Ilustrasi Kasus
Seorang laki-laki, Tn. H, usia 66 tahun, suku Madura, datang pada tanggal
23 Februari 2017 ke instalasi rawat darurat Rumah Sakit (RS) Dokter Soetomo
dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas telah dirasakannya sejak empat
hari sebelumnya dan bertambah berat satu hari sebelum masuk RS. Sesak tidak
berkurang dengan istirahat. Tidak ada keluhan nyeri dada dan keringat dingin.
Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama sebanyak tiga kali. Pasien tidak
pernah melakukan kontrol rutin. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, dan stroke
disangkal. Pasien memiliki riwayat merokok sebanyak satu bungkus per hari. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang lemah, Glasgow coma scale
(GCS) 456, tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 90x/menit reguler, pernapasan
28x/menit, suhu 35,6o C, dan saturasi oksigen 77% dengan oksigen bebas.
Pemeriksaan kepala leher tidak menunjukkan adanya kelainan. Dari pemeriksaan
jantung didapatkan ictus cordis di sela iga V 2 cm lateral mid clavicula line sinistra,
bunyi jantung pertama dan kedua reguler, didapatkan murmur sistolik di apeks
jantung grade III/VI menjalar ke axilla, tidak didapatkan ekstrasistol dan gallop.
Dari pemeriksaan paru didapatkan suara napas vesikuler, didapatkan ronchi
basah halus minimal di lapangan paru kanan kiri, tidak didapatkan wheezing. Pada
pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan. Dari pemeriksaan ekstremitas
didapatkan akral dingin dan basah dan tidak didapatkan edema.
Perjalanan Penyakit
Pada hari kedua, pasien tidak memiliki keluhan dengan kondisi tekanan
darah 90/60 mmHg, nadi 85x/menit, frekuensi napas 16x/menit, suhu 36,5OC, dan
saturasi oksigen 97%. Input 850 cc dan output 1125 cc, defisit 275 cc per 24 jam.
NE dan dobutamin mulai tappering down. Diberikan tambahan terapi lisinopril 1x
2,5 mg dan warfarin 1x 4 mg. Pada hari ketiga, tidak ada keluhan dari pasien.
Tekanan darahnya 90/70 mmHg, N 80x/menit RR 16x/menit. Obat vasoaktif
dihentikan dan terapi lain diteruskan dengan ditambah bisoprolol. Di hari kelima,
kondisi hemodinamik pasien stabil dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan.
Diskusi
Gejala syok kardiogenik mirip dengan gejala gagal jantung, namun lebih serius.
Beberapa indikasi umum yang patut kita waspadai meliputi:
Meskipun pemicu utama syok kardiogenik adalah serangan jantung, perlu diingat
bahwa syok kardiogenik dapat terjadi ketika jantung tidak dapat memompa darah
secara optimal, seperti pada aritmia, penekanan terhadap rongga jantung akibat
penumpukan cairan di sekitarnya (tamponade jantung), serta penyakit katup
jantung.
Syok kardiogenik adalah suatu kondisi hipoperfusi kritis end organ yang
disebabkan oleh penurunan curah jantung dengan volume intravaskular yang
adekuat. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan karakteristik hemodinamik
sebagai berikut: tekanan darah sistolik <90 mmHg lebih dari 30 menit (tanpa
pemberian inotropik dan vasopresor), berkurangnya CI (<1,8 l/min/m2 tanpa
support dan <2,2 l/min/m2 dengan support), dan peningkatan tekanan pengisian
jantung kiri (PCWP >18 mmHg). Penyebab paling sering dari syok kardiogenik
adalah kegagalan ventrikel kiri setelah kejadian AMI, yang terjadi pada sekitar
8,6% pasien dengan ST-segment-elevation myocardial infarction (STEMI) dan
2,5% dengan nonSTEMI. Penyebab mekanik dapat berupa mitral regurgitasi akut
yang parah, ruptur septum ventrikuler, ruptur dinding bebas ventrikel, dan
tamponade jantung. Penyebab utama lainnya adalah kegagalan ventrikel kanan
terisolasi, miokarditis, kardiomiopati lanjut, penyakit jantung katup, dan aritmia.
Kondisi syok kardiogenik yang ditangani secara dini dapat menurunkan potensi
kematian. Namun jika tidak ditangani, kesempatan pulih akan sangat kecil.
Pada syok kardiogenik, tidak ada rekomendasi yang jelas mengenai nilai
target optimal mean arterial pressure (MAP). Rekomendasi MAP yang dipakai
berasal dari data syok sepsis International Consensus Conference yaitu 65 mmHg,
sedangkan konsensus Jerman dan Austria merekomendasikan MAP 65-75
mmHg. Tekanan darah yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan outcome yang
lebih baik. Pada beberapa pasien di intensive care unit (yaitu pasien dengan
riwayat hipertensi, setelah resusitasi kardiopulmonal dan sepsis) target optimal
MAP bisa lebih tinggi yaitu di atas 80-90 mmHg.
Norepinefrin adalah A1R yang poten dan B1R yang ringan-sedang dengan
aktivitas B2R minimal. Efek hemodinamik NE didominasi oleh vasokonstriksi yang
dimediasi A1R dan peningkatan SVR, sementara aktivasi B1R menyebabkan
inotropik yang cukup untuk mempertahankan CO. Peningkatan dosis NE dapat
meningkatkan CO pada beberapa pasien karena aktivasi B1R, menambah venous
return, dan memperbaiki respons cairan. Norepinefrin dapat menurunkan CO
seperti vasokonstriktor murni pada pasien dengan disfungsi jantung karena
peningkatan afterload, tetapi beberapa pasien dengan syok kardiogenik dapat
mempertahankan CO saat terapi dengan NE. Potensi NE sedikit di bawah
epinefrin sebagai vasopresor, hampir seratus kali lebih poten dibanding kan
dengan dopamin dan sekitar 3-5 kali lebih poten dibandingkan phenylephrine
untuk menaikkan MAP.18 Norepinefrin dapat menyebabkan pengurangan refleks
heart rate (HR) dengan peningkatan MAP, walaupun pemburukan takikardia dapat
terjadi pada dosis tinggi yang disebabkan stimulasi B1R. Norepinefrin adalah lini
pertama vasopresor untuk semua jenis syok dengan hipotensi berat, termasuk
syok yang tidak dapat dibedakan, syok septik dan syok kardiogenik. Rekomendasi
untuk dosis awal adalah 0,01 hingga 0,03 µg/kg/menit; dengan dosis maksimal
yang dianjurkan adalah 0,1 µg/kg/menit.
Dobutamin
A1Rs: Alpha 1
Hb: hemoglobin
NE: norepinefrin/noremelopinephrine
DAFTAR PUSTAKA
Jentzer JC, Coons JC, Link CB, Schmidhofer M. Pharmacotherapy update on the
use of vasopressors and inotropes in the intensive care unit. Journal of
Cardiovascular Pharmacology and Therapeutics. 2015; 20(3): 249-60.
Nicolau JN, Selzman CH, Fang JC, Stehlik J. Pharmacologic therapies for acute
cardiogenic shock. Curr Opin Cardiol. 2014;29:250–7.
Szymanski FM, Filipia KJ. Cardiogenic shock—diagnostic and therapeutic options
in the light of new scientific data.Anaesthesiology Intensive Therapy.
2014;46(4):301–6.
Bangash MN, Kong ML, Pearse RM. Use of inotropes and vasopressor agents in
critically ill patients. Br J Pharmacol. 2012;165(7):2015-33.