Anda di halaman 1dari 125

PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR

DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN DEMAM TIFOID

UPT. KESMAS PENANGANAN DEMAM TIFOID


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : A01.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/3
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
DEMAM TIFOID TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan
oleh infeksi kuman Salmonella typhi.
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita tifoid sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Salmonella typhi
- Demam.
- Bau mulut karena demam lama.
- Bibir kering dan kadang pecah-pecah.
- Lidah kotor dan ditutup selaput putih (coated tongue), jarang
ditemukan pada anak.
- Ujung dan tepi lidah kemerahan dan tremor.
- Nyeri tekan regio epigastrik (nyeri ulu hati).
GAMBARAN KLINIS - Hepatosplenomegali.
- Bradikardia relatif (peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti
oleh peningkatan frekuensi nadi).
Pada keadaan lanjut
- Penurunan kesadaran ringan sering terjadi berupa apatis
dengan kesadaran seperti berkabut. Bila klinis berat, pasien
dapat menjadi somnolen dan koma atau dengan gejala-gejala
psikosis (organic brain syndrome).
1. Hb, Leko, Diff, Trombist, Ht
2. Urine lengkap
3. Widal
- Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) :
dinyatakan (+).
- Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan,
apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+).
PEMERIKSAAN
- Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung
PENUNJANG
dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas.
- Pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan
antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap
antibodi O S.typhi. Kenaikan titer agglutinin terutama
agglutinin H tidak mempunyai arti diagnostik yang
penting untuk demam typhoid, namun masih dapat
membantu dan menegakkan diagnosis tersangka demam
typhoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah
non endemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di
daerah endemik
4. Pemeriksaan baku emas : Gall culture
Kriteria Diagnosis
Demam tinggi lebih dari 7 hari disertai sakit kepala
- Kesadaran menurun
- Lidah kotor, hepatosplenomegali, dsb
- Bradikardia relatif
DIAGNOSA

Diagnosis Diferensial
- Infeksi karena virus + (Dengue influenza)
- Malaria
- Broncho pnemonia
1. Terapi suportif dapat dilakukan dengan:
a. Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi.
b. Diet tinggi kalori dan tinggi protein.
c. Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas.
d. Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi,
suhu, kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di
rekam medik pasien.
2. Terapi simptomatik untuk menurunkan demam (antipiretik)
dan mengurangi keluhan gastrointestinal.
3. Terapi definitif dengan pemberian antibiotik.
- Dosis ciprofloxacin oral adalah 2 X 15 mg/kgBB/hari,
selama 7–10 hari.
- Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) masih
menggunakan kloramfenikol sebagai pilihan pertama
pada demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100
mg / kgBB/ hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama
10 – 14 hari atau sampai 5 – 7 hari.
- Dosis Ampisilin yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/
hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.
- Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kg BB/ hari dibagi
dalam 4 kali pemberian perora.
PENATALAKSANAAN - Dosis trimethoprim sulfametokzasol (TMP-SMZ)
adalah TMP 10 mg/kgBB/hari atau SMZ 50
mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis.
- Demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol,
dipilih sefalosporin generasi ketiga. Pemberian
sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxone 100 mg
/ kg BB/ hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (maksimal 4 g/
hari) selama 5 – 7 hari atau cefotaxime 150 – 200
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis atau cefixime oral
10 – 15 mg / kg BB/ hari selama 10 hari.

Indikasi demam tifoid dilakukan perawatan di rumah atau rawat


jalan:
1. Pasien dengan gejala klinis yang ringan, tidak ada tanda-
tanda komplikasi serta tidak ada komorbid yang
membahayakan.
2. Pasien dengan kesadaran baik dan dapat makan minum
dengan baik.
3. Pasien dengan keluarganya cukup mengerti tentang cara-cara
merawat serta cukup paham tentang petanda bahaya yang
akan timbul dari tifoid.
4. Rumah tangga pasien memiliki atau dapat melaksanakan
sistem pembuangan ekskreta (feses, urin, muntahan) yang
mememenuhi syarat kesehatan.
5. Dokter bertanggung jawab penuh terhadap pengobatan dan
perawatan pasien.
6. Dokter dapat memprediksi pasien tidak akan menghadapi
bahaya yang serius.
7. Dokter dapat mengunjungi pasien setiap hari. Bila tidak bisa
harus diwakili oleh seorang perawat yang mampu merawat
demam tifoid.
8. Dokter mempunyai hubungan komunikasi yang lancar
dengan keluarga pasien.

Kriteria Rujukan
1. Telah mendapat terapi selama 5 hari namun belum tampak
perbaikan.
2. Demam tifoid dengan tanda-tanda kedaruratan.
3. Demam tifoid dengan tanda-tanda komplikasi dan fasilitas
tidak mencukupi.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun


DAFTAR PUSTAKA 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN DIARE

UPT. KESMAS PENANGANAN DIARE


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : A09
NO.
DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
/ UPT. A 1/4
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL TAMPAKSIRING II
PENANGANAN DIARE
TERBIT

31 MEI 2014 dr. Arif Kusworo


NIP : 196709192002121007
Diare atau Gastroenteritis (GE) adalah peradangan mukosa
lambung dan usus halus yang ditandai dengan diare, yaitu buang
air besar lembek atau cair, dapat bercampur darah atau lendir,
PENGERTIAN
dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24 jam, dan
disertai dengan muntah, demam, rasa tidak enak di perut dan
menurunnya nafsu makan.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Diare / GE sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
1. Infeksi oleh bakteri, virus atau parasit.
- Bakteri, seperti campylobacter, Clostridum
difficile, Escherichia coli, salmonella, serta
shigella.
PENYEBAB - Virus, seperti rotavirus dan norovirus
- Parasit, seperti giardia intestinalis
2. Alergi terhadap makanan atau obat tertentu.
3. Malabsorpsi
4. Sekunder oleh penyakit lain
Gejala Klinis :
Buang air besar lembek atau cair, dapat bercampur darah atau
lendir, dengan frekuensi 3 kali atau lebih dalam waktu 24
jam, dan disertai dengan muntah, demam, rasa tidak enak di
perut dan menurunnya nafsu makan, tanpa atau dengan
dehidrasi

Dehidrasi secara klinik dibedakan 3 langkah :


GAMBARAN KLINIS
a. Dehidarasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % BB
b. Dehidrasi sedang
Kehilangan cairan 5 -8 % BB
Gambaran klinik : Turgon jelip suara serak, nadi cepat,
nafas cepat, pre syok
c. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan : 8 – 10 % BB
Gambaran klinik : syok, apatis, syonotik, kejang, sampai
koma

Metode Daldiyono berdasarkan skor klinis


Klinis Skor
Rasa hasus/ muntah 1
Tekanan Darah sistolik 60 -90 mmHg 1
Tekanan darah sistolik <60 mmHg 2
Frekuensi nadi > 120 x/menit 1
Kesadaran apati 1
Kesadaran somnolen, spoor atau koma 2
Frekuensi napas > 30x/ menit 1
Facies Cholerica 2
Vox Cholerica 2
Turgor kulit menurun 1
Washer woman’s hand 1
Ekstremitas dingin 1
Sianosis 2
Umur 50 – 60 tahun -1
Umur > 60 tahun -2
Kebutuhan cairan = (Total Skor/15) x 10% x kgBB x 1 ltr

Penegakan Diagnosis (Assessment)


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (BAB cair lebih
dari 3 kali sehari) dan pemeriksaan fisik (ditemukan tanda-tanda
hipovolemik dan pemeriksaan konsistensi BAB).
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
a. Demam tifoid
b. Kriptosporidia (pada penderita HIV)
c. Kolitis pseudomembran
Pada kondisi pasien yang telah stabil (dipastikan hipovolemik
telah teratasi), dapat dilakukan pemeriksaan:
PEMERIKSAAN
- Darah rutin (lekosit) untuk memastikan adanya infeksi.
PENUNJANG
- Feses lengkap (termasuk analisa mikrobiologi) untuk
menentukan penyebab.
Penatalaksanaan :
1. Memberikan cairan dan diet adekuat, disesuaikan dengan
status dehidrasi
Bila skor Daldiyono <3 dan tidak ada syok, atau dehidrasi
ringan/sedang maka hanya diberikan cairan per oral. Bila skor
>3 dan disertai syok atau dehidrasi sedang/ berat, diberikan
cairan intravena.
- Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial): jumlah
total kebutuhan cairan menurut skor Daldiyono
diberikan langsung dalam 2 jam ini agar tercapai
PENATALAKSANAAN rehidrasi optimal secepat mungkin.
- Satu jam berikutnya/ jam ke-3 (tahap ke-2)
pemberian diberikan berdasarkan kehilangan selama
2 jam pemberian cairan rehidrasi inisial sebelumnya.
Bila tidak ada syok atau skor daldiyono kurang dari 3
dapat diganti cairan per oral.
- Jam berikutnya pemberian cairan diberikan
berdasarkan kehilangan cairan melalui tinja dan
insensible water loss.
1. Pada pasien diare tanpa dehidrasi (Terapi A):
a. Berikan cairan (air tajin, larutan gula garam, oralit)
sebanyak yang diinginkan hingga diare stop, sebagai
petunjuk berikan tiap habis BAB:
(1) Anak <1 thn : 50 – 100 mL
(2) Anak 1 – 4 thn : 100–200 mL.
(3) Anak >5 tahun : 200–300 mL
(4) Dewasa: 300–400 mL
b. Meneruskan pemberian makanan atau ASI bagi bayi.
2. Pada pasien diare dengan dehidrasi ringan–sedang (Terapi
B):
a. Oralit diberikan 75 mL/kgBB dalam 3 jam, jangan
dengan botol.
b. Jika anak muntah (karena pemberian cairan terlalu
cepat), tunggu 5-10 menit lalu ulangi lagi, dengan
pemberian lebih lambat (1 sendok tiap 2-3 menit).
3. Pada pasien diare dengan dehidrasi berat (Terapi C):
a. Diberikan Ringer Laktat 100 mL yang terbagi dalam
beberapa waktu.
b. Tiap 1-2 jam pasien diperiksa ulang, jika hidrasi tidak
membaik tetesan dipercepat. Setelah 6 jam (bayi) atau
3 jam (pasien lebih tua) pasien kembali di periksa
2. Terapi simptomatik dengan pemberian obat anti diare
Obat antidiare, antara lain:
- Turunan opioid: loperamide, difenoksilat atropine,
tinktur opium. (Sebaiknya tidak diberikan pada
pasien dengan disentri yang disertai demam, dan
penggunaannya harus dihentikan apabila diare
semakin berat walaupun diberikan terapi.
- Bismut subsalisilat, hati-hati pada pasien
immunocompromised, seperti HIV, karena dapat
meningkatkan risiko terjadinya bismuth
encephalopathy.
- Obat yang mengeraskan tinja: atapulgit 4x2 tablet/
hari atau smectite 3x1 sachet diberikan tiap BAB
encer sampai diare stop.
- Obat anti sekretorik atau anti enkefalinase: Hidrasec
3x 1/ hari
- Terapi definitif sesuai dengan penyebab.
Antimikroba, antara lain:
- Golongan kuinolon yaitu ciprofloxacin 2 x 500
mg/hari selama 5-7 hari, atau
- Trimetroprim/Sulfamethoxazole 160/800 2x 1
tablet/hari.
- Apabila diare diduga disebabkan oleh Giardia,
metronidazole dapat digunakan dengan dosis 3x500
mg/ hari selama 7 hari.
- Bila diketahui etiologi dari diare akut, terapi
disesuaikan dengan etiologi.
- Terapi probiotik dapat mempercepat penyembuhan diare
akut.

Indikasi MRS :
a. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari
b. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri,
demam ≥ 38.5o C, nyeri abdomen yang berat pada pasien
usia di atas 50 tahun
c. Pasien usia lanjut
d. Muntah yang persisten
e. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable.
f. Terjadinya outbreak pada komunitas
g. Pada pasien yang immunocompromised.

Kondisi yang memerlukan evaluasi lebih lanjut pada diare akut


apabila ditemukan:
4. Diare memburuk atau menetap setelah 7 hari, feses harus
dianalisa lebih lanjut.
5. Pasien dengan tanda-tanda toksik (dehidrasi, disentri,
demam ≥ 38.5oC, nyeri abdomen yang berat pada pasien
usia di atas 50 tahun
6. Pasien usia lanjut
7. Muntah yang persisten
8. Perubahan status mental seperti lethargi, apatis, irritable.
9. Terjadinya outbreak pada komunitas
10. Pada pasien yang immunocompromised.

Kriteria Rujukan
1. Tanda dehidrasi berat
2. Terjadi penurunan kesadaran
3. Nyeri perut yang signifikan
4. Pasien tidak dapat minum oralit
5. Tidak ada infus set serta cairan infus di fasilitas pelayanan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN TUBERKULOSIS (TB) PARU

UPT. KESMAS PENANGANAN TUBERKULOSIS (TB) PARU


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : A15
NO.
DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
/ UPT. A 1/3
KESMAS/2014
PROSEDUR TETAP DITETAPKAN
PENANGANAN KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
TUBERKULOSIS TAMPAKSIRING II
TERBIT
(TB) PARU

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
PENGERTIAN
disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Tuberkulosis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Mycobacterium tuberculosis.
Gejala Klinis :
Batuk disertai dahak, dapat bercampur darah atau batuk darah.
Keluhan dapat disertai sesak napas, nyeri dada atau pleuritic
chest pain (bila disertai peradangan pleura), badan lemah, nafsu
makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat
malam tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih dari 1
bulan.
GAMBARAN KLINIS
Pemeriksaan Fisik
Demam (pada umumnya subfebris, walaupun bisa juga tinggi
sekali), respirasi meningkat, berat badan menurun (BMI pada
umumnya <18,5).
Pada auskultasi terdengar suara napas bronkhial/amforik/ronkhi
basah/suara napas melemah di apex paru, tergantung luas lesi
dan kondisi pasien.
Standar Diagnosis
a. Semua pasien dengan batuk produktif yang berlangsung
selama ≥ 2 minggu yang tidak jelas penyebabnya, harus
dievaluasi untuk TB.
b. Semua pasien (dewasa, dewasa muda, dan anak yang
mampu mengeluarkan dahak) yang diduga menderita TB,
DIAGNOSA harus diperiksa mikroskopis spesimen sputum/ dahak 3
kali salah satu diantaranya adalah spesimen pagi.
c. Semua pasien dengan gambaran foto toraks tersangka TB,
harus diperiksa mikrobiologi dahak.
d. Diagnosis dapat ditegakkan walaupun apus dahak negatif
berdasarkan kriteria berikut:
1. Minimal 3 kali hasil pemeriksaan dahak negatif
(termasuk pemeriksaan sputum pagi hari), sementara
gambaran foto toraks sesuai TB.
2. Kurangnya respon terhadap terapi antibiotik spektrum
luas (periksa kultur sputum jika memungkinkan), atau
pasien diduga terinfeksi HIV (evaluasi Diagnosis
tuberkulosis harus dipercepat).

Diagnosis TB intratorasik (seperti TB paru, pleura, dan kelenjar


limfe mediastinal atau hilar) pada anak:
1. Keadaan klinis (+), walaupun apus sputum (-).
2. Foto toraks sesuai gambaran TB.
3. Riwayat paparan terhadap kasus infeksi TB.
4. Bukti adanya infeksi TB (tes tuberkulin positif > 10 mm
setelah 48-72 jam).

Pemeriksaan Penunjang
a. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb
turun.
b. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan
Asam/ BTA) atau kultur kuman dari spesimen sputum/
dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
c. Untuk TB non paru, specimen dapat diambil dari bilas
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun
biopsi jaringan.
d. Tes tuberkulin (Mantoux test). Pemeriksaan ini
merupakan penunjang utama untuk membantu
menegakkan Diagnosis TB pada anak.Pembacaan hasil
uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara Mantoux
(intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan
PEMERIKSAAN dengan mengukur diameter transversal. Uji tuberkulin
PENUNJANG dinyatakan positif yaitu:
1. Pada kelompok anak dengan imunokompeten
termasuk anak dengan riwayat imunisasi BCG
diameter indurasinya > 10 mm.
2. Pada kelompok anak dengan imunokompromais
(HIV, gizi buruk, keganasan dan lainnya) diameter
indurasinya > 5mm.
e. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran
bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau
bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma.
Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas
(bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis
(penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus
tumpul).
Penatalaksanaan :
Semua pasien (termasuk pasien dengan infeksi HIV) yang tidak
pernah diterapi sebelumnya harus mendapat terapi Obat Anti TB
(OAT) lini pertama sesuai ISTC
1. Fase Awal selama 2 bulan, terdiri dari: Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, dan Etambutol.
PENATALAKSANAAN 2. Fase lanjutan selama 4 bulan, terdiri dari: Isoniazid dan
Rifampisin
3. Dosis OAT yang digunakan harus sesuai dengan Terapi
rekomendasi internasional, sangat dianjurkan untuk
penggunaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT/fixed-dose
combination/ FDC) yang terdiri dari 2 tablet (INH dan
RIF), 3 tablet (INH, RIF dan PZA) dan 4 tablet (INH,
RIF, PZA, EMB).

Semua pasien dimonitor respon terapi, penilaian terbaik adalah


follow up mikroskopis dahak (2 spesimen) pada saat:
1. Akhir fase awal (setelah 2 bulan terapi),
2. 1 bulan sebelum akhir terapi, dan pada akhir terapi.
3. Pasien dengan hasil pemeriksaan dahak positif pada 1
bulan sebelum akhir terapi dianggap gagal (failure) dan
harus meneruskan terapi modifikasi yang sesuai.

Kriteria Rujukan
1. TB dengan komplikasi/keadaan khusus (TB dengan
komorbid) seperti TB pada orang dengan HIV, TB
dengan penyakit metabolik, TB anak.
2. Suspek TB – MDR
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN TUBERKULOSIS (TB) PADA ANAK

UPT. KESMAS PENANGANAN TUBERKULOSIS (TB) PADA ANAK


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : A15
NO.
DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
/ UPT. A 1/23
KESMAS/2014
PROSEDUR TETAP DITETAPKAN
PENANGANAN KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
TUBERKULOSIS TAMPAKSIRING II
TERBIT
(TB) PADA ANAK

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang
PENGERTIAN
disebabkan oleh kuman TB yaitu Mycobacterium tuberculosis.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Tuberkulosis pada Anak
TUJUAN
sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Mycobacterium tuberculosis.
Gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala serupa juga
dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.
Gejala sistemik/umum TB pada anak:
a. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai
gagal tumbuh (failure to thrive).
b. Masalah Berat Badan (BB):
1. BB turun selama 2-3 bulan berturut-turut tanpa
sebab yang jelas; atau
2. BB tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan
upaya perbaikan gizi yang baik; atau
3. BB tidak naik dengan adekuat.
GAMBARAN KLINIS
c. Demam lama (≥2 minggu) dan atau berulang tanpa sebab
yang jelas(bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih,
malaria, dan lain-lain). Demam yang umumnya tidak tinggi
(subfebris) dan dapat disertai keringat malam.
d. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
e. Batuk lama atau persisten ≥3 minggu, batuk bersifat non-
remitting (tidak pernah reda atau intensitas semakin lama
semakin parah) dan penyebab batuk lain telah disingkirkan;
f. Keringat malam dapat terjadi, namun keringat malam saja
apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum
lain bukan merupakan gejala spesifik TB pada anak.
Pasien TB anak dapat ditemukan melalui dua pendekatan utama,
yaitu investigasi terhadap anak yang kontak erat dengan pasien
TB dewasa aktif dan menular, serta anak yang datang ke
DIAGNOSA
pelayanan kesehatan dengan gejala dan tanda klinis yang
mengarah ke TB.
Sistem Skoring TB Anak

Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak Laporan BTA +
jelas keluarga,
BTA –
atau BTA
tidak
jelas/tidak
tahu
Uji Tuberkulin - (+) ≥ 10 mm,
(Mantoux) atau ≥ 5 mm
pada keadaan
imunokompro-
mais
Berat badan / BB/ TB < Klinis gizi
keadaan gizi 90% atau buruk atau
BB/U < BB/TB <
80% 70% atau
BB/U <
60%
Demam yg ≥ 2 minggu
tidak diketahui
penyebabnya
Batuk kronik ≥ 3 minggu
Pembesaran ≥ 1 cm,
kel. Limfe lebih dari 1
colli, aksila, KGB, tidak
inguinal nyeri
Pembengkakan Ada
tulang / sendi pembengka-
panggul, lutut, kan
falang
Foto thorax Normal, Gambaran
kelainan sugestif TB
tidak
jelas

Anak dinyatakan probable TB jika skoring mencapai nilai 6


atau lebih.
Catatan :
a. Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan
dievaluasi selama 1 bulan.
b. Demam (> 2 minggu) dan batuk (> 3 minggu) yang tidak
membaik setelah diberikan pengobatan sesuai baku
terapi di Puskesmas
c. Gambaran foto toraks mengarah ke TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa
infiltrat, atelektasis, konsolidasi segmental/lobar, milier,
kalsifikasi dengan infiltrat, tuberkuloma.
d. Semua bayi dengan reaksi cepat (< 2 minggu) saat
imunisasi BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
TB anak.
e. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala
klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke
rumah sakit untuk evaluasi lebih lanjut.

Sumber penularan dan Case Finding TB Anak


Apabila kita menemukan seorang anak dengan TB, maka
harus dicari sumber penularan yang menyebabkan anak
tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan
anak tersebut. Pelacakan sumber infeksi dilakukan
dengan cara pemeriksaan
 radiologis dan BTA sputum (pelacakan sentripetal).
Pemeriksaan Penunjang
a. Darah: limfositosis/ monositosis, LED meningkat, Hb
turun.
b. Pemeriksaan mikroskopis kuman TB (Bakteri Tahan
Asam/ BTA) atau kultur kuman dari spesimen sputum/
dahak sewaktu-pagi-sewaktu.
c. Untuk TB non paru, specimen dapat diambil dari bilas
lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun
biopsi jaringan.
d. Tes tuberkulin (Mantoux test). Pemeriksaan ini
merupakan penunjang utama untuk membantu
menegakkan Diagnosis TB pada anak.Pembacaan hasil
uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara Mantoux
(intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan
PEMERIKSAAN dengan mengukur diameter transversal. Uji tuberkulin
PENUNJANG dinyatakan positif yaitu:
1. Pada kelompok anak dengan imunokompeten
termasuk anak dengan riwayat imunisasi BCG
diameter indurasinya > 10 mm.
2. Pada kelompok anak dengan imunokompromais
(HIV, gizi buruk, keganasan dan lainnya) diameter
indurasinya > 5mm.
e. Radiologi dengan foto toraks PA-Lateral/ top lordotik.
Pada TB, umumnya di apeks paru terdapat gambaran
bercak-bercak awan dengan batas yang tidak jelas atau
bila dengan batas jelas membentuk tuberkuloma.
Gambaran lain yang dapat menyertai yaitu, kavitas
(bayangan berupa cincin berdinding tipis), pleuritis
(penebalan pleura), efusi pleura (sudut kostrofrenikus
tumpul).
Penatalaksanaan :
1. Anak yang kontak dengan pasien BTA positif dan uji
tuberkulinnya positif namun tidak didapatkan gejala,
maka anak cukup diberikan profilaksis INH terutama
anak balita
2. Pemberian OAT KDT pada anak (sesuai rekomendasi
IDAI)

Berat Badan 2 bulan tiap hari 3KDT 4 bulan tiap hari 2KDT
(kg) Anak RHZ (75/50/150) Anak RH (75/50)
5-9 1 tablet 1 tablet
PENATALAKSANAAN 10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan :
a. Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg harus dirujuk
ke rumah sakit
b. Anak dengan BB >33 kg , harus dirujuk ke rumah sakit.
c. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah.
d. OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara
utuh atau digerus sesaat sebelum diminum.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5


DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN MORBILI / CAMPAK

UPT. KESMAS PENANGANAN MORBILI / CAMPAK


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B05.9
NO.
DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
/ UPT. A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
MORBILI / CAMPAK TERBIT

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Morbili atau Campak adalah suatu penyakit infeksi virus, yang
ditandai dengan gejala prodromal berupa demam, batuk, pilek,
PENGERTIAN konjungtivitis, eksantem patognomonik, diikuti dengan
lesi makulopapular eritem hingga hari ketujuh.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Morbili / Campak sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Paramixovirus.
Gejala Klinis :
Demam, malaise, gejala respirasi atas (pilek, batuk),
dan konjungtivitis, diikuti lesi makula dan papula
GAMBARAN KLINIS eritem, yang dimulai pada kepala daerah perbatasan dahi
rambut, di belakang telinga, dan menyebar secara sentrifugal ke
bawah hingga muka, badan, dan ekstremitas.

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

DIAGNOSA Diagnosis Banding


Erupsi obat, eksantem virus yang lain (rubella, eksantem
subitum), demam skarlatina, infectious mononucleosis, infeksi
M. pneumoniae.
PEMERIKSAAN Biasanya tidak diperlukan.
PENUNJANG
Penatalaksanaan
a. Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
b. Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
PENATALAKSANAAN
c. Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
d. Suplementasi vitamin A diberikan pada:
1. Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO
diberi 2 dosis.
2. Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
3. Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
4. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis
pertama sesuai umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai
umur yang diberikan 2-4 minggu kemudian.

Kriteria rujukan
Campak dengan komplikasi (superinfeksi bakteri, pneumonia,
dehidrasi, croup, ensefalitis)
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN VARISELA

UPT. KESMAS PENANGANAN VARISELA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B01.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
VARISELA

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Varisela adalah infeksi akut primer oleh virus Varicella zoster
PENGERTIAN
yang menyerang kulit dan mukosa
Sebagai acuan tatalaksana penderita Varisela sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Virus Varicella zoster
Gejala Klinis :
Demam, malaise, dan nyeri kepala. Kemudian disusul timbulnya
lesi kulit berupa papul eritem yang dalam waktu beberapa jam
berubah menjadi vesikel.

GAMBARAN KLINIS Tanda Patognomonis


Erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu
beberapa jam berubah menjadi vesikel, khas berupa tetesan
embun (teardrops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian
menjadi krusta. Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi
vesikel-vesikel baru yang menimbulkan gambaran polimorfik.
Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Diagnosis Banding
DIAGNOSA a. Variola.
b. Herpes simpleks disseminata.
c. Coxsackievirus.
d. Rickettsialpox.
PEMERIKSAAN Biasanya tidak diperlukan.
PENUNJANG
Penatalaksanaan :
1. Terapi suportif dengan pemberian nutrisi TKTP dan
istirahat
2. Terapi simptomatis sesuai keluhan
PENATALAKSANAAN 3. Pengobatan antivirus oral, antara lain:
a. Asiklovir: dewasa 5 x 800 mg/hari, anak-anak 4 x
20 mg/kgBB (dosis maksimal 800 mg), atau
b. Valasiklovir: dewasa 3 x 1000 mg/hari.
c. Pemberian obat tersebut selama 7-10 hari dan
efektif diberikan pada 24 jam pertama setelah
timbul lesi.
Kriteria rujukan
a. Terdapat gangguan imunitas
b. Mengalami komplikasi yang berat seperti pneumonia,
ensefalitis, dan hepatitis.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN MALARIA

UPT. KESMAS PENANGANAN MALARIA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 3A ICD X : B54
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/3
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
MALARIA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit
Plasmodium yang hidup dan berkembang biak dalam sel darah merah
PENGERTIAN manusia. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles
betina.
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Malaria sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Ada 4 jenis plasmodium yang menyebabkan penyakit pada manusia,
yaitu:
PENYEBAB Plasmodium falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan
Plasmodium malariae.
Keluhan :
1. Keluhan utama pada malaria tanpa komplikasi: demam,
menggigil, berkeringat dapat disertai sakit kepala, mual, muntah
diare dan nyeri otot atau pegal-pegal.
2. Gejala pada malaria dengan komplikasi (malaria berat):
gangguan kesadaran, keadaan umum yang lemah, kejang–kejang,
panas sangat tinggi, perdarahan, warna air seni seperti teh tua
dan gejala lainnya.
3. Malaria falciparum yang sering menyebabkan terjadinya malaria
dengan komplikasi (malaria berat)

Pemeriksaan Fisik Tanda Patognomonis


a. Pada periode demam:
1. Kulit terlihat memerah, teraba panas, suhu tubuh
GAMBARAN KLINIS
meningkat dapat sampai di atas 40OC dan kulit kering.
2. Pasien dapat juga terlihat pucat.
3. Nadi teraba cepat
4. Pernapasan cepat (takipnue)

b. Pada periode dingin dan berkeringat:


1. Kulit teraba dingin dan berkeringat.
2. Nadi teraba cepat dan lemah.
3. Pada kondisi tertentu bisa ditemukan penurunan
kesadaran.
Kepala : Konjungtiva anemis, sklera ikterik, bibir sianosis, dan
pada malaria serebral dapat ditemukan kaku kuduk.
Toraks : Terlihat pernapasan cepat.
Abdomen : Teraba pembesaran hepar dan limpa, dapat juga
ditemukan asites.
Ginjal : bisa ditemukan urin berwarna coklat kehitaman,
oligouri atau anuria.
Ekstermitas : akral teraba dingin merupakan tanda-tanda
menuju syok.
1. Pemeriksaan dengan mikroskop
Merupakan Gold standard untuk diagnosis pasti malaria.
Dilakukan dengan menemukan parasit dalam pulasan darah yang
diwarnai Giemsa dan diperiksa dengan mikroskop. Pemeriksaan
mikroskop dilakukan dengan membuat sediaan darah tebal dan
tipis.
PEMERIKSAAN
2. Rapid Diagnostik Test (RDT) dengan mekanisme kerja
PENUNJANG berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, yang bermanfaat
digunakan pada unit gawat darurat, saat kejadian luar biasa dan
daerah terpencil yang tidak terdapat fasilitas laboratorium.
Pemeriksaan ini hanya digunakan pada fasilitas kesehatan yang
tidak ada pemeriksaan mikroskopis dan dalam keadaan pasien
dicurigai dengan malaria berat.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis (Trias
Malaria: panas – menggigil – berkeringat), pemeriksaan
fisik, dan ditemukannya parasit plasmodium pada
pemeriksaan mikroskopis hapusan darah tebal/tipis.

Klasifikasi
a. Malaria falsiparum, ditemukan Plasmodium falsiparum.
b. Malaria vivaks ditemukan Plasmodium vivax.
DIAGNOSA
c. Malaria ovale, ditemukan Plasmodium ovale.
d. Malaria malariae, ditemukan Plasmodium malariae.
e. Malaria knowlesi, ditemukan Plasmodium knowlesi.

Diagnosis Banding
a. Demam Dengue
b. Demam Tifoid
c. Leptospirosis
d. Infeksi virus akut lainnya
Penatalaksanaan
a. Pengobatan malaria falsiparum
1. Lini pertama: dengan Fixed Dose Combination = FDC
yang terdiri dari Dihydroartemisinin (DHA) +
Piperakuin (DHP) tiap tablet mengandung 40 mg
Dihydroartemisinin dan 320 mg Piperakuin.

Untuk dewasa dengan Berat Badan (BB) sampai


dengan 59 kg diberikan DHP peroral 3 tablet satu kali
per hari selama 3 hari dan Primakuin 2 tablet sekali
sehari satu kali pemberian, sedang untuk BB >.60 kg
PENATALAKSANAAN
diberikan 4 tablet DHP satu kali sehari selama 3 hari
dan Primaquin 3 tablet sekali sehari satu kali
pemberian.
- Dosis DHA = 2-4 mg/kgBB (dosis tunggal),
- Piperakuin = 16-32 mg/kgBB (dosis tunggal),
- Primakuin = 0,75 mg/kgBB (dosis tunggal).

2. Lini kedua: Pengobatan malaria falsiparum yang tidak


respon terhadap pengobatan DHP.
Kina + Doksisiklin/ Tetrasiklin + Primakuin.
- Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali (3x/ hari selama 7
hari),
- Doksisiklin = 3,5 mg/kgBB per hari (dewasa,
2x/hr selama7 hari) , 2,2 mg/ kgBB/hari ( 8-14
tahun, 2x/hr selama7 hari),
- Tetrasiklin = 4-5 mg/kgBB/kali (4x/hr selama 7
hari).

b. Pengobatan malaria vivax dan ovale


1. Lini pertama: Dihydroartemisinin (DHA) + Piperakuin
(DHP), diberikan peroral satu kali per hari selama 3
hari, primakuin= 0,25mg/kgBB/hari (selama 14 hari).
2. Lini kedua: Pengobatan malaria vivax yang tidak
respon terhadap pengobatan DHP.
Kina + Primakuin. Dosis kina = 10 mg/kgBB/kali
(3x/hr selama 7 hari), Primakuin = 0,25 mg/kgBB
(selama 14 hari).
3. Pengobatan malaria vivax yang relaps (kambuh):
- Diberikan lagi regimen DHP yang sama tetapi
dosis primakuin ditingkatkan menjadi 0,5
mg/kgBB/hari.
- Dugaan relaps pada malaria vivax adalah apabila
pemberian Primakiun dosis 0,25 mg/kgBB/hr
sudah diminum selama 14 hari dan penderita sakit
kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu
3 minggusampai 3 bulan setelah pengobatan.

c. Pengobatan malaria malariae


Cukup diberikan DHP 1 kali perhari selama 3 hari dengan
dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya dan
dengan dosis sama dengan pengobatan malaria lainnya
dan tidak diberikan Primakuin.

d. Pengobatan infeksi campuran antara malaria falsiparum


dengan malaria vivax/malaria ovale dengan DHP. Pada
penderita dengan infeksi campuran diberikan DHP 1 kali
per hari selama 3 hari, serta DHP 1 kali per hari selama 3
hari serta Primakuin dosis 0,25 mg/kgBB selama 14 hari.

e. Pengobatan malaria pada ibu hamil


1. Trimester pertama diberikan Kina tablet 3x 10mg/ kg
BB + Klindamycin 10mg/kgBB selama 7 hari.
2. Trimester kedua dan ketiga diberikan DHP tablet
selama 3 hari.

f. Pencegahan/profilaksis digunakan Doksisiklin 1 kapsul


100 mg/hari diminum 2 hari sebelum pergi hingga 4
minggu setelah keluar/pulang dari daerah endemis.

Kriteria Rujukan
a. Malaria dengan komplikasi
b. Malaria berat, namun pasien harus terlebih dahulu diberi
dosis awal Artemisinin atau Artesunat per Intra
Muskular atau Intra Vena dengan dosis awal 3,2mg /kg
BB.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE

UPT. KESMAS PENANGANAN DEMAM DENGUE DAN DEMAM


TAMPAKSIRING II BERDARAH DENGUE
Kompetensi : 4A ICD X : A90 Dengue fever
A91 Dengue haemorrhagic fever
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
PROSEDUR TETAP DITETAPKAN
PENANGANAN KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
DEMAM DENGUE TAMPAKSIRING II
TERBIT
DAN DEMAM
BERDARAH DENGUE
31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue adalah penyakit
PENGERTIAN
infeksi yang disebabkan oleh virus Dengue.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Demam Dengue dan
TUJUAN
Demam Berdarah Dengue sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Virus Dengue
Keluhan :
Demam bifasik akut 2-7 hari, nyeri kepala, nyeri retroorbital,
mialgia/atralgia, ruam, gusi berdarah, mimisan, nyeri perut,
mual/muntah, hematemesis dan melena.

Pemeriksaan Fisik
Tanda patognomonik untuk demam dengue
a. Suhu Suhu > 37,5 derajat celcius
b. Ptekie, ekimosis, purpura
c. Perdarahan mukosa
d. Rumple Leed (+)
GAMBARAN KLINIS
Tanda Patognomonis untuk demam berdarah dengue
g. Suhu > 37,5 derajat celcius
h. Ptekie, ekimosis, purpura
i. Perdarahan mukosa
j. Rumple Leed (+)
k. Hepatomegali
l. Splenomegali
m. Untuk mengetahui terjadi kebocoran plasma, diperiksa
tanda-tanda efusi pleura dan asites.
n. Hematemesis atau melena
Kriteria WHO, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal
dibawah ini terpenuhi:
DIAGNOSA a. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya
bifasik/ pola pelana
b. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut
1. Uji bendung positif
2. Petekie, ekimosis atau purpura
3. Perdarahan mukosa atau perdarahan dari tempat lain
4. Hematemesis atau melena
c. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul)
d. Terdapat minimal satu tanda-tanda kebocoran plasma
sebagai berikut:
1. Peningkatan hematokrit >20%
2. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi
cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelumnya.
3. Tanda kebocoran plasma seperti efusi pleura, asistes
atau hipoproteinemia

Klasifikasi
Derajat DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat berdasarkan
klasifikasi WHO 1997:
1. Derajat I : Demam disertai gejala konstitusional yang
tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah
uji bendung.
2. Derajat II : Seperti derajat I namun disertai perdarahan
spontan di kulit dan atau perdarahan lain.
3. Derajat III : Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20mmHg atau
kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut, kulit
dingin dan lembab.
4. Derajat IV : Syok berat, nadi tak teraba, tekanan darah
tak terukur.

Diagnosis Banding
a. Demam karena infeksi virus ( influenza , chikungunya,
dan lain-lain)
b. Demam tifoid
Pemeriksaan Penunjang
Darah lengkap, NS1, Ig G dan Ig M
a. Leukopenia cenderung pada demam dengue
b. Peningkatan hematokrit diatas 20% dibandingkan
PEMERIKSAAN
standard sesuai usia dan jenis kelamin dan atau menurun
PENUNJANG
dibandingkan nilai hematokrit sebelumnya > 20% setelah
pemberian terapi cairan.
c. Trombositopenia (Trombosit <100.000/ml)

Penatalaksanaan
a. Terapi suportif
b. Terapi simptomatik dengan analgetik antipiretik
c. Pemeliharaan volume cairan sirkulasi

Kriteria rujukan
PENATALAKSANAAN
1. Terjadi perdarahan spontan, demam berdarah dengue
grade II,III dan IV.
2. Dengan pemberian cairan kristaloid sampai dosis 15
ml/kg/ jam kondisi belum membaik.
3. Terjadi komplikasi atau keadaan klinis yang tidak lazim,
seperti kejang, penurunan kesadaran, dan lainnya
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN ANEMIA

UPT. KESMAS PENANGANAN ANEMIA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : D64.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
ANEMIA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Penurunan kadar Hemoglobin yang menyebabkan penurunan
PENGERTIAN kadar oksigen yang didistribusikan ke seluruh tubuh sehingga
menimbulkan berbagai keluhan (sindrom anemia).
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Anemia sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
1. Peningkatan destruksi eritrosit, contohnya pada penyakit
gangguan sistem imun, talasemia.
2. Penurunan produksi eritrosit, contohnya pada penyakit
PENYEBAB anemia aplastik, kekurangan nutrisi.
3. Kehilangan darah dalam jumlah besar, contohnya akibat
perdarahan akut, perdarahan kronis, menstruasi, ulser
kronis, dan trauma.
Gejala Klinis :
Lemah, lesu, letih, lelah, penglihatan berkunang-kunang, pusing,
telinga berdenging dan penurunan konsentrasi.

Pemeriksaan Fisik Patognomonis


1. Mukokutaneus: pucat–indikator yang cukup baik,
sianotik, atrofi papil lidah (anemia defisiensi besi dan
anemia pernisiosa), alopesia (anemia defisiensi besi),
GAMBARAN KLINIS
ikterik (anemia hemolitik), koilonikia (anemia defisiensi
besi), glositis (anemia pernisiosa), rambut kusam, vitiligo
(anemia pernisiosa).
2. Kardiovaskular : takikardi, bising jantung.
3. Respirasi : frekuensi napas (takipnea).
4. Mata: konjungtiva pucat.

Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan hasil pemeriksaan darah dengan kriteria Hb darah kurang
DIAGNOSA dari kadar Hb normal.
Nilai rujukan kadar hemoglobin normal menurut WHO:
Laki-laki: > 13 g/dl
Perempuan: > 12 g/dl
Perempuan hamil: > 11 g/dl

Diagnosis Banding
a. Anemia defesiensi besi
b. Anemia defisiensi vit B12, asam folat
c. Anemia Aplastik
d. Anemia Hemolitik
e. Anemia pada penyakit kronik
Pemeriksaan Penunjang
PEMERIKSAAN Pemeriksaan darah: Hemoglobin (Hb), Hematokrit (Ht), leukosit,
PENUNJANG trombosit, jumlah eritrosit, morfologi darah tepi (apusan darah
tepi), MCV, MCH, MCHC, retikulosit.
Penatalaksanaan
Atasi penyebab yang mendasarinya..
Pada anemia defisiensi besi:
Anemia dikoreksi peroral: 3 – 4x sehari dengan besi elemental
50 – 65 mg

Pada anemia defisiensi asam folat dan defisiensi B12


Anemia dikoreksi peroral dengan:
PENATALAKSANAAN
1. Vitamin B12 80 mikrogram (dalam multivitamin).
2. Asam folat 500 – 1000 mikrogram (untuk ibu hamil 1 mg).

Kriteria rujukan
1. Anemia berat dengan indikasi transfusi (Hb < 6 mg%).
2. Untuk anemia karena penyebab yang tidak termasuk
kompetensi dokter layanan primer, dirujuk ke dokter
spesialis penyakit dalam.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN LEPRA / KUSTA

UPT. KESMAS PENANGANAN LEPRA / KUSTA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : K29.7
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/4
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
LEPRA / KUSTA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Lepra / Kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan
PENGERTIAN
oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Lepra sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Mycobacterium leprae
Tanda utama (Cardinal sign):
1. Kelainan pada kulit, berupa bercak yang berwarna putih
(hipopigmentasi) yang tak berasa atau kemerahan (eritematosus)
yang mati rasa (makula anestesia).
2. Penebalan saraf tepi.
3. Gejala pada kulit, pasien kusta adalah pada kulit terjadi benjol-
benjol kecil berwarna merah muda atau ungu. Benjolan kecil ini
menyebar berkelompok dan biasanya terdapat pada mata dan
mungkin juga timbul di hidung hingga menyebabkan perdarahan.
4. Gejala pada saraf, berkurangnya perasaan pada anggota badan
atau bagian tubuh yang terkena. Penebalan nervus perifer, nyeri
tekan dan atau spontan pada saraf, kesemutan, tertusuk-tusuk
dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan anggota gerak dan
GAMBARAN KLINIS
atau wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit sembuh.
5. Pada Ekstremitas dapat terjadi deformitas, smutilasi
6. Gejala pada mata, ditandai dengan mata merah, kehilangan alis,
adanya sekret, dapat disertai dengan penurunan visus.
7. Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk. Bentuk
leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara simetris
pada tubuh. Bentuk ini menular karena kelainan kulitnya
mengandung banyak kuman.
8. Ada juga bentuk tuberkuloid yang mempunyai kelainan pada
jaringan saraf yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk ini
tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit
kuman. Di antara bentuk leproma dan tuberkuloid ada bentuk
peralihan yang bersifat stabil dan mudah berubah-ubah.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada sediaan kerokan
PENUNJANG jaringan kulit.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan apabila terdapat satu dari tanda-tanda
DIAGNOSA
utama atau cardinal (cardinal signs), yaitu:
a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
b. Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf.
c. Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan
kulit (slit skinsmear).
Sebagian besar pasien lepra didiagnosis berdasarkan
pemeriksaan klinis.

Klasifikasi Lepra terdiri dari 2 tipe, yaitu Pausibasilar (PB)


dan Multibasilar (MB)
Tanda PB MB
Bercak kulit Jumlah 1 – 5 Jumlah > 5
Penebalan saraf tepi Hanya 1 saraf Lebih dari 1 saraf
disertai gangguan
fungsi (mati rasa
dan atau kelemahan
otot, di daerah yang
dipersarafi saraf
yang bersangkutan)
Kerokan jaringan BTA negatif BTA positif
kulit
Distribusi Unilateral atau Bilateral simetris
bilateral asimetris
Permukaan bercak Kering, kasar Kurang tegas
Mati rasa Jelas Biasanya kurang
padabercak jelas
Deformitas Proses terjadi Terjadi pada tahap
lebih cepat lanjut
Ciri khas - Mandarosis, hidung
pelana,
wajah singa (facies
leonina),
ginekomastia pada
laki-laki

Diagnosis Banding
Bercak eritema
a. Psoriasis
b. Tinea circinata
c. Dermatitis seboroik
Bercak putih
a. Vitiligo
b. Pitiriasis versikolor
d. Pitiriasis alba
Nodul
a. Neurofibromatosis
b. Sarkoma Kaposi
c. Veruka vulgaris
Penatalaksanaan
a. Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat
ini, serta mengenai pengobatan serta pentingnya kepatuhan
untuk eliminasi penyakit.
b. Higiene diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
c. Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai
PENATALAKSANAAN terapi dilaksanakan.
d. Terapi menggunakan Multi Drug Therapy (MDT) pada:
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah
mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal
di bawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun
MB)
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
e. Terapi pada pasien PB:
1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya
(obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul
rifampisin @ 300mg (600mg) dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg.
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1
tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1
bulan.
3. Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, dan
DDS 50 mg.
f. Terapi pada Pasien MB:
1. Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya
(obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul
rifampisin @ 300mg (600mg), 3 tablet lampren
(klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet
dapson/DDS 100 mg.
2. Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1
tablet lampren 50 mg dan 1 tablet dapson/DDS 100
mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
3. Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).
4. Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg,
lampren 150 mg dan DDS 50 mg untuk dosis
bulanannya, sedangkan dosis harian untuk lampren 50
mg diselang 1 hari.
g. Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan
berat badan:
1. Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
2. Dapson: 1-2 mg/kgBB
3. Lampren: 1 mg/kgBB
h. Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan
vitamin B1, B6, dan B12.
i. Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan
menyusui. Bila pasien juga mengalami tuberkulosis, terapi
rifampisin disesuaikan dengan tuberkulosis.
j. Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan
lampren, untuk MB dengan alergi, terapinya hanya 2
macam obat (dikurangi DDS).

Terapi untuk reaksi kusta ringan, dilakukan dengan pemberian


prednison dengan cara pemberian:
a. 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1x8 tab) pagi hari sesudah
makan
b. 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah
makan
c. 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah
makan
d. 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah
makan
e. 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah
makan
f. 2 Minggu Keenam 5 mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah
makan
Bila terdapat ketergantungan terhadap Prednison, dapat
diberikan Lampren lepas.

Kriteria rujukan
a. Terdapat efek samping obat yang serius.
b. Reaksi kusta dengan kondisi:
1. ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi,
neuritis.
2. Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau
neuritis.
3. Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang
berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak
lambung berat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN GASTRITIS

UPT. KESMAS PENANGANAN GASTRITIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : K29.7
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
GASTRITIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Gastritis adalah proses inflamasi/peradangan pada lapisan
PENGERTIAN mukosa dan submukosa lambung sebagai mekanisme proteksi
mukosa apabila terdapat akumulasi bakteri atau bahan iritan lain.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Gastritis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
Gejala Klinis :
Rasa nyeri dan panas seperti terbakar pada perut bagian atas.
Disertai keluhan mual, muntah dan kembung.

Pemeriksaan Fisik Patognomonis


GAMBARAN KLINIS
a. Nyeri tekan epigastrium dan bising usus meningkat.
b. Bila terjadi proses inflamasi berat, dapat ditemukan
pendarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena.
c. Biasanya pada pasien dengan gastritis kronis, konjungtiva
tampak anemis.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
Untuk Diagnosis definitif dilakukan pemeriksaan penunjang.

Diagnosis Banding
a. Kolesistitis
DIAGNOSA b. Kolelitiasis
c. Chron disease
d. Kanker lambung
e. Gastroenteritis
f. Limfoma
g. Ulkus peptikum
h. Sarkoidosis
i. GERD
Tidak diperlukan, kecuali pada gastritis kronis
PEMERIKSAAN
- Darah rutin.
PENUNJANG
- Untuk mengetahui infeksi Helicobacter pylori:
pemeriksaan breathe test dan feses.
- Rontgen dengan barium enema.
- Endoskopi.
Penatalaksanaan
1. Menginformasikan kepada pasien untuk menghindari
pemicu terjadinya keluhan, antara lain dengan makan tepat
waktu, makan sering dengan porsi kecil dan hindari dari
makanan yang meningkatkan asam lambung atau perut
kembung seperti kopi, the, makanan pedas dan kol.
2. Terapi diberikan per oral dengan obat, antara lain: H2
Bloker2 x/hari (Ranitidin 150 mg/kali, Famotidin 20
PENATALAKSANAAN mg/kali, Simetidin 400-800 mg/kali), PPI 2x/hari
(Omeprazole 20 mg/kali, Lansoprazole 30 mg/kali), serta
Antasida dosis 3 x 500-1000 mg/hr.

Kriteria rujukan
1. Bila 5 hari pengobatan belum ada perbaikan.
2. Terjadi komplikasi.
3. Terjadi alarm symptoms seperti perdarahan, berat badan
menurun 10% dalam 6 bulan, dan mual muntah berlebihan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN KERACUNAN MAKANAN

UPT. KESMAS PENANGANAN KERACUNAN MAKANAN


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : T62.2
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
KERACUNAN TERBIT
MAKANAN

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Keracunan makanan merupakan suatu kondisi gangguan
pencernaan yang disebabkan oleh konsumsi makanan atau air
PENGERTIAN yang terkontaminasi dengan zat patogen, misalnya Norovirus,
Salmonella, Clostridium perfringens, Campylobacter, dan
Staphylococcus aureus.
Sebagai acuan tatalaksana penderita keracunan makanan sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Makanan yang tercemar / terkontaminasi dengan zat patogen
Keluhan
a. Diare akut. Pada keracunan makanan biasanya berlangsung
kurang dari 2 minggu.
b. Darah atau lendir pada tinja; menunjukkan invasi mukosa
GAMBARAN KLINIS usus atau kolon.
c. Nyeri perut.
d. Nyeri kram otot perut; menunjukkan hilangnya elektrolit
yang mendasari, seperti pada kolera yang berat.
e. Kembung.
Pemeriksaan Penunjang
a. Lakukan pemeriksaan mikroskopis dari feses untuk telur
PEMERIKSAAN cacing dan parasit.
PENUNJANG b. Pewarnaan Gram, KOH dan metilenbiru Loeffler untuk
membantu membedakan penyakit invasif darn penyakit
non-invasif.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
a. Intoleransi
b. Diare spesifik seperti disentri, kolera dan lain-lain.
Penatalaksanaan
PENATALAKSANAAN a. Karena sebagian besar kasus gastroenteritis akut adalah
self-limiting, pengobatan khusus tidak diperlukan. Dari
beberapa studi didapatkan
b. Rehidrasi yang cukup dan suplemen elektrolit dengan
pemberian cairan rehidrasi oral (oralit) atau larutan
intravena
c. Pemberian obat absorben (misalnya, kaopectate, aluminium
hidroksida) membantu memadatkan feses diberikan bila
diare tidak segera berhenti.

Kriteria Rujukan
a. Gejala keracunan tidak berhenti setelah 3 hari ditangani
dengan adekuat.
a. b. Pasien mengalami perburukan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN DISENTRI BASILER

UPT. KESMAS PENANGANAN DISENTRI BASILER


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : A30.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
DISENTRI BASILER

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Disentri basiler yang disebabkan oleh bakteri shigellosis dan
PENGERTIAN
disentri amoeba disebabkan oleh infeksi parasit amoeba
Sebagai acuan tatalaksana penderita Disentri basiler sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
a. Shigella
b. Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
PENYEBAB
c. Salmonella
d. Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
Gejala Klinis :
a. Diare/ buang air besar encer, sedikit-sedikit secara terus
menerus bercampur lendir dan darah
b. Febris
c. Muntah-muntah
d. Sakit kepala
GAMBARAN KLINIS e. Sakit perut terutama di sebelah kiri, terasa melilit, diikuti
pengeluaran tinja sehingga perut menjadi cekung
f. Kolik abdomen, tenesmus
g. Di daerah anus luka dan nyeri
h. Bentuk yang berat (fulminating cases) biasanya disebabkan
oleh S.dysentriae dengan gejalanya timbul mendadak dan
berat, timbul dehidrasi hingga syok
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
a. Disentri amoeba
b. Intoleransi makanan
PEMERIKSAAN Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab.
PENUNJANG
Penatalaksanaan
1. Mencegah terjadinya dehidrasi dengan rehidrasi oral
PENATALAKSANAAN
maupun melalui infus
2. Terapi suportif, diet dan tirah baring
3. Terapi farmakologis:
- Shigella biasanya resisten terhadap Ampisillin, namun
bilamasih peka : ampisillin 4 x 500 mg/hari selama 5
hari.
- Trimetropim – sulfametoksazol 2 x 960 mg hari selama
3-5hari.
- Amoksisilin tidak dianjurkan karena tidak efektif,
- Pemakaian jangka pendek : siprofloksasin 2 x 500
mg/hariselama 3 hari (KI anak dan bumil.)
- Azitromisin 1 gr dosis tunggal
- Sefiksim 400 mg/hari selama 5 hari
- Bila multiresisten : asam nalidiksik 3x1 g/hari selama 5
hari

Kriteria Rujukan
a. Pada pasien dengan kasus berat dengan komplikasi
b. Pasien yang sudah mendapat antibiotika selama 2 hari,
belum menunjukkan adanya perbaikan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN DISENTRI AMUBA

UPT. KESMAS PENANGANAN DISENTRI AMUBA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : A06.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
DISENTRI BASILER TANGGAL
TAMPAKSIRING II
DAN DISENTRI TERBIT
AMUBA

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Disentri amuba adalah suatu sindrom yang ditandai oleh diare
berdarah, disertai lendir dan nyeri pada dubur pada saat buang air besar
PENGERTIAN (tenesmus), selanjutnya disebut amubiasis. Amubiasis adalah penyakit
yang disebabkan oleh protozoa usus.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Disentri amuba sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Entamoeba histolytica
Gejala Klinis :
Disentri amoeba ringan
- Onset penyakit perlahan-lahan.
- Perut kembung, kadang nyeri perut ringan
- Diare ringan, 4-5 kali sehari, dengan tinja berbau busuk.
Kadang tinja bercampur darah dan lendir.
- Nyeri tekan di daerah sigmoid, jarang nyeri di
daerahepigastrium, tergantung pada lokasi ulkusnya.
- Keadaan umum baik, tanpa atau sedikit demam ringan
(subfebris).
- Kadang dijumpai hepatomegali yang tidak atau sedikit
nyeri tekan.

Disentri amoeba sedang


GAMBARAN KLINIS
- Keluhan gejala klinis lebih berat dibandingdisentri
ringan,tetapi pasien masih mampu melakukan aktivitas
sehari-hari.
- Tinja disertai lendir dan darah.
- Perut kram,
- Demam
- Lemas
- Hepatomegali ringan

Disentri amoeba berat


- Keluhan dan gejala klinis lebih berat lagi
- Diare disertai darah yang banyak, lebih dari 15kali sehari.
- Demam tinggi (40o C – 40,5o C)
- Mual
- Anemia
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
Amubiasis kolon akut: menemukan E.histolytica bentuk histolitika
dalam feses cair.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
a. Disentri basiler
b. Infeksi Escherichia coli Enteroinvasive (EIEC)
c. Infeksi Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC)
PEMERIKSAAN Pemeriksaan tinja secara langsung terhadap kuman penyebab.
PENUNJANG
Penatalaksanaan
1. Mencegah terjadinya dehidrasi dengan rehidrasi oral
maupun melalui infus
2. Terapi suportif, diet dan tirah baring
3. Terapi farmakologis:
a. Asimtomatik atau carrier : Iodoquinol (diidohydroxiquin)
650 mg tiga kali perhari selama 20 hari.
b. Amebiasis ringan – sedang : tetrasiklin 500 mg 4 kali
PENATALAKSANAAN selama 5 hari
c. Amebiasis berat : metronidazole 3 x 750 mg selama 5
– 10 hari, kloroquin posfat 1 gr / hari selama 2 hari,
dilanjutkan 500 mg/hari selama 4 minggu, dan emetin
1 mg/kgBB/hari/IM selama 10 hari

Kriteria Rujukan
a. Amoebiasis ekstra intestinal
b. Pada pasien dengan kasus berat dengan komplikasi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN PAROTITIS EPIDEMIKA

UPT. KESMAS PENANGANAN PAROTITIS EPIDEMIKA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B26
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
PAROTITIS TERBIT
EPIDEMIKA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Parotitis adalah peradanganyang terjadi pada kelenjar saliva /
PENGERTIAN
kelenjar parotis.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Parotitis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Virus Mumps
Gejala Klinis :
a. Demam, kadang disertai infeksi saluran nafas seperti batuk,
pilek
GAMBARAN KLINIS b. Pembengkakan pada kelenjar parotis mulai dari depan
telinga hingga rahang bawah
c. Nyeri terutama saat mengunyah makanan dan mulut terasa
kering.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik dan
penunjang.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
a. Neoplasma kelenjar saliva
b. Pembesaran kelenjar getah bening karena penyebab lain

PEMERIKSAAN Biasanya tidak diperlukan


PENUNJANG
Penatalaksanaan
1. Terapi suportif dan simptomatis sesuai gejala yang
dirasakan. Parasetamol untuk analgetik antipiretik, vitamin
dan obat kumur untuk membersihkan selaput lendir mulut.
PENATALAKSANAAN
Kriteria Rujukan
Bila kasus tidak membaik dengan pengobatan adekuat di layanan
primer, segera rujuk ke layanan sekunder
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN ASCARIASIS

UPT. KESMAS PENANGANAN ASCARIASIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B77.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/1
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
ASCARIASIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Askariasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infestasi
PENGERTIAN
parasit Ascaris lumbricoides.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Ascariasis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Parasit Ascaris lumbricoides.
Gejala Klinis :
Nafsu makan menurun, perut membuncit, lemah, pucat, berat
badan menurun, mual, muntah, diare, atau konstipasi. Pada
GAMBARAN KLINIS infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi malabsorpsi
sehingga memperberat keadaan malnutrisi. Efek yang serius
terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus sehingga
terjadi obstruksi usus (ileus).
Diagnosis Klinis
DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan tinja, adanya telur dalam tinja.
PENUNJANG
Penatalaksanaan :
1. Pirantel pamoat 10 mg /kg BB, dosis tunggal, atau
2. Mebendazol, 500 mg, dosis tunggal, atau
3. Albendazol, 400 mg, dosis tunggal. Tidak boleh diberikan
PENATALAKSANAAN
pada ibu hamil. Tidak dianjurkan untuk anak <2 tahun.
Merupakan obat pilihan pada gejala sistemik.
4. Bila pasien menderita beberapa spesies cacing, askariasis
harus diterapi lebih dahulu dengan pirantel pamoat.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN ANKILOSTOMIASIS

UPT. KESMAS PENANGANAN ANKILOSTOMIASIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B76.0 Ankylostomiasis
B76.1 Necatoriasis
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/1
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
ANKILOSTOMIASIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Ankilostomiasis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh
PENGERTIAN infestasi parasit cacing Ancylostoma duodenale dan/atau Necator
americanus.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Ankilostomiasis sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus.
Gejala Klinis :
- Pada saat larva menembus kulit, pasien dapat mengalami
dermatitis.
- Ketika larva lewat di paru dapat terjadi batuk-batuk
- Akibat utama yang disebabkan cacing ini ialah anemia yang
GAMBARAN KLINIS kadang demikian berat sampai menyebabkan gagal jantung.

Pemeriksaan Fisik
a. Konjungtiva pucat
b. Perubahan pada kulit (telapak kaki) bila banyak larva yang
menembus kulit, disebut sebagai ground itch.
Diagnosis Klinis
DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan tinja, adanya telur dan atau larva dalam tinja.
PENUNJANG
Penatalaksanaan :
1. Albendazol 400 mg dosis tunggal, tetapi tidak boleh digunakan
selama hamil.
2. Pirantel pamoat 10 mg/kgBB/hari selama 3 hari.
PENATALAKSANAAN
3. Mebendazol 500 mg dosis tunggal atau 100 mg tiap 12 jam
selama 3 hari berturut-turut.
4. Sulfas ferosus 1 tablet tiap 8 jam untuk orang dewasa atau 10
mg/kgBB/kali untuk anak untuk mengatasi anemia.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN CUTANEUS LARVA MIGRANS

UPT. KESMAS PENANGANAN CUTANEUS LARVA MIGRANS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B76.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
CUTANEUS LARVA TERBIT
MIGRANS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Cutaneus Larva Migrans (Creeping Eruption) merupakan
kelainan kulit berupa peradangan berbentuk linear atau berkelok-
PENGERTIAN kelok, menimbul dan progresif, yang disebabkan oleh invasi
larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan
kucing.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Cutaneus Larva Migrans
TUJUAN
sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Ancylostoma duodenale dan/atau Necator americanus.
Gejala Klinis :
- Rasa gatal dan panas pada tempat infeksi.
- Lesi berbentuk papul yang kemudian diikuti dengan lesi
berbentuk linear atau berkelok-kelok yang terus menjalar
memanjang.
GAMBARAN KLINIS
Pemeriksaan Fisik
- Lesi awal berupa papul eritema yang menjalar dan tersusun
linear atau berkelok-kelok meyerupai benang dengan
kecepatan 2 cm per hari.
- Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak kaki,
bokong, genital dan tangan.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik.

DIAGNOSA Diagnosis Banding


a. Dermatofitosis
b. Dermatitis
c. Dermatosis
PEMERIKSAAN -
PENUNJANG
Penatalaksanaan :
1. Memodifikasi gaya hidup dengan menggunakan alas kaki
PENATALAKSANAAN dan sarung tangan pada saat melakukan aktifitas yang
berkontak dengan tanah, seperti berkebun dan lain-lain.
2. Terapi farmakologi dengan: Tiabendazol 50mg/kgBB/hari,
2x sehari, selama 2 hari; atau Albendazol 400 mg sekali
sehari, selama 3 hari.
3. Untuk mengurangi gejala pada penderita dapat dilakukan
penyemprotan Etil Klorida pada lokasi lesi, namun hal ini
tidak membunuh larva.
4. Bila terjadi infeksi sekunder, dapat diterapi sesuai dengan
tatalaksana pioderma.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN SKISTOSOMIASIS

UPT. KESMAS PENANGANAN SKISTOSOMIASIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B65.9 Skistosomiasis unspecified
B65.2 Schistomiasis due to S. japonicum
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
SKISTOSOMIASIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Schistosoma adalah salah satu penyakit infeksi parasit yang
PENGERTIAN disebabkan oleh cacing trematoda dari genus schistosoma (blood
fluke).
Sebagai acuan tatalaksana penderita Skistosomiasis sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Schistosoma japonicum, schistosoma haematobium dan
PENYEBAB
schistosoma mansoni.
Keluhan :
- Pada fase akut, pasien biasanya datang dengan keluhan
demam, nyeri kepala, nyeri tungkai, urtikaria, bronchitis,
nyeri abdominal. Biasanya terdapat riwayat terpapar dengan
air misalnya danau atau sungai 4-8 minggu sebelumnya,
yang kemudian berkembang menjadi ruam kemerahan
(pruritic rash)
- Pada fase kronis, keluhan pasien tergantung pada letak lesi
misalnya:
1. Buang air kecil darah (hematuria), rasa tak nyaman
hingga nyeri saat berkemih, disebabkan oleh urinary
schistosomiasis biasanya disebabkan oleh S.
hematobium.
GAMBARAN KLINIS 2. Nyeri abdomen dan diare berdarah biasanya disebabkan
oleh intestinal skistosomiasisoleh biasanya disebabkan
oleh S. mansoni, S. Japonicum juga S. Mekongi.
3. Pembesaran perut, kuning pada kulit dan mata
disebabkan oleh hepatosplenic skistosomiasis yang
biasanya disebabkan oleh S. Japonicum.

Pemeriksaan Fisik
a. Pada skistosomiasis akut dapat ditemukan:
1. Limfadenopati
2. Hepatosplenomegaly
3. Gatal pada kulit
4. Demam
5. Urtikaria
6. Buang air besar berdarah (bloody stool)

b. Pada skistosomiasis kronik bisa ditemukan:


1. Hipertensi portal dengan distensi abdomen,
hepatosplenomegaly
2. Gagal ginjal dengan anemia dan hipertensi
3. Gagal jantung dengan gagal jantung kanan
4. Intestinal polyposis
5. Ikterus
PEMERIKSAAN Penemuan telur cacing pada spesimen tinja dan pada sedimen
PENUNJANG urin.
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan juga
DIAGNOSA penemuan telur cacing pada pemeriksaan tinja dan juga sedimen
urine.
Penatalaksanaan :
Prazikuantel adalah obat pilihan yang diberikan karena dapat
membunuh semua spesies Schistosoma. Walaupun pemberian
single terapi sudah bersifat kuratif, namun pengulangan setelah 2
sampai 4 minggu dapat meningkatkan efektifitas pengobatan.

Pemberian prazikuantel dengan dosis sebagai berikut:


Spesies Schistosoma Dosis Prazikuantel
S. mansoni, S. 40 mg/kg badan per hari oral dan
PENATALAKSANAAN
haematobium, dibagi dalam dua dosis perhari
S. intercalatum
S. japonicum, S. mekongi 60 mg/kg berat badan per hari
oral dan dibagi dalam tiga dosis
perhari

Kriteria Rujukan
Pasien yang didiagnosis dengan skistosomiasis (kronis) disertai
komplikasi.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN STRONGILOIDIASIS

UPT. KESMAS PENANGANAN STRONGILOIDIASIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B78.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
STRONGILOIDIASIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Strongyloidiasis adalah penyakit kecacingan yang disebabkan
PENGERTIAN
oleh Strongyloides stercoralis
Sebagai acuan tatalaksana penderita strongiloidiasis sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Infeksi Staphylococcus
Keluhan :
Pada infestasi ringan Strongyloides pada umumnya tidak
menimbulkan gejala khas.

Gejala klinis
a. Rasa gatal pada kulit.
b. Pada infeksi sedang dapat menimbulkan gejala seperti
ditusuk-tusuk didaerah epigastrium dan tidak menjalar.
c. Mual
GAMBARAN KLINIS d. Muntah
e. Diare dan konstipasi saling bergantian

Pemeriksaan Fisik :
a. Timbul kelainan pada kulit “creeping eruption” berupa
papul eritema yang menjalar dan tersusun linear atau
berkelok-kelok meyerupai benang dengan kecepatan 2 cm
per hari. Predileksi penyakit ini terutama pada daerah telapak
kaki, bokong, genital dan tangan.
b. Pemeriksaan generalis: nyeri epigastrium
a. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik: menemukan larva
rabditiform dalam tinja segar, atau menemukan cacing
PEMERIKSAAN dewasa Strongyloides stercoralis.
PENUNJANG b. Pemeriksaan laboratorium darah: dapat ditemukan
eosinofilia atau hipereosinofilia, walaupun pada banyak
kasus jumlah sel eosinofilia normal.
DIAGNOSA Penegakan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan
ditemukannya larva atau cacing dalam tinja.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
a. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
b. Farmakologi
1. Pemberian albendazol menjadi terapi pilihan saat ini
dengan dosis 400 mg, 1-2 x sehari, selama 3 hari, atau
2. Mebendazol 100 mg, 3 x sehari, selama 2 atau 4 minggu.

Rujukan :
Pasien strongyloidiasis dengan keadaan imunokompromais
seperti penderita AIDS
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN TAENIASIS

UPT. KESMAS PENANGANAN TAENIASIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B68.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
½
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
TAENIASIS TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Taeniasis adalah penyakit zoonosis parasiter yang disebabkan
PENGERTIAN oleh cacing pita yang tergolong dalam genus Taenia (Taenia
saginata, Taenia solium, dan Taenia asiatica) pada manusia.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Taeniasis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Parasit cacing genus Taenia (Taenia saginata, Taenia solium,
PENYEBAB
dan Taenia asiatica)
Gejala Klinis :
- Gejala klinis taeniasis sangat bervariasi dan tidak khas.
Sebagian kasus tidak menunjukkan gejala (asimptomatis).
- Gejala klinis dapat timbul sebagai akibat iritasi mukosa usus atau
toksin yang dihasilkan cacing. Gejala tersebut antara lain rasa
GAMBARAN KLINIS tidak nyaman di lambung, mual, badan lemah, berat badan
menurun, nafsu makan menurun, sakit kepala, konstipasi, pusing,
diare dan pruritus ani.
- Pada sistiserkosis, biasanya larva cacing pita bersarang di jaringan
otak sehingga dapat mengakibatkan serangan epilepsi. Larva juga
dapat bersarang di subkutan, mata, otot, jantung dan lain-lain.
a. Pemeriksaan laboratorium mikroskopik dengan menemukan
telur dalam spesimen tinja segar.
PEMERIKSAAN
b. Secara makroskopik dengan menemukan proglotid pada tinja
PENUNJANG
c. Pemeriksaan laboratorium darah tepi: dapat ditemukan
eosinofilia, leukositosis, LED meningkat.
Diagnosis Klinis
Diagnosis taeniasis dapat ditegakkan dengan anamnesis dan
pemeriksaan feses secara mikroskopis.
DIAGNOSA
Adanya riwayat mengeluarkan proglotid (segmen) cacing pita baik
pada waktu buang air besar maupun secara spontan.
Pada pemeriksaan feses ditemukan telur cacing Taenia.
Pasien taeniasis diobati dengan prazikuantel dengan dosis 10 mg/kg
BB dosis tunggal. Cara pemberian prazikuantel adalah sebagai berikut
:
PENATALAKSANAAN 1. Satu hari sebelum pemberian prazikuantel, pasien dianjurkan
untuk makan makanan yang lunak tanpa minyak dan serat.
2. Malam harinya setelah makan malam pasien menjalani puasa.
3. Keesokan harinya dalam keadaan perut kosong pasien diberi
4. prazikuantel.
5. Dua jam kemudian diberikan garam Inggris (MgSO4), 30
gram untuk dewasa dan 15 g atau 7,5 g untuk anak anak, sesuai
dengan umur yang dilarutkan dalam sirop (pemberian sekaligus).
Pasien tidak boleh makan sampai buang air besar yang pertama.
Setelah buang air besar pasien diberi makan bubur.
6. Feses harus dikumpulkan dalam 24 jam kemudian dikirim ke
laboratorium untuk identifikasi adanya skoleks. Keberhasilan
pengobatan didasarkan atas ditemukannya skoleks.

Kriteria rujukan:
- Neurosistiserkosis
- Taeniasis dengan komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN MATA KERING / DRY EYES

UPT. KESMAS PENANGANAN MATA KERING / DRY EYES


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H04.1
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A ½
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN MATA TAMPAKSIRING II
TERBIT
KERING / DRY EYES

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Mata kering adalah suatu keadaan keringnya permukaan kornea
PENGERTIAN dan konjungtiva yang diakibatkan berkurangnya produksi
komponen air mata (musin, akueous, dan lipid).
Sebagai acuan tatalaksana penderita mata kering / dry eye sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
Gejala Klinis :
Mata terasa gatal, seperti berpasir, sensasi terbakar, merah, dan
perih.
Pemeriksaan Fisik :
GAMBARAN KLINIS
a. Visus normal.
b. Terdapat foamy tears pada konjungtiva forniks.
c. Penilaian produksi air mata dengan tes Schirmer
menunjukkan hasil <10 mm (N = >20 mm).
Diagnosis Klinis
DIAGNOSA Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

PEMERIKSAAN Biasanya tidak diperlukan


PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
- Pemberian tetes mata yang berisi karboksimetilselulosa.

Kriteria rujukan
1. Bila timbul komplikasi
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN BUTA SENJA

UPT. KESMAS PENANGANAN BUTA SENJA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H53.5
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN BUTA TAMPAKSIRING II
TERBIT
SENJA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Buta senja/ rabun senja disebut juga nyctalopia atau hemarolopia
PENGERTIAN adalah ketidakmampuan untuk melihat dengan baik pada malam
hari atau pada keadaan gelap.
Sebagai acuan tatalaksana penderita buta senja sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Kelainan sel batang retina untuk penglihatan gelap.
Gejala Klinis :
Penglihatan menurun pada malam hari atau pada keadaan gelap,
sulit beradaptasi pada cahaya yang redup.

GAMBARAN KLINIS Pemeriksaan Fisik :


Dapat ditemukan tanda-tanda defisiensi vitamin A:
a. Terdapat bercak bitot pad konjungtiva.
b. Kornea mata kering/kornea serosis.
c. Kulit tampak kering dan bersisik.
Diagnosis Klinis
DIAGNOSA Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

PEMERIKSAAN Biasanya tidak diperlukan


PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
Bila disebabkan oleh defisiensi vitamin A diberikan vitamin A
dosis tinggi.s
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN HORDEOLUM

UPT. KESMAS PENANGANAN HORDEOLUM


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H00.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
HORDEOLUM

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Hordeolum adalah peradangan supuratif kelenjar kelopak mata.
Biasanya merupakan infeksi Staphylococcus pada kelenjar
PENGERTIAN sebasea kelopak. Hordeolum eksternum merupakan infeksi pada
kelenjar Zeiss atau Moll. Hordeolum internum merupakan
infeksi kelenjar Meibom yang terletak di dalam tarsus.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Hordeolum sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Infeksi Staphylococcus
Gejala Klinis :
Kelopak mata bengkak dengan rasa sakit dan mengganjal, merah
dan nyeri bila ditekan, serta perasaan tidak nyaman dan
sensasi terbakar pada kelopak mata.
GAMBARAN KLINIS
Pemeriksaan Fisik :
Ditemukan kelopak mata bengkak, merah, dan nyeri pada
perabaan. Nanah dapat keluar dari pangkal rambut (hordeolum
eksternum). Apabila sudah terjadi abses dapat timbul undulasi.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.

DIAGNOSA Diagnosis Banding


a. Selulitis preseptal
b. Kalazion
c. Granuloma piogenik
PEMERIKSAAN Biasanya tidak diperlukan
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
a. Mata dikompres hangat 4-6 kali sehari selama 15 menit.
b. Pemberian terapi topikal dengan Oxytetrasiklin atau
kloramfenikol salep mata salep mata setiap 8 jam, atau
Antibiotika tetes mata sebanyak 1 tetes tiap 2 jam.
c. Pemberian terapi oral sistemik dengan eritromisin 500 mg
pada dewasa dan anak sesuai dengan berat badan atau
dikloksasilin 4 kali sehari selama 3 hari.
Kriteria rujukan
1. Bila tidak memberikan respon dengan pengobatan
konservatif.
2. Hordeolum berulang.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN KONJUNGTIVITIS

UPT. KESMAS PENANGANAN KONJUNGTIVITIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H10.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
KONJUNGTIVITIS

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Konjungtivitis adalah radang konjungtiva yang dapat disebabkan
PENGERTIAN
oleh mikroorganisme (virus, bakteri), iritasi atau reaksi alergi.
Sebagai acuan tatalaksana penderita konjungtivitis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Infeksi bakteri, virus, jamur, alergi
Gejala Klinis :
Mata merah, rasa mengganjal, gatal dan berair, kadang disertai
sekret. Umumnya tanpa disertai penurunan tajam penglihatan.

Pemeriksaan Fisik Oftalmologi


a. Tajam penglihatan normal
GAMBARAN KLINIS
b. Injeksi konjungtiva
c. Dapat disertai edema kelopak, kemosis
d. Eksudasi; eksudat dapat serous, mukopurulen atau purulen
tergantung penyebab.
e. Pada konjungtiva tarsal dapat ditemukan folikel, papil atau
papil raksasa, flikten, membran dan pseudomembran.
Diagnosis Klinis
Konjungtivitis berdasarkan etiologi.
Penegakan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
oftalmologi.

Klasifikasi Konjungtivitis
1. Konjungtivitis bakterial
Konjungtiva hiperemis, sekret purulent / mukopurulen
DIAGNOSA
dapat disertai membran atau pseudomembran di
konjungtiva tarsal.
2. Konjungtivitis viral
Konjungtiva hiperemis, sekret umumnya mukoserous, dan
pembesaran kelenjar preaurikular
3. Konjungtivitis alergi
Konjungtiva hiperemis, riwayat atopi atau alergi, dan
keluhan gatal.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penunjang (bila diperlukan)
PENUNJANG f. Sediaan langsung swab konjungtiva dengan perwarnaan
Gram atau Giemsa
g. Pemeriksaan sekret dengan perwarnaan metilen blue pada
kasus konjungtivitis gonore
Penatalaksanaan
1. Pada infeksi bakteri: Kloramfenikol tetes sebanyak 1 tetes 6
kali sehari atau salep mata 3 kali sehari selama 3 hari.
2. Pada alergi diberikan flumetolon tetes mata dua kali sehari
selama 2 minggu.
3. Pada konjungtivitis gonore diberikan kloramfenikol tetes
mata 0,5-1% sebanyak 1 tetes tiap jam dan suntikan pada
bayi diberikan 50.000 U/kgBB tiap hari sampai tidak
ditemukan kuman GO pada sediaan apus selama 3 hari
berturut-turut.
PENATALAKSANAAN
4. Konjungtivitis viral diberikan salep Acyclovir 3% lima kali
sehari selama 10 hari.

Kriteria rujukan
a. Pada bayi dengan konjungtivitis gonore jika terjadi
komplikasi pada kornea
b. Konjungtivitis alergi dan viral tidak ada perbaikan dalam
2 minggu
c. Konjungtivitis bakteri tidak ada perbaikan dalam 1
minggu
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN BLEFARITIS

UPT. KESMAS PENANGANAN BLEFARITIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H01.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
BLEFARITIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Blefaritis adalah radang pada tepi kelopak mata (margo palpebra)
PENGERTIAN dapat disertai terbentuknya ulkus/ tukak pada tepi kelopak mata,
serta dapat melibatkan folikel rambut.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Blefaritis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
Gejala Klinis :
- Gatal pada tepi kelopak mata.
- Sensasi / merasa ada sesuatu di kelopak mata
- Panas pada tepi kelopak mata dan kadang-kadang disertai
rontok bulu mata.
- Sekresi mata mengering sehingga ketika bangun kelopak
mata sukar dibuka.

GAMBARAN KLINIS Pemeriksaan Fisik


a. Skuama atau krusta pada tepi kelopak.
b. Tampak bulu mata rontok.
c. Dapat ditemukan tukak yang dangkal pada tepi kelopak
mata.
d. Dapat terjadi pembengkakan dan merah pada kelopak mata.
4. Dapat terbentuk keropeng yang melekat erat pada tepi
kelopak mata; jika keropeng dilepaskan, bisa terjadi
perdarahan.
PEMERIKSAAN -
PENUNJANG
DIAGNOSA Penegakan diagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
a. Kelopak mata dibersihkan dengan kapas lidi hangat dan
kompres hangat selama 5-10 menit.
PENATALAKSANAAN b. Apabila ditemukan tukak pada kelopak mata, salep atau tetes
mata seperti eritromisin, basitrasin atau gentamisin 2 tetes
setiap 2 jam hingga gejala menghilang.
Kriteria Rujukan
1. Apabila dalam 3 hari tidak membaik dengan pengobatan
optimal.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA

UPT. KESMAS PENANGANAN PERDARAHAN SUBKONJUNGTIVA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H57.8
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
½
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
PERDARAHAN TERBIT
SUBKONJUNGTIVA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Perdarahan subkonjungtiva adalah perdarahan akibat rupturnya
PENGERTIAN pembuluh darah dibawah lapisan konjungtiva yaitu pembuluh
darah konjungtivalis atau episklera
Sebagai acuan tatalaksana penderita perdarahan subkonjungtiva
TUJUAN
sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Trauma
Gejala Klinis :
- Adanya darah pada sklera atau mata berwarna merah terang
(tipis) atau merah tua (tebal).

Pemeriksaan Fisik
GAMBARAN KLINIS 1. Tampak adanya perdarahan di sklera dengan warna merah
terang (tipis) atau merah tua (tebal).
2. Pemeriksaan tajam penglihatan umumnya 6/6, jika visus
<6/6 curiga terjadi kerusakan selain di konjungtiva.
3. Pemeriksaan funduskopi adalah perlu pada setiap penderita
dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma.
PEMERIKSAAN -
PENUNJANG
DIAGNOSA Penegakan diagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
Penatalaksanaan
a. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi
dalam 1- 2 minggu tanpa diobati.
PENATALAKSANAAN b. Pengobatan penyakit yang mendasari bila ada.

Kriteria Rujukan
1. Ada penurunan tajam penglihatan < 6/6
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN CORPUS ALIENUM DI MATA

UPT. KESMAS PENANGANAN CORPUS ALIENUM DI MATA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : T15.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A ½
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
CORPUS ALIENUM TERBIT
DI MATA

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Terdapat benda asing pada mata, dapat pada konjungtiva atau
PENGERTIAN
kornea
Sebagai acuan tatalaksana penderita korpus alienum pada mata
TUJUAN
sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke
dalam matanya.

Gejala klinis :
Nyeri, mata merah dan berair, sensasi benda asing, dan fotofobia.
GAMBARAN KLINIS
Pemeriksaan oftalmologi:
a. Biasanya visus normal;
b. Ditemukan injeksi konjungtiva tarsal dan/atau bulbi;
c. Pada konjungtiva tarsal superior dan/atau inferior, dan/atau
konjungtiva bulbi ditemukan benda asing.
DIAGNOSA Diagnosis Klinis:
Penegakan Diagnosis dari anamnesis dan pemeriksaan fisik
PEMERIKSAAN Biasanya tidak diperlukan
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan :
1. Berikan tetes mata pantokain 2% sebanyak 1-2 tetes pada
mata yang terkena benda asing.
2. Angkat benda asing dengan menggunakan lidi kapas atau
jarum suntik ukuran 23G.
3. Arah pengambilan benda asing dilakukan dari tengah ke
tepi.
4. Oleskan lidi kapas dengan betadin pada tempat bekas
benda asing.
5. Kemudian, berikan antibiotik topikal (salep atau tetes mata)
seperti kloramfenikol tetes mata, 1 tetes setiap 2 jam
selama 2 hari.

Kriteria Rujukan
1. Bila terjadi penurunan visus.
2. Benda asing gagal diekstraksi
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN ASTIGMATISMA

UPT. KESMAS PENANGANAN ASTIGMATISMA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A (kasus ringan) ICD X : H52.2
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
ASTIGMATISMA TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Astigmatisma adalah keadaan di mana sinar sejajar tidak
PENGERTIAN
dibiaskan secara seimbang pada seluruh meridian.
Sebagai acuan tatalaksana penderita astigmatisma pada mata
TUJUAN
sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Kelainan bentuk kornea
Keluhan : penglihatan kabur terutama, pasien memicingkan mata
untuk dapat melihat lebih jelas.

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis


a. Penderita duduk menghadap kartu snellen pada jarak 6
meter.
b. Pada mata dipasang bingkai percobaan. Satu mata ditutup,
biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa
mata kanan.
c. Penderita diminta membaca kartu snellen mulai huruf
terbesar (teratas) dan diteruskan pada baris bawahnya sampai
GAMBARAN KLINIS
pada huruf terkecil yang masih dapat dibaca. Lensa positif
0,5D ditambah pada mata yang diperiksa (teknik fogging).
d. Pasien diminta melihat gambar kipas pada Snellen chart dan
menyebutkan garis yang paling jelas.
e. Pasangkan lensa silinder -0,5D dengan aksis tegak lurus
terhadap garis yang paling jelas.
f. Perlahan-lahan lensa silinder dinaikkan kekuatan dioptrinya
sampai semua garis terlihat sama jelas.
g. Pasien kembali diminta melihat Snellen chart, bila visus
belum 6/6 lensa fogging dicabut.
h. Mata yang lain dikerjakan dengan cara yang sama.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik oftalmologis.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
Kelainan refraksi lainnya
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
PENUNJANG Tidak diperlukan
Penatalaksanaan
Penggunaan kacamata lensa silindris dengan koreksi yang sesuai
PENATALAKSANAAN
Kriteria rujukan
Apabila visus tidak dapat mencapai 6/6.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN HIPERMETROPIA

UPT. KESMAS PENANGANAN ASTIGMATISMA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A (kasus ringan) ICD X : H52.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
HIPERMETROPIA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan
PENGERTIAN pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup kuat
dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina.
Sebagai acuan tatalaksana penderita hipermetropia pada mata
TUJUAN
sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Kelainan bentuk kornea
Keluhan :
- Gejala penglihatan kabur bila melihat dekat, terutama bila
lelah dan penerangan kurang.
- Sakit kepala terutama daerah frontal dan makin kuat pada
penggunaan mata yang lama dan membaca dekat.
- Penglihatan tidak enak (asthenopia akomodatif = eye strain)
terutama bila melihat pada jarak tetap dalam waktu yang
lama, misalnya menonton TV.
- Mata sensitif terhadap sinar.
- Spasme akomodasi yang dapat menimbulkan pseudomiopia.
Mata juling dapat terjadi karena akomodasi yang berlebihan
akan diikuti konvergensi yang berlebihan pula.

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis


GAMBARAN KLINIS 1. Penderita duduk menghadap kartu snellen pada jarak 6
meter.
2. Pada mata dipasang bingkai percobaan. Satu mata ditutup,
biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa
mata kanan.
3. Penderita disuruh membaca kartu snellen mulai huruf
terbesar (teratas) dan diteruskan pada baris bawahnya sampai
pada huruf terkecil yang masih dapat dibaca. Lensa positif
terkecil ditambah pada mata yang diperiksadan bila tampak
lebih jelas oleh penderita lensa positif tersebut ditambah
kekuatannya perlahan–lahan dan disuruh membaca huruf-
huruf pada baris yang lebih bawah. Ditambah kekuatan lensa
sampai terbaca huruf-huruf pada baris 6/6. Ditambah lensa
positif +0.25 lagi dan ditanyakan apakah masih dapat melihat
huruf-huruf di atas.
4. Mata yang lain diperiksa dengan cara yang sama.
5. Penilaian: bila dengan S +2.00 tajam penglihatan 6/6,
kemudian dengan S +2.25 tajam penglihatan 6/6 sedang
dengan S +2.50 tajam penglihatan 6/6-2 maka pada keadaan
ini derajat hipermetropia yang diperiksa S +2.25 dan
kacamata dengan ukuran ini diberikan pada penderita. Pada
penderita hipermetropia selama diberikan lensa sferis positif
terbesar yang memberikan tajam penglihatan terbaik.
6. Pada pasien dengan daya akomodasi yang masih sangat kuat
atau pada anak-anak, sebaiknya pemeriksaan dilakukan
dengan pemberian siklopegik atau melumpuhkan otot
akomodasi.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik oftalmologis.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
Kelainan refraksi lainnya
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
PENUNJANG Tidak diperlukan
Penatalaksanaan
Penggunaan kacamata lensa sferis positif dengan koreksi yang
sesuai
PENATALAKSANAAN
Kriteria rujukan
Jika timbul komplikasi.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN MIOPIA

UPT. KESMAS PENANGANAN MIOPIA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A (kasus ringan) ICD X : H52.1
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
MIOPIA TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Miopia adalah kelainan refraksi dimana sinar sejajar yang masuk
PENGERTIAN ke mata dalam keadaan istirahat (tanpa akomodasi) akan
dibiaskan membentuk bayangan di depan retina.
Sebagai acuan tatalaksana penderita miopia pada mata sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Kelainan bentuk kornea
Keluhan
Penglihatan kabur bila melihat jauh, mata cepat lelah, pusing dan
mengantuk,cenderung memicingkan mata bila melihat jauh.
(Tidak terdapat riwayat kelainan sistemik seperti; diabetes
mellitus, hipertensi; serta buta senja.)

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis


a. Penderita duduk menghadap kartu snellen pada jarak 6
meter.
b. Pada mata dipasang bingkai percobaan. Satu mata ditutup,
GAMBARAN KLINIS biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa
mata kanan.
c. Penderita diminta membaca kartu snellen mulai huruf
terbesar (teratas) dan diteruskan pada baris bawahnya sampai
pada huruf terkecil yang masih dapat dibaca. Lensa positif
terkecil ditambah pada mata yang diperiksa dan bila
bertambah kabur lensa positif tersebut diganti dengan lensa
negatif. Kemudian kekuatan lensa negatif ditambah
perlahan-lahan dan diminta membaca huruf-huruf pada baris
yang lebih bawah sampai jelas terbaca pada baris ke 6.
d. Mata yang lain diperiksa dengan cara yang sama.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik oftalmologis.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
Kelainan refraksi lainnya
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
PENUNJANG Tidak diperlukan
Penatalaksanaan
Penggunaan kacamata lensa sferis negatif dengan koreksi yang
sesuai
PENATALAKSANAAN
Kriteria rujukan
Kelainan refraksi yang progresif, tidak maju dengan koreksi dan
tidak maju dengan pinhole.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN PRESBIOPIA

UPT. KESMAS PENANGANAN PRESBIOPIA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A (kasus ringan) ICD X : H52.4
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
PRESBIOPIA TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Presbiopia adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan usia
dimana penglihatan kabur ketika melihat objek berjarak dekat.
PENGERTIAN
Presbiopia merupakan proses degeneratif mata yang pada
umumnya dimulai sekitar usia 40 tahun.
Sebagai acuan tatalaksana penderita presbiopia pada mata sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Kelainan elastisitas dan kelenturan lensa mata
Keluhan
- Penglihatan kabur ketika melihat dekat.
- Mata terasa lelah, berair, dan sering terasa perih setelah
membaca
- Membaca dilakukan dengan menjauhkan kertas yang dibaca.
Terdapat gangguan pekerjaan terutama pada malam hari dan
GAMBARAN KLINIS perlu sinar lebih terang untuk membaca.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan refraksi subjektif dengan menggunakan kartu
Jaeger. Pasien diminta untuk menyebutkan kalimat hingga
kalimat terkecil yang terbaca pada kartu. Target koreksi sebesar
20/30.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik oftalmologis.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
Kelainan refraksi lainnya
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penunjang Lanjutan
PENUNJANG Tidak diperlukan
Penatalaksanaan
Penggunaan kacamata lensa positif dengan koreksi yang
disesuaikan dengan usia
PENATALAKSANAAN
USIA KOREKSI LENSA
40 tahun + 1,0 D
45 tahun + 1,5 D
50 tahun +2,0 D
55 tahun +2,5 D
60 tahun +3,0 D
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN KATARAK PADA PASIEN DEWASA

UPT. KESMAS PENANGANAN KATARAK PADA PASIEN DEWASA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 2 ICD X : H25
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
KATARAK PADA TERBIT
PASIEN DEWASA

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Katarak adalah kekeruhan pada lensa yang menyebabkan
penurunan tajam penglihatan (visus) yang paling sering berkaitan
PENGERTIAN
dengan proses degenerasi lensa pada pasien usia di atas 40 tahun
(katarak senilis).
Sebagai acuan tatalaksana penderita katarak pada pasien dewasa
TUJUAN
sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Proses degeneratif pada lensa mata
Keluhan
Penglihatan menurun secara perlahan seperti tertutup asap/kabut.
Keluhan disertai ukuran kacamata semakin bertambah, silau dan
sulit membaca.

Pemeriksaan Fisik Oftalmologis


GAMBARAN KLINIS
1. Visus menurun.
2. Refleks pupil dan Tekanan Intra Okular normal.
3. Tidak ditemukan kekeruhan kornea.
4. Terdapat kekeruhan lensa yang tampak lebih jelas setelah
dilakukan dilatasi pupil dengan tetes mata tropikamid 0.5%.
5. Pemeriksaan iris shadow test positif.
Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik oftalmologis.
DIAGNOSA
Diagnosis Banding
Kelainan refraksi
PEMERIKSAAN -
PENUNJANG
Penatalaksanaan
Pada katarak matur segera dirujuk ke layanan sekunder yang
memiliki dokter spesialis mata untuk mendapatkan
PENATALAKSANAAN penatalaksanaan selanjutnya.

Kriteria rujukan
1. Indikasi sosial jika pasien merasa terganggu.
2. Jika katarak telah matur dan membutuhkan tindakan
operasi.
2. Jika timbul komplikasi
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN GLAUKOMA AKUT

UPT. KESMAS PENANGANAN GLAUKOMA AKUT


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H40
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
GLAUKOMA AKUT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Glaukoma adalah penyakit mata yang ditandai oleh trias
glaukoma, terdiri dari:
PENGERTIAN 1. Peningkatan tekanan intraokular.
2. Perubahan patologis pada diskus optikus.
3. Defek lapang pandang yang khas.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Glaukoma akut sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Tekanan berlebih dalam bola mata terjadi karena
PENYEBAB ketidakseimbangan produksi cairan dan pembuangannya dalam
bola mata.
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis :
Rasa sakit atau nyeri pada mata, sefalgia, mual dan muntah,
penurunan visus mendadak, mata merah dan berair.

Pemeriksaan fisik :
Glaukoma akut
a. Visus menurun.
b. Tekanan Intra Okular meningkat.
c. Konjungtiva bulbi: hiperemia kongesti, kemosis dengan
injeksi silier, injeksi konjungtiva.
d. Edema kornea.
e. Bilik mata depan dangkal.
f. Pupil mid-dilatasi, refleks pupil negatif.

Glaukoma kronik
e. Biasanya terjadi visus dapat normal.
f. Lapang pandang menyempit dapat diperiksa dengan tes
konfrontasi
g. Tekanan Intra Okular meningkat (>21 mmHg).
h. Pada funduskopi, C/D rasio meningkat (N=0.3).
DIAGNOSA Diagnosis Klinis
Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Diagnosis Banding:
Glaukoma akut:
o. Uveitis anterior
p. Keratitis
q. Ulkus kornea

Glaukoma kronis:
a. Katarak
b. Kelainan refraksi
c. Retinopati diabetes/hipertensi
d. Retinitis pigmentosa
PEMERIKSAAN Tidak dilakukan pada pelayanan primer.
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
1. Menurunkan tekanan intraokular secepatnya dengan
2. Asetasolamid Hcl 500 mg, dilanjutkan 4 x 250 mg/hari.
3. Timolol 0.5%, 2 x 1 tetes/hari.
4. Terapi simptomatik.
Rujuk segera ke dokter spesialis mata/pelayanan kesehatan
tingkat sekunder/tersier setelah diberikan pertolongan pertama
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN OTITIS EKSTERNA

UPT. KESMAS PENANGANAN OTITIS EKSTERNA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
OTITIS EKSTERNA

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Otitis eksterna adalah radang liang telinga akut maupun kronis
PENGERTIAN
disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, dan virus.
Sebagai acuan tatalaksana penderita otitis eksterna sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Infeksi bakteri, virus, parasit, jamur
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis :
Rasa sakit pada telinga, terutama bila daun telinga disentuh dan
waktu mengunyah. Perasaan penuh di dalam telinga, perasaan
seperti terbakar, menurunnya pendengaran, keluarnya sekret dari
liang telinga. Pada otomikosis, terasa gatal di telinga.

Pemeriksaan Fisik
a. Nyeri tekan pada tragus
b. Nyeri tarik daun telinga
c. Kelenjar getah bening regional dapat membesar dan nyeri
d. Pada pemeriksaan liang telinga:
1. Pada otitis eksterna sirkumskripta dapat terlihat furunkel
atau bisul serta liang telinga sempit;
2. Pada otitis eksterna difusa liang telinga sempit, kulit
liang telinga terlihat hiperemis dan udem yang batasnya
tidak jelas serta sekret yang sedikit.
3. Pada otomikosis dapat terlihat jamur seperti serabut
kapas dengan warna yang bervariasi (putih kekuningan)
4. Pada herpes zoster otikus tampak lesi kulit vesikuler di
sekitar liang telinga.
e. Pada pemeriksaan penala kadang didapatkan tuli konduktif.
DIAGNOSA Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penunjang:
PENUNJANG Pemeriksaan sediaan langsung jamur dengan KOH untuk
otomikosis
PENATALAKSANAAN Farmakologi:
1. Topikal
a. Otitis eksterna sirkumskripta pada stadium infiltrat
diberikan salep antibiotik polymixin B atau basitrasin.
b. Pada otitis eksterna difus dengan memasukkan tampon
yang mengandung antibiotik polimiksin B, neomisin,
hidrokortison dan anestesi topikal.
c. Pada otomikosis dilakukan pembersihan liang telinga dari
plak jamur dilanjutkan dengan mencuci liang telinga
dengan larutan asam asetat 2% dalam alkohol 70% setiap
hari selama 2 minggu.
2. Oral sistemik
a. Antibiotika sistemik diberikan dengan pertimbangan
infeksi yang cukup berat.
b. Analgetik paracetamol atau ibuprofen dapat diberikan.

Kriteria Rujukan
a. Pada kasus herpes zoster otikus
b. Kasus otitis eksterna nekrotikan
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN OTITIS MEDIA AKUT

UPT. KESMAS PENANGANAN OTITIS MEDIA AKUT


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H66.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
OTITIS MEDIA AKUT

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan sebagian atau
seluruh mukosa telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid,
PENGERTIAN
dan sel-sel mastoid yang terjadi dalam waktu kurang dari 3
minggu.
Sebagai acuan tatalaksana penderita otitis media akut sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Infeksi bakteri, virus, parasit, jamur
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis :
Demam, rasa nyeri di dalam telinga, batuk pilek, gangguan
pendengaran dan rasa penuh dalam telinga.

Pemeriksaan Fisik
a. Dapat ditemukan demam
b. Pemeriksaan dengan otoskopi untuk melihat membran
timpani:
1. Pada stadium oklusi : retraksi membran timpani, warna
membran timpani suram dengan reflex cahaya tidak
terlihat.
2. Pada stadium hiperemis : membran timpani tampak
hiperemis serta edema.
3. Pada stadium supurasi : membran timpani menonjol ke
arah luar (bulging) berwarna kekuningan.
4. Pada stadium perforasi : terjadi ruptur membran timpani
dan keluar nanah ke liang telinga luar.
5. Pada stadium resolusi: bila membran timpani tetap utuh,
maka perlahan-lahan akan normal kembali.Bila telah
terjadi perforasi, maka sekret akan berkurang dan
mengering.
DIAGNOSA Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.

Diagnosis Banding
a. Otitis media serosa akut
b. Otitis eksterna
PEMERIKSAAN Tidak diperlukan
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan :
a. Asupan gizi yang baik untuk meningkatkan daya tahan
tubuh
b. Pemberian farmakoterapi dengani:
1. Topikal
a. Stadium oklusi : tetes hidung HCl efedrin 0,5%
b. (atau oksimetazolin 0,025%) untuk <12 tahun atau
HCl efedrin 1% (atau oksimetazolin 0,05%) untuk
>12 tahun + NaCl 0,9%.
c. Stadium perforasi : obat cuci telinga H2O2 3%
d. selama 3-5 hari, dan antibiotik ofloxacin tetes
telinga sampai 3 minggu.
2. Oral sistemik
a. Terapi simtomatis (antihistamin, antipiretik,
b. Antibiotik pada stadium oklusi dan hiperemis :
penisilin / eritromisin, selama 10-14 hari
c. Pada stadium supurasi dilakukan miringotomi
(kasus rujukan)
Kriteria Rujukan
1. Jika indikasi miringotomi.
2. Bila membran tymphani tidak menutup kembali setelah 3
bulan.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN SERUMEN OBTURANS

UPT. KESMAS PENANGANAN SERUMEN OBTURANS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
SERUMEN TERBIT
OBTURANS

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Serumen Obturans adalah penumpukan sekret kelenjar sebasea,
PENGERTIAN kelenjar seruminosa, epitel kulit yang terlepas dan partikel debu
yang terdapat pada bagian kartilaginosa liang telinga.
Sebagai acuan tatalaksana penderita serumen obturans sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Serumen yang mengeras
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis
Pendengaran menurun disertai rasa penuh pada telinga, rasa
penuh dalam telinga, nyeri telinga

Pemeriksaan Fisik
a. Otoskopi: adanya obstruksi serumen pada liang telinga.
b. Pemeriksaan penala : tuli konduktif
DIAGNOSA Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik

Diagnosis Banding
Benda asing di liang telinga
PEMERIKSAAN Tidak diperlukan
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
1. Serumen yang lembek, dibersihkan dengan kapas yang
dililitkan pada pelilit kapas.
2. Serumen yang keras harus dilunakkan lebih dahulu dengan
tetes karbogliserin 10% selama 3 hari, kemudian dilakukan
irigasi telinga untuk mengeluarkan serumen.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN HIPERTENSI

UPT. KESMAS PENANGANAN HIPERTENSI


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : I10
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A ½
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
HIPERTENSI TERBIT

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Hipertensi adalah kondisi terjadinya peningkatan tekanan darah
PENGERTIAN
sistolik lebih dari ≥ 140 mmHg dan atau diastolik ≥ 90 mmHg.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Hipertensi sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Primer : tidak diketahui penyebabnya
PENYEBAB
Sekunder : oleh karena penyakit lain
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis :
- Asimptomatis
- Sakit/nyeri kepala, gelisah, jantung berdebar, pusing, leher
kaku, penglihatan kabur, dan rasa sakit di dada.
DIAGNOSA Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.

Klasifikasi TD Sistolik TD Diastolik


Normal < 120 mmHg < 80 mm Hg
Pre-Hipertensi 120 - 139 mmHg 80-89 mmHg
Hipertensi stage 1 140 - 159 mmHg 80-99 mmHg
Hipertensi stage 2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg
PEMERIKSAAN - Urinalisis (proteinuri atau albuminuria)
PENUNJANG - Tes gula darah
- Tes kolesterol (profil lipid)
- Ureum kreatinin
- Funduskopi
- EKG
- Foto thoraks.
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan :
1. Modifikasi gaya hidup
2. Terapi farmakologis
a. Diuretik (HCT 12.5-50 mg/hari, furosemid 2x20-80
mg/hari), atau
pemberian penghambat ACE (captopril 2x25-100
mg/hari atau enalapril 1-2 x 2,5-40 mg/hari), atau
penyekat reseptor beta (atenolol 25-100mg/hari dosis
tunggal), atau
penghambat kalsium (diltiazem extended release
1x180-420 mg/hari, amlodipin 1x2,5-10 mg/hari, atau
nifedipin long acting 30-60 mg/hari).
b. Bila target terapi tidak tercapai setelah observasi selama
2 minggu, dapat diberikan kombinasi 2 obat.
c. Pemilihan anti hipertensi didasarkan ada tidaknya
kontraindikasi dari masing-masing antihipertensi

Kriteria rujukan
1. Hipertensi dengan komplikasi.
2. Resistensi hipertensi.
3. Krisis hipertensi (hipertensi emergensi dan urgensi).
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN ANGINA PEKTORIS

UPT. KESMAS PENANGANAN ANGINA PEKTORIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 3B ICD X : I20.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A ½
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
ANGINA PEKTORIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Angina pektoris ialah suatu sindrom klinis berupa serangan nyeri
dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa berat di
PENGERTIAN dada yang sering menjalar ke lengan kiri. Nyeri dada tersebut
biasanya timbul pada saat melakukan aktivitas dan segera hilang
bila aktivitas dihentikan.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Angina pektoris sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Berkurangnya pasokan oksigen dan menurunnya aliran darah ke
PENYEBAB
dalam miokardium
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis :
- Nyeri dada yang khas, yaitu seperti rasa ditekan atau terasa
berat seperti ditimpa beban yang sangat berat, di dada
sebelah kiri dan kadang menjalar ke lengan kiri, dapat
menjalar ke punggung, rahang, leher, atau ke lengan kanan.
- Nyeri dada bisa disertai keringat dingin , mual, muntah,
sesak dan pucat.
DIAGNOSA Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan penunjang.

Diagnosis Banding
1. Gastroesofageal Refluks Disease (GERD)
2. Gastritis Akut
PEMERIKSAAN 1. EKG
PENUNJANG 2. Thorax foto
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan :
1. ISDN 10 mg sublingual dapat dilanjutkan dengan 10 mg
peroral sampai mendapat pelayanan rawat lanjutan di
Pelayanan sekunder.
2. Beta bloker:
- Propanolol 20-80 mg dalamdosis terbagi atau
- Bisoprolol 2,5-5 mg per 24 jam.
3. Calcium Channel Blocker (CCB)
Dipakai bila Beta Blocker merupakan kontraindikasi.
- Verapamil 80 mg (2-3 kali sehari)
- Diltiazem 30 mg ( 3-4 kali sehari)
4. Antipletelet:
Aspirin 160-320 mg sekali minum pada akut.
5. Oksigen dimulai 2-4 L/menit
6. Segera rujuk ke RS yang memiliki fasilitas lebih lengkap
untuk tatalaksana lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN INFARK MIOKARD

UPT. KESMAS PENANGANAN INFARK MIOKARD


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 3B ICD X : I21.9
NO.
DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
/ UPT. A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
INFARK MIOKARD TERBIT

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Infark miokard (IM) adalah perkembangan yang cepat dari
PENGERTIAN nekrosis otot jantung yang disebabkan oleh ketidakseimbangan
yang kritis antara suplai oksigen dan kebutuhan miokardium.
Sebagai acuan tatalaksana penderita infark miokard sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Ruptur plak dengan trombus dalam pembuluh darah koroner
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis :
Keluhan mendadak berupa:
a. Nyeri dada retrosternum seperti tertekan atau tertindih benda
berat.
b. Nyeri menjalar ke dagu, leher, tangan, punggung, dan
epigastrium.
c. Penjalaran ke tangan kiri lebih sering terjadi.
d. Disertai gejala tambahan berupa sesak, mual muntah, nyeri
epigastrium, keringat dingin, dan anxietas.

Pemeriksaan Fisik
Hampir selalu normal, termasuk pemeriksaan thoraks, auskultasi
dan pengukuran laju jantung serta tekanan darah. Tujuan
pemeriksaan fisik ini untuk menyingkirkan penyebab nyeri dada
nonkardiak, penyakit kardiak non iskemik (perikarditis, penyakit
valvular), penyebab ekstra kardiak yang mencetuskan nyeri dada
serta mencari tanda-tanda ketidakstabilan hemodinamik dan
disfungsi ventrikel kiri.
DIAGNOSA Diagnosis klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.

Kriteria diagnosis pasti jika terdapat 2 dari 3 hal di bawah ini:


a. Klinis : nyeri dada khas angina.
b. EKG : ST elevasi atau ST depresi atau T inverted.
c. Laboratorium : peningkatan enzim jantung.
Klasifikasi
a. STEMI
b. NSTEMI

Diagnosis Banding
a. Angina pectoris prinzmetal
b. Unstable angina pectoris
c. Ansietas
d. Diseksi aorta
e. Dispepsia
f. Miokarditis
g. Pneumothoraks
h. Emboli paru
PEMERIKSAAN Pemeriksaan Penunjang :
PENUNJANG 1. EKG
a. STEMI:
Elevasi segmen ST >1 mm pada 2 sadapan prekordial
(V1-V6) atau ekstremitas (I, II, III, aVL, aVF) yang
berdekatan (contagious lead), atau LBBB yang
dianggap baru.
b. Non- STEMI
Depresi segmen ST ≥ 0.5 mm (0.05 mV) yang persisten
maupun transient elevasi segmen ST ≥ 0.5 mm (< 20
menit) serta inversi gel T ≥ 0.2 mV pada 2 sadapan
yang berdekatan atau lebih.
2. Thorax foto
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
a. Segera rujuk setelah pemberian MONACO:
M : Morfin, 2,5-5 mg IV
O : Oksigen 2-4 L/menit
N : Nitrat, bisa diberikan nitrogliserin infus dengan dosis
mulai dari 5mcg/m (titrasi) atau ISDN 5-10 mg
sublingual maksimal 3 kali
A : Aspirin, dosis awal 160-320 mg dilanjutkan dosis
pemeliharaan 1 x 160 mg
CO : Clopidogrel, dosis awal 300-600 mg, dilanjutkan
dosis pemeliharaan 1 x 75 mg
b. Pengobatan farmakologis (dilakukan di layanan rujukan):
1. Antikoagulan: Heparin 20.000-40.000 U/24 jam IV
tiap 4-6 jam
2. Streptokinase/trombolisis
3. PCI (Percutaneous coronary intervention)
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN GAGAL JANTUNG AKUT AKUT

UPT. KESMAS PENANGANAN GAGAL JANTUNG AKUT


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 3B ICD X : I50.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
GAGAL JANTUNG TERBIT
AKUT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Gagal jantung akut merupakan suatu sindroma timbulnya tanda
PENGERTIAN dan gejala yang berlangsung cepat dan singkat (dalam jam atau
hari) akibat disfungsi jantung.
Sebagai acuan tatalaksana penderita gagal jantung akut sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
Tanda dan gejala GJA:
1. Sesak napas saat istirahat
2. Sesak saat aktivitas ringan (perburukan dari gagal jantung
kronik)
GAMBARAN KLINIS 3. Orthopnue (sesak memberat saat berbaring)
4. Ronki basah di basal paru atau seluruh lapang paru
5. Takikardi
6. Takipnoe
7. Tekanan vena jugularis / JVP meningkat
a. Rontgen thoraks (kardiomegali, gambaran edema
paru/alveolar edema/butterfly appearance)
PEMERIKSAAN
b. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan
PENUNJANG
gelombang T, dan gambaran abnormal lainnya.
c. Darah perifer lengkap
1. Kriteria Gagal Jantung:
a. Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat
aktivitas fisik.
b. Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat.
c. Respons terhadap terapi gagal jantung.
d. Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal
jantung.
DIAGNOSA
2. Kriteria Framingham: minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria
minor.
a. Kriteria Mayor:
1. Paroxysmal nocturnal dyspnea
2. Distensi vena jugularis
3. Ronki basah halus
4. Rontgen : kardiomegali
5. Udem pulmonal akut
6. S3 gallop
7. Tekanan vena sentral >16 cm H2O
8. Waktu sirkulasi +25 detik
9. Hepatojugular refluks
10. Edema pulmonal, kongesti viseral, atau kardiomegali
pada autopsi
11. Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang
respon terhadap terapi gagal jantung.
b. Kriteria Minor:
1. Edema kaki bilateral
2. Batuk nokturnal
3. Dyspnea pada aktivitas sehari-hari
4. Hepatomegali
5. Efusi pleura
6. Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga dari
nilai maksimal
7. Takikardia ( nadi >120 kali/menit)

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart


Association (NYHA)
Kelas Kriteria
1 Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi.
2 Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada
gangguan pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik
biasa menyebabkan lelah, sesak napas,
atau palpitasi.
3 Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik:
tidak ada gangguan pada saat istirahat tetapi
aktivitas fisik ringan menyebabkan capai,
sesak napas, atau palpitasi.
4 Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa
menimbulkan keluhan:
gejala gagal jantung timbul meskipun dalam
keadaan istirahat dengan keluhan yang semakin
bertambah pada aktivitas fisik.

Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya


memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap
(kelas III dan IV), juga berguna dalam menentukan
penatalaksanaan dan prognostik kelainan yang dialami

Diagnosis Banding
1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma,
pneumonia, infeksi paru berat (ARDS), emboli paru
2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
3. Penyakit Hati: sirosis hepatik
Penatalaksaaan resusitasi
1. Lakukan langkah-langkah airway, breathing, circulation
(ABC).
2. Oksigen nasal 4-5 L/menit.
PENATALAKSANAAN 3. Posisi setengah duduk (semi fowler position).
4. Berikan diuretik furosemid 40 mg i.v. (jika TD >100
mmHg).
5. Berikan ISDN 5 mg sublingual. jika TD >100 mmHg.
6. Jika TD sistolik <90 mmHg, maka dapat diberikan cairan
fisiologis (NaCl 0.9%), 1-4 mL/kgBB dalam 10 menit. Jika
setelah pemberian cairan tekanan darah tidak membaik maka
segera dirujuk ke RS.
7. Jika TD sistolik >180 mmHg, dapat diberikan kaptopril 3x
12,5 mg (dapat di uptitrasi) dan atau ISDN sublingual 5 mg
bisa diulang hingga 5 kali sampai mendapat pertolongan
lebih lanjut.
8. Segera di Rujuk ke RS untuk mendapatkan perawatan lebih
lanjut.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN GAGAL JANTUNG AKUT KRONIK (DEKOMPENSASI KORDIS)

UPT. KESMAS PENANGANAN GAGAL JANTUNG KRONIK


TAMPAKSIRING II (DEKOMPENSASI KORDIS)
Kompetensi : 3A ICD X : I50.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
PROSEDUR TETAP
DITETAPKAN
PENANGANAN
KEPALA UPT. KESMAS
GAGAL JANTUNG TANGGAL
TAMPAKSIRING II
KRONIK TERBIT
(DEKOMPENSASI
KORDIS)
31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Gagal jantung merupakan sindrom klinis yang kompleks timbul
PENGERTIAN karena oleh kelainan struktur dan fungsional jantung sehingga
terjadi gangguan pada ejeksi dan pengisian.
Sebagai acuan tatalaksana penderita gagal jantung kronik sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
a. Sesak napas saat aktivitas,
b. Edema tungkai
c. Mudah kelelahan
d. Takikardia
e. Takipneu
GAMBARAN KLINIS
f. Ronkhi basah
g. peningkatan tekanan vena jugular
h. Bunyi jantung gallop
i. Ascites
j. Hepatomegali
1. Rontgen thoraks (kardiomegali, gambaran edema
paru/alveolar edema/butterfly appearance)
PEMERIKSAAN
2. EKG (hipertrofi ventrikel kiri, atrial fibrilasi, perubahan
PENUNJANG
gelombang T,dan gambaran abnormal lainnya.
3. Darah perifer lengkap
1. Kriteria Gagal Jantung:
a. Gejala gagal jantung pada saat istirahat ataupun saat
aktivitas fisik.
b. Terdapat bukti objektif disfungsi jantung saat istirahat.
c. Respons terhadap terapi gagal jantung.
d. Kriteria 1 dan 2 harus dipenuhi pada semua kasus gagal
DIAGNOSA
jantung.

2. Kriteria Framingham: minimal 1 kriteria mayor dan 2 kriteria


minor.
a. Kriteria Mayor:
1. Paroxysmal nocturnal dyspnea
2. Distensi vena jugularis
3. Ronki basah halus
4. Rontgen : kardiomegali
5. Udem pulmonal akut
6. S3 gallop
7. Tekanan vena sentral >16 cm H2O
8. Waktu sirkulasi +25 detik
9. Hepatojugular refluks
10. Edema pulmonal, kongesti viseral, atau
kardiomegali pada autopsi
11. Penurunan berat badan >4.5 kg dalam 5 hari yang
respon terhadap terapi gagal jantung.

b. Kriteria Minor:
1. Edema kaki bilateral
1. Batuk nokturnal
2. Dyspnea pada aktivitas sehari-hari
3. Hepatomegali
4. Efusi pleura
5. Penurunan kapasitas vital lebih dari satu pertiga
dari nilai maksimal
6. Takikardia ( nadi >120 kali/menit)

Klasifikasi Gagal Jantung berdasarkan New York Heart


Association (NYHA)
Kelas Kriteria
1 Tidak ada batasan: aktivitas fisik biasa tidak
menyebabkan capai, sesak napas, atau palpitasi.
2 Sedikit batasan pada aktivitas fisik: tidak ada
gangguan pada saat istirahat tetapi aktivitas fisik
biasa menyebabkan lelah, sesak napas,
atau palpitasi.
3 Terdapat batasan yang jelas pada aktivitas fisik:
tidak ada gangguan pada saat istirahat tetapi
aktivitas fisik ringan menyebabkan capai,
sesak napas, atau palpitasi.
4 Tidak dapat melakukan aktivitas fisik tanpa
menimbulkan keluhan:
gejala gagal jantung timbul meskipun dalam
keadaan istirahat dengan keluhan yang semakin
bertambah pada aktivitas fisik.

Klasifikasi digunakan untuk menentukan apakah penderita hanya


memerlukan rawat jalan (kelas I dan II) atau harus rawat inap
(kelas III dan IV), juga berguna dalam menentukan
penatalaksanaan dan prognostik kelainan yang dialami

Diagnosis Banding
1. Penyakit paru: obstruktif kronik (PPOK), asma, pneumonia,
infeksi paru berat (ARDS), emboli paru
2. Penyakit Ginjal: Gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
3. Penyakit Hati: sirosis hepatik
a. Modifikasi gaya hidup:
1. Pembatasan asupan cairan maksimal 1,5 liter (ringan),
maksimal 1 liter (berat)
PENATALAKSANAAN
2. Pembatasan asupan garam maksimal 2 gram/hari
(ringan), 1 maksimal gram (berat)
3. Berhenti merokok dan konsumsi alkohol
b. Aktivitas fisik: batasi beban kerja sampai 70% sd 80% dari
denyut nadi maksimal (220/ umur)
c. Terapi Farmakologi
a. ACE inhibitor (kaptopril)
1. Direkomendasikan sebagai first-line therapy.
2. Dosis diberikan mulai dosis rendah (3 x 6,25 mg)
dapat di uptitrasi hingga 3 x 50 mg.
b. Digitalis
1. Merupakan obat pilihan pada keadaan fibrilasi
atrial pada gagal jantung.
2. Kombinasi digoksin dan beta blocker lebih baik
daripada hanya menggunakan salah satu jenis saja.
3. Dapat diberikan digoksin tab 1 x 0,25 mg jika
terdapat fibrilasi atrial.
4. Dalam keadaan irama sinus, digoksin
direkomendasikan untuk memperbaiki status klinis
pada keadaan gagal jantung persisten selain dengan
terapi ACE inhibitor, beta blocker dan diuretik.
5. Bila NYHA II-IV dengan LVEF < 40% disertai
tanda-tanda gagal jantung yang telah mendapat
penghambat EKA dan penyekat beta.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN STROKE

UPT. KESMAS PENANGANAN STROKE


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 3B ICD X : I63.9
NO.
DOKUMEN NO. REVISI HALAMAN
/ UPT. A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
STROKE TERBIT

31 MEI 2014
Dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Stroke adalah defisit neurologis fokal yang terjadi mendadak,
PENGERTIAN
lebih dari 24 jam dan disebabkan oleh faktor vaskuler.
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Stroke sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Gangguan sistem peredaran darah otak
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS Gejala Klinis :
Keluhan mendadak berupa:
a. Kelumpuhan anggota gerak satu sisi (hemiparesis)
b. Gangguan sensorik satu sisi tubuh
c. Hemianopia (buta mendadak)
d. Diplopia
e. Vertigo
f. Afasia
g. Disfagia
h. Disarthria
i. Ataksia
j. Kejang atau penurunan kesadaran

Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan tanda vital
1. Pernapasan
2. Nadi
3. Suhu
4. Tekanan darah harus diukur kanan dan kiri
d. Pemeriksaaan jantung paru
e. Pemeriksaan bruit karotis
f. Pemeriksaan abdomen
g. Pemeriksaan ekstremitas
h. Pemeriksaan neurologis
1. Kesadaran : kualitatif dan kuantitatif (Glassgow Coma
Scale = GCS)
2. Tanda rangsang meningeal : kaku kuduk, lasseque,
kernig, brudzinsky
3. Saraf kranialis: sering mengenai nervus VII, XII, IX
walaupun nervus kranialis lain bisa terkena
4. Motorik : kekuatan, tonus, refleks fisiologis, refleks
patologis
5. Sensorik
6. Pemeriksaan fungsi luhur
7. Pada pasien dengan kesadaran menurun, perlu
dilakukan pemeriksaan refleks batang otak:
- Refleks kornea
- Refleks pupil terhadap cahaya
- Refleks okulo sefalik
- Keadaan refleks respirasi
DIAGNOSA Diagnosis klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.
PEMERIKSAAN - DL
PENUNJANG - EKG
- Thorax foto
- CT Scan
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
a. Stabilisasi pasien dengan tindakan ABC.
b. Pertimbangkan intubasi jika kesadaran stupor atau koma
atau gagal nafas.
c. Pasang jalur infus IV dengan larutan NaCl 0,9% dengan
kecepatan 20 ml/
d. Berikan O2: 2-4 liter/menit via kanul hidung.
e. Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut.
f. Stroke serangan akut, segera rujuk ke RS untuk
mendapatkan lebih lanjut
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN VERTIGO

UPT. KESMAS PENANGANAN VERTIGO


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : H81
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
A 1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
VERTIGO

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Vertigo adalah persepsi yang salah dari gerakan seseorang atau
lingkungan sekitarnya. Persepsi gerakan bisa berupa:
- Vertigo vestibular adalah rasa berputar yang timbul pada
PENGERTIAN gangguan vestibular.
- Vertigo non vestibular adalah rasa goyang, melayang,
mengambang yang timbul pada gangguan sistem
proprioseptif atau sistem visual
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Vertigo sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Gangguan
GAMBARAN KLINIS a. Vertigo vestibular
Menimbulkan sensasi berputar, timbulnya episodik,
diprovokasi oleh gerakan kepala, bisa disertai rasa mual
atau muntah.
1. Vertigo vestibular perifer timbulnya lebih mendadak
setelah perubahan posisi kepala dengan rasa berputar
yang berat, disertai mual atau muntah dan keringat
dingin. Bisa disertai gangguan pendengaran berupa
tinitus, atau ketulian, dan tidak disertai gejala
neurologik fokal seperti hemiparesis, diplopia,
perioralparestesia, paresis fasialis.
2. Vertigo vestibular sentral timbulnya lebih lambat, tidak
terpengaruh oleh gerakan kepala. Rasa berputarnya
ringan, jarang disertai rasa mual dan muntah, tidak
disertai gangguan pendengaran. Keluhan dapat disertai
dengan gejala neurologik fokal seperti hemiparesis,
diplopia, perioralparestesia, paresis fasialis.
b. Vertigo non vestibular
Sensasi bukan berputar, melainkan rasa melayang, goyang,
berlangsung konstan atau kontinu, tidak disertai rasa mual
dan muntah, serangan biasanya dicetuskan oleh gerakan
objek sekitarnya seperti di tempat keramaian misalnya lalu
lintas macet.
DIAGNOSA Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan neurologis.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan etiologi.
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan
1. Pasien dilakukan latihan vestibular (vestibular exercise)
dengan metode brand Daroff.
Pasien duduk tegak di pinggir tempat tidur dengan kedua
tungkai tergantung, dengan kedua mata tertutup baringkan
tubuh dengan cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30
detik. Setelah itu duduk kembali. Setelah 30 detik, baringkan
dengan cepat ke sisi lain. Pertahankan selama 30 detik, lalu
duduk kembali. Lakukan latihan ini 3 kali pada pagi, siang
dan malam hari masing-masing diulang 5 kali serta
dilakukan selama 2 minggu atau 3 minggu dengan latihan
pagi dan sore hari.
2. Terapi simptomatik.
1. Antihistamin (dimenhidrinat, difenhidramin, meksilin,
siklisin)
a. Dimenhidrinat per oral atau parenteral (suntikan
intramuskular dan intravena), dengan dosis 25 mg –
50 mg (1 tablet), 4 kali sehari.
b. Difenhidramin HCl, dosis 25 mg (1 kapsul) – 50
mg, 4 kali sehari per oral.
c. Senyawa Betahistin (suatu analog histamin):
e. Betahistin Mesylate dengan dosis 12 mg, 3 kali
sehari per oral.
f. Betahistin HCl dengan dosis 8-24 mg, 3 kali
sehari. Maksimum 6 tablet dibagi dalam
beberapa dosis.
2. Kalsium Antagonis
Cinnarizine, dosis biasanya ialah 15-30 mg, 3 kali sehari
atau 1x75 mg sehari.

Kriteria Rujukan
1. Vertigo vestibular tipe sentral harus segera dirujuk.
2. Tidak terdapat perbaikan pada vertigo vestibular setelah
diterapi farmakologik dan non farmakologik.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN LIMFADENITIS

UPT. KESMAS PENANGANAN LIMFADENITIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : B70
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
LIMFADENITIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Limfadenitis adalah peradangan pada satu atau beberapa kelenjar
PENGERTIAN
getah bening.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Limfadenitis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
- Infeksi bakteri, virus, protozoa, riketsia atau jamur.
PENYEBAB
- Sekunder oleh karena penyakit lain
1. Pembengkakan kelenjar getah bening
2. Demam
3. Kehilangan nafsu makan
4. Keringat berlebihan
5. Nadi cepat
GAMBARAN KLINIS
6. Kelemahan
7. Nyeri tenggorok dan batuk bila disebabkan oleh infeksi
saluran pernapasan bagian atas
8. Nyeri sendi bila disebabkan oleh penyakit kolagen atau
penyakit serum (serum sickness)
Diagnosis Klinis
Diagnosa ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik.

DIAGNOSA Diagnosis Banding


a. Mumps
b. Kista Duktus Tiroglosus
c. Kista Dermoid
d. Hemangioma
PEMERIKSAAN Pemeriksaan skrining TB : BTA sputum, LED, mantoux test.
PENUNJANG Laboratorium : Darah perifer lengkap
Penatalaksanaan
r. Kompres hangat untuk membantu mengurangi rasa sakit
s. Tata laksana pembesaran KGB leher didasarkan kepada
PENATALAKSANAAN penyebabnya.
1. Penyebab oleh virus : dapat sembuh sendiri, observasi.
2. Penyebab oleh bakteri : adalah antibiotik oral selama 10
hari, golongan penicillin atau erythromycin.
3. Penyebab oleh mycobacterium tuberculosis : obat anti
tuberculosis.

Kriteria rujukan
1. Kegagalan untuk mengecil setelah 4-6 minggu dirujuk
untuk mencari penyebabnya (indikasi untuk dilaksanakan
biopsi kelenjar getah bening).
2. Biopsi dilakukan bila terdapat tanda dan gejala yang
mengarahkan kepada keganasan, KGB yang menetap atau
bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau
diagnosis belum dapat ditegakkan.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN TETANUS

UPT. KESMAS PENANGANAN TETANUS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : A35
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
TETANUS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Tetanus adalah penyakit pada sistem saraf yang disebabkan oleh
tetanospasmin. Tetanospasmin adalah neurotoksin yang
PENGERTIAN
dihasilkan oleh Clostridium tetani, ditandai dengan spasme tonik
persisten disertai dengan serangan yang jelas dan keras.
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Tetanus sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Clostridium tetani
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat,
trismus sampai kejang yang hebat. Manifestasi klinis tetanus
terdiri atas 4 macam
yaitu:
a. Tetanus lokal
Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka.
Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefalik
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa
inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah
kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus,
disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial.
Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi
GAMBARAN KLINIS tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum/generalisata
Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan
leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistotonus),
rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum
yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar,
suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat, Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti
oleh kekakuan dan spasme.

Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai
kejang yang hebat.
1. Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang
menetap.
2. Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus
dan disfungsi nervus kranial.
3. Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan
leher, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-
abduksi lengan serta ekstensi tungkai, kejang umum yang
dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara
dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
4. Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme
dan posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot
punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas
fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan
tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi
dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.
PEMERIKSAAN Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik.
PENUNJANG
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat
imunisasi.
Tingkat keparahan tetanus:

Kriteria Pattel Joag


1. Kriteria 1: rahang kaku, spasme terbatas ,disfagia dan
kekakuan otot tulang belakang.
2. Kriteria 2: Spasme, tanpa mempertimbangkan frekuensi
maupun derajat keparahan.
3. Kriteria 3: Masa inkubasi ≤ 7hari.
4. Kriteria 4: waktu onset ≤48 jam.
5. Kriteria 5: Peningkatan temperatur; rektal > 40oC), atau
aksila ( 37,6 ºC ).

Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi


Albleet’s :
1. Grade 1 (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada
DIAGNOSA penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada
disfagia.
2. Grade 2 (sedang)
Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau
sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan
takipneu.
3. Grade 3 (berat)
Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama
dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme
memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit
pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas
sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat.
4. Grade 4 (sangat berat)
Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat,
sering kali menyebabkan “autonomic storm”.

Diagnosis Banding
a. Meningoensefalitis
b. Poliomielitis
c. Rabies
d. Lesi orofaringeal
e. Tonsilitis berat
f. Peritonitis
g. Tetani, timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia
dimana kadar kalsium dan fosfat dalam serum rendah.
h. Keracunan Strychnine
i. Reaksi fenotiazine
Penatalaksanaan
a. Manajemen luka
Pasien tetanus yang diduga menjadi port de entry masuknya
kuman C.tetani harus mendapatkan perawatan luka. Luka
dapat menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka
yang tidak rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut:

Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus


> 6-8 jam < 6 jam
Kedalaman > 1 cm Superfisial < 1 cm
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi, Bentuknya linear, tepi tajam
atau hancur (irreguler)
Denervasi, iskemik Neurovaskular intak
Terinfeksi (purulen, Tidak infeksi
jaringan nekrotik)

1. Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan


debridemen.
2. TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih
dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT
dapat diberikan.
3. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang
lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan.
Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian Tig
PENATALAKSANAAN b. Terapi suportif, diet dan istirahat
c. Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
d. Antikonvulsan sesuai kebutuhan dan respon klinis.
Diazepam atau vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita
kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5mg/kgBB/kali i.v.
perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang
setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian diazepam per
oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari
diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240mg/hari.
e. Anti Tetanus Serum (ATS) dosis biasa 50.000 iu, diberikan
IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika
pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin
dapat disuntikkan di sekitar luka.
f. Antibiotika untuk eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of
choice: berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV
setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk pasien yang alergi
penisilin dapat diberikan tetrasiklin, 500 mg PO atau IV
setiap 6 jam selama 10 hari.
g. Cegah penyebaran racun lebih lanjut dengan eksplorasi luka
dan membersihkannya dengan H202 3%. Port d’entre lain
seperti OMSK atau gangren gigi juga harus dibersihkan
dahulu.

Kriteria Rujukan
1. Bila tidak terjadi perbaikan setelah penanganan pertama.
2. Terjadi komplikasi, seperti distres sistem pernapasan.
3. Rujukan ditujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan
sekunder yang memiliki dokter spesialis neurologi.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN MIGREN

UPT. KESMAS PENANGANAN MIGREN


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : G43.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
MIGREN

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Migren adalah suatu istilah yang digunakan untuk nyeri kepala
primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral
PENGERTIAN
yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan
depresi.
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Tetanus sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Vasodilatasi pembuluh darah di otak.
Keluhan
a. Nyeri hanya pada satu sisi kepala, nyeri moderat sampai
berat, namun penderita mungkin merasakan nyeri pada
kedua sisi kepala.
b. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk.
c. Rasa nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik.
d. Rasa nyerinya sedemikian rupa sehingga tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari.
e. Mual dengan atau tanpa muntah.
GAMBARAN KLINIS
f. Fotofobia atau fonofobia.
g. Sakit kepalanya mereda secara bertahap pada siang hari dan
setelah bangun tidur, kebanyakan pasien melaporkan
merasa lelah dan lemah setelah serangan.
h. Sekitar 60 % penderita melaporkan gejala prodormal,
seringkali terjadi beberapa jam atau beberapa hari sebelum
onset dimulai. Pasien melaporkan perubahan mood dan
tingkah laku dan bisa juga gejala psikologis, neurologis
atau otonom.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium tidak diperlukan, pemeriksaan
ini dilakukan jika ditemukan hal-hal, sebagai berikut:
1. Kelainan-kelainan struktural, metabolik dan penyebab
PEMERIKSAAN lain yang dapat menyerupai gejala migren.
PENUNJANG 2. Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit penyerta
yang dapat menyebabkan komplikasi.
3. Menentukan dasar pengobatan dan untuk
menyingkirkan kontraindikasi obat-obatan yang
diberikan.
b. Pencitraan (dilakukan di rumah sakit rujukan).
c. Neuroimaging diindikasikan pada hal-hal, sebagai berikut:
1. Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur
hidup penderita.
2. Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran
klinis pada migren.
3. Pemeriksaan neurologis yang abnormal.
4. Sakit kepala yang progresif atau persisten.
5. Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria
migren dengan aura atau hal-hal lain yang memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.
6. Defisit neurologis yang persisten.
7. Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan
berkaitan dengan gejala-gejala neurologis yang
kontralateral.
8. Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin.
9. Gejala klinis yang tidak biasa.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis dan
pemeriksaan fisik umum dan neurologis.

Kriteria Migren:
Nyeri kepala episodik dalam waktu 4-72 jam dengan gejala dua
dari nyeri kepala unilateral, berdenyut, bertambah berat dengan
gerakan, intensitas sedang sampai berat ditambah satu dari mual
DIAGNOSA atau muntah, fonopobia atau fotofobia.

Diagnosis Banding
a. Arteriovenous Malformations
b. Atypical Facial Pain
c. Cerebral Aneurysms
d. Childhood Migraine Variants
e. Chronic Paroxysmal Hemicrania
f. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Penatalaksanaan
1. Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari
stimulasi sensoris berlebihan.
2. Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang
dengan dikompres dingin.
3. Perubahan pola hidup, menghindari pemicu, berolahraga
secara teratur, dan hindari stres dan rokok.
4. Pengobatan Abortif:
- Obat spesifik: ergotamin tablet 1 mg kombinasi kafein,
dosis disesuaikan kondisi penyakit.
PENATALAKSANAAN
- Obat nonspesifik: parasetamol 500 mg atau ibuprofen 400
mg
- Obat penunjang: Domperidon atau metoklopramid tablet
- Obat profilaksis (keadaan tertentu): propanolol 10 mg
tiap 8-12 jam atau asam valproat 500 mg tiap 12 jam.

Kriteria Rujukan
- Pasien perlu dirujuk jika migren terus berlanjut dan tidak
hilang dengan pengobatan analgesik non-spesifik. Pasien
dirujuk ke layanan sekunder (dokter spesialis saraf).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN BELLS’ PALSY

UPT. KESMAS PENANGANAN BELLS’ PALSY


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : G51.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
BELLS’ PALSY TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Bells’palsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan
penyebab tersering dari paralisis fasialis unilateral. Bells’ palsy
PENGERTIAN merupakan kejadian akut, unilateral, paralisis saraf fasial type
LMN (perifer), yang secara gradual mengalami perbaikan pada
80-90% kasus.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Bells’ palsy sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
Penyebab Bells’ palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk
PENYEBAB polineuritis dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan
etiologi iskemik.
Pasien datang dengan keluhan:
a. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset
akut (periode 48 jam)
c. Nyeri auricular posterior
d. Penurunan produksi air mata
e. Hiperakusis
f. Gangguan pengecapan
g. Otalgia

Gejala awal:
a. Kelumpuhan muskulus fasialis
b. Tidak mampu menutup mata
GAMBARAN KLINIS
c. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
d. Perubahan pengecapan (57%)
e. Hiperakusis (30%)
f. Kesemutan pada dagu dan mulut
h. Epiphora
i. Nyeri ocular
j. Penglihatan kabur

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung dan
mulut harus dilakukan pada semua pasien dengan paralisis fasial.
a. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N
VII) melibatkan kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah).
Pada lesi UMN (lesi supra nuclear di atas nukleus pons), 1/3
wajah bagian atas tidak mengalami kelumpuhan
M.orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi bilateral
pada level batang otak.
b. Inspeksi awal pasien memperlihatkan lipatan datar pada dahi
dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.
c. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi
dan lateralisasi pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan.
d. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi
terlihat datar.
e. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi
yang lumpuh.

Komplikasi okular awal:


a. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
b. Corneal exposure
c. Retraksi kelopak mata atas
d. Penurunan sekresi air mata
e. Hilangnya lipatan nasolabial
f. Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)

Manifestasi okular lanjut


a. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura
palpebral.
b. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
c. Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat
mengunyah).
d. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini
terjadi karena penurunan fungsi orbicularis okuli dalam
mentransport air mata.
PEMERIKSAAN Periksaan darah lengkap, glukosa darah
PENUNJANG
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
umum dan neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik,
serebelum). Bells’ palsy adalah diagnosis eksklusi.

Diagnosis Banding
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis
banding, yaitu:
a. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle.
b. Otitis media akut atau kronik.
DIAGNOSA c. Amiloidosis.
d. Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis.
e. Sindroma autoimun.
f. Botulismus.
g. Karsinomatosis.
h. Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli.
i. Cholesteatoma telinga tengah.
j. Malformasi congenital.
k. Schwannoma N. Fasialis.
l. Infeksi ganglion genikulatum

Penatalaksanaan
Karena prognosis pasien dengan Bells’ palsy umumnya baik,
PENATALAKSANAAN
pengobatan masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah
memperbaiki fungsi saraf VII (saraf fasialis) dan menurunkan
kerusakan saraf.
Pengobatan dipertimbangkan untuk pasien dalam 1-4 hari onset.
a. Pengobatan inisial
1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif
untuk pengobatan Bells’ palsy (American Academy
Neurology/AAN, 2011).
2. Steroid : Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau
60 mg/day selama 6 hari, diikuti penurunan bertahap total
selama 10 hari.
3. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5
kali sehari selama 10 hari. Jika virus varicella zoster
dicurigai, dosis tinggi 800 mg oral 5 kali/hari.
b. Lindungi mata
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata
pada siang hari) dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan
dan menurunkan sequele.

Kriteria Rujukan
a. Bila dicurigai kelainan supranuklear
b. Tidak menunjukkan perbaikan
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN TENSION HEADACHE

UPT. KESMAS PENANGANAN TENSION HEADACHE


TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
PROSEDUR TETAP DITETAPKAN
PENANGANAN KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
TENSION TAMPAKSIRING II
TERBIT
HEADACHE

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Tension Headache atau Tension Type Headache (TTH) atau
nyeri kepala tipe tegang adalah bentuk sakit kepala yang paling
PENGERTIAN
sering dijumpai dan sering dihubungkan dengan jangka waktu
dan peningkatan stres.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Tension Headache sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
Pasien datang dengan keluhan nyeri yang tersebar secara difus
dan sifat
nyerinya mulai dari ringan hingga sedang.Nyeri kepala tegang
otot biasanya
berlangsung selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri bisa
dirasakan kadang-kadang atau terus menerus. Nyeri pada
awalnya dirasakan pasien
pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke kepala bagian
belakang
selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini
jugadapat menjalar
ke bahu. Nyeri kepala dirasakan seperti kepala berat, pegal, rasa
GAMBARAN KLINIS kencang
pada daerah bitemporal dan bioksipital, atau seperti diikat di
sekeliling kepala.
Nyeri kepala tipe ini tidak berdenyut.
Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah tetapi
anoreksia
mungkin saja terjadi. Gejala lain yang juga dapat ditemukan
seperti insomnia
(gangguan tidur yang sering terbangun atau bangun dini hari),
nafas pendek,
konstipasi, berat badan menurun, palpitasi dan gangguan haid.

PEMERIKSAAN Tidak diperlukan


PENUNJANG
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang
normal. Anamnesis yang mendukung adalah adanya faktor psikis
yang
melatar belakangi dan karakteristik gejala nyeri kepala (tipe,
lokasi, frekuensi
dan durasi nyeri) harus jelas.
Klasifikasi
Menurut lama berlangsungnya, nyeri kepala tegang otot ini
dibagi
DIAGNOSA
menjadinyeri kepala episodik jika berlangsungnya kurang dari 15
hari dengan
serangan yang terjadi kurang dari1 hari perbulan (12 hari dalam
1 tahun).
Apabila nyeri kepala tegang otot tersebut berlangsung lebih dari
15 hari
selama 6 bulan terakhir dikatakan nyeri kepala tegang otot
kronis.
Diagnosis Banding
a. Migren
b. Cluster-type hedache (nyeri kepala kluster)
Penatalaksanaan
a. Pembinaan hubungan empati awal yang hangat antara dokter
dan
pasien merupakan langkah pertama yang sangat penting untuk
keberhasilan pengobatan. Penjelasan dokter yang meyakinkan
pasien
bahwa tidak ditemukan kelainan fisik dalam rongga kepala atau
otaknya dapat menghilangkan rasa takut akan adanya tumor otak
atau
penyakit intrakranial lainnya. Penilaian adanya kecemasan atau
depresi
harus segera dilakukan. Sebagian pasien menerima bahwa
kepalanya
berkaitan dengan penyakit depresinya dan bersedia ikut program
pengobatan sedangkan pasien lain berusaha menyangkalnya.
Oleh
sebab itu, pengobatan harus ditujukan kepada penyakit yang
mendasari
PENATALAKSANAAN
dengan obat anti cemas atau anti depresi serta modifikasi pola
hidup
yang salah, disamping pengobatan nyeri kepalanya.
b. Saat nyeri timbul dapat diberikan beberapa obat untuk
menghentikan
atau mengurangi sakit yang dirasakan saat serangan muncul.
Penghilang sakit yang sering digunakan adalah: acetaminophen
dan
NSAID seperti aspirin, ibuprofen, naproxen,dan ketoprofen.
Pengobatan
kombinasi antara acetaminophen atau aspirin dengan kafein atau
obat
sedatif biasa digunakan bersamaan. Cara ini lebih efektif untuk
menghilangkan sakitnya, tetapi jangan digunakan lebih dari 2
hari
dalam seminggu dan penggunaannya harus diawasi oleh dokter.
d. Pemberian obat-obatan antidepresi yaitu amitriptilin
Kriteria Rujukan
a. Bila nyeri kepala tidak membaik maka dirujuk ke fasilitas
pelayanan
kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis saraf.
b. Bila depresi berat dengan kemungkinan bunuh diri maka
pasien harus
dirujuk ke pelayanan sekunder yang memiliki dokter
spesialis jiwa.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN INSOMNIA

UPT. KESMAS PENANGANAN INSOMNIA


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 4A ICD X : G47.0
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
½
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP
KEPALA UPT. KESMAS
PENANGANAN TANGGAL
TAMPAKSIRING II
INSOMNIA TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Insomnia adalah gejala atau gangguan dalam tidur, dapat berupa
PENGERTIAN kesulitan berulang untuk mencapai tidur, atau mempertahankan
tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Tension Headache sesuai
TUJUAN
standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
Keluhan
Sulit masuk tidur, sering terbangun di malam hari atau
mempertahankan
tidur yang optimal, atau kualitas tidur yang buruk.
GAMBARAN KLINIS
Pemeriksaan Fisik
Pada status generalis, pasien tampak lelah dan mata cekung. Bila
terdapat
gangguan organik, ditemukan kelainan pada organ.
PEMERIKSAAN Pemeriksaan spesifik tidak diperlukan.
PENUNJANG
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis.
Pedoman Diagnosis
a. Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan
tidur
atau kualitas tidur yang buruk
b. Gangguan terjadi minimal tiga kali seminggu selama minimal
satu
bulan.
DIAGNOSA
c. Adanya preokupasi tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan
terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur
menyebabkan penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi
fungsi
dalam sosial dan pekerjaan.
Diagnosis Banding
a. Gangguan psikiatri.
b. Gangguan medik umum.
c. Gangguan neurologis.
d. Gangguan lingkungan.
e. Gangguan ritme sirkadian.
Penatalaksanaan
a. Pasien diberikan penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang
dimilikinya
dan pentingnya untuk memulai pola hidup yang sehat dan
mengatasi
masalah yang menyebabkan terjadinya insomnia.
b. Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan Lorazepam 0,5 – 2
mg atau
Diazepam 2 - 5 mg pada malam hari. Pada orang yang berusia
lanjut
atau mengalami gangguan medik umum diberikan dosis minimal
efektif.
Konseling dan Edukasi
PENATALAKSANAAN
Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga agar mereka
dapat
memahami tentang insomnia dan dapat menghindari pemicu
terjadinya
insomnia.
Kriteria Rujukan
Apabila setelah 2 minggu pengobatan tidak menunjukkan
perbaikan, atau
apabila terjadi perburukan walaupun belum sampai 2 minggu,
pasien dirujuk
ke fasilitas kesehatan sekunder yang memiliki dokter spesialis
kedokteran
jiwa.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN EPISTAKSIS

UPT. KESMAS PENANGANAN EPISTAKSIS


TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
EPISTAKSIS

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang
PENGERTIAN
hidung, rongga hidung atau nasofaring.
Sebagai acuan tatalaksana penderita Epistaksis sesuai standar
TUJUAN
terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB
Keluhan
a. Pasien datang dengan keluhan keluar darah dari hidung atau
riwayat
keluar darah dari hidung.
b. Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari
bagian depan
dan belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung
tempat
awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang
terbanyak
mengeluarkan darah.
c. Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai
banyaknya
perdarahan, frekuensi, lamanya perdarahan. Penting
mendapatkan
GAMBARAN KLINIS
riwayat trauma terperinci. Riwayat pengobatan (misal : aspirin)
harus
dicari. Riwayat penyakit sistemik seperti riwayat alergi pada
hidung,
hipertensi, penyakit gangguan pembekuan darah, riwayat
perdarahan
sebelumnya, dan riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga.

Pemeriksaan Fisik
a. Rinoskopi anterior:
Pemeriksaan harus dilakukan secara berurutan dari anterior ke
posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral
hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat untuk
mengetahui sumber perdarahan.
e. Rinoskopi posterior:
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada
pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk
menyingkirkan neoplasma.
c. Pengukuran tekanan darah:
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis
hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis posterior yang
hebat
dan sering berulang.
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan
pemeriksaan penunjang bila diperlukan.
Klasifikasi
a. Epistaksis Anterior
Epistaksis anterior paling sering berasal dari Pleksus
Kiesselbach, yang
merupakan sumber perdarahan paling sering dijumpai pada anak-
anak.
Selain itu juga dapat berasal dari Arteri Ethmoidalis Anterior.
Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan dapat
dikendalikan
dengan tindakan sederhana.
b. Epistaksis Posterior
DIAGNOSA Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari Arteri
Sfenopalatina
dan Arteri Ethmoidalis Posterior. Epistaksis posterior sering
terjadi pada
orang dewasa yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau
penyakit
kardiovaskuler. Perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti
spontan.
Diagnosis Banding
Perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah mengalir
keluar dari
hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah,
perdarahan di
basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus
sphenoid ataupun
tuba eustachius.
Penatalaksanaan
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu
menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya
epistaksis.
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam
posisi
duduk kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok,
PENATALAKSANAAN
pasien
bisa berbaring dengan kepala dimiringkan.
b. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan,
perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan,
kemudian
cuping hidung ditekan ke arah septum selama 3-5 menit (metode
Trotter).
c. Bila perdarahan berhenti, dengan spekulum hidung dibuka dan
dengan
alat pengisap (suction) dibersihkan semua kotoran dalam hidung
baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku.
d. Bila perdarahan tidak berhenti, kapas dimasukkan ke dalam
hidung
yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu 2 cc larutan
pantokain
2% atau 2 cc larutan lidokain 2% yang ditetesi 0,2 cc larutan
adrenalin
1/1000. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan
dapat
berhenti sementara untuk mencari sumber perdarahan. Sesudah
10
sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan
evaluasi.
e. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat
dengan
jelas, dilakukan kaustik dengan lidi kapas yang dibasahi larutan
nitrasargenti 20 - 30% atau asam trikloroasetat 10%. Sesudahnya
area
tersebut diberi salep untuk mukosa dengan antibiotik.
f. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain
kasa
yang diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika.
Dapat
juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga
menyerupai pita
dengan lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari
dasar
sampai ke puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus
menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama
2x
24 jam. Selama 2 hari dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
mencari
faktor penyebab epistaksis. Selama pemakaian tampon, diberikan
antibiotik sistemik dan analgetik.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

PENANGANAN RABIES

UPT. KESMAS PENANGANAN RABIES


TAMPAKSIRING II Kompetensi : 3B ICD X : A82.9
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/4
KESMAS/2014
DITETAPKAN
PROSEDUR TETAP KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PENANGANAN TAMPAKSIRING II
TERBIT
RABIES

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
Rabies adalah penyakit infeksi akut sistem saraf pusat yang
disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus,
PENGERTIAN family Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui gigitan
HRP / hewan yang terinfeksi (anjing, monyet, kucing, serigala,
kelelawar)
TUJUAN Sebagai acuan tatalaksana penderita Rabies sesuai standar terapi
KEBIJAKAN Penerapan standar terapi di Puskesmas
PENYEBAB Virus rabies genus Lyssa-virus
Anamnesis penderita terdapat riwayat tergigit, tercakar atau
kontak dengan anjing, kucing, atau binatang lainnya yang:
a. Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan tersangka).
b. Mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan dibunuh).
c. Tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh, lari, dan
sebagainya).
d. Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan, dan
lain-lain).
Masa inkubasi rabies 3-4 bulan (95%), bervariasi antara 7 hari-7
tahun. Lamanya masa inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan
besarnya luka gigitan, dan lokasi luka gigitan (jauh dekatnya ke
sistem saraf pusat, derajat patogenitas virus dan persarafan
daerah luka gigitan).
GAMBARAN KLINIS
Keluhan
g. Stadium prodromal
Gejala awal berupa demam, malaise, mual dan rasa nyeri di
tenggorokan selama beberapa hari.
h. Stadium sensoris
Penderita merasa nyeri, merasa panas disertai kesemutan
pada tempat bekas luka cemas dan reaksi yang berlebihan
terhadap rangsang sensoris.
i. Stadium eksitasi
Tonus otot dan aktivitas simpatis mningkat, timbul gejala
hiperhidrosis, hipersalivasi, hiperlakrimasi, dan pupil
dilatasi. Hidrofobia khas. Pada stadium ini dapat terjadi
apneu, sianosis, konvulsan, dan takikardia. Emosi labil,
responsif. Gejala eksitasi terus berlangsung sampai
penderita meninggal.
j. Stadium paralisis
Paresis otot yang terjadi secara progresif karena gangguan
pada medulla spinalis.

Pemeriksaan Fisik
a. Pada saat pemeriksaan, luka gigitan mungkin sudah
sembuh bahkan mungkin telah dilupakan.
b. Pada pemeriksaan dapat ditemukan gatal dan parestesia
pada luka bekas gigitan yang sudah sembuh (50%),
mioedema (menetap selama perjalanan penyakit).
c. Jika sudah terjadi disfungsi batang otak maka terdapat:
hiperventilasi, hipoksia, hipersalivasi, kejang, disfungsi
saraf otonom, sindroma abnormalitas ADH,
paralitik/paralisis flaksid.
d. Pada stadium lanjut dapat berakibat koma dan kematian.
e. Tanda patognomonis
g. Encephalitis Rabies: agitasi, kesadaran fluktuatif,
demam tinggi yang persisten, nyeri pada faring
terkadang seperti rasa tercekik (inspiratoris spasme),
hipersalivasi, kejang, hidrofobia dan aerofobia.
PEMERIKSAAN Tidak dikerjakan di fasilitas pelayanan primer
PENUNJANG
Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan dengan riwayat gigitan (+) dan hewan
yang menggigit mati dalam 1 minggu.
- Gejala fase awal tidak khas: gejala flu, malaise, anoreksia,
kadang ditemukan parestesia pada daerah gigitan.
- Gejala lanjutan: agitasi, kesadaran fluktuatif, demam tinggi
yang persisten, nyeri pada faring terkadang seperti rasa
tercekik (inspiratoris spasme), hipersalivasi, kejang,
DIAGNOSA hidrofobia dan aerofobia.

Diagnosis Banding
1. Tetanus.
2. Ensefalitis.
3. lntoksikasi obat-obat.
4. Japanese encephalitis.
5. Herpes simplex.
6. Ensefalitis post-vaksinasi.
Penatalaksanaan
1. Isolasi pasien penting segera setelah diagnosis ditegakkan
untuk menghindari rangsangan-rangsangan yang bisa
menimbulkan spasme otot ataupun untuk mencegah
penularan.
2. Fase awal:
d. Luka gigitan harus segera dicuci dengan air sabun
(detergen) 10 – 15 menit kemudian dibilas dengan air
bersih, dilakukan debridement dan diberikan
PENATALAKSANAAN
desinfektan seperti alkohol 40-70%, atau Betadin.
e. Jika terkena selaput lendir seperti mata, hidung atau
mulut, maka cucilah kawasan tersebut dengan air lebih
lama
f. Luka gigitan tidak dibenarkan untuk dijahit, kecuali
jahitan situasi.
3. Fase lanjut: tidak ada terapi untuk penderita rabies yang
sudah menunjukkan gejala rabies, penanganan hanya
berupa tindakan suportif dalam penanganan gagal jantung
dan gagal nafas.
4. Indikasi pemberian Vaksin Anti Rabies.
d. Luka risiko tinggi, yaitu jilatan/luka pada mukosa, luka
diatas daerah bahu (muka, kepala, leher), luka pada jari
tangan/kaki, genetalia, luka yang lebar/dalam dan luka
yang banyak (multipel).
– HPR Positif rabies (hasil pemeriksaan otak hewan
tersangka).
– HPR mati dalam waktu 10 hari sejak menggigit bukan
dibunuh).
– HPR tak dapat diobservasi setelah menggigit (dibunuh,
lari, dan sebagainya).
– Tersangka rabies (hewan berubah sifat, malas makan,
dan lain-lain).
5. Dosis dan cara pemberiannya Vaksin Anti Rabies untuk
kasus gigitan adalah
e. Dosis : 0,5 ml dengan 3 kali pemberian sebanyak 4
dosis yaitu hari ke 0 (dua kali pemberian sekaligus),
hari ke 7 satu kali pemberian dan hari ke 21 satu kali
pemberian (dosis anak dan dewasa sama)
f. Cara pemberian : VAR disuntikkan secara intra
muskular (im) didaerah deltoideus / lengan atas kanan
dan kiri.
g. Apabila luka gigitan termasuk risiko tinggi maka
diberikan VAR bersamaan dengan SAR sesudah
digigit ; cara pemberiannya sama diatas. Diberikan
VAR ulangan sebanyak 1 dosis 0,5 ml pada hari ke 90.
6. Indikasi pemberian Serum Anti Rabies (SAR :
- Luka gigitan yang beresiko tinggi dan HPR positif
Rabies
7. Dosis dan cara pemberian Serum Anti Rabies (SAR)
- Serum heterolog ( Kuda ), mempunyai kemasan bentuk
vial 20 ml ( 1ml=100 IU). Cara pemberian ;
disuntikkan secara infiltrasi disekitar luka sebanyak
mungkin, sisanya disuntikkan intra muscular. Dosis 40
Iu/KgBB diberikan bersamaan dengan pemberian VAR
hari ke 0, dengan melakukan skin test terlebih dahulu.
- Serum homolog, mempunyai kemasan bentuk vial 2 ml
( 1 ml= 150 IU). Cara pemberian ; disuntikkan secara
infiltrasi disekitar luka sebanyak mungkin, sisanya
disuntikkan intra muscular. Dosis 20 Iu/kgBB
diberikan bersamaan dengan pemberian VAR hari ke
0, dengan sebelumnya dilakukan skin test.
8. Untuk kontak (dengan air liur atau saliva hewan
tersangka/hewan rabies atau penderita rabies), tetapi tidak
ada luka, kontak tak langsung, tidak ada kontak, maka tidak
perlu diberikan pengobatan VAR maupun SAR.
9. Bila seorang pasien yang telah divaksinasi dengan Vaksin
Anti Rabies secara komplit dengan VPRV dan dalam
jangka waktu 3 bulan setelah divaksinasi digigit lagi oleh
anjing, kucing, kera maupun hewan lain yang positif rabies,
maka pasien tadi tak perlu divaksinasi lagi : sedangkan jika
digigit HPR tersangka rabies lagi antara 3 bulan hingga 1
tahun cukup diberi VAR 1 kali pada hari ke – 0. Sedangkan
jika telah divaksinasi 1 tahun atau lebih dianggap penderita
baru, dan diberikan VAR lengkap.
10. Perlu dipertimbangkan pemberian anti biotik untuk
mencegah infeksi dan pemberian analgetik, sesuai indikasi.
Kriteria Rujukan
1. Penderita rabies yang sudah menunjukkan gejala rabies.
2. Dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan sekunder yang
memiliki dokter spesialis neurolog.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PENATALAKSANAAN
DAFTAR PUSTAKA
PEMERINTAH KABUPATEN GIANYAR
DINAS KESEHATAN
UPT. KESEHATAN MASYARAKAT TAMPAKSIRING II
Jln. DR. Ir. Sukarno, Pejeng – Tampaksiring Telp. 0361 981847

UPT. KESMAS
TAMPAKSIRING II Kompetensi : ICD X :
NO. DOKUMEN
NO. REVISI HALAMAN
/ UPT.
1/2
KESMAS/2014
DITETAPKAN
KEPALA UPT. KESMAS
TANGGAL
PROSEDUR TETAP TAMPAKSIRING II
TERBIT

31 MEI 2014
dr. Arif Kusworo
NIP : 196709192002121007
PENGERTIAN
TUJUAN
KEBIJAKAN
PENYEBAB
GAMBARAN KLINIS
DIAGNOSA
PEMERIKSAAN
PENUNJANG
PENATALAKSANAAN
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5
DAFTAR PUSTAKA Tahun 2014 Tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer

Anda mungkin juga menyukai