Anda di halaman 1dari 9

BIOGRAFI

awlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd (lahir di
Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus 1898 – meninggal
di Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 21 Oktober 1997 pada umur 99 tahun)
adalah seorang ulama karismatis dari Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat dan merupakan
pendiri Nahdlatul Wathan, organisasi massa Islām terbesar di provinsi tersebut. Di pulau
Lombok, Tuan Guru merupakan gelar bagi para pemimpin agama yang bertugas untuk
membina, membimbing dan mengayomi umat Islām dalam hal-hal keagamaan dan sosial
kemasyarakatan, yang di Jawa identik dengan Kyai.
Seperti Hamka, beliapun memiliki nama singkatan, yaitu Hamzanwadi (Hajji Muhammād
Zainuddīn Abdul Madjīd Nahdlatul Wathan Dīniyah Islāmiyah).

Daftar isi

 1Kelahiran
 2Silsilah dan Keturunan
 3Keluarga
 4Pendidikan
o 4.1Pendidikan Lokal
o 4.2Pendidikan di Mekah
o 4.3Belajar di Masjid al-Haram
o 4.4Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah
 5Kepemimpinan
 6Perjuangan
 7Karya
o 7.1Dalam bahasa Arab
o 7.2Dalam bahasa Indonesia dan Sasak
o 7.3Nasyid/Lagu Perjuangan
 8Wafat
 9Pranala luar
 10Lihat pula
 11Catatan Kaki

Kelahiran[sunting | sunting sumber]


'Al-Mukarram Mawlānāsysyāikh Tuan Guru Kyai Hajji Muhammād Zainuddīn Abdul
Madjīd' dilahirkan di Kampung Bermi, Pancor, Selong, Lombok Timur, Nusa Tenggara
Barat pada tanggal 17 Rabiul Awwal 1316 Hijriah bertepatan dengan tanggal
5 Agustus 1898 Masehi dari perkawinan Tuan Guru Hajjī Abdul Madjīd (beliau lebih akrab
dipanggil dengan sebutan Guru Mu'minah atau Guru Minah) dengan seorang wanita shālihah
bernama Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.[1]
Nama kecil beliau adalah 'Muhammād Saggāf', nama ini dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa
yang sangat menarik untuk dicermati, yakni tiga hari sebelum dilahirkan, ayahandanya, TGH.
Abdul Madjīd, didatangi dua walīyullāh, masing-masing dari Hadhramaũt dan Maghrabī. Kedua
walīyullāh itu secara kebetulan mempunyai nama yang sama, yakni "Saqqāf". Beliau berdua
berpesan kepada TGH. Abdul Madjīd supaya anaknya yang akan lahir itu diberi nama "Saqqāf",
yang artinya "Atapnya para Wali pada zamannya". Kata "Saqqāf" di Indonesiakan menjadi
"Saggāf" dan untuk dialek bahasa Sasak menjadi "Segep". Itulah sebabnya beliau sering
dipanggil dengan "Gep" oleh ibu beliau, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah.
Setelah menunaikan ibadah hajjī, nama kecil beliau tersebut diganti dengan 'Hajjī Muhammād
Zainuddīn'. Nama inipun diberikan oleh ayah beliau sendiri yang diambil dari nama seorang
'ulamā' besar yang mengajar di Masjīd al-Harām. Akhlāq dan kepribadian ulamā' besar itu
sangat menarik hati ayahandanya. Nama ulamā' besar itu adalah Syaīkh Muhammād Zainuddīn
Serawak, dari Serawak, Malaysia.

Silsilah dan Keturunan[sunting | sunting sumber]


Silsilah Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak bisa diungkapkan secara
jelas dan runtut, terutama silsilahnya ke atas, karena catatan dan dokumen silsilah keluarga
beliau ikut hangus terbakar ketika rumah beliau mengalami musibah kebakaran. Namun,
menurut sejumlah kalangan bahwa asal usulnya dari keturunan orang-orang terpandang, yakni
dan keturunan sulthān-sulthān Selaparang, sebuah kerajaan Islām yang pernah berkuasa
di Pulau Lombok. Disebutkan bahwa Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd
merupakan keturunan Kerajaan Selaparang yang ke-17.[2]
Pendapat ini tentu saja paralel dengan analisis yang diajukan oleh
seorang antropolog berkebangsaan Swedia bernama Sven Cederroth, yang merujuk pada
kegiatan ziarah yang dilakukan Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd
ke makam Selaparang pada tahun 1971, sebelum berlangsungnya kegiatan pemilihan umum
(Pemilu).[3] Praktik ziarāh semacam ini memang bisa dilakukan oleh masyarakat Indonesia pada
umumnya, termasuk masyarakat Sasak, untuk mengidentifikasikan diri dengan leluhurnya.
Disamping itu pula, Tuan Guru Kyai Hajjī Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd tidak pernah
secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap anggapan dan pernyataan-pernyataan yang
selama ini beredar tentang silsilah keturunannya, yakni kaitan genetiknya dengan sulthān-
sulthān Kerajaan Selaparang.
Beliau mendapatkan keturunan dari dua isterinya yaitu Hj. Jauhariyah seorang perempuan
keturunan Jawa dan Hj. Rahmatullah Hasan seorang perempuan keturunan Guru Hasan dari
Jenggik Lombok Timur. Dari Hj. Jauhariyah terlahir putri pertamanya bernama Rauhun Zainuddin
Abdul Madjid dan dari Hj. Rahmatullah Hasan terlahir putri kedua bernama Raihanun Zainuddin
Abdul Madjid. Karena hanya memiliki dua orang putri bernama Rauhun dan Raihanun maka
beliau juga dipanggil Abu Rauhun wa Raihanun.
Dari masing-masing putri itu beliau mendapatkan 13 orang cucu. Dari Hj. Sitti Rauhun ZAM
terlahir enam cucu yaitu: H. Jamaluddin, M.Kom., Dr. Ir. Hj. Sitti Rohmi Djalilah, M.Pd., H. M.
Syamsul Luthfi, MM., Dr. TGH. Muhammad Zainul Majdi, MA., Sitti Tsurayya dari pernikahannya
dengan H. M. Djalaluddin, SH. serta Siti Hidayati, dari pernikahannya dengan H. M. Syubli.
Sedangkan dari Hj. Sitti Raihanun ZAM terlahir tujuh cucu yaitu: TGH. L. Gede Muhammad Ali
Wiresakti Amir Murni, QH., Lc., M.A., Lale Yaqutunnafis, QH., S.Sos., MM., Lale Laksmining
Pujijagad, M.Pd.I., H.L.Gede Syamsul Mujahidin, SE,. Hj. Lale Syifa'unnufus, M.Farm., Tuan
Guru Bajang KH. L. Gede Muhammad Zainuddin Atsani, Lc., M.Pd.I dan TGH. L. Gede
Muhammad Khairul Fatihin, QH., S.Kom. dari pernikahannya dengan H. L. Gede Wiresentane.

Keluarga[sunting | sunting sumber]


Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd adalah anak bungsu dari enam
bersaudara. Kakak kandungnya lima orang, yakni Siti Syarbini, Siti Cilah, Hajjah Sawdah, Hajji
Muhammād Shabūr dan Hajjah Masyitah.
Ayahandanya TGH. Abdul Madjīd yang terkenal dengan penggilan "Guru Mu'minah", semasa
mudanya bernama Luqmānul Hakīm merupakan seorang muballigh dan terkenal pemberani.
Beliau pernah memimpin pertempuran melawan kaum penjajah, sedangkan ibu
Maulānāsysyāikh, Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah terkenal sangat shãlihah. Luqmānul Hakīm
membawa Maulānāsysyāikh ke Mekkah untuk menimba ilmu agama ketika beliau berusia 9
tahun.
Sejak kecil al-Mukarram Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd terkenal
sangat jujur dan cerdas. Karena itu tidaklah mengherankan bila ayah-bundanya memberikan
perhatian istimewa dan menumpahkan kasih sayang yang begitu besar kepada beliau. Ketika
melawat ke Tanah Suci Mekah untuk melanjutkan studi, ayah-bundanya ikut mengantar ke
Tanah Suci. Ayahandanyalah yang mencarikan guru tempat belajar pertama kali di Masjīd al-
Harām dan sempat menemaninya di Tanah Suci sampai dua kali musim hajji. Sedangkan
ibundanya Hajjah Halīmah al-Sa'dīyyah ikut bermukim di Tanah Suci mendampingi dan
mengasuhnya sampai ibunda tercintanya itu berpulang ke rahmātullāh tiga setengah tahun
kemudian dan dimakamkan di Ma’lah, Mekkah al-Mukarramah.
Dengan demikian, tampak jelaslah betapa besar perhatian ayah-bundanya terhadap
pendidikannya. Hal ini juga tercermin dari sikap ibundanya bahwa setiap kali beliau berangkat
untuk menuntut ilmu, ibundanya selalu mendo'ākan dengan ucapan "Mudah mudahan engkau
mendapat 'ilmu yang barakah" sambil berjabat tangan serta terus memperhatikan kepergian
beliau sampai tidak terlihat lagi oleh pandangan mata. Pernah suatu ketika, beliau lupa pamit
pada ibundanya. Beliau sudah jauh berjalan sampai ke pintu gerbang baru sang ibu melihatnya
dan kemudian memanggil beliau untuk kembali, Gep, gep, gep (nama panggilan masa kecil
beliau), koq lupa bersalaman?, ucap ibundanya dengan suara yang cukup keras. Akhirnya,
beliaupun kembali menemui ibundanya sembari meminta ma'af dan bersalamān. Kemudian,
ibundanya berdo'ā', "Mudah-mudahan anakku mendapatkan 'ilmu yang barokah". Setelah
itu, barulah beliau berangkat ke sekolah. Hal ini merupakan suatu pertanda bahwa betapa besar
kesadaran ibundanya akan penting dan mustajabnya do'ā ibu untuk sang anak sebagaimana
ditegaskan dalam Hadīts Rasūlullāh SAW, bahwa do'ā' ibu menduduki peringkat kedua setelah
do'ā' Rasūl.

Pendidikan[sunting | sunting sumber]


Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd menuntut ilmu pengetahuan
berawal dari pendidikan dalam keluarga, yakni dengan belajar mengaji (membaca Al-Qur'ān)
dan berbagai 'ilmu agama lainnya, yang diajarkan langsung oleh ayahandanya, yang dimulai
sejak berusia 5 tahun.

Pendidikan Lokal[sunting | sunting sumber]


Setelah berusia 9 tahun, ia memasuki pendidikan formal yang disebut Sekolah Rakyat Negara,
hingga tahun 1919 M. Setelah menamatkan pendidikan formalnya, beliau kemudian diserahkan
oleh ayahandanya untuk menuntut 'ilmu agama yang lebih luas dari beberapa Tuan Guru lokal,
antara lain TGH. Syarafuddīn dan TGH. Muhammād Sa'īd dari Pancor serta Tuan Guru
'Abdullāh bin Amaq Dulajī dari desa Kelayu, Lombok Timur. Ketiga guru agama ini mengajarkan
ilmu agama dengan sistem halaqah, yaitu para santri duduk bersila di atas tikar dan
mendengarkan guru membaca Kitāb yang sedang dipelajari, kemudian masing-masing murid
secara bergantian membaca.

Pendidikan di Mekah[sunting | sunting sumber]


Untuk lebih memperdalam 'ilmu agama, Muhammād Zainuddīn remaja kembali berangkat
menuntut 'ilmu ke Mekah diantar kedua orang tuanya, tiga orang kemenakan dan beberapa
orang keluarga, termasuk pula TGH. Syarafuddīn. Pada saat itu beliau berusia 15 tahun, yaitu
menjelang musim Haji tahun 1341 H/1923 M. Sesampai di Tanah Suci, TGKH. Muhammad
Zainuddin Abdul Madjid langsung mencari rumah kontrakan di Suqullail, Mekah.

Belajar di Masjid al-Haram[sunting | sunting sumber]


Beberapa saat setelah musim haji usai, TGH. Abd. Madjid mulai mencarikan guru buat anaknya.
Sampailah pencarian TGH. Abd. Madjid pada sebuah halaqah. Syaikh yang mengajar ditempat
tersebut bernama Syaīkh Marzūqī, seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang sudah
lama mengajar mengaji di Masjīd al-Harām, yang saat itu berusia sekitar 50 tahun. Disanalah
Maulānāsysyāikh TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd diserahkan untuk belajar.
Selain itu juga sempat belajar 'ilmu sastra pada ahli syair terkenal di Mekah, yakni Syaīkh
Muhammād Āmīn al-Quthbī dan pada saat itu berkenalan dengan Sayyīd Muhsin Al-Palembanī,
seorang keturunan 'Arāb kelahiran Palembang yang kemudian menjadi guru beliau
di Madrasah al-Shaulatiyah.
Ketika ayah TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd pulang ke Lombok, ia langsung berhenti
belajar mengaji pada Syaīkh Marzūqī, karena ia merasa tidak banyak mengalami perkembangan
yang berarti dalam menuntut 'ilmu selama ini, hal itu dikarenakan kehausan beliau akan ilmu.
Namun, sebelum sempat mencari guru, terjadi perang saudara antara kekuasaan Syarīf Husaīn
dengan golongan Wahabi.[4]

Belajar di Madrasah al-Shaulatiyah[sunting | sunting sumber]


Dua tahun setelah terjadinya huru hara tersebut, TGKH. Muhammād Zainuddīn Abdul Madjīd
muda berkenalan dengan seseorang yang bernama Hajji Mawardī dari Jakarta. Dari
perkenalannya itu ia diajak untuk belajar di madrasah al-Shaulatiyah, yang saat itu dipimpin
oleh Syaīkh Salīm Rahmatullāh. Pada hari pertama masuknya ia bertemu dengan Syaīkh Hasan
Muhammād al-Masysyāth.
Madrasah al-Shaulatiyah adalah madrasah pertama sebagai permulaan sejarah baru dalam
pendidikan di Arab Saudi. Madrasah ini sangat legendaris, gaungnya telah menggema di seluruh
dunia dan telah menghasilkan banyak ulama-ulama besar dunia. TGKH. Muhammad Zainuddin
masuk Madrasah al-Shaulatiyah pada tahun 1345 H (1927 M) yang waktu dipimpin
(Mudir/Direktur), Syaikh Salim Rahmatullah yang merupakan cucu pendiri Madrasah al-
Shaulatiyah. Sudah menjadi tradisi bahwa setiap thullab yang masuk di Madrasah Al-Shaulatiyah
harus mengikuti tes masuk untuk menentukan kelas yang cocok bagi thullab. Demikian pula
dengan TGKH. Muhammad Zainuddin, juga ditest terlebih dahulu. Secara kebetulan diuji
langsung oleh Direktur al-Shaulatiyah sendiri, Syaikh Salim Rahmatullah dan Syaikh Hasan
Muhammad al-Masysyath.
Hasil test menentukan di kelas 3. mendengar keputusan itu, TGKH. Muhammad Zainuddin minta
diperkenankan masuk kelas 2 dengan alasan ingin mendalami mata pelajaran
ilmu Nahwu dan Sharaf. Semula Syaikh Hasan bersikeras agar TGKH. Muhammad Zainuddin
masuk kelas 3, tetapi pada akhirnya melunak dan mengabulkan permohonan untuk masuk kelas
2 dan sejak itu TGKH. Muhammad Zainuddin secara resmi masuk Madrasah al-Shaulatiyah
mulai dari kelas 2. Prestasi akademiknya sangat istimewa. Beliau berhasil meraih peringkat
pertama dan juara umum. Dengan kecerdasan yang luar biasa, TGKH. Muhammad Zainuddin
berhasil menyelesaikan studi dalam waktu hanya 6 tahun, padahal normalnya adalah 9 tahun.
Dari kelas 2, diloncatkan ke kelas 4, kemubeliaun loncat kelas lagi dari kelas 4 ke kelas 6,
kemubeliaun pada tahun-tahun berikutnya naik kelas 7, 8 dan 9.
Sahabat sekelas TGKH. Muhammad Zainuddin bernama Syaikh Zakaria Abdullah Bila,
mengakui kejeniusannya dan mengatakan: Syaikh Zainuddin itu adalah manusia ajaib di
kelasku, karena kejeniusannya yang tinggi dan luar biasa dan saya sungguh menyadari hal ini.
Syaikh Zainuddin adalah saudaraku, dan kawan sekelasku dan saya belum pernah mampu
mengunggulinya dan saya tidak pernah menang dalam berprestasi pada waktu saya bersama-
sama dalam satu kelas di Madrasah Al-Shaulatiyah Mekah.
Predikat istimewa ini disertai pula dengan perlakuan istimewa dari Madrasah Al-Shaulatiyah.
Ijazahnya ditulis langsung oleh ahli khat terkenal di Mekah, yaitu Al-Khathath al-Syaikh Dawud
al-Rumani atas usul dari direktur Madrasah al-Shaulatiyah. Prestasi istimewa itu memerlukan
pengorbanan, ibu yang selalu mendampingi selama belajar di Madrasah al-Shaulatiyah
berpulang ke rahmatullah di Mekah. Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid menyelesaikan studi di Madrasah al-Shaulatiyah pada tanggal 22 Dzulhijjah 1353 H
dengan predikat "mumtaz" (Summa Cumlaude).
Setelah tamat dari Madrasah al-Shaulatiyah, tidak langsung pulang ke Lombok, tetapi bermukim
lagi di Mekah selama dua tahun sambil menunggu adiknya yang masih belajar, yaitu Haji
Muhammad Faisal/ TGH. Muhammad Faisal (TGH. Muhammad Faisal[1] memimpin
pertempuran fisik melawan kompeni Belanda/VOC, beliau ditangkap dalam perundingan dan
dibuang keluar daerah dan gugur ditempat pengasingan, nama beliau diabadikan menjadi nama
jalan di Mataram). Waktu dua tahun itu dimanfaatkan untuk belajar antara lain belajar ilmu fiqh
kepada Syaikh Abdul Hamid Abdullah al-Yamani. Dengan demikian, waktu belajar yang
ditempuh selama di Tanah Suci Mekah adalah 13 kali musim haji atau kurang lebih 12 tahun. Ini
berarti selama di Mekah sempat mengerjakan ibadah haji sebanyak 13 kali.
Setelah selesai menuntut ilmu di Mekah dan kembali ke tanah air, TGKH. Muhammad Zainuddin
langsung melakukan safari dakwah ke berbagai lokasi di pulau Lombok, sehingga dikenal secara
luas oleh masyarakat. Pada waktu itu masyarakat menyebutnya 'Tuan Guru Bajang'. Semula,
pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin sebagai tempat pemuda-pemuda Sasak
mempelajari agama dan selanjutnya pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22
Agustus 1937 mendirikan Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI) dan menamatkan santri
(murid) pertama kali pada tahun ajaran 1940/1941.

Kepemimpinan[sunting | sunting sumber]


Adalah Kesuksesan perjuangan seseorang tokoh atau pemimpin banyak ditentukan oleh pola
kepemimpinannya. Kearifan seorang pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya
akan menentukan keberhasilan perjuangannya.
Perjuangan dan kepemimpinan merupakan dua hal yang saling mengkait, karena perjuangan itu
akan berhasil baik, apabila pola pendekatan yang dipergunakan dalam kepemimpinan itu baik.
Di samping itu, kepemimpinan yang arif dan bijaksana akan menghasilkan keberhasilan
perjuangan.
Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid dikenal sebagai ulama' besar
di Indonesia karena ilmu yang dimiliki sangat luas dan mendalam. Demikian juga kharisma
beliau sebagai sosok figur ulama demikian besar. Beliau adalah tokoh panutan yang sangat
berpengaruh karena kearifan dan kebijaksanaannya. Perjuangan dan kepemimpinannya
senantiasa beliaurahkan untuk kepentingan umat. Penghargaan dan penghormatan yang
diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepadanya terutama kepada guru-gurunya
diwujudkan dalam bentuk yang dapat memberikan manfaat kepada umat.
Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa penghargaaannya kepada mahaguru yang paling
dicintai dan disayangi. Maulana Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath diwujudkan dalam
bentuk pondok pesantren Hasaniyah NW di Jenggik, Lombok Timur. Penghargaan kepada
mahagurunya Maulana Syaikh Sayyid Muhammad Amin al-Kutbi diwujudkan dalam bentuk
Pondok Pesantren Aminiyah NW di Bonjeruk Lombok Tengah, dan penghargaan kepada
Mahagurunya Maulana al-Syaikh Salim Rahmatullah dilakukan dengan mendirikan sebuah
Pondok Pesantren di Lombok Timur. Pola kepemimpinan yang beliau contohkan di atas hanya
dapat dilakukan oleh orang-orang yang memiliki wawasan ilmu yang dalam serta pemimpin yang
memiliki kearifan dan kebijaksanaan.
Demikian pula tentang pendekatan yang beliau lakukan selalu bernilai paedagogik dalam arti
mengandung nilai-nilai pendidikan. Beliau tidak mau bahkan tidak pernah bersikap sebagai
pembesar yang disegani. Belaiu selalu bertindak sebagai pengayom yang berada di tengah-
tengah jama'ah dan senantiasa menempatkan diri sesuai dengan keberadaan dan kemampuan
mereka. Demikian juga halnya di kala beliau memberikan fatwanya selalu disesuaikan dengan
kondisi dan jangkauan alam pikiran murid dan santerinya.
Pembawaan dan sikap hidupnya selalu menunjukkan kesederhanaan. Inilah yang membuat
beliau selalu dekat dengan para warganya dan murid-muridnya dengan tidak mengurangi
kewibawaan dan kharisma yang beliau miliki. Keluhan yang disampaikan para warga dan
muridnya ditampung, didengar, dan dicarikan jalan penyelesaiannya dengan penuh kearifan dan
kebijaksanaan dengan tidak merugikan salah satu pihak.
Untuk melanjutkan dan mengembangkan perjuangan Nahdlatul Wathan di masa datang, beliau
sangat mendambakan munculnya kader-kader yang memiliki potensi dan militansi, serta loyalitas
yang tinggi, baik dari segi semangat, wawasan, maupun bobot keilmuan. Dalam banyak
kesempatan beliau sering menyampaikan keinginannya agar murid dan santrinya memiliki ilmu
pengetahuan sepuluh bahkan seratus kali lipat lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang
beliau miliki. Demikian motivasi yang selalu beliau kumandangkan supaya murid dan santrinya
lebih tekun dan berpacu dalam menuntut ilmu pengetahuan, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Dalam menerima dan menghadapi para murid dan santri serta warga Nahdlatul Wathan, beliau
tidak pernah membedakan antara yang satu dengan yang lain. Semua murid dan santeri serta
warga Nahdlatul Wathan diberikan perhatian dan kasih saying yang sama besarnya, bagaikan
cinta dan kasih saying seorang bapak kepada anak-anaknya.
Yang membedakan murid dan santri dihadapannya adalah kadar keikhlasan dan sumbangsihnya
kepada Nahdlatul Wathan. Dan, untuk membina dan memonitor kualitas kader Nahdlatul
Wathan, beliau mengeluarakan wasiat dalam bahasa Arab, yang artinya:
Dengan menyebut nama Allah dan dengan memuji-Nya semoga keselamatn tetap tercurah
padamu, demikian pula rahmat Allah, keberkatan, ampunan dan ridha-Nya.
Anak-anak yang setia dan murid-muridku yang berakal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu
disisiku ialah yang paling banyak bermanfaat untuk perjuangan Nahdlatul Wathan dan sejahat-
jahat kamu disisiku ialah yang paling banyak merugikan perjuangan Nahdlatul Wathan.
Karena itu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga, berjuanglah kemubeliaun
berjuanglah di jalan Nahdlatul Wathan untuk mempertinggi citra agama dan negara. Niscaya
kamu dengan kekuasaan Allah swt. Tergolong pejuang agama, orang saleh dan mukhlish baik
pada waktu sendirian maupun pada waktu bersama orang lain.
Semoga Allah membukakan pintu rahmat untuk kami dan kamu dan semoga ia menganugerahi
kami dan kamu serta para simpatisan Nahdlatul Wathan masuk surga dan nikmat tambahan
yang tiada taranya, yaitu melihat zat-Nya dari dalam surga.
Demikianlah, wasiat ini dikeluarkan setelah terlihat beberapa kader dari kalangan alumni
Madrasah NWDI, dan mereka yang sudah beliau biayai untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi keluar dari garis perjuangan organisasi. Tidak taat pada kebijakan-kebijakan yang
ditetapkan oleh organisasi. Memang dalam rangka kaderisasi beliau banyak memberikan
bantuan kepada alumni NWDI dan orang-orang lain untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih
tinggi dengan nawaitu khusus dan perjanjian khusus pula, yaitu untuk setia membela dan
memperjuangkan cita-cita NWDI, NBDI dan NW. Alhamdulillah banyaklah beliauntara mereka
yang benar-benar menepati janjinya dengan tulus. Sebaliknya ada juga yang khianat pada
janjinya, tidak malu merobek-robek nawaitu pengiriman. Eksistensi dan aplikasi dari wasiat ini
menjadi tolok ukur kualitas dan kader ketaatan serta keihklasan kader-kader Nahdlatul Wathan.
Di samping itu, untuk mempertegas Wasiat Renungan Masa I dan II berbahasa Indonesia dalam
bentuk puisi. Wasiat Renungan Masa ini berisikan nasihat, fatwa dan pedoman bagi
warga Nahdlatul Wathan dalam berjuang.
Lahirnya wasitat-wasiat tersebut merupakan konsekuensi logis dari pola kepemimpinan beliau
yang selalu menekankan hubungan guru dan murid. Beliau adalah figur pemimpin yang selalu
menekankan agar tetap terjalin dan terpelihara hubungan antara guru dan murid. Menurut prinsip
beliau bahwa tidak ada guru yang membuang murid akan tetapi kebanyakan murid yang
membuang guru.

Perjuangan[sunting | sunting sumber]


TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid belajar di Tanah Suci Mekah selama 13 tahun
kemudian beliau kembali ke Indonesia atas perintah dari guru yang paling beliau kagumi,
yakni Syaikh Hasan Muhammad al-Masysyath, pada tahun 1934. Setiba di Pulau Lombok dari
Tanah Suci Mekah ke Indonesia, mula-mula beliau mendirikan pesantren al-Mujahidin pada
tahun 1934 M. kemudian pada tanggal 15 Jumadil Akhir 1356 H/22 Agustus 1937 M. beliau
mendirikan Madrasah Nahdlatul Wathan Diniyah Islamiyah (NWDI). Madrasah ini khusus untuk
mendidik kaum pria. Kemudian pada tanggal 15 Rabiul Akhir 1362 H/21 April 1943 M. beliau
juga mendirikan madrasah Nahdlatul Banat Diniah Islamiyah (NBDI) khusus untuk kaum wanita.
Kedua madrasah ini merupakan madrasah pertama di Pulau Lombok yang terus berkembang
dan merupakan cikal bakal dari semua madrasah yang bernaung di bawah organisasi Nahdlatul
Wathan. Dan secara khusus nama madrasah tersebut berubah nama menjadi pondok pesantren
'Dar al-Nahdlatain Nahdlatul Wathan'. Istilah 'Nahdlatain' beliau ambil dari kedua madrasah
tersebut. Beliau aktif berdakwah keliling desa di Pulau Lombok sekaligus mengajar.
Pada tahun 1952, madrasah-madrasah cabang NWDI-NBDI yang didirikan oleh para alumni di
berbagai daerah telah berjumlah 66 buah. Maka untuk mengkoordinir, membina dan
mengembangkan madrasah-madrasah cabang tersebut beserta seluruh amal usahanya, al-
Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid mendirikan organisasi
Nahdlatul Wathan yang bergerak di dalam bidang pendidikan, sosial dan dakwah islamiyah pada
tanggal 15 Jumadil Akhir 1372 H/1 Maret 1953 M. sampai dengan tahun 1997 ini lembaga-
lembaga pendidikan yang dikelola oleh Organisasi Nahdlatul Wathan telah berjumlah 747 buah
dari tingkat taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi, begitu juga lembaga sosial dan
dakwah islamiyah Nahdlatul Wathan berkembang dengan pesat bukan hanya di NTB melainkan
juga diberbagai daerah di Indonesia seperti NTT, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, DKI
Jakarta, Riau, Sulawesi, Kalimantan, bahkan sampai ke mancanegara
seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan lain sebagainya.
Pada zaman penjajahan, al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul
Madjid juga menjadikan madrasah NWDI dan NBDI sebagai pusat pergerakan kemerdekaan,
tempat menggembleng patriot-patriot bangsa yang siap bertempur melawan dan mengusir
penjajah. Bahkan secara khusus al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid bersama guru-guru Madrasah NWDI-NBDI membentuk suatu gerakan yang diberi
nama "Gerakan al-Mujahidin". Gerakan al-Mujahidin ini bergabung dengan gerakan-gerakan
rakyat lainnya di Pulau Lombok untuk bersama-sama membela dan mempertahankan
kemerdekaan dan keutuhan Bangsa Indonesia. Dan pada tanggal 7 Juli 1946, TGH. Muhammad
Faizal Abdul Majid adik kandung Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid
memimpin penyerbuan tanksi militer NICA di Selong. Namun, dalam penyerbuan ini gugurlah
TGH. Muhammad Faisal Abdul Madjid bersama dua orang santri NWDI
sebagai Syuhada' sekaligus sebagai pencipta dan penghias Taman Makam
Pahlawan Rinjani Selong, Lombok Timur.
Al Mukkarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid sebagai ulama'
pemimpin umat, dalam kehidupan bermasyarakt dan berbangsa telah mengemban berbagai
jabatan dan menanamkan berbagai jasa pengabbeliaun, di antaranya:

 Pada tahun 1934 mendirikan pesantren al-Mujahidin


 Pada tahun 1937 mendirikan Madrasah NWDI
 Pada tahun 1943 mendirikan madrasah NBDI
 Pada tahun 1945 pelopor kemerdekaan RI untuk daerah Lombok
 Pada tahun 1946 pelopor penggempuran NICA di Selong Lombok Timur
 Pada tahun 1947/1948 menjadi Amirul Haji dari Negara Indonesia Timur
 Pada tahun 1948/1949 menjadi anggota Delegasi Negara Indonesia Timur ke Arab Saudi
 Pada tahun 1950 Konsulat NU Sunda Kecil
 Pada tahun 1952 Ketua Badan Penaseha Masyumi Daerah Lombok
 Pada tahun 1953 mendirikan Organisasi Nahdlatul Wathan
 Pada tahun1953 Ketua Umum PBNW Pertama
 Pada tahun 1953 merestui terbentuknya parti NU dan PSII di Lombok
 Pada tahun 1954 merestui terbentuknya PERTI Cang Lombok
 Pada tahun 1955 menjadi anggota Konstituante RI hasil Pemilu I (1955)
 Pada tahun 1964 mendiriakn Akademi Paedagogik NW
 Pada tahun 1964 menjadi peserta KIAA (Konferensi Islam Asia Afrika) di Bandung
 Pada Tahun 1965 mendirikan Ma'had Dar al-Qu'an wa al-Hadits al-Majidiyah Asy-Syafi'iyah
Nahdlatul Wathan
 Pada tahun 1972-1982 sebagai anggota MPR RI hasil pemilu II dan III
 Pada tahun 1971-1982 sebagai penasihat Majlis Ulama' Indonesia (MUI) Pusat
 Pada tahun 1974 mendirikan Ma'had li al-Banat
 Pada Tahun 1975 Ketua Penasihat Bidang Syara' Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram
(sampai 1997)
 Pada tahun 1977 mendirikan Universitas Hamzanwadi
 Pada tahun 1977 menjadi Rektor Universitas Hamzanwadi
 Pada tahun 1977 mendirikan Fakultas Tarbiyah Universitas Hamzanwadi
 Pada tahun 1978 mendirikan STKIP Hamzanwadi
 Pada tahun 1978 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Hamzanwadi
 Pada tahun 1982 mendirikan Yayasan Pendidikan Hamzanwadi
 Pada tahun 1987 mendirikan Universitas Nahdlatul Wathan Mataram
 Pada tahun 1987 mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Hamzanwadi
 Pada tahun 1990 mendirikan Sekolah Tinggi Ilamu Dakwah Hamzanwadi
 Pada tahun 1994 mendirikan Madrasah Aliyah Keagamaan putra-putri
 Pada tahun 1996 mendirikan Institut Agama Islam Hamzanwadi
Oleh karena jasa-jasa beliau itulah, maka pada tahun 1995 belau beliaunugerahi Piagam
Penghargaan dan medali Pejuang Pembangunan oleh pemerintah. Disamping itu, al-Mukarram
Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku seorang mujahid selalu
berupaya mengadakan inovasi dalam gerakan perjuangannya untuk meningkatkan
kesejahteraan ummat demi kebahagian di dunia maupun di akhirat.
Di antara inovasi/rintisa-rintisan beliau adalah menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran
agama Islam di NTB dengan sistem madrasi, membuka lembaga pendidikan khusus untuk
wanita, mengadakan ziarah umum Idul Fitri dan Idul Adha dengan mendatangai jamaah di
samping didatangi, meyelenggarakan pengajian umum secara bebas, mengadakan gerakan doa
dengan berhizib, mengadakan syafa'at al-kubro, menciptakan tariqat, yakni tariqat Hizib
Nahdlatul Wathan, membuka sekolah umum disamping sekolah agama (madrasah), menyusun
nazam berbahasa Arab bercampur bahasa Indonesia, dan lain-alin.
Sebagai seorang Ulama' mujahid beliau telah memberikan keteladanan yang terpuji. Seluruh sisi
kehidupan beliau, beliau isi dengan perjuangan memajukan agama, nusa dan bangsa.
Tegasnya, tiada hari tanpa perjuangan. Itulah yang senantiasa terlihat dan terkesan dari seluruh
sisi kehidupan beliau yang patut dicontoh dan diteladani oleh seluruh pengikut dan murid beliau.

Karya[sunting | sunting sumber]


Al-Mukarram Maulana al-Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid selaku ulama'
pewaris para Nabi, di samping menyampaikn dakwah bi al-hal wa bi al-lisan, juga tergolong
penulis dan pengarang yang produktif. Bakat dan kemampuan beliau sebagai pengarang ini
tumbuh dan berkembang sejak beliau masih belajar di Madrasah Shaulatiyah Mekah. Namun
karena banyaknya dan padatnya kegiatan keagamaan dan keasyarakatan yang harus diisi maka
peluang dan kesempatan untuk memperbanyak tulisan tampaknya sangat terbatas. Kendatipun
demikian di tengah-tengah keterbatasan waktu itu, beliau masih sempat mengarang beberapa
kitab, kumpulan doa, dan lagu-lagu perjuangan dalam bahasa Arab, Indonesia dan Sasak.

Dalam bahasa Arab[sunting | sunting sumber]


 Risalah al-Tauhid
 Sullam al-Hija Syarah Safinah al-Naja
 Nahdlah al-Zainiah
 At Tuhfah al-Amfenaniyah
 Al Fawakih al-Nahdliyah
 Mi'raj al-Shibyan ila Sama'i Ilm al-Bayan
 Al-Nafahat ‘ala al-Taqrirah al-Saniyah
 Nail al-Anfal
 Hizib Nahdlatul Wathan
 Hizib Nahdlatul Banat
 Tariqat Hizib Nahdlatul Wathan
 Shalawat Nahdlatain
 Shalawat Nahdlatul Wathan
 Shalawat Miftah Bab Rahmah Allah
 Shalawat al-Mab'uts Rahmah li al-‘Alamin
Dalam bahasa Indonesia dan Sasak[sunting | sunting sumber]
 Batu Ngompal
 Anak Nunggal
 Taqrirat Batu Ngompal
 Wasiat Renungan Masa I dan II
Nasyid/Lagu Perjuangan[sunting | sunting sumber]
 Ta'sis NWDI
 Imamuna al-Syafi'i
 Ya Fata Sasak
 Ahlan bi Wafid al-Zairin
 Tanawwar
 Mars Nahdlatul Wathan
 Bersatulah Haluan
 Nahdlatain
 Pacu Gama'
 Surat Waqiah
 …dan lain sebagainya.

Wafat[sunting | sunting sumber]


Tarikh akhir 1997 menjadi masa kelabu Nusa Tenggara Barat. Betapa tidak, hari Selasa, 21
Oktober 1997 M / 18 Jumadil Akhir 1418 H dalam usia 99 tahun menurut kalender Masehi, atau
usia 102 tahun menurut Hijriah. Sang ulama karismatis, Tuan Guru Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid, berpulang ke rahmatullah sekitar pukul 19.53 WITA di kebeliauman beliau di desa
Pancor, Lombok Timur. Tiga warisan besar beliau tinggalkan: ribuan ulama, puluhan ribu santri,
dan sekitar seribu lebih kelembagaan Nahdlatul Wathan yang tersebar di seluruh Indonesia dan
mancanegara.
Beliau adalah ulama pewaris para nabi. Beliau sangat berjasa dalam mengubah masyarakat
NTB dari keyakinan semula yang mayoritas animisme, dan dinamisme menuju masyarakat NTB
yang islami. Buah perjuangan beliau jugalah yang menjadikan Pulau Lombok sehingga dijuluki
Pulau Seribu Masjid. Karena di seluruh kampung di Lombok pasti kita temukan masjid untuk
tempat ibadah dan acara sosial, baik yang berukuran kecil maupun besar.
Perjuangan beliau dalam menegakkan syiar Islam dan pendidikan di bumi Indonesia tidak boleh
terhenti begitu saja, namun harus terus dilanjutkan oleh siapa saja, baik umat muslim Indonesia
secara keseluruhan dan masyarakat Sasak pada umumnya, maupun oleh kader-kader Nahdlatul
Wathan yang telah dididik melalui lembaga-lembaga pendidikan Nahdlatul Wathan serta seluruh
warga Nahdlatul Wathan (abituren, pencinta dan simpatisan) pada khususnya.
Akhirnya, memperhatikan seluruh riwayat kelahiran, pendidikan, dan perjuangan Maulana Syaikh
Zainuddin Abdul Madjid baik untuk masyarakatnya dan negaranya, sehingga tokoh-tokoh daerah
setempat setuju dan berusaha memperjuangkan Beliau [5] agar beliau bisa diangkat sebagai
Pahlawan Nasional dalam bidang Pendidikan dan Gerakan Kepemudaan. Pada hari Kamis, 9
November 2017 bertempat di Istana Negara, beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional,
berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 115/TK/Tahun 2017 tentang Penganugerahan
Gelar Pahlawan Nasional. Empat tokoh yang dianugerahi Pahlawan Nasional oleh Presiden
Joko Widodo yakni almarhum Tuan Guru Kiai Haji (TKGH) Muhammad Zainuddin Madjid asal
Lombok Nusa Tenggara Barat, almarhumah Laksamana Malahayati asal Aceh, almarhum Sultan
Mahmud Riayat Syah asal Kepulauan Riau, dan almarhum Prof. Drs. Lafran Pane asal Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai