Anda di halaman 1dari 19

Clinical Science Section

Ureterolitiasis

Oleh:

Eko Setiawan 1840312465


Ahmad Iqram 1840312403

Preseptor :
dr. Peri Eriad Yunir, Sp.U

BAGIAN ILMU BEDAH RSUP DR. M.DJAMIL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2019

0
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah clinical
science section ini dengan judul “ureterolitiasis”.
Penulis berharap semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu. Semoga
makalah clinical science section ini dapat memberikan sumbangan dan manfaat
kepada dunia ilmu pengetahuan.

Padang, 14 Agustus 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar 1
Daftar Isi 2
Daftar Gambar 3
Daftar Istilah 4
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 5
1.2 Batasan Masalah 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan 5
1.4 Matode Penulisan 5
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Urinarius 6
2.2 Anatomi Ureter 6
2.3 Teori Pembentukan Batu 8
2.3.1 Teori Presipitasi 8
2.3.2 Matrix Core 8
2.4 Jenis dan Komposisi Batu 8
2.4.1 Batu Kalsium 9
2.4.2 Batu Struvit 9
2.4.3 Batu Asam Urat 9
2.4.4 Batu Lainnya (Sistin, Xantin, Triamteren, Silikat) 10
2.5 Ureterolitiasis 10
2.5.1 Epidemiologi 10
2.5.2 Etiologi dan Faktor Risiko 11
2.5.3 Manifestasi Klinis 11
2.5.4 Pemeriksaan Laboratorium 12
2.5.5 Pemeriksaan Pencitraan 13
2.5.6 Tata Laksana 14
2.5.7 Prognosis 17
2.5.8 Pencegahan 17
Daftar Pustaka 18

2
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Anatomi Ureter


Gambar 2.2 : Jenis Batu Beserta Radiodensitasnya

3
DAFTAR ISTILAH

BNO : Blass Nier Overzicht


EHL : Electrohydraulic Lithotripsy
ISK : Infeksi Saluran Kemih
IVP : Intravenous Pyeolography
MAP : Magnesium-Amonium-Fosfat
NSAIDs : Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs
PNL : Percutaneous Nephrolithotripsy
SWL : Shock Wave Lithotripsy
UPJ : Ureteropelvic Junction
URS : Ureteroskopi
USG : Ultrasonografi

4
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistem
kalik ginjal, yang turun ke ureter. Terdapat tiga penyempitan sepanjang ureter
yang biasanya menjadi tempat berhentinya batu yang turun dari kalik yaitu
ureteropelvic junction (UPJ), persilangan ureter dengan vasa iliaka, dan muara
ureter di dinding buli.
Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran kemih pada
umumnya yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium oksalat
monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sebagian kecil terdiri dari batu asam
urat, batu struvit, dan batu sistin.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penanganan ureterolitiasis antara lain
letak batu, ukuran batu, adanya komplikasi, dan komposisi batu. Hal ini yang
dapat menentukan penanganan yang akan dilakukan, misalnya cukup di lakukan
observasi, menunggu batu keluar spontan, atau melakukan intervensi aktif.
1.2 Batasan Masalah
Makalah ini membahas definisi, epidemiologi, etiologi, gejala klinis,
diagnosis, dan tatalaksana dari Benign Prostatic Hyperplasia.
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Makalah ini bertujuan sebagai bahan bacaan tentang definisi,
epidemiologi, etiologi, gejala klinis, diagnosis, dan tatalaksana Benign Prostatic
Hyperplasia.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah ini yaitu tinjauan kepustakaan yang merujuk
kepada beberapa literatur.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistem Urinarius
Sistem urinarius merupakan sistem yang penting untuk membuang sisa
metabolisme yang dihasilkan tubuh terutama senyawa nitrogen seperti urea dan
kreatinin. Sisa metabolisme ini disekresikan ginjal dalam bentuk urin. Urin
kemudian akan turun melewati ureter menuju buli-buli untuk disimpan sementara
dan akhirnya dikeluarkan melalui uretra.
Susunan sistem urinarius terdiri dari: dua ginjal yang menghasilkan urin,
dua ureter yang membawa urin dari ginjal ke buli-buli, satu buli-buli tempat urin
dikumpulkan, dan satu uretra dimana urin dikeluarkan dari buli-buli.
2.1 Anatomi Ureter
Ureter berjalan distal dari pelvis renalis di sepanjang muskulus psoas
ruang retroperitonium sebelum menyilang di percabangan arteria iliaka komunis
di apertura pelvis superior, melintas di bawah arteria uterina pada wanita serta vas
deferen pada pria dan kemudian menyatu dengan buli-buli pada bagian posterior-
inferiornya. Terdapat tiga tempat penyempitan anatomi ureter, dimana batu
mungkin dapat tertahan yaitu di pelviureteric junction, tempat penyilangan ureter
dengan vasa iliaka, dan ureterovesical junction.1
Secara bedah, ureter dibagi menjadi dua bagian, yaitu: ureter pars
abdominalis, mulai dari pelvis renalis sampai menyilang di vasa iliaka; dan ureter
pars pelvika, mulai dari persilangan vasa iliaka sampai masuk ke buli-buli. Secara
radiologis, ureter dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: ureter sepertiga proksimal,
mulai dari pelvis renalis sampai batas atas sakrum; ureter sepertiga medial, mulai
dari batas atas sakrum sampai batas bawah sakrum; dan ureter sepertiga distal,
mulai dari batas bawah sakrum sampai masuk ke buli-buli.2
Ureter terdiri dari tiga lapisan, yaitu: lapisan adventisia, lapisan
muskularis, dan lapisan mukosa. Lapisan adventisia terdiri dari serat kolagen yang
membujur. Lapisan adventisia bersama dengan selubung ureter luar melekat
secara longgar pada lapisan muskularis yang mendasarinya, memungkinkan
aktivitas peristaltik bebas. Peristaltik ureter tidak bergantung pada input neuron.
Input neuronal mungkin hanya memiliki fungsi modulasi pada peristaltik ureter.3

6
Pengisian urin pada ureter merupakan proses pasif. Gerakan peristaltik
pelvis ginjal meneruskan urin dari ureter menuju buli-buli, melawan tahanan pada
hubungan ureterovesical junction, dan mencegah terjadinya refluks. Sistem
perdarahan ureter bersifat segmental dan berasal dari pembuluh arteri ginjal,
gonad, dan buli-buli dengan hubungan kaya kolateral sehingga umumnya
pendarahannya tidak terancam pada tindak bedah ureter.
Pelvis renalis dan ureter mengirimkan sinyal saraf aferan ke medula
spinalis segmen T11-T12 dan L1-L2. Pada kolik ginjal, gerakan peristaltik yang
kuat di sepanjang ureter sebagai usaha mendorong batu ke depan. Spasme otot
polos menyebabkan nyeri kolik hebat dan dialihkan ke kulit yang juga mendapat
persarafan oleh segmen medula spinalis yang sama. Anatomi kelenjar prostat
ditampilkan pada gambar berikut.4

Gambar 2.1 Anatomi Ureter

7
2.3 Teori Pembentukan Batu
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran urinarius terutama
pada tempat tempat yang sering mengalami hambatan aliran urine (stasis), yaitu
pada sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada
pelvocalyces (stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis
seperti pada benign prostatic hyperplasia, striktura, dan buli-buli neurogenik
merupakan keadaan-keadaan yang memudahkan terjadinya pembentukan batu.2
2.3.1 Teori Presipitasi
Batu terdiri atas kristal-kristal yang disusun oleh bahan-bahan organik
maupun anorganik yang terdapat dalam urine. Kristal-kristal ini tetap telarut
dalam urine jika tidak ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan terjadinya
presipitasi kristal. Kristal-kristal yang saling mengadakan presipitasi membentuk
inti batu/ nukleasi yang kemudian akan mengadakan agregasi dan menarik bahan-
bahan lain sehingga menjadi kristal yang lebih besar. Agregat kristal ini masih
rapuh dan belum cukup mampu membuat buntu atau sumbatan saluran urinarius.2
Agregat kristal menempel pada epitel saluran urinarius atau membentuk
retensi kristal, dan dari sini bahan-bahan lain diendapkan pada agregat tersebut
sehingga membentuk batu yang cukup besar untuk menyumbat saluran urinarius.2
2.3.2 Matrix Core
Kondisi urine dipngaruhi oleh suhu, pH, adanya koloid, konsentrasi solute,
laju aliran, atau adanya korpus alienum di dalam saluran urinarius yang bertindak
sebagai inti batu. Lebih dari 80% batu saluran urinarius terdiri atas batu kalsium.
Meskipun patogenesis pembentukan batu hampir sama, tetapi suasana di dalam
saluran urinarius yang memungkinkan terbentuknya batu tidak sama. Batu asam
urat mudah terbentuk dalam suasana asam, sementara batu magnesium
ammonium fosfat mudah terbentuk dalam suasana basa.3
2.4 Jenis dan Komposisi Batu
Batu saluran urinarius pada umumnya mengandung unsur kalsium oksalat
atau kalsium fosfat (75%), magnesium ammonium fosfat (15%), asam urat (7%),
sistin (2%), xanthin, silikat dan senyawa lainnya (1%). Data mengenai kandungan
atau komposisi batu sangat penting untuk pencegahan timbulnya batu yang
residif.2

8
2.4.1 Batu Kalsium
Kandungan batu ini adalah kalsium oksalat, kalsium fosfat, atau campuran
keduanya. Faktor yang meningkatkan terjadinya batu oksalat yaitu: hiperkalsiuria
(kalsium urin melebihi 250-300 mg/ 24 jam); hiperoksaluria (peningkatan
ekskresi oksalat melebihi 45 g/ hari); hiperurikosuria (asam urat dalam urin
melebihi 850 mg/ 24 jam); hipositraturia (ikatan sitrat dengan kalsium dapat
mencegah ikatan kalsium dan fosfat); hipomagnesuria (magnesium sebagai
penghambat timbulnya batu kalsium).
2.4.2 Batu Struvit
Pembentukan batu ini disebabkan oleh adanya infeksi saluran urinarius.
Kuman penyebab infeksi ini adalah kuman golongan pemecah urea atau urea
splitter yang dapat menghasilkan enzim urease dan mengubah urin menjadi
suasana basa melalui hidrolisis urea menjadi amoniak.
Suasana basa ini memudahkan garam-garam magnesium, amonium, fosfat
dan karbonat untuk membentuk batu magnesium-amonium-fosfat (MAP) dan
karbonat apatit. Kuman pemecah urea di antaranya adalah Proteus sp,
Klebsiella serratia, Enterobacter, Pseudomonas, dan Staphylococcus.
2.4.3 Batu Asam Urat
Penyakit batu asam urat banyak diderita oleh pasien gout,
mieloproliferatif, mengkonsumsi obat terapi kanker, urikosurik (sulfinpirazon,
thiazid, salisilat). Selain itu, obesitas, peminum alkohol, dan diet tinggi protein
juga memiliki peluang besar untuk menderita penyakit ini.
Sumber asam urat berasal dari diet yang mengandung purin dan
metabolisme endogen di dalam tubuh. Degradasi purin di dalam tubuh melalui
inosinat diubah menjadi hipoxantin. Dengan bantuan enzim xantin oksidase,
hipoxantin diubah menjadi xantin yang akhirnya diubah menjadi asam urat. Asam
urat lalu diekskresikan ke dalam urin dalam bentuk asam urat bebas dan garam
urat yang sering berikatan dengan natrium membentuk natrium urat. Natrium urat
lebih mudah larut di dalam air dibandingkan asam urat bebas, sehingga tidak
mengadakan kristalisasi di dalam urin. Asam urat bebas relatif tidak larut dalam
urin, sehingga pada keadaan tertentu mudah membentuk kristal asam urat, dan
selanjutnya membentuk batu asam urat. Faktor yang menyebabkan terbentuknya

9
batu asam urat adalah urin yang terlalu asam (pH < 6), volume urin sedikit (< 2 L/
hari), dehidrasi, hiperurikosuria.
Ukuran batu asam urat bervariasi dari kecil hingga besar membentuk
staghorn stone yang mengisi seluruh pelvocalyces ginjal. Tidak seperti batu
kalsium yang bergerigi, batu asam urat bentuknya halus dan bulat sehingga sering
keluar spontan. Batu asam urat murni bersifat radiolusen, sehingga pada
pemeriksaan Intravenous Pyeolography (IVP) tampak sebagai banyangan filling
defect pada saluran urinarius. Pada pemeriksaan Ultrasonography (USG), batu
asam urat memberikan gambaran akustik (accoustic shadowing).
2.4.4 Batu Lainnya (Sistin, Xantin, Triamteren, Silikat)
Batu lainnya sangat jarang dijumpai. Batu sistin didapatkan karena
kelainan metabolisme sistin. Batu xantin terbentuk karena defisiensi enzim xantin
oksidase yang mengkatalisis perubahan hipoxantin menjadi xantin dan xantin
menjadi asam urat.2
2.5 Ureterolitiasis
Batu ureter pada umumnya adalah batu yang terbentuk di dalam sistem
pelvocalyces ginjal dan turun ke ureter. Terdapat tiga tempat penyempitan
anatomi ureter, dimana batu mungkin dapat tertahan yaitu di pelviureteric
junction, tempat penyilangan ureter dengan vasa iliaka, dan ureterovesical
junction.
Komposisi batu ureter sama dengan komposisi batu saluran urinarius pada
umumnya, yaitu sebagian besar terdiri dari garam kalsium, seperti kalsium oksalat
monohidrat dan kalsium oksalat dihidrat. Sebagian kecil terdiri dari batu asam
urat, batu struvit dan batu sistin.2
2.5.1 Epidemiologi
Di Indonesia, urolitiasis masih menempati porsi terbesar dari jumlah
pasien di klinik urologi. Insidensi dan prevalensi yang pasti dari urolitiasis di
Indonesia belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat peningkatan jumlah
penderita batu ginjal yang mendapat tindakan di RSUPN-Cipto Mangunkusumo
dari tahun ke tahun mulai 182 pasien pada tahun 1997 menjadi 847 pasien pada
tahun 2002. Dalam guideline oleh European Association of Urology (2007)
dilaporkan bahwa risiko pembentukan batu sepanjang hidup berkisar 5-10%. Pria

10
lebih sering daripada wanita (3:1) dengan puncak insidensi antara dekade keempat
dan kelima.
2.5.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Terbentuknya batu ureter diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urine, gangguan metabolik, Infeksi Saluran Kemih (ISK), dehidrasi, dan
keadaan lainnya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terbentuknya batu
yaitu:
1. Faktor Intrinsik
a. Herediter, seseorang dengan keluarga inti yang memiliki riwayat
urolitiasis memiliki risiko dua kali dibanding orang tanpa riwayat
keluarga dengan urolitiasis.
b. Usia, paling sering ditemukan pada usia 30-50 tahun.
c. Jenis kelamin, laki-laki memiliki risiko tiga kali lebih tinggi
dibandingkan perempuan.
2. Faktor Ekstrinsik
a. Iklim dan temperatur, seseorang dengan paparan temperatur tinggi
dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi zat terlarut karena
dehidrasi, sehingga dapat meningkatkan insidensi terbentuknya batu.
b. Asupan air, kurangnya asupan air dan tingginya kadar kalsium dapan
meningkatkan risiko batu saluran urinarius.
c. Diet, diet tinggi purin, oksalat, dan kalsium mempermudah
terjadinya batu saluran urinarius.
d. Pekerjaan, sering ditemukan pada orang yang pekerjaannya banyak
duduk atau kurang aktivitas. Aktivitas fisik dapat mempengaruhi
aliran urine dan pembentukan agregat kristal.2
2.5.3 Manifestasi Klinis
2.5.3.1 Anamnesis
Keluhan yang disampaikan pasien bergantung pada posisi batu, ukuran
batu, dan penyulit yang telah terjadi. Batu yang berukuran kecil dapat bersifat
asimptomatik. Namun perlahan keluhan akan dirasakan seiring dengan
bartambahnya ukuran batu seperti nyeri pada pinggang yang menjalar ke perut
bagian depan dan lipat paha hingga ke kemaluan, hematuria, urine berpasir, nyeri

11
saat buang air kecil, ISK, dan demam. Pada anamnesis terhadap nyeri tanyakan
bagaimana onset, kualitas, dan durasi dari nyeri tersebut.
Keluhan yang paling sering dirasakan pasien adalah nyeri pinggang. Nyeri
mungkin bisa berupa nyeri kolik ataupun bukan kolik. Nyeri kolik terjadi karena
aktivitas peristaltik otot polos meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu
dari saluran urinarius. Peningkatan aktivitas peristaltik menyebabkan peningkatan
tekanan intraluminal sehingga terjadi peregangan terminal saraf yang memberikan
sensasi nyeri. Batu yang terletak di bagian distal ureter dirasakan oleh pasien
sebagai nyeri pada saat buang air kecil atau sering buang air kecil. Batu dengan
ukuran kecil memungkin dapat keluar spontan setelah melalui hambatan di
pelviureteric junction, tempat penyilangan ureter dengan vasa iliaka, dan
ureterovesical junction.
Hematuria sering dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa
saluran urinarius yang disebabkan oleh batu. Kadang hematuria didapatkan dari
pemeriksaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik. Jika didapatkan demam
harus dicurigai suatu urosepsis dan ini merupakan kegawatdaruratan di bidang
urologi. Dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak kelainan anatomik pada
saluran urinarius yang mendasari timbulnya urosepsis dan segera dilakukan terapi
berupa drainase dan pemberian antibiotik.2, 5
2.5.3.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien dengan ureterolitiasis dapat bervariasi mulai
tanpa kelainan fisik sampai tanda-tanda sakit berat tergantung pada posisi batu,
ukuran batu, dan penyulit yang ditimbulkan. Pada pemeriksaan fisik umum bisa
didapatkan hipertensi, anemia, syok, dan demam. Pada pemeriksan fisik khusus
urologi mungkin bisa didapatkan kesan teraba batu di uretra.5
2.5.4 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan sedimen urin dapat menunjukkan adanya leukosituria,
hematuria, dan kristal-kristal pembentuk batu. Urinalisis harus dilakukan pada
semua pasien dengan batu saluran urinarius. Selain mencari mikrohematuria,
dapat juga diketahui berapa pH urin dan adanya kristal dalam urin yang
membantu mengidentifikasi komposisi batu. Pasien dengan batu asam urat

12
biasanya memiliki urin yang bersifat asam, dan pasien dengan batu akibat infeksi
memiliki urin basa.
Pemeriksaan kultur urin mungkin menunjukkan adanya pertumbuhan
kuman pemecah urea. Pemeriksaan faal ginjal bertujuan untuk mencari
kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk mempersiapkan pasien
menjalani pemeriksaan foto BNO/ IVP. Perlu juga diperiksa kadar elektrolit yang
diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu saluran urinarius seperti kalsium,
oksalat, fosfat, urat di dalam darah ataupun di dalam urin.2, 5
2.5.5 Pemeriksaan Pencitraan
1. Blass Nier Overzicht (BNO)/ Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan BNO bertujuan untuk melihat kemungkinan
adanya batu radioopak di proyeksi traktus urinarius. Batu-batu jenis
kalsium oksalat dan fosfat bersifat radioopak dan paling sering dijumpai
di antara batu lainnya, sedangkan batu asam urat bersifat radiolusen.
Jenis batu beserta radiodensitasnya ditampilkan pada gambar berikut.

Gambar 2.2 Jenis Batu Beserta Radiodensitasnya


2. Intravenous Pyeolography (IVP)
Pemeriksaan IVP bertujuan untuk menilai keadaan anatomi dan
fungsi ginjal. Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi-opak
ataupun radiolusen yang tidak terlihat pada pemeriksaan BNO. IVP
dapat memberikan informasi mengenai batu (ukuran, lokasi,
radiodensitas), lingkungannya (anatomi pelvocalyces, tingkat obstruksi)
dan keadaan ginjal kontralateralnya.

13
3. Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG dikerjakan bila pasien tidak mungkin
menjalani pemeriksaan IVP, yaitu: pada keadaan alergi terhadap bahan
kontras, faal ginjal yang menurun, dan pada wanita yang sedang hamil.
Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu di ginjal atau di buli-buli
(ditandai dengan echoic shadow), hidronefrosis, pionefrosis, atau
pengkerutan ginjal.2, 6
2.5.6 Tata Laksana
Terdapat beberapa alternatif tata laksana ureterolitiasis, yaitu: observasi,
SWL, URS, PNL, dan bedah terbuka. Untuk keperluan alternatif terapi, ureter
dibagi menjadi 2 bagian, yaitu: proksimal (di atas pelvic brim) dan distal (di
bawah pelvic brim). Ukuran batu menentukan alternatif terapi yang akan dipilih.
Batu ureter dengan ukuran < 5 mm, biasanya cukup kecil untuk bisa keluar
spontan. Komposisi batu juga menentukan pilihan terapi karena batu dengan
komposisi tertentu mempunyai derajat kekerasaan tertentu pula, misalnya batu
kalsium oksalat monohidrat dan sistin adalah batu yang keras, sementara batu
kalsium oksalat dihidrat biasanya mudah pecah.
1. Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter < 5 mm dan
bisa keluar secara spontan. Karena itu dimungkinkan untuk pilihan
terapi konservatif berupa minum sehingga mencapai diuresis 2 L/ hari,
α-blocker, dan Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs).
Lama maksimum terapi konservatif adalah enam minggu. Di
samping ukuran batu, syarat lain untuk observasi adalah berat ringannya
keluhan pasien dan ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Observasi bukan
merupakan pilihan pada keadaan adanya kolik berulang atau ISK.
Begitu juga dengan adanya obstruksi, ginjal tunggal, ginjal trasplan,
dan penurunan fungsi ginjal. Pasien seperti ini harus segera dilakukan
intervensi.
2. Shock Wave Lithotripsy (SWL)
SWL banyak digunakan dalam penanganan urolitiasis. Prinsip
terapi SWL adalah memecah batu saluran urinarius dengan

14
menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin dari luar
tubuh. Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin dapat difokuskan
ke arah batu. Gelombang kejut akan melepas energinya untuk memecah
batu hingga menjadi pecahan kecil, supaya bisa keluar bersama urin
tanpa menimbulkan rasa sakit.
Komplikasi SWL untuk terapi batu ureter hampir tidak ada.
SWL mempunyai beberapa keterbatasan, antara lain bila batunya keras
(seperti kalsium oksalat monohidrat ), sulit pecah dan perlu beberapa
kali tindakan.
3. Ureteroskopi (URS)
Kombinasi URS dengan pemecah batu ultrasound,
Electrohydraulic Lithotripsy (EHL), laser, dan pneumatik telah sukses
dalam memecah batu ureter. Batu ureter juga dapat diekstraksi langsung
dengan tuntunan URS. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk
ekstraksi langsung batu ureter yang berukuran besar, sehingga perlu alat
pemecah batu.
4. Percutaneous Nephrolithotripsy (PNL)
Prinsip terapi PNL adalah membuat akses ke kaliks atau pielum
secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut dimasukkan
nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu
ureter diambil secara utuh atau dipecah dulu. Keuntungan dari PNL,
bila batu kelihatan, hampir pasti dapat diambil atau dihancurkan;
fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas.
Prosesnya berlangsung cepat dan dengan segera dapat diketahui
berhasil atau tidak.
5. Bedah Terbuka
Beberapa variasi operasi terbuka mungkin masih dilakukan.
Tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa
dilakukan melalui insisi pada flank, dorsal, atau anterior. Bedah terbuka
pada batu ureter tersisa sekitar 1-2%, terutama pada penderita dengan
kelainan anatomi atau ukuran batu yang besar.

15
6. Pemasangan Stent
Meskipun bukan merupakan pilihan terapi utama, pemasangan
stent ureter terkadang memegang peranan penting sebagai tindakan
tambahan dalam penanganan ureterolitiasis. Misalnya pada penderita
sepsis yang disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat
diperlukan. Pemasangan stent juga diperlukan pada batu ureter yang
melekat (impacted).
2.5.6.1 Pedoman Pilihan Terapi
Berikut ini untuk tiga pedoman pertama digunakan pada batu ureter
proksimal dan distal, sedang pedoman selanjutnya dibedakan antara batu ureter
proksimal dan distal:
1. Pedoman untuk batu ureter dengan kemungkinan kecil keluar spontan
Batu ureter yang kemungkinan kecil bisa keluar spontan harus
diberitahu kepada pasiennya tentang perlunya tindakan aktif dengan
berbagai modalitas terapi yang sesuai, termasuk juga keuntungan dan
risiko dari masing-masing modalitas terapi.
2. Pedoman untuk batu ureter dengan kemungkinan besar keluar spontan
Batu ureter yang baru terdiagnosis dan kemungkinan besar
keluar spontan, yang keluhan/gejalanya dapat diatasi, direkomendasikan
untuk dilakukan terapi konservatif dengan observasi secara periodik
sebagai penanganan awal.
3. Penanganan batu ureter dengan SWL
Stenting rutin untuk meningkatkan efisiensi pemecahan tidak
direkomendasi sebagai bagian dari SWL.
4. Untuk batu  1 cm di ureter proksimal
Pilihan terapi: (a) SWL; (b) URS + litotripsi; (c) ureterolitotomi.
5. Untuk batu  1 cm di ureter proksimal
Pilihan terapi: (a) ureterolitotomi; (b) SWL, PNL dan URS +
litotripsi.
6. Untuk batu  1 cm di ureter distal
Pilihan terapi: (a) SWL atau URS + litotripsi; (b)
ureterolitotomi.

16
7. Untuk batu  1 cm di ureter distal
Pilihan terapi: (a) URS + litotripsi; (b) ureterolitotomi; (c)
SWL.5
2.5.7 Prognosis
Angka kekambuhan urolitiasis rata-rata 7% pertahun atau < 50% dalam
10 tahun. Perlu dilakukan tindakan pencegahan untuk menghindari kekambuhan
urolitiasis.
2.5.8 Pencegahan
Pencegahan dilakukan berdasarkan kandungan unsur penyusun batu
saluran kemih yang diperoleh dari analisis batu. Pada umumnya pencegahan
berupa:
1) Menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan diusahakan produksi
urin mencapai 2-3 L/ hari,
2) Diet untuk mengurangi kadar zat-zat komponen pembentuk batu,
3) Aktivitas harian yang cukup,
4) Pemberian obat-obatan,
5) Diet seperti diet rendah protein, rendah oksalat, rendah garam, dan
rendah purin.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Shoiker AA. Provoost Ap, Nijman RJM. Resistive index in obstructive
urophaty. Brit J Urol. 1997,80:195-200.
2. Purnomo BP. Dasar- Shoiker AA. Provoost Ap, Nijman RJM. Resistive index
in obstructive urophaty. Brit J Urol. 1997,80:195-200& Wilkins; 2015.
3. Tao L, Kendall K. 2013. Sinopsis Organ System. Jakarta : Kharisma
Publishing Group.
4. Snelli E. 2003. Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta : EGC.
5. IAUI. 2007. Guidelines batu saluran kemih. [Online]. Available :
www.iaui.or.id/info/guid.php. [Diakses September 2019]
6. Skolarikos, Turk C. Petrik A. Sarica K. Seitz C. 2016. EAU Guidelines on
diagnosis on conservative management of urolithiasis. Europian Urology, Vol
69. Pp 468-474.

18

Anda mungkin juga menyukai