Anda di halaman 1dari 55

PROPOSAL

“ KURANG GIZI PADA BALITA “

OLEH :

NAMA : VIVINENSI SEKEWAEL

NPM : 12114201160096

FAKULTAS KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU

AMBON

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjakan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas penyertanyaan-Nya,

penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul KURANG GIZI PADA BALITA

dapat terselesai dengan tepat waktu.

Dalam penulisan dan penyusunan proposal ini, penulis mendapatkan banyak bantuan

dari pihak-pihak yang bersedia membantu penulis sehingga terselesainya proposal ini. Oleh

karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak-pihak yang telah

membantu penulis sehingga proposalyang penulis buat dapat terselesai sesuai dengan waktu

yang telah ditentukan.

Penulis menyadari bahwa, penelitian yang penulis lakukan masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan krotik dan saran yang membangun

demi kesempurnaan penelitian yang penulis lakukan. Demikian proposal yang penulis buat,

semoga dapat bermanfaat bagi banyak orang.

Ambon, Desember 2019

Penulisa

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………… i

DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………ii

DAFTAR TABEL

DAFTAR GAMBAR

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ............................................................................................................ 1

B. RUMUSAN MASALAH ...................................................................................................... .4

C. TUJUAN PENELITIAN........................................................................................................ 4

D. MANFAAT PENELITIAN ................................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN UMUM TENTANG GIZI KURANG PADA BALITA

1. Pengertian Balita .............................................................................................................. 7

2. Karakteristik Balita ......................................................................................................... 7

3. Pengertian Gizi Kurang Pada Balita.............................................................................. 7

4. Status Gizi Balita.............................................................................................................. 8

5. Kebutuhan Gizi Balita ..................................................................................................... 9

6. Penilaian Status Gizi ...................................................................................................... 12

ii
7. Klasifikasi Status Gizi.................................................................................................... 13

8. Parameter Antropometri ............................................................................................... 16

9. Indeks Antropometri ..................................................................................................... 19

B. TINJAUAN UMUM TENTANG VARIABEL PENELITIAN

1. Determinan Faktor Gizi Buruk dan Gizi Kurang ...................................................... 21

2. Penyebab Langsung Gizi Buruk dan Gizi Kurang ..................................................... 22

3. Penyebab Tidak Langsung yang Menimbulkan Gizi Kurang .................................. 25

4. Faktor resiko kejadian gizi kurang .............................................................................. 38

5. Resiko pola asuh makan terhadap gizi kuranng ......................................................... 39

C. KERANGKA KONSEP PENELITIAN

D. HIPOTESIS PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian .................................................................................................................. 43

B. Lokasi Dan Waktu Penelitian ............................................................................................. 43

C. Populasi Dan Sampel ........................................................................................................... 43

D. Variabel Penelitian ............................................................................................................... 44

E. Defenisi Operasional ............................................................................................................ 44

F. Instrumen Penelitian............................................................................................................ 46

G. Pengumpulan Data ............................................................................................................... 47

H. Pengolahan Data .................................................................................................................. 47

I. Analisa Data.......................................................................................................................... 48

J. Etika Penelitian .................................................................................................................... 49

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gizi kurang merupakan salah satu penyakit akibat gizi yang masih

merupakan masalah di Indonesia. Masalah gizi pada balita dapat memberi dampak

terhadap kualitas sumber daya manusia, sehingga jika tidak diatasi dapat

menyebabkan lost generation. Kekurangan gizi dapat mengakibatkan gagal

tumbuh kembang, meningkatkan angka kematian dan kesakitan serta penyakit

terutama pada kelompok usia rawan gizi yaitu Balita. Menurut Zulfita (2013),

Kurang gizi atau gizi buruk merupakan penyebab kematian 3,5 juta anak di bawah

usia lima tahun (balita) di dunia (Fauziah, 2017).

Gizi kurang merupakan suatu kondisi berat badan menurut umur (BB/U)

yang tidak sesuai dengan usia yang seharusnya. Kondisi gizi kurang akan rentan

terjadi pada balita usia 2-5 tahun karena balita sudah menerapkan pola makan

seperti makanan keluarga serta dengan tingkat aktivitas fisik yang tinggi.

Kekurangan gizipada masa balita terkait dengan perkembangan otak sehingga

dapatmemengaruhi kecerdasan anak dan berdampak pada pembentukan

kualitassumberdaya manusia di masa mendatang (Diniyyah & Nindya, 2017).

Menurut Laporan Global Nutrition pada tahun 2017 menunjukan masalah

status gizi didunia diantaranya prevalensi wasting (kurus) 52 juta balita (8%).

Stunting (pendek) 115 juta balita (23%), dan overweight 4 juta balita (6%) 1.

(UNICEF dan WHO, 2017), prevalensi underweight di dunia tahun 2016 berdasarkan

lingkup kawasan word health organization (WHO) yaitu Afrika 17,3% (11,3 juta),
Amerika 1,7% (1,3 juta), Asia Tenggara 26,9% (48 juta), Eropa 1,2% (0.7 juta),

Mediterania Timur 13% (10,5 juta), Pasifik Barat 2,9% (3,4 juta), sedangkan secara

global didunia prevalensi anak dibawah lima tahun yang mengalami underweight ialah

14% (94,5 juta) (WHO,2017).

Indonesia termasuk negara yang memiliki permasalahan penyakit akibat gizi

kurang hingga sekarang. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018

menjelaskan prevalensi anak balita yang mengalami gizi kurang menurun dari 14.43%

tahun 2016 menjadi 14.00% tahun 2017 dan telah memenuhi target yang ditetapkan oleh

pemerintah sesuai dengan kesepakatan sasaran pembangunan millennium (Millennium

Development Goal’s) MDG’s 2015 yaitu sebesar 15,50% (Kemenkes RI, 2018).

Berdasarkan prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia pada tahun 2017

sebesar 3,80% kasus sedangkan pada tahun 2018 kasus gizi buruk dan gizi kurang 17,7%

kasus. Perbaikan status gizi nasional dapat dilihat berdasarkan Riset Kesehatan Dasar

(Riskesdas) 2018. Pada prevalensi Gizi Kurang (Underweigth) perbaikan itu terjadi

berturut-turut dari tahun 2013 sebesar 19,6% naik menjadi 17,7% 2018. Prevalensi

stunting dari 37,2% turun menjadi 30,8%.

Prevalensi gizi buruk, gizi kurang, gizi baik dan gizi lebih di Provinsi Maluku

tahun 2017 gizi buruk 5,80% kasus, gizi kurang 17,90% kasus,gizi baik 74,50% kasus,

dan gizi lebih 1,80% kasus sedangkan pada tahun 2018 gizi buruk 7,40% kasus, gizi

kurang 17,50% kasus, gizi baik 72,40% kasus dan gizi lebih 2,70% kasus.
2.

Anak balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan penyakit.Kelompok ini

merupakan kelompok umur yang paling menderita akibat gizi (KKP) dan jumlahnya

dalam populasi besar. Perlunya perhatian lebih dalam tumbuh kembang di usia balita

didasarkan fakta bahwa kurang gizi yang terjadi pada masa emas ini bersifat irreversible

atau tidak dapat pulih. (Marmi, 2013).Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada tubuh

dan otak akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama.Sehingga, anak lebih pendek dari

anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir.Obesitas adalah kondisi

kronis akibat penumpukan lemak dalam tubuh yang sangat tinggi.Obesitas terjadi karena

asupan kalori yang lebih banyak dibanding aktivitas membakar kalori, sehingga kalori yang

berlebih menumpuk dalam bentuk lemak. Apabila kondisi tersebut terjadi

dalam waktu yang lama, maka akan menambah berat badan hingga mengalami obesitas.

Salah satu faktor tidak langsung yang mempengaruhi status gizi pada anak balita

adalah imunisasi. Imunisasi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kekebalan

tubuh anak balita dari mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit (Ranuh, 2011) .

Menurut profil kesehatan pada tahun 2015 4 capaian imunisasi di Indonesia 88,54% belum

mencapai target renstra yaitu 91%.Faktor langsung yang mempengaruhi status gizi balita

atau terjadinya wasting ialah adanya penyakit infeksi dan asupan makanan.6,7,8 Salah satu

penyakit infeksi yang berhubungan dengan wasting ialah malaria. Sedangkan faktor tidak

langsung antara lain ketahanan pangan di dalam keluarga, pola asuh, sanitasi lingkungan,

akses terhadap pelayanan kesehatan, umur anak, jenis kelamin anak, tempat tinggal,

pendidikan, dan pekerjaan orang tua.


3.

Puskesmas Tawiri Ambon merupakan salah satu Puskesmas di provinsi Maluku yang

memiliki 22 posyandu yaitu Desa Tawiri swbanyak 8 posyandu, Desa Hative Besar

sebanyak 7 posyandu dan Desa Laha sebanyak 7 posyandu. Adanya fasilitas kesehatan

gratis dan program pemerintahseperti pemberian susu gratis, imunisasi, pendidikan

kesehatan, pengobatan gratis, pemberian makanan tambahan (PMT), makanan

pendamping ASI (MPASI) seharunya menjadikan Puskesmas Tawiri Ambon memiliki

potensi yang baik untuk menekan ataupun menghilangkan angka kekurangan gizi, namun

kenyataannya, berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Tawiri Ambon pada tahun

2017 jumblah gizi kurang pada anak balita berjumblah 822 balita dari 1,735 anak balita,

kemudian pada tahun 2018jumblah gizi kurang pada anak balita menurun menjadi 734

balita dari 1,682 anak balita, dan pada tahun 2019 data yang diperoleh dari bulan january

sampai bulan juli sudah mencapai 805 anak balita yang mengalami gizi kurang dari 1,691

anak balita di Puskesmas Tawiri.

Berdasarkan uraian diatas maka saya tertarik untuk mengambil judul penelitian

yang berjudul tentang ‘’Faktor-Faktor Yang Berhubungan DenganKejadian Gizi Kurang

Di Wilayah Kerja Puskesmas Tawiri Ambon”.

B. Rumusan masalah

Apakah ada Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gizi Pada

Balita Kurang Di Wilayah Kerja Puskesmas Tawiri Ambon.

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Diketahuainya factor-faktor yang berhubungan dengan kejadian gizi kurang

pada balita di puskesmas tawiri ambon tahun 2019


4.

2. Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Hubungan antara peleyanan kesehatan dengan kejadian gizi kurang pada

balita di wilayah kerja puskesmas Tawiri Ambon.

b. Hubungan antara lingkungan hidup dengan kejadian gizi kurang pada

balita di wilayah kerja puskesmas Tawiri Ambon.

c. Hubungan antara pola asuh ibu dengan kejadian gizi kurang di wilayah

kerja puskesmas Tawiri Ambon.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ilmu

keperawatan keluarga dan anak mengenai peran perawat dalam memberikan

asuhan keperawatan bagi pasien balita kejadian gizi kurang.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi tempat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan

untuk pelayanan kesehatan terhadap masyarakat khususnya pada balita

dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja puskesmas

tawiri ambon.

b. Bagi institusi penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan bacaan dan

referensi perpustakaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan dapat

di jadikan panduan bagi mahasiswa yang ingin melakukan penelitian

berikutnya.
5.

3. Peneliti lanjut

Bagi peneliti lain disarankan untuk menggunakan factor lain yang dapat

mempengaruhi konsumen sebagai variable dependen atau

variable independen karena masih terlalu luas arti tentang konsumen.

6.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Gizi Kurang Pada Balita

1. Pengertian Balita

Balita adalah anak yang berumur 0-59 bulan, pada masa ini ditandai dengan

proses pertumbuhan yang memerlukan zat-zat gizi yang jumblahnya lebih banyak

dengan kualitas tinggi. Akan tetapi, balita termasuk kelompok rawan gizi yang

mudah menderita kelainan gizi karena kekurangan makanan yang dibutuhkan

(Ariani, 2016)

Masalah gizi balita yang haru dihadapi indonesia pada saat ini adalah masalah

gizi kurang dan masalah gizi lebih. Masalah gizi kurang disebabkan oleh

kemiskinan, kurangnya persediaan pangan, sanitasi lingkungan yang kurang baik,

kurangnya pengetahuan masyarakat tentang gizi dan kesehatan, sedang masalah gizi

lebih oleh kemajuan ekonomi pada masyarakat disertai dengan kurangnya

pengetahuan gizi dan kesehatan ( Ariani, 2016).

2. Karakteristik balita

Anak mulai mengeksplorasi lingkungan secara intensif seperti anak akan

mulai mencoba mencari tahu bagaimana suatu hal dapat bekerja atau terjadi,

mengenal arti kata “tidak”, peningkatan pada amarahnya, sikap yang negatif dan

keras kepala (Hockenberry,2016)

3. Pengertian gizi kurang pada balita

Gizi kurang merupakan status kondisi seseorang yang kekurangan nutrisi, atau

nutrisinya dibawah rata-rata. Gizi kurang adalah kekurangan bahan-bahan nutrisi


7.

seperti protein, karbohidrat, lemak, dan vitamin yang dibutuhkan oleh tubuh

(Krisnansari, 2013). Gizi kurang merupakan kondisi dimana seseorang tidak

memiliki nutrien yang dibutuhkan tubuh akibat kesalahan atau kekurangan asupan

makanan. Secara sederhana kondisi ini terjadi akibat kekurangan gizi secara terus

menerus dan menumpuk dalam derajat ketidak seimbangan yang absolute dan

bersifat immaterial. Ketidakseimbangan tersebut menyebabkan terjadinya defisiensi

atau defisit dan protein dan sering disebut dengan KKP (Kekurangan Kalori

Protein) (Wong dkk, 2014)

Kekurangan gizi (underundertrition) merupakan keadaan kurangnya energi

(kalori) dalam tubuh, keadaan kurang gizi bisa ringan atau serius. Penurunan berat

badan merupakan manifestasi deplesi energi, zat gizi yang esensial, protein dan

mikronutrien, cendrung mengalami deplesi secara bersamaan, tetapi sejumblah

mikronutrion memiliki simpanan yang besar didalam tubuh. Kebutuhan sejumblah

orang akan menjadi lebih rendah ketika asupan energinya berkurang (mann and

truswell, 2014).

4. Status gizi balita

Status gizi adalah jumlah asupan gizi setelah mengkonsumsi makanan dan nutrisi

yang dibutuhkan oleh tubuh. Makanan yang diberikan akan berpengaruh terhadap

status gizi balita, status gizi dapat dibedakan menjadi status gizi buruk, kurang, baik

dan lebih (Setiadi, 2013). Konsumsi nutrisi yang baik tercermin dengan badan yang

sehat ditandai dengan berat badan normal sesuai dengan tinggi badan serta usianya,

tidak mudah terserang penyakit infeksi ataupun penyakit menular, tidak terjadi

kematian dini, terlindungi dari berbagai penyakit kronis, dan dapat menjadi pada

usia lebih produktif (DepkesRI, 2014).


8.

Status gizi dapat pula diartikan gambaran kondisi fisik seseorang sebagai refleksi dari

keseimbangan energy yang masuk dan dikeluarkan oleh tubuh (Marmi, 2013). Asupan gizi

yang diberikan kepada balita haruslah seimbang, balita membutuhkan zat tenaga yaitu

karbohidrat sebanyak 75-90%, zat pembangun yaitu protein sebesar 10-20%, serta zat

pengatur yaitu lemak sebesar 15-20% (Sutomo & Anggraeni, 2013).

Status gizi balita yang baik adalah dimana tumbuh kembang fisik dan mental balita

seimbang. Status gizi yang buruk dapat menempatkan balita pada terhambatnya proses

pertumbuhan dan perkembangannya (Dewi, 2015). Gizi yang baik dapat membuat balita

memiliki berat badan yang sehat, tidak mudah terserang penyakit infeksi, menjadi manusia

yang produktif, serta terlindungi dari berbagai macam penyakit kronis dan kematian dini

(Depkes RI, 2014).

5. Kebutuhan gizi balita

1. Kebutuhan energi balita

Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan yaitu suatu kecukupan rata-

rata zat gizi yang dikonsumsi setiap hari oleh seseorang menurut golongan umur,

jenis kelamin, ukuran tubuh dan aktivitas untuk mencapai derajat kesehatan yang

optimal. Dalam menghitung kecukupan gizi yang dianjurkan umumnya sudah

diperhitungkan faktor keberagaman terhadap kebutuhan individu sehingga AKG

merupakan nilai rata-rata yang dicapai penduduk dengan indikator yang sudah

ditetapkan sebelumnya (Badan Ketahanan Pangan, 2016).

9.
Tabel II.1Angka kecukupan Energi untuk Anak

Balita Golongan Kecukupan Kal/kg BB/hari


Umur Energi
1 990 110
1-3 1200 100
4-5 1620 90
Sumber: Soedioetama, 2014

2. Kebutuhan Protein Balita

Terdiri unsur C,H,O dan N, dan kadang-kadang S dan P, diperoleh melalui

tumbuh-tumbuhan (protein nabati) dan melalui hewan (protein hewani) berfungsi

membangun sel-sel yang telah rusak membentuk zat-zat pengatur seperti enzim

dan hormon serta membentuk zat anti energi. Kebutuhan akan protein selama

periode pertumbuhan tulang rangka dan otot yang cepat pada masa bayi relatif

tinggi, komsumsi sebanyak 2,2 gr protein bernilai gizi tinggi per kg berat badan per

hari menghasilkan retensi nitrogen sekitar 45% (Arisman, 2014).

Tabel II.2 Angka Kecukupan Protein Balita (gr/kgBB hari)

Umur (tahun) Gram/hari


1 1,27
2 1,19
3 1,12
4 1,06
5 1,01
Sumber : Soediaoetama, 2014

3. Kebutuhan Lemak Balita

ASI memasok sekitar 40-50% energi sebagai lemak (3-4 gr/100 cc), lemak

minimal harus menyediakan 30%energi yang dibuthkan bukan saja untuk

10.
mencukupi kebutuhan energi tetapi juga memudahkan penyerapan asam lemak esensial,

vitamin yang terlarut dalam lemak, kalsium serta mineral lainnya (Arisman, 2013).

Tabel II.3 Tingkat Kecukupan Lemak Balita

Umur Gram
0-5 bulan 31
6-11 bulan 36
1-3 tahun 44
4-6 tahun 62
Sumber : Hardinsyah, 2012

4. Vitamin dan Mineral

Jumblah vit A yang dibutuhkan bayi sebanyak 75 RE per hari. Komsumsi vit D pada

bayi akan meningkat pada waktu terjadinya klasifikasi tulang dan gigi yang cepat .

komsumsi vit D dianjurkan 400 IU/hari. Kebutuhan vit E pada bayi sebanyak 2-4 mg TE

(tocopherol Equivelent) per hari. Sedangkan untuk vit C, bayi memperoleh dari ASI. ASI

mengandung 280 mg kalsium per liter, yang berarti dapat mensuplai sekitar 210 mg kalsium

per hari (Arisman, 2013).

Vitamin yang larut dalam air,meliputi vitamin B dan C, kebutuhan bayi akan vitamin ini

dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi ibu. Bayi harus memperoleh 0,5 mg ribovlavin

per 1000 Kkal energi yang dikonsumsi untuk memelihara kejenuhan jaringan. Sedangkan

untuk vitamin C, bayi memperoleh dari ASI (Arisman,2013).

ASI mengandung 280 mg kalsium per liter, yang berarti dapat mensuplai sekitar 210

mg kalsium per hari. Mineral mempunyai fungsi sebagai pembentuk berbagai jaringantubuh,

tulang, hormon, dan enzim, sebagai zat pengatur berbagai proses metabolisme,

keseimbangan cairan tubuh, proses pembekuandarah. Zat besi atau Fe berfungsi sebagai

komponen sitokrom yang penting dalam pernafasan dan sebagai komponen dalam

hemoglobin yang penting dalam mengikat oksigen dalam sel darah merah (Arisman, 2014).

11.
Tabel II.4 Tingkat kecukupan vitamin dan mineral balita

Umur kalsium Fosfor Zat Vit A Vit C


(mg) (mg) besi (RE) (mg)
(mg)
0-5 bulan 200 100 0,5 375 40
6-12bulan 400 225 7 400 40
1-3 tahun 500 400 8 400 40
4-6 tahun 500 400 9 450 50
Sumber : Angka Kecukupan Gizi , 2013

6. Penilaian Status Gizi

Status gizi di definisikan sebagai status kesehatan yang dihasilkan oleh

keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrient. Penilaian status gizi

merupakan pengukuran yang berdasarkan pada data antropometri serta biokimia

(Waryana, 2013).

Menurut (Supriasa, 2014), pada dasarnya penilaian status gizi dapat di bagi

dua yaitu secara langsung dan tidak langsung

1. Penilaian status gizi secara langsung

Penilaian status gizi secara langsung dapat dibagi menjadi empat

penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Secara umum

antropometri artinya ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang

gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam

pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur

dan tingkat gizi (Supariasa, 2014).

2. Penilaian status gizi secara tidak langsung

Penilaian status gizi secara tidak langsung dapat dibagi tiga yaitu survei

komsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi.

12.
a. Survei komsumsi makanan merupakan metode penentuan status gizi

secara tidak langsung dengan melihat jumblah dan jenis zat gizi yang

dikomsumsi.

b. Statistik vital merupakan pengukuran dengan menganalisis data

beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur,

angka kesakitan dan kematian akibat penyebab tertentu.

c. Faktor ekologo digunakan untuk mengungkapkan bahwa malnutrisi

merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor

fisik, biologis dan lingkungan budaya (supariasa, 2014).

Skrining adalah proses yang mengidentifikasi karakteristik yang diketahui

berhubungan dengan masalah gizi. Hasil penilaian status gizi seseorang kemudian

dibandingkan dengan cut of point (batas risiko) nilai normal Skrining dapat dilakukan pada

tingkat perorangan atau sub kelompok penduduk tertentu yang disuga berada pada tahap

risiko menderita gizi kurang atau gizi lebih (Moesijanti S. dkk, 2013).

7. Klasifikasi Status Gizi

Status gizi balita adalah keadaan gizi pada balita yang dapat diketahui

dengan membandingkan antara berat badan menurut umur (BB/U) atau panjang

badan menurut umur (TB/U), atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Pengukuran dilakukan menggunakan parameter umur, berat badan, tinggi badan,

lingkar lengan atas, lingkar dada, lingkar pinggul dan tebal lemak bawah kulit

(Anggraeni, 2014).

13.
Klasifikasi KEP menurut pengukuran Antopometri adalah

sebagai berikut (Adriani, 2013):

1. Klasifikasi menurut Latham :

Tabel II.5 Klasifikasi KEP menurut latham

Jenis KEP BB/U TB/U BB/TB


Akut malnutrisi Rendah Normal Rendah
Kronis Rendah Rendah Normal
malnutrisi
Akut dan kronis Rendah Rendah Rendah
malnutrisi
Sumber:Baku Harvard

2. Klasifikasi KEP menurut Wellcome Trust:

Tabel II.6 Klasifikasi KEP menurut Wllcome Trust

Edema
Berat badan % dari Tidak ada Ada
Baku
>60% Gizi Kurang Kwasiorkor
<60% Marasmus Marasmic
kwasiorkor
Sumber: Baku Harvard

3. Klasifikasi menurut Gomez:

Tabel II.7 Klasifikasi KEP menurut Gomez

Kategori BB/U (%)


0= Normal >-90%
1= ringan 89-75%
2= Sedang 74-60%
3= Berat <60%
Sumber: Baku Harvad

14.
4. Klasifikasi status gizi menurut standar baku nasional:

Tabel II.8 Klasifikasi Status Gizi Menurut Standar Baku Nasional

Indeks Status Gizi Ambang Batas


(SD: Standart
Deviasi)
BB/U Gizi Lebih Z score > +2 SD
Gizi Baik Zscore ≥ -2 SD s/d
+2 SD
Gizi Kurang Zscore < -2 SD s/d
≥ -3 SD
Gizi Buruk Zscore < -3 SD
TB/U Normal Zscore ≥ -2 SD
Pendek (Stunted) Zscore < -2 SD
BB/TB Gemuk Zscore > +2 SD
Normal Zscore ≥ -2 SD
s/d +2 SD
Kurus (Wasted) Zscore < -2SD
s/d ≥ -3 SD
Kurus Sekali Zscore < -3 SD

Sumber: Baku Harvard

5. Klasifikasi Status Gizi menurut Depkes RI

Menurut baku antopometri WHO-NHCS dalam Depkes RI, status gizi

dibedakan menjadi:

Buruk : < 60% BB/U baku WHO-NCHS

Kurang : 60-69% BB/U baku WHO-NCHS

Sedang : 70-79,9% BB/U baku WHO-NCHS

Baik : 80-110% BB/U baku WHO-NCHS

Lebih : > 110% BB/U baku WHO-NCHS

6. Klasifikasi KEP menurut Depkes RI

Penggolongan KEP berdasarkan baku antopometri WHO-NCHS Depkes RI

adalah:

15.
Gizi lebih : BB/U ≥ +2SD baku WHO-NCHS

Gizi baik : BB/U ≥ -2SD s/d -2 SD baku WHO-NCHS

Gizi kurang : BB/U ≤ -2SD s/d -3 baku WHO-NCHS

Gizi Buruk : BB/U ≤ -3SD baku WHO-NCHS (Depkes RI, 2013)

7. Parameter antropometri

a. Umur

Faktor umur sangat penting dalam pementuan status gizi. Kesalahan

penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil

pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat menjadi tidak berarti bila

tidak disertai dengan penentuan umur yang tepat (Supriasa, 2013).

Menurut Supriasa (2013), untuk melengkapi umur dapat dilakukan dengan

cara sebagai berikut:

1. Meminta surat kelahiran, kartu keluarga, atau catatan lain yang dibuat

oleh orangtuanya. Apabila tidak ada jika memungkinkan cobalah minta

catatan kelahiran pada pamong desa.

2. Jika tetap tidak diketahui catatan kelahiran anak berdasarkan

kelahiran anak berdasarkan berdasarkan daya ingat orangtua

atau berdasarkan kejadian penting, seperti lebaran, tahun baru, puasa,

pemilihan kepala desa, atau peristiwa nasional ( seperti pemilu, banjir,

gunung meletus dll).

3. Membandingkan anak yang diketahui umurnya dengan anak

kerabat atau tetangga yang diketahui pasti tanggal lahirnya,

misalnya beberapa bulan lebih tua atau lebih muda.

4. Jika tanggal lahirnya tidak diketahui secara tepat, sedangkan

16.
bulan dan tahunnya diketahui, maka tanggal lahir anak tersebut

ditentukan tanggal 15 dari bulan yang bersangkutan.

b. Tinggi Badan

Tinggi badan (TB) merupakan parameter penting bagi keadaan gizi

yang telah lalu. Selain itu, tinggi badan merupakan ukuran kedua yang

penting karena dengan menghubungkan berat badan terhadap tinggi badan

(quack stick), faktor umum dapat di kesampingkan. Nilai tinggi badan

meningkat terus, walaupun laju tumbuh berubah pesat pada masa bayi lalu

melambat dan kemudian menjadi pesat lagi pada saat remaja (Adriani dan

Wirjatmadi, 2014).

Keuntungan indikator TB adalah pengukurannya yang

objektif dan dapat diulang. Selain itu, TB merupakan indikator

yang baik juga untuk menunjukkan adanya gangguan pertumbuhan fisik yang

sudah lewat (stunted). Adapun kerugiannya yakni perubahan tinggi badan

relatif pelan, sukar mengukur tinggi badan yang tepat, dan terkadang perlu

lebih dari seorang tenaga (Soetjiningsih, 2014).

c. Berat Badan

Berat badan (BB) adalah parameter pertumbuhan yang paling

sederhana,mudah diukur,dan diulang. BB merupakan ukuran yang terpenting

yang dipakai pada setiap pemeriksaan penilaian pertumbuhan fisik anak pada

semua kelompok umur karena BB merupakan indikator yang tepat untuk

mengetahui keadaan gizi dan tumbuh kembang anak saat pemeriksaan (akut).

17.
Alasannya adalah BB sangat sensitif terhadap perubahan sedikit saja seperti

sakit dan pola makan. Selain itu dari sisi pelaksanaan, pengukuran obyektif

dan dapat diulangi dengan timbangan apa saja, relatif murah dan mudah,

serta tidak memerlukan waktu lama (Latief dkk, 2013).

Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai pertimbangan

antara lain:

1) Berat badan merupakan parameter yang paling baik, karena mudah terlihat

perubahannya dalam waktu singkat, karena adanya perubahan konsumsi

makanan dan gangguan kesehatan.

2). Berat badan dapat memberikan gambaran status gizi pada waktu sekarang

dan bila dilakukan secara periodik akan memberikan gambaran yang baik

tentang pertumbuhan.

3). Berat badan merupakan ukuran antopometri yang telah dipakai

secara umum dan luas di Indonesia, sehingga bukan merupakan hal baru

yang memerlukan penjelasan secara luas.

4). Ketelitian pengukuran berat badan tidak banyak dipengaruhi oleh

keterampilan pengukur.

5). KMS (Kartu Menuju Sehat) yang digunakan merupakan alat yang baik

untuk pendidikan memonitor kesehatan anak.

6). Alat pengukuran kesehatan dapat diperoleh di daerah pedesaan

dengan ketelitian yang tinggi menggunakan dacin yang juga sudah dikenal

masyarakat (Soetjiningsih, 2013).

18.
8. Indeks Antropometri

a. Indeks Berat Badan Menurut Umur (BB/U)

Penentuan gizi buruk yang umum dilakukan adalah menimbang berat

badan yang dibandingkan dengan umur anak. Salah satu standar antopometri

yang biasa digunakan antara lain adalah WHO-NCHS (National Center Health

Statistics).

Tabel II. 9 Baku Antopometri BB/U menurut standar WHONCHS

Indikator Status Gizi Keterangan


Berat Badan Menurut Gizi Lebih >2 SD
Umur (BB/U) Gizi Baik -2 SD s/d 2 SD
Gizi Kurang < -2 SD s/d -3 SD
Gizi Buruk < -3 SD
Sumber: Depkes RI, 2014

Berdasarkan buku standart WHO-NCHS status gizi berdasarkan berat

badan menurut umur (BB/U) dapat dibagi menjadi empat yaitu: (Supariasa

dkk, 2013).

1) Gizi lebih untuk over weight termasuk kegemukan dan obesitas

2) Gizi baik untuk well nourished.

3) Gizi kurang untuk under weight yang mencakup mild dan

moderate PCM (Protein Calori Malnutrition).

4) Gizi buruk untuk severe PCM, termasuk marasmus, marasmikkwasiorkor

dan kwasiorkor.

b. Indeks Tinggi Badan Menurut Umur (TB/U)

Tinggi badan merupakan salah satu indikator penentuan kualitas gizi pada

seseorang. Faktor yang mempengaruhi tinggi badan adalah hereditas dan zat gizi

yang diperoleh dari makanan sehari-hari.

19.
Gizi makanan sangat penting dalam membantu pertumbuhan tinggi badan anak.

Tinggi badan dinyatakan dalam bentuk indeks TB/U (tinggi badan menurut

umur), atau juga indeks BB/TB (berat badan menurut tinggi badan) jarang

dilakukan karena perubahan tinggi badan yang lambat dan biasanya hanya

dilakukan setahun sekali (Khomsan, 2014).

Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh seiring dengan pertambahan umur.

Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif

terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi

gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama

(Supariasa, 2013).

Salah satu standar antopometri yang biasa digunakan untuk menentukan

kategori TB/U antara lain adalah WHO-NCHS (National Center Health

Statistics).

Tabel II.10 Baku Antopometri TB/U menurut standar WHONCHS

Indikator Status Gizi Keterangan


Tinggi Badan Menurut Tinggi >2 SD
Umur (BB/U) Normal -2 SD – 2 SD
Pendek -3 SD- < -2 SD
Sangat pendek <-3 SD
Sumber: Depkes RI, 2013

c. Indeks Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Penggunaan standar Antopometri WHO 2015 dalam menilai status gizi anak

yaitu status gizi yang didasarkan pada indeks berat badab menurut panjang badan

(BB/TB) atau berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), yang merupakan padanan

istilah wasted (kurus) dan severely wasted (Sangat Kurus) (Adriani M, 2016).

20.
Tabel II.11 Baku Antopometri BB/TB menurut standar WHONCHS

Indikator Status Gizi Keterangan


Berat Badan Menurut Gemuk >2 SD
Tinggi Badan Normal -2 SD s/d 2 SD
(BB/TB) Kurus < -3 SD s/d -2 SD
Sangat Kurus < -3 SD
Sumber: Depkes RI, 2012

B. Tinjauan Umum Tentang Variabel Penelitian

1. Determinan Faktor Gizi Buruk dan Gizi Kurang

Kondisi gizi buruk dan gizi kurang pada balita, dimungkinkan terjadi karena

interaksi dari beberapa faktor diantaranya asupan makanan yang tidak adekuat,

pemberian ASI yang tidak ekslusif, penyakit infeksi yang diderita balita, pola

pengasuhan keluarga, pelayanan kesehatan, jumlah anggota keluarga, tingkat

pendidikan ibu, persepsi ibu terkait gizi, sosial ekonomi yang rendah dan budaya

(UNICEF, 2013).

Menurut Green (1980), masalah perilaku kesehatan dipengaruhi oleh 3 faktor

utama, yaitu faktor yang mempermudah (predisposing factors) mencakup:

pengetahuan, sikap, presepsi, nilai-nilai dan norma dalam masyarakat yang berkaitan

dengan kesehatan; faktor pendorong (enabling factors) meliputi ketersediaan sarana

dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, dimana fasilitas ini pada

hakikatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, dan

faktor ketiga berupa faktor penguat (reinforcing factors) meliputi sikap dan perilaku

tokoh masyarakat, tokoh agama, dan juga sikap, perilaku, dan ketrampilan petugasn

kesehatan (Lutfiana, 2013).

21.
Gizi Buruk
ssta

Manifestasi

Penyebab
Langsung
Konsumsi Kurang Penyakit

Akses Pelayanan
mendapat Perawatan Anak Kesehatan Dan
Penyebab tidak Buruk Sanitasi
makanan sulit
langsung Lingkungan
Pendidikan Kurang Buruk

Sumberdaya & Pengawasan


Penyebab Manusia, Ekonomi &
Mendasar Organisasi Yang Buruk

Suprastruktur Politik dan ideologi

Struktur ekonomi
Sumber daya potensial

Sumber: UNICEF (1988) dalam Aritonang, 2013

Gambar II.1 Skema Faktor Penyebab Masalah Gizi

UNICEF (1988) telah mengambangkan kerangka konsep makro (lihat skema)

sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Dalam kerangka

tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi dapat disebabkan oleh:

1. Penyebab Langsung Gizi Buruk dan Gizi Kurang

Penyebab langsung masalah gizi buruk dan gizi kurang adalah kurangnya asupan

makanan dan adanya infeksi. Namun penyebab tersebut selalu diiringi dengan latar

22.
belakang lain yang lebih komplek seperti kondisi ekonomi, tingkat pendidikan, kondisi

lingkungan dan pola asuh yang diberikan terhadap balita (Wigati, 2013).

Penyebab langsung gizi buruk adalah sebagai berikut:

a. Penyakit Infeksi

Penyakit infeksi yang bisa menyebabkan gizi buruk antara lain

cacar air, batuk rejang, TBC, malaria, diare, dan cacing misalnya cacing Ascaris

Lumbricoides, dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat gizi yang

menurunkan daya tahan tubuh yang jika dibiarkan akan menimbulkan gizi buruk (Adriani,

2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Mursyid dkk (2015) menunjukkanb ada hubungan yang

bermakna antara penyakit infeksi dengan kejadian gizi buruk pada balita. Berdasarkan

penelitian yang telah dilakukan penyakit infeksi yang diderita balita yaitu, diare, demam

yang disertai flu dan batuk, bronkhitis, cacingan, campak, flu singapura, juga penyakit

bawaan yang diderita oleh balita meliputi kelainan jantung, kelainan kongenital dan kelainan

mental (Mursyid dkk, 2015).

b. Konsumsi Makanan

Gizi buruk sering dijumpai pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dimana pada saat ini

tubuh memerlukan zat gizi sangat tinggi, sehingga 35 bila kebutuhan zat gizi tidak terpenuhi

maka tubuh akan menggunakan cadangan zat gizi yang ada dalam tubuh, yang berakibat

cadangan semakin habis dan kelamaan akan terjadi kekurangan yang akan menimbulkan

perubahan pada gejala klinis (Adriani, 2013).

1) Kebutuhan Energi

Kebutuhan energi tiap anak berbeda, yang ditentukan oleh metabolisme basal

tubuh, umur, aktifitas fisik, suhu, lingkungan,serta kesehatannya. Zat gizi yang

22.
mengandung energi tersebut disebut macronutrient yang dikenal dengan karbohidrat,

lemak, dan protein. Tiap gram lemak, protein, dan karbohidrat masing-masing

menghasilkan 9 kalori, 5 kalori, dan 4 kalori. Dianjurkan agar jumlah energi yang

diperlukan didapat dari 50-60% karbohidrat, 25-35% protein, dan 10-15% lemak

(Adriani, 2013).

Energi yang dibutuhkan seseorang tergantung pada beberapa faktor:

a) Jenis kelamin: pada umumnya laki-laki membutuhkan lebih banyak energi daripada

perempuan.

b) Umur: pada anak-anak energi yang dibutuhkan lebih banyak daripada kelompok umur

lainnya karena masa ini memerlukan energi untuk pertumbuhan.

c) Aktivitas fisik: semakin berat aktifitas yang dilakukan akan memerlukan energi lebih

besar pula.

d) Kondisi fisiologis: kondisi fisiologis seseorang misal pada saat hamil, menyusui, atau

setelah sakit (Adriani, 2014).

2) Kebutuhan Protein

Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena paling erat hubungannya

dengan proses kehidupan. Kebutuhan protein bagi orang dewasa adalah 1 g untuk

setiap kilogram berat badannya setiap hari. Untuk anak-anak yang sedang tumbuh

atau bayi 2,5-3 g per kilogram berat badan bayi dan 1,5-2 g per kilogram berat badan

bagi anak sekolah sampai remaja (Adriani, 2016).

Kecukupan protein ini hanya dapat dipakai dengan syarat kebutuhan energi sudah

terpenuhi. Bila kebutuhan energi tidak terpenuhi maka sebagian protein yang

23.
dikonsumsi akan dipakai untuk pemenuhan kebutuhan energi. Angka kecukupan gizi

(AKG) rata-rata yang dianjurkan dalam WKPG VI tahun 1998 untuk bayi dan anak

adalah sebagai berikut (Adriani, 2016):

Tabel II.12 Angka kecukupan energi dan protein ratarata yang dianjurkan per orang
per hari

Gol Umur Berat Badan Tinggi Badan Energi (kkal) Protein (g)
(bln) (kg) (TB)
0-6 5,5 60 560 12
7-12 8,5 71 800 15
13-36 12 90 1250 23
37-47 15 100 1500 28
48-72 18 110 1750 32
Sumber: Adriani, 2013

c. Penyakit Bawaan

Penyebab gizi buruk sangat banyak dan bervariatif. Beberapa faktor bisa

berdiri sendiri atau terjadi bersama-sama. faktor utama penyebabnya adalah

penyertaan penyakit bawaan seperti hydrocephalus dan jantung bawaan dimana

tingkat keberhasilan penyembuhannya relatif kecil (Judarwanto, 2013).

2. Penyebab Tidak Langsung yang Menimbulkan Gizi Kurang

Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak,

serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Hariza, 2011). Penyebab yang

secara tidak langsung mempengaruhi kejadian gizi buruk pada anak balita adalah

sebagai berikut:

a. Pola Asuh Ibu

Pola asuh adalah suatu keseluruhan interaksi orang tua dan anak, dimana orang

tua memberikan dorongan bagi anak dengan mengubah tingkah laku, pengetahuan,

dan nilai-nilai yang dianggap paling tepat bagi orang tua agar anak bisa mandiri,

tumbuh, serta berkembang secara sehat dan optimal, memiliki rasa percaya diri,

24.
memiliki sifat rasa ingin tahu, bersahabat, dan berorientasi untuk sukses (Agency B,

2014).

Pola asuh anak berpengaruh secara signifikasi terhadap timbulnya kasus gizi

buruk dan gizi kurang. Pola asuh yang berpengaruh terhadap kebutuhan dasar anak

adalah asah, asih dan asuh (Roesli, 2014). Dalam hal ini pengasuhan anak meliputi

pemberian ASI, Pemberian MPASI, pemberian makanan tambahan dan perawatan

kebutuhan dasar anak seperti mandi dan menyediakan serta memakaikan pakaian

buat anak termasuk di dalamnya adalah memonitoring kesehatan anak (Depkes RI,

2014).

1) Riwayat ASI Eksklusif

Menyusui adalah proses memberikan ASI pada bayi. Pemberian ASI berarti

menumbuhkan kasih sayang antara ibu dan bayinya yang akan sangat

mempengaruhi tumbuh kembang dan kecerdasan anak dikemudian hari. ASI

diberikan setelah lahir biasanya 30 menit setelah lahir. Kolostrum merupakan

salah satu kandungan ASI yang sangat penting yang keluar 4 -6 hari pertama.

Kolostrum berupa cairan yang agak kental dan kasar serta berwarna kekuning-

kuningan terdiri dari banyak mineral (natrium, kalium dan klorida) vitamin A,

serta zat-zat anti infeksi penyakit diare, pertusis, difteri dan tetanus (Depkes RI,

2014).

Sampai bayi berumur 6 bulan hanya diberi ASI saja tanpa tambahan bahan

makanan dan minuman lain. Bayi yang diberi susu selain ASI mempunyai

resiko 17 kali lebih besar mengalami diare, dan 3 sampai 4 kali lebih besar

kemungkinan terkena ISPA dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI

25.
(Depkes RI, 2015). Bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif akan

berpeluang mengalami underweight saat dewasa, hal ini disebabkan karena

pemberian ASI eksklusif menurunkan angka kejadian penyakit infeksi yang

berhubungan dengan kondisi status gizi balita. ASI eksklusif akan

meningkatkan sistem imunitas bayi, sehingga daya tubuh terhadap infeksi akan

meningkat (Nakamori et al, 2013).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari ND, (2016) mengenai

hubungan riwayat pemberian ASI dengan gizi kurang balita menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara riwayat pemberian ASI dengan

status gizi balita (p value=,003). Balita dengan riwayat ASI nonekslusif

berpeluang mengalami gizi kurang sebanyak 4,34 kali lebih besar dibandingkan

dengan balita dengan riwayat ASI ekslusif (Lestari ND, 2016).

2) Riwayat MP-ASI

Makanan pendamping ASI (MP ASI) adalah makanan tambahan yang

diberikan kepada bayi setelah usia 6 bulan sampai usia 24 bulan guna memenuhi

kebutuhan gizi selain ASI (Kemenkes RI, 2014). Peranan makanan tambahan

bukan sebagai pengganti ASI tetapi untuk melengkapi atau mendampingi ASI

(Lestari dkk, 2014). Pemberian MP-ASI sebelum usia 6 bulan ditinjau dari

perkembangan sistem pencernaan belum siap menerima makanan semi padat

dan berisiko terkena diare. MP-ASI yang tidak diberikan pada waktu dan jumlah

yang tepat maka dapat menurunkan status gizi (Marimbi, 2014).

a) Usia Pertama Pemberian MP-ASI

Pemberian MP-ASI sebelum usia 6 bulan ditinjau dari perkembangan

sistem pencernaan belum siap menerima makanan semi padat dan berisiko

26.
terkena diare (Marimbi,2013). MP-ASI yang tidak diberikan pada waktu

dan jumlah yang tepat maka dapat menurunkan status gizi. Selain usia

pertama pemberian MP-ASI banyak faktor yang mempengaruhi status gizi

yaitu pemberian MP-ASI harus memadai, yang berarti bahwa makanan

pendamping harus diberikan dalam jumlah, frekuensi, responsif, hygiene,

konsistensi dan menggunakan berbagai makanan untuk menutupi

kebutuhan gizi anak tumbuh dengan tetap menyusui (Sulistyoningsih,

2014).

b) Frekuensi Pemberian MP-ASI

Frekuensi dalam pemberian Makanan Pendamping ASI yang tepat

biasanya diberikan tiga kali sehari. Kebiasaan makan yang baik adalah tiga

kali sehari, kalau hanya satu kali sehari, maka konsumsi pangan terutama

bagi anak-anak mungkin sekali kurang dan kebutuhan zat gizinya tidak

terpenuhi (Aminah, 2013).

c) Porsi Pemberian MP-ASI

Jumlah/porsi MP-ASI hendaknya diberikan secara bertahap, berangsur

mulai dari satu sendok hingga bertambah sesuai porsi kebutuhan bayi

sesuai dengan usianya (Aminah, 2013). Rekomendasi WHO dalam praktik

pemberian Makanan Pendamping ASI menyebutkan bahwa jumlah/porsi

makanan anak disesuaikan dengan usia (Fitriana dkk, 2013).

Ketika anak berusia 6 bulan diberikan makanan tambahan mulai

dengan dua sampai tiga sendok makan dengan pengenalan rasa dan secara

perlahan ditingkatkan jumlahnya, dari usia 6-9 bulan ditingkatkan secara

27.
perlahan sampai setengah mangkuk berukuran 250 ml. Usia 9-12 bulan

diberikan setengah sampai tiga perempat mangkuk berukuran 250 ml,

kemudian dari usia 12-24 bulan diberikan tiga perempat sampai satu

mangkuk ukuran 250 ml (Fitriana dkk, 2013).

d) Variasi Pemberian MP-ASI

Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan

kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MPASI yang

baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga

mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan

mineral lainnya (Yetti, 2013).

3) Anak tidak mau makan

Penolakan makan pada anak kadang juga terjadi karena taste/rasa

makanan yang diberikan tidak disukai anak. Namun hal ini tidak disadari oleh

para ibu karena menganggap makanan yang diberikan sudah sesuai dengan

kondisi anak. Hal ini terutama terjadi pada makanan yang berasal dari produk

pabrik. Seharusnya sebelum makanan diberikan pada anak, setidaknya ibu

mencicipi makanan tersebut untuk mengetahui taste yang paling disukai anak.

Secara psikologis ibu sering kali terpengaruh oleh tekstur makanan yang

berbentuk halus sehingga enggan untuk mencicipi (Pattinama, 2014).

4) Pola asuh makan

Karyadi (1985) menyatakan bahwa pola asuh makan adalah cara pengasuhan

yang dilakukan ibu kepada anak yang berkaitan dengan pemberian makan

(Fitayanim, 2014).

28
Pengasuhan pada anak juga tidak dimulai setelah bayi lahir, namun pada saat

bayi masih ada dalam kandungan sudah dilakukan pengasuhan. Kebutuhan gizi

pada saat hamil harus mencukupi kebutuhan ibu maupun janin. Kualitas maupun

jumblah makanan perlu ditambah dengan zat-zat gizi dan energi yang cukup guna

menunjang pertumbuhan janin berjalan baik. Ibu yang mengalami kekurangan gizi

saat hamil akan menimbulkan beberapa masalah seperti berat badan bayi rendah,

gangguan kesehatan pada balita, kecerdasan anak terganggu karena perkembangan

otak yang kurang baik, bayi lahir premature, terhambatnya pertumbuhan janin,

cacat bawaan, dll (Zulhaida, 2013 dalam Sipahutar, Aritonang Siregar, 2013;

Mirayanti, 2013).

Departemen Kesehatan RI tahun 2006 menyatakan bahwa jenis, jumblah dan

frekuensi makanan pada bayi dan balita sebaiknya diatur sesuai dengan

perkembangan usia dan kemampuan organ dalam mencerna makanan (Hayadi,

2014). Waktu pemeberian makan pada anak dapat disesuaikan waktu makan secara

umum yaitu pagi hari (07.00-08.00), siang hari (12.00-13.00) dan malam hari

(18.00-19.00). makanan selingan diberikan diantara dua waktu makan yaitu pukul

10.00-11.00 dan pukul 16.00-17.00 (Ningrum, 2016). Pemberian makanan pada

balita dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

29.
Tabel II. 13 Pola pemberian makanan balita

Usia Bentuk Makanan Frekuensi

0-6 Bulan ASI ekslusif Sesering mungkin

minimal 8 kali/hari

6-9 Bulan Makanan lumat/lembek 2 kali sehari, 2 sendok

makan setiap kali

makan

9-12 Bulan Makanan lembek 3 kali sehari plus 2

kali makanan selingan

1-3 Bulan Makanan keluarga 1-1 ½ piring 3 kali sehari plus 2


nasi/pengganti 2-3 potong lauk
hewani kali makanan selingan
1-2 potong sedang lauk nabati ½
mangkuk sayur
2-3 potong buah-buahan
1 gelas susu
4-6 Bulan 1-3 piring nasi/ pengganti 3 kali sehari plus 2
2-3 potong lauk hewani
1-2 potong lauk nabati kali makanan selingan
1-1 ½ mangkuk sayur
2-3 potong buah-buahan
1-2 gelas susu
Sumber : Depkes RI, 2006

Pola makan yang seimbang bagi bayi adalah merupakan keadaan

keseimbangan antara zat gizi yang diperlukan bayi untuk aktivitas ototnya,

pembentukan jaringan baru dan perbaikan jaringan yang rusak, memberi rasa

aman dan nyaman, dapat dipenuhi dengan asupan zat gizi yang beraneka

ragam makanan (Adiningsih, 2014).

Pola makanan yang sebaiknya diberikan yaitu menu seimbang sehari-hari,

sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengantar

30.
(Fitriana dkk, 2013). Pola asuh makan orang tua kepada anak atau parental

feeding adalah perilaku orang tua yang menunjukkan bahwa mereka

memberikan makan kepada anaknya baik dengan pertimbangan atau tanpa

pertimbangan (Boucher, 2014). Pola makan didefinisikan sebagai karateristik

dari kegiatan yang berulang kalimakan individu atau setiap orang makan

dalam memenuhi kebutuhanmakanan (Sulistyoningsih, 2014).

a. Jenis makan

Jenis makan adalah sejenis makanan pokok yang dimakansetiap hari

terdiri dari makanan pokok, Lauk hewani,Lauk nabati,Sayuran ,dan Buah

yang dikonsumsi setiap hari Makanan pokokadalah sumber makanan utama

di negara indonesia yangdikonsumsi setiap orang atau sekelompok

masyarakat yang terdiridari beras, jangung, sagu, umbi-umbian, dan

tepung.(Sulistyoningsih,2013).

b. Frekuensi makan

Frekuensi makan adalah beberapa kali makan dalam seharimeliputi

makan pagi, makan siang, makan malam dan makanselingan (Depkes, 2013).

Sedangkan menurut Suhardjo (2013) frekuensi makan merupakan berulang

kali makan sehari denganjumlah tiga kali makan pagi, makan siang, dan

makan malam.

c. Jumlah makan

Jumlah makan adalah banyaknya makanan yang dimakan dalam setiap

orang atau setiap individu dalam kelompok (Willy, 2013).

31.
5). Pola asuh diri

Kemenkes (2015) berpesan pada orang tua sebagai pengasuh anak harus

memahami dan menerapkan pearwatan sehari-hari pada anak yang terdiri dari:

a. Kebersihan anak

Kebersihan anak meliputi mandi dengan sabun dan air sebanyak 2 kali

sehari, mencuci rambut dengan shampo 3 kali seminggu, mencuci tangan dan

kaki anak dengan sabun setiap selesai bermain, mengganti pakaian

(termasuk pakaian dalam) setelah mandi dan bermain.

Kebersihan lainnya yang dilakukan harus dilakukan orang tua seperti

menggunting kuku tangan dan kaki secara teratur serta selalu menjaga

kebersihannya, mengajari anak untuk buang air besar dan kecil di WC,

menjaga kebersihan pakaian, mainan dan tempat tidur; menjaga kebersihan

makan dan minum.

b. Perawatan gigi

Perawatan gigi yang harus dilakukan orang tua pada anak adalah apabila

gigi anak belum tumbuh dan baru akan tumbuh, orang tua harus selalu

membersihkan gusi, lidah dan gigi dengan gerakan ringan dan perlahan

menggunakan kain lembut bersih dan yang dibasahi dengan air matang

hangat. Gigi yang sudah tumbuh lebih banyak, orang tua berkewajiban

menggosok gigi anak setelah sarapan dan sebelum tidur dengan sikat gigi

kecil khusus anak yang berbulu lembut.

Pasta gigi yang digunakan untuk menggosok gigi mengandung flour. Usia

1-2 tahun, pasta gigi diberikan selapis tipis atau ½ biji kacang polong.

32.
Mengajarkan anak untuk menggosok gigi sendiri secara teratur selama 2 menit

dan mendampinginya sampai usia 8 tahun.

c. Kebersihan lingkungan

Orang tua harus menjauhkan anak dari asap rokok, asap dapur, asap sampah

dan polusi kendaraan bermotor. Orang tua harus menjaga kebersihan rumah

dan sekitarnya, menjaga lingkungan bermain anak dari debu dan sampah.

Membersihkan dan menutup bak penampungan air untuk menghindari

berkembang biaknya jentik-jentik nyamuk serta selalu menggunakan kelambu

untuk menghindari gigitan nyamuk.

6). Pola asuh kesehatan

Pola asuh perawatan dasar pada anak terdiri dari perawatan

terhadap anak sakit dan pencegahan agar anak tidak jatuh sakit.

Ketika anak sakit, ibu diharapkan mampu merawat termasuk merawat

anak dengan penyakit progesif yang membutuhkan perawatan lebih

lanjut.

Peran seorang ibu merawat anak setiap harinya mempunyai pengaruh

yang tinggi terhadap pertumbuhan karena pola asuh yang baik maka anak

menjadi terawat dan gizi pun menjadi terpenuhi (Munawaroh, 2015). Ibu

yang melakukan pemantauan kesehatan terprogram seperti imunisasi akan

menyebabkan resiko terkena penyakit pada balita lebih rendah. Balita yang

dipantau gizinya di posyandu melalui kegiatan penimbangan akan lebih

mudah mendapatkan informasi akan adanya gangguan pada status gizinya

(Anas, 2013 dalam Ningrum, 2016).

33
b. Sanitasi Lingkungan

Sanitasi lingkungan adalah stataus kesehatan suatu lingkungan yang

mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan

sebagainya. Masalah kesehatan lingkungan dan pelayanan kesehatan dasar

merupakan determinan penting dalam bidang kesehatan. Berubahnya kondisi

lingkungan akan berdampak kepada berubahnya kondisi kesehatan masyarakat.

Kecendrungan masalah lingkungan yang menjadi issue penting saat ini

antara lain: terjadinya perubahan iklim, mulai berkurangnya sumber daya alam,

terjadinya pencemaran lingkungan baik terhadap air maupun udara.

1) Perumahan

Rumah sehat merupakan salah satu sasaran untuk mencapai derajat kesehatan

yang optimum. Untuk memperoleh rumah yang sehat ditentukan oleh

tersedianya sarana sanitase perumahan. Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan

masyarakat yang menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik

dimana Jurnal Kesehatan Lingkungan, Volume 1 Januari 2013, terhadap 111

orang menggunakannya untuk tempat tinggal berlindung yang mempengaruhi

derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu,

kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana

pembuangan sampah, sarana pembuangan kototran manusia dan penyediaan air

bersih.

2) Sasaran pembuangan air limbah

Air limbah atau air buangan adalah sisa air yang dibuang yang berasal dari

rumah tangga, industri maupun tempat-tempat umum lainnya pada umuninya

mengandung bahan-bahan atau zat-zat yang dapat membahayakan bagi

34
kesehatan manusia serta mengganggu lingkungan hidup. Batasan lain mengatakan bahwa air

limbah adalah kombinasi dan cairan sampah cair yang berasal dan daerah pemukiman,

perdagangan, perkantoran dan industri bersama-sama dengan air tanah, air permukaan dan

air hujan yang mungkin ada. Meskipun merupakan air sisa namun volumenya besar karena

lebih kurang 80% dan air yang digunakan bagi kegiatan manusia sehari-hari dibuang dalam

keadaan kotor (tercemar). Oleh sebab itu, air buangan ini harus dikelola atau diolah secara

baik. Pengolahan air limbah dimaksud untuk melindungi lingkungan hidup terhadap

pencemaran air limbah tersebut.

3). Akses terhadap air bersih dan sanitasi

Adapun sumber air meliputi permukaan terdiri dan air sungai, air danau dan

air waduk. Apabila ingin dikomsumsi maka diperlukan pengolahan terlebih dahulu.

Air tanah (dangkal dan dalam) merupakan air yang jatuh ke permukaan bumi dan

meresap ke dalam tanah. Pada saat proses pengaliran dan peresapan,mengalami

proses penyaringan alamiah, sehingga jumblah dan jenis mikroba maupun kadar

kimia yang terkandung di dalam air tersebut berkurang, tergantung dan lapisan

tanah yang dilaluinya. Air hujan, pada umumnya kualitas cukup baik, tapi dapat

pula terkontaminasi oleh polutan diudara sehingga dapat mengakibatkan kerusakan

terhadap logam yaitu timbulnya karat. Air hujan bersifat lunak karena tidak sedik

mengandung garam dan zat mineral sehingga kurang segar. Air hujan memiliki

bebebrapa zat yang ada diudara seperti NH3,S03 dan C02 agresif sehingga bersifat

korosif.

Lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang

anak. Peran orang tua dalam membantu proses pertumbuhan dan perkembangan anak adalah

dengan membentuk kebersihan diri dan sanitasi lingkungan yang sehat.

35.
Hal ini menyangkut dengan keadaan bersih, rapi dan teratur (Listyowati, 2013). Anak

perlu dilatih untuk mengembangkan sifat-sifat sehat seperti berikut ini:

1) Mandi dua kali sehari;

2) Cuci tangan sebelum dan sesudah tidur;

3) Menyikat gigi sebelum tidur;

4) Membuang sampah pada tempatnya;

5) Buang air kecil pada tempatnya atau WC (Listyowati, 2013).

Menjaga kesehatan bayi dapat dilakukan melalui langkah sederhana dengan

membersihkan botol susunya secara rutin, menjaga botol susu tetap kering, dan

menyimpan botol susu di tempat yang tepat agar hygenitas botol susu tetap

terjaga (Setyowati, 2014).

c. Praktik Pemanfaatan Pelayanan kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga

terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti

imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, pemantauan

pertumbuhan melalui penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi serta

sasaran kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau

dokter, rumah sakit atau klinik lainnya.

Akses dan Pemanfaatan Kesehatan merupakan akses atau keterjangkauan

anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan

kesehatan seperti imunisasi, pemantauan pertumbuhan anak di posyandu,

pelayanan kesehatan lainnya di polindes, puskesmas dan rumah sakit.

Akses kesehatan dibedakan menjadi 3 bentuk pelayanan kesehatan yaitu:

36.
1) Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health care).

Pelayanan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan

dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka atau

promosi kesehatan. Bentuk pelayanan ini misalnya, puskesmas,

puskesmas pembantu, puskesmas keliling dan balai kesehatan

masyarakat.

2) Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health service)

Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan oleh kelompok masyarak

yang memerlupak perawatan menginap, yang sudah tidak bisa

ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Bentuk pelayanaan ini

misalnya, rumah sakit tipe C dan D.

3) Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health service).

Pelayanan kesehatan terhadap anak anak balita dapat meliputi

pelayanan kesehatan di tingkat posyandu, puskesmas dan pelayanan

kesehatan lainnya serta terkait pula dengan peran tenaga kesehatan

dalam memberikan pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang

kurang menjangkau masyarakat atau kurang handalnya pemberi

pelayanan kesehatan merupakan satu faktor kemungkinan penyebab

masalah gizi kurang (Lestrina, 2014).

Dalam upaya memperbaiki status gizi anak, dilakukan upaya pencegahan

penyakit menyangkut perawatan dasar terhadap anak yaitu dengan pemberian

imunisasi secara lengkap, pemberian vitamin A secara berkala (mengikuti bulan

pemberian vitamin A) dan upaya perbaikan sanitasi terhadap anak, ibu dan

lingkungan (Lestrina, 2013). 37.


2. Faktor resiko kejadian gizi kurang

a. Resiko komsumsi protein terhadap gizi kurang

Kekurangan protein akan berdampak pada terganggunya pertumbuhan,

perkembangan dan produktivitas. Jika kecukupan energi tidak terpenuhi maka

akan terjadi perombakan protein di dalam tubuh sehingga fungsi yang

seharusnya sebagai pertumbuhan dan zat pembangun akan terhambat

fungsinya yang lama kelamaan akan menimbulkan gizi kurang bahkan jika

terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

Rahim (2014) yang menyatakan bahwa komsumsi protein yang rendah

beresiko 3,49 kali menderita gizi kurang dibandingkan dengan komsumsi

protein yang cukup (OR=3,49). Selain itu, Wong et al (2014) dalam

penelitiannya mengungkapkan bahwa resiko untuk menderita gizi kurang

adalah 1,06 kali dibandingkan dengan komsumsi protein yang memadai (95%

CI= 1.01 – 1.12).

b. Resiko penyakit infeksi terhadap gizi kurang

Infeksi memainkan peran utama dala etiologi gizi karena infeksi

mengakibatkan peningkatan kebutuhan dan pengeluaran energi tinggi, nafsu

makan rendah, kehilangan unsur hara akibat muntah, diare, pencernaan yang

buruk, rendahnya penyerapan dan pemanfaatan zat gizi, serta gangguan

keseimbangan metabolisme.

Glenn et al (2014) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa resiko

balita yang menderita infeksi adalah 2,81 kali lebih tinggi mengalami gizi

kurang dan tidak memiliki makna yang signifikan (ƿ=0.18 atau ƿ>0,05).

38
3. Resiko pola asuh makan terhadap gizi kurang

Pola asuh makan merupakan faktor resiko kejadian gizi kurang. Orang tua

memiliki tingkat kontrol yang tinggi terhadap lingkungan dan pengalaman anak-

anak mereka. Pengasuhan yang baik adalah ibu memperhatikan frekuensi dan

jenis makanan yang dikomsumsi oleh anaknya agar kebutuhan zat gizinya

terpenuhi. Setiap orang tua memiliki praktik kebutuhan yang berbeda tergantung

dari budaya masing-masing, sehingga pengasuhan makanan ini dianggap

sebagai strategi perilaku tertentu untuk mengontrol apa saja yang dikomsumsi

anak dan berapa banyak yang dikomsumsi anak ketika mereka makan.

Hal ini sejalan dengan penelitia Zulfita (2013) yang menyatakan

bahwa pola asuh makan merupakan faktor resiko gizi kurang, berisiko 4,297

kali menderita gizi kurang dibandingkan dengan balita yang ibunya

memberikan pola asuh yang baik (95% CI : 1,413 – 13,08) dengan nilai p

<0,05.

i. Indikator penilaian status gizi

a. Stataus gizi balita berat badan menurut umur ( BB/U)

Indikator status gizi berdasrkan indeks BB/U akan memberikan indikasi

masalah gizi secara umum. Status gizi berdasarkan indeks BB/U tidak dapat

memberikan indikasi tentang masalah gizi yang bersifat akut maupun kronis

(Riskesdas, 2013).

Klasifikasi status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut umur

(BB/U) dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut (Kemenkes RI, 2012).

39.
Tabel II.14 kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan

indeks BB/U

Indeks Kategori status gizi Ambang Batas (Z-score)


Berat Badan Menurut Umur ( - Gizi buruk <- 3 SD
BB/U) - Gizi kurang -3 SD sampai dengan <-2SD
- Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
- Gizi lebih >2 SD
Sumber: WHO Antro 2005 (Kemenkes 2014)

b. Status Gizi Balita Berat Badan Menurut Tinggi Badan (BB/TB)

Indikator status gizi berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan

(BB/TB)meberikan indikasi masalah gizi yang bersifat akut sebagai akibat dari

peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama (singkat). Penentuan

klasifikasi suatu gizi dapat dilakukan dengan memperhatikan tanda klinis anak

balita dan indeks BB/TB(PB) dengan menggunakan standar deviasi (SD).

Kemenkes RI tahun 2013 telah menentukan klasifikasi dengan mempertimbangkan

tanda klinis dan antropometri seperti tabel II.15

Tabel II. 15 Penentuan klasifikasi status gizi anak

Klasifikasi Status Gizi Klinis Antropometri


Gizi buruk Tampak sangat kuru kurus <-3 SD
dan edema pada kedua
punggung kaki sampai
seluruh tubuh
Gizi kurang Tampak kurus -3 SD sampai <-2 SD
Gizi baik Tampak sehat -2 SD sampai 2 SD
Gizi lebih Tampak gemuk >2 SD
Sumber: Kemenkes RI, 2013. Bagan tata laksana anak gizi buruk buku I.Kemenkes RI
Jakarta.

C. Kerangka konsep penelitian

Kerangka konsep dalam penelitian ini dapat digambarkan dalam sebuah gambar

yang menghubungkan antara faktor pelyanan kesehatan, sanitasi lingkungan dan pola

asuh ibu yang terlihat seperti gambar dibawah ini :

40.
Variabel Bebas Variabel Terikat

Faktor Resiko :

Pelayanan Kesehatan

Kejadian Gizi
Sanitasi Lingkungan Kurang

Pola Asuh Ibu

Keterangan :

: Variabel Bebas

: Variabel Terikat

: Menyatakan adanya hubungan

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah sementara penelitian, patokan duga, atau dalil

sementara yang kebenarannya akan di buktikan dalam penelitian tersebut

(Notoatmodjo 2014).

1. Adanya hubungan antara pelayanan kesehatan di Puskesmas Tawiri,

2. Adanya hubungan antara sanitasi lingkungan di Puskesmas Tawiri,

3. Adanya hubungan antara pola asuh ibu di Puskesmas Tawiri.

41.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan jenis penelitian survei analitik dengan pendekatan

cross sectional adalah desain penelitian analitik yang bertujuan untuk mengetahui

hubungan antara variabel dimana variabel independen dan variabel dependen

didefenisikan pada satu waktu (Nursalam, 2015).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi

Penelitian dilakukan di Puskesmas Tawiri Ambon.

2. Waktu

Penelitian dilakukan pada tanggal 12 Agustus sampai dengan 12 September 2019.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan jumlah yang terdiri atas objek atau subjek yang

mempunyai karakteristik dan kualitas tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Nursalam, 2015). Populasi dalam

penelitian ini adalah keseluruhan jumblah balita dari bulan january sampai pada bulan

july 2019 yang mengalami kejadian gizi kurang di Puskesmas Tawiri Ambon yaitu

berjumlah 805 balita.

42.
2. Sampel

Sampel adalah bagian dari sejumlah karekteristik yang dimiliki oleh populasi yang

digunakan untuk penelitian (Nursalam, 2015). Teknik pengambilan sampel dalam

penelitian ini adalah Accidental Sampling dimana teknik penentuan sampel berdasarkan

kebetulan, yaitu konsumen yang secara kebetulan/insidental bertemu dengan peneliti

dapat digunakan sebagai sampel (Nursalam, 2015). Penelitian yang dilakukan dari

tanggal 12 Agustus sampai dengan 12 September 2019, peneliti mendapat 60 responden

yang memiliki kriteria sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi :

1) Ibu dari balita yang berkunjung ke Puskesmas Tawiri Ambon.

2) Ibu dari balita yang bersedia menjadi responden.

b. Kriteria Eksklusi :

1) Ibu dari balita yang tidak hadir saat penelitian.

D. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terbagi 2, yaitu:

1. Variabel bebas (independen) dalam penelitian ini adalah faktor pelayanan kesehatan,

sanitasi lingkungan, pola asuh ibu. Variabel terikat (dependen) dalam penelitian ini

adalah kejadian gizi kurang.

E. Defenisi Operasional

Secara rinci defenisi operasional pada penelitian ini dijelaskan pada tabel 3.1 dibawah

ini:

43.
Tabel 3.1 Defenisi Operasional

No Variabel/su Defenisi Operasional Alat ukur Hasil ukur Skala


b Variabel
Variabel Independen
1 Pelayanan Pelayanan keseahtan adalah 1. Baik jika Ordinal
kesehatan Kuesioner nilai mean ≥
akses atau keterjangkauan 4
2. Kurang baik
anak dan keluarga terhadap jika nilai
mean < 4
upaya pencegahan penyakit

dan pemeliharaan kesehatan

seperti imunisasi, pemeriksaan

kehamilan, pertolongan

persalinan, pemantauan

pertumbuhan melalui

penimbangan anak,

penyuluhan kesehatan dan gizi

serta sasaran kesehatan yang

baik seperti posyandu,

puskesmas, praktek bidan atau

dokter, rumah sakit atau klinik

lainnya.

2 Sanitasi Sanitasi lingkungan adalah Kuesioner 1. Baik jika Ordinal


lingkungan stataus kesehatan suatu nilai mean ≥
lingkungan yang mencakup 4
perumahan, pembuangan 2. Kurang baik
kotoran, penyediaan air bersih jika nilai
dan sebagainya mean < 4
3 Pola asuh Pola asuh adalah suatu Kuesioner 1. Baik jika Ordinal
ibu keseluruhan interaksi orang tua nilai mean ≥
dan anak, dimana orang tua 4
memberikan dorongan bagi 2. Kurang baik
anak dengan mengubah jika nilai
tingkah laku, pengetahuan, dan mean < 4
nilai-nilai yang dianggap
paling tepat bagi orang tua
agar anak bisa mandiri,
tumbuh, serta berkembang
secara sehat dan optimal,
memiliki rasa percaya diri,
memiliki sifat rasa ingin tahu,
bersahabat, dan berorientasi
untuk sukses

Variabel Dependen

4 Kejadian Gizi kurang adalah kekurangan Kuesioner 1. Puas jika Ordinal


gizi kurang bahan-bahan nutrisi seperti nilai mean ≥
protein, karbohidrat, lemak, 5
dan vitamin yang dibutuhkan 2. Tidak Puas
oleh tubuh. jika nilai
mean < 5

F. Instrumen Penelitian

Instrumen dalam penelitian ini berupa kuesioner yang diadopsi dan dimodifikasi oleh

peneliti. Kuesioner dalam penelitian ini terdiri dari data identitas responden (data

demografi), kuesioner faktor-faktor kejadian gizi kurang dari ibu balita, kuesioner

kejadian gizi kurang dalam pelayanan kesehatan.

Kuesioner faktor-faktor kejadian gizi kurang yang terdiri dari faktor pelayanan

kesehatan, sanitasi lingkungan, dan pola asuh ibu terdiri dari masing-masing 4 item

pernyataan dengan 2 pilihan jawaban yaitu ya dan tidak. Kuesioner diisi dengan cara

memberikan chek list (√) pada masing-masing kolom jawaban. Jika responden menjawab

ya maka peneliti memberi skor 1. Jika responden menjawab tidak maka peneliti memberi

skor 0. Kuesioner faktor-faktor kejadian gizi kurang diadopsi dan dimodifikasi oleh

45.
peneliti dari kuesioner yang telah digunakan sebelumnya oleh Novia Uspessy (2015) yang

telah diuji validitas dan reliabilitas kuesioner.

Kuesioner kejadian gizi kurang dalam pelayanan kesehatan terdiri dari 15 item

pernyataan dengan 2 pilihan jawaban yaitu ya dan tidak. Kuesioner diisi dengan cara

memberikan chek list (√) pada masing-masing kolom jawaban. Jika responden menjawab

ya maka peneliti memberi skor 1. Jika responden menjawab tidak maka peneliti memberi

skor 0. Kuesioner kepuasan pasien diadopsi dan dimodifikasi oleh peneliti dari kuesioner

yang telah digunakan sebelumnya oleh Nila Izzah (2014) yang telah diuji validitas dan

reliabilitas kuesioner.

G. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara memberikan kuesioner dan

diisi oleh responden yang adalah ibu dari balita yang datang ke Puskesmas Tawiri

2. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari data register Puskesmas Tawiri.

H. Pengolahan Data

Proses pengolahan data dalam penelitian ini menurut Nursalam (2015), terdiri dari

empat tahap yaitu:

1. Editing

Penyuntingan data dilakukan setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan

kelengkapan data.

46.
2. Coding

Untuk memudahkan pengolahan data maka semua jawaban atau data perlu

disederhanakan yaitu memberi simbol-simbol tertentu untuk setiap jawaban.

3. Tabulation

Untuk memudahkan tabulasi data maka dibuat tabel untuk menganalisis data

tersebut menurut sifat-sifat yang dimiliki. Dimana tabel tersebut dapat berupa tabel

sederhana.

4. Entry

Data entry meupakan proses pemasukan data ke dalam program atau fasilitas

analisis data.

I. Analisa Data

1. Analisa Univariat

Data yang telah diolah selanjutnya dianalisa secara deskriptif yang dilaksanakan

untuk menggambarkan variabel-variabel yang diteliti. Masing-masing variabel

dianalisa secara deskriptif frekuensi dan dinarasikan secara kualitatif kemudian

digambarkan dalam bentuk tabel. Analisis univariat digunakan untuk mengetahui

karakteristik subyek penelitian dengan menghitung frekuensi dan proporsi. Adapun

karakteristik yang di analisis adalah karakteristik yang meliputi umur, jenis kelamin,

pendidikan terakhir, pekerjaan, kejadian gizi kurang, faktor pelayanan kesehatan, faktor

sanitasi lingkungan, dan faktor pola asuh ibu.

47.
2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan uji Chi Square untuk mengetahui hubungan yang

signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sedangkan jika distribusi data

ditemukan terdistribusi tidak normal maka uji alternatif yang digunakan adalah uji

fisher exact test. Dasar pengambilan hipotesis penelitian berdasarkan pada tingkat

signifikan (nilai p), yaitu:

1) Jika nilai p > 0,05 maka hipotesis penelitian ditolak.

2) Jika nilai p < 0,05 maka hipotesis penelitian diterima.

J. Etika Penelitian

Menurut Notoadmodjo (2014) dalam melakukan penelitian, peneliti perlu membawa

rekomendasi dari institusi untuk pihak lain dengan cara mengajukan permohonan izin

kepada institusi lembaga tempat penelitian yang diajukan oleh peneliti. Setelah mendapat

persetujuan, barulah peneliti dapat melakukan penelitian dengan mengedepankan masalah

etika meliputi:

1. Persetujuan (Informed Consent)

Informed Consent merupakan persetujuan antara peneliti dan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan. Sebelum melakukan penelitian, peneliti

memberikan penjelasan kepada responden dan meminta persetujuan terlebih dahulu.

2. Tanpa Nama (Anomity)

Setiap responden dijaga kerahasiaan atas informasi yang diberikan. Peneliti tidak

mencantumkan nama responden tetapi pada lembar tersebut diberi kode.

48.
3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data

tertentu dilaporkan sebagai hasil penelitian.

49.
DAFTAR PUSTAKA

Adriani, M & B. Wirjatmadi. 2014. Gizi dan Kesehatan Balita (Peranan Mikrozinc

pada Pertumbuhan Balita). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Adriani, M. 2012. Peranan Gizi Dalam Siklus Kehidupan. Jakarta; Kencana

Prenadamedia Group.

Alamsyah, D & Muliawati, R. 2013. Pilar Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat.

Yogyakarta: Nuha Medika. Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta:

Percetakan PT Gramedia Pustaka Umum.

Almatsier S, Soetardjo S, & Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur

Kehidupan. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Anggraeni, R & A. Indrarti. 2010. Klasifikasi Status Gizi Balita Berdasarkan Indeks

Antropometri (BB/U) Menggunakan Jaringan Saraf Tiruan. SNASTIICCS. hal. 14-8.

Anda mungkin juga menyukai