbagai mekanisme kerja yang berkontribusi
terhadap efektivitasnya dalam mengobati dermatitis atopi, yaitu sebagai anti inflamasi,
antiproliferasi, dan efek immunosupresi. Lebih spesifik, kortikosteroid menekan jumlah dan
aktivitas berbagai tipe sel inflamasi dan sitokin, termasuk neutroful, monosit, limfosit, sel
langerhans, interleukin (Ils, termasuk IL-1alfa, IL-1beta, IL-2), tumour necrosis factor (TNF), dan
granulocyte-monocyte conlony stimulating factor (GM-CSF). Kortikosteroid juga menginduksi
protein antiinflamasi, seperti lipocortin, vasocortin, dan vasoregulin. Efektivitasnya telah
didemonstrasikan dalam variasi preparat dan strength, dengan lebih dari 110 randomised control
trial yang sudah dilakukan sampai hari ini. Kortikosteroid direkomendasikan sbeagai terapi lini
pertama untuk kontrol akut dermatitis akut sedang sampai berat.
Potensi kortikosteroid diukur dengan uji vasokonstriktor, dimana pemutihan kulit di lihat
pada sukarelawan yang sehat setelah aplikasi kortikosteroid topikal. Berdasarkan penilaian ini,
kortikosteroid topikal digolongkan menjadi 7 grup, kelas 1 sampai 7 berdasarkan potensinya.
Kortikosteroid terdapay dalam berbagai bentuk, termasuk salep, krim, lotion, gel, gel spray,
dan foam. Preparat tertentu lebih sesuai dan spesifik untuk beberapa aera tubuh. Secara spesifik,
salep lebih baik digunakan pada area yang kasar, seperti pada telapak tangan dan telapak kaki, area
tubuh yang lebih kering seperti esktremitas dan badan. Krim dapat digunakan pada beberapa area
termasuk area fleksural dan genital. Foam, spraym dan gel lebih menarik secara kosmetik dan lebih
mudah digunakan pada daerah yang berambut seperti skalp dan lebih baik digunakan pada area
yang berminyak seperti wajah.
Steroid potentsi ringan digunakan pada infant dan pasien dengan serangan eksaserbasi akut
ringan atau area sensitif seperti pada daerah wajah dan tengkuk. Potensi sedang dapat digunakan
pada anak dan dewasa tetapi untuk periode terapi yang lebih singkat. Akan tetapi, terapi jangka
panjang dengan kortikosteroid potensi sedang dapat diperlukan untuk mengobati lesi kronik pada
daerah badan dan ekstremitas. Potensi tinggi dan sangat tinggi diindikasikan untuk terapi jangka
pendek area yang terdapat likenifikasi pada pasien dewasa.
Untuk aplikasi kotrikosteroid topikal, peraturan umum menyarankan terapi harus dimulai
dengan potensi yang paling rendah yang dapat mengontrol penyakit dengan baik. Namun, hal ini
harus seimbang untuk meencegah penggunaan kortikosteroid dengan potensi tidak adekuat
berkepanjangan. Untuk flare akut, aplikasi kortikosteroid topikal direkomendasikan digunakan
setiap hari sampai lesi inflamasi terkontrol, dapat dipakai hingga beberapa minggu pada beberapa
kasus. Potensi yang lebih tinggi haris digunakan untuk waktu yang cenderung lebih singkat
(kurang dari 2 minggu pada pemakaian setiap hari untuk kortikosteroid kelas 1), diikuti dengan
penggantian ke kortikosteroid topikal dengan potensi lebih rendah atau agen lain sebagai
maintenance setelah flare inisial terkontrol.
Pada keadaan dimana keparahan lesi DA harus dikurangi dengan cepat, wet-wrap therapy
(WWT) dibuktikan bermanfaat dalam mengatasi flare secara signifikan dan penyakit yang sulit
diatasi. Agen topikal seperti kortikosteroid topikal diaplikasikan dan dilapisi oleh kassa basah
dilanjutkan dengan dilapisi menggunakan kassa kering. Pada penyakit yang lebih umum, baju yang
disiapkan dengan cara yang serupa dapat digunakan. Hal ini dapat membantu menyumbat agen
topikal untuk meningkatkan penetrasi, selagi menurunkan kehilangan air dan menyediakan
perlindungan fisik terhadap garukan. Balutan ini dapat digunakan selama 24 jam sekali
penggunaan, sampai dengan 2 minggu. Harus diperhatikan bahwa ketika menggunakan
kortikosteroid potensi sedang sampai tinggi, perhatian lebih harus diberikan untuk mencegah
kemungkinan supresi aksis hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA), walaupun penggunaan WWT
jangka pendek tidak berhubungan dengan supresi adrenal berkepanjangan. Kortikosteroid topika
dapat menyebabkan efek samping kutaneus, termasuk purpura, telangiektasi,striae, hipertrikosis
fokal, dan erupsi akneiformis atau rosasea. Efek samping yang paking mengkhawatirkan adalah
atrofi kulit yang dapat terjadi saat penggunaan kortikosteroid topikal akan tetapi lebih sering terjadi
pada agen potensi tinggi dengan oklusi atau kulit yang lebih tipis dan pada pasien usia lanjut.
Kortikosteroid topikal dapat juga memperburuk yang sudah ada sebelumnya atau
dermatosis hidup berdampingan, seperti rosacea, dermatitis perioral, dan infeksi tinea. Beberapa
pasien dapat mengalami alergi dermatitis kontak / hipersensitivitas tipe IV terhadap kortikosteroid
topikal atau bahan lainnya dalam formulasi mereka, seperti propilen glikol dan pengawet. Jika lesi
pasien gagal merespon atau memperburuk dengan aplikasi kortikosteroid topikal, patch test harus
dilakukan untuk menentukan apakah alergennya adalah TCS itu sendiri atau ada komponen
pembawa. Meskipun didokumentasikan dalam penggunaan kortikosteroid sistemik, hubungan
antara kortikosteroid topikal dan perkembangan katarak dan glaukoma tidak jelas. Meskipun
demikian, dianjurkan agar TCS digunakan dengan hati-hati di daerah periokular. Terdapat potensi
untuk steroid potensi tinggi dan sangat tinggi untuk diabsorbsi secara sistemik sampai ke derajat
yang menyebabkan efek samping sistemik, seperti supresi HPA axis. Resikonya rendah namun
meningkat dengan penggunaan berkepanjangan kortikosteroid topikal, aplikasi di derah yang luas,
dan pada pasien yang juga mengkonsumsi kortikosteroid bentuk lain (oral, intranasal, inhalasi).
Secara keseluruhan kortikosteroid topikal memiliki profil keamanan yang baik, dan saat ini tidak
terdapat indikasi untuk monitor feek samping dari pasien dermatitis atopi yang menggunakan
kortikosteroid topikal.