Anda di halaman 1dari 16

SYOK KARDIOGENIK

Syok kardiogenik adalah kondisi yang mengancam jiwa dan biasanya


terjadi setelah infark miokard akut dengan angka mortalitas mencapai lebih dari
50%. Kegagalan sistem kardiovaskular yang menyebabkan kegagalan organ
multipel dapat terjadi walaupun tindakan revaskularisasi telah dilakukan. Terapi
agen vasoaktif harus dimulai pada pasien syok untuk mempertahankan tekanan
arteri dan perfusi organ yang adekuat. Hasil analisis terbaru menyimpulkan bahwa
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) memegang peran penting
dalam instabilitas hemodinamik pada pasien dengan syok kardiogenik. Inflamasi
melalui jalur nitrit oksida (NO) menyebabkan penurunan resistansi vaskular
sehingga terapi vasopresor pun dibutuhkan. Subanalisis dari percobaan acak
prospektif menyarankan bahwa norepinefrin (NE) lebih dipilih dibandingkan
dopamin pada pasien dengan syok kardiogenik sementara dobutamin adalah
inotropik terpilih. Kami presentasikan sebuah ilustrasi kasus syok kardiogenik dan
tinjauan pustaka mengenai terapi farmakologis pada syok kardiogenik.

Syok kardiogenik merupakan kondisi emergensi yang mengancam jiwa


dan biasanya terjadi bersamaan dengan sindroma koroner akut (SKA).

1. Kondisi syok menggambarkan kegagalan sistem kardiovaskular untuk


menyediakan perfusi jaringan dan penghantaran oksigen yang adekuat
untuk menjaga metabolisme selular yang normal.
2. Angka mortalitas syok kardiogenik tetap tinggi sekitar 50% walaupun
percutaneus coronary intervention (PCI) telah dilakukan, dan separuh
kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Kondisi ini kemungkinan
disebabkan adanya kerusakan miokardium luas dan organ vital yang
permanen.
3. Tujuan terapi awal syok kardiogenik adalah mempertahankan tekanan
arteri yang adekuat untuk meningkatkan perfusi jaringan.
4. Terapi ini meliputi resusitasi awal menggunakan agen vasoaktif.
Pertanyaannya, agen vasoaktif apakah yang sebaiknya digunakan?
5. Berbeda dengan syok sepsis, hanya sedikit percobaan acak yang
membandingkan katekolamin pada syok kardiogenik.
6. Panduan konsensus dan rekomendasi para ahli mengusulkan bahwa agen
yang dapat digunakan sebagai pilihan vasopresor pertama pada pasien
dengan syok adalah dopamin dan norepinefrin (NE). Dopamin yang
awalnya dipertimbangkan sebagai obat pilihan pertama saat ini terbukti
dapat meningkatkan mortalitas pada syok kardiogenik.4,7 NE biasa
digunakan sebagai agen lini pertama untuk memberikan support tekanan
darah.

Pada hipotensi, dan disarankan sebagai pilihan lebih baik dibanding


dopamin untuk manajemen awal hipotensi.8 Sementa ra itu dobutamin merupakan
pilihan pertama untuk agen inotropik.9 Paradigma baru menunjukkan bahwa
pasien-pasien dengan gagal jantung berat/syok kardiogenik juga mengalami
penurunan resistensi vaskuler yang disebabkan inflamasi melalui jalur nitrit oksida
(NO) sehingga mereka membutuhkan terapi vasopresor.4 Berikut ini kami
laporkan sebuah kasus pada penderita laki-laki berumur 66 tahun dengan klinis
kardiomiopati non-iskemik (ejection fraction (EF) 29% yang bukan disebabkan oleh
berkurangnya aliran darah ke jantung) yang mengalami syok kardiogenik dan
tinjauan pustaka mengenai terapi farmakologis pada pasien syok kardiogenik
berdasarkan profil hemodinamik.

Ilustrasi Kasus

Seorang laki-laki, Tn. H, usia 66 tahun, suku Madura, datang pada tanggal
23 Februari 2017 ke instalasi rawat darurat Rumah Sakit (RS) Dokter Soetomo
dengan keluhan utama sesak napas. Sesak napas telah dirasakannya sejak empat
hari sebelumnya dan bertambah berat satu hari sebelum masuk RS. Sesak tidak
berkurang dengan istirahat. Tidak ada keluhan nyeri dada dan keringat dingin.
Pasien pernah dirawat dengan keluhan yang sama sebanyak tiga kali. Pasien tidak
pernah melakukan kontrol rutin. Riwayat hipertensi, diabetes melitus, dan stroke
disangkal. Pasien memiliki riwayat merokok sebanyak satu bungkus per hari. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum yang lemah, Glasgow coma scale
(GCS) 456, tekanan darah 80/50 mmHg, nadi 90x/menit reguler, pernapasan
28x/menit, suhu 35,6o C, dan saturasi oksigen 77% dengan oksigen bebas.
Pemeriksaan kepala leher tidak menunjukkan adanya kelainan. Dari pemeriksaan
jantung didapatkan ictus cordis di sela iga V 2 cm lateral mid clavicula line sinistra,
bunyi jantung pertama dan kedua reguler, didapatkan murmur sistolik di apeks
jantung grade III/VI menjalar ke axilla, tidak didapatkan ekstrasistol dan gallop.
Dari pemeriksaan paru didapatkan suara napas vesikuler, didapatkan ronchi
basah halus minimal di lapangan paru kanan kiri, tidak didapatkan wheezing. Pada
pemeriksaan abdomen tidak didapatkan kelainan. Dari pemeriksaan ekstremitas
didapatkan akral dingin dan basah dan tidak didapatkan edema.

Pemeriksaan laboratorium pada tanggal 23 Februari 2017 menunjukkan


hemoglobin (Hb) 13,5 g/dl, lekosit 11,960 /uL, trombosit 119,000/uL, serum
glutamic oxaloacetic transaminase (SGOT) 178 U/L, serum glutamic pyruvic
transaminase (SGPT) 89 U/L, albumin 3,13 g/dL, blood urea nitrogen (BUN) 56
mg/dl. Serum kreatinin (SK) 1,95 mg/dL, Na 132 mmol/L, kalium 4,9 mmol/L,
klorida 101 mmol/L. Gula darah acak 163, dan dalam hasil analisis gas darah
didapatkan asidosis metabolik terkompensasi. Dari pemeriksaan foto toraks
didapatkan kesimpulan kardiomegali, cardio thorax ratio (CTR) 56% dengan
kongestif pulmonum. Pemeriksaan elektrokardiografi menunjukkan irama sinus
takikardia 107x/menit, left axis deviation, counter clockwise rotation, left atrial
abnormality, old myocardial infarction (OMI) anterior dan inferior. Pemeriksaan
ekokardiografi menunjukkan katup-katup tampak dilatasi annulus katup mitral
dengan mitral regurgitasi (MR) sedang, aorta regurgitasi (AR) ringan, trikuspid
regurgitasi (TR) ringan, dimensi ruang jantung: dilatasi atrium dan ventrikel kiri.
Fungsi sistolik ventrikel kiri menurun (EF by biplane 29%), Fungsi diastolik
ventrikel kiri pseudonormal dan fungsi sistolik ventrikel kanan menurun. Analisis
segmental ventrikel kiri: akinetik di anterior, inferior, anteroseptal, inferoseptal,
septal, lateral segmen lain hipokinetik.

Parameter hemodinamik pulmonary capillary wedge pressure (PCWP):


18,33 mmHg, systemic vascular resistance (SVR) 1864,8 dynes.sec/cm5, cardiac
output (CO) 2,86 l/min, cardiac index (CI) 1,57 l/min.m2, Estimasi right atrial
pressure (RAP) 10 mmHg. Pasien telah mendapatkan angiografi tanggal 20
Desember 2016 dengan hasil penyakit jantung koroner single vessel disease (long
lesion di proksimal left anterior descending (LAD) dengan maksimal stenosis 70%).
Pasien dirawat di ruang Intensive Cardiac Care Unit ( ICCU) dengan diagnosis
Kardiomiopati non-iskemik + acute decompensated heart failure + syok
kardiogenik + asidosis metabolik terkompensasi. Pasien mengalami syok
kardiogenik yang kemungkinan disebabkan kegagalan fungsi ventrikel kiri akibat
kardiomiopati lanjut. Pasien diterapi dengan oksigen masker reservoir 10 liter per
menit, infus Natrium klorida 0,9% sebanyak 500 cc/24 jam, minum maksimal 800
cc/24 jam. Norepinefrin mulai 0,03 µg/kgbb/menit iv dan dobutamin mulai 3
µg/kgbb/menit iv yang dititrasi sesuai hemodinamik, injeksi furosemid 3x 20 mg iv,
asam asetilsalisilat 1x100 mg, dan injeksi ranitidin 2x50 mg iv.

Perjalanan Penyakit

Pada hari kedua, pasien tidak memiliki keluhan dengan kondisi tekanan
darah 90/60 mmHg, nadi 85x/menit, frekuensi napas 16x/menit, suhu 36,5OC, dan
saturasi oksigen 97%. Input 850 cc dan output 1125 cc, defisit 275 cc per 24 jam.
NE dan dobutamin mulai tappering down. Diberikan tambahan terapi lisinopril 1x
2,5 mg dan warfarin 1x 4 mg. Pada hari ketiga, tidak ada keluhan dari pasien.
Tekanan darahnya 90/70 mmHg, N 80x/menit RR 16x/menit. Obat vasoaktif
dihentikan dan terapi lain diteruskan dengan ditambah bisoprolol. Di hari kelima,
kondisi hemodinamik pasien stabil dan pasien dipindahkan ke ruang perawatan.

Diskusi

Gejala Syok Kardiogenik

Gejala syok kardiogenik mirip dengan gejala gagal jantung, namun lebih serius.
Beberapa indikasi umum yang patut kita waspadai meliputi:

 Napas cepat dan pendek.


 Takikardia (berdebar-debar).
 Denyut nadi melemah.
 Nyeri dada.
 Pucat, serta tangan dan kaki terasa dingin.
 Linglung atau gelisah, serta berkeringat.
 Hilang kesadaran atau pingsan.
 Frekuensi buang air kecil berkurang atau sama sekali tidak buang air kecil.

Jika Anda mengalami gejala-gejala tersebut, segeralah ke rumah sakit. Terutama


bagi yang sudah berusia lanjut, memiliki penyakit jantung koroner atau gagal
jantung, pernah mengalami serangan jantung, dan menderita hipertensi atau
diabetes.

Penyebab Syok Kardiogenik


Secara umum, kurangnya aliran darah ke pembuluh darah koroner (pembuluh
darah yang memberi suplai oksigen untuk jantung) akan merusak ventrikel kiri,
yaitu ruang jantung yang mengalirkan darah ke seluruh tubuh. Keadaan tersebut
biasanya terjadi pada serangan jantung. Otot jantung akan melemah dan
berkembang menjadi syok kardiogenik.

Meskipun pemicu utama syok kardiogenik adalah serangan jantung, perlu diingat
bahwa syok kardiogenik dapat terjadi ketika jantung tidak dapat memompa darah
secara optimal, seperti pada aritmia, penekanan terhadap rongga jantung akibat
penumpukan cairan di sekitarnya (tamponade jantung), serta penyakit katup
jantung.

Diagnosis Syok Kardiogenik

Seseorang dapat dicurigai menderita syok kardiogenik berdasarkan gejala-


gejalanya. Untuk memastikan hal tersebut, dokter akan mengadakan beberapa
jenis pemeriksaan, seperti:

 Pemeriksaan tekanan darah. Penderita syok kardiogenik memiliki


tekanan darah rendah, yaitu di bawah 90 mmHg, atau mengalami hipotensi
ortostatik.
 Elektrokardiogram (EKG). Dilakukan untuk mengetahui aktivitas listrik
pada jantung dengan menempelkan beberapa alat pada dada,
pergelangan tangan, dan kaki, serta tersambung dengan mesin melalui
kabel-kabel.
 Rontgen dada. Rontgen dada dilakukan untuk memeriksa struktur fisik
serta ukuran jantung, sekaligus keberadaan cairan dalam paru-paru.
 Tes darah. Untuk mengetahui kerusakan jantung dengan pemeriksaan
enzim jantung (troponin dan CKMB), serta memeriksa kadar oksigen dalam
darah dengan analisis gas darah.
 Ekokardiografi. Ekokardiografi dilakukan dengan menggunakan
gelombang suara ini dilakukan guna melihat struktur, ketebalan, dan gerak
tiap denyut jantung. Alat yang digunakan sama dengan alat USG.
 Angiografi koroner atau kateterisasi jantung. Pemeriksaan ini
mengombinasikan penyuntikan cairan kontras ke dalam pembuluh darah
dengan pemindaian sinar-X untuk mendeteksi adanya penyumbatan di
dalam pembuluh darah serta untuk mengukur tekanan di dalam bilik
jantung.

Diagnosis dan etiologi

Syok kardiogenik adalah suatu kondisi hipoperfusi kritis end organ yang
disebabkan oleh penurunan curah jantung dengan volume intravaskular yang
adekuat. Kondisi ini biasanya berhubungan dengan karakteristik hemodinamik
sebagai berikut: tekanan darah sistolik <90 mmHg lebih dari 30 menit (tanpa
pemberian inotropik dan vasopresor), berkurangnya CI (<1,8 l/min/m2 tanpa
support dan <2,2 l/min/m2 dengan support), dan peningkatan tekanan pengisian
jantung kiri (PCWP >18 mmHg). Penyebab paling sering dari syok kardiogenik
adalah kegagalan ventrikel kiri setelah kejadian AMI, yang terjadi pada sekitar
8,6% pasien dengan ST-segment-elevation myocardial infarction (STEMI) dan
2,5% dengan nonSTEMI. Penyebab mekanik dapat berupa mitral regurgitasi akut
yang parah, ruptur septum ventrikuler, ruptur dinding bebas ventrikel, dan
tamponade jantung. Penyebab utama lainnya adalah kegagalan ventrikel kanan
terisolasi, miokarditis, kardiomiopati lanjut, penyakit jantung katup, dan aritmia.

Komplikasi Syok Kardiogenik

Syok kardiogenik dapat membahayakan nyawa jika tidak segera ditangani.


Beberapa komplikasi lanjutan yang dapat terjadi adalah kerusakan pada organ
ginjal, hati, dan otak dikarenakan pasokan oksigen yang kurang.

Kondisi syok kardiogenik yang ditangani secara dini dapat menurunkan potensi
kematian. Namun jika tidak ditangani, kesempatan pulih akan sangat kecil.

Pencegahan Syok Kardiogenik

Mencegah serangan jantung merupakan langkah utama untuk menghindari


syok kardiogenik. Terdapat banyak langkah pencegahan sederhana yang bisa kita
lakukan. Di antaranya adalah:

 Menerapkan gaya hidup sehat.


Beberapa contoh gaya hidup sehat seperti berolahraga teratur,
mengusahakan berat badan ideal, mengurangi makanan berlemak dan
tinggi kolesterol, serta tidak merokok.

 Mengendalikan penyakit-penyakit yang meningkatkan risiko penyakit


jantung

Hipertensi, diabetes, dan kolesterol tinggi merupakan penyakit


yang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung. Lakukan kunjungan
teratur ke dokter bila memiliki penyakit tersebut agar mendapatkan
penanganan yang tepat, sehingga penyakit jantung dapat dicegah.

Paradigma baru syok kardiogenik

Patofisiologi mendasar dari syok kardiogenik ada lah depresi kontraktilitas


miokard, yang menyebabkan lingkaran setan yaitu penurunan CO, tekanan darah
yang rendah, insufisiensi koroner, dan penurunan kontraktilitas dan CO lebih
lanjut. Paradigma klasik menyebutkan bahwa kompensasi vasokonstriksi sistemik
dengan SVR yang tinggi harus terjadi sebagai respons terhadap depresi CO. Studi
tentang pasienpasien dengan syok kardiogenik yang disebabkan kegagalan LV
pada SHOCK (SHould we emergently revascularize Occluded Coronaries in
cardiogenic shocK?) menyimpulkan bahwa SVR pada penggunaaan vasopresor
rata-rata tidak meningkat. Analisis terbaru dari studi SHOCK menyimpulkan bahwa
SIRS adalah komponen terpenting pada instabilitas hemodinamik yang mendasari
presentasi klinis syok kardiogenik. Pada studi ini hampir 20% dari 297 pasien AMI
dengan komplikasi syok kardiogenik menunjukkan tanda klinis SIRS yaitu demam,
lekositosis, dan SVR yang rendah. Gagasan klasik bahwa penurunan akut CO
akan menyebabkan kompensasi vasokonstriksi tidak terjadi pada banyak pasien,
SVR sangat bervariasi tetapi rata-rata tidak meningkat yaitu sekitar 1350 sampai
1400 dyne·s/ cm5 dengan penggunaan vasopresor. Pasien dengan SVR normal
atau rendah ini mewakili pasien dengan kondisi hipoperfusi yang berat dan
respons inflamasi yang berhubungan dengan prognosis yang buruk. Mekanisme
kondisi vasoplegi ini kemungkinan disebabkan aktivasi saluran K-Adenosine
Triphosphate pada otot polos vaskular, defisiensi vasopresin, dan pelepasan
sitokin dan NO yang disebabkan proses inflamasi. Pelepasan sitokin oleh jantung
setelah infark miokard telah diketahui pada beberapa pasien yang kadarnya
sangat meningkat setelah dilakukan primary PCI pada pasien AMI tetapi tidak
pada pasien kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa pada pasien setelah infark
miokard, aktivasi dari sitokin inflamasi menyebabkan tingginya kadar inducible
nitric oxide synthase (iNOS), NO, dan peroxynitrite. Beberapa efek yang
ditimbulkan adalah penghambatan langsung kontraktilitas miokardium, efek
proinflamasi, dan menginduksi vasodilatasi sistemik.

Terapi hemodinamik pada syok

Tujuan manajemen hemodinamik pada gejala syok yang menetap adalah


stabilisasi tekanan darah dan memastikan perfusi organ yang adekuat. Tujuan ini
dicapai dengan preload yang adekuat dan penggunaan katekolamin seminimal
mungkin, dan monitor invasif yang ketat dengan pengukuran CO berkala.

Pada syok kardiogenik, tidak ada rekomendasi yang jelas mengenai nilai
target optimal mean arterial pressure (MAP). Rekomendasi MAP yang dipakai
berasal dari data syok sepsis International Consensus Conference yaitu 65 mmHg,
sedangkan konsensus Jerman dan Austria merekomendasikan MAP 65-75
mmHg. Tekanan darah yang lebih tinggi tidak berhubungan dengan outcome yang
lebih baik. Pada beberapa pasien di intensive care unit (yaitu pasien dengan
riwayat hipertensi, setelah resusitasi kardiopulmonal dan sepsis) target optimal
MAP bisa lebih tinggi yaitu di atas 80-90 mmHg.

Reseptor adrenergik dan agen vasoaktif

Agen vasoaktif mempunyai efek kardiovaskular de ngan berinteraksi


dengan reseptor adrenergik (adrenergic receptors/ARs) pada jantung dan
pembuluh darah. Aktivasi simpatis ini menjaga MAP dengan meningkatkan CO,
SVR, dan venous return dengan me ngalihkan darah dari sirkulasi vena dan
mesente rium ke otot, jantung, dan otak saat stres dan latihan. Alpha 1 ARs (A1Rs)
vaskular meningkatkan SVR melalui konstriksi pada mesenterika, kulit, dan
arteriole renal dan arteri koroner saat meredistribusi volume darah dari vena
mesenterium dan periferal ke dalam sirkulasi arteri. Respons A1R vaskular
menurun saat sepsis dan kondisi warm shock, sehingga membutuhkan vasopresor
lebih tinggi untuk mempertahankan SVR dibandingkan pasien dengan cold shock
(terutama syok kardiogenik). Myocardial b1ARs (B1Rs) dan b2ARs (B2Rs) dapat
meningkatkan denyut jantung (kronotropik) dan kontraktilitas jantung (inotropik)
untuk meningkatkan stroke volume (SV) dan CO.2 Vasopresor mempertahankan
MAP dengan meningkatkan SVR melalui vasokonstriksi arteriolar (peningkatan
sinyal A1R/vasopressin 1a receptors). Inotropik meningkatkan CO dan SV melalui
perbaikan kontraktilitas jantung melalui peningkatan signal B1R/ B2R. Inotropik β-
Adrenergic meningkatkan denyut jantung (efek kronotropik positif) yang
selanjutnya dapat menambah CO, walaupun takikardia yang memburuk dapat
menghambat peningkatan CO pada beberapa pasien. Vasodilator menurunkan
SVR tanpa efek inotropik secara langsung dan vasokonstriktor meningkatkan SVR
tanpa efek inotropik secara langsung. Inodilator mengurangi SVR dan
menstimulasi kontraktilitas kardiak sementara inokonstriktor meningkatkan SVR
dan menstimulasi kontraktilitas jantung. Vasodilator dan inodilator cenderung
mengurangi tekanan pengisian jantung dengan mengurangi SVR, sementara
vasokonstriktor dan inokonstriktor cenderung meningkatkan tekanan pengisian
jantung dengan meningkatkan SVR. Vasodilator, inodilator, dan inokonstriktor
dapat meningkatkan CO walaupun inodilator cenderung memiliki efek lebih besar
akibat kombinasi penurunan SVR dan peningkatan kontraktilitas. Inodilator dapat
meningkatkan SV dan CO melalui stimulasi langsung kontraktilitas miokardium
bersamaan dengan penurunan afterload yang disebabkan vasodilatasi sistemik
(penurunan SVR), dengan efek kronotropik positif berkontribusi meningkatkan CO.
Dobutamin dan milrinon adalah inodilator yang sering digunakan untuk
meningkatkan CO yang sangat rendah dan mempertahankan penghantaran
oksigen, terutama pada syok kardiogenik dan gagal jantung low-output.

Pemahaman dari perbedaan ini adalah penting untuk pemilihan agen


vasoaktif pada berbagai kondisi patofisiologis. Inokonstriktor adalah vasopresor
yang sangat efektif yang secara langsung menyebabkan vasokonstriksi dan
menstimulasi kontraktilitas miokardium untuk meningkatkan CO dan SVR.
Inokonstriktor katekolamin endogen (NE, epinefrin, dan dopamin) menunjukkan
efek dose-response yang jelas dengan efek fisiologis yang berbeda. Pada dosis
rendah, obatobatan ini dapat menstimulasi B1R miokardium dan meningkatkan
kontraktilitas miokard, terutama dopamin dan epinefrin. Pada dosis lebih tinggi,
peningkatan stimulasi A1R menyebabkan peningkatan progresif pada SVR dan
MAP.15 Semua inokonstriktor memiliki risiko takikardia, takiaritmia, iskemia
miokard, dan iskemia jaringan. Inokonstriktor adalah vasopresor lini pertama untuk
mayoritas pasien dengan syok.
Norepinefrin

Norepinefrin adalah A1R yang poten dan B1R yang ringan-sedang dengan
aktivitas B2R minimal. Efek hemodinamik NE didominasi oleh vasokonstriksi yang
dimediasi A1R dan peningkatan SVR, sementara aktivasi B1R menyebabkan
inotropik yang cukup untuk mempertahankan CO. Peningkatan dosis NE dapat
meningkatkan CO pada beberapa pasien karena aktivasi B1R, menambah venous
return, dan memperbaiki respons cairan. Norepinefrin dapat menurunkan CO
seperti vasokonstriktor murni pada pasien dengan disfungsi jantung karena
peningkatan afterload, tetapi beberapa pasien dengan syok kardiogenik dapat
mempertahankan CO saat terapi dengan NE. Potensi NE sedikit di bawah
epinefrin sebagai vasopresor, hampir seratus kali lebih poten dibanding kan
dengan dopamin dan sekitar 3-5 kali lebih poten dibandingkan phenylephrine
untuk menaikkan MAP.18 Norepinefrin dapat menyebabkan pengurangan refleks
heart rate (HR) dengan peningkatan MAP, walaupun pemburukan takikardia dapat
terjadi pada dosis tinggi yang disebabkan stimulasi B1R. Norepinefrin adalah lini
pertama vasopresor untuk semua jenis syok dengan hipotensi berat, termasuk
syok yang tidak dapat dibedakan, syok septik dan syok kardiogenik. Rekomendasi
untuk dosis awal adalah 0,01 hingga 0,03 µg/kg/menit; dengan dosis maksimal
yang dianjurkan adalah 0,1 µg/kg/menit.

Dobutamin

Dobutamin dapat meningkatkan kontraktilitas miokardium melalui stimulasi


kuat pada B1R, agonis B2R ringan sampai sedang, agonis A1R yang ringan,
peningkatan SV dan CO yang kuat, peningkatan HR sedang (dose-dependent),
dan efek yang bervariasi pada MAP. Dobutamin sedikit menurunkan SVR, kecuali
pada dosis tinggi (>10-15 µg/kg/min) di mana agonis A1R yang bersifat dose-
dependent menjadi lebih menonjol. Dobutamin dapat meningkatkan MAP ketika
CO meningkat secara signifikan dan SVR menurun ringan, seperti pada syok
kardiogenik ketika baseline CO sangat rendah dengan SVR yang tinggi.
Dobutamin dapat menyebabkan hipotensi ketika CO sedikit meningkat dan SVR
menurun secara signifikan seperti pada syok vasodilatasi (dengan baseline CO
relatif tinggi dan SVR rendah). Dobutamin menyebabkan peningkatan HR secara
dose-dependent, dosis rendah (sampai 5 µg/kg/menit) dapat meningkatkan SV
melalui efek inotropik tanpa takikardia yang signifikan, tetapi dosis >10 µg/kg/
menit dapat menyebabkan pemburukan takikardia dengan peningkatan CO yang
minimal disebabkan penurunan SV karena penurunan waktu pengisian distolik.

Perbandingan dobutamin dan dopamin pada dosis yang sama yaitu 5


sampai 10 µg/kg/menit menunjukkan peningkatan CO lebih tinggi dan penurunan
tekanan pengisian jantung lebih besar dengan dobutamin dan MAP dan SVR lebih
tinggi dengan dopamin, dengan perubahan hemodinamik sistemik yang hampir
sama. Dobutamin adalah inotropik terpilih dalam kondisi akut dan tidak stabil pada
syok kardiogenik karena waktu paruh yang pendek (kurang dari 2 menit) dan onset
yang cepat sehingga dapat meningkatkan perbaikan CO dan titrasi yang cepat.
Dobutamin direkomendasikan kepada pasien-pasien AMI dengan tekanan darah
<100 mmHg dan hipoperfusi tanpa tanda syok berat dan dapat ditambahkan
dengan NE untuk pasien dengan syok kardiogenik. Penggunaan dobutamin jangka
panjang dapat menyebabkan takiphilaksis melalui downregulasi B1R, sehingga
dibutuhkan uptitrasi untuk mempertahankan efek klinis.

Agen vasoaktif mana yang dipilih?

Katekolamin sering digunakan pada 90% pasien dengan syok kardiogenik,


tetapi hanya sedikit percobaan acak yang membandingkan katekolamin pada syok
kardiogenik.6 Panduan konsensus dan rekomendasi para ahli mengusulkan
bahwa agen yang dapat digunakan sebagai pilihan vasopresor pertama pada
pasien dengan syok adalah dopamin dan NE. Dopamin menstimulasi reseptor
dopaminergik yang menyebabkan peningkatan lebih besar pada perfusi splanknik
dan ginjal dan dapat membantu resolusi edema paru. Tetapi stimulasi
dopaminergik dapat memiliki efek imunologis yang membahayakan dengan
mengubah fungsi hipotalamus dan pituitari sehingga menyebabkan penurunan
kadar hormon prolaktin dan pertumbuhan. Stimulasi dari beta adrenergik juga
memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan yaitu peningkatan metabolisme selular
dan efek imunosupresif. Percobaan kontrol acak belum ada yang menunjukkan
superioritas yang jelas dari semua vasopresor dibandingkan dengan norepinefrin
untuk outcome klinis yaitu kematian pada pasien dengan syok. Pada sebuah studi
acak yang membandingkan 1679 pasien dengan syok termasuk 280 pasien
dengan syok kardiogenik, terlihat bahwa terapi dopamin dibandingkan NE secara
signifikan lebih menyebabkan kejadian aritmia. Pemberian dopamin kemungkinan
berhubungan dengan angka kematian yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pemberian NE. Alasan untuk penemuan ini masih belum jelas, tetapi kemungkinan
berhubungan dengan HR yang lebih tinggi dengan pemakaian dopamin atau
karena perbedaan farmakologis antara kedua obat, di mana NE menyebabkan
peningkatan SVR yang lebih tinggi dibandingkan dengan dopamin.

Dopamin adalah prekursor untuk NE pada sistem saraf simpatis dan


direkomendasikan sebagai agen lini pertama vasopresor. Tetapi pasien syok
dapat mengalami hilangnya respons terhadap agen indirect acting seperti
dopamin. Pada kasus pasien dengan gagal jantung, komponen besar dari respons
terhadap dopamin adalah pelepasan NE neuronal. Ketika NE endogen berkurang
pada kondisi syok, agonis indirect acting seperti dopamin kurang mampu untuk
memproduksi respons ini. Pada kondisi demikian, agen direct acting seperti
epinefrin atau NE dapat meningkatkan efikasi. Epinefrin digunakan untuk
resusitasi dan terapi anafilaksis, tetapi efek beta 2 adrenergik dapat menyebabkan
hiperglikemia, asidosis, dan efek buruk lainnya. Studi acak yang membandingkan
dua jenis vasopresor yaitu NE dan epinefrin menunjukkan bahwa untuk efikasi
hemodinamik yang sama, epinefrin berhubungan dengan HR yang lebih tinggi,
lebih banyak terjadi aritmia dan asidosis laktat. Oleh sebab itu NE perlu
dipertimbangkan sebagai terapi awal untuk pasien-pasien dengan syok sirkulasi.
Di samping pertimbangan vasokonstriksi pada end organ, ketika infus NE
diberikan untuk mencapai MAP lebih dari 70 mmHg pada pasien dengan sepsis,
aliran urine dan creatinine clearance meningkat setelah 24 jam. Studi terkini dari
Perez dkk menunjukkan bahwa di samping peningkatan yang jelas pada MAP dan
SVR, NE juga dapat meningkatkan CI tanpa peningkatan HR, dan peningkatan
oksigen saturasi vena campuran (SVO2) dan penurunan kadar laktat dalam darah.
Peningkatan CI dapat disebabkan efek inotropik NE melalui stimulasi β1.
Menariknya, NE meningkatkan CI pada pasien dengan indeks kardiak yang rendah
dan tinggi. Dahulu NE dianggap obat tanpa atau memiliki efek positif ringan pada
CI, tetapi pada laporan terbaru didapatkan bahwa efek yang lebih menguntungkan
pada CI ditunjukkan pada percobaan dengan kardiomiopati sepsis, fase awal syok
sepsis yang dikombinasi dengan resusitasi volume, syok septik stabil dan pada
syok kardiogenik noniskemik. Studi ini menyimpulkan bahwa peningkatan MAP
jangka pendek dengan NE pada pasien dengan syok kardiogenik post reperfusi
berhubungan dengan performa kardiak yang lebih baik dan meningkatkan variable
mikrosirkulasi. Pengaruh dosis uptitrasi dari NE (yang menyebabkan MAP lebih
tinggi) pada hemodinamik global dan regional pada sepsis (dengan CO yang
tinggi) telah dievaluasi pada beberapa percobaan eksperimental. Hasilnya, tidak
ada efek yang merugikan pada hemodinamik global atau fungsi jantung. Pada
studi observasi kohort multicenter yang terdiri atas 1058 pasien syok yang diterapi
dengan katekolamin, penggunaan dopamin merupakan faktor risiko independen
kematian, sementara penggunaan dobutamin dan epinefrin tidak berkaitan dengan
mortalitas. Karena itulah dobutamin merupakan inotropik yang terpilih.

Pada kasus dengan katekola min resisten, penelitian terbaru mendukung


pengguna an levosimendan (loading dose 12 sampai 24 µg/kg selama 10 menit,
dilanjutkan 0,05 hingga 0,2 µg/kg/menit) dibandingkan phosphodiesterase III
inhibitors seperti enoximone or milrinone. Pasien dengan penyakit jantung koroner
dan gagal jantung dekompensata yang telah diterapi dengan penghambat beta
akan lebih mendapatkan manfaat pada hemodinamik dengan phosphodiesterase
III inhibitor dibandingkan dengan dobutamin.9 Petunjuk tatalaksana dari European
Society of Cardiology (ESC) tahun 2016 tentang manajemen syok kardiogenik
merekomendasikan pemberian dobutamin dapat dipertimbangkan jika dibutuhkan
peningkatan CO dan NE lebih dipilih dibandingkan dopamin apabila dibutuhkan
vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah sistolik apabila didapatkan
adanya hipoperfusi yang persisten. Kombinasi norepinefrin dan dobutamin

Penggunaan inotropik sebagai agen tunggal berhubungan dengan


prognosis yang lebih buruk dibandingkan dengan kombinasi inopresor dan
inodilator pada pasien dengan syok kardiogenik, dan pada pasien yang
membutuhkan inopresor saat 24 jam pertama. Ketika inopresor dibutuhkan dalam
pencapaian target hemodinamik pada pasien dengan syok kardiogenik,
memberikan kombinasi obat yang memiliki aktivitas vasodilatasi dapat berguna.
Hasil ini didapatkan dari data observasional yang dilakukan Piracchio dkk terhadap
1272 pasien dengan syok kardiogenik. Didapatkan bahwa pada kebanyakan
kondisi syok kardiogenik berat ketika dibutuhkan vasopresor segera, penambahan
obat inodilator dapat memperbaiki mortalitas jangka pendek. Levy dkk
membandingkan epinefrin dan NE yang dikombinasikan dengan dobutamin pada
sekelompok kecil pasien dengan syok kardiogenik (n=30). Hasil studi ini
menunjukkan bahwa efek hemodinamik global dari dua strategi ini adalah sama,
tetapi epinefrin berhubungan dengan asidosis laktat sementara, peningkatan
denyut jantung, dan perfusi mukosa gaster yang inadekuat. Dengan demikian
kombinasi NE dan dobutamin tampaknya lebih dapat diandalkan dan lebih aman
pada kondisi ini. Hasil dari percobaan Sepsis Occurrence in Acutely Ill Patients II
(SOAP-II) merekomendasikan kombinasi NE dan dobutamin untuk syok
kardiogenik dibandingkan dopamin.

Kesimpulan Kemajuan dalam pendekatan farmakologis terapi syok


kardiogenik sangat terbatas. Pendekatan praktis yang umum digunakan adalah
terapi awal menggunakan inotropik dan vasopresor jika didapatkan hipotensi yang
menetap. Namun pendekatan ini belum diuji dalam studi prospektif. Sebuah studi
acak menunjukkan bahwa terapi dopamin dibandingkan NE secara signifikan lebih
menyebabkan kejadian aritmia dan kematian sehingga pemberian norepinefrin
lebih dipilih dibandingkan dopamin, dan dobutamin terpilih sebagai agen inotropik
lini pertama untuk pasien dengan syok kardiogenik.

AMI: acute myocardial infarction

AR: aorta regurgitasi

Ars: reseptor adrenergik/adrenergic receptors

A1Rs: Alpha 1

ARs BUN: blood urea nitrogen

CI: cardiac index

CO: cardiac output

CTR: cardio thorax ratio

EF: ejection fraction

ESC: European Society of Cardiology

GCS: Glasgow coma scale

Hb: hemoglobin

HR: heart rate

ICCU: Intensive Cardiac Care Unit

iNOS: inducible nitric oxide synthase


LAD: left anterior descending

MAP: mean arterial pressure

MR: mitral regurgitasi

NE: norepinefrin/noremelopinephrine

NO: nitrit oksida/nitric oxide

OMI: old myocardial infarction

PCI: percutaneus coronary intervention

RS: rumah sakit

PCWP: pulmonary capillary wedge pressure

SIRS: systemic inflammatory response syndrome

SGOT: serum glutamic oxaloacetic transaminase

SGPT: serum glutamic pyruvic transaminase

SHOCK: SHould we emergently revascularize Occluded Coronaries in cardiogenic


shocK?

SK: serum kreatinin

SKA: sindroma koroner akut

SOAP-II: Sepsis Occurrence in Acutely Ill Patients II

DAFTAR PUSTAKA

Jentzer JC, Coons JC, Link CB, Schmidhofer M. Pharmacotherapy update on the
use of vasopressors and inotropes in the intensive care unit. Journal of
Cardiovascular Pharmacology and Therapeutics. 2015; 20(3): 249-60.

Nicolau JN, Selzman CH, Fang JC, Stehlik J. Pharmacologic therapies for acute
cardiogenic shock. Curr Opin Cardiol. 2014;29:250–7.
Szymanski FM, Filipia KJ. Cardiogenic shock—diagnostic and therapeutic options
in the light of new scientific data.Anaesthesiology Intensive Therapy.
2014;46(4):301–6.

Bangash MN, Kong ML, Pearse RM. Use of inotropes and vasopressor agents in
critically ill patients. Br J Pharmacol. 2012;165(7):2015-33.

Tewelde, et al (2018). Cardiogenic Shock. Cardiology Clinics, 36(1), pp. 53-61.

Thiele, et al. (2015). Management of Cardiogenic Shock. European Heart


Journal,36(20), pp. 1223-30.

National Heart, Lung, and Blood Institute. Cardiogenic Shock.


NHS Choices UK (2016).

Health A-Z. Heart Attack.


NIH (2016). MedlinePlus. Cardiogenic Shock.
Mayo Clinic (2014). Diseases and Conditions. Cardiogenic Shock.

Anda mungkin juga menyukai