Anda di halaman 1dari 14

SISTEM PERADILAN PIDANA DI ACEH NAGROE DARUSSALAM

Oleh: MW Tamami

A. Latar Belakang
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam adalah satu-satu-satunya Provinsi
yang ada di Indonesia yang menerapkan syariat Islam, dengan mengacu pada
ketentuan Pidana Islam (hudud), yang dinamakan dengan Jinayat. Sedangkan di
wilayah provinsi lainnya yang mayoritasnya beragama Islam (seperti seluruh
provinsi yang ada di Pulau Sumatra dan Jawa), tidak menerapkan ketentuan Pidana
Islam sama sekali.
Beberapa pelanggaran tertentu, diatur dan diberi sanksi berdasarkan
hokum jinayah. Seperti hubungan seksual di luar nikah, berpacaran, judi, minuman
keras, dan sebagainya. Jenis pemberian sanksi pun berbeda dengan sanksi yang
diberikan di tempat lain di Indonesia. Jika jenis pemberian sanksi di tempat lain
hanya berupa kurungan ataupun denda, jenis sanksi yang ada di Aceh, diatur secara
sendiri, berupa tiga macam hukuman, yaitu kurungan, denda (restribusi) dan
hukuman cambuk.1

B. Sejarah Pemberlakuan Hukum di Aceh


Sejarah pemberlakuan hokum JInayah di Aceh punya jejak sangat lama.
Bukhari al Jauhari, telah menulis tentang kitab yang berisi tata Negara, berpedoman
pada syariat Islam, Taj as Salatin, pada tahun 1603.2 Dari cerita oral yang
berkembang di Aceh, Sultan Iskandar Muda juga pernah menjatuhkan hukuman
rajam kepada anaknya sendiri, karena terbukti melakukan perbuatan zina.
Sedangkan Sultan Alaudin Riáyatsyah al Qahhar, (abad ke 16) pernah dijatuhi
hukuman membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga korban pembunuhan yang
dilakukannya, sebagai kompensasi diyat.3

1
Zulkarnain Lubis & Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah, (Jakarta: Kencana,
2016). hlm. 167-169
2
Zakaria Ahmad,, Sejarah Indonesia jilid II. (Medan: Monora, 1973), hlm. 22
3
Al Yasa’Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Banda Aceh: Dinas Syariat
Islam Banda Aceh, 2006), hlm. 389-390
Kesultanan Aceh merupakan sebuah kerajaan yang didasarkan pada
hokum Islam, dan hal tersebut bertahan hingga tahun 1903, setelah Sultan
Daudsyah, yang menyerah kepada Belanda. Sehingga, Aceh merupakan provinsi di
Indonesia yang mengalami penjajahan Belanda yang jauh lebih pendek daripada
daerah lainnya. Di Jawa sendiri, Belanda sudah berkuasa mutlak sesudah jatuhnya
semua kerajaan yang ada di Jawa, karena perang saudara, sehingga hokum belanda
dapat diterapkan secara penuh di luar Aceh. Sedangkan di Aceh sendiri, penjajahan
Belanda, masih terus mendapatkan perlawanan dari pejuang Aceh setidaknya
sampai tahun 1913.4 Meski demikian masih muncul berbagai perlawanan di
berbagai titik di Aceh kepada pemerintahan HIndia Belanda, hingga kedatangan
Jepang ketika tahun 19425.
Wilayah Aceh mempunyai keistimewaan dibandingkan dengan Jawa,
dalam hubungannya dengan Republik Indonesia. Karena hamper semua wilayah
Indonesia merupakan wilayah Hindia Belanda dalam rentang waktu yang sangat
lama, tidak begitu dengan Aceh. Secara konteks sosio kultur Aceh jgua berbeda
dengan di Indonesia. Sehingga, Aceh tidak begitu langsung menerima sebagai
bagian integral dari Republik Indonesia, ketika Negara ini diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Waktu itu, Soekarno harus meyakinkan semua daerah
bekas koloni Belanda, untuk bersatu membentuk wilayah Indonesia.
Soekarno harus berjanji kepada semua wilayah, agar kepentingan semua
wilayah dapat diwujudkan jika mereka mau bergabung dengan Republik Indonesia.
Wilayah Timur Indonesia menginginkan terhapusnya tujuh kata dari Piagam
Jakarta, dan hal ini dipenuhi sehingga mereka bergabung dengan Republik
Indonesia. Sedangkan kepada Rakyat Aceh, Soekarno bersedia memberikan
kebebasan bagi Aceh, untuk mengurus sendiri wilayahnya, terutama dalam hal
penegakan syariat Islam.
Janji Soekarno ini kemudian direspon secara baik oleh bangsa Aceh.
Sehingga, rakyat Aceh berhasil mengumpulkan dana sebesar 500 ribu dollar AS

4
Nino Oktorino, Perang Terlama Belanda: Kisah Perang Aceh 1873-1913, (Jakarta:
ElexMedia Komputindo, 2018), hlm. 106
5
Ibid., hlm. 110
untuk membiayai pemerintahan dan TNI, dan mgembalikan pusat pemerintahan
Republik Indonesia, dari Yogyakarta ke Jakarta. Janji ini tidak lah ditepati oleh
Soekarno, malah menyatukan wilayah Provinsi Aceh dengan Sumatra Utara pada
tahun 1951, dan tidak mengakui kedudukan Mahkamah Syaríyyah6. Hak Otonomi
Aceh juga dicabut. Alas an ini lah yang menyulut pemberontakan Darul Islam di
Aceh. Daud Beureueh menyerah pada tahun 1962, setelah dijanjikan dibuatkan
Undang-undang pelaksanaan syariat Islam di Aceh.7
Setelah kejatuhan Soekarno, memasuki masa Orde Baru. Di masa ini,
tahun 1968 usaha untuk menerapkan Syariat Islam di Aceh kembali gagal. Karena
rancangan Syariat Islam dalam bentuk Peraturan Daerah, ditolak oleh Kementerian
Dalam Negeri. Sikap antipati Orde Baru terhadap penegakan Syariat Islam di Aceh
juga dengan cara mengeluarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah, yang memaksa membubarkan biro yang bertugas untuk
mengkordinasikan pelaksanaan Syariat Islam di Aceh.8 Hal ini lah yang mencerabut
‘keistimewaan’Aceh. Karena status ‘Daerah Istimewa’ bagi rakyat Aceh
(berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1957) hanya sekedar nama yang disndangnya.
Aceh tidak diberikan otonomi khusus untuk mengatur rumah tangganya sendiri,
termasuk dalam hal penerapan syariat Islam.
Sejak pertengahan decade 1970an, Daud Beureuh diasingkan di Jakarta.
Daud Beureueh terpisah dengan akar perjuangannya di Aceh. Sedangkan di Aceh
sendiri, sejak tahun 1976, muncul Gerakan Aceh Merdeka yang dipimpin oleh
Hasan Tiro, yang mendapatkan sokongan (bantuan) dari pemerintahan Swedia.
Hasan Tiro sendiri tidak mempunyai relasi dengan Daud Beureueh, yang justru
tidak mendukung aksi perlawanan Hasan Tiro. Karena Hasan Tiro mengobarkan
perlawanan dengan keengganan menjadikan syariat islam sebagai dasar acuan
dalam mendirikan Negara. Konflik antara Republik Indonesia dengan pejuang

6
Analiansyah, (ed. At all) Syari`at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, Cet. 1 (Banda
Aceh: Dinas Syari`at Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, , 2008), hlm 508.
7
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh, edisi
revisi, (Jakarta: Media Dakwah2001), hlm. 332.
8
Al Yasa Abubakar, Sejarah Pelaksanaan Syari`at Islam Di Aceh dalam
http://alyasaabubakar.com/2013/07/sejarah-pelaksanaan-syariat-islam-di-aceh/ , diakses pada
tanggal 7 Desember 2019
GAM ini berlarut-larut, hingga pemerintahan Orde Baru menerapkan Daerah
Operasi Militer di Aceh pada tahun 1990an, sampai masa berakhirnya
Pemerintahan Orde Baru. Ketika masa reformasi, konflik masih terjadi, dan
berakhir di meja perundingan damai pada tahun 2005.
Mundurnya Presiden Soeharto pada tahun 2008, punya pengaruh besar
bagi pelaksanaan hokum syariat Islam di Aceh. Sifat dari pemerintahan Orde Baru
sendiri adalah sentralisasi, atau kekuasaan terpusat di Jakarta. Di era Otonomi,
maka terjadi desentralisasi dengan munculnya Undang-undang tentang Otonomi
Daerah. Terkait dengan Aceh, diberikan Undang-undang No. 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimwa Aceh. Undang-undang ini
memberikan wewenang yang luas bagi daerah, termasuk dalam penerapan syariat
Islam.
Seiring dengan adanya Undang-undang tentang Otonomi Khusus tersebut,
maka berlaku berbagai Qanun, yaitu peraturan setingkat perda yang berisi ketentuan
hokum syariat. Pada tahun 2003, disahkan Qanun Nomor 12, 13, dan 14.
1. Qanun Nomor 12 tentang minuman khamr dan sejenisnya
2. Qanun Nomor 13 tentang maisir, atau permainan yang
mengandung unsur judi (untung-untungan).
3. Qanun Nomor 14 tentang Khalwat, yaitu tentang larangan
bersendirian antara lelaki dan perempuan.
Pada tahun 2009, DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh) menyetujui
sebuah qanun baru tentang hokum jinayah, yang didalamnya memuat hukuman
rajam. Tetapi perda ini ditolak oleh eksekutif (waktu itu dijabat oleh Gubernur
Irwandi Yusuf), sehingga secara otomatis, hukuman rajam tidak diberlakukan di
Aceh.9

C. Qanun Jinayah Aceh Nomor 14 tahun 2014


Penyelenggaraan Hukum Jinayah berdasarkan pada Qanun Jinayah Aceh
Nomor 14 tahun 2014, meliputi beberapa pelanggaran berikut ini:

9
R. Michael Feener (Ed), Islam and the Limits of the State: Reconfigurations of
Practice, Community and Authority in Contemporary, (Leiden: E-Book , 2016), pg. 110
1. Khamar;
2. Maisir;
3. khalwat;
4. Ikhtilath;
5. Zina;
6. Pelecehan seksual;
7. Pemerkosaan;
8. Qadzaf;
9. Liwath; dan
10. Musahaqah.
Jenis-jenis pelanggaran di atas disebut dengan jarimah. Sedangkan sanksi
hukumannya dinamakan dengan ‘uqub (jama’dari ‘iqab). Sedangkan hukuman
tambahan, didasarkan atas kebijaksanaan hakim disebut dengan ta’zir. Sanksi
(‘uqub dan ta’zir) dapat berupa hukuman denda, kurungan, restitusi dan cambuk.10
Subyek hukuman jinayah bisa diberlakukan hanya kepada umat islam dan non
islam. Berlaku kepada non islam, jika ia bersama dengan orang islam melakukan
perbuatan jarimah (sebagaimana telah disebutkan di atas). Atau seorang non islam
bisa dihukum secara jinayah, jika ia secara sukarela memilih untuk dihukum dengan
cara islam. Subyek hukum lainnya, tidak hanya perorangan, tetapi semua
kelembagaan wajib taat kepada ketentuan yang berlaku.11
Pemberlakuan hudud juga diterapkan pada peminum minuman keras (khamr).
Untuk pemberlakuan iqab, dikenakan 40 kali cambukan. Jika mengulangi nya lagi,
maka hukuman cambuk 40 kali ditambah dengan ta’zir 40 cambukan, atau dengan
membayar uang senilai 400 gram emas murni, atau penjara 40 bulan (3 tahun 4
bulan). Sedangkan hukuman bagi pihak yang memproduksinya, lebih berat, yaitu
dengan 60 kali cambukan, atau denda 600 gram murni, atau hukuman penjara paling
lama 60 bulan (5 tahun). Jika mengikutsertakan anak-anak, maka akan bertambah
hukumannya menjadi 80 kali cambukan, atau 800 gram murni, atau hukuman paling
lama 80 bulan.
Hukuman juga berlaku bagi pelaku jarimah maisir atau taruhan/judi.
Kejahatan / jarimah jika keuntungannya di bawah 2 gram emas murni (sekitar 1,5

10
Pasal 4 ayat 4
11
Pasal 5
juta, perkiraan 1 gram emas=750 ribu rupiah), maka hukumannya sebanyak 12 kali
cambuk, atau denda 120 gram emas murni, atau kurungan paling lama 12 bulan.
Jika nilai keuntungannya lebih dari 2 gram emas murni, maka ancaman
hukumannya paling banyak adalah 30 kali cambukan, atau denda 300 gram emas
murni, atau kurungan paling lama, 30 bulan. 12Sedangkan bagi pihak yang memberi
fasilitas (Bandar) akan diberi sanksi 45 kali cambukan, dan/atau denda 450 gram
emas murni, atau hukuman kurungan sebanyak 45 bulan.13
Hukuman juga diberikan kepada pihak yang sengaja melakukan khalwat,
atau bersendirian dengan lawan jenis. Akan dikenai paling banyak 10 kali
cambukan, atau denda paling banyak 100 gram emas murni, atau hukuman
kurungan maksimal selama 10 bulan. Sedangkan bagi pihak yang sengaja
memberikan fasiiltas promosi, akan diberikan hukuman sebanyak 1,5nya, yaitu
maksimal 15 kali cambukan, atau denda sebanyak 150 gram emas murni, atau
hukuman kurungan paling lama 15 bulan.14
Hukuman juga diberikan bagi pihak yang sengaja melakukan ikhtilat, atau
bercumbu dengan lawan jenis. Yaitu akan dikenai cambuk sebanyak maksimal 30
kali, atau denda paling banyak 300 gram emas murni, atau hukuman kurangan
maksimal 30 bulan. Sedangkan bagi pihak yang memberikan fasilitas, atau promosi,
akan dikenai hukuman 1,5 kalinya, yaitu akan dicambuk maksimal 45 kali, atau
didenda maksimal senilai 450 gram emas, atau kurungan selama maksimal 45
bulan.15
Hukum Aceh juga membedakan antara khalwat, ikhtilath, dan zina.
Ketiganya didasarkan atas tingkat ‘keparahan’nya, dan dihukum sesuai dengan
tingkatnya. pada tingkat zina, maka berlaku hukum sebagaimana yang ditentukan
oleh al Qurán, yaitu dihukum cambuk 100 kali, jika mengulangi kembali, maka
akan ditambah dengan ta’zir berupa denda 120 gram murni, atau hukuman penjara
paling lama 12 bulan. Sedangkan bagi pihak yang menyediakan jasanya, akan

12
Pasal 18 dan 19
13
Pasal 20
14
Pasal 23
15
Pasal 25
dihukum sebanyak 100 kali cambuk, ditambah dengan denda paling banyak 1.000
gram emas atau penjara paling lama 100 bulan.16
Qanun juga menerapkan pasal yang sudah diatur dalam Undang-undang,
yaitu terkait pelecehan seksual dan pemerkosaan. pada pelecehan seksual,
pelakunya akan diberi hukuman cambuk paling banyak 45 kali, dengan denda
paling banyak 450 gram emas murni, atau hokuman penjara paling lama 45 bulan.17
Sedangkan bagi yang sengaja melakukan pemerkosaan, akan dikenai hukuman
paling banyak 125 kali cambuk, atau dikenai denda paling banyak 1.750 gram emas,
atau penjara dengan rentang waktu 125 bulan higga 175 bulan.18
Hukuman juga berlaku bagi pihak yang melakukan tuduhan palsu. Tuduhan
palsu dalam istilah jinayah disebut dengan Qadzaf, dimana seorang menuduh orang
lain telah melakukan zina, tanpa menghadirkan saksi, atau ia terbukti dengan
sengaja melakukan perbuatan tersebut. Maka ia akan dikenai hukuman cambuk
sebanyak 80 kali. Jika mengulangi perbuatan lagi, maka akan ditambah dengan
denda 400 gram emas, atau penjara palng lama 40 bulan.19
Hukuman juga berlaku bagi para pelaku LGBT, atau dalam hal ini
liwath.liwath merupakan sebuah istilah bagi bentuk persenggamaan antar lelaki,
dimana salah satunya dengan suka sama suka, memasukkan bagian farji-nya ke
lubang bagian belakang lelaki lainnya. Orang yang melakukan hal ini, dihukum
sebanyak 100 kali cambuk, atau denda paling banyak 1.000 gram emas, atau dengan
penjara 100 bulan. jika dilakukan dengan anak, maka hukuman dapat ditambah lagi
menjadi 100 kali cambukan, atau dengan denda sebanyak 1.000 gram, atau penjara
palng lama 100 bulan.20 hukuman yang diberikan kepada pelaku musahaqah (yaitu
menggeser-geserkan antar tubuh untuk perangsangan seksual, yang biasanya
dilakukan oleh pihak perempuan/lesbi), juga serupa dengan hukuman yang
diberikan kepada pelaku liwath.21

16
Pasal 33
17
Pasal 46
18
Pasal 48
19
Pasal 57
20
Pasal 63
21
Pasal 64
Qanun ini juga memuat pasal-pasal dimana pelaku jarimah tidak dikenai iqab
karena alas an-alasan yang masuk akal. Seperti jika seseorang dipaksa melakukan
perbuatan jarimah, seperti memaksa untuk berbuat zina, maka hal tersebut tidak
dapat dikenai pasal. Begitu juga dengan orang-orang yang belum baligh, atau
mengidap gangguan jiwa, juga dapat dilepaskan dari semua tuntutan.22 Begitu juga
seseorang yang melakukan pekerjaan harian, dimana ia harus bekerja yang
terkadang berduaan dengan lawan jenisnya (Khalwat), maka hal ini tidak dapat
dikenai tuduhan telah melanggar syariah. Atau, orang yang dengan sengaja
memberikan pertolongan bagi pihak lainnya yang berbeda jenis kelamin dalam
keadaan darurat. Begitu juga orang yang atas alas an kesehatannya, dan berdasarkan
anjuran dokter untuk mengonsumsi obat-obatan, maka tidak dapat dituntut telah
melakukan jarimah maisir.23

D. Perbandingan dengan Hukum Pidana lainnya di Indonesia


Hukuman pidana Aceh mempunyai isi substansi yang berbeda dnegan pidana
di daerah lainnya. Karena keistimewaan Aceh berdasarkan konteks budaya
masyarakat Islamnya yang berbeda dengan daerah lainnya. Sama hal nya dengan
Yogyakarta yang mempunyai konteks budaya politik yang berbeda dengan daerah
lainnya. Sehingga Otonomi Khusus diberlakukan kepada dua daerah tersebut,
didasarkan pada keistimewaan yang dimiliki oleh dua daerah tersebut.
Beberapa ketentuan dalam Qanun Jinayah Aceh sebenarnya telah diatur dalam
produk perundang-undangan yang ada di Indonesia secara umumnya. Misalnya
pada masalah khamr. Dalam regulasi yang diatur di daerah lainnya pada umumnya
mengacu pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 6 tahun 2015
tentang Pengendalian dan Pengawasan terhadap Pengadaan, Peredaran dan
Penjualan Minuman Beralkohol. Pada peraturan ini hanya membolehkan peredaran
minuman keras, dengan kadar alcohol paling tinggi 5%, dan hanya dilakukan di
beberapa supermarket.24 Sedangkan bagi pihak yang menenggak minuman keras,

22
Pasal 10
23
Pasal 165
24
Pasal 14 ayat 3 Permendag No. 6 tahun 2015
bisa dilaporkan kepada pihak yang berwajib, dengan tuduhan mengganggu
ketertiban umum, sehingga dapat dikenai pidana sebagaimana pasal 492 KUHP.
Sedangkan regulasi untuk memberikan sanksi pidana bagi konsumsi minuman
keras itu sendiri, saat ini masih dalam penggodokan Rancangan Undang-undang,
dan belum disahkan sejak tahun 2015.25 Sedangkan para peminum Khamr menurut
Jinayah, sebagaimana keterangan di atas, akan dikenai ancaman 40 cambukan, atau
membayar senilai 400 gram emas murni, atau kurungan maksimal 40 bulan.
Sedangkan tentang perjudian, juga telah diatur, meskipun tidak seketat
hukuman Qanun Jinayah Aceh. Pada Sistem Pengadilan Pidana di Indonesia, maka
perjudian harus diatur sedemikian rupa, sehingga akses terhadap tempat perjudian
sulit diakses oleh khalayak luas. Sehingga, memerlukan ijin dari pemerintah daerah
setempat. Sedangkan jika, pihak tanpa ijin menawarkan kepada pihak lain untuk
bermain judi, maka akan dipidana paling lama 10 tahun. Dan pihak yang
melakukan perjudian di dalamnya maka akan mendapatkan ancaman hukuman
paling lama 4 tahun atau denda sebanyak sepuluh juta rupiah.26 Sedangkan, pada
dunia maya, maka segala pihak yang mendistribusikan atau membuat akses
informasi dengan muatan perjudian maka akan dijerat dengan hukuman paling lama
6 tahun , atau denda maksimal 1 milyar rupiah.27 Sedangkan hukuman bagi pihak
penyedia fasilitas perjudian (maisir) menurut Qanun Jinayah Aceh, paling lama 45
bulan (3 tahun 9 bulan), atau denda paling banyak 450 gram (kurang lebih Rp.
337.500.00,00). Sehingga secara kalkulasi, sebenarnya lebih rendah ancaman yang
diterapkan oleh Qanun Jinayah, dibandingkan dengan penyedia layanan judi tidak
berijin di wilayah lain.
Sedangkan pada urusan perzinahan, system hokum pidana di Indonesia pada
umumnya tidak mengatur secara mutlak. Aturan perzinahan di Indonesia, perbuatan
mesum antar dua orang tidak dapat dilaporkan kepada pihak kepolisian, kecuali
diadukan dengan delik mengganggu ketertiban umum. Aparat hokum bisa

25
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5acf3ff6cc4a2/ruu-larangan-minuman-
beralkohol-tunggu-ketegasan-dpr/
26
Pasal 303 KUHP
27
UU No 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 ayat
2 UU ITE
bertindak berdasarkan delik perzinahan, jika mendapatkan laporan dari pihak yang
berkepentingan, yaitu suami atau istri dari salah satu pelaku. Jika terbukti secara
meyakinkan, maka mereka dapat dijerat dengan pasal 284 KUHP. Di sini tidak ada
konsep tentang Qadzaf (tuduhan telah melakukan perzinahan), kecuali jika pihak
yang terlaporkan tersebut merasa dicemarkan nama baiknya, sehingga menuntut
balik dengan laporan pencemaran nama baik sebagaimana yang diatur dalam pasal
310 KUHP.
Sedangkan berdua dengan orang yang bukan mahram-nya merupakan bukan
urusan Negara. Negara hanya dapat bertindak, jika seorang perempuan merasa
dilecehkan dan menuntut orang yang melecehkan tersebut di depan hokum, maka
bagi pihak pelaku akan dikenai ancaman hukuman pidana paling lama tujuh tahun.
Hal ini berbeda dengan Qanun jinayah Aceh yang menerapkan hukuman pidana
khalwat dengan 10 kali cambuk, atau/dan 100 gram emas, atau/dan 10 bulan
penjara. Sedangka pelaku pelecehan seksual diancam dengan hukuman maksimal
125 kali cambuk, dan/atau hukuman penjara paling lama 45 bulan (3 tahun 9 bulan).
Sedangkan sanksi pidana bagi liwath dan musahaqah, masih terdapat kemelut.
Di ruang lingkup kelembagaan Negara sendiri masih terjadi kemelut, antara
memasukkan pidana LGBT dalam KUHP atau membuat Rancangan Undang-
undang yang disetujui bersama, yang didalamnya berisi sanksi pidana bagi
pelakunya. Sedangkan bagi pihak lainnya, menolak dengan tegas klausul dan RUU
yang memasukkan ancaman pidana bagi LGBT, karena bagi mereka seseorang
tidak berhak dihukum pidana hanya didasarkan pada orientasi seksual. 28 Hal ini
berbeda dengan Qanun Jinayah Aceh yang telah menerapkan ancaman hukuman
100 kali hukuman cambuk bagi pelaku LGBT, atau/dan penjara maksimal 100
bulan.

E. Kritik Terhadap Penerapan Qanun Jinayah di Aceh


Ada beberapa dalam penerapan Qanun Jinayah di Aceh yang menjadi obyek
sorotan. Di antaranya adalah :

28
https://nasional.kompas.com/read/2017/12/19/10310291/kelompok-lgbt-tak-bisa-
dipidana-atas-perbedaan-orientasi-seksualnya?page=all , diakses pada tanggal 7 Desmber 2019
1. Tentang Bentuk Hukuman Cambuk
Hukuman cambuk terhadap pelaku jarimah, mendapatkan pertentangan
dari banyak pihak. Amnesty Internasional sendiri telah mengeluarkan pernyataan
dengan judul Indonesia: Criminalization of consensual intimacy or sexual activity
for unmarried couples in Aceh must end. salah satu yang disoroti dalam
pernyataannya adalah terkait model hukuman yang diterapkan pada pelaku jarimah.
Yaitu hukuman tersebut dilakukan dengan menggunakan rotan, yang dapat
menyebabkan sakit yang berkepanjangan atau cedera permanen pada fisik.
Sedangkan cara yang dilakukan adalah seorang pelaku hukuman tersebut dikenai
sanksi (dihukum) dengan dicambuk berkali-kali di depan roang banyak, untuk
memberikan pelajaran terhadap public. Hal ini dapat menyebabkan gangguan
psikologis.
Sedangkan di pihak lain berpendapat sebaliknya. Yaitu, banyak yang
menganggap bahwa hukuman cambuk yang diterapkan kepada pelaku jarimah tidak
lah dapat membuat jera. Tetapi hanya rasa sakit yang dirasakan ketika dan beberapa
saat ketika hukuman itu diterapkan, ditambah dengan rasa malu, karena
dipertontonkan oleh public. Sedangkan tingkat keampuhannya sebagai efek jera
(sebagai substansi dari sanksi itu sendiri) kurang dapat dipenuhi.29,

2. Tentang Berbagai Tindakan Yang Dianggap Sebagai Pelanggaran


Pidana (Seperti Liwath, Zina Dan Khalwat)
Tidak hanya bentuk penerapan Qanun yang mendapatkan kritik, tetapi
juga terkait dengan bentuk pelanggaran yang dapat dijerat dengan hukuman
(sanksi). Semua yang diatur dalam Qanun merupakan bentuk pelanggaran terhadap
moralitas, yang seharusnya urusan pribadi, demikian pendapat Amnesty
International, atau berdasarkan cara berfikir humanism, dimana meletakkan
standart moralitas didasarkan atas otonomi pribadi, bukan ditentukan oleh pusat
(kekuasaan).30

29
Darmansjah Djumala, Soft Power untuk Aceh, (Jakarta: Gramedia, 2013), hlm. 153
30
Ronald E. Osborn, Humanism and the Death of God, (United Kingdom: Oxford
University Press, 2017), pg. 190
Masalah hubungan seksual pra nikah, menurut pemikiran politik
demokrasi (sebagaimana yang dianut oleh Barat), Negara tidak berhak
mengaturnya. Masalah hubungan seksual merupakan urusan privasi yang tidak ada
sangkutpautnya dengan Negara. Negara hanya boleh bertindak, jika perilaku yang
dilakukan oleh seseorang mengganggu orang lain, atau (dan) mengganggu
ketertiban umum. Selama perilaku tersebut tidak merusak tatanan kehidupan
masyarakat, dan tidak ada pihak yang dirugikan, maka Negara tidak dapat
melakukan intervensi.31
Hal ini merupakan kecondongan pada Sistem Hukum Pidana di tingkat
Nasional. Bahwa perilaku LGBT, perzinahan, dan minuman keras, tidak dapat
dijerat dengan pasal pidana, kecuali dijerat dengan pasal gangguan terhadap
ketertiban umum. Tetapi hal ini berbeda dengan yang ada di Aceh, dimana standart
moral tidak lah ditentukan oleh hubungannya dengan public, tetapi perilaku
seseorang tersebut an sich.

3. Tentang Keterkaitan Dengan Hukum Di Atasnya (Hukum Nasional)


Qanun yang diterapkan di Aceh, pada dasarnya merupakan aturan setingkat
dengan Perda (Pemerintahan Daerah). Sifat dari Perda, harus lah tunduk, dan sesuai
dengan aturan yang ada di atasnya. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) juga
mempunyai kewenangan dalam melakukan evaluasi, apakah peraturan yang sudah
ditetapkan dalam perda tersebut sudah sesuai dengan peraturan di atasnya.32 Banyak
kritik lain lagi terkait hal ini, termasuk dalam hal Penggunaan istilah ‘Qanun’,
dengan mengusulkan dengan mengganti istilah tersebut dengan ‘Perda’’. Dan
mengganti ucapan bismillahirrahmanirrahim, atau segala sesuatu yang berkaitan
dengan symbol-simbol keagamaan. Karena menurut mereka, peraturan harus dapat
merepresentasikan pluralitas dalam kehidupan social. Karena wilayah Aceh, tidak

31
Tore Lindholm(ed), Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Terj.
Rafael Edy Bosko (Yogyakarta: Kanisius, 2007), , hlm. 239
32

https://edukasi.kompas.com/read/2013/03/28/18530444/pemerintah.evaluasi.qanun.siapkan.catatan
.koreksi , diakses pada tanggal 7 Desember 2019
hanya terdiri dari Umat Islam, melainkan juga banyak warga non Muslim yang
bermukim dan berhukum dengan hukuman yang diterapkan di Aceh.33

4. Tidak Semua Hukum Jinayah Bisa Diterapkan


Tidak semua Hukum Jinayah diterapkan dalam system Peradilan Pidana
di Aceh oleh Mahkamah SYaríyyah. Kritik ini datangnya bukan dari kelompok
penentang penegakan syariat, melainkan justru datang dari kelompok yang
menyuarakan penerapan syariat secara kaffah. Menurut mereka, syariat islam tidak
hanya berupa hukuman cambuk, melainkan juga hukuman mati, termasuk dalam
hal ini adalah hukuman rajam dan hukuman pancung.
Di Aceh sendiri, hanya diterapkan hukuman cambuk bagi pelaku
perzinahan, tetapi banyak sekali unsur jinayah yang tidak diterapkan. Misalnya
hukuman mati bagi orang yang berpindah agama, hal ini tidak bisa diterapkan
dalam aturan Qanun. Hukuman rajam bagi pelaku yang sudah mempunyai
pasangan, hal ini tidak bisa diterapkan dalam Qanun. Qanun hanya memberikan
pembedaan pada pelaku, penyedia fasilitas, dan kelompok umur. Hukuman lain
yang tidak bisa diberika adalah potong tangan, bagi pencuri.

F. Kesimpulan
Penerapan Jinayah di Aceh mempunyai jejak sejarah yang sangat lama.
Dari masa Kerajaan Islam yang pertama berdiri di Aceh, kemudian diikuti dengan
berdirinya Kesultanan Aceh, hingga masa keruntuhannya di tahun 1903.
Perlawanan untuk menegakkan kembali syariat Islam juga mempunyai jejak yang
sangat panjang, dari perjuangan mengusir penjajah, hingga masa perjuangan
diplomasi politik, sampai pada pemberontakan medukung gerakan NII (Negara
Islam Indonesia).
Penerapan Syariat Islam di Aceh bisa diwujudkan setelah keberhasilan
gerakan Reformasi. Tetapi penerapan ini tidak lah menyeluruh dari hukum Jinayah
Islam, hanya diterapkan secara parsial, dengan tetap memperhatikan sifat Sistem

33
https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol13872/kontroversi-iqanuni-perda-dengan-
karakteristik-khusus/
Hukum Pidana di tingkat Nasional, maupun berdasarkan pada kaedah Hak Asasi
Manusia (HAM). Sehingga, penerapan Syariat Islam lewat Qanun di Aceh,
merupakan hasil dialektika antara perwujudan jinayah yang ideal dan menyeluruh
berdasarkan nash dari al Qurán dan Hadits, dengan kondisi system hukum yang
ada, baik di tingkat nasional maupun internasional. Sehingga, penerapan syariat
Islam, mendapatkan kritik negative dari dua kubu sekaligus, yaitu kubu yang
menghendaki penerapan menyeluruh, maupun kelompok yang memperjuangkan
kebebasan berekspressi manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Zulkarnain Lubis & Bakti Ritonga, Dasar-Dasar Hukum Acara Jinayah,


(Jakarta: Kencana, 2016)
Zakaria Ahmad,, Sejarah Indonesia jilid II. (Medan: Monora, 1973)
Al Yasa’Abu Bakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syariat Islam (Banda
Aceh: Dinas Syariat Islam Banda Aceh, 2006)
Nino Oktorino, Perang Terlama Belanda: Kisah Perang Aceh 1873-1913,
(Jakarta: ElexMedia Komputindo, 2018)
Analiansyah, (ed. At all) Syari`at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam,
Cet. 1 (Banda Aceh: Dinas Syari`at Islam Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, , 2008)
M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. M. Daud Beureu-eh dalam Pergolakan
Aceh, edisi revisi, (Jakarta: Media Dakwah2001)
R. Michael Feener (Ed), Islam and the Limits of the State:
Reconfigurations of Practice, Community and Authority in
Contemporary, (Leiden: E-Book , 2016), pg. 110
Darmansjah Djumala, Soft Power untuk Aceh, (Jakarta: Gramedia, 2013),
hlm. 153
Ronald E. Osborn, Humanism and the Death of God, (United Kingdom:
Oxford University Press, 2017)
Tore Lindholm(ed), Kebebasan Beragama Atau Berkeyakinan: Seberapa
Jauh? Terj. Rafael Edy Bosko (Yogyakarta: Kanisius, 2007

Anda mungkin juga menyukai