Anda di halaman 1dari 13

Refleks Cahaya Pupil dalam Neurodiagnostik pada

Masa Depan

ABSTRAK
Refleks cahaya pupil menggambarkan kontraksi yang diikuti dilatasi pupil terhadap
rangsangan cahaya sebagai hasil aksi antagonis otot-otot spingter iris dan dilator pupil. Otot-
otot tersebut dipersarafi oleh saraf parasimpatis dan simpatis, masing-masing, bebrapa
parameter dapat digunakan sebagai indicator baik modulasi saraf parasimpatis maupun
simpatis. Dengan demikian, reflex cahaya pupil memberikan metrics penting terhadap fungsi
system saraf otomon yang telah digunakan dalam jangka waktu lama pada aplikasi klinis.
Pengukuran reflex cahaya pupil menggunakan pupillometri dinamik yang saat ini berkembang,
suatu alat untuk penilaian trauma kepala yang non invasif. Review ini menguji lebih lagi
penggunaan terbaru pupilometri dinamik sebagai alat diagnostik jangka panjang, mulai dari
penyakit neurodegenerative hingga paparan bahan kimia beracun, serta potensinya dalam
diagnosis penyakit infeksi non invasif.
Kata kunci : pupilometri ; asetilkolin; system kolinergik; neurodegenersi; trauma; infeksi;
obat-obat rekreasional; zat-zat kimia; toksin; autism
1.Pendahuluan
Asal usul frasa "mata adalah jendela jiwa" dikaitkan dengan Konsul Romawi Cicero, tetapi
selama tiga dekade terakhir kemampuan mata untuk bertindak sebagai jendela ke fungsi sistem
saraf telah dieksploitasi untuk berbagai macam aplikasi klinis, termasuk kesehatan mental dan
gangguan neurodegeneratif, serta paparan zat beracun dan terlarang serta trauma.
Refleks cahaya pupil (RCP) menjelaskan kontraksi dan dilatasi pupil sebagai respons terhadap
cahaya, yang tidak hanya berfungsi sebagai penentu utama kualitas gambar retina [1,2], tetapi
juga sebagai metrik penting fungsi sistem saraf otonom [3]. Dengan demikian, pengukuran
respons pupil terhadap cahaya digunakan sebagai alat non-invasif untuk penelitian ilmu saraf
dasar dan studi keseimbangan parasimpatis dan simpatik.
2.Refleks Cahaya Pupil
Pupil memiliki jangkauan dinamis yang besar, biasanya dari diameter 7,5-8 mm pada midriasis
penuh hingga 1,5-2 mm pada miosis penuh, dan dikendalikan oleh aksi antagonis otot sphincter
dan dilator iris [4]. Pupil memiliki jangkauan dinamis yang besar, biasanya dari diameter 7,5-
8 mm pada midriasis penuh hingga 1,5-2 mm pada miosis penuh, dan dikendalikan oleh aksi
antagonis otot sphincter dan dilator iris [4].
3.Mengukur Refleks Cahaya Pupil
Dinamika RCP mengikuti pola umum yang terdiri dari 4 fase: latensi respons, penyempitan
maksimum, pelepasan pupil dan pemulihan (Gambar 1), yang dapat dipengaruhi oleh durasi,
intensitas, dan komposisi spektral cahaya. RCP menyajikan ukuran fisiologis fungsi sistem
saraf normal atau abnormal dan kesimetrisan RCP dalam menanggapi stimulasi mata, karena
dekusatio serat pupil, memberikan kesempatan untuk membandingkan penggerak pupillomotor
di kedua mata [6].

Gambar 1. Skema pupillogram (garis biru) dan parameter RCP terkait. Stimulus ringan
pada waktu nol menghasilkan pengurangan cepat dalam diameter pupil. Latensi (tL)
dihitung sebagai waktu yang telah berlalu antara onset cahaya dan awal penyempitan.
Pupil kemudian dengan cepat mengalami konstriksi (kecepatan konstriksi maksimal;
MCV) dari diameter awal pupil (D0) ke diameter minimum pupil (Dmin); waktu
penyempitan (tC) dan amplitudo penyempitan maksimum (MCA) dihitung sebagai
interval waktu dan perbedaan ukuran antara kedua nilai ini, masing-masing. Dengan
mengimbangi rangsangan cahaya atau selama stimulasi cahaya berkelanjutan, pupil
mengalami periode reduksi cepat atau "pelepasan" pupil ke keadaan konstriksi
sebagian. Selanjutnya pupil perlahan kembali ke diameter awal.

Respon latensi menggambarkan keterlambatan konstriksi pupil setelah dimulainya stimulus


cahaya, dengan latensi yang memendek ketika intensitas cahaya meningkat, hingga minimum
180-230 ms [7,8]. Periode latensi disebabkan oleh keterlambatan kontraksi otot polos iris dan
pada tingkat yang lebih rendah dinamika temporal dari output retina dan jalur persarafan [7,8].
Periode latensi diikuti oleh periode penyempitan cepat pupil hingga mencapai kecepatan
penyempitan maksimum (MCV), setelah itu penyempitan melambat hingga diameter minimum
pupil tercapai. Onset kontraksi pupil dapat ditentukan dengan menggunakan analisis kecepatan
dan percepatan [9]. Kecepatan penyempitan maksimum bervariasi dengan intensitas
rangsangan cahaya, durasi, komposisi spektral, ukuran retina dan lokasi [10]. Amplitudo
penyempitan maksimum (MCA) mewakili perbedaan antara garis dasar dan diameter pupil
minimum. Namun, diameter pupil awal dapat dipengaruhi oleh sejumlah faktor dan dapat
mempengaruhi MCA (MCA yang lebih kecil diamati dengan diameter pupil awal yang lebih
kecil). Oleh karena itu, MCA harus dinormalisasi ke garis tengah diameter pupil untuk
menjelaskan efek ini [6]. Setelah puncak penyempitan ini, pupil dengan cepat kembali
berdilatasi ke keadaan konstriksi sebagian selama stimulus cahaya yang berkepanjangan yang
berlangsung dari 1-2 hingga 100 detik, sebelum perlahan-lahan kembali ke ukuran awal [11].
Selain fase dinamis RCP selama stimulasi cahaya, ada juga komponen berkelanjutan [12,13].
Fotoreseptor luar dan dalam berkontribusi terhadap respon awal pupil pasca-iluminasi (PIPR;
<1,7 s post-stimulus) [14]. Selanjutnya, PIPR, yang dapat dipertahankan hingga 3 menit setelah
offset cahaya tergantung pada sifat-sifat rangsangan cahaya, semata-mata dikendalikan oleh
sel ganglion instrinsik fotosensitif retina yang mengalami depolarisasi selama stimulasi cahaya
(tergantung pada intensitas cahaya dan panjang gelombang). dan kemudian mengalami
repolarisasi secara perlahan setelah offset cahaya [6,13-15]. Ada beberapa pupillometer yang
tersedia secara komersial dan kinerja relatif dari sistem komersial adalah subjek dari beberapa
publikasi [16-18]. Namun, sistem komersial biasanya dirancang untuk aplikasi spesifik dan
menggunakan perangkat lunak berpemilik, yang dapat membatasi penggunaannya untuk
penelitian dasar. Sebagai tanggapan, sejumlah kelompok penelitian telah menerbitkan metode
untuk mengembangkan prototipe pupilometer inframerah otomatis, yang menggunakan
perangkat lunak sumber terbuka [19,20]. Ada juga peningkatan penggunaan perangkat pelacak
mata jarak jauh, seperti Tobii, yang mampu mengukur ukuran pupil dan dapat digunakan dalam
kombinasi dengan perangkat lunak sumber terbuka untuk analisis RCP [21].
4.Dasar Neuronal untuk Refleks Cahaya Pupil
4.1 Konstriksi Pupil
Ada tiga divisi utama neuron parasimpatis yang mengintegrasikan rangsangan cahaya untuk
menghasilkan kontraksi pupil: (i) divisi aferen; (ii) divisi interneuron; dan (iii) divisi eferen.
Respon latensi, penyempitan maksimum dan pelepasan pupil, dan parameter penyempitan yang
sesuai (MCV, MCA dan RCA; amplitudo penyempitan relatif) tergantung pada aksi otot
sfingter dan pada fungsi fotoreseptor retina, serta waktu yang dibutuhkan dalam jalur aferen
dan eferen. Mereka dengan demikian di bawah kendali langsung sistem saraf parasimpatis.
Baik parameter MCV dan RCA tergantung pada diameter awal pupil pada individu sehat dan
penting untuk menormalkan pengukuran sehubungan dengan nilai-nilai dasar [6,22]. Ada juga
hubungan linear yang kuat antara MCV dan MCA [20]; dengan demikian, MCV dan RCA
dianggap sebagai parameter yang paling kuat untuk mendeteksi disfungsi parasimpatis [23].

4.2 Lengan aferen kontraksi pupil


Jalur aferen RCP dimulai dengan input fotoreseptif dari sel batang, sel kerucut dan sel ganglion
retina fotosensitif intrinsik (ipRGC) yang terletak di retina (dirangkum dalam Gambar 2).
Dalam kondisi gelap, fotoreseptor batang dan kerucut berda dalam keadaan depolarisasi
konstan dan terus-menerus melepaskan glutamat [24,25]. Namun, ketika distimulasi oleh
cahaya, fotoreseptor batang dan kerucut mengalami perubahan bertingkat dalam potensial
membran dan hiperpolarisasi, menyebabkan pengurangan pelepasan glutamat. Sel batang dan
kerucut bersinapsis dengan sel bipolar masing-masing dan pengurangan pelepasan glutamat
menghasilkan penghambatan atau disinhibisi sel-sel bipolar tergantung pada apakah mereka
mengekspresikan reseptor ionotropik ("ON") atau menghambat reseptor glutamat
metabotropik ("OFF") [26]. Subtipe sel bipolar “ON” atau “OFF” ini bersinapsis dengan sel
ganglion retina yang sesuai (RGC) di daerah non-kolinergik pada lapisan plexiform bagian
dalam (IPL). Neurotransmisi horizontal juga terjadi di dalam IPL dan lapisan pleksiform luar
(OPL) masing-masing melalui sel amacrine dan sel horizontal, dan sangat penting dalam
membentuk aspek spasial dan temporal dari bayangan photopic dan scotopic.
Fotoreseptor ketiga, ipRGC, menyumbang sekitar 1% dari total RGC [28-30]. Sel-sel ini
memiliki peran dalam proses pembentukan visual non-image, seperti fotoentrainment
sirkadian, dan juga dalam RCP [31-33]. IPRGC mengatur ukuran pupil melalui integrasi sinyal
ekstrinsik dari batang dan kerucut dan juga melalui fototransduksi intrinsik (melanopsin) [12].
Melanopsin adalah photopigment protein G, yang secara maksimal sensitif terhadap cahaya
dengan panjang gelombang 482 nm dan, tidak seperti batang dan kerucut, depolarisasi sebagai
respons terhadap cahaya setelah aktivasi kaskade fototransduksi yang melibatkan Gq / 11 dan
fosfolipase C [34-37]. Tidak seperti batang dan kerucut, yang memiliki photopigment
terkonsentrasi di domain seluler penyerap cahaya khusus (segmen luar), melanopsin
didistribusikan ke seluruh membran plasma ipRGCs [28]. IPRGC juga secara langsung
berkontribusi pada PIPR sebagai penyempitan RCP yang berkelanjutan (> 30 detik) sebagai
respons terhadap intensitas tinggi, cahaya gelombang pendek [14,15,28,38-40].

Gambar 2. Tampilan skematis sederhana dari lapisan retina yang terlibat dalam refleks
cahaya pupil. Jalur pensinyalan vertikal di retina terdiri dari fotoreseptor (sel batang dan
kerucut), sel bipolar dan sel ganglion retina (RGC), termasuk sel ganglion retina fotosensitif
intrinsik (ipRGC). Ada juga dua jalur lateral yang terdiri dari sel-sel horisontal di lapisan
plexiform luar (OPL) dan sel-sel amacrine di lapisan plexiform dalam (IPL). Sel-sel ini
memodulasi aktivitas sel retina lainnya di jalur vertikal. Somata dari neuron berada dalam
tiga lapisan sel. Sel batang dan kerucut terletak di lapisan nuklear luar (ONL), yang
berdekatan dengan epitel pigmen retina (RPE). Sel horizontal, sel bipolar, dan sel amakrin
terletak di lapisan inti dalam (INL), sedangkan somata sel ganglion terletak di lapisan sel
ganglion (GCL). Terminal akson dari sel-sel bipolar secara bertingkat pada kedalaman yang
berbeda dari lapisan pleksus bagian dalam, yang dibagi lagi menjadi sublamina luar OFF
(di mana sel-sel bipolar OFF berhenti) dan sublamina bagian dalam ON (di mana sel-sel
bipolar ON berakhir). Ada juga berkas ON dan OFF dari dendrit melanopsin dari ipRGC,
tetapi keduanya terletak di luar berkas kolinergik ON dan OFF dalam IPL.
4.3 Lengan Interneuron dan Efferent dari Konstriksi pupil
Interneuron dan lengan eferen konstriksi pupil dirangkum dalam Gambar 3. Akson RGC
membentuk lengan interneuron pertama dari busur RCP dan membawa sinyal neuron dari
fotoreseptor [2].

Gambar 3. Sistem saraf parasimpatis adalah sistem utama yang bertanggung


jawab atas konstriksi pupil sebagai respons terhadap cahaya. Input aferen
terintegrasi ditransmisikan di sepanjang akson sel ganglion retina (RGC),
yang berkontribusi pada saraf optik. Pada kiasma optikum, saraf dari nasal
retina menyeberang ke sisi kontralateral, sementara saraf dari retina temporal
berlanjut secara ipsilateral. Akson RGC pupil keluar dari saluran optik dan
bersinaps pada nukleus olivary pretectal. Neuron pretektal diproyeksikan
baik secara ipsilateral atau kontralateral, melintasi komisura posterior, ke inti
Edinger Westphal. Dari sana, serat parasimpatis pra-ganglionik berjalan
bersama okulomotor, atau saraf kranial III, dan bersinapsis pada ganglion
silia. Neuron parasimpatis pasca-ganglionik (saraf siliaris pendek) berjalan
dan menginervasi kontraksi otot sfingter iris melalui pelepasan asetilkolin
pada neuromuskuler juntion, yang mengakibatkan konstriksi pupil.
Pada chiasma optikum, sekitar setengah RGC dari nasal plane pada masing-masing mata
berjalan ke saluran optik yang berlawanan [41]. Pada ujung traktus optikus, akson RGC yang
bertanggung jawab untuk RCP terpisah dari akson visual dan membawa sinyal aferen
pupillomotor melalui brakium colliculus superior untuk bersinaps di nukleus olivari pretectal
di dorsal otak tengah[8].
Neuron pretectal mengintegrasikan input sinyal (retina, supranuklear, dan infranuklear), yang
memodulasi RCP dan membentuk second interneuron pada lengkungan refleks. Nukleus
pretektal ini diproyeksikan baik pada nukleus Edinger-Westphal (EW) ipsilateral atau
kontralateral dalam kompleks nuklear oculomotor, yang berisi neuron parasimpatis pra-
ganglionik yang mengendalikan sfingter iris [42]. Proyeksi neuron bilateral menghasilkan
dekusasio ganda serat pupil, pertama pada chiasma optikum dan kemudian dalam area
pretectal, dan memastikan setiap nukleus EW menerima informasi tentang tingkat cahaya yang
masuk dari setiap mata. Oleh karena itu, stimulasi cahaya unilateral menyebabkan penyempitan
pupil secara langsung dan konsensual yang sama. Namun, kontraksi anisokor, di mana
penyempitan pupil langsung sedikit lebih kuat daripada reaksi konsensual, dapat terbentuk jika
terjadi asimetri selama persilangan serat pada chiasma atau nukleus olivari pretectal; ini
biasanya tidak signifikan secara klinis [8].
Dari nuklleus EW, akson pra-ganglionik eferen masuk ke fasikula kanan dan kiri saraf
okuliomotor (saraf ketiga) untuk bergabung dengan akson motorik yang diperuntukkan bagi
otot mata (Gambar 3). Saraf okulomotor bercabang menjadi divisi superior dan inferior di dekat
sinus kavernosa anterior. Serat parasimpatis berjalan dengan divisi inferior melalui fisura
superior menuju apeks orbital dan bersinapsis di ganglion silia (CG).
Saraf ciliary pendek (post-ganglionic) menembus bola mata di sekitar saraf optik dan melewati
antara koroid dan sklera menuju iris. Saraf-saraf ini menginervasi kontraksi otot sfingter iris
melalui neurotransmitter acetylcholine (ACh), mengakibatkan penyempitan pupil.
4.4 Refleks DIlatasi Pupil ; Integrasi Sistem Saraf Pusat dan Perifer
Pelebaran pupil setelah rangsangan ringan terjadi melalui dua proses terintegrasi yang didorong
oleh neuron simpatik dan sesuai dengan fase pemulihan RCP dan dirangkum dalam Gambar 4.
Pertama, persarafan parasimpatis dari sfingter pupil ditekan oleh penghambatan supranuklear
melalui neuron simpatis sentral, menghasilkan relaksasi otot dan pelebaran pupil. Neuron
simpatis ini terutama berasal dari pembentukan pengaktif retikular di batang otak dan
menghambat neuron parasimpatis pra-ganglionik pada nukleus EW melalui aktivasi reseptor
α2-adrenergik. Aktivasi saraf simpatis perifer ini sangat meningkatkan dinamika dilatasi pupil
dalam hal kecepatan dan diameter maksimal pupil yang dicapai. Pengaruh simpatis pada otot
dilator iris terdiri dari sepasang, tiga lengkungan neuron pada kedua sisi kanan dan kiri sistem
saraf pusat dan perifer, tanpa dekusatio, membentang dari hipotalamus ke otot dilator iris
(Gambar 4) [43- 45]. Dalam tiga lengkungan neuron ini, transmisi sinaptik dimediasi oleh ACh
pada dua persimpangan pertama, sedangkan serat post-ganglionik menginervasi otot dilator
melalui noradrenalin.

4.5 Input Lain pada Iris


Saraf-saraf dalam divisi oftalmikus dari saraf trigeminal memberikan persarafan sensorik untuk
iris dan dapat memainkan peran tambahan dalam memodulasi diameter pupil [46]. Iritasi
mekanis dan kimiawi pada mata dapat menyebabkan respons miotik yang kuat yang non-
kolinergik dan tidak dapat dikembalikan dengan obat-obatan yang bekerja secara otonom. elain
mekanisme saraf yang terlibat dalam kontrol ukuran pupil, katekolamin dan hormon peptida
yang bersirkulasi dapat bekerja pada dilator iris atau otot sfingter, baik secara langsung melalui
aliran darah atau berpotensi secara tidak langsung melalui air mata [47,48].

Gambar 4. Sistem saraf parasimpatis dan simpatis diperlukan untuk pelebaran


pupil sebagai bagian dari RCP. Persarafan parasimpatis dari sfingter pupil
dihambat oleh penghambatan supranuklear sentral nukleus Edinger-Westphali
melalui aktivasi reseptor α2-adrenergik, menghasilkan relaksasi otot sfingter
pupil. Pengaruh simpatik pada otot dilator iris terdiri dari tiga lengkungan
neuron yang berpasangan pada kedua sisi kanan dan kiri sistem saraf pusat dan
perifer tanpa dekusatio. Neuron urutan pertama (sentral) berasal dari
hipotalamus dan turun untuk bersinaps dengan pra-ganglionik di pusat
ciliospinal Budge di C8-T1 dari sumsum tulang belakang. Neuron pra-
ganglionik naik dari pusat ciliospinal Budge untuk bersinergi dengan neuron
post-ganglionik di ganglion cervical superior, yang terletak di pleksus
periarterial dekat bifurkatio arteri karotis. Akhirnya, saraf ciliary yang panjang
(post-ganglionic) berjalan dan menginervasi kontraksi otot dilator iris, melalui
pelepasan noradrenalin (NA) di neuromuskuler junction, yang menyebabkan
dilatasi pupil. Transmisi sinaptik di persimpangan lain dimediasi oleh
asetilkolin.
5.Aplikasi Klinis Pupilometri
Kondisi yang memengaruhi integrasi stimulasi dan penghambatan parasimpatis, stimulasi
simpatis dan pelepasan neurotransmiter humoural masing-masing dapat memengaruhi
dinamika RCP dan mungkin secara klinis dapat didiagnosa. Kelainan fungsi pupil telah
dilaporkan untuk berbagai gangguan, termasuk alkoholisme [49,50], gangguan kesehatan
mental seperti gangguan afektif musiman [51], skizofrenia [52] dan gangguan kecemasan
umum [53], Alzheimer [54-56] ] dan Penyakit Parkinson [57-60], gangguan spektrum autisme
[61,62], serta glaukoma [14,63-65] dan neuropati otonom yang terkait dengan diabetes [66-70].
Selain itu, pupillometry telah diterapkan pada bidang klinis lainnya, seperti pemantauan
keadaan sentral pada anestesiologi dan analgesia, serta pemantauan dan prognosis setelah
cedera kepala, henti jantung, dan overdosis obat [71].
5.1 Gangguan Neurodegeneratif
Ada bukti yang menunjukkan bahwa hipofungsi kolinergik merupakan komponen penting dari
penyakit neurodegeneratif, seperti penyakit Alzheimer dan Parkinson, yang masing-masing
disebabkan oleh defisiensi ACh dan dopamin. Selain itu, sebagian besar penelitian yang
menganalisis parameter RCP yang bergantung pada ACh menunjukkan perbedaan yang
signifikan antara pasien dengan usia yang normal dan pasien dengan Alzheimer [55-57,72-74]
atau penyakit Parkinson [58,59,75]. Studi biasanya menggunakan rangsangan cahaya 820 nm
dengan intensitas cahaya 24,6 cd / m2. Khususnya, pasien dengan Alzheimer [57] atau penyakit
Parkinson, dengan atau tanpa defisit kognitif yang terdeteksi atau gangguan kejiwaan
[55,57,75], memiliki nilai MCV dan MCA yang lebih rendah secara signifikan. Ferrario et al.
[76] tidak mengamati perbedaan yang signifikan dalam MCA antara pasien Alzheimer dan
kelompok kontrol; Namun, ini mungkin disebabkan oleh stimulus cahaya yang lebih lama
digunakan (1 detik) dibandingkan dengan penelitian lain (20-150 ms) [77].
Parameter MCV dan MCA berhubungan dengan bagian pertama dari respons pupillometry
berbentuk V (Gambar 4) dan dianggap sebagai penanda paling sensitif dari aktivitas kolinergik
[78]. Oleh karena itu, MCA dan secondary MCV adalah prediktor RCP terbaik untuk
membedakan antara individu yang sehat dan pasien dengan penyakit Alzheimer atau Parkinson
[57,72]. Peningkatan signifikan dalam latensi telah diamati untuk subjek dengan penyakit
Parkinson [57-59]; Namun, ini tidak diamati secara konsisten pada mereka yang menderita
penyakit Alzheimer [54,56,72]. Selain itu, Bittner et al. menilai respons pupil di bawah
stimulasi cahaya berulang, yang secara sistematis tidak stabil pada pasien normal [54]. Namun,
perubahan ini tidak diamati pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
Sejumlah mekanisme patofisiologis yang mungkin telah diusulkan terhadap perubahan yang
diamati pada respon pupil yang terlihat pada pasien Alzheimer dan Parkinson [60], tetapi Fotiou
et al. [57] dan yang lainnya telah menyimpulkan bahwa faktor yang paling signifikan di balik
temuan ini kemungkinan adalah keterlibatan defisit kolinergik sentral. Pupillometry, termasuk
pupillometry stimulasi cahaya berulang, dapat berfungsi sebagai alat diagnostik yang berguna
bahkan pada tahap awal subklinis disfungsi sistem saraf otonom [57,58].
5.2 Trauma
RCP adalah pengukuran yang baik dalam manajemen dan prognosis pasien dengan cedera otak
akut, dalam hubungannya dengan parameter klinis lainnya seperti usia, mode cedera dan
Glasgow Coma Scale [79-81]. Secara khusus parameter rangsangan cahaya adalah panjang
gelombang 465 nm dengan durasi 1 detik dan pencahayaan rendah (0,001 cd / m2) yang
digunakan untuk merangsang sel batang atau pencahayaan tinggi (450 cd / m) yang digunakan
untuk merangsang ipRGC. Lokasi nukleus pupillomotor dalam otak tengah dorsal dan saraf
oculomotor eferen penting dalam penentuan kompresi batang otak dan onset herniasi
transtentorial [82]. Morris et al. melaporkan bahwa kehilangan RCP atau perkembangan
anisocoria atau asimetri pupil> 2 mm pada pasien yang mengalami cedera otak traumatis
berkorelasi dengan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas [83]. Namun, pemeriksaan
manual dengan menggunakan penlight merupakan persoalan besar antar pemeriksa yang bisa
mencapai 40%, terutama ketika pupil mengerut [84], dan ini mungkin lebih dikacaukan oleh
berbagai faktor, termasuk alkohol, narkotika atau hipotermia, yang umum terjadi pada banyak
pasien trauma [85]. Selanjutnya, Couret et al. mengamati tingkat kesalahan sekitar 20% bahkan
untuk pupil berukuran sedang (2-4 mm), dengan tingkat kegagalan 50% dalam deteksi
anisokoria [86]. Selain itu, Larson dan Muhiudeen menemukan kegagalan total dalam deteksi
RCP dengan pemeriksaan manual ketika amplitudo refleks kurang dari 0,3 mm [87].
Pupillometry otomatis yang menggunakan pupillometer adalah teknik yang lebih sensitif yang
memiliki perbedaan antar pemeriksa yang lebih kecil dibandingkan dengan pemeriksaan
manual [86,88]. Kemampuan pupillometry untuk mendeteksi perubahan kecil dalam reaksi
pupil bahkan ketika pupil mengerut memiliki potensi klinis yang signifikan dan dapat
digunakan sebagai alat dalam deteksi dini, pemantauan, dan manajemen cedera otak [89].
Untuk mendukung ini, beberapa kelompok telah menunjukkan bahwa penggunaan pupillometer
lebih unggul dari pemeriksaan manual dalam memprediksi hasil pada 90 hari setelah henti
jantung [90,91].
5.3 Autisme
Sistem kolinergik adalah kunci terhadap perkembangan saraf normal sebelum dan sesudah
kelahiran, dan banyak penelitian, mulai dari data neuroimaging [92], hingga analisis
histopatologis jaringan otak mayat [93,94], model hewan [95,96] dan studi genetik molekuler
[97], menyatakan bahwa perubahan dalam sistem kolinergik merupakan faktor yang
berkontribusi terhadap etiologi gangguan spektrum autisme (ASD). Selain itu, RCP atipikal
dilaporkan pada anak-anak dan orang dewasa dengan ASD [60,98-100].
Parameter pengukuran umum yang digunakan meliputi panjang gelombang stimulus cahaya
530 nm dan durasi 100 ms dengan intensitas cahaya 63,1 cd/m2. Biasanya, perbedaan-
perbedaan ini ditandai oleh latensi yang lebih lama, amplitudo konstriksi berkurang [61,99] dan
berkurangnya kecepatan konstriksi [61] dibandingkan dengan anak-anak tanpa ASD. Namun,
Nyström et al. melaporkan sebaliknya untuk bayi berisiko ASD tinggi, yang didefinisikan
sebagai mereka yang memiliki saudara kandung dengan ASD. Perbedaan usia di antara subyek
penelitian, yang berkisar dari bayi 10 bulan [100] hingga anak-anak> 5 tahun [61,98,99], dapat
memberikan penjelasan untuk data yang kontras.
Anak-anak tanpa ASD menunjukkan penurunan latensi RCP yang bergantung pada usia
sebelum mencapai puncak pada usia> 8 tahun [98,99]; ini berkorelasi dengan tren yang sama
dalam tingkat pematangan white-matter sebagaimana ditentukan oleh studi potensi visual
cahaya [101]. Namun, pada anak-anak dengan ASD tidak ada penurunan latensi RCP yang age-
dependent [99]. Selain itu, studi pencitraan otak telah menunjukkan bahwa lintasan
perkembangan saraf pada pematangan otak tidak khas pada anak-anak dengan ASD. Awalnya,
anak-anak kecil (<4 tahun) menunjukkan percepatan pematangan dan volume otak yang lebih
besar dibandingkan dengan anak-anak tanpa ASD [102-106], tetapi hal ini diikuti oleh periode
berhentinya pematangan setelah usia 4 tahun [104.107], maka kemungkinan terjadi penurunan
volume otak pada anak-anak yang lebih tua dan orang dewasa [108]. Oleh karena itu,
hipersensitif RCP yang diamati pada bayi dengan risiko ASD yang tinggi [100] dapat dikaitkan
dengan percepatan pematangan white-matter pada ASD, yang kemudian berbalik setelah usia
4 tahun, menghasilkan respons hiposensitif sesuai dengan pengurangan pada parameter RCP
[61,98,99].
Ada bukti yang menunjukkan bahwa, selain dari sistem kolinergik, sistem neurotransmitter
lainnya juga mengalami perubahan pada ASD, seperti transmisi glutamatergik dan GABAergik
[109]. Oleh karena itu, RCP juga dapat dipengaruhi sebagai akibat dari perubahan pensinyalan
sel bipolar di dalam retina. Secara keseluruhan, pemeriksaan RCP dengan pupillometry dapat
digunakan sebagai alat diagnostik yang cepat dan non-invasif untuk bayi dan anak-anak dengan
risiko ASD yang tinggi atau gangguan perkembangan neurologis yang bergantung pada
kolinergik lainnya [100].
5.4 Alkohol dan Obat-obatan Penenang
Pupillometry menawarkan alat yang andal dan mudah untuk skrining obat terlarang dan alkohol
[110-112]. Sejumlah penelitian telah menunjukkan kemampuan pupillometry untuk
membedakan antara subjek yang berpotensi mengalami penyalahgunaan obat dan subjek
normal dengan akurasi 70-100% [113.114]. Parameter yang paling signifikan adalah RPA dan
MCV [112]. Selain itu, pupillometry dapat menawarkan manfaat lebih dari urinalisis, terutama
dalam kasus pengujian di pinggir jalan, karena pupilometri dapat melakukan pengukuran
terhadap fungsi dan gangguan daripada pengukuran metabolit obat, yang ada dalam urin untuk
jangka waktu yang lama meskipun efek fisiologis maupun kerusakannya telah berhenti.
5.4.1 Alkohol
Pupillometry mungkin memiliki peran dalam mendeteksi keracunan alkohol dan manajemen
perawatan selama penghentian alkohol. Data dari studi pupillometry kromatik menunjukkan
peningkatan yang signifikan pada diameter awal pupil dan amplitudo puncak konstriksi setelah
stimulasi cahaya gelombang panjang 600 nm pada konsentrasi alkohol napas yang
dihembuskan 0,25 mg / L [115]. Namun, setelah alkohol dosis tinggi (1 g / kg berat badan) yang
diamati sebaliknya, dengan penurunan yang signifikan dalam diameter pupil, amplitudo
penyempitan dan kecepatan dibandingkan dengan kelompok kontrol, menunjukkan
penghambatan aktivitas saraf parasimpatis [116.117]. Hasil yang tampaknya bertentangan ini
cenderung mencerminkan penghambatan akut, tergantung dosis dari sistem saraf parasimpatis,
yang menghasilkan dominasi aktivitas saraf simpatis [118].
Pupillometry mungkin juga memiliki peran dalam pengembangan alat manajemen klinis untuk
mencegah disfungsi otonom yang parah selama penghentian alkohol [119]. Secara khusus,
latensi yang berkepanjangan dan penurunan parameter kecepatan konstriksi dideskripsikan
untuk mereka yang menjalani penghentian alkohol. Pengurangan inervasi parasimpatis pupil
kemungkinan disebabkan oleh peningkatan aktivasi lokus coeruleus, seperti yang dijelaskan
sebelumnya selama penghentian alkohol [120.121].
5.4.2 Obat-obatan penenang
Respon pupil terhadap 3,4 methylenedioxymethamphetamine (MDMA) dan
tetrahydrocannabinol (cannabis) ditandai dengan penghambatan parasimpatis sentral secara
tidak langsung, menghasilkan latensi yang meningkat secara signifikan dan penurunan
amplitudo dan kecepatan konstriksi [113,122,123]. Selain itu, peningkatan aktivitas
simpatomimetik karena peningkatan sinyal noradrenalin dan serotonin dilaporkan setelah
keracunan MDMA, mengakibatkan midriasis dan pengurangan waktu pemulihan RCP [123].
Namun, untuk keracunan ganja ada laporan yang bertentangan mengenai efek obat pada
diameter pupil awal. Hartman et al. mengamati ukuran pupil yang meningkat secara signifikan
dibandingkan dengan kelompok kontrol, di bawah kondisi cahaya scotopic dan photopic serta
mengikuti stimulasi cahaya langsung, menunjukkan peningkatan aktivitas sistem saraf simpatis
[112]. Ini berbeda dengan data yang dilaporkan oleh Fant et al. dan yang lainnya, yang
menunjukkan efek signifikan yang diinduksi kanabis pada RCP yaitu penurunan kecil (0,5 mm)
[116.124] atau tidak ada perubahan [122] pada diameter awal pupil. Perbedaan-perbedaan ini
dapat dikaitkan dengan desain penelitian, karena penelitian yang mengamati sedikit atau tidak
ada efek pada diameter pupil menggunakan dosis tinggi yang ditentukan (27 mg D9THC) dan
durasi waktu tertentu antara pemberian obat dan pengukuran pupil, sedangkan Hartman et al.
menggunakan data pemeriksaan Ahli Pengenalan Obat; dengan demikian, dosis dan timing
yang tepat tidak ditentukan [113.116.122].
5.5 Paparan terhadap Racun dan Bahan Kimia Beracun
Perubahan ukuran pupil dan respons terhadap cahaya telah dilaporkan setelah paparan bahan
kimia beracun seperti organofosfat, serta racun bakteri termasuk toksin botulinum.
Manifestasi oftalmik adalah tanda awal dan tanda persisten botulisme. Botulinum toxins (BTx)
memblokir pelepasan ACh di neuromuskuler juntion, ujung saraf parasimpatis pasca ganglion,
dan ujung saraf simpatis post ganglionik yang melepaskan Ach, yang mengakibatkan
kelumpuhan persarafan simpatis dan parasimpatis pada iris [125.126]. Hal ini dapat
mengakibatkan dilatasi pupil sementara dan atenuasi RCP dengan penyerapan BTx ke dalam
ganglion siliaris parasimpatis atau neuromuskuler junction parasimpatis pada otot sphincter
iris [127]. Ada sejumlah laporan dalam literatur yang menggambarkan midriasis dengan RCP
yang dilemahkan sebagai konsekuensi dari menelan makanan yang terkontaminasi [128], atau
setelah injeksi BTx [129.130].
Organofosfat, senyawa bahan kimia yang mencakup agen saraf dan pestisida, menghambat
aktivitas cholinesterase, menghasilkan peningkatan kadar ACh pada sinapsis saraf; mereka
bertindak sebagai agonis kolinergik tidak langsung. Studi yang dipublikasikan oleh Dabisch et
al. dan yang lainnya menunjukkan bahwa sebagian besar penghambatan cholinesterase yang
diamati di dalam mata adalah akibat dari uap agen saraf yang bekerja langsung pada jaringan
okular, daripada menyebar ke mata sebagai hasil dari penyerapan sistemik [131-133].
Peningkatan ACh yang terlokalisir menyebabkan kontraksi otot sfingter pupil, menghasilkan
miosis tergantung dosis [132,134–136]. Miosis adalah indeks pajanan yang sangat sensitif dan
dapat terjadi pada tingkat pajanan rendah yang menyebabkan efek sistemik [137.138]. Dalam
model hewan yang relevan, jumlah sarin dan cyclosarin yang diperlukan untuk menghasilkan
miosis masing-masing mencapai 30 dan 135 kali lipat lebih rendah daripada jumlah yang
dibutuhkan untuk efek mematikan [139].
RCP juga berkurang setelah paparan organofosfat, sebagai hasil dari berkembangnya toleransi
terhadap agonis kolinergik dan desensitisasi reseptor ACh muskarinik dalam jaringan retina
setelah paparan yang lama [135.140.141]. Dosis ambang batas yang diperlukan untuk
melemahkan RCP serupa dengan yang diperlukan untuk menghasilkan miosis, tetapi durasi
responnya sangat berbeda [140].
Dabisch et al. [140] mengamati miosis cepat dan pelemahan RCP dalam model tikus setelah
paparan uap soman dosis rendah, tetapi saat ukuran pupil kembali normal setelah 48 jam, RCP
membutuhkan waktu 10 hari untuk pulih sepenuhnya. Demikian pula, paparan uap diklorvos
menghasilkan respons miotik sementara yang bergantung pada dosis pada marmut; Namun,
respon pupil yang meningkat terus-menerus terhadap cahaya telah diamati [136]. Pemulihan
ukuran pupil disebabkan oleh desensitisasi reseptor muskarinik daripada reaktivasi
kolinesterase dalam mata, yang mungkin memerlukan waktu hingga 6 hari untuk pulih.
Akibatnya, RCP dilemahkan sampai fungsi reseptor muskarinik pulih kembali [142]. Untuk
mendukung ini, oksim, yang mengaktifkan kembali asetilkolinesterase, tidak berpengaruh pada
miosis yang diinduksi sarin pada model hewan. Selain itu, reseptor tropicamide-antagonis
muskarinik yang bersaing dengan ACh untuk mengikat situs, mencegah reseptor desensitisasi.
meningkatkan ukuran pupil dan memulihkan RCP [143]. Namun, organofosfat menonaktifkan
kolinesterase di kedua lokasi reseptor muskarinik dan nikotinik dan pelebaran paradoksal pupil
atau midriasis dapat terjadi dalam keadaan tertentu karena efek nikotinik dominan pada serat
pre-ganglionik dari sistem saraf simpatik, sehingga meningkatkan persarafan otot dilator
[144.145] ]
5.6 Respon Terhadap Infeksi
Bidang yang menarik yang saat ini tetap belum dijelajahi adalah respons RCP terhadap infeksi
dan nilai diagnostik potensial pupillometry. Otak memonitor dan memodulasi status kekebalan
melalui jalur humoural dan saraf [146.147]. Respons neuroendokrin mengendalikan
peradangan pada tingkat sistemik melalui poros hipotalamus-hipofisis-adrenal [148]. Cabang
pertama dari jalur ini, saraf vagus, diaktifkan baik secara langsung oleh sitokin (dilepaskan dari
sel imun bawaan) atau secara tidak langsung melalui sel kemoreseptif yang terletak di
paraganglia vagal [149]. Pelepasan sitokin pro-inflamasi perlu dikontrol dengan hati-hati,
karena pelepasan yang berlebihan atau tidak terkontrol (juga dikenal sebagai "badai sitokin")
dapat berkontribusi pada patogenesis infeksi, termasuk coronavirus baru, SARS dan MERS
[150–152], dalam influenza. [153], dan Ebola [154], serta agen biothreat bakteri potensial
seperti Burkholderia pseudomallei [155] dan Yersinia pestis [156].
Sinyal dari serat aferen vagus akhirnya terproyeksi ke daerah lokus coeruleus otak. Locus
coeruleus memberikan pengaruh ganda pada RCP, yang pada akhirnya menyebabkan pelebaran
pupil [157.158]. Pertama, ini berkontribusi pada aliran simpatis yang menginervasi otot dilator
pupil. Kedua, ini melemahkan aliran parasimpatis melalui penghambatan inti EW. Selain itu,
model eksperimental infeksi — termasuk sepsis [159–161], pneumonia pneumokokus [162],
endotoksemia [163.164], leptospirosis [165.166] dan influenza A [167.168] —dapat juga
menyoroti signifikansi jalur pensinyalan kolinergik selama infeksi. Perubahan pada
pensinyalan kolinergik cenderung memengaruhi RCP baik secara langsung, melalui reseptor
ACh yang terletak pada otot sphincter iris, dan secara tidak langsung, melalui perubahan fungsi
sistem saraf parasimpatis. Oleh karena itu, pengukuran RCP menggunakan pupillometry
dinamis dapat menawarkan potensi untuk mendeteksi perubahan sistemik dalam fungsi sistem
parasimpatis dan simpatis dalam merespon infeksi dan peradangan.
6. Keterbatasan
Pupillometry memberikan harapan sebagai teknologi diagnostik non-invasif untuk berbagai
kondisi. Namun, ada sejumlah keterbatasan yang memerlukan pertimbangan dan penelitian
lebih lanjut diperlukan untuk memungkinkan terjemahan ke pengaturan klinis. Pertama,
pengukuran RCP dapat dipengaruhi oleh rangsangan cahaya yang digunakan [6.169], jenis
kelamin [170], usia [171.172] dan warna iris [173]. Perubahan ukuran pupil juga diamati dalam
menanggapi rangsangan lain, termasuk pola struktur ruang [174.175], objek kedekatan atau
akomodasi refleksi [10], dan berbagai stresor emosional dan kognitif [176.177]. Oleh karena
itu, sangat penting bahwa protokol standar dikembangkan untuk memungkinkan penggunaan
pupillometry sebagai alat diagnostik dan faktor pembatas harus dipertimbangkan sebagai
kriteria kovariat atau eksklusi dalam studi RCP untuk memungkinkan perbandingan antar-studi
[23].
Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk menentukan apakah perubahan yang diamati
dalam RCP yang berkaitan dengan gangguan yang berbeda sudah cukup dalam hal spesifisitas
dan sensitivitas untuk digunakan secara diagnostik. Namun, kemudahan penggunaan, sifat non-
invasif dan biaya yang murah pupilometri ditempatkan dengan baik untuk dimasukkan dalam
penilaian skrining diagnostik awal dan dapat melengkapi sumber informasi lain untuk
mengidentifikasi individu yang berisiko yang memerlukan penyelidikan klinik lebih lanjut.
Selain itu, ada pendekatan yang telah dieksploitasi di bidang tertentu seperti penggunaan
pupillometry kromatik untuk mengukur respon berbagai sub-jenis fotoreseptor, khususnya
ipRGCs, pada diabetes [66] dan glaukoma [14,64,65] - yang dapat diterapkan pada kondisi lain
termasuk gangguan neurodegenerative.
6. Kesimpulan
Refleks cahaya pupil berfungsi sebagai indikator fungsi sistem saraf otonom. Selain itu,
pengukuran refleks menggunakan pupillometry dinamis menyediakan alat kuantitatif, non-
invasif, yang dapat membantu diagnosis dan manajemen klinis dari berbagai kondisi klinis,
bervariasi dari penyakit neurodegeneratif hingga paparan bahan kimia beracun.
Ucapan Terima Kasih: Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Philip Lees atas
bantuannya dalam menyelesaikan naskah ini.
Konflik Kepentingan: Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan.

Anda mungkin juga menyukai