PENDAHULUAN
TB pada anak merupakan aspek yang sering dilupakan dari epidemik TB.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2016), TB pada anak mencerminkan
transmisi TB yang terus berlangsung di populasi. Jumlah kasus TB anak pada
tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1.865 kasus BTA positif. Proporsi kasus
TB anak dari semua kasus TB mencapai 10,45%. 2
1
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Elsa
Tanggal Lahir : 13 Februari 2018
Usia : 1 Tahun 9 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Cibitung
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 20 November 2019
Tanggal pemeriksaan : 21 November 2019
Orang Tua
Ayah Ibu
Nama : Tn. FES Nama : Ny. Kari
Umur : 29 tahun Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Buruh Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SLTA
Suku bangsa : Betawi Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Cibitung Alamat : Cibitung
II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien :
Lokasi : Ruang Rawat Sakura, RSUD Kabupaten Bekasi
Tanggal / Waktu : 21 November 2019 pukul 09.00 WIB
Tanggal Masuk RS : 20 November 2019
2
A. Keluhan Utama : Kejang 4 jam sebelum masuk Rumah Sakit.
3
C. Riwayat Penyakit yang Pernah Dialami
4
Langsung menangis (+)
Kulit kemerahan (+)
Nilai APGAR : tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada
5
H. Riwayat Imunisasi
Bulan
Imunisasi Lahir 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hep B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3
BCG 1
DPT 1 2 3
HiB 1 2 3
PCV 1 2 3
Rotavirus 1 2 3
Campak 1
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
• Tekanan Darah : Tidak dilakukan
• Frekuensi Nadi : 106 x / menit, regular, kuat angkat
• Suhu : 37,2 o C
• Frekuensi Napas : 36 x / menit
Data Antropometri
• Berat badan : 7800 gram
• Panjang badan : 77 cm
• Lingkar kepala : 44 cm
6
Status Gizi
• BB/PB : presentile -3 SD sampai -2 SD, Gizi kurang
7
• PB/U : presentile -2 SD sampai -3 SD, Tinggi badan pendek
8
STATUS GENERALIS
Kepala : Bentuk dan ukuran normosefali, ubun-ubun tertutup, deformitas (-)
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, luka atau jaringan parut (-)
Mata :
Visus : tidak dapat dinilai Ptosis : -/-
Sklera ikterik : +/+ Lagofthalmus : -/-
Konjuntiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
Telinga :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang
Serumen : -/-
Cairan : -/-
Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
Bibir : Simetris, mukosa berwarna merah muda, lembab (+), sianosis (-)
Mulut :
Oral higiene baik, trismus (-), mukosa gusi dan pipi merah muda, ulkus (-
). Lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-).
Leher :
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun
KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun
KGB.
- Tiroid tidak teraba membesar
9
Thoraks :
Paru :
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak ada pernapasan yang tertinggal,
pernapasan abdomino-torakal, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis, thrill (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial linea
midklavikularis sinistra, massa (-)
Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : BJ I-II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, tidak tampak gambaran vena, tidak tampak
gerakan peristaltik usus, massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normoperistaltik
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Kelenjar Getah Bening :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
10
Anggota Gerak
Kanan Kiri
Tangan (+) (+)
Akral hangat
Kaki (+) (+)
Tangan Normotonus Normotonus
Tonus otot
Kaki Normotonus Normotonus
Tangan Aktif Aktif
Sendi
Kaki Aktif Aktif
STATUS NEUROLOGIS
1. Tanda Rangsang Meningeal
Kanan Kiri
Kaku kuduk (-)
Kernig > 135° > 135°
Laseque (-) (-)
Brudzinski I (-) (-)
Brudzinski II (-) (-)
2. Saraf Kranialis
- N. I (Olfaktorius) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. II dan III (Opticus dan Occulomotorius) : Pupil isokor, RCL +/+,
RCTL +/+
- N. IV dan VI (Trochlearis dan Abducens) : Tidak dilakukan
pemeriksaan
- N. V (Trigeminus) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sensorik:
11
• cabang oftalmik : tidak dilakukan pemeriksaan
• cabang maksilaris : tidak dilakukan pemeriksaan
• cabang mandibularis : tidak dilakukan pemeriksaan
- N. VII (Facialis) : Wajah simetris,
Motorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Sensorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. VIII (Vestibulo-kokhlearis) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus): Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. XI (Aksesorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. XII (Hipoglosus) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
V. RESUME
Pasien seorang anak perempuan berusia 1 tahun 9 bulan dating dengan
ibunya dengan keluhan kejang 4 jam SMRS. Dalam 24 jam, kejang berulang
sebanyak 2 kali dengan masing-masing durasi kejang kurang lebih 30 detik.
12
setelah kejang pertama pasien sadar, setelah kejang kedua pasien tidak sadar.
Kejang pasien didahului dengan demam dengan suhu 39,5o C.
Pada pemeriksaan fisik awal didapatkan pasien tampak sakit sedang dan
lemas dengan keadaan gizi kurang. Pada status generalis didapatkan sclera ikterik dan
konjungtiva anemis. Pada status neurologis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb dan Ht menurun, pada
elektrolit didapatkan hipokalemi, hiponatremi, dan penurunan fungsi hati dengan
peningkatan kadar bilirubin total, SGOT, dan SGPT.
IX. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
- Informasi dan edukasi mengenai kondisi dan penyakit pasien
- Observasi tanda vital dan kejang berulang
- Observasi laboratorium fungsi hati, bilirubin, SGOT, SGPT
13
Medikamentosa
- O2 1 liter/ menit NC
- IVFD KAEN 3A 20cc/jam
- IV Diazepam 0,8mg bila kejang (dosis BB 0,1 – 0,3 mg/kgBB/hari)
- IV Paracetamol 4 x 80mg (dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari)
- Syr Ambroxol syr 3 x 4 cc (dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/kali)
- Syr Curcuma syrup 2 x 1 cth
- OAT Stop
X. PROGNOSIS
• Quo ad Vitam : dubia ad bonam
• Quo ad Functionam : ad bonam
• Quo ad Sanationam : dubia ad bonam
14
IX. FOLLOW UP
22 November 2019
S: Kejang (-), demam (-), batuk (+), pilek (-), nafsu makan kurang , BAB dan BAK normal
HR : 120x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 37oC
Kepala : Normosefali
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
TB on OAT 1 bulan
P: - O2 1 liter/ menit NC
- IVFD KAEN 3A 20cc/jam
- IV Diazepam 2 x 5mg ( dosis BB <10kg : 5mg ; BB>10kg : 10mg)
- IV Paracetamol 4 x 80mg/kgBB (dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari)
- Syr Ambroxol syr 3 x 4 cc (dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/kali)
- Syr Curcuma syrup 2 x 1 cth
- OAT Stop
15
25 November 2019
S: Kejang (-), demam (-), batuk (+), pilek (-), nafsu makan kurang, mual muntah (-) BAB
dan BAK normal
HR : 107x/menit
RR : 30x/menit
Suhu : 36,5oC
Kepala : Normosefali
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik
TB on OAT 1 bulan
P: - O2 1 liter/ menit NC
- IVFD KAEN 3A 20cc/jam
- IV Diazepam 2 x 5mg ( dosis BB <10kg : 5mg ; BB>10kg : 10mg)
- IV Paracetamol 4 x 80mg/kgBB (dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari)
- Syr Ambroxol syr 3 x 4 cc (dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/kali)
- Syr Curcuma syrup 2 x 1 cth
- OAT Stop
16
Pemeriksaan Laboratorium ( 23 November 2019)
Kimia Klinik
Bilirubin Total 5,0 mg/dL* 0,0 – 1,0
Bilirubin Direk 3,2 mg/dL* 0 – 0,52
Bilirubin Indirek 1,8 mg/dL* < 0,6
SGOT (AST) 1400 U/L* <32
SGPT (ALT) 452 U/L* <31
X. ANALISA KASUS
Pasien umur 1 tahun 9 bulan dengan diagnosis kejang demam kompleks,
TB on OAT 1 bulan disertai Antituberculosis Drug-Induce Hepatotoxicity. Pasien
didiagnosis berdasarkan :
1. Kejang Demam Kompleks berdasarkan :
a. Anamnesis : didapatkan kejang dua kali dalam 24 jam dengan durasi
kurang lebih 30 detik yang didahului dengan demam tinggi dan
diantara kedua kejang pasien sadar.
b. Pemeriksaan Fisik : pada status generalis didapatkan peningkatan
suhu yaitu 39,5oC
2. Tuberkulosis, berdasarkan :
a. Anamnesis : didapatkan batuk berdahak sudah sebulan disertai demam
hilang timbul yang tidak diketahui penyebabnya. Riwayat kontak
dengan penderita TB Paru BTA (+) yaitu ayahnya.
b. Pemeriksaan penunjang : tes mantoux didapatkan hasil positif. Pada
foto thorax menggambarkan TB Paru aktif.
Scoring TB : 3 + 1 + 3 + 2 + 1 = 10
3. Antituberculosis Drug-Induce Hepatotoxicity
a. Anamnesis : Pasien dalam pengobatan paru satu bulan.
b. Pemeriksaan Fisik : sklera ikterik
c. Pemeriksaan Laboratorium : penurunan fungsi hati dengan kadar
bilirubin total 9,0 mg/dL, direk 5,9 mg/dL, inderek 3,1 mg/dL, SGOT
295 U/L, SGPT 247 U/L.
17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
18
menunjukkan bahwa dari sebanyak 194.853 orang menderita TB paru di
Indonesia dan tingkat kesembuhan untuk pasien.8
2.3 Penularan
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru.
Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan
ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah 3-8 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah
infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang
daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien TB. Masa inkubasi
mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar
6 bulan.10
19
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.10
Gejala Tuberkulosis dapat berupa gejala utama batuk terus menerus dan
berdahak selama 3 minggu atau lebih yang disertai gejala tambahan seperti batuk
darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak bada (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, demam atau meriang lebih dari sebulan selama 3 minggu atau lebih.11
1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang
baik (failure to thrive).
2. Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
3. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau
infeksi saluran nafas akut) dapat disertai keringat malam.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel
paling sering didaerah leher ketiak dan lipatan paha (inguinal).
5. Gejala – gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari
20
(setelah disingkirkan sebab lain dari batuk) tanda cairan didada dan nyeri
dada.
6. Gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare benjolan atau massa di abdomen dan
tanda-tanda cairan dalam abdomen.
Terdapat gejala spesifik yang dapat ditemukan tergantung pada bagian tubuh
mana yang terserang, seperti :
1. TBC Kulit/skrofuloderma
2. TBC tulang dan sendi :
- Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
- Tulang panggul (koksitis) : pincang pembengkakan dipinggul
- Tulang lutut : pincang dan / atau bengkak
- Tulang kaki dan tangan
3. TBC Otak dan Saraf : Meningitis dengan gejala iritabel kaku kuduk
muntah-muntah dan kesadaran menurun
4. Gejala mata : Konjungtivitis fliktenularis, Tuberkel koroid (hanya terlihat
dengan funduskopi)
21
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam : 2
Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto
biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau
underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar
kelenjar hilu atau kelenjar paratrakeal.
a. Milier
b. Atelektasis /kolaps konsolidasi
c. Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
d. Konsolidasi ( lobus )
e. Reaksi pleura dan atau efusi pleura
f. Kalsifikasi
g. Bronkiektasis
h. Kavitas
i. Destroyed lung
Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus
dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (postero-Anterior) dan
lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.
22
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi.
23
Tabel 1. Skoring TB Anak9
Parameter 0 1 2 3
Batuk
≥3 minggu
Pembesaran KGB
≥1cm, lebih dari
1 KGB, tidak
nyeri
24
Catatan Tabel 1, Skoring TB pada Anak.
2.6 PENATALAKSANAAN
Obat antituberkulosis (OAT) diberikan dalam 2 fase yaitu fase intensif dan
fase lanjutan yang diberikan selama 6–12 bulan. Pada fase intensif diberikan
minimal 3 macam obat selama 2 bulan pertama dan pada fase lanjutan diberikan
minimal 2 macam obat selama 4–10 bulan selanjutnya. Pemberian OAT dapat
menggunakan fixed dose combinations (FDC) maupun regimen obat terpisah.
Tablet FDC yang tersedia untuk fase intensif terdiri atas INH 50 mg, rifampisin
75 mg, dan PZA 150 mg, sedangkan fase lanjutan terdiri atas INH 50 mg dan
rifampisin 75 mg. Pemberian INH bila dikombinasikan dengan rifampisin, maka
dosis INH tidak boleh >10 mg/kgBB/hr. Rifampisin tidak boleh diracik dalam
satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas
rifampisin. Stategi directly observed short-course therapy (DOTs) digunakan
untuk memastikan kepatuhan pengobatan dan ketersediaan OAT.13
25
Sumber: Graham 2011
26
Keterangan: Pada anak berusia <5 th yang terpapar penderita TB, tetapi terbukti terdapat
infeksi maupun penyakit TB direkomendasikan untuk mendapat kemoprofilaksis INH 10
mg/kgBB/hr selama 6–9 bulan.
8 – 11 2 Tablet 2 Tablet
12 – 16 3 Tablet 3 Tablet
17 – 22 4 Tablet 4 Tablet
23 – 30 5 Tablet 5 Tablet
Keterangan :
27
sesuai umur),
4. Obat KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus),
5. Obat dapat diberikan dengan ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable),
atau dimasukkan air sendok (dispersable).
6. Obat dapat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam
setelah makan,
7. Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh lebih
dari 10mg/kgBB/hari,
8. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalm bentuk puyer.
Kortikosteroid
Piridoksin
Pemberian Nutrisi
28
pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan
atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi edema atau muscle wasting.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB
dapat diatasi. Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusu.
Pemantauan Terapi
1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2bulan di
fase lanjutan DAN menunjukan gejala TB, ulangi pengobata dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2minggu di fase intensif atau <2bulan di fase
lanjutan DAN menunjukkan gelaja TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai
selesai.
29
Antituberculosis Drug-Induced Hepatotoxicity (ADIH)
Bila pada anak yang mendapat OAT terjadi ADIH, maka pemberian
semua OAT dihentikan. Kriteria ADIH yaitu bila didapatkan: SGPT ↑ ≥5× nilai
batas atas normal tanpa gejala klinis SGPT ↑ ≥3× nilai batas atas normal disertai
dengan gejala klinis SGPT ↑ dengan nilai berapapun di atas batas normal sebelum
diberikan terapi yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, muntah Bilirubin
total (BT) serum ↑ >1,5 mg/dL.16
1. Bila didapatkan gejala klinis seperti ikterik, mual, muntah, dan nilai SGPT
≥3× nilai batas atas normal → OAT diberhentikan
2. Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai SGPT ≥5× mg/dL → OAT
diberhentikan → OAT diberhentikan
3. Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai bilirubin >1,5 mg/dL →
OAT diberhentikan
4. Dilakukan skrining untuk mencari kemungkinan etiologi yang lain seperti
hepatitis A, B, dan C
5. Dilakukan pemantauan gejala klinis dan SGPT selama 2–4 minggu.
6. Bila gejala klinis perbaikan dan laboratorium normal kembali mulai
diberikan kembali OAT secara bertahap yang disebut reintroduction
therapy.
Reintroduction therapy
1. Sesudah nilai SGPT <2× nilai normal, dapat dimulai pemberian rifampisin
dengan atau tanpa etambutol. Pada penderita dengan regimen OAT yang
terdiri atas 3 macam obat → reintroduction therapy dimulai dengan
rifampisin saja, tetapi bila regimen OAT yang terdiri atas 4 macam obat →
reintroduction therapy dimulai dengan rifampisin (bertahap) dan etambutol
(dosis penuh) Dosis rifampisin dimulai:
a. Hari 1 & 2: 1⁄3 dosis
b. Hari 3 & 4: 2⁄3 dosis
30
c. Hari 5 & 6: dosis penuh
2. Pada hr ke-7, periksa SGPT, bila baik mulai diberikan INH:
a. Hari 1 & 2: 1⁄3 dosis
b. Hari 3 & 4: 2⁄3 dosis
c. Hari 5 & 6: dosis penuh
3. Jika gejala klinis muncul atau SGPT ↑ → INH dihentikan.
4. PZA tidak perlu diberikan kembali dan terapi diberikan hingga 9 bulan.
Pencegahan
31
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global tuberculosis report 2015. World
Health Organization; 2015.
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2007. Jakarta.
3. Kemenkes RI. (2016). Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
4. Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Kliegman
RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB Saunders;
2011.
5. Rutherford, M.E., Hill, P.C., Maharani, W., Apriani, L., Sampurno, H.,
Van Crevel, R. and Ruslami, R. Risk factors for Mycobacterium
tuberculosis infection in Indonesian children living with a sputum smear-
positive case. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease
2012;16(12), pp.1594-1599.
6. Musenge, E., Vounatsou, P., Collinson, M., Tollman, S. and Kahn, K. The
contribution of spatial analysis to understanding HIV/TB mortality in
children: a structural equation modelling approach. Glob Health Action
2013;6, pp.38-48.
7. Kemenkes RI. (2013). Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun
2013. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
8. Donald PR, Schoeman JF. Central nervous system tuberculosis in
children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a
comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 513–43.
9. Nahid P, Pai M, Hopewell P. Advances in the diagnosis and treatment of
tuberculosis. Proc Am Thor Soc. 2006;3:103–110.
10. Richeldi L. An update on the diagnosis of tuberculosis infection. Am J
Respir Crit Care Med. 2006;174:736–742.
11. Strategic approach for the strengthening of laboratory services for
tuberculosis control, 2006-2009. Geneva: WHO; 2006 (WHO/HTM/TB/
2006.364).
32
12. World Health Organization. Guidelines for the programmatic
management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO; 2006.
13. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative pulmonary and
extrapulmonary tuberculosis among adults and adolescents:
Recommendations for HIV- prevalent and resource-constrained settings.
Geneva: WHO; 2006
14. Graham SM. Treatment of paediatric TB: revised WHO guidelines.
Paediatr Respir Rev. 2011 Mar;12(1):22–6.
15. Graham SM, Marais BJ, Gie RP. Clinical features and index of suspician
of tuberculosis in children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting.
Tuberculosis: a comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier;
2009. hlm. 154–63.
16. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva:
WHO; 2006.
33