3.1 Hasil
3.1.1 Identifikasi Parasit
Jenis parasit yang ditemukan adalah Trichodina (Gambar 2), Chilodonella
(Gambar 3), Dactylogyrus (Gambar 4), Gyrodactylus (Gambar 5), dan
Icthyophthirius (Gambar 6).
Tabel 1. Prevalensi parasit pada ikan gurame yang diperiksa pada kolam terpal di
Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
Prevalensi pada ikan ukuran (%)
Jenis Parasit
Silet (3-4 cm) Korek (5-6 cm) Super (10-11cm)
Trichodina 86,7 100 30
Chilodonella - 63,3 43,3
Dactylogyrus 53,3 50 3,3
Gyrodactylus 13,3 6,7 6,7
Ichthyophthirius 3,3 - -
4
Tabel 2. Intensitas parasit pada ikan gurame yang diperiksa pada kolam terpal di
Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
Intensitas pada ikan ukuran (Ind/ekor)
Jenis Parasit
Silet (3-4cm) Korek (5-6cm) Super (10-11cm)
Trichodina 23 28 9
Chilodonella - 17 14
Dactylogyrus 5 4 1
Gyrodactylus 1 1 1
Ichthyophthirius 1 - -
Berdasarkan Tabel 2, didapatkan kecenderungan pula bahwa semakin
besar ukuran ikan, maka nilai intensitas parasitnya semakin rendah. Intensitas
parasit yang menyerang ikan gurame pada ukuran silet, korek, dan super yaitu
Trichodina antara 9 – 28 ind/ekor, Chilodonella 0 – 17 ind/ekor, Dactylogyrus
1 – 5 ind/ekor, Gyrodactylus 1 ind/ekor, dan Icthyophthirius 0 – 1 ind/ekor.
5
3.2 Pembahasan
6
menyatakan bahwa dua jenis parasit ini merupakan parasit yang paling sering dan
paling banyak kontak dengan ikan, terutama ikan yang dibudidayakan. Serangan
dua parasit ini dalam jumlah besar bisa berakibat fatal bagi ikan inangnya, dan
kasus ini sangat jarang terjadi pada ikan budidaya yang terjaga kondisi
lingkungannya dengan baik, dengan kata lain, jika kita bisa mengontrol
lingkungan atau tempat budidaya.
Parasit berikutnya adalah Ichthyophthirius multifiliis. Data pada Tabel 1
dan Tabel 2 menunjukkan bahwa nilai prevalensi dan intensitasnya paling rendah.
Berdasarkan Hadiroseyani (2010), jenis parasit ini dapat dikendalikan dengan
mempertahankan suhu kolam 29-30º C. Hal ini sesuai dengan parameter kualitas
air yang menunjukkan suhu air di kolam terpal berada di atas 29º C (Tabel 3).
Pernyataan senada juga dikemukakan oleh Wagiran dan Harianto (2010),.
Penyakit yang disebabkan parasit ini, yaitu bintik putih (white spot) sebenarnya
tidak terlalu sering menyerang ikan gurame yang dibudidayakan di kolam terpal,
karena pada budidaya kolam terpal digunakan sekam sebagai alas kolam sehingga
suhu kolam relatif stabil. Penyakit bintik putih ini muncul akibat suhu kolam yang
terlalu rendah, yaitu kurang dari 22 ºC. Ichthyophthirius multifiliis yang
ditemukan pada ikan contoh berada pada fase tomont (dewasa) (Gambar 1).
7
Sebagai perbandingan mengenai pengaruh media atau tempat
pemeliharaan ikan gurame terhadap serangan penyakit parasitik, Tabel 4 dan 5
merupakan nilai prevalensi parasit yang menyerang ikan gurame pada masa
pendederan benih yang dilakukan oleh Rokhmani (2009) di dua Desa dan
Kabupaten dengan ukuran ikan yang sama, yaitu ukuran silet (3-4 cm).
Tabel 4. Nilai prevalensi ektoparasit pada gurame pendederan pertama
Nilai prevalensi parasit 100% artinya pada setiap ikan contoh yang
diperiksa, maka parasit tersebut ditemukan. Pada ikan gurame kolam tanah yang
diperiksa di Desa Beji, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas, semua
ikan yang diperiksa terdapat parasit jenis Trichodina sp., Ichthyophtirius sp.,
8
Epistylis sp., Chilodonella sp., Henneguya sp., Dactylogyrus sp., dan
Gyrodactylus sp..
Berdasarkan Tabel 4 dan 5, terlihat bahwa nilai prevalensi parasit yang
menyerang benih ikan gurame pada kolam tanah masih lebih tinggi dibandingkan
ikan gurame yang dipelihara di kolam terpal. Hal tersebut dikarenakan pada
kolam terpal memiliki beberapa keunggulan di antaranya : kolam mudah
dibersihkan dan dikeringkan sehingga mata rantai penyakit bisa diputus; lebih
mudah dalam mengelola kualitas air karena air pada bagian bawah kolam bisa
disifon (dibersihkan); memiliki suhu yang stabil dan optimal untuk ikan karena
menggunakan sekam di bagian bawah kolam; dan pada media kolam terpal,
kontak dengan lingkungan luar sangat minim, sehingga parasit-parasit yang
biasanya dibawa oleh ikan-ikan atau organisme air lainnya sangat kecil
kemungkinannya untuk masuk ke dalam kolam terpal.
9
Trichodina (Hoffman, 1967). Trichodina memiliki bentuk yang bemacam-macam,
dari datar sampai berbentuk bel, tetapi permukaan oralnya lebih cekung (Kabata,
1985). Trichodina terdapat di dalam atau pada ikan. Ujung posterior berupa
piringan datar yang dilengkapi dengan lingkaran-lingkaran elemen seklet seperti
gigi kutikuler. Hampir semua spesies Trichodina berupa ektoparasit (Noble dan
Noble, 1989).
Gambar 2. Trichodina sp. pada ikan Gurame contoh yang dipelihara pada kolam
terpal di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
(Perbesaran mikroskop : 40 x 10)
Chilodonella sp.
Chilodonella sp. termasuk filum Protozoa, ordo Peritrichida, subordo
Sessilina, famili Chlamydodontidae, dan genus Chilodonella. Chilodonella sp.
telah dilaporkan di Filiphina, Malaysia, Indonesia dan Thailand. Beberapa catatan
tidak menunjukkan nama dari ikan yang dijadikan sebagai inangnya. Namun
keberadaannya telah diidentifikasi pada ikan Clarias batrachus dan C.
macrocephalus di Thailand dan Osphronemus goramy di Indonesia. Di Malaysia
Chilodonella sp. telah dilaporkan tersebar pada 50 jenis spesies ikan.
Chilodonella sp. hidup menempel di sisik, sirip dan insang ikan dan kadang-
kadang jumlahnya sangat banyak. Chilodonella sp. hidup pada zona sub tropis
10
sehingga yang menjadi inangnya adalah ikan-ikan yang juga hidup pada zona sub
tropis, seperti ikan-ikan Cyprinids.
Pada zona sub tropis Chilodonella sp. menginfeksi inang dan menempel
ketika kondisi ikan lemah selama bulan-bulan di musim dingin. Hal ini karena
parasit memperoleh kondisi yang baik untuk tumbuh. Chilodonella sp. bergerak
lambat di atas permukaan tubuh ikan dan pergerakan dibantu oleh cilia pada
bagian ventral. Chilodonella sp. memakan sel epitel ikan dengan menekankan
kantong mulutnya yang diperkuat dengan sepasang kait pendukung untuk
mendorongnya masuk ke dalam sel. Reproduksi terjadi secara aseksual dan
seksual, yaitu melakukan pembelahan biner kemudian konjugasi. Sumber data
dari Rusia melaporkan bahwa Chilodonella sp. bereproduksi pada kisaran suhu
sekitar 0,5 - 200C. Selama kondisi yang tidak memungkinkan bereproduksi,
Chilodonella sp. membentuk siste.
Ikan yang terinfeksi Chilodonella menjadi sangat terganggu, melompat
dari air, akhirnya menjadi lemah dan tidak responsif. Lendir hijau kebiru-biruan
menutupi kulit yang terinfeksi. Chilodonella biasanya terdapat pada infeksi
gabungan, bersama jamur, protozoa lain, dan bakteri (Kabata, 1985).
Gambar 3. Chilodonella sp. pada ikan gurame contoh yang dipelihara pada kolam
terpal di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
(Perbesaran mikroskop : 40 x 10)
11
Dactylogyrus sp.
Parasit Dactylogyrus yang ditemukan pada ikan gurame termasuk ke
dalam kelas Monogenea, subkelas Polynchoinea, ordo Dactylogyridea dan famili
Dactylogyridae. Parasit ini mempunyai bentuk tubuh pipih dorso-ventral dan
bilateral asimetris, mempunyai ospisthaptor yang dilengkapi dengan sepasang kait
pusat dan 14 kait marginal. Selain itu kepala Dactylogyrus mengandung empat
tonjolan cuping dan dua pasang mata, mempunyai usus yang terbagi dalam dua
cabang dan mempunyai testis dan ovary yang membundar (Kabata, 1985).
Kabata (1985) menyatakan bahwa infeksi ringan Dactylogyrus cenderung
dianggap tidak membahayakan, tapi infeksi ringan yang terus-menerus dapat
menjadi infeksi yang parah karena memberikan potensi reproduksi untuk cacing.
Perubahan karena hiperplasia pada epitel insang kadang menyebar ke area yang
bukan koloni dari cacing. Telangiectasis menjadi sering dan menyebar luas. Erosi
jaringan lokal pada daerah penempelan diikuti oleh produksi lendir yang
berlebihan dan mengakibatkan ikan susah bernafas. Ketika ikan sulit bernafas,
ikan akan berenang di sekitar pinggiran dan permukaan air tempat budidaya
dengan gejala yang terlihat jelas.
Gambar 4. Dactylogyrus sp. pada insang ikan gurame contoh yang dipelihara pada
kolam terpal di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta (Perbesaran mikroskop : 40 x 10)
12
Gyrodactylus sp.
Gyrodactylus yang ditemukan pada ikan gurame tergolong Monogenea,
subkelas Polynchoinea, ordo Gyrodactylidea dan famili Gyrodactylidae (Kabata,
1985). Cacing ini berbentuk pipih dan pada ujung badannya dilengkapi dengan
alat yang berfungsi sebagai pengait dan alat penghisap darah (Ghufran dan Kordi,
2004), serta tidak memiliki bintik mata (Kabata, 1985). Gyrodactylus tergolong
vivipar. Parasit ini biasanya menyerang kulit dan sirip ikan. Ikan yang terinfeksi
gejalanya dapat dikenali dari insangnya pucat dan bengkak sehingga operkulum
terbuka, ikan terlihat berkumpul pada pintu air masuk, telangiectasis pada insang,
produksi lendir berlebihan, pertumbuhan ikan melambat, nafsu makan berkurang,
kandungan sel darah putih berlebih, tingkah laku dan berenang secara tidak
normal (Ghufran dan Kordi, 2004).
Gambar 5. Gyrodactylus sp. pada ikan gurame contoh yang dipelihara pada kolam
terpal di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta
(Perbesaran Mikroskop : 40 x 10)
Ichthyophtirius multifiliis
Ichthyophtirius multifiliis berbentuk oval, berputar-putar dan sangat lentur,
diameter 50μm, sillianya seragam dan memiliki makronukleus berbentuk tapal
kuda yang transparan dan mikronukleus yang menempel pada makronukleus
(Hoffman, 1967). Dikenal dengan nama “ich” dan merupakan parasit yang paling
virulen dari parasit Protozoa yang lain. Parasit yang menyebabkan penyakit “ich”
atau white spot ini diperkirakan dapat menjadi kendala terbesar dalam akukultur
(Hoffman dalam Woo, 1995). Ichthyophthirius multifiliis dewasa berkembang
13
biak dengan cara melepaskan diri dari inangnya dan berenang mencari daerah
yang tenang. Parasit ini melekatkan diri pada substrat dan ditutupi oleh kiste yang
kemudian terjadi pembelahan selama ± 24 jam bergantung pada suhu perairan.
Hasil pembelahan tersebut tumbuh menjadi tomit yang jumlahnya 200 – 800
tomit. Ukuran parasit ini relatif kecil, sehingga tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang. Pada tubuh ikan yang terinfeksi protozoa ini, akan terbentuk bintik-
bintik putih berdiameter antara 0,5 – 1 mm, sehingga penyakit ini disebut white
spot. Bintik putih ini sebenarnya koloni dari puluhan hingga ratusan
Ichthyophthirius multifiliis. Serangan Ichthyophthirius multifiliis umumnya terjadi
pada musim hujan ketika suhu turun menjadi 20 – 24 ºC. Pada musim kemarau
serangannya bersifat sporadis. Bagian tubuh ikan yang paling sering diserang
adalah bagian eksternal, terutama lapisan lendir kulit, sirip dan insang. Jika sudah
menyerang insang, protozoa ini akan merusak fungsi insang sehingga proses
pertukaran gas (oksigen, karbondioksida, dan amonia) menjadi terhambat
(Ghufran dan Kordi, 2004).
Gambar 6. Ichthyophthirius sp. pada ikan gurame contoh yang dipelihara pada
kolam terpal di Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta (Perbesaran mikroskop : 40 x 10)
14
3.2.3 Parameter Kualitas Air
Budidaya ikan gurame di kolam terpal ini selalu menggunakan sekam
yang diletakkan di bawah terpal. Tujuannya untuk menjaga agar suhu kolam tetap
stabil. Nilai pH yang baik untuk pemeliharaan ikan gurame berkisar antara 6 – 7
(Wagiran dan Harianto, 2010). Jika merujuk pada Wagiran dan Harianto (2010)
dan Khairuman dan Amri (2008), maka nilai kualitas air pada Tabel 3 memiliki
nilai yang baik untuk budidaya ikan gurame.
15