Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu indikator untuk menentukan


derajat kesehatan masyarakat. Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB
merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) telah terbukti sangat efektif untuk
pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi.
Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih
terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar setengah juta orang meninggal
akibat TB di seluruh.1

TB pada anak merupakan aspek yang sering dilupakan dari epidemik TB.
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2016), TB pada anak mencerminkan
transmisi TB yang terus berlangsung di populasi. Jumlah kasus TB anak pada
tahun 2009 mencapai 30.806 termasuk 1.865 kasus BTA positif. Proporsi kasus
TB anak dari semua kasus TB mencapai 10,45%. 2

Penularan dari penyakit TB sebagai salah satu penyakit infeksi


dipengaruhi oleh beberapa faktor. Model teori epidemiologi yang dibuat J.
Gordon menyatakan bahwa penularan penyakit infeksi dipengaruhi oleh interaksi
dari tiga faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain : faktor pejamu (host), agen
(agent), dan lingkungan (environment). Untuk mencegah terjadinya penularan
adalah dengan memutus transmisi dari ketiga faktor tersebut.3

Sumber penularan TB pada anak adalah pasien dewasa TB BTA positif.


Pada waktu batuk, bersin dan berbicara, pasien menyebarkan kuman ke udara
dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Umumnya penularan terjadi dalam
ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat
mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh
kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap
dan lembab. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman
yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan
dahak, makin menular pasien tersebut.3

1
BAB II
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Elsa
Tanggal Lahir : 13 Februari 2018
Usia : 1 Tahun 9 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Cibitung
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 20 November 2019
Tanggal pemeriksaan : 21 November 2019

Orang Tua

Ayah Ibu
Nama : Tn. FES Nama : Ny. Kari
Umur : 29 tahun Umur : 30 tahun
Pekerjaan : Buruh Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan : SLTA Pendidikan : SLTA
Suku bangsa : Betawi Suku bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Alamat : Cibitung Alamat : Cibitung

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara Alloanamnesis dengan ibu pasien :
Lokasi : Ruang Rawat Sakura, RSUD Kabupaten Bekasi
Tanggal / Waktu : 21 November 2019 pukul 09.00 WIB
Tanggal Masuk RS : 20 November 2019

2
A. Keluhan Utama : Kejang 4 jam sebelum masuk Rumah Sakit.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien Anak, perempuan, 1 tahun 9 bulan datang dengan ibunya ke IGD


RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan kejang 2x sejak 4 jam SMRS. Kejang
pertama selama kurang lebih 30 detik setelah kejang pasien sadar. Kejang kedua
kurang lebih 30 detik setelah kejang, badan kaku seluruh tubuh. Kejang di dahului
demam sudah 3 hari naik turun. Kejang pertama dengan kejang kedua berjarak
30menit. Ibu pasien mengatakan saat sebelum kejang, demam pasien mencapai
suhu 39,5o C. Ibu pasien sudah memberikan parasetamol untuk pasien setiap 4 jam
tetapi panas tidak membaik.
Ibu pasien mengatakan keluhan kejang demam seperti ini bukan pertama
kalinya. pertama kali dialami pada umur pasien 3 bulan. Pasien sering mengalami
demam tinggi tiba-tiba tanpa diketahui penyebabnya sejak umur 3 bulan. Saat
kejang demam pertama kali didapatkan suhu mencapai 40o C. Buang air besar dan
buang air kecil dalam batas normal, mual dan muntah disangkal oleh ibu pasien.
Demam disertai dengan batuk berdahak yang sulit dikeluarkan, batuk
sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu. Dahak berwarna putih seperti susu dan
kadang jernih. Saat ini pasien sedang menjalani pengobatan TB sudah 1 bulan di
RSUD. Sebelum didiagnosa TB, ibu pasien mengeluh bahwa pasien sudah batuk
berdahak selama sebulan. Pasien sering mengalami demam tanpa sebab yang jelas
sejak umur 6 bulan. Pada uji mantoux didapatkan hasil (+) dengan indurasi yang
tidak diketahui dan foto thorax yang menggambarkan TB Paru aktif. Ibu pasien
juga mengeluhkan bahwa pasien sangat sulit untuk makan sehari-hari, tetapi tidak
sulit untuk minum susu yaitu asi atau susu formula.

3
C. Riwayat Penyakit yang Pernah Dialami

Penyakit Penyakit Penyakit


Alergi (-) Difteria (-) Penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (+) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang demam (+) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah dialami


Pasien pernah mengalami kejang demam dan diare sebelumnya, selain itu
ibu pasien mengatakan pasien hanya batuk pilek saja.

D. Riwayat Penyakit Keluarga


Kakak pasien baru menyelesaikan pengobatan TB selama 6 bulan, satu
tahun yang lalu. Ayahnya pernah mengalami penyakit serupa yaitu TB Paru
dengan BTA (+) 1 tahun lalu. Ayah dan kakeknya memiliki riwayat asma.

E. Riwayat Kehamilan dan Persalinan

KEHAMILAN Morbiditas kehamilan (-), DM (-), Hipertensi (-)

Perawatan antenatal: Periksa ke dokter 1 kali/ bulan

KELAHIRAN Tempat kelahiran Rumah sakit

Penolong persalinan Dokter

Partus per vaginam


Cara persalinan
(spontan)

Masa gestasi Cukup bulan (38 minggu)

Keadaan bayi Berat lahir : 3100 gram


Panjang badan : 50 cm
Lingkar kepala : 32

4
Langsung menangis (+)
Kulit kemerahan (+)
Nilai APGAR : tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada

Kesan: Riwayat kehamilan dan persalinan baik.

F. Riwayat Tumbuh Kembang


Pertumbuhan gigi I : Umur 5 bulan (Normal : 5 – 9 bulan)
Gangguan perkembangan mental : Tidak ada
Psikomotor
Angkat kepala : Umur 2 bulan (Normal : 0 – 3 bulan)
Tengkurap : Umur 3 bulan (Normal : 3 – 4 bulan)
Merayap : Umur 4 bulan (Normal : 4 – 5 bulan)
Duduk : Umur 6 bulan (Normal : 6 – 9 bulan)
Berdiri : Umur 10 bulan (Normal : 9 – 12 bulan)
Berjalan : Umur 17 bulan (Normal : 12 – 18 bulan)

Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Pasien tidak


mengalami gangguan ataupun keterlambatan dalam masa tumbuh kembang.
Tumbuh kembang pasien sesuai dengan tumbuh kembang anak – anak sebayanya.

G. Riwayat Pemberian Makan


Buah /
Umur (bulan) ASI/PASI Bubur Susu Nasi Tim
Biskuit
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
ASI + Susu
6 – 12 - + +
Formula

Kesimpulan riwayat pemberian makan : Ada kesulitan makan pada pasien.


Pasien masih mendapatkan ASI sampai saat ini.

5
H. Riwayat Imunisasi
Bulan
Imunisasi Lahir 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Hep B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3
BCG 1
DPT 1 2 3
HiB 1 2 3
PCV 1 2 3
Rotavirus 1 2 3
Campak 1

Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar tidak lengkap.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Tanggal: 21 November 2019, pukul 09.30 WIB

PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda-tanda vital :
• Tekanan Darah : Tidak dilakukan
• Frekuensi Nadi : 106 x / menit, regular, kuat angkat
• Suhu : 37,2 o C
• Frekuensi Napas : 36 x / menit

Data Antropometri
• Berat badan : 7800 gram
• Panjang badan : 77 cm
• Lingkar kepala : 44 cm

6
Status Gizi
• BB/PB : presentile -3 SD sampai -2 SD, Gizi kurang

• BB/U : presentile -3 SD, Berat badan sangat kurang

7
• PB/U : presentile -2 SD sampai -3 SD, Tinggi badan pendek

• LK/U : 44 cm (Mikrocephali, <-2 SD Kurva Neillhaus)

8
STATUS GENERALIS
Kepala : Bentuk dan ukuran normosefali, ubun-ubun tertutup, deformitas (-)
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Wajah simetris, luka atau jaringan parut (-)
Mata :
Visus : tidak dapat dinilai Ptosis : -/-
Sklera ikterik : +/+ Lagofthalmus : -/-
Konjuntiva anemis : +/+ Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
Telinga :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang
Serumen : -/-
Cairan : -/-
Hidung :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
Bibir : Simetris, mukosa berwarna merah muda, lembab (+), sianosis (-)

Mulut :
Oral higiene baik, trismus (-), mukosa gusi dan pipi merah muda, ulkus (-
). Lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-).
Leher :
- Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun
KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun
KGB.
- Tiroid tidak teraba membesar

9
Thoraks :
Paru :
Inspeksi : Bentuk normal, simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak ada pernapasan yang tertinggal,
pernapasan abdomino-torakal, retraksi sela iga (-)
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas vesikuler (+/+), ronki (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis, thrill (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V 1 cm medial linea
midklavikularis sinistra, massa (-)
Perkusi : Batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : BJ I-II normal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Datar, tidak tampak gambaran vena, tidak tampak
gerakan peristaltik usus, massa (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normoperistaltik
Palpasi : Supel, hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit baik
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Kelenjar Getah Bening :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

10
Anggota Gerak

Kanan Kiri
Tangan (+) (+)
Akral hangat
Kaki (+) (+)
Tangan Normotonus Normotonus
Tonus otot
Kaki Normotonus Normotonus
Tangan Aktif Aktif
Sendi
Kaki Aktif Aktif

Capillary refill Tangan < 2 detik < 2 detik


time Kaki < 2 detik < 2 detik

Refleks Tangan (+) (+)


fisiologis Kaki (+) (+)
Refleks Tangan (-) (-)
patologis Kaki (-) (-)
Lain – lain Oedem (-) (-)

STATUS NEUROLOGIS
1. Tanda Rangsang Meningeal
Kanan Kiri
Kaku kuduk (-)
Kernig > 135° > 135°
Laseque (-) (-)
Brudzinski I (-) (-)
Brudzinski II (-) (-)

2. Saraf Kranialis
- N. I (Olfaktorius) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. II dan III (Opticus dan Occulomotorius) : Pupil isokor, RCL +/+,
RCTL +/+
- N. IV dan VI (Trochlearis dan Abducens) : Tidak dilakukan
pemeriksaan
- N. V (Trigeminus) : Tidak dilakukan pemeriksaan
Sensorik:

11
• cabang oftalmik : tidak dilakukan pemeriksaan
• cabang maksilaris : tidak dilakukan pemeriksaan
• cabang mandibularis : tidak dilakukan pemeriksaan
- N. VII (Facialis) : Wajah simetris,
Motorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
Sensorik: tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. VIII (Vestibulo-kokhlearis) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan
- N. IX, X (Glosofaringeus, Vagus): Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. XI (Aksesorius) : Tidak dilakukan pemeriksaan
- N. XII (Hipoglosus) : Tidak dapat dilakukan pemeriksaan

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan Laboratorium dari IGD (20 November 2019)
Hematologi Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 9,4 g/dL* 10,8 – 12,8
Hematokrit 28%* 35 – 43
Leukosit 12.000/ µL 5.000 – 10.000
Eritrosit 4,05 juta/ uL 3,60 – 5,20
Trombosit 382.000/ uL 150 – 450

Gula Darah Sewaktu 103 mg/ dL 80-170


Elektrolit
Natrium 133 mmol/ L* 136 – 146
Kalium 3,1 mmol/ L* 3,5 – 5,0
Clorida 98 mmol/ L 98 – 106
Kimia Klinik
Bilirubin Total 9,0 mg/dL* 0,0 – 1,0
Bilirubin Direk 5,9 mg/dL* 0 – 0,52
Bilirubin Indirek 3,1 mg/dL* < 0,6
SGOT (AST) 295 U/L* <32
SGPT (ALT) 247 U/L* <31

V. RESUME
Pasien seorang anak perempuan berusia 1 tahun 9 bulan dating dengan
ibunya dengan keluhan kejang 4 jam SMRS. Dalam 24 jam, kejang berulang
sebanyak 2 kali dengan masing-masing durasi kejang kurang lebih 30 detik.

12
setelah kejang pertama pasien sadar, setelah kejang kedua pasien tidak sadar.
Kejang pasien didahului dengan demam dengan suhu 39,5o C.
Pada pemeriksaan fisik awal didapatkan pasien tampak sakit sedang dan
lemas dengan keadaan gizi kurang. Pada status generalis didapatkan sclera ikterik dan
konjungtiva anemis. Pada status neurologis dalam batas normal.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb dan Ht menurun, pada
elektrolit didapatkan hipokalemi, hiponatremi, dan penurunan fungsi hati dengan
peningkatan kadar bilirubin total, SGOT, dan SGPT.

VI. DIAGNOSIS KERJA


- Kejang Demam Kompleks
- TB Paru on OAT 1 bulan
- Antituberculosis Drug-Induce Hepatotoxicity

VII. DIAGNOSIS BANDING


- Epilepsi
- Meningitis
- Ensefalitis
- Hepatitis A

VIII. PEMERIKSAAN ANJURAN


- EEG
- Anti HAV IgM
- HBsAg

IX. PENATALAKSANAAN
Non-Medikamentosa
- Informasi dan edukasi mengenai kondisi dan penyakit pasien
- Observasi tanda vital dan kejang berulang
- Observasi laboratorium fungsi hati, bilirubin, SGOT, SGPT

13
Medikamentosa
- O2 1 liter/ menit NC
- IVFD KAEN 3A 20cc/jam
- IV Diazepam 0,8mg bila kejang (dosis BB 0,1 – 0,3 mg/kgBB/hari)
- IV Paracetamol 4 x 80mg (dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari)
- Syr Ambroxol syr 3 x 4 cc (dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/kali)
- Syr Curcuma syrup 2 x 1 cth
- OAT Stop

X. PROGNOSIS
• Quo ad Vitam : dubia ad bonam
• Quo ad Functionam : ad bonam
• Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

14
IX. FOLLOW UP

22 November 2019

S: Kejang (-), demam (-), batuk (+), pilek (-), nafsu makan kurang , BAB dan BAK normal

O: KU: Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

HR : 120x/menit
RR : 28x/menit
Suhu : 37oC

Kepala : Normosefali

Mata : KA +/+, SI +/+

Leher : Pembesaran KGB (-)

Cor : BJ I-II nomal reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Supel, BU (+) normoperistaltik, NT (-), turgor kulit baik

Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik

A: Kejang Demam Kompleks

TB on OAT 1 bulan

Antituberculosis Drug-Induce Hepatotoxicity

P: - O2 1 liter/ menit NC
- IVFD KAEN 3A 20cc/jam
- IV Diazepam 2 x 5mg ( dosis BB <10kg : 5mg ; BB>10kg : 10mg)
- IV Paracetamol 4 x 80mg/kgBB (dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari)
- Syr Ambroxol syr 3 x 4 cc (dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/kali)
- Syr Curcuma syrup 2 x 1 cth
- OAT Stop

15
25 November 2019

S: Kejang (-), demam (-), batuk (+), pilek (-), nafsu makan kurang, mual muntah (-) BAB
dan BAK normal

O: KU: Tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

HR : 107x/menit
RR : 30x/menit
Suhu : 36,5oC

Kepala : Normosefali

Mata : KA -/-, SI +/+

Leher : Pembesaran KGB (-)

Cor : BJ I-II nomal reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : Suara napas vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen : Supel, BU (+) normoperistaltik, NT (-), turgor kulit baik

Ekstremitas : akral hangat, edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik

A: Kejang Demam Kompleks

TB on OAT 1 bulan

Antituberculosis Drug-Induce Hepatotoxicity

P: - O2 1 liter/ menit NC
- IVFD KAEN 3A 20cc/jam
- IV Diazepam 2 x 5mg ( dosis BB <10kg : 5mg ; BB>10kg : 10mg)
- IV Paracetamol 4 x 80mg/kgBB (dosis 10 – 15 mg/kgBB/hari)
- Syr Ambroxol syr 3 x 4 cc (dosis 0,5 – 1 mg/kgBB/kali)
- Syr Curcuma syrup 2 x 1 cth
- OAT Stop

16
Pemeriksaan Laboratorium ( 23 November 2019)

Kimia Klinik
Bilirubin Total 5,0 mg/dL* 0,0 – 1,0
Bilirubin Direk 3,2 mg/dL* 0 – 0,52
Bilirubin Indirek 1,8 mg/dL* < 0,6
SGOT (AST) 1400 U/L* <32
SGPT (ALT) 452 U/L* <31

X. ANALISA KASUS
Pasien umur 1 tahun 9 bulan dengan diagnosis kejang demam kompleks,
TB on OAT 1 bulan disertai Antituberculosis Drug-Induce Hepatotoxicity. Pasien
didiagnosis berdasarkan :
1. Kejang Demam Kompleks berdasarkan :
a. Anamnesis : didapatkan kejang dua kali dalam 24 jam dengan durasi
kurang lebih 30 detik yang didahului dengan demam tinggi dan
diantara kedua kejang pasien sadar.
b. Pemeriksaan Fisik : pada status generalis didapatkan peningkatan
suhu yaitu 39,5oC
2. Tuberkulosis, berdasarkan :
a. Anamnesis : didapatkan batuk berdahak sudah sebulan disertai demam
hilang timbul yang tidak diketahui penyebabnya. Riwayat kontak
dengan penderita TB Paru BTA (+) yaitu ayahnya.
b. Pemeriksaan penunjang : tes mantoux didapatkan hasil positif. Pada
foto thorax menggambarkan TB Paru aktif.
Scoring TB : 3 + 1 + 3 + 2 + 1 = 10
3. Antituberculosis Drug-Induce Hepatotoxicity
a. Anamnesis : Pasien dalam pengobatan paru satu bulan.
b. Pemeriksaan Fisik : sklera ikterik
c. Pemeriksaan Laboratorium : penurunan fungsi hati dengan kadar
bilirubin total 9,0 mg/dL, direk 5,9 mg/dL, inderek 3,1 mg/dL, SGOT
295 U/L, SGPT 247 U/L.

17
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi


Tuberkulosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, Mycobacterium bovis, Mycobacterium africanum.
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang bersifat sistemik dan disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yang mayoritas (>95%) menyerang paru.
Tuberkolusis (TB) anak adalah penyakit infeksi yang disebabkan Mycobacterium
tuberculosis pada anak berusia <18 tahun.4

2.2 Epidemiologi

World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat


1,3 juta kasus baru tuberkulosis anak di dunia.5 Tiga ratus empat anak yang
kontak dengan penderita dewasa, 48% diantaranya positif.6 Faktor yang
memengaruhi prevalensi meliputi kondisi sosial dan lingkungan. Kondisi sosial
dan geografis menimbulkan variasi kondisi lingkungan rumah, ekonomi, perilaku
pencarian pengobatan dan kepercayaan atau mitos tertentu.7

Jumlah kasus penyakit TB paru pada anak mengalami perkembangan pesat


terutama pada tahun 2014. Negara Indonesia menjadi salah satu negara yang
sebenarnya memiliki proporsi jumlah penderita TB anak yang ternotifikasi dalam
batas normal yaitu sebesar 8-11%, tetapi jika dilihat lebih jauh untuk tingkat
provinsi sampai fasilitas pelayanan kesehatan maka data penderita TB paru anak
di Indonesia memperlihatkan variasi proporsi yang cukup lebar yaitu sebesar 1,80
– 15,90%.3

Prevalensi kejadian TB berdasarkan diagnosis menunjukkan angka 4‰


dari jumlah penduduk, hal ini memperlihatkan bahwa dari setiap 100.000
penduduk yang ada di Indonesia ternyata terdapat 400 orang yang telah
didiagnosis menderita TB oleh tenaga kesehatan. Salah satu upaya yang dilakukan
Kementerian Kesehatan RI untuk mengendalikan penyakit TB yaitu dengan
melakukan pengobatan namun berdasarkan data Kemenkes RI tahun 2013

18
menunjukkan bahwa dari sebanyak 194.853 orang menderita TB paru di
Indonesia dan tingkat kesembuhan untuk pasien.8

TB paru hanya sebanyak 161.365 orang (82,80%) dengan pengobatan


lengkap hanya sebanyak 14.964 kasus (7,70%).8

2.3 Penularan

Tuberkulosis merupakan penyakit yang ditularkan melalui udara


(airborne), 95% penularan melalui hirupan droplet nuclei penderita TB paru atau
TB laring saat batuk, bersin, berbicara, maupun menyanyi. Oleh karenanya bila
seorang anak didiagnosis menderita TB, maka harus dicari penderita TB dewasa
yang menjadi sumber penularan pada anak tersebut, begitu juga sebaliknya.9

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat melewati
sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke alveolus dan
menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak
dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang dalam paru.
Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan
ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah 3-8 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan
terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah
infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya tahan
tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan tubuh tersebut dapat
menghentikan perkembangan kuman TB. Meskipun demikian, ada beberapa
kuman menetap sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang
daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien TB. Masa inkubasi
mulai dari seseorang terinfeksi sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar
6 bulan.10

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau


tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun akibat

19
terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari TB pasca primer adalah
kerusakan paru yang luas dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura.10

2.4 Gejala Klinis

Gejala Tuberkulosis dapat berupa gejala utama batuk terus menerus dan
berdahak selama 3 minggu atau lebih yang disertai gejala tambahan seperti batuk
darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak bada (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa
kegiatan, demam atau meriang lebih dari sebulan selama 3 minggu atau lebih.11

2.5 Diagnosis TB pada Anak

Definisi anak menurut IDAI adalah usia 0 - 18 tahun. Penegakan diagnosis


TB paling tepat adalah dengan ditemukan kuman TBC dari bahan yang diambil
dari penderita misalnya dahak bilasan lambung biopsi dll, tetapi pada anak hal ini
sulit dan jarang didapat sehingga sebagian besar diagnasis TBC anak didasarkan
atas gambar klinis gambar foto rontgen dada dan uji tuberkulin. Untuk itu penting
memikirkan adanya TBC pada anak kalau terdapat tanda tanda yang
mencurigakan atau gejala gejala seperti, mempunyai sejarah kontak erat
(serumah) dengan penderita TBC BTA positif, terdapat reaksi kemerahan cepat
setelah penyuntikan BCG (dalam 3–7 hari) Terdapat gejala umum TBC.11

Gejala umum TBC dapat berupa ;

1. Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas dan
tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi yang
baik (failure to thrive).
2. Nafsu makan tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan berat badan
tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat.
3. Demam lama/berulang tanpa sebab yang jelas (bukan tifus, malaria atau
infeksi saluran nafas akut) dapat disertai keringat malam.
4. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang tidak sakit, biasanya multipel
paling sering didaerah leher ketiak dan lipatan paha (inguinal).
5. Gejala – gejala dari saluran nafas misalnya batuk lama lebih dari 30 hari

20
(setelah disingkirkan sebab lain dari batuk) tanda cairan didada dan nyeri
dada.
6. Gejala-gejala dari saluran cerna misalnya diare berulang yang tidak
sembuh dengan pengobatan diare benjolan atau massa di abdomen dan
tanda-tanda cairan dalam abdomen.

Terdapat gejala spesifik yang dapat ditemukan tergantung pada bagian tubuh
mana yang terserang, seperti :

1. TBC Kulit/skrofuloderma
2. TBC tulang dan sendi :
- Tulang punggung (spondilitis) : gibbus
- Tulang panggul (koksitis) : pincang pembengkakan dipinggul
- Tulang lutut : pincang dan / atau bengkak
- Tulang kaki dan tangan
3. TBC Otak dan Saraf : Meningitis dengan gejala iritabel kaku kuduk
muntah-muntah dan kesadaran menurun
4. Gejala mata : Konjungtivitis fliktenularis, Tuberkel koroid (hanya terlihat
dengan funduskopi)

Uji Tuberkulin (Mantoux)

Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (pernyuntikan intrakutan)


dengan semprit tuberkulin 1 cc jarum nomor 26. Tuberkulin yang dipakai adalah
tuberkulin PPD RT 23 kekuatan 2 TU. Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah
penyuntikan. Diukur diameter transveral dari indurasi yang terjadi. Ukuran
dinyatakan dalam milimeter, uji tuberkulin positif bila indurasi >10 mm (pada gizi
baik), atau >5 mm pada gizi buruk. Bila uji tuberkulin positif, menunjukkan
adanya infeksi TBC dan kemungkinan ada TBC aktif pada anak. Namun uji
tuberkulin dapat negatif pada anak TBC dengan anergi (malnutrisi, penyakit
sangat berat pemberian imunosupresif, dll). Jika uji tuberkulin meragukan
dilakukan uji ulang.

21
Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam : 2

a. Indurasi 0-5 mm (diameternya): Mantoux negatif = golongan no


sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol.
b. Indurasi 6-9 mm: Hasil meragukan = golongan normal sensitivity. Di sini
peran antibodi humoral masih menonjol.
c. Indurasi 10-15 mm: Mantoux positif = golongan low grade sensitivity. Di
sini peran kedua antibodi seimbang.
d. Indurasi > 15 mm: Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di
sini peran antibodi seluler paling menonjol.

Foto Rontgen Thorax

Gambar rontgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi foto
biasanya sulit, harus hati-hati kemungkinan bisa overdiagnosis atau
underdiagnosis. Paling mungkin kalau ditemukan infiltrat dengan pembesar
kelenjar hilu atau kelenjar paratrakeal.

Gejala lain dari foto rontgen yang mencurigai TBC adalah:

a. Milier
b. Atelektasis /kolaps konsolidasi
c. Infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal
d. Konsolidasi ( lobus )
e. Reaksi pleura dan atau efusi pleura
f. Kalsifikasi
g. Bronkiektasis
h. Kavitas
i. Destroyed lung

Bila ada diskongruensi antara gambar klinis dan gambar rontgen harus
dicurigai TBC. Foto rontgen dada sebaiknya dilakukan PA (postero-Anterior) dan
lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.

22
Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi.

Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya


dilakukan dari bilasan lambung karena dahak sulit didapat pada anak.
Pemeriksaan BTA secara biakan ( kultur ) memerlukan waktu yang lama cara
baru untuk mendeteksi kuman TBC dengan cara PCR (Polymery chain Reaction)
atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis. Demikian juga
pemeriksaan serologis seperti Elisa, Pap, Mycodot dan lain-lain masih
memerlukan penelitian lebih lanjut untuk pemakaian dalam klinis praktis.11

Respons terhadap pengobatan dengan OAT

Kalau dalam 2 bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis akan


menunjang atau memperkuat diagnosis TBC, Bila dijumpai 3 atau lebih dari hal-
hal yang mencurugakan atau gejala-gejala klinis umum tersebut diatas, maka anak
tersebut harus dianggap TBC dan diberikan pengobatan dengan OAT sambil di
observasi selama 2 bulan . Bila menunjukan perbaikan, maka diagnosis TBC
dapat dipastikan dan OAT diteruskan sampai penderita tersebut sembuh. Bila
dalam observasi dengan pemberian OAT selama 2 bulan tersebut diatas, keadaan
anak memburuk atau tetap, maka anak tersebut bukan TBC atau mungkin TBC
tapi kekebalan obat ganda aatau Multiple Drug Resistent (MDR). Anak yang
tersangka MDR perlu dirujuk ke rumah Sakit untuk mendapat penatalaksanaan
spesialistik lebih jelas, lihat “alur Deteksi Dini dan Rujukan TBC Anak“ pada
halaman berikut.12

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak dengan menggunakan system skoring, yaitu pembobotan
terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai tersebut. Untuk mendiagnosis TB
dengan system scoring, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain:

a. Pemeriksaan mikroskopis dahak BTA untuk anak yang dapat


mengeluarkan dahak
b. PA : sitologik dan histopatologik kelenjar getah bening
c. Pencitraan : USG, Radiologi dan CT Scan termasuk foto tulang dan sendi.

23
Tabel 1. Skoring TB Anak9

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak Jelas Laporan BTA (+)


Keluarga, BTA (-
) atau tidak tahu,
atau BTA tidak
jelas

Uji Tuberkulin Negatif


10mm, atau
Positif (≥
≥ 5mm pada keadaan
immunosupresif)

BB / Keadaan Gizi Bawah Garis Merah Klinis Gizi buruk


atau BB/U < 80% (BB/U<60%)

Demam tanpa sebab


≥ 2 minggu
yang jelas

Batuk
≥3 minggu

Pembesaran KGB
≥1cm, lebih dari
1 KGB, tidak
nyeri

Pembengkakan Ada pembengkakan


Tulang / Sendi,
panggul / lutut,
falang

Foto Thoraks Normal / Gambaran Sugestif


kelainan (mendukung TB)
tidak jelas

24
Catatan Tabel 1, Skoring TB pada Anak.

- Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter


- Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkarkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain
- Jika dijumpai Skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulti), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis. Berat badan dinilaisaat pasien dating
(moment opname)
- Foto thorak bukan alat diagnostik utama pada TB anak: Uji Tuberkulin
menggunakan PPD (purified protein derivatives) dengan kekuatan
intermediate 2-5 TU (Tuberculin Unit)
- Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak
- Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 3 6 (skor maksimal 13) dan harus
ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (Obat Anti
Tuberkulosis)
- Pasien usia balita yang mendapat skor <6 tapi secara klinis dicurigai TB,
maka perlu dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

2.6 PENATALAKSANAAN

Obat antituberkulosis (OAT) diberikan dalam 2 fase yaitu fase intensif dan
fase lanjutan yang diberikan selama 6–12 bulan. Pada fase intensif diberikan
minimal 3 macam obat selama 2 bulan pertama dan pada fase lanjutan diberikan
minimal 2 macam obat selama 4–10 bulan selanjutnya. Pemberian OAT dapat
menggunakan fixed dose combinations (FDC) maupun regimen obat terpisah.
Tablet FDC yang tersedia untuk fase intensif terdiri atas INH 50 mg, rifampisin
75 mg, dan PZA 150 mg, sedangkan fase lanjutan terdiri atas INH 50 mg dan
rifampisin 75 mg. Pemberian INH bila dikombinasikan dengan rifampisin, maka
dosis INH tidak boleh >10 mg/kgBB/hr. Rifampisin tidak boleh diracik dalam
satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas
rifampisin. Stategi directly observed short-course therapy (DOTs) digunakan
untuk memastikan kepatuhan pengobatan dan ketersediaan OAT.13

25
Sumber: Graham 2011

Keterangan: Tabel di atas merupakan rekomendasi WHO 2010 H: INH; R: rifampisin; Z:


pirazinamid; E: etambutol; S: streptomisin Perubahan utama adalah semua tipe TB
(kecuali TB meningitis dan TB osteoartikular) di daerah endemik HIV harus disertai obat
ke-4 pada fase intensif 2HRZE/4RH Pada TB meningitis streptomisin tidak lagi
direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pada anak, pengantian streptomisin dengan
etionamid dan diberikan 9–12 bulan

Sumber: Marais dkk. 2011

26
Keterangan: Pada anak berusia <5 th yang terpapar penderita TB, tetapi terbukti terdapat
infeksi maupun penyakit TB direkomendasikan untuk mendapat kemoprofilaksis INH 10
mg/kgBB/hr selama 6–9 bulan.

Kombinasi dosis tetap (KDT) atau Fix Dosed Combination (FDC).

Untuk mempermudah pemberian OAT dan meningkatkan keteraturan


minum obat, panduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/FDC. Satu paket
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak
berisi fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50mg, dan pirazinamid
(Z) 150mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75mg dan H 50 mg dalam satu paket.
Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Berat badan Fase Intensif Fase Lanjutan


(kg) (2 bulan) (4 bulan)
RHZ (75/50/150) (RH 75/50)
5–7 1 Tablet 1 Tablet

8 – 11 2 Tablet 2 Tablet

12 – 16 3 Tablet 3 Tablet

17 – 22 4 Tablet 4 Tablet

23 – 30 5 Tablet 5 Tablet

> 30 OAT Dewasa

Keterangan :

R : Rifampisin; H : Isoniazid; Z : Pirazinamid

1. Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk


KDT dan sebaiknya dirujuk ke RS,
2. Apabila ada kenaikan BB maka dosis atau jumlah tablet yang diberikan
disesuaikan dengan berat badan saat itu,
3. Untuk anak dengan obesitas, dosis KDT berdasarkan Berat Badan Ideal (

27
sesuai umur),
4. Obat KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak
boleh digerus),
5. Obat dapat diberikan dengan ditelan utuh, dikunyah/dikulum (chewable),
atau dimasukkan air sendok (dispersable).
6. Obat dapat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam
setelah makan,
7. Bila INH dikombinasi dengan Rifampisin, dosis INH tidak boleh lebih
dari 10mg/kgBB/hari,
8. Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalm bentuk puyer.

Kortikosteroid

Kortikosteroid dapat diberikan pada kondisi TB meningitis, sumbatan


jalan napas akibat TB kelenjar (endobronkhial TB), pericarditis TB, TB milier
dengan gangguan napas yang berat, efusi pleura TB, TB abdomen dengan asites.
Obat yang sering digunakan adalah prednisone dengan dosis 2mg/kgBB/hari
sampai 4mg/kgBB/hari pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60mg/hari
selama 4 minggu. Tapering-off dilakukan secara bertahan selama 2 minggu
pemberian, kecuali pada TB meningitis pemberian selama 4 minggu sebelum
tapering-off.

Piridoksin

Isoniazid dapat menyebabkan defisiensi piridoksin simptomatik, terutama


pada anak dengan malnutrisi berat dan anak dengan HIV yang mendapatkan anti
retroviral therapy (ARV). Suplementasi piridoksin (5 – 10 mg/hari)
direkomendasikan pada HIV positif dan malnutrisi berat.

Pemberian Nutrisi

Status gizi pada anak denga TB akan mempengaruhi keberhasilan


pengobatan TB. Malnutrisi berat meningkatkan risiko kematian pada anak dengan
TB. Penilaian status gizi harus dilakukan secara rutin selama anak dalam

28
pengobatan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi, lingkar lengan
atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi edema atau muscle wasting.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan selama pengobatan. Jika tidak
memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai anak stabil dan TB
dapat diatasi. Air susu ibu tetap diberikan jika anak masih dalam masa menyusu.

Pemantauan Terapi

Selama terapi dilakukan pemantauan tiap bl untuk mengetahui kepatuhan


terhadap pengobatan, melihat respons klinis terapi, toksisitas dan efek samping
OAT. Pemeriksaan berkala foto Rontgen toraks tidak direkomendasikan untuk
evaluasi pengobatan TB.14

Hepatotoksisitas merupakan efek samping berat dan paling sering terjadi.


Keadaan ini dapat disebabkan oleh INH, RIF, dan PZA. Efek samping muncul
pada 2–4 mgg pertama sesudah pemberian OAT. Tatalaksana pada penderita yang
mengalami hepatotoksisitas adalah bila sesudah mendapat OAT penderita menjadi
kuning (bilirubin total >1,5mg/dL) atau muncul gejala drug-induced
hepatotoxicity dengan alanin aminotransferase (ALT)= SGPT ↑ >3× normal, atau
SGPT >5× normal walaupun tanpa gejala maka pemberian OAT harus dihentikan.
Pada penderita TB berat dapat diberikan 2 atau 3 obat yang mempunyai efek
hepatotoksik rendah seperti streptomisin, etambutol, dan ofloksasin. OAT dapat
segera diberikan secara bertahap bila fungsi hati sudah normal kembali dimulai
dengan INH atau rifampisin.15

Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur

Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab


kegagalan terapi dan meningkatkan resiko terjadinya TB resisten obat.

1. Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau >2bulan di
fase lanjutan DAN menunjukan gejala TB, ulangi pengobata dari awal.
2. Jika anak tidak minum obat <2minggu di fase intensif atau <2bulan di fase
lanjutan DAN menunjukkan gelaja TB, lanjutkan sisa pengobatan sampai
selesai.

29
Antituberculosis Drug-Induced Hepatotoxicity (ADIH)

Bila pada anak yang mendapat OAT terjadi ADIH, maka pemberian
semua OAT dihentikan. Kriteria ADIH yaitu bila didapatkan: SGPT ↑ ≥5× nilai
batas atas normal tanpa gejala klinis SGPT ↑ ≥3× nilai batas atas normal disertai
dengan gejala klinis SGPT ↑ dengan nilai berapapun di atas batas normal sebelum
diberikan terapi yang disertai dengan ikterus, anoreksia, nausea, muntah Bilirubin
total (BT) serum ↑ >1,5 mg/dL.16

Panduan tatalaksana ADIH:

1. Bila didapatkan gejala klinis seperti ikterik, mual, muntah, dan nilai SGPT
≥3× nilai batas atas normal → OAT diberhentikan
2. Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai SGPT ≥5× mg/dL → OAT
diberhentikan → OAT diberhentikan
3. Bila tidak didapatkan gejala klinis tetapi nilai bilirubin >1,5 mg/dL →
OAT diberhentikan
4. Dilakukan skrining untuk mencari kemungkinan etiologi yang lain seperti
hepatitis A, B, dan C
5. Dilakukan pemantauan gejala klinis dan SGPT selama 2–4 minggu.
6. Bila gejala klinis perbaikan dan laboratorium normal kembali mulai
diberikan kembali OAT secara bertahap yang disebut reintroduction
therapy.

Reintroduction therapy

1. Sesudah nilai SGPT <2× nilai normal, dapat dimulai pemberian rifampisin
dengan atau tanpa etambutol. Pada penderita dengan regimen OAT yang
terdiri atas 3 macam obat → reintroduction therapy dimulai dengan
rifampisin saja, tetapi bila regimen OAT yang terdiri atas 4 macam obat →
reintroduction therapy dimulai dengan rifampisin (bertahap) dan etambutol
(dosis penuh) Dosis rifampisin dimulai:
a. Hari 1 & 2: 1⁄3 dosis
b. Hari 3 & 4: 2⁄3 dosis

30
c. Hari 5 & 6: dosis penuh
2. Pada hr ke-7, periksa SGPT, bila baik mulai diberikan INH:
a. Hari 1 & 2: 1⁄3 dosis
b. Hari 3 & 4: 2⁄3 dosis
c. Hari 5 & 6: dosis penuh
3. Jika gejala klinis muncul atau SGPT ↑ → INH dihentikan.
4. PZA tidak perlu diberikan kembali dan terapi diberikan hingga 9 bulan.

Pencegahan

Prioritas utama pada program TB adalah penemuan dan terapi indeks


kasus. Imunisasi Bacille Calmette Guerin (BCG) mempunyai efek proteksi 0–
80%, efek proteksi untuk menurunkan angka kejadian TB baru dalam populasi,
bukan individual.11

31
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global tuberculosis report 2015. World
Health Organization; 2015.
2. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, 2007. Jakarta.
3. Kemenkes RI. (2016). Petunjuk teknis manajemen dan tatalaksana TB
anak. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
4. Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium tuberculosis). Dalam: Kliegman
RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting.
Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: WB Saunders;
2011.
5. Rutherford, M.E., Hill, P.C., Maharani, W., Apriani, L., Sampurno, H.,
Van Crevel, R. and Ruslami, R. Risk factors for Mycobacterium
tuberculosis infection in Indonesian children living with a sputum smear-
positive case. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease
2012;16(12), pp.1594-1599.
6. Musenge, E., Vounatsou, P., Collinson, M., Tollman, S. and Kahn, K. The
contribution of spatial analysis to understanding HIV/TB mortality in
children: a structural equation modelling approach. Glob Health Action
2013;6, pp.38-48.
7. Kemenkes RI. (2013). Laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun
2013. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta.
8. Donald PR, Schoeman JF. Central nervous system tuberculosis in
children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting. Tuberculosis: a
comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier; 2009. hlm. 513–43.
9. Nahid P, Pai M, Hopewell P. Advances in the diagnosis and treatment of
tuberculosis. Proc Am Thor Soc. 2006;3:103–110.
10. Richeldi L. An update on the diagnosis of tuberculosis infection. Am J
Respir Crit Care Med. 2006;174:736–742.
11. Strategic approach for the strengthening of laboratory services for
tuberculosis control, 2006-2009. Geneva: WHO; 2006 (WHO/HTM/TB/
2006.364).

32
12. World Health Organization. Guidelines for the programmatic
management of drug-resistant tuberculosis. Geneva: WHO; 2006.
13. Improving the diagnosis and treatment of smear-negative pulmonary and
extrapulmonary tuberculosis among adults and adolescents:
Recommendations for HIV- prevalent and resource-constrained settings.
Geneva: WHO; 2006
14. Graham SM. Treatment of paediatric TB: revised WHO guidelines.
Paediatr Respir Rev. 2011 Mar;12(1):22–6.
15. Graham SM, Marais BJ, Gie RP. Clinical features and index of suspician
of tuberculosis in children. Dalam: Schaaf HS, Zumla A, penyunting.
Tuberculosis: a comprehensive clinical reference. Missouri: Elsevier;
2009. hlm. 154–63.
16. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis
programmes on the management of tuberculosis in children. Geneva:
WHO; 2006.

33

Anda mungkin juga menyukai