Anda di halaman 1dari 17

REFRESHING

KEJANG DEMAM

Gama hermawan

2015730049

Pembimbing:

dr.Fahmi Hasan, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN


ILMU KESEHATAN ANAK
RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA SUKAPURA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, Alhamdulillah karena

dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Refreshing “Kejang

Demam” ini tepat pada waktunya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan ini masi jauh dari sempurna. Oleh

karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua

pihak yang membaca, agar penulis dapat mengkoreksi dan dapat membuat laporan yang

lebih baik kedepannya.

Demikianlah laporan referat ini dibuat sebagai tugas di kegiatan klinis di Stase

Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Islam Jakarta Sukapura serta untuk menambah

pengetahuan bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Jakarta, Januari 2020

Gama Hermawan

2
A. DEFINISI
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu diata 38℃, dengan
metode pengukuran suhu apapun) yang tidak disebabkan oleh proses
intrakranial.(IDAI, 2016)

Keterangan :
1. kejang terjadi karena kenaikan suhu tubuh, bukan kaena gangguan elektrolit atau
metabolik lainnya.
2. Bila ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai
kejang demam.
3. Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun
jarang sekali.
National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan,
sedangkan Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan
batasan usia 1 bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang
didahului demam, pikirka kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf
pusat.
4. Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi kejang
demam melainkan termasuk dalam kejang neonatus.

A. EPIDEMIOLOGI
Kejang demam terjadi pada 2-5% populasi anak usia 6 bulan-5 tahun. (IDAI, 2016)
Kejang demam tidak berhubungan dengan adanya kerusakan otak dan hanya sebagian
kecil ssja yang berkembang menjadi epilepsi. Insiden kejang demam 2,2-5% pada anak
dibawah usia 5 tahun. Anak laiki-laki lebih sering dari pada perempuan
dengnperbandingan 1,2-1,6 : 1. (IDAI, 2011)

B. ETIOLOGI
Kejang disertai demam dapat disebabkan oleh infeksi SSP (meningitis, ensefalitis atau
abses otak), epilepsi yang beum terdiagnosis yang dicetuskan oleh demam, atau kejang
demam sederhana. Yang disebutkan terakhir merupakan predisposisi genetik terhadap
3
kejang dicetuskan oleh demam yang sering didapatkan pada anak usia 6 bulan sampai 5
tahun. Keadaan ini terjadi pada 2% sampai 4% anak; sebagian besar antara usia 1 sampai
2 tahun (usia rata-rata 22 bulan)
Semua jenis infeksi yang bersumber diluar SSP yang menimbulkan demam dapat
menyebabkan kejajng demmam, misalnya tonsilitis (peradanga pada amandel), infeksi
pada telinga, daninfeksi saluran napas lainnya. Penyakit yang palin sering menimbulkan
kejang demam adalah infeksi saluran napas akut, otitis media, pneumonia, gastroenteritis
akut, bronchitis, dan infeksi saluran kemih.

C. KLASIFIKASI
a) Kejang demam sederhana (Simple febrile seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit, dan umumnya
akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik dan atau klonik, tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam
sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam.

b) Kejang demam kompleks (Complex febrile seizure)


Kejang demam disebut kompleks jika kejang berlangsung lebih dari 15 menit,
bersifat fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial,
dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.

D. PATOFISIOLOGI
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting
adalah glukosa dan melalui suatu proses oksidasi. Dalam proses oksidasi tersebut
diperlukan oksigen yang disediakan melalui perantaraan paru-paru. Oksigen dari
paru-paru ini diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Suatu sel, khususnya
sel otak atau neuron dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari
membran permukaan dalam dan membran permukaan luar. Membran permukaan
dalam bersifat lipoid, sedangkan membran permukaan luar bersifat ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion

4
Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium ( Na+ ) dan elektrolit lainnya,
kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K- ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial
membran tadi dapat berubah karena adanya : perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler, rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis,
kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan patofisiologi dari
membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada
seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh,
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada
seorang anak dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu
singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran tersebut sehingga
mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian
besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lain yang ada
didekatnya dengan perantaraan neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.

Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbedda dan tergantung tinggi
rendahnya ambang kejang seseorang anak menderita kejang pada kenaikan suhu
tertentu. Pada nak denga ambang kejang yang rendah, kejang telah terjadi pada suhu
38℃ sedangkan pada anak dengan ambang batas yang tinggi, kejang baru terjadi
pada suhu 40℃ atau lebih. Dari kenyataan inilah dapatlah disimpulkan bahwa
terulangnya kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah
sehingga penananggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa
penderita kejang.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama biasanya
terjadinay apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi skelet
5
yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh
metabolime anaeronik, hipotensi arterial disertaidenyut jantung yang tidak teratur
dan suhu tubuh makin meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan
metabolisme otak meningkat. Rangkaian kejadian diatas adalh faktor penyebab
sehingga terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsungnya kelang lama.

Faktor terpenting adalah gangguan peredarahn darah yang mengakibatkan


hipoksia sehingga meninggikan permeabilitas kapiler dan imbul edema otak yang
mengakibatkana kerusakan sel neuron otak. Kerudakan pad adaerah medial lobus
temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat menjadi
‘matang” dikemusian hari, sehingga terjadi serangan epilepsi yang spontan. Jadi
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis diotak
hingga terjadi epilepsi (ilmu kesehatan anak FK UI, 2002)

E. MANIFESTASI KLINIS
Umumnya kejang berlangsung singkat, berupa serangan kejang klonik atau tonik
klonik bilateral. Seringkali kejang berhenti sendiri. Setelahkejang berhenti anak tidak
memberi reakis apapun sejenak, tetapi setelah beberapa detik atau menit anak
terbangun dan sadaar kembali tanpa defisit neurologis. Kejang demam diikuti
hemiparesis sementara yang berlansgung beberapa jam dan hari. Kejang unilateral
yang lama dapat diikuti hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang
berlangsung lama biasanya terjadi pada kejang demam yang pertama. Kejang
berulang dalam 24 jam ditemukan pada 16% pasien.

6
Kejang yang terkait dengan kenaikan suhu yang cepat biasanya berkembang bila
suhu tubuh mencapai 39℃ atau lbih. Kejang khas yang menyeluruh, tonik-klonik
bebeeapa detik sampai 10 menit, diikuti dengan periode mengantuk singkat pasca
kejang. Kejang demam yang menetap lebih laam dari 15 menit menynjukkan
penyebab organik seperti prosen infeksi atau toksik yang memerlukan pengamatan
menyeluruh. (Nelson, 2000)

F. DIAGNOSIS
Anamnesis
 waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan kejang
 sifat kejang (fokal atau umum)
 Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
 Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
 Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan, menetap atau naik
turun)
 Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA, OMA, GE)
 Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak disertai demam
atau epilepsi)
 Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
 Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
 Trauma kepala

Pemeriksaan Fisik
 Kesadaran : apakah terdapat penurunan kesadaran, suhu tubuh : apakah terdapat
demam
 Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique, Laseque
 Pemeriksaan nervus kranial : Umumnya tidak dijumpai adanya kelumpuhan nervi
kranialis
 Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun-ubun besar (UUB) membonjol, papil
edema.
 Tanda infeksi diluar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll
7
 Pemeriksaan neurologi : tonus, motorik, refleks fisiologis, refleks patologis

Kriteria Diagnosis
 Kejang didahului oleh demam
 Pasca kejang anak sadar kecuali kejang lebih dari 15 menit

Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
demam, meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, serum kalsium,
fosfor, magnesium, ureum, kreatinin, urinalisis, biakan darah, urin dan feses,
walaupun kadang tidak menunjukan kelainan yang berarti.
 Fungsi lumbal sangat dianjurkan pada anak dibawah umur 12 bulan, dianjurkan
pada umur 12-18 bulan, dan dipertimbangkan pada anak berumur diatas 18 bulan,
atau dicurigai menderita meningitis. Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan
untuk menegakkan diagnosis/menyingkirkan kemungkinan meningitis. Jika yakin
bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Berdasarkan
bukti-bukti terbaru, saat ini, pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin
pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana, well-
appearing, imunisasi lengkap (termasuk HiB dan Pneumokokus).
Indikasi pungsi lumbal :
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
3. Dipertimbangkan pada bayi usia 6-12 bulan yang belum mendapatkan imunisasi
HiB ATAU pneumokokus ATAU yang riwayat imunisasi tidak jelas
4. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda
dan gejala meningitis.
 Pemeriksaan pencitraan (CT-scan atau MRI kepala) dapat diindikasikan pada
keadaan adanya riwayat atau tanda klinis trauma kepala, dan kemungkinan lesi
struktural di otak, ditandai adanya defisit neurologi (mikrosefal, spastisitas,
hemiparesis, kejang fokal), adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial

8
(kesadaran menurun, muntah berulang, fontanel anterior membonjol, paresis saraf
otak, atau edema papil).
 Elektroensefalografi (EEG) ternyata kurang mempunyai nilai prognostik. EEG
abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi
atau kejang demam berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak
dianjurkan untuk pasien kejang demam sederhana. EEG dipertimbangkan pada
keadaan kejang demam yang bersifat fokal, kejang demam kompleks pada anak
berusia lebih dari 6 tahun.

G. PENATALAKSANAAN
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10
kg. Atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis
7,5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan penatalaksanaan kejang demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit.
Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke
rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena dengan dosis 0,3-0,5
mg/kg. Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan
dosis awal 10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50
mg/menit. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam
setelah dosis awal. Bila dengan fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus
dirawat di ruang rawat intensif. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya
tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam sederhana atau kompleks
dan faktor risikonya.

9
 Antipiretik

Antipiretik tidak mengurangi risiko terjadinya demam, akan tetapi tetap diberikan
parasetamol 10-15 mg/kg/x setiap 4-6 jam atau ibuprofen 5-10mg/kg/x tiap 4-6 jam.

Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan IV
atau intrarektal.

Dosis diazepam IV 0,3-0,5 mg/kgbb/kali dengan kecepatan 1-2 mg/menit dengan


dosis maksimal 20 mg. Bila kejang berhenti sebelum diazepam habis, hentikan
penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang lagi jarum baru dicabut.
Bila diazepam IV tidak tersedia atau pemberiannya sulit, dapat digunakan diazepam
intrarektal 5 mg (BB< 10kg) atau 10 mg (BB > 10 kg). Bila kejang tidak berhenti dapat
diulang selang 5-10 menit. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan dosis awal
10-20 mg/kgbb IV perlahan-lahan 1 mg/kgbb/menit. Setelah pemberian fenitoin, harus
dilakukan pembilasan dengan NaCl fisiologis karena fenitoin bersifat basa dan dapat
menyebabkan iritasi vena.

Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital langsung


setelah kejang berhenti. Dosis awal fenobarbital suntikan IM 30 mg untuk neonatus
dan 50 mg untuk yang berusia 1 bulan –1 tahun dan 75 mg untuk yang berusia lebih
dari 1 tahun. 4 jam kemudian berikan dosis rumat fenobarbital untuk 2 hari pertama 8

10
- 10mg/kgbb/ hari dibagi 2 dosis, dan pada hari berikutnya sampai demam reda
sebanyak 4-5 mg/kgbb/ hari dibagi 2 dosis. Dosis total tidak melebihi 200 mg/ hari
karena efek samping berupa hipotensi, penurunan kesadaran, dan depresi pernapasan.

Bila kejang berhenti dengan fenitoin, lanjutkan fenitoin dengan dosis 4-8
mg/kgbb/hari, 12-24 jam setelah dosis awal.

Mencari dan mengobati penyebab.


Pemeriksaan LCS dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama.

Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada


kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila ada gejala meningitis atau bila
kejang demam berlangsung lama.

Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam dan (2)
profilaksis terus-menerus dengan antikonvulsan setiap hari

 Pemberian obat antikonvulsan intermitten

Tidak ditemukan bukti bahwa pemberian obat antikonvulsan dapat mencegah


terjadinya kejang demam. Dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
profilaksis intermitten :

 Tidak diberikan pada kejang demam sederhana tanpa faktor risiko

 Diberikan pada kejang demam sederhana dengan faktor risiko yaitu :

- kelainan neurologis berat

- berulang 3 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun

- usia <6 bulan

- bila kejang terjadi pada suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi

- kejang demam sebelumnya terjadi saat suhu tubuh naik dengan cepat

Untuk profilaksis intermiten diberikan diazepam secara oral dengan dosis 0,3-
0,5mg/kgbb/hari dibagi dalam 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat pula diberikan
11
secara intrarektal tiap 8 jam sebanyak 5 mg (BB<10kg) dan 10 mg (BB>10kg) setiap
pasien menunjukan suhu >38,5oc. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan
hipotonia.

 Pemberian obat antikonvulsan rumat

Profilaksis terus-menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang


demam berat yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi dapat mencegah
terjadinya epilepsi di kemudian hari. Digunakan fenobarbital 3-4 mg/kgbb/hari
dibagi dalam 2 dosis atau obat lain seperti asam valproat dengan dosis 15-40
mg/kgbb/hari. Antikonvulsan profilaksis terus-menerus diberikan selama 1-2 tahun
setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-3 bulan.

Profilaksis terus-menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1 atau
2) yaitu:

1. Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologis atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
2. Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologis sementara
atau menetap
3. Ada riwayat kejang tanpa demam pada orang tua atau saudara kandung.
4. Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur <12 bulan atau terjadi kejang multipel
dalam satu episode demam.
Bila hanya memenuhi 1 kriteria saja dan ingin memberikan pengobatan jangka panjang,
maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam oral
atau rektal tiap 8 jam disamping antipiretik.

Algoritma penanganan kejang akut dan status konvulsif

12
H. PROGNOSIS

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat, profnosisnya baik dan tidak
menyebabkan kematian. Frekuensi berulangnya kejang berkisar antara 25-50%,
umumnya terjadi pada 6 bulan pertama. Risiko untuk mendapatkan epilepsi rendah.

I. KOMPLIKASI
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain :
1. Kejang Demam Berulang.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu
episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang
demam yaitu :
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama

b. Riwayat kejang demam dalam keluarga

c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam

d. Riwayat demam yang sering

13
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

Berdasarkan penelitian kohort prospektif yang dilakukan Bahtera, T., dkk


(2009) di RSUP dr. Kariadi Semarang, dimana subjek penelitian adalah penderita
kejang demam pertama yang berusia 2 bulan - 6 tahun, kemudian selama 18 bulan
diamati. Subjek penelitian berjumlah 148 orang. Lima puluh enam (37,84%) anak
mengalami bangkitan kejang demam berulang.

2. Kerusakan Neuron Otak.

Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang
makin meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga
meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang lama. Faktor
terpenting adalah gangguan peredaran darah yang mengakibatkan hipoksia
sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan timbul edema otak yang
mengakibatkan kerusakan neuron otak.

3. Retardasi Mental, terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan
pengobatan yang adekuat.

4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah
mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang
menyebabkan kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu :

a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.

b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam


pertama.

c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.


14
Menurut American National Collaborative Perinatal Project, 1,6% dari
semua anak yang menderita kejang demam akan berkembang menjadi
epilepsi, 10% dari semua anak yang menderita kejang demam yang
mempunyai dua atau tiga faktor risiko di atas akan berkembang menjadi
epilepsi.

5. Hemiparesis, yaitu kelumpuhan atau kelemahan otot-otot lengan, tungkai serta


wajah pada salah satu sisi tubuh. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami
kejang lama (kejang demam kompleks). Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid,
setelah 2 minggu timbul spasme.

Kemungkinan berulangnya kejang demam

Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya
kejang demam adalah :
1) Riwayat kejang demam dalam keluarga
2) Usia kurang dari 12 bulan
3) Temperatur yang rendah saat kejang
4) Cepatnya kejang setelah demam
Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar
pada tahun pertama.
Pada pasien dalam kasus ini, hanya terdapat faktor usia kurang dari 12 bulan dan
riwayat kejang demam dalam keluarga, kemungkinan berulangnya kejang adalah 10-
15%.

Indikasi rawat inap


Indikasi rawat inap pada kejang demam adalah sebagai berikut :

• Usia < 6 bulan


• Kejang demam pertama kali
• Kejang demam kompleks

15
• Terdapat kelainan neurologis
• Hiperpireksia

Edukasi pada orang tua


Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi orang tua. Pada saat kejang
sebagian besar orang tua beranggapan bahwa anaknya telah meninggal. Kecemasan ini harus
dikurangi dengan cara yang diantaranya:

1) Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.


2) Memberitahukan cara penanganan kejang
3) Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
4) Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat
adanya efek samping

Beberapa hal yang harus dikerjakan bila kembali kejang

1) Tetap tenang dan tidak panik


2) Kendorkan pakaian yang ketat terutama disekitar leher
3) Bila tidak sadar, posisikan anak terlentang dengan kepala miring. Bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung. Walaupun kemungkinan lidah tergigit,
jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
4) Ukur suhu, observasi dan catat lama dan bentuk kejang.
5) Tetap bersama pasien selama kejang
6) Berikan diazepam rektal. Dan jangan diberikan bila kejang telah berhenti.
7) Bawa kedokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Nelson, Waldo.E.MD., dkk. 2011. Ilmu Kesehatan Anak Edisi VI. Jakarta: EGC.
2. Mansjoer, Arief. Kapita selekta kedokteran edisi ketiga. Media Aesculapius FK UI.
Jakarta : 2014
3. Buku Ajar Pediarti Gawat Darurat IDAI 2014
4. Panduan Pelayanan Medis Departeman Ilmu Kesehatan Anak RSCM, Jakarta : 2010
5. Panduan Pelayanan Medis Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta : 2007
6. Kesepakatan UKK Neurologi IDAI, Saraf Anak PERDOSSI. Kejang demam. Jakarta:
2004.
7. PPK Anak RSCM. Jakarta : 2015

17

Anda mungkin juga menyukai