Anda di halaman 1dari 92

PUBLIC REVIEW

TERHADAP
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU
2017 - 2037
PUBLIC REVIEW
RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037

MAJELIS EKSAMINASI

Prof Dr Ir Hariadi Kartodiharjo, MS. (Akademisi Kehutanan dan Guru Besar Institut Pertanian
Bogor Departemen Pengelolaan Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor dan tim Gera-
kan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi).

Dr H Saifuddin Syukur, SH, MCL. (Akademisi Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hu-
kum Universitas Islam Riau (UIR), pengajar Ilmu Hukum Tata Negara di UIR).

Nursamsu, SP. (Aktivis Eyes on the Forest yang memantau hutan Riau sejak 1997 hingga kini.
Aktif di WWF Indonesia-Sumatera sejak 1997)

TIM PERUMUS
Made Ali, SH
Okto Yugo Setyo, SE
Nurul Fitria, SPd

PUBLIKASI
MEI 2018

COVER DAN TATA LETAK


Nurul Fitria, SPd

PENERBIT
Witra Percetakan
Jalan Pepaya No 52, Jadirejo, Sukajadi, Pekanbaru, Riau

KERJASAMA
Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari)
The Asia Foundation
KATA PENGANTAR

R
encana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi (RTRWP)
Riau adalah satu kebijakan yang banyak menyedot
perhatian publik sepanjang tahun 2017. Perhatian
publik yang diwakili oleh kelompok masyarakat
sipil banyak menyoroti proses yang belum partisipatif dan
melibatkan kelompok masyarakat terdampak dari kebijakan
tata ruang tersebut dan juga termasuk peruntukan kawasan
yang dianggap lebih pro bisnis daripada pro kepentingan
masyarakat, dan belum mengakomodir perubahan kebijakan
untuk melindungi dan mengelola gambut dengan cara yang
lebih memperhatikan aspek keberlanjutan.

Pemerintah Provinsi Riau dalam berbagai kesempatan selalu


mendengungkan pentingnya kepastian Tata Ruang Provinsi
sesegera mungkin disahkan dalam bentuk Kebijakan Daerah
agar proyek-proyek investasi yang selama ini tertunda dapat
dijalankan tanpa kekhawatiran melanggar kebijakan Tata
Ruang. Manakala hal ini penting, sayangnya keinginan kuat
untuk mewujudkan kepastian kebijakan Tata Ruang ini tidak
diikuti dengan keterbukaan, akuntabilitas, dan pertimbangan
pada aspek-aspek lain selain aspek ekonomi.

Woro Supartinah JIKALAHARI menganggap bahwa diskursus terkait Tata


Ruang ini menjadi penting untuk dibawa pada tingkat yang
Koordinator Jikalahari
lebih mencerahkan dengan menghadirkan pemikiran-
pemikiran di luar aspek teknokrasi diantaranya melalui
pikiran-pikiran yang didasarkan pada pandangan keilmuan
dan fakta lapangan. Upaya ini untuk memberikan dimensi
kemanusiaan dan pemanfaatan pro rakyat yang selama ini
melekat pada kebijakan publik dan sering diperlakukan
ekslusif dan menjauh dari keterlibatan masyarakat terdampak.

Pada akhirnya, semoga hasil publik review ini dapat diman-


faatkan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah, kelompok
masyarakat sipil, masyarakat terdampak, akademisi, praktisi
dan para profesional lain, serta media sebagai bahan diskusi
dan dorongan untuk kebijakan publik yang berkeadilan dan
berkelanjutan.

Salam.

i
SEKAPUR SIRIH
Dalam UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang adalah proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penetapan rencana tata ruang. Tujuannya mewu-
judkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Kondisi fisik wilayah, potensi
sumber daya alam, sumber daya manusia, kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan,
keamanan dan lingkungan hidup menjadi hal yang harus diperhatikan dalam penataan ruang.

Di Indonesia, Riau salah satu provinsi yang belum memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang
dan Wilayah Provinsi. Pada 1994 di zaman Gubernur Riau Soeripto, Riau pernah mengajukan Ranperda
RTRWP, saat proses paduserasi belum disepakati, DPRD Riau menyetujuinya menjadi Perda Nomor 10
Tahun 1994 pada 19 Agustus 1994. Namun saat proses paduserasi tidak ada kesepakatan antara pemerintah
pusat dengan pemerintah daerah. Sehingga Perda ini tidak diakui.

Pada era Gubri Rusli Zainal, 15 tahun pasca pembahasan Ranperda RTRWP, ia kembali mengusulkan revisi
RTRWP Riau melalui surat bernomor 050/Bappeda/56.10 pada 27 April 2009. Terkait kawasan hutan, Rusli
Zainal mengusulkan agar Menteri kehutanan dapat menyetujui perubahan kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan seluas ± 3.530.696 ha.

Dalam usulan Gubri tersebut, ada indikasi upaya mengubah status dan fungsi kawasan hutan di areal 32
korporasi perkebunan kelapa sawit menjadi non kawasan hutan atau Area Peruntukan Lain (APL) melalui
draft RTRWP Riau 2016 –2035. Selain itu, dari 32 korporsi perkebunan sawit yang akan dilegalkan mer-
upakan korporasi yang sedang ditangani oleh penegak hukum dan terlibat kasus korupsi suap alih fungsi
lahan.

Usulan ini ditindaklanjuti DPRD Riau dengan membentuk Pansus RTRWP Riau dan hasil kerja Pansus ini
dijadikan Rancangan Perda RTRWP Riau 2017 – 2037. Namun berbagai persoalan kembali muncul dalam
Ranperda ini. Mulai dari adanya indikasi pidana bagi masyarakat adat dan tempatan serta konflik berkepan-
jangan, melegalkan praktik perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan, tidak mengakomodir kawasan
lindung gambut serta memberikan legalisasi bagi cukong dan korporasi.

Untuk itu perlu dilakukan pengujian dan pengkajian terhadap Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 ini
dengan melakukan publik review. Dalam buku panduan eksaminasi publik yang diterbitkan Indonesia
Corruption Watch (ICW) menjelaskan publik review merupakan kegiatan yang dilakukan oleh publik untuk
menguji suatu peraturan perundang-undangan. Keterlibatan publik ini merupakan bentuk partisipasi mas-
yarakat untuk mengoreksi peraturan perundang-undangan yang ada, baik dalam tahap penyusunan maupun
yang sudah ditetapkan.

Untuk itu Jikalahari menggagas dilakukannya publik review terhadap Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037.
Untuk menguji Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 ini, Jikalahari meminta akademisi dan praktisi yang
memiliki kompetensi dan keahlian berkaitan dengan subjek publik review untuk berdiskusi dan mengkaji
bersama produk hukum tersebut.

Para penguji yang selanjutnya disebut Majelis Eksaminasi dipilih berdasarkan keahliannya dan memiliki
komitmen untuk reformasi Indonesia yang lebih baik lagi. Majelis eksaminasi dalam publik review ini
diantaranya Prof Dr Ir Hariadi Kartodiharjo, MS (Guru Besar dari Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor dan tim Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam Komisi Pemberantasan Korupsi), Dr
H Saifuddin Syukur, SH, MCL (Akademisi Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas
Islam Riau) dan Nursamsu, SP (Aktivis Eyes on the Forest yang memantau hutan Riau sejak 1997 hingga
kini). Para majelis eksaminasi juga dibantu tim perumus yang terdiri dari Made Ali, SH, Okto Yugo Setyo,
SE dan Nurul Fitria, SPd dari Jikalahari.

ii
Hasil dari publik review diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan dalam
membahas pengesahan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 menjadi Perda RTRWP Riau 2018 – 2038.

Dari publik review ini juga menghasilkan rekomendasi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI
mereview SK No 673/MENHUT-II/2014, SK 878/MENHUT-II/2014, SK314/MENLHK/SETJEN/
PLA.2/4/2016 jo SK 393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 dan SK No 903/MENLHK/SETJEN/
PLA.2/12/2016. SK direview dengan merujuk pada kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK
pada 2010 berjudul Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan, putusan MK
No 45/PUU-IX/2011, putusan MK No 35/PUU-IX/2012 dan Rencana Aksi GNPSDA KPK

Akhir kata kami mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh pihak yang telah turut serta berpartisi-
pasi dalam segala rangakain kegiatan publik review ini. Semoga naskah publik review ini dapat bermanfaat
dan dijadikan rujukan untuk membuat kebijakan yang lebih baik lagi kedepannya. Tentu untuk kelestarian
lingkungan hidup dan kehutanan di Indonesia.

Maret, 2018

Tim Perumus Publik Review

iii
iv
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR........................................................................................................................... i
SEKAPUR SIRIH .............................................................................................................................. ii
DAFTAR ISI ....................................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................................... vii
DAFTAR PETA................................................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL................................................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Dari Gubernur Riau Ke DPRD Provinsi Riau................................................................................. 1
B. Perdebatan Draft RTRWP Riau ....................................................................................................... 2
C. Draft RTRWP Riau 2016-2036 Usulan Gubri ................................................................................. 4
D. Draft RTRWP Riau 2017-2037 Hasil Pansus RTRWP ................................................................... 5
E. Temuan di Holding Zone ................................................................................................................. 7
F. Evaluasi Ranperda RTRWP 2017-2037 di Kemendagri .................................................................. 8
G. Laporan ke Ombudsman dan KIP Riau .......................................................................................... 9
H. Publik Review ................................................................................................................................. 10
• Apa Itu Publik Review .................................................................................................................. 12
• Tujuan Publik Review RTRWP ..................................................................................................... 13
• Cakupan Materi dan Metode ......................................................................................................... 13
• Majelis Eksaminasi ....................................................................................................................... 14
• Tahapan Publik Review ................................................................................................................. 15

BAB II PROSES RTRWP RIAU 1986 – 2017 TERKAIT KAWASAN HUTAN........................... 16

BAB III KAWASAN HUTAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS


DIINTEGRASIKAN KEDALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH
PROVINSI............................................................................................................................. 23
A. Kawasan Hutan ............................................................................................................................... 24
• Tim Terpadu .................................................................................................................................. 26
• Temuan Ombudsman ..................................................................................................................... 26
B. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). ................................................................................. 29
C. Penataan Ruang ............................................................................................................................... 29

BAB IV ANALISIS TAHAPAN PEMBENTUKAN RTRWP


A. Tahapan Perencanaan. ..................................................................................................................... 32
B. Tahapan Penyusunan ....................................................................................................................... 33
C. Tahapan Pembahasan ...................................................................................................................... 33
D. Tahapan Penetapan .......................................................................................................................... 34

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


A. Fakta Lapangan................................................................................................................................. 36
1. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Tentang Kawasan Hutan
Provinsi Riau ................................................................................................................................. 36
a. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986, Tentang Penunjukan
Kawasan Hutan di Provinsi Riau ............................................................................................. 36
b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Menhut-VII/2011, 30 Desember 2011, Tentang
Kawasan Hutan di Provinsi Riau ............................................................................................. 36
c. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, Tentang
Kawasan Hutan di Provinsi Riau ............................................................................................. 36
d. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 903/MENLHK/SETJEN/
PLA.2/12/2016, 07 Desember 2016, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi Riau .................... 37
2. Apakah hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu mutlak diterima oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terutama perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi
bukan kawasan hutan? ................................................................................................................... 37
3. Rekomendasi Tim Terpadu dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014...... 38
4. Rekomendasi Tim Terpadu dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014
berpotensi Masalah Hukum Dengan Indikasi Pemutihan ............................................................. 39

v
5. Temuan Jikalahari dan Eyes on the Forest pada hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu
dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 berpotensi Masalah Hukum
Dengan Indikasi Pemutihan ....................................................................................................... 42
6. Apa indikasi motif Pansus Ranperda RTRWP Riau tetap ngotot mengusulkan areal sisa atau
selisih/gap luas areal antara luas hasil kajian dan rekomendasikan Tim Terpadu dengan jum-
lah luas yang ditetapkan dalam Keputusan SK.673/Menhut-II/2014 dan Keputusan 878/2014
sekitar 1 juta hektar atau 405.874 hektar diusulkan sebagai Holding Zone?............................. 46
B. Analisis Isi Ranperda ................................................................................................................... 50
1. Isi dan Lingkup Pengaturan Perda RTRWP Riau 2017 – 2037 ................................................. 50
2. Substansi Ranperda Tidak Menjadi Solusi atas Berbagai Isu Pokok yang Dinyatakan Dalam
Naskah Akademiknya ................................................................................................................ 54
3. Penetapan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 Bertentangan dengan Aturan yang Lebih
Tinggi, Putusan Mahkamah Konstitusi dan Kebijakan Pemerintah Terbaru ............................. 56
a. Aturan Lebih Tinggi .............................................................................................................. 56
i. Holding Zone Bertentangan dengan UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan........................................................................................................ 56
ii. Holding Zone Bertentangan dengan Undang – undang Penataan Ruang......................... 57
iii. Holding Zone Bertentangan dengan UU Kehutanan ....................................................... 57
b. SK Kawasan Hutan Riau Bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi................... 58
c. Rekomendasi Ombudsman RI Maladministrasi ................................................................... 60
d. KLHS dalam UU PPLH ........................................................................................................ 61
e. Ranperda RTRWP Riau Tidak Mengakomodir Kebijakan Baru Pemerintah......................... 63
i. Peraturan Menteri LHK Turunan dari PP 57 tahun 2016 dan SK KHG........................... 63
ii. Perpres 88/2017 ............................................................................................................... 63
iii. Pansus Konflik DPRD Bengkalis .................................................................................... 64
iv. GNPSDA KPK ................................................................................................................. 64
BAB VI IMPLIKASI PENGESAHAN RANPERDA RTRWP RIAU 2017 – 2037................... 66

BAB VI IMPLIKASI PENGESAHAN RANPERDA RTRWP RIAU 2017 – 2037.


A. Kesimpulan ................................................................................................................................. 69
B. Rekomendasi ............................................................................................................................... 69
SEKILAS TENTANG MAJELIS EKSAMINASI DAN TIM PERUMUS................................ 72

vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar:
1. Pasal 30 dan 31 PP 104 Tahun 2015............................................................................................... 25
2. KLHS dalam PP 46 Tahun 2015..................................................................................................... 29
3. Tahapan Penetapan dan Evaluasi Peraturan Daerah....................................................................... 34

DAFTAR PETA
Peta:
1. Areal PT Agro Abadi yang ‘diputihkan’ dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 673/Menhut-II/2014........................................................................................................... 40
2. Areal PT Meskom Agro Sarimas yang ‘diputihkan’ dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 ........................................................................................ 41
3. Areal PT Torus Ganda yang ‘diputihkan’ dengan keluarnya Surat Keputusan Menteri Kehutan-
an Nomor 673/Menhut-II/2014 ..................................................................................................... 42
4. Sebaran lokasi temuan EoF untuk areal usulan Tim Terpadu yang di akomodir dalam SK 673/
Menhut-II/2014 dan 878/Menhut-II/2014 ..................................................................................... 46
5. Sebaran lokasi temuan EoF dan Jikalahari terhadap usulan Holding Zone dalam Ranperda
RTRWP Riau 2017 - 2037 ............................................................................................................. 47
6. Areal PT Andika Pratama Sawit Lestari dan cukong KA yang diusulkan sebagai Holding Zone
peruntukan kebun rakyat dalam Ranperda RTRWP Riau 2017 - 2037.......................................... 49
7. Areal PT Torganda Rantau Kasai yang diusulkan sebagai Holding Zone peruntukan kebun
rakyat dalam Ranperda RTRWP Riau 2017 - 2037 ....................................................................... 50

DAFTAR TABEL
Tabel:
1. Rincian peruntukan Holding Zone................................................................................................. 7
2. Kajian dan pemantauan lapangan di 17 lokasi Holding Zone yang diusulkan sebagai perkebu-
nan Rakyat....................................................................................................................................... 8
3. Temuan 55 korporasi perkebunan kelapa sawit yang ‘diputihkan’ setelah terbitnya SK 673/
Menhut-II/2014 dan SK 878 SK 878/Menhut-II/2014................................................................... 11
4. Tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.................................................................. 32
5. Kawasan hutan Provinsi Riau........................................................................................................ 37
6. Rekomendasi perubahan kawasan hutan dan penunjukkan baru kawasan hutan di Provinsi Riau
berdasarkan kajian tim terpadu Juli 2012....................................................................................... 39
7. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014, Tentang Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan seluas 717.543 hektar dan penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Ka-
wasan Hutan seluas 11.552 hektar di Provinsi Riau ..................................................................... 43
8. Temuan Eyes on the Forest dan Jikalahari terhadap hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu
yang diakomodir di SK 673/2014 dan SK 878/2014..................................................................... 45
9. Temuan Jikalahari dan Eyes on the Forest terhadap kepemilikan lahan Holding Zone pada Ran-
perda RTRWP Riau 2017-2023....................................................................................................... 48
10. Gambaran Isi Perda RTRWP Riau 2017 – 2037............................................................................ 50
11. Persamaan/Perbedaan Bab Rencana Pola Ruang antara RTRWP Riau dan RTRWP Jambi.......... 51
12. Pencantuman angka luasan (Ha) dalam Pasal Perda RTRWP......................................................... 52
13. Fungsi Non Hutan Lindung di Dalam Kawasan Hutan Lindung................................................... 52
14. Perbandingan Jumlah Bab, Pasal dan Tahun Penetapan Perda RTRWP di sejumlah Provinsi...... 53
15. Opsi Penyelesaian Pelanggaran Ruang dan Status maupun Fungsi Hutan di Provinsi Riau......... 53

vii
viii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Dari Gubernur Riau Ke DPRD Provinsi Riau

Pada 25 September 2017, 50 dari 65 anggota DPRD Provinsi Riau menyetujui Rancangan Peraturan Daer-
ah (Ranperda) RTRWP Riau 2017 – 2037 dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi Riau. Mereka menerima
hasil kerja Panitia Khusus (Pansus) Pembahasan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 menjadi Ranperda
RTRWP Riau 2017 – 2037. Rapat Paripurna sempat ditunda dua kali pada 7 Agustus dan 11 September
2017 karena tidak kuorum1.

Sehari sebelum penetapan Ranperda RTRWP Riau, Walikota Dumai Zulkifli AS mendampingi masyarakat
Dumai mendatangi Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau. Zulkifli mengatakan, RTRWP Riau sangat penting
karena mempengaruhi pembangunan dan pertumbuhan Dumai. “Investasi bernilai Rp 30 triliun sekarang
entah lari atau bagaimana karena belum ada RTRW. Ini tentu merugikan masyarakat Dumai karena jika
investasi itu masuk, bisa menyerap 10 ribu tenaga kerja.”2

Pada 30 Agustus 2017 Gubernur Riau (Gubri) Arsyadjuliandi Rachman mengatakan investasi yang terham-
bat masuk ke Riau mencapai Rp 50 triliun lebih. “Tapi mungkin lebih di atas itu,” kata Gubri  dalam acara
Forum Dialog bersama Kepolisian RI, BKPM RI, Pemerintah Provinsi Riau dan Polda Riau di Gedung
Daerah.3
Pada 8 Agustus 2017, Wakil Ketua DPRD Riau Noviwaldy Jusman mengatakan DPRD Riau tidak mau
terburu-buru menyetujui Ranperda RTRWP Riau karena masih ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan.
“Jika terjadi apa-apa, Presiden tidak akan bisa membantu kita, karena ini juga berkaitan dengan masalah
hukum.”4

Pada 7 Agustus 2017, Jikalahari menemui Ketua DPRD Riau Septina Primawati, Wakil Ketua DPRD Riau
Noviwaldi dan Sunaryo untuk menyampaikan penolakan penetapan Ranperda RTRWP Riau dan menyerah-
kan Kertas Posisi Jikalahari.5

Pada 4 Agustus 2017, Jikalahari menerbitkan Kertas Posisi bertajuk “RTRWP Riau Untuk Rakyat, Bukan
untuk Segelintir Pemodal dan Monopoli Korporasi”. Alasan Jikalahari menolak draft RTRWP Riau 2017 –
2037:

1. Pidana Bagi Masyarakat Adat dan Tempatan. Bila DPRD Provinsi Riau menyetujui Ranperda RTRWP
Riau menjadi Perda, masyarakat hukum adat dan masyarakat tempatan yang bergantung pada hutan
dapat dengan mudah dikriminalisasi oleh korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI) pulp and paper APP
dan APRIL dengan UU Kehutanan dan UU Tata Ruang

2. Tidak Transparan dan Tidak Melibatkan Publik. Proses pembahasan RTRWP Riau hampir tidak
pernah melibatkan masyarakat terdampak. Selain itu dalam pembahasan Draft RTRWP tidak
transparan sehingga hanya menguntungkan segelintir elit, birokrasi dan korporasi. Munculnya kasus
korupsi Annas Maamun, Gulat Manurung dan Edison Marudut membuktikan proses pembahasan
RTRWP Riau tidak transparan karena perilaku korupsi. Padahal UU Penataan Ruang memberi ruang
pada masyarakat dalam penataan ruang yang dilakukan pada tahap: perencanaan tata ruang, peman-
faatan dan pengendalian pemanfaatan ruang6.

3. Tidak Mengakomodir PS, TORA dan Hutan Adat. Seharusnya draft RTRWP Riau mengakomodir
kebijakan yang bertujuan pemerataan ekonomi untuk mengurangi ketimpangan penguasaan lahan.
Pemerintah menggesa adanya reformasi agraria dengan dua skema: Perhutanan Sosial (PS) atau Tanah
Obyek Reforma Agraria (TORA). Juga mematuhi dan mengakomodir Putusan MK No. 34/PUU-
IX/2011 menyebutkan bahwa hutan adat bukan hutan negara. Hutan adat juga masuk dalam skema PS.

4. Tidak Mengakomodir Perubahan Kebijakan Baru Pemerintah. Kebijakan ini berkaitan review perizin-
an, perubahan fungsi pengelolaan hutan serta penetapan kawasan lindung dan pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil

5. Tidak Mengakomodir Kawasan Lindung Gambut. Dalam draft RTRWP 2016 – 2035 pasal 22 ayat
(3) menyebut  Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) total seluas 1.693.030 hektar. Padahal ber-
BAB I PENDAHULUAN
1
dasarkan SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis
Gambut Nasional, khusus untuk Riau luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini
terbagi untuk dua fungsi ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352
ha untuk fungsi budidaya. Artinya Pemda Riau harus memasukkan 2,4 juta hektar kawasan lindung ke
dalam draft RTRWP Riau.

6. Lebih Mementingkan Korporasi Daripada Masyarakat. Dari sekira 9 juta hektar luas kawasan Riau,
lebih dari 65 persen telah dikuasai korporasi sektor HTI, sawit dan tambang—belum termasuk kor-
porasi sektor Migas karena belum ditemukan data valid terkait eksisting penggunaan lahan. Akibat
berpihaknya draft RTRWP kepada korporasi, masyarakat adat dan tempatan tidak lagi memiliki tempat
untuk hidup dan mengelola lahan. Pemda Riau semestinya mereview kembali izin perusahaan yang
merampas hutan tanah milik masyarakat adat dan tempatan

7. Tidak Menjalankan GNPSDA KPK. Seharusnya Pemda Riau menjalankan 19 Renaksi Pemda yang
disetujui bersama KPK sebagai bagian penyelesaian persoalan kehutanan dan perkebunan di Riau
dengan 6 fokus utama: Penyelesaian Pengukuhan Kawasan Hutan; Penataan Ruang dan Wilayah
Administrasi; Penataan Perizinan Kehutanan dan Perkebunan; Perluasan Wilayah Kelola Masyarakat;
Penyelesaian Konflik Kawasan Hutan; Penguatan Instrumen Lingkungan Hidup dalam Perlindungan
Hutan; dan Membangun Sistem Pengendalian Anti Korupsi. Ke-6 fokus ini dapat dimasukkan ke da-
lam pelaksanaan kebijakan penggunaan dan pemanfaatan ruang

8. Tidak Disusun Berdasarkan KLHS. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) berfungsi menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat. Setiap perencanaan tata ruang dan
wilayah, wajib didasarkan pada KLHS (Pasal 19 UU 32 tahun 2009 tentang PPLH). Namun Riau be-
lum memiliki KLHS dalam menyusun Draft RTRWP.

9. Tidak Mengakomodir Temuan Pansus DPRD Bengkalis. Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa
Lahan Kehutanan DPRD Bengkalis merekomendasikan agar MenLHK mencabut atau merevisi SK No
314/MenLHK/2016 tentang Peruntukan Perubahan Kawasan Hutan Riau, karena banyak desa tua serta
lahan penghidupan masyarakat berada dalam kawasan konsesi perusahaan: PT Rimba Rokan Lestari;
PT Arara Abadi; PT Sumatera Riang Lestari; PT Bukit Batu Hutani Alam; PT Sekato Pratama Mak-
mur; PT Balai Kayang Mandari; PT Rimba Mandau Lestari; PT Riau Abadi Lestari (HTI); PT Sinar
Sawit Sejahtera; PT Sarpindo Graha Sawit Tani, PT Murini Samsam dan PT Murini Wood (sawit).
Perkembangan mutakhir ini belum pernah dibahas oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau untuk mema-
sukkannya dalam draft RTRWP Riau.

10. Melegalkan Praktik Perkebunan Sawit Ilegal dalam Kawasan Hutan. Pada 2015 Pansus Monitoring
dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan
dalam Upaya Memaksimalakan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD
Provinsi Riau menemukan 2,4 juta kawasan hutan di Riau dirambah oleh korporasi, cukong dan mas-
yarakat7.

B. Perdebatan Draft RTRWP Riau

Gubri melakukan pertemuan terbatas dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 31 Mei 2017
membahas Program Strategis Nasional (PSN) di Riau dan RTRWP Riau. Andi Rahman mengaku Presiden
meminta langsung Menteri LHK untuk membantu proses penyelesaian RTRWP Riau.8

Pasca pertemuan dengan Presiden, Andi Rahman menggesa Pansus RTRWP Riau agar segera menyele-
saikan dan mengesahkan Ranperda menjadi Perda RTRW. Deadlinenya dalam satu bulan. Alasan Andi
Rahman menggesa pengesahan draft RTRWP Riau karena program PSN serta kepentingan investasi dan
pembangunan.9

Pada saat pertemuan pra ratas (rapat terbatas) bersama Deputi Maritim Sekretaris Kabinet Satya Bhakti
Parikesit di Kantor Sekretaris Kabinet, kawasan Istana Negara, Jakarta (24/05/2017), Andi Rachman men-
gatakan investasi dan program PSN terhambat karena RTRWP Riau belum ditetapkan.10

PSN dan investasi di luar PSN yang masuk ke Riau masuk dalam kawasan hutan. PSN dapat dilaksanakan
meski berada dalam kawasan hutan, syaratnya perlu mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
2 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Dalam lampiran Perpres Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Daftar Proyek Stranas di Provinsi Riau hanya ada untuk pembangunan infrastruktur Jalan Tol Pekanba-
ru- Kandis – Dumai (135 km) – bagian dari 8 ruas Trans Sumatera dan proyek pembangunan infrastruktur
sarana prasarana kereta api antar kota Jambi – Pekanbaru.11

Lalu pada 15 Juni 2017, Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 Tentang Pe-
rubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis
Nasional. Daftar Proyek Stranas di Provinsi Riau bertambah:

1. Jalan Tol Pekanbaru - Kandis - Dumai (131,5 KM) bagian dari 8 Ruas Trans Sumatera;

2. Jalan Tol Pekanbaru-Bangkinang-PYK-Bukit Tinggi (185) - Bagian dari Trans Sumatera;

3. Jalan Tol Jambi - Rengat (190 KM) Bagian dari Trans Sumatera;

4. Jalan Tol Rengat Pekanbaru (175 KM) Bagian dari Trans Sumatera;

5. Jalan Tol Dumai - Sp. Sigambal - Rantau Prapat (175 KM) Bagian dari Trans Sumatera;

6. Kereta Api Jambi - Pekanbaru;

7. Kereta Api Rantau Prapat – Duri;

8. Bendungan Rokan Kiri;


9. Kawasan Industri Dumai;

10. Kawasan Industri Tanjung Buton;

11. Upgrading Kilang-kilang eksisting (RDMP).12

Untuk investasi di luar PSN, Jikalahari menemukan investasi pihak swasta PT Chevron Pacific Indonesia
(minyak), PT RAPP/ PT Sateri Viscoe international (Rayont Plant), Perusahaan Perkebunan Swasta (perke-
bunan, pabrik kelapa sawit, jalan produksi), perusahaan pertambangan, rumah sakit swasta, PT Besmindo
Materi Sewatama (Pengeboran) dan Investasi di kota Dumai (beberapa sektor) mengajukan usulan kepada
Gubernur Riau untuk berinvestasi. Namun lokasi yang mereka usulkan berada di dalam kawasan hutan.

“Sesungguhnya tidak ada alasan bahwa karena alasan RTRWP investasi di Provinsi Riau terhambat ataupun
menjadi gangguan pada masyarakat. Rencana penggunaan atau pemanfaatan lahan hutan sudah diatur, juga
rencana perubahan tata ruang secara parsial sudah ada aturannya,” kata Siti Nurbaya Menteri LHK.13
Untuk itu sambil menunggu penyelesaian RTRWP Riau, langkah untuk mengatasi hambatan investasi di
Provinsi Riau dapat dilakukan sebagai berikut:

1. Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan dapat ditempuh, sebagaimana telah dilakukan selama ini
dan sudah ada penanganannya;

2. Untuk pelepasan kawasan dapat dilakukan mekanisme Pelepasan Kawasan Hutan secara parsial,
Tukar Menukar Kawasan Hutan atau mekanisme Izin Penggunaan Kawasan Hutan untuk kepentin-
gan pembangunan lainnya;

“Pada prinsipnya selain perubahan dalam rangka revisi RTRWP, kawasan hutan dapat diubah melalui
perubahan parsial (setiap waktu) untuk mendukung pembangunan non kehutanan atau melalui mekanisme
pinjam pakai selama kegiatan tersebut sudah masuk dalam RTRW selama tidak terdapat pelanggaran ruang/
pemutihan.”

“Kami terus melakukan identifikasi permasalahan terhadap SK 878 September 2014, identifikasi atas ren-
cana usul 497.000 ha dari Riau serta eksplorasi masalah-masalah yang dilaporkan secara parsial/ sporadis
oleh masyarakat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami juga terus berkonsultasi ke-
pada KPK dalam kerangka kerja Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam, dan atas pertimban-
gan bahwa KPK terus mengikuti perkembangan persoalan tata ruang di Provinsi Riau,” kata Siti Nurbaya14.

“Saat itu asumsi kami membantu Gubernur menyelesaikan RTRWP terkait kawasan hutan ialah bahwa data

BAB I PENDAHULUAN
3
usulan tersedia dan prosedur dilaksanakan. Asumsi ini bergeser ketika dalam proses prosedur pengusulan
revisi tata ruang tidak dipenuhi oleh Pemda Provinsi Riau,” kata Siti Nurbaya dalam laporannya kepada
Presiden Joko Widodo pada 14 Juli 201715. “Tidak ada dokumen yang bisa diproses karena belum ada usu-
lan dari Pemda Provinsi Riau.”

“Pemda Provinsi (Sekda Provinsi bersama unsur Pansus DPRD Provinsi) bertemu tim Ditjen Planologi
KLHK, diskusi merencanakan mekanisme pembahasan bersama, yang ketika kami ketahui, kami larang
untuk dilaksanakannya rapat-rapat tanpa sistematika kerja administratif yang teratur dan tanpa berdasarkan
peraturan,” kata Siti Nurbaya, “Situasi menjadi lebih buruk ketika komunikasi pejabat Pemda Riau dan
DPRD Provnsi Riau di ruang publik mendiskreditkan pusat (dalam hal ini KLHK) yang berbeda dari kondi-
si yang sesungguhnya. Atas kondisi ini, kami semakin meningkatkan kehati-hatian dalam berinteraksi untuk
penyelesaian RTRWP Riau.”

Siti Nurbaya mengatakan untuk acuan kawasan hutan sesuai SK. 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016 tang-
gal 7 Desember 2016. 

“Pihak KLHK tetap kekeuh akan memasukkan SK terakhir—SK Nomor 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/


2016. Pihak Pansus RTRWP Riau tidak bisa mengikuti hal tersebut karena dinilai tidak berkesesuaian den-
gan RTRWP Riau dan juga tidak harus diikuti,” kata Asri Auzar16, Ketua Pansus RTRWP DPRD Riau.

Menurut Asri Auzar ada perusahaan yang luasnya sekitar 117 ribu hektar dan terakhir 105 ribu hektar yang
diputihkan KLHK dalam SK Nomor 878 dan SK 903, “Itu kebunnya sudah ditanam, izinnya sudah ada dan
diproduksi bertahun-tahun, diputihkan secara sepihak tanpa prosedur yang jelas. Artinya perusahaan itu su-
dah melakukan perambahan hutan bertahun-tahun oleh SK KLHK diputihkan, legal dia. Punya perusahaan
gila itu kenapa dikeluarkan, saya lupa nama perusahaannya, tapi jumlahnya hampir 40-an, yang besar ban-
yak. Ini adalah perilaku pembohongan oleh pihak KLHK bahwa seakan-akan kita yang salah, kita legalkan,
dan kita ikut masalah.”

Pansus DPRD Riau meminta kepada KLHK 117 ribu hektar dan 105 ribu hektar lahan milik korporasi
sawit yang ‘diputihkan’ dijadikan kawasan hutan. Sedangkan kawasan pemukiman masyarakat, infrastruk-
tur, kawasan startegis pemerintahan yang awalnya masuk dalam kawasan hutan bisa diputihkan17. Pansus
RTRWP juga tetap ingin 142 desa ‘diputihkan’18.

C. Draft RTRWP Riau 2016-2036 Usulan Gubri

Pada 2016, Gubernur Riau menyerahkan draft RTRWP 2016-2035 kepada DPRD Provinsi Riau. Gubri
mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan seluas 1.045.390 ha menjadi non kawasan
hutan.

Dalam usulan Gubri tersebut, Jikalahari menemukan ada upaya mengubah status dan fungsi kawasan hutan
di areal 32 korporasi perkebunan kelapa sawit menjadi non kawasan hutan atau Area Peruntukan Lain
(APL) melalui draft RTRWP Riau 2016 –2035. Selain itu, dari 32 korporsi perkebunan sawit yang akan di-
legalkan merupakan korporasi yang sedang ditangani oleh penegak hukum dan terlibat kasus korupsi suap
alih fungsi lahan.

Pertama, 19 dari 33 korporasi dalam kawasan hutan temuan Pansus Monitoring dan Evaluasi (Monev)
Perizinan DPRD Riau 2015 berdasarkan SK.673/Menhut-II/2014 jo SK 878 SK 878/Menhut-II/2014 diu-
sulkan dari kawasan hutan menjadi APL oleh Pemprov Riau dalam draft RTRWP Riau 2016 – 2035 seluas
67.980,99 hektar. Pada awalnya sebagian areal 19 korporasi tersebut masih dalam kawasan hutan dengan
fungsi HPK dan saat ini tengah ditangani oleh penyidik Polda Riau.

Kedua, 13 perusahaan berdasarkan data HGU BPN Tahun 2010 sebagian besar masih masuk dalam ka-
wasan hutan berdasarkan SK 673 dan SK 878. Oleh Pemprov Riau melalui draft RTRWP Riau 2016 –
2035, diusulkan menjadi APL seluas 17.469,58 hektar. Itu berarti berdasarkan SK.673/Menhut-II/2014 jo
SK 878 SK 878/Menhut-II/2014, BPN menerbitkan izin HGU dalam kawasan hutan.

Ketiga, 7 dari 32 korporasi itu milik Grup Duta Palma (Darmex Agro Group) yang terlibat dalam kasus
korupsi alih fungsi lahan yang melibatkan terpidana Annas Maamun, Gulat Manurung dan Edison Marudut.
Duta Palma menyuap Annas Maamun sebesar Rp 3 miliar dari Rp 8 miliar yang dijanjikan. Suap diberikan
agar Annas Maamun bersedia memasukkan lahan milik grup Duta Palma untuk dilepaskan dari kawasan
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
4 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
hutan.19

Pada kasus korupsi alih fungsi lahan tersebut, telah diketahui upaya PT Duta Palma melegalkan kawasan
hutannya seluas 18 ribu hektar terkait dengan pengurusan sertifikat ISPO (Indonesian Sustainable Palm
Oil). Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, saat bersaksi di persidangan mengungkapkan bahwa
3 anak perusahaan PT Duta Palma belum bisa memperoleh sertifikat ISPO karena lahannya masih berada di
dalam kawasan hutan. Karena itu mereka getol berupaya agar lahannya bisa masuk ke dalam usulan revisi
tata ruang wilayah Riau untuk dialihfungsikan menjadi bukan kawasan hutan20.

Dalam persidangan kasus korupsi dengan terdakwa Annas Maamun, diperoleh fakta-fakta persidangan
bahwa Suheri Tirta, Humas PT Duta Palma membuat surat permohonan kepada Gubernur Riau agar lahan
PT Duta Palma turut dimasukkan dalam usulan revisi RTRW Riau. Surat diantar ke Rumah Dinas Gubernur
Riau dan ia menunggu di rumah dinas sampai Annas Maamun memberikan disposisi.

Sebelumnya ia juga menemui Andi Rachman yang saat itu menjabat sebagai Wakil Gubri meminta agar
lahan PT Duta Palma dapat dimasukkan dalam revisi RTRWP Riau. Di persidangan, Andi Rachman menga-
takan tidak menindaklanjuti permintaan tersebut karena bukan kewenangannya. Dalam persidangan, Annas
Maamun mengatakan tak jadi memasukkan lahan PT Duta Palma ke dalam usulan RTRW Riau karena
menurut Wakil Gubernur Arsyadjuliandi Rahman, lahan milik PT Duta Palma tidak bisa dimasukkan karena
berada dalam kawasan hutan.

Anehnya, pada draft Ranperda RTRWP Riau 2016 – 2035, Andi Rachman justru memasukkan lahan milik
Duta Palma Group untuk diubah fungsinya dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan.

D. Draft RTRWP Riau 2017-2037 Hasil Pansus RTRWP

Pansus RTRWP Riau dibentuk pada 9 September 2016 beranggotakan 19 anggota DPRD Riau pada 15
Agustus 2016, Gubernur Riau menyerahkan draft RTRWP Riau 2016 – 2035.

Setahun bekerja, Pansus RTRWP melakukan rapat bersama Pemerintah Pusat dan Daerah, simpul maha-
siswa, Lembaga Adat Melayu Riau dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Total 20 kali pertemuan dan
2 kali kunjungan lapangan.

Di media, Pansus DPRD Riau mengusulkan kepada KLHK agar mengeluarkan 497.377 hektar dari ka-
wasan hutan.21

“Saya terkejut membaca berita itu (adanya usulan pemutihan 497 ribu ha). Lalu, saya tanya ke (Kepala)
Bappeda (Rahman Rahim) ada apa itu? Saya belum ada menandatangani surat pengajuan ke Menteri LHK,”
kata Andi Rahman di Pekanbaru, Jumat (9/6).22

Di sisi lain, Suhardiman Amby, anggota Pansus RTRW mengatakan bahwa usulan tambahan kawasan yang
akan ‘diputihkan’ dalam RTRW Riau dengan luas 497 ribu hektar masih sebatas pembahasan di internal
Pansus. Pansus pun terus melakukan kroscek data dengan pemerintah kabupaten/kota yang ada di Riau.23

Namun, Pansus tidak pernah membuka dokumen 497 ribu ha kepada publik.

Publik baru mengetahui isi 497 ribu hektar dari Laporan Menteri LHK pada Presiden Jokowi. Berikut data
497.377 hektar paparan Pemprov Riau pada Rapat Teknis Percepatan Penyelesaian RTRWP Riau yang
difasilitasi oleh Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian pada 20-21 April 2017 di Grand Hotel
Mercure Harmoni Jakarta:

a. Perubahan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung yang memerlukan persetujuan DPR RI
seluas 20.042 ha (4,03%), atau DPCLS.

b. Perubahan kawasan hutan produksi termasuk hutan produksi yang dapat di konversi seluas 475.062
ha (95,51 %) yang terindikasi berupa :

a. Perkebunan (sawit) seluas 186.589 ha (37,51 %);

b. Kebun campur dan pertanian lahan kering seluas  216.935 ha (43,61 %);

BAB I PENDAHULUAN
5
c. Lahan terbuka dan sawah seluas 41.357 ha (8,32 %);

d. Permukiman dan transmigrasi seluas 2.745 (0,55 %);

e. Hutan seluas 25.260 ha (5,08 %);

f. Penutup (Landcover) lainnya seperti tubuh air dan rawa seluas 2.176 ha  (0,45 %).

c. Areal bukan kawasan hutan dan tubuh air seluas 2.273 ha (0,46%).

Pansus RTRWP Riau belum menyerahkan usulan pemutihan 497 ribu hektar ini ke KLHK secara resmi24.
“Yang jelas kita saja belum menulis surat maupun yang lain ke KLHK. Kita menunggu dewan sekarang,
memang kita menyerahkan hasil dari Pansus dan Pemprov kepada tim KLHK dan Planologi. Dan sampai
hari ini belum ada hasil apa-apa. Saya sama sekali tidak menandatangani surat apapun. Belum pernah seka-
lipun,” kata Gubernur Riau, “ sama sekali tidak ada rencana untuk pemutihan lahan seperti yang dituliskan
seluas 497 ribu hektar lebih.” 25

Setelah pembahasan panjang, Pansus menyetujui 405 ribu hektar dijadikan Holding Zone. Selama pemba-
hasan tersebut, ada 3 alternatif penyelesaian sebagai berikut:

a. Status kawasan dituntaskan terlebih dahulu baru Ranperda dibahas, jika jalur penyelesaian ini yang
ditempuh, Pansus menilai membutuhkan waktu panjang dalam penyelesaian RTRWP Riau, karena harus
menunggu keputusan MenLHK terkait dengan perubahan peruntukan kawasan hutan, karena kewenan-
gan perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan kewenangan Menteri LHK, bersumber dari
ketentuan Pasal 1 Ayat 3 UU 41/ 1999 yang menyatakan: Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap, frasa pemerintah
dalam norma pasal 1 ayat 3 UU 41/1999 tersebut diatribusikan pada Menteri Kehutanan melalui instru-
men keputusan (beschikking)

b. Berdasarkan pertemuan Pansus dengan Pemda Riau dengan Menteri Agraria/ATR, Kepala BPN, KLHK,
Komisi Ombudsman RI, menyampaikan bahwa persoalan RTRWP Riau akan dibahas dalam rapat
kabinet, namun Pansus menilai upoaya yang akan dilakukan Menteri Agraria/ATR, Kepala BPN tersebut
juga akan memerlukan waktu yang cukup panjang.

c. Penyelesaian RTRW penyelesaian RTRWP Riau dilakukan berdasarkan rekomendasi Ombudsman RI


No 0002/REK/0361.2015/PBP-41/II/2016 Tentang Permasalahan Pelayanan Publik di Provinsi Riau
paska terbitnya Keputusan MenLHK SK.673/Menhut-II/2014 dan Keputusan Menteri Kehutanan No-
mor SK.878/Menhut-II/2014 dimana untuk menyelesaiakn persoalan RTRWP Riau Komisi Ombudsman
RI mengeluarkan rekomendasi kepada MenLHK, dan Pemerintah Prov Riau, dimana Pemprov Riau agar
melakukan percepatan pembentukan RTRWP Riau, dengan menetapkan selisih/gap luas areal antara luas
yang direkomendasikan tim terpadu dengan jumlah luas yang ditetapkan dalam keputusan SK.673/Men-
hut-II/2014 sebagai Holding Zone dalam Perda RTRWP Riau, sebelum terbitnya keputusan pengganti
kawasan hutan Prov Riau.

Rekomendasi Ombudsman ini sejalan dengan poin ke 4 Instruksi Presiden Indonesia Nomor 8 Tahun
2013 Tentang Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Dimana MenLHK memberikan fasilitasi dalam pengintegrasian dan pengharmonisasian kawasan hutan
pada rencana tata ruang wilayah provinsi kedalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang be-
lum ditetapkan peruntukan ruangnya (Holding Zone). Sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un-
dangan.

Berdasarkan alternatif penyelesaian tersebut, pansus memilih penyelesaian berdasarkan rekomendasi


Ombudsman RI yang menyebutkan Keputusan Menteri LHK SK. 903/MenLHK/SETJEN/PLA.2/2016
dan Instruksi Presiden Indonesia No. 8 Tahun 2013 tentang penyelesaian penyusunan RTRW Provinsi dan
Kabupaten/Kota, dengan catan sebagai berikut:

1. Dilakukan Holding Zone/Outline terhadap pemukiman, transmigrasi, insfratruktur, Fasos, dan


Fasum, perkebunan rakyat, tambak dengan luas 405.874 hektar, karena terkait aspek kepentingan
rakyat yang harus diperjuangkan oleh DPRD Provinsi Riau, Dengan rincian sebagai berikut:

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
6 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Tabel 1. Rincian peruntukan Holding Zone

No Peruntukan Luas
1 Pemukiman 19.317 Ha
2 Infrastruktur, Fasos dan Fasum 7.078 Ha
3 Kawasan Industri 399 Ha
4 Perkebunan Rakyat 321.717 Ha
5 Hutan Lindung 1.798 Ha
6 Kawasan Perikanan 183 Ha
7 Kawasan Pertanian 1.355 Ha

2. Areal seluas ± 640.257 ha yang berada dalam gap diduga merupakan areal perusahaan besar yang
dikuasai tanpa izin tidak masuk dalam Holding Zone karena berpotensi dan payuy diduga terjadi
tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pember-
antasan Perusak Hutan jo UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan. Pansus menilai persoalan ini merupakan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 dan Pansus menyerahkan perso-
alan ini keapda aparat penegak hukum untuk diproses sesuai dengan ketentuan Peraturan Perun-
dang-undangan yang berlaku.

E. Temuan di Holding Zone

Koalisi Eyes on the Forest dan Jikalahari melakukan analisa terhadap lahan yang dipertanyakan legalitasn-
ya seluas 405.847 hektar dari total 1.045.390 hektar yang diusulkan sebagai Holding Zone berdasarkan
rekomendasi Ombudsman RI No 0002/REK/0361.2015/PBP-41/II/2016 yang sejalan dengan Intruksi
Presiden Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Dari 405.847 hektar, DPRD Riau mengusulkan Holding Zone peruntukan kawasan perkebunan rakyat selu-
as 321.717 ha.

Tim Jikalahari dan Eyes on the Forest (EoF) melakukan kajian dan pemantauan lapangan di 17 lokasi Hold-
ing Zone yang diusulkan sebagai perkebunan rakyat, mengumpulkan data dan bukti apakah pada areal
usulan Holding Zone tersebut telah dikuasai oleh masyarakat atau pihak perusahaan atau cukong sawit.

Indikasi adanya “motif” dibalik sikap pansus yang bersikukuh mengusulkan Holding Zone seluas 405.847
ha sebagai alternatif penyelesaian RTRWP Riau 2017-2037 kemudian terjawab. Hasil investigasi EoF dan
Jikalahari menunjukkan bahwa dari 40.109 ha Holding Zone yang diinvestigasi seharusnya diperuntukan
bagi perkebunan rakyat nyatanya dimiliki oleh 4 perusahaan, 10 pemodal dan 3 kerjasama perusahaan
kebun kelapa sawit dengan KUD dalam bentuk Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

BAB I PENDAHULUAN
7
Tabel 2. Kajian dan pemantauan lapangan di 17 lokasi Holding Zone yang diusulkan sebagai perkebunan
rakyat
Tumpang susun kebun sawit pada
Tumpang susun Kawasan Hutan SK
usulan Holding Zone Ranperda
903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2017
Luas Holding Temuan RTRWP Riau 2017-20137 dengan
No pada usulan Holding Zone Ranperda
Zone Kawasan Hutan SK
RTRWP Riau 2017-2037
903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2017
HP HPT HPK HL Pemilikan Luas kebun HP HPT HPK HL
1 9,868 9,868 PT Andika Pratama Sawit Lestari 6,455 6,455
KA 614 614
2 9,979 9,979 PT Torganda - Rantau Kasai 12,190 916 9,840
3 1,903 1,903 PT Pedasa Enam Utama 11,183 39 7,416 549
4 575 575 PT Bina Fitri Jaya 3,130 311 581
5 2,353 2,353 PT Tasma Puja 1,757 91 1,642
6 2,940 2,940 MK 481 481
7 2,564 2,564 ANG 1,856 1,856
8 428 428 YD 428 428
9 1,579 677 902 KUD Sahabat Lestari 1,579 677 902
10 485 485 Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri 686 686
11 3,546 3,546 TM 1,461 1,461
12 990 990 HB 882 828
13 1,537 1,142 395 HA 1,537 1,142 395
14 562 562 HS 254 254
15 206 206 AB 206 206
16 194 194 DP 322 322
17 400 400 AR 50 50
40,109 16,280 6,507 17,322 - 45,071 11,639 4,353 21,602 549

F. Evaluasi Ranperda RTRWP 2017-2037 di Kemendagri

Pada Oktober 2017 Gubernur Riau menyerahkan Draft Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 ke Menteri
Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Mendagri mengundang kementrian terkait membahas evaluasi draft Ran-
perda RTRWP Riau26. Dalam rapat tersebut KLHK menolak draft Ranperda RTWP Riau dan mengusulkan
penyusunan KLHS oleh Pemprov Riau.

Pada 13 November 2017 Mendagri menerbitkan SK Nomor 188.34-8552 Tahun 2017 tentang Evaluasi
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau tentang RTRWP Riau Tahun 2017 – 2037. Mendagri memutus-
kan:

1. Evaluasi Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 sebagaimana tercantum dalam lampiran sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari keputusan menteri ini

2. Gubri wajib menyusun KLHS dengan berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan uru-
san pemerintahan bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai denganbketentu-
an perundang-undangan.

3. Gubri dan DPRD Provinsi Riau segera menindaklanjuti hasil evaluasi dan melakukan penyempur-
naan serta penyesuaian atas Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 berdasarkan hasil evaluasi se-
bagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan KLHS sebagaimana dimaksud diktum kedua, sesuai
denganbketentuan perundang-undangan.

4. Gubri segera menyampaikan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 yang telah dilakukan penyem-
purnaan dan penyesuaian sesuai dengan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu
dan KLHS sebagaimana dimaksud diktum kedua kepada Menteri Dalam Negeri dan sekaligus
untuk mendapatkan nomor register.

5. Gubri segera menetapkan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 menjadi Peraturan daerah tentang
RTRWP 2017 -2037 setelah mendapatkan nomor register sebagaimana diktum keempat.

6. Gubri segera menyampaikan Peraturan daerah tentang RTRWP 2017 -2037 kepada Menteri Dalam
Negeri paling lama 7 hari setelah ditetapkan.

7. Putusan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan apabila dikemudian
hari terdapat kekeliruan akan dilakukan perbaikan sebagaimana mestinya.

Menindaklanjuti evaluasi Mendagri, Gubri membentuk Tim Penyusun KLHS Provinsi Riau pada 13 Okto-
ber 2017. Rapat konsultasi publik pertama digelar pada 15 November 2017 di kantor Bappeda, dilanjutkan
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
8 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
pada 21 Desember 2017 di Hotel Premiere Pekanbaru. Hingga laporan ini dibuat, tim penyusun KLHS
Provinsi Riau masih sedang bekerja dan menunggu masukan publik.

G. Laporan ke Ombudsman dan KIP Riau

Selama penyusunan dan pembahasan RTRWP Riau 2017-2037 oleh Gubernur Riau maupun DPRD Provin-
si Riau sangat minim memberikan ruang partisipasi bagi publik.

Jikalahari melaporkan dugaan pelanggaran mal administrasi yang dilakukan Gubernur Riau tersebut ke
Ombudsman RI Perwakilan Riau pada 23 Agustus 2017.

Dalam laporan tersebut Jikalahari mendesak Ombudsman untuk mengevaluasi serta meminta Gubernur
Riau segera menjalankan kewajibannya dalam melakukan pelayanan publik terkait penyelenggaraan pena-
taan ruang. Lalu merekomendasikan Gubri segera membangun sistem informasi dan komunikasi penataan
ruang Provinsi Riau sehingga publik dapat dengan mudah mengakses informasi berkaitan dengan draft
RTWP Riau.

Ombudsman menyampaikan hasil pemeriksaan atas laporan Jikalahari pada 10 November 2017 melalui
surat No: SP-266/PW.04/01311.2017/XI/2017. Jawaban atas dugaan maladministrasi oleh Gubernur Riau
melalui surat Sekretaris Daerah Nomor: 180/HK/99.18, tidak menjawab dugaan maladministrasi tersebut.
Apa yang disampaikan Gubernur tidak menggambarkan pelaksanaan Undang-undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang dan Peraturan Pemerintah No 68 tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata Cara Peran
Masyarakat dalam Penataan Ruang.

Keterbukaan dan pelibatan yang dimaksud dalam surat tersebut hanya berupa pertemuan-pertemuan
dengan pemerintah daerah sementara pertemuan dengan masyarakat sifatnya hanya menghadiri undangan
kegiatan yang diadakan oleh masyarakat sipil.

Secara keseluruhan, Gubernur juga menjelaskan keterbukaan dan pelibatan peran serta masyarakat dalam
penyusunan Ranperda RTRW Provinsi Riau pada pembahasan ranperda RTRW Provinsi Riau oleh Pansus.
Apa yang dijelaskan Gubernur tentang proses pembahasan di Pansus RTRW Provinsi Riau, sesuai dengan
laporan Pansus RTRW Provinsi Riau.

Dari dokumen laporan Pansus RTRW Provinsi Riau, pertemuan, rapat-rapat dan kunjungan dilakukan se-
banyak 22 kali. Jika dikelompokan perkegiatan, dapat dilihat sebagai berikut:

a. Pansus lebih banyak bertemu dengan pemerintah pusat dan daerah.


b. Pertemuan dengan masyarakat hanya diwakili LAM dan Simpul Mahasiswa

c. Pansus bertemu dengan perwakilan pengusaha (KADIN)

d. Menurut Pansus pertemuan dengan poin a,b dan c diatas ‘berdasarkan tahapan yang lazim di DPRD
Riau’.

Jikalahari kembali menyampaikan klarifikasi kepada ombudsman pada tanggal 29 November 2017 untuk
menjawab pernyataan gubernur Riau sekaligus memperjelas dugaan maladminisrtrasi yang dilkukan oleh
Gubernur Riau saat penyusunan dan pembahasan Ranperda RTRWP Riau.

Hingga detik ini Ombudsman Perwakilan Riau belum membalas surat klarifikasi dari Jikalahari.

Bukan hanya melaporkan dugaan maladministrasi ke Ombusman Ri Perwakilan Riau, Jikalahari juga men-
gajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Provinsi Riau atas keberatan terhadap DPRD Riau yang
tidak bersedia memberikan data dokumen laporan Pansus RTRWP Riau pada 10 November 2017.

Jikalahari mendorong partisipasi dan keterbukaan informasi dalam penyusunan Ranperda RTRWP Riau.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan uji akses permintaan data ranperda tersebut. Atas tidak
ditanggapinya terhadap permintaan informasi pada tanggal 6 September 2017 yang ditujukan kepada ketua
DPRD Provinsi Riau, Jikalahari keberatan dan mengajukan surat keberatan pada tanggal 26 September
2017.

BAB I PENDAHULUAN
9
Pengajuan sengketa ini diajukan, karena DPRD Provinsi Riau selaku badan publik tidak menanggapi dan
memberikan data yang diminta, dan data yang diminta merupakan data yang tidak dikecualikan. Permohon-
an sengketa secara resmi diagendakan oleh Komisi Informasi Provinsi Riau pada 20 November 2017.

Sidang pertama dilaksanakan pada 13 Desember 2017 untuk melakukan pemeriksaan awal. Sidang sengke-
ta tersebut tidak dihadiri oleh pihak termohon, dalam hal ini atasan PPID DPRD Provinsi Riau. Sidang
kedua dilaksanakan pada 18 Desember 2017 dan dihadiri oleh pihak emohon serta termohon. Pada sidang
kedua tersebut, sidang belum dapat dilanjutkan karena pihak termohon belum memenuhi legal standing
yang ditentukan oleh majelis.

Sidang ketiga dilaksanakan pada 5 januari 2018 dihadiri oleh pihak pemhon dan termohon. Majelis memu-
tuskan untuk dilakukan mediasi sesuai UU 13 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Terakhir
pada 15 Januari 2018 pembahasan melelui mediasi, pihak termohon tidak hadir.

H. Publik Review

Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2017-2037 diketok palu oleh DPRD Riau pada 25
September 2017 ditengah kontroversi di masyarakat. Masyarakat menolak penetapan Ranperda RTRWP
2017-2037 akibat persoalan belum selesainya penataan peruntukan ruang yang menguntungkan korporasi,
penegakan hukum yang masih berjalan, perlindungan gambut yang terabaikan serta kebijakan nasional
terkait ruang kelola yang hanya sedikit mendapat perhatian, selain itu, perdebatan juga terjadi pada pejabat,
tokoh masyarakat dan akademisi. Bahkan salah satunya diinternal DPRD Provinsi Riau sendiri. Disatu sisi
pihak DPRD Provinsi Riau akan melakukan uji publik sebelum ditetapkan, namun disisi lainnya DPRD
Provinsi Riau ngotot untuk tetap segera mentapkan Ranperda tersebut dengan alasan investasi dan pemban-
gunan.

Ranperda RTRWP Riau 2017-2037 dikuasai monopoli korporasi. Dari sekira 9 juta ha luas kawasan Riau,
lebih dari 65 persen telah dikuasai korporasi sektor HTI, sawit dan tambang—belum termasuk korporasi
sektor Migas karena belum ditemukan data valid terkait eksisting penggunaan lahan.

• Data Luasan HTI di Riau: 2.345.088,85 ha

• Data Luasan Sawit di Riau (HGU): 949.789 ha

• Data Luasan Penguasaan Lahan Sawit Illegal: 2.494.484 ha

• Data Luasan Tambang di Riau: 153.020


• Total Luasan Penguasaan Lahan legal:3.447.897,85 ha

• Total Penguasaan Lahan Legal + Illegal perambahan = 5.942.381,85 ha

• Luas Riau Daratan + Perairan = 9.036.710,42

Padahal lebih dari 65 persen hutan tanah dikuasai korporasi berada dalam hutan tanah

masyarakat adat dan tempatan. Inilah yang menyebabkan konflik yang tak kunjung selesai di Riau. Akibat
berpihaknya draft RTRWP kepada korporasi, masyarakat adat dan tempatan tidak lagi memiliki tempat
untuk hidup dan mengelola lahan. Pemda Riau semestinya mereview kembali izin perusahaan yang meram-
pas hutan tanah milik masyarakat adat dan tempatan.27 Artinya, Ranperda RTRWP Riau akan terus melang-
gengkan konflik tanah antara masyarakat adat dan tempatan dengan korporasi.

Atas SK kawasan Hutan Provinsi Riau yang dijadikan dasar, SK 878/Menhut-II/2014 j.o SK 903/MEN-
LHK/SETJEN/PLA.2/12/2016, Jikalahari bersama EoF melakukan kajian dan pemantauan lapangan
sepanjang 2015 -2017 di Provinsi Riau untuk memperoleh data dan bukti apakah pada areal Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan telah dikuasai oleh perusahaan atau cukong
sawit. Hasilnya, 55 korporasi perkebunan sawit telah menguasai sejak sebelum SK673-903 diterbitkan dan
mendapat pelepasan kawasan hutan/pemutihan. Ini menjawab pertanyaan: apakah perubahan peruntukan
kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan lebih terkesan melegalkan usaha perusahaan dan pemodal
sawit yang sudah menduduki kawasan sejak lama. Berikut 55 Korporasi Perkebunan Kelapa Sawit yang
diputihkan:
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
10 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Tabel 3. Temuan 55 Korporasi perkebunan kelapa sawit yang diputihkan setelah terbitnya SK No 673 – 878

NO PERUSAHAAN / KOPERASI / PEMODAL GROUP / MITRA

1 PT Agro Abadi Panca Eka


2 PT Meskom Agro Sarimas Sarimas
3 PT Torusganda
4 PT Riau Agung Karya Abadi
5 PT Peputra Supra Jaya Peputra Masterindo
6 PT Arindo Tri Sejahtera First Resources
7 PT Damara Abadi
8 PT Jalur Pusaka Sakti Kumala
9 PT Kampar Palma Utama Panca Eka
10 PT Perdana Inti Sawit Perkasa First Resources
11 PT Sawit Unggul Prima Plantation
12 PT Wasundari Indah
13 PT Yutani Suadiri
14 PT Masuba Citra Mandiri Bumitama Gunajaya Agro
15 PT Kinabalu
16 PT Percohu Permai
17 PT Pesawoan Raya
18 PT Sinar Reksa Kencana
19 PT Bumi Sawit Perkasa
20 PT Sinar Siak Dian Permai Wilmar
21 PT Surya Agrolika Reksa Adimulya
22 Koperasi Air Kehidupan Aek Natio
23 PT Wanasari Nusantara/KUD Tupan Tri Bhakti
24 PT Tri Bhakti Sarimas/KUD Prima Sehati Sarimas
25 PT Ramajaya Pramukti Golden Agri-Resources
26 Koperasi Dubalang Jaya Mandiri
27 PT. Surya Intisari Raya First Resources
28 PT. Kaliagung Perkasa
29 KUD Bumi Asih
30 PT. Ciliandra Perkasa First Resources
31 PT. Surya Intisari Raya 2 First Resources
32 PT. Indrawan Perkasa
33 PT. Gunung Mas Raya Indofood
34 KUD Sakato Jaya Lestari
35 PT. Sari Lembah Subur - Tampoi Astra
36 PT. Johan Sentosa Darmex
37 UP
38 SP
39 PT. Agro Sarimas Indonesia Sarimas
40 PT. Sari Lembah Subur - Mak Teduh Astra
41 PT. Perkebunan Nasional V Sei Lala PTPN
42 PT. Sumber Sawit Sejahtera
43 PT. Sugih Indah Sejati Wira
44 PT. Bintang Riau Sejahtera Borneo Pasific
45 PT. Berlian Mitra Inti
46 PT. Kosta Palmira
47 PT. Budi Murni Panca Jaya
48 PT. Perkebunan Nasional V Sei Parit PTPN
49 PT. Perkebunan Nasional III Sei Meranti PTPN
50 PT. Langgam Inti Hibrindo Provident Agro
51 PT. Murini Wood Indah Industries First Resources
52 PT. Serikat Putera
53 PT. Perkebunan Nasional V Sei Rokan PTPN
54 PT. Astra Agro Lestari Astra
55 KUD Sawit Jaya

BAB I PENDAHULUAN
11
- Apa Itu Publik Review

Istilah Eksaminasi berasal dari terjemahan bahasa Inggris “examination” yang dalam Black’s Law Dictio-
nary sebagai an investigation; search; inspection; interrogation. Atau yang dalam kamus bahasa Inggris‐In-
donesia diartikan sebagai ujian atau pemeriksaan. Regulasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
pengaturan. Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundan-
gundangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh
lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum.

Sedangkan Peraturan perundang‐undangan –menurut UU No 12 Tahun 2011‐ adalah peraturan tertulis yang
memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang‐undangan. Apabila
dihubungkan dengan konteks eksaminasi dan publik maka eksaminasi publik peraturan perundangan berarti
upaya melakukan pengujian atau pemeriksaan oleh publik terhadap peraturan perundang‐undangan atau
keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum.

Istilah lain yang sepadan dengan Eksaminasi publik regulasi adalah Public Review. Istilah ini muncul
didasarkan pada pertimbangan subjek yang melakukan pengujian terhadap peraturan perundang‐undangan
adalah publik atau kelompok masyarakat tertentu. Selama ini pengujian peraturan perundang‐undangan dari
segi subjeknya hanya terdiri atas:

1. Pengujian oleh lembaga eksekutif yang dapat disebut executive review;


2. Pengujian oleh lembaga legislatif dapat disebut legislative review; dan

3. Pengujian oleh lembaga peradilan disebut judicial review.

Selama ini eksaminasi publik lebih dipergunakan untuk melakukan evaluasi atas putusan pengadilan. Ek-
saminasi dilakukan oleh Majelis Eksaminasi yang terdiri dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan
praktisi hukum terkemuka dan berintegritas. Majelis eksaminasi ini adalah representasi dari kepentingan
publik untuk melakukan penilaian apakah putusan yang dibuat hakim benar‐benar mencerminkan kepentin-
gan publik.

Tidak hanya putusan, eksaminasi juga bisa dilakukan untuk mengevaluasi atau menguji produk hukum
dalam bentuk regulasi atau peraturan perundang‐undangan secara lebih luas, seperti Undang‐Undang, Pera-
turan Pemerintah, Keputusan Menteri atau Peraturan Daerah dan bahkan Keputusan Kepala Daerah. Dalam
prakteknya masyarakat sipil pernah melakukan eksaminasi publik terhadap Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA).
Gagasan mengenai eksaminasi publik dibidang regulasi atau peraturan perundangan sesungguhnya telah
dicetuskan sejak tahun 2003 lau. Saat itu DR. Mudzakkir, SH, akademisi dari Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta dalam Buku Eksaminasi Publik memberikan catatan sebagai berikut:

Setelah eksaminasi putusan pengadilan ini berjalan dengan baik dan memperoleh kepercayaan masyarakat,
sebaiknya objek eksaminasi publik di masa mendatang perlu diperluas. Bukan hanya terhadap produk
hukum berupa putusan pengadilan tetapi juga terhadap produk hukum lain misalnya penetapan, putusan
pejabat negara, undang‐undang, dan peraturan perundang‐undangan lainnya sesuai dengan Ketetapan MPR
Nomor 3 tahun 2000.

Eksaminasi atau pengujian terhadap undang‐undang bertujuan untuk menguji apakah suatu undang‐undang
materinya sudah sesuai dengan perundang‐undangan yang memuat ketentuan‐ketentuan pokok di bidang
hukum yang sejenis/sederajat atau memiliki kedudukan yang lebih tinggi, misalnya konstitusi. Pengujian
ini dikenal dengan pengujian secara materiil (uji materiil) atau secara umum dikenal dengan judicial review.
Wewenang ini untuk selanjutnya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Sedangkan eksaminasi terhadap produk putusan hukum lainnya dimaksudkan untuk menguji apakah putu-
san hukum tersebut telah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan asas‐asas penerapan hukum yang baik dan benar

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
12 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
- Tujuan Publik Review RTRWP

Secara umum tujuan kegiatan Publik Review ini untuk mendorong partisipasi publik untuk melakukan
pengkajian, pengkritisan dan penilaian secara objektif terhadap Rancangan Peraturan Daerah RTRWP Riau
2017- 2037.

Secara khusus, Publik Review ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji ketepatan penerapan asas-asas dan prinsip-prinsip hukum baik materiil maupun formil
dalam penyusunan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037.

2. Mengkaji perspektif pemerintah dalam penyesuaian peruntukan dan fungsi kawasan hutan dengan
memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan tempatan serta aspek sosial ekologis.

3. Memberikan rekomendasi terhadap Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 yang lebih memperhatikan
hak-hak masyarakat serta kelestarian ekologis.

- Cakupan Materi dan Metode

Ruang lingkup dan cakupan Publik Review adalah Ranperda RTWP Riau 2017 – 2037. Metode yang
digunakan dengan membaca dan menganalisis naskah Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 baik dari aspek
formil maupun materiil dibandingkan dengan dokumen terkait. Dokumen terkait yang menjadi bahan anali-
sis Publik Review diantaranya:
1. Draft RTWP Riau 2016 – 2035 dan lampiran
2. Draft RTRWP Riau 2017 – 2037 dan lampiran
3. Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah
5. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
6. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 Tentang Bentuk dan Tata Cara Peran Masyarakat dalam
Penataan Ruang
7. PP Nomor 104/ 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
8. Perpres No 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan
9. Permendagri No 80 Tahun 2015 Tentang pembentukan prodak hukum
10. Permen PU Nomor 15/PRT/M/2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
11. PermenLHK Nomor P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 Tentang Perhutanan Sosial
12. SK MenLHK Nomor SK.129/MenLHK/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hi-
drologis Gambut Nasional
13. SK 173/Kpts-II/1986 tentang Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi Riau
14. SK.673/Menhut-II/2014 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan
Hutan seluas ± 1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi kawasan Hutan seluas ± 717.543 hektar dan
Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas ± 11.552 hektar di Provinsi Riau
15. SK 878 SK 878/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau
16. SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi
Bukan Kawasan Hutan Seluas 65.125 (Enam Puluh Lima Ribu Seratus Dua Puluh Lima) Hektar Di
Provinsi Riau
17. SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 Perubahan Atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup
dan Kehutanan SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan
Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas 65.125 (Enam Puluh Lima Ribu Seratus Dua Puluh
Lima) Hektar Di Provinsi Riau

BAB I PENDAHULUAN
13
18. SK No, 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 tentang kawasan Hutan Provinsi Riau
19. Laporan Rekomendasi Pansus Monitoring dan Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan DPRD Beng-
kalis
20. Presentasi Hasil Evaluasi Tahap I Tim Operasional Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo
21. Presentasi Konflik PT RRL vs Masyarakat Bengkalis
22. Laporan EoF Desember 2016: ‘Legalisasi’ perusahaan sawit melalui perubahan peruntukan Kawasan
Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau Laporan investigatif dan analisa pengindraan
jarak jauh di 26 kebun sawit
23. Lampiran Presentasi Dirjen Planologi KLHK, Juni 2017 “Perubahan Kawasan Hutan dalam Rangka
RTRWP Riau
24. Fotokopi Kliping Koran berita terkait RTRWP Riau Januari – September 2017
25. Kliping media online Pansus Monev Perizinan Usaha Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan pada
2015 menemukan 104 perusahaan ‘diputihkan’ dalam SK 878/Menhut-II/2014
26. Kertas Posisi RTRWP Riau Jikalahari

- Majelis Eksaminasi

Majelis eksaminasi terdiri dari pihak-pihak yang kredibel dan memiliki kompetensi untuk melakukan pen-
gujian terhadap Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037. Hal ini untuk memastikan agar analisis dan hasil dari
Publik Review dapat dipertanggung jawabkan kepada publik. Majelis Eksaminasi terdiri dari orang-orang
yang memiliki perhatian yang besar terhadap penegakan hukum dan memiliki kompetensi keilmuan di
bidang Hukum Administrasi negara, Ilmu Sosial, Kehutanan, Peraturan Perundang-undangan dan berpen-
galaman dalam advokasi dibidang kehutanan dan lingkungan.

Majelis Eksaminasi terdiri dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan akademisi. Majelis Eksaminasi
terdiri dari:

1. Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodiharjo, MS.

Akademisi Kehutanan dan Guru Besar Institut Pertanian Bogor Departemen Pengelolaan Hutan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Kegiatan saat ini adalah mengajar di Institut Pertani-
an Bogor & Universitas Indonesia (UI), Ketua Dewan Hutan Nasional / DKN Indonesia, Anggota
Dewan Pengurus Yayasan KEHATI (Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia) serta Tim Gera-
kan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA) KPK.

2. Dr H Saifuddin Syukur, SH, MCL.

Akademisi Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR),
pengajar ilmu hukum tata negara di UIR, Ketua Pusat Kajian dan Pengembangan Produk Hukum
Daerah UIR—bersama lembaga yang diketuainya ini sudah membuat lebih dari 200 peraturan daer-
ah (Perda) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota se Provinsi Riau.

3. Nursamsu, SP.

Aktivis Eyes on the Forest yang memantau hutan Riau sejak 1997 hingga kini. Aktif di WWF
Indonesia-Sumatera sejak 1997 dan terus melakukan pemantauan baik melalui investigasi maupun
kajian-kajian yang menghasilkan laporan-laporan temuan lapangan terkait kondisi hutan di Riau
hingga kini. Selain memantau kondisi hutan, juga kerap melakukan kajian terkait dugaan tindak
pidana kehutanan yang terjadi di Riau.

Majelis eksaminasi juga dibantu tim perumus untuk memperkuat hasil eksaminasi dan menyusun hasil
eksaminasi yang terdiri dari Made Ali, SH, Okto Yugo Setyo, SE dan Nurul Fitria, SPd dari Jikalahari.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
14 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
- Tahapan Publik Review

Tahapan kegiatan Publik Review yang telah dilaksanakan diantaranya membentuk tim panel dan inven-
taris objek yang akan dieksaminasi, melakukan diskusi panel menentukan objek eksaminasi dan majelis
eksaminasi, membentuk majelis eksaminasi dan sidang eksaminasi (Focus Group Discussion) sebanyak 3
kali pada 7 Oktober 2017, 16 November 2017 dan 30 November 2017 yang juga mengundang perwakilan
akademisi, pemerintah serta masyarakat.

Footnote:

1. https://www.goriau.com/berita/gonews-group/akhirnya-rtrw-riau-disahkan.html

2. Kliping Koran Riau Pos 25 September 2017

3. http://www.warnariau.com/read-513-2876-2017-08-30-gubri-sebut-polemik-rtrw-hambat-investasi-rp50-triliun-masuk-ke-riau.
html

4. Kliping Koran Tribun Pekanbaru 8 Agustus 2017

5. http://jikalahari.or.id/kabar/rilis/pimpinan-dprd-riau-dorong-pelibatan-publik-dalam-pembahasan-rtrwp-riau/

6. Dalam penataan ruang setiap orang berhak salah satunya mengetahui rencana tata ruang (Pasal 60 UU 26 Tahun 2007)

7. http://jikalahari.or.id/kabar/laporan/kertas-posisi-rtrwp-riau-untuk-rakyat-bukan-untuk-segelintir-pemodal-dan-monopoli-kor-
porasi/

8. https://www.facebook.com/pg/AndiRachman1960/posts/?ref=page_internal tanggal 31 Mei 2017 @Andi Rahman

9. https://www.facebook.com/pg/AndiRachman1960/posts/?ref=page_internal tanggal 31 Mei 2017 @Andi Rahman

10. https://www.goriau.com/berita/riau/rtrw-hambat-proyek-strategis-nasional-di-riau.html

11. Lampiran Perpres Nomor 3 Tahun 2016 halaman 1 dan 4.

12. Lampran Perpres Nomor 58 Tahun 2017 halaman 1, 4, 5, 7, 10 dan 11.

13. http://www.sitinurbaya.com/kliping/779-salinan-laporan-perkembangan-persoalan-rtrwp-riau

14. http://www.sitinurbaya.com/kliping/779-salinan-laporan-perkembangan-persoalan-rtrwp-riau

15. http://www.sitinurbaya.com/kliping/779-salinan-laporan-perkembangan-persoalan-rtrwp-riau

16. Harian Tribun Pekanbaru edisi 9 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)

17. Harian Tribun Pekanbaru edisi 9 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)

18. Harian Riau Pos edisi 9 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)

19. http://jikalahari.or.id/kabar/draft-rtrwp-riau-2016-2035-di-pusaran-korupsi/

20. Keterangan Zulher dalam persidangan perkara korupsi suap alih fungsi lahan dengan terdakwa Annas Maamun di PN Bandung
dan Rilis Jikalahari: http://jikalahari.or.id/kabar/berita/dprd-riau-harus-menolak-draft-rtrwp-riau-karena-berpihak-pada-korpora-
si-industri-hti-sawit-dan-cukong/

21. Harian Tribun Pekanbaru edisi 14 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)

22. http://okeline.com/berita-1729-saya-belum-teken-surat-pemutihan-hutan.html

23. http://www.riauterkini.com/politik.php?arr=123186&judul=Suhardiman%20Ambi%20Sebut%20Usulan%20Pemutihan%20
497%20Hektar%20Belum%20Disepakati%20Pansus

24. Harian Tribun Pekanbaru edisi 14 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)

25. Harian Tribun Pekanbaru edisi 15 Juni 2017 (Kliping Koran Jikalahari)

26. Pasal 92 ayat 4 Permendagri 80 tahun 2015 Tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah

27. http://jikalahari.or.id/kabar/laporan/kertas-posisi-rtrwp-riau-untuk-rakyat-bukan-untuk-segelintir-pemodal-dan-monopoli-kor-
porasi/

BAB I PENDAHULUAN
15
BAB II
PROSES RTRWP RIAU 1986 – 2017 TERKAIT KAWASAN HUTAN

Riau menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang saat ini belum memiliki RTRWP karena perdebatan
panjang kaitan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan antara Pemerintah Daerah dengan
Pemerintah Pusat terkait perbedaan pola ruang kawasan hutan dalam Perda Nomor 10 Tahun 1994 tentang
RTRWP Riau yang tidak sesuai dengan kawasan hutan dalam TGHK.

Periode 1. 1986-1988 Imam Munandar (Cerita TGHK 1986)

Pada pemerintahan Gubernur Imam Munandar dilakukan penunjukkan kawasan hutan di Riau menggu-
nakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) tahun 1986. Dalam TGHK 1986, 100 persen wilayah Riau
merupakan kawasan hutan seluas 8.865.823 ha. Kawasan ini terdiri: KSA/KPA 438.835 ha, Hutan lindung
271.841 ha, Hutan Produksi Terbatas 2.663.960 ha, Hutan Produksi Tetap 1.336.907 dan HPK/APL seluas
4.154.280 ha. Sisanya tubuh air seluas 119.ooo ha. Dalam perkembangannya, daratan wilayah Riau pada
1986 seluas 8.979.240 ha bertambah menjadi 9.060.392 yang berasal dari tanah timbul seluas 57.470 ha.

Periode 2. 1988-1998 Soeripto

Setelah pemerintahan Gubernur Imam Munandar berakhir pada 1988 dan digantikan Gubernur Soeripto
lahir UU tentang Penataan Ruang. Tepatnya pada 13 Oktober 1992, Presiden Soeharto mengesahkan UU
Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Lantas, Pemerintah Provinsi Riau mengajukan usulan
Peraturan Daerah (Perda) RTRWP dengan melakukan Paduserasi Kawasan Hutan pada 1993.

Saat proses paduserasi belum disepakati, DPRD Riau menyetujui Perda Nomor 10 Tahun 1994 pada 19
Agustus 1994. Sebelum dan sesudah Perda Nomor 10 Tahun 1994 ditetapkan, Kementerian Kehutanan dan
Pemda Riau belum menyepakati Penunjukan Kawasan Hutan. Pada 1994, Mendagri mengeluarkan Surat
Mendagri Nomor 474/1994 untuk melakukan peninjauan RTRWP dan kembali melakukan proses padusera-
si untuk penunjukkan kawasan hutan.

Selama empat tahun pembahasan paduserasi, hasilnya pada 1998 Gubernur Riau menerbitkan SK Gubernur
Nomor 105.a/III/1998 tahun 1998 yang menyatakan tidak diperoleh kesepakatan paduserasi penunjukkan
kawasan hutan di Provinsi Riau antara Pemerintah Daerah Provinsi Riau dengan Pemerintah Pusat.

Periode 3. 1998-2003 Saleh Djasid

Pada masa kepemimpinan Gubernur Saleh Djasid pada periode 1998-2003, Provinsi Riau tidak melakukan
usulan apapun terkait perubahan kawasan hutan Riau, Gubernur tetap berpegang pada Perda Nomor 10
Tahun 1994.

Namun 10 Juli 2003, Menteri Kehutanan menerbitkan Surat Edaran Nomor 404/Menhut-II/03 yang men-
jelaskan terkait penunjukkan kawasan hutan, Riau kembali menggunakan TGHK berdasarkan SK Menhut
Nomor 173/Kpts-II/1986. Selama 9 tahun, Kementerian Kehutanan terkait kawasan hutan di Riau menggu-
nakan TGHK dan tidak mengakui Perda Nomor 10 Tahun 1994.

Periode 4. 2003-2013 Rusli Zainal

Rusli Zaenal terpilih menjadi Gubernur Riau pada 23 Oktober 2003 melalui pemilihan oleh anggota DPRD
Provinsi Riau. Paska surat Edaran Menteri Kehutanan no 404/Menhut-II/03 yang memerintahkan terkait
penunjukan kawasan hutan Provinsi Riau kembali ke TGHK, maka perubahan peruntukan kawasan hutan
menjadi bukan kawasan hutan dilakukan melalui pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan hingga
muncul istilah TGHK update.

Peta TGHK 1986 diupdate pada 2012 dengan cara memasukkan dan mengeluarkan kawasan hutan karena
pelepasan kawasan hutan selama periode 1986 – 2012 yang mencapai 1.720.942 ha. Termasuk tukar me-
nukar kawasan hutan di dalamnya. Luas kawasan hutan Riau menjadi 7.138.549 ha terdiri dari KSA/KPA
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
16 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
seluas 622.522 ha, HL seluas 218.226 ha, HPT 1.539.020 ha, HP 1.896.022 ha serta HPK/APL 2.862.729
ha.

Semua kawasan hutan yang dilepaskan selama periode 1986 – 2012 untuk perkebunan besar, tidak ada
pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan infrastruktur seperti jalan, pusat pemerintahan, dan perko-
taan, juga tidak ada pelepasan kawasan hutan untuk pemukiman dan lahan garapan masyarakat. Di sisi
lain, jumlah penduduk terus meningkat, pusat pemerintahan dan perkotaan terus berkembang. Kebanyakan
kebutuhan lahan untuk perkebunan besar periode 2001 – 2004 dipenuhi melalui penggunaan kawasan hutan
dengan izin bupati, tanpa melalui pelepasan kawasan hutan melalui menteri.28

Lima belas tahun setelah Perda No 10 Tahun 1994 tentang RTRW Provinsi Riau ditetapkan29, Rusli Zainal
mengusulkan revisi RTRWP Riau melalui surat bernomor 050/Bappeda/56.10 pada 27 April 2009. Terkait
kawasan hutan, Rusli Zainal mengusulkan agar Menteri kehutanan dapat menyetujui perubahan kawasan
hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 3.530.696 ha.

Menindaklanjuti usulan tersebut, Kementerian Kehutanan bentuk Tim Terpadu berdasarkan SK 410/Men-
hut-VII/2009 pada 7 Juli 2009. Tugasnya mengkaji usulan dari Rusli Zainal dan berikan rekomendasi.
Ditengah timdu mengkaji usulan dari Gubernur Riau, Menhut menerbitkan SK nomor 7651/Menhut-VII/
KUH/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau seluas ± 7.121.344 hektar.30

Setelah bekerja selama empat tahun, pada 5 Desember 2012 Timdu menyampaikan hasil kajian dengan
rekomendasi perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Riau seluas ± 2.740.586 dari ±
3.530.696 ha usulan Provinsi Riau.

Periode 5. 2013-2014 Mambang Mit

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menunjuk Mambang Mit sebagai pelaksana tugas (Plt) Gubernur
Riau menggantikan Rusli Zaenal yang ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun Rusli
Zainal baru secara resmi dinonaktifkan dari jabatanya melalui Keputusan Presiden Nomor 131/P/2013 ter-
tanggal 12 November 2013 atau 9 hari masa jabatan Rusli Zaaenal dan Mambang Mit berakhir.31

Dalam jangka waktu yang singkat tersebut, Jikalahari tidak menemukan perkembangan terkait informasi
Perda RTRW Provinsi Riau mauu perubahang peruntukan dan perubahan fungki kawasan hutan Provinsi
Riau.

Periode 6. 2014 Annas Maamun

Pada Pemerintahan Gubernur Annas Maamun, pembahasan RTRW Provinsi Riau kembali serius dikerja-
kan. Alasanya ialah kebutuhan investasi dan terbitnya SK.673/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Pe-
runtukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas ± 1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi
kawasan Hutan seluas ± 717.543 hektar dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan
seluas ± 11.552 hektar di Provinsi Riau pada 8 Agustus 2014 oleh Menhut sebagai Tindak lanjut dari hasil
kajian Timdu. SK ini mengakomodir rekomendasi Timdu dengan mengubah kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan seluas 1.638.294 hektar.

Saat penerbitan SK 673, Zulkifli Hasan selaku Menhut langsung menyerahkannya ke Annas Maamun saat
Hari Jadi Provinsi Riau, 9 Agustus 2014. Zulkifli mengatakan jika masih ada lahan masyarakat yang belum
diakomodir dalam SK, dapat mengajukan revisi melalui Pemerintah Provinsi Riau. Hal ini yang kemudian
dimanfaatkan oleh Korporasi dan Pemodal untuk “menitipkan” kebun sawitnya untuk masuk dalam usulan
perubahan peruntukan kawasan hutan.

Pada 25 September 2014 Annas Maamun tertangkap tangan oleh KPK di Jakarta sedang menerima suap
sebesar Rp 500 juta dan US$ 156.000 terkait alih fungsi kawasan hutan menjadi non kawasan hutan terkait
RTRWP Riau. Suap ini berasal dari Gulat Manurung, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Ap-
kasindo) Riau yang juga akademisi di Universitas Riau dan Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur
Utama PT Citra Hokiana Triutama dan Wakil Bendahara DPD Partai Demokrat.

BAB II PROSES RTRWP RIAU 1986 – 2017 TERKAIT KAWASAN HUTAN


17
Dalam persidangan kasus itu terkuak Annas Mamun yang disuap Surya Darmadi dan Edison Marudut tidak
bekerja sendiri mengubah peta dari kawasan hutan menjadi non kawasan hutan. Karena menyangkut spasial
dan hal teknis, Annas Mamun tentu saja dibantu birokrasi di Dinas Kehutanan dan Bappeda Riau. Karena
birokrasi yang tahu semua seluk beluk administrasi pemerintahan dan informasi terkait pemerintahan di
daerah. Dalam kasus Annas Mamun dan cs korupsi berjamaah antara pengusaha, gubernur dan birokrasi
menjadi sempurna. Hasil pantauan sidang korupsi Gulat Manurung, Annas Mamun dan Marudut oleh Riau
Corruption Trial, menemukan fakta-fakta:

Annas Maamun menerima uang USD 166.100 (setara Rp 2 Miliar) dari Gulat Medali Emas Manurung
dalam rangka pengurusan revisi RTRWP Riau. Gulat memasukkan lahannya di Kuhtanan Singingi 1.188
hektar, Bagan Sinembah Rokan Hilir 1.214 hektar dan lahan milik Edison Marudut Marsadauli Siahaan di
Duri Bengkalis 120 hektar.

Di depan persidangan, Gulat Manurung mengakui minta lahannya dimasukkan dalam usulan revisi. Ia
menyebutkan lahannya hanya di Kuantan Singingi seluas 140 hektar. Di Bagan Sinembah milik Edison dari
Koperasi Mandiri. Ia juga menegaskan tak pernah meminta langsung kepada Annas Maamun agar lahannya
dimasukkan. Ia hanya menyampaikan pada Cecep Iskandar, Kabid Planologi Dinas Kehutanan Riau, yang
membuat peta usulan revisi.

Annas Maamun menegaskan bahwa Gulat Manurung datang menemuinya sekitar bulan Agustus 2014
sebagai Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit. Ia minta lahan yang dikelolanya turut dimasukkan ke dalam
usulan revisi. Edison Marudut juga mengakui pernah memberikan koordinat lahannya kepada Gulat Ma-
nurung. Alasannya agar ia tahu dimana persis letak lahannya dan dimasukkan dalam usulan revisi oleh
Gulat. Menurut Cecep, lahan Edison seluas 120 hektar sudah masuk ke dalam usulan revisi RTRW Riau.
Edison memenuhi permintaan Gulat dan memberikan Rp 1,5 Miliar kepada Gulat.

Namun saat bersaksi di persidangan, Edison menyatakan uang itu sebagai pinjaman. Pada akhir September
2014, saat Gulat sudah di dalam penjara KPK, ia menelepon anak buahnya Hendra Pangodian Siahaan dan
minta dibuatkan kuitansi tanda peminjaman Rp 1,5 Miliar dan diberikan kepada Edison Marudut berikut 10
surat sertifikat tanah sebagai jaminannya. Kuitansi baru dibuat saat Gulat sudah ditangkap KPK dan Hendra
diminta memalsukan tanda tangan Gulat. Tanggal pada kuitansi juga dibuat mundur dari tanggal saat pem-
buatan kuitansi.

Annas Maamun menerima uang dari Edison Marudut Marsadauli Siahaan melalui Gulat Medali Emas
Manurung agar Annas Maamun memenangkan proyek-proyek yang diikuti PT Citra Hokiana Triutama,
perusahaan milik Edison, di Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Provinsi Riau. Gulat dan Edison mengakui
bahwa uang tersebut juga untuk pengurusan proyek pembangunan jalan tersebut.

Selama tahun 2014, PT Citra Hokiana Triutama mendapat proyek peningkatan Jalan Taluk Kuantan-Cerenti
dengan nilai kontrak Rp 18,5 Miliar, Jalan Simpang Lago-Simpang Buatan dengan nilai kontrak Rp 2,7
Miliar dan jalan Lubuk Jambi-Simpang Ibul-Simpang Ifa dengan nilai kontrak Rp 4,9 Miliar.

Annas Maamun menerima uang dalam bentuk Dollar Singapura setara Rp 3 Miliar dari PT Duta Palma
melalui Suheri Tirta, Humas PT Duta Palma. Surya Darmadi, Komisaris PT Duta Palma menjanjikan uang
Rp 8 Miliar setelah Menteri Kehutanan menyetujui usulan revisi RTRW Riau dimana lahan PT Duta Palma
seluas 18.000 hektar dimasukkan ke dalam usulan revisi tersebut.

Di depan persidangan, Suheri Tirta mengakui membuat surat permohonan kepada Gubernur Riau agar la-
han PT Duta Palma turut dimasukkan dalam usulan revisi RTRW Riau. Surat diantar ke Rumah Dinas Gu-
bernur Riau dan ia menunggu di rumah dinas sampai Annas Maamun memberikan disposisi. Ia tak bertemu
langsung dengan Annas dan surat disposisi diantarkan oleh anak buah Annas kepada dirinya.

Di depan persidangan, Annas Maamun mengatakan tak jadi memasukkan lahan PT Duta Palma ke dalam
usulan RTRW Riau karena menurut Wakil Gubernur Arsyadjuliandi Rahman, lahan milik PT Duta Palma
tidak bisa dimasukkan.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
18 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Zulkifli Hasan, saat itu Menteri Kehutanan, saat bersaksi di persidangan menerangkan bahwa Surya Darma-
di pernah menemuinya terkait perubahan kawasan hutan lahan PT Duta Palma. Maksud dan tujuan per-
temuan adalah Surya Darmadi meminta bantuan untuk penerbitan izin pelepasan hutan untuk perkebunan
terkait tata ruang Provinsi Riau. “Saya bilang silahkan Saudara ajukan dan lengkapi persyaratannya,” kata
Zulkifli Hasan.

Mashud, Direktur Perencanaan Kawasan Hutan, anak buah Zulkifli Hasan, juga pernah bertemu dengan
Surya Darmadi. Zulkifli Hasan minta Mashud menemui Surya Darmadi di ruangan sebelah ruang kerjanya.
“Saat itu pada intinya Surya Darmadi minta agar lahannya dimasukkan ke dalam usulan revisi. Saya tidak
buka lagi berkasnya, langsung saya tolak,” aku Mashud.

Cecep Iskandar, Kabid Planologi Dinas Kehutanan Riau, yang membuat peta usulan revisi RTRW Riau,
saat bersaksi di persidangan menyebutkan lahan yang dimasukkan ke dalam usulan revisi RTRW Riau salah
satunya di Kabupaten Indragiri Hulu, milik PT Duta Palma.

Untuk memperkuat keterangan Cecep, jaksa memutar rekaman percakapan antara Cecep dan Annas saat pe-
meriksaan terdakwa. Rekaman pembicaraan pada 17 September pukul 00.11 tersebut berisi perintah Annas
kepada Cecep agar jangan berangkat dulu ke Jakarta mengantarkan surat usulan revisi kedua RTRW Riau
dan diminta menemui dirinya di rumah dinas pukul 08.00 pagi besok harinya.

Annas mengatakan maksud perintahnya itu untuk memastikan pada Cecep bahwa kebun masyarakat miskin
dan proyek pemerintah Provinsi Riau sudah dimasukkan semua dan tidak ada yang ketinggalan. Ia bilang
tak ada perubahan dari usulan pertama revisi RTRW Riau. Jaksa kembali memutar rekaman pembicaraan
lain antara Annas dan Gulat Manurung. Isinya Annas memastikan pada Gulat apakah peta yang dibawa Ce-
cep ke Jakarta sudah ditambahkan lahan yang dimintanya untuk dimasukkan ke dalam usulan revisi RTRW
Riau.

Diduga lahan yang dimaksud adalah lahan PT Duta Palma. Dalam percakapan itu, Gulat menjawab dalam
file sudah ditambahkan, tidak perlu diprint karena yang diberikan ke Kementerian Kehutanan dalam bentuk
file, bukan hasil print. Annas sempat menyebutkan dalam percakapan, “Bila perlu tiru saja teken saya, tak
apa dah.”

Terkait lahan PT Duta Palma, saat bersaksi di persidangan, Gulat Manurung menjelaskan pada malam
tanggal 17 September 2014, ia ditelepon Zulher, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, dan diminta
datang ke Kantor Zulher. “Saat saya tiba, di sana sudah ada Surya Darmadi dan Suheri Tirta. Zulher minta
tolong pada saya untuk menyampaikan keinginan Surya Darmadi memasukkan lahan PT Duta Palma ke
dalam usulan revisi RTRW Riau kepada Annas Maamun. Mereka menjanjikan uang Rp 8 Miliar untuk
Annas. Saya juga dijanjikan uang,” kata Gulat. Pernyataan Gulat tersebut dibantah Surya Darmadi, Suheri
Tirta, maupun Zulher. Mereka bertiga mengakui memang ada pertemuan malam itu di Kantor Zulher. Surya
menjelaskan dia hanya silaturahmi saja karena diajak Suheri.

Menurut keterangan Gulat Manurung, pada 18 September pagi harinya, ia datang ke Rumah Dinas Guber-
nur Riau bersama Cecep Iskandar. Setelah membahas peta usulan revisi RTRW Riau, Gulat menyampaikan
pada Annas bahwa PT Duta Palma menjanjikan uang Rp 8 Miliar untuk Annas. Saat diperiksa sebagai
terdakwa, Annas membantah keterangan Gulat dengan menyebutkan tak ada pembahasan uang saat itu.

Tanggal 18 September siang, Gulat bertemu dengan Suheri di Hotel Aryaduta. Gulat mengatakan saat itu
Suheri memberikan dua amplop cokelat kepada dirinya. Satu amplop untuk Annas Maamun berisi uang
Dollar Singapura setara Rp 3 Miliar. Satu amplop lagi untuk dirinya berisi uang dollar Singapura setara Rp
650 juta. Suheri saat menjadi saksi di persidangan mengakui pertemuan di Hotel Aryaduta dengan Gulat
namun membantah memberikan amplop berisi uang.

“Yang ada Pak Gulat minta uang kepada saya Rp 2 Miliar tapi tidak saya tanggapi,” katanya. Keterangan
Suheri dibenarkan Alisardi Firman, Manajer PT Duta Palma yang menemani Suheri saat bertemu dengan
Gulat di Hotel Aryaduta.

Setelah pertemuan di Hotel Aryaduta, sore harinya Gulat menuju Rumah Dinas Gubernur Riau untuk

BAB II PROSES RTRWP RIAU 1986 – 2017 TERKAIT KAWASAN HUTAN


19
menyerahkan amplop cokelat tersebut kepada Annas Maamun. Saat dimintai keterangan terkait hal itu,
awalnya Gulat menjawab berbelit-belit, bahkan sempat menyebutkan lupa apakah ada memberikan uang
setara Rp 3 Miliar itu kepada Annas Maamun. Namun setelah dicecar jaksa dan hakim, Gulat akhirnya
mengakui bahwa uang tersebut diserahkannya kepada Annas Maamun di ruang makan Rumah Dinas Gu-
bernur Riau sore hari tanggal 18 September 2014.

Terkait keterangan Gulat tersebut, Annas membantah. Ia bilang tak ada menerima uang dari Gulat Ma-
nurung senilai Rp 3 Miliar. Saat bersaksi di persidangan, Surya Darmadi menyatakan hal sama, tak ada
memberikan uang untuk Annas maupun untuk Gulat melalui Suheri Tirta.

Namun di depan penyidik KPK, Gulat mengakui bahwa ia menerima uang Dollar Singapura setara Rp 650
juta dari PT Duta Palma. Penyidik menggeledah rumah Gulat Manurung dan menemukan uang tersebut di
rumahnya. Hal ini dibenarkan saksi Odor Juliana Sidabutar, istri Gulat Manurung.

“Memang ada orang dari KPK datang ke rumah dan mengambil uang yang ditemukan di lemari suami
saya.” Gulat mengakui di persidangan bahwa uang setara Rp 650 juta itu diberikan bersamaan dengan uang
untuk Annas Maamun setara Rp 3 Miliar dari PT Duta Palma.

Kasus korupsi yang melibatkan para terpidana tersebut merupakan korupsi yang dilakukan

bersama-sama antara Gubernur, Birokrat, Swasta dan akademisi. Korupsi tersebut juga menjadi petun-
juk kemungkinan adanya korupsi yang lebih besar dibalik dikeluarkannya SK 673 - SK 878 oleh Menteri
Kehutanan pada 2014. Anehnya empat hari sejak tertangkapnya Annas Maamunoleh KPK tepatnya pada
29 September 2014, Zulkifli Hasan kembali menerbitkan SK 878/Menhut-II/2014 tentang Kawasan Hutan
Provinsi Riau seluas ± 5.499.693 ha.

Periode 7. 2014-Sekarang Arsyad Juliandi Racman

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diganti oleh Presiden Joko Widodo pada Oktober 2014. Jokowi men-
gangkat Siti Nurbaya sebagai Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. Persoalan
politik RTRWP Riau masih menjadi polemik.

Pada 16 Februari 2016, Ketua Ombudsman RI menyampaikan rekomendasi kepada MenLHK agar mener-
bitkan perubahan atas keputusan Menhut SK.673/Menhut-II/2014 dan addendum SK 878/Menhut-II/2014
untuk mengakomodir pusat-pusat pemukiman, pusat perkantoran atau pemerintah, sarana atau fasilitas
pertahanan, kebutuhan pembangunan untuk kepentingan nasional dan daerah yang telah direkomendasikan
tim terpadu untuk diubah menjadi bukan kawasan hutan.

Menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman RI, Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan:

a. Menerbitkan SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 tanggal 20 April 2016 sebagaimana


diubah dengan SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 tanggal 23 Mei 2016 tentang Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan yang Tidak Berkategori Berdampak
Penting dan Cakupan Luas serta Bernilai Strategis Seluas 65.125 hektar.

b. Menyampaikan permohonan persetujuan kepada DPR RI terhadap perubahan peruntukan kawasan


hutan menjadi bukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai
strategis seluas 134 ha.

Sebagai tindak lanjut atas perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, MenLHK menerbit-
kan addendum terhadap Kepmenhut SK 878/Menhut-II/2014 melalui keputusan SK No, 903/MENLHK/
SETJEN/PLA.2/12/2016 tanggal 7 Desember 2016 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau seluas 92.701 ha.
Yang isinya:

1. Pengurangan luas karena perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan
sebagaimana tercantum dalam KepmenLHK SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 tanggal 20
April 2016 seluas 65.125 ha.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
20 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
2. Pengurangan luas kawasan hutan karena adanya kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh Men-
hut sebelum atau sesudah terbitnya SK 878/Menhut-II/2014 yang sebagian atau seluruhnya masih
terpetakan sebagai kawasan hutan seluas 25.731 ha.

3. Pengurangan luas kawasan hutan karena penggunaan batas administrasi pemerintah antara Provinsi
Riau dan Provinsi Jambi berdasarkan Permendagri Nomor 33 Tahun 2013 seluas 13.753 ha.

Kawasan hutan Provinsi Riau yang dijadikan acuan dalam RTRWP Riau adalah KepmenLHK Nomor 903/
MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau. Jikalahari menilai dalam SK
yang diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan, baik era Zulkifli Hasan pada pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono ataupun era Siti Nurbaya pada pemerintahan Presiden Joko Widodo, keduanya tak
menunjukkan perbedaan yang berarti untuk kepentingan rakyat dan lingkungan hidup. Keputusan yang
dikeluarkan masih mengakomodir kepentingan korporasi yang memonopoli hutan dan tanah di Provinsi
Riau.

Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Riau 2017-2023,
menyebutkan rekomendasi Ombudsman ini sejalan dengan poin ke empat Instruksi Presiden Indonesia No-
mor 8 Tahun 2013 Tentang Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupat-
en/Kota. Dimana MenLHK memberikan fasilitasi dalam pengintegrasian dan pengharmonisasian kawasan
hutan pada rencana tata ruang wilayah provinsi kedalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang
belum ditetapkan peruntukan ruangnya (Holding Zone) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-un-
dangan.

Tim Kerja Panitia Khusus Pembahasan Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Riau Tentang
RTRWP Riau 2017-2023 menilai alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh adalah rekomendasi Om-
budsman RI No 0002/REK/0361.2015/PBP-41/II/2016. Gubernur Riau menyampaikan draft Ranperda
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau 2016-2035 pada 15 Agustus 2017 kepada DPRD
Provinsi Riau. Dalam RTRWP Riau 2016-2035 Gubernur Riau mengusulkan kawasan hutan seluas
1.045.390 ha Hektar menjadi non kawasan hutan. DPRD Riau membentuk Panitia Khusus RTRWP Riau
pada 5 September 2016.

September 2017, Pansus melaporkan Hasil kerjanya pada Pimpinn DPRD Provinsi Riau, dari 1.045.390 ha
kawasan hutan menjadi non kawasan hutan usulan Pemprov Riau hanya 405.874 ha yang disetujui Pansus
RTRWP untuk dilepaskan menjadi non kawasan hutan dalam bentuk Holding Zone. Sisanya 640.257 ha
menurut Pansus diduga merupakan areal perusahaan besar yang dikuasai tanpa izin dan tidak dimasukkan
dalam Holding Zone. Pansus menyerahkan kepada aparat penegak hukum untuk memprosesnya.

Pengesahan Ranperda RTRWP 2017 – 2037 hasil kerja Pansus tertunda hingga dua kali karena tidak quo-
rum. Pengesahan kembali akan digelar pada 25 September 2017.

Footnote:
28. Laporan hasil kajian tim terpadu usulan perubahan kawasan hutan dalam pemaduserasian TGHK dengan RTRWP Riau, Juli 2012

29. Pasal 21 ayat (4) UU Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang berbunyi: Jangka waktu RTRWP adalah 15 tahun

30. Presentasi BPKH pada diskusi RTRWP Riau 2 – 4 November 2016

31. http://gagasanriau.com/mobile/detailberita/6147/akhirnya-rusli-zainal-dinonaktifkan-sebagai-gubernur

BAB II PROSES RTRWP RIAU 1986 – 2017 TERKAIT KAWASAN HUTAN


21
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
22 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
BAB III
KAWASAN HUTAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
DIINTEGRASIKAN KEDALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH
PROVINSI KAWASAN HUTAN PROVINSI RIAU

Riau merupakan provinsi yang memiliki kawasan hutan cukup luas di Sumatera. Pada 1986 berdasar-
kan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), 100 persen wilayah Riau merupakan kawasan hutan seluas
8.865.823 ha. Kawasan ini terdiri: KSA/KPA 438.835 ha, Hutan lindung 271.841 ha, Hutan Produksi Ter-
batas 2.663.960 ha, Hutan Produksi Tetap 1.336.907 dan HPK/APL seluas 4.154.280 ha. Sisanya tubuh air
seluas 119.ooo ha. Dalam perkembangannya, daratan wilayah Riau pada 1986 seluas 8.979.240 ha bertam-
bah menjadi 9.060.392 yang berasal dari tanah timbul seluas 57.470 ha.

Pada 30 Desember 2011 Menteri Kehutanan menerbitkan SK 7651/Menhut-VII/KUH/2011 tentang Ka-


wasan Hutan Provinsi Riau menyatakan kawasan hutan Riau seluas 7.121.344 dengan rincian hutan lind-
ung seluas 213.113 ha, KSA/KPA 617.209 ha, HPT seluas 1.541.288, HP seluas 1.893.714 ha dan HPK
2.856.020 ha. Luasan kawasan hutan Riau berkurang drastis karena dalam SK ini menyatakan luasan bukan
kawasan hutan di Riau seluas 1.863.479,67 ha, jumlah ini meningkat drastis dibandingkan TGHK yang
menyatakan luasan kawasan bukan hutan seluas 119.000 ha.

Berselang 3 tahun kemudian pada 8 Agustus 2014, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan kembali menerbitkan
SK 673/Menhut-II/2014 tentang tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan
Hutan seluas ± 1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi kawasan Hutan seluas ± 717.543 hektar dan Penunju-
kan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas ± 11.552 hektar. SK ini Tindak lanjut dari hasil
kajian Timdu. SK ini mengakomodir rekomendasi Timdu dengan mengubah kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan seluas 1.638.294 hektar.

Sebulan kemudian, pada 20 September 2014, Zulkifli Hasan menerbitkan SK 878/Menhut-II/2014 tentang
Kawasan Hutan Provinsi Riau seluas ± 5.499.693 ha. Rincian kawasan hutan Riau untuk hutan lindung
bertambah menjadi 234.015 ha dan KPA/KSA 633.420 ha. Untuk HPT luasannya berkurang menja-
di 1.031.600 ha dan bertambah untuk HP seluas 2.331.891 ha serta HPK luasannya berkurang menjadi
1.268.767 ha. Untuk kawasan bukan hutan luasannya bertambah 90 persen menjadi 3.485.130 ha.

Luas kawasan hutan Riau terus berubah saat pergantian rezim. Di era Presiden Joko Widodo, Kementeri-
an Kehutanan berganti nama menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang dipimpin Siti
Nurbaya.

Pada era Siti Nurbaya, terbit SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 Tentang Perubahan Peruntukan


Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 65.125 Hektar di Provinsi Riau. berdasarkan
rekomendasi Ombudsman RI yang Nomor 0002/REK/0361.2015/PBP.41/II/2016 pada 16 Februari 2016,
agar Menteri LHK menerbitkan Keputusan Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.673/
menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus 2014 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.878/Menhut-II/2014
tanggal 29 September 2014 untuk mengakomodir pusat-pusat pemukiman, pusat-pusat perkantoran/ pemer-
intahan, sarana/ fasilitas pertahanan, kebutuhan pembangunan untuk kepentingan nasional dan daerah yang
telah direkomendasikan tim terpadu untuk diubah menjadi bukan kawasan hutan.

Lalu pada 23 Mei 2016 kembali menerbitkan SK 393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 Tentang Peruba-


han Atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.314/MEN-
LHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan
Hutan Seluas ± 65.125 Hektar di Provinsi Riau.

Pertimbangan SK ini terbit karena dalam lampiran peta pada SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016,


belum tergambar Kawasan HPK sehingga perlu dilakukan revisi/ perbaikan atas peta lampiran dengan tidak
mengubah substansi dan luas perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan yang
telah ditetapkan pada SK sebelumnya.

Pada 7 Desember 2016 SK 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 Tentang Kawasan Hutan Provinsi


Riau. SK ini menetapkan kawasan hutan di Provinsi Riau seluas ± 5.406.992 hektar terbit. Rinciannya
630.753 ha untuk KPA/KSA, Hutan Lindung 233.910 ha, HPT seluas 1.017.318 ha, HP seluas 2.339.578 ha
dan HPK seluas 1.185.433 ha. Untuk bukan kawasan hutan, luasnya bertambah menjadi 3.577.831,67 ha.
BAB III KAWASAN HUTAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS 23
DIINTEGRASIKAN KEDALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI
Dari luas Provinsi Riau 8.984.823,67 ha, 60,18 persen diperuntukkan untuk kawasan hutan dan 39,82 pers-
en untuk bukan kawasan hutan. Dari 60,18 persen kawasan hutan, sekitar 26,04 persen diperuntukkan utnuk
HP, lalu 12,19 persen untuk HPK dan 11,31 persen untuk HPT. Sisanya 2,60 persen untuk Hutan Lindung
dan 7,02 persen untuk KSA/KPA.

Riau juga merupakan salah satu provinsi yang memiliki areal gambut luas di indonesia. Berdasarkan SK
MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasion-
al, khusus untuk Riau luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini terbagi untuk dua fungsi
ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352 ha untuk fungsi budidaya.

Namun kawasan hutan dan gambut Riau, antara yang tertulis dalam surat keputusan dan realitas lapan-
gan berbeda jauh. Data Jikalahari, sejak 1982 hingga 2012 total deforestasi yang terjadi di Riau mencapai
4.721.981 ha. Deforestasi tertinggi terjadi pada 1999 – 2000 mencapai 858.590,70 hektar pertahun. Jumlah
deforestasi mulai menurun pada 2007 – 2009 dengan total 91.647,63 hektar pertahun. Data GIS ini menun-
jukkan deforestasi berbanding lurus dengan hasil investigasi Eyes on the Forest di lapangan sejak 2004
hingga 2016, penebangan hutan alam besar-besaran terjadi dalam konsesi Hutan Tanaman Industri grup
APP dan APRIL32.

Hingga 2017, Jikalahari mencatat luasan hutan alam tersisa tinggal 1.420.260 ha. Jumlah ini terus menurun
dibandingkan tahun 2015 seluas 1.644.862 ha dan 2013 seluas 2.005.512,96 ha. Jumlah luasan hutan yang
terus berkurang disebabkan banyaknya illegal logging, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Riau serta
perambahan yang dilakukan oleh korporasi serta cukong.
Pada 15 Januari 2007, Jikalahari dan Walhi Riau—tergabung koalisi Eyes on The Forest (EoF)—melapor-
kan 37 perusahaan HTI ke Polda Riau karena melakukan tindak kejahatan lingkungan hidup berupa pen-
ebangan hutan alam (illegal logging/ illog). Tindakan ilegal ini merujuk kepada areal HTI berada di atas
hutan alam. Perusahaan-perusahaan HTI ini memperoleh izin dari Bupati sepanjang 2001 – 2003.

Terhadap laporan yang disampaikan, Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi menindaklanjuti dengan melaku-
kan penyidikan ke lokasi yang dilaporkan. Sejak 9 Februari 2007 kayu-kayu hasil illog termasuk gunungan
kayu milik PT RAPP dan PT Indah Kiat Pulp and Paper (IKPP) disegel dan disita sebagai barang bukti.

Hasilnya, sepanjang Januari 2007 – Agustus 2008 Polda Riau berhasil menyita barang bukti berupa 515.612
m3 kayu gelondongan, kayu olahan sebanyak 2.351.159 batang, kayu gergajian 9.403 lembar, 17.584
keping kayu dan 369 ton kayu. Selain kayu hasil penebangan hutan alam, Polda Riau juga menyita 3 unit
Tugboat, 3 unit tongkang, 48 unit kapal, 59 perahu klotok, 2 unit speedboat, 185 unit truk, 23 unit sepeda
motor, 175 unit alat berat, 137 unit mesin dan 10.100 lebih gergaji.

Selain illegal logging, pada 2015 Pansus Monitoring dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Ke-
hutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan dalam Upaya Memaksimalkan Penerimaan Pajak Serta
Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi Riau menemukan 2.494.484 ha kawasan hutan di
Riau dirambah oleh korporasi, cukong dan masyarakat33. Sekitar 2.345.088,85 ha kawasan hutan Riau telah
dikuasai oleh korporasi HTI dan 949.789 ha korporasi sawit yang memiliki HGU.

A. KAWASAN HUTAN

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang menyebut
perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan berlaku ketentuan
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
serta penggunaan kawasan hutan diintegrasikan dalam perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan dilaksanakan sebelum
ditetapkannya perubahan rencana tata ruang wilayah34.

Frasa “ditetapkan” merujuk Pasal 23 ayat 6 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang, yaitu rencana tata
ruang wilayah provinsi ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi (Perda).

Artinya, sebelum RTRWP ditetapkan menjadi Perda, usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
hutan berlaku hukum administrasi UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

24 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertah-
ankan keberadaannya sebagai hutan tetap35...

Namun, per 21 Februari 2012 pengertian Kawasan Hutan menurut UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
tersebut, khusus frasa “ditunjuk dan atau” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) No 45/PUU-IX/2001, sehingga pengertian Kawasan Hutan berbunyi wilayah
tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk menetapkan status wilayah
tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan. Yang dimaksud dengan
wilayah tertentu adalah wilayah bukan kawasan hutan, yang dapat berupa hutan atau bukan hutan36.

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah dengan didasarkan pada hasil
penelitian tim terpadu. Perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dan cakupan yang
luas serta bernilai strategis, ditetapkan oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ketentuan tentang tata cara perubahan peruntukan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan hutan
diatur dengan Peraturan Pemerintah37.

Pada 2010 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan PP No 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Dua tahun kemudian, direvisi dengan PP No 60 Tahun
2012 tentang Perubahan Atas PP Nomor 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Perubahan Perun-
tukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Lalu, Presiden Jokowi pada 22 Desember 2015 kembali merevisi dan
menerbitkan PP No 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh Menteri dengan didasarkan pada hasil
penelitian terpadu38. Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dapat dilakukan dengan cara parsial
atau wilayah Provinsi39.

Khusus untuk wilayah Provinsi, keputusan Menteri tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk
Wilayah Provinsi diintegrasikan oleh Gubernur dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi40.

Gambar 1. Pasal 30 dan 31 PP 104 Tahun 2015

BAB III KAWASAN HUTAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS 25


DIINTEGRASIKAN KEDALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI
Tim Terpadu

Setahun jelang Peraturan Daerah Provinsi Riau No. 10 tahun 1994 tentang RTRWP Riau berakhir—Perda
ini berlaku 30 Agustus 1995, berakhir pada 29 Agustus 2010 atau masa berlakunya 15 tahun--Gubernur
Riau Rusli Zainal mengusulkan revisi RTRWP Riau melalui surat bernomor 050/Bappeda/56.10 pada 27
April 2009. Terkait kawasan hutan, Rusli Zainal mengusulkan agar Menteri kehutanan dapat menyetujui
perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas ± 3.530.696 ha.

Menindaklanjuti usulan tersebut, pada 7 Juli 2009 Kementerian Kehutanan membentuk Tim Terpadu ber-
dasarkan SK 410/Menhut-VII/2009 tentang Pembentukan Tim Terpadu Dalam Rangka Pengkajian Peruba-
han Kawasan Hutan Dalam Usulan Revisi Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau. Tugasnya mengkaji usulan
dari Rusli Zainal dan memberikan rekomendasi kepada Menteri Kehutanan.

Di tengah timdu mengkaji usulan dari Gubernur Riau, Menhut menerbitkan SK Nomor 7651/Menhut-VII/
KUH/2011 tanggal 30 Desember 2011 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau seluas ± 7.121.344 hektar.41

Pada 5 Desember 2012, Tim Terpadu menyelesaikan tugasnya dan merekomendasikan kawasan hutan selu-
as 2.726.901 hektar diubah menjadi bukan kawasan hutan.

Dua tahun kemudian, pada 8 Agustus 2014 Menhut menerbitkan SK.673/Menhut-II/2014 tentang Perubah-
an Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 1.638.294 hektar, Perubahan Fung-
si Kawasan Hutan seluas 717.543 hektar, Penunjukkan Bukan Kawasan Hutan menjadi Kawasan Hutan
seluas 11.552 hektar di Provinsi Riau. SK 673 dibanding dengan rekomendasi Tim Terpadu, terdapat selisih
1.088.029 hektar.

Lalu, pada 29 September 2014 Menhut kembali menerbitkan SK.878/Menhut-II/2014 tanggal 29 Sep-
tember 2014 tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau. Terdapat dua versi peta yang berbeda bila dioverlay
dengan SK 673 terdapat beberapa kawasan yang kembali mengalami perubahan peruntukan maupun fungsi
kawasan, namun perubahan yang terjadi tidak selalu pada lokasi yang sama. Dalam SK 878 ada dua versi
peta: versi pertama seluas 1.640.809 hektar, versi kedua seluas 1.626.566 hektar.

Terkait dua SK tersebut, pada 1 Juli 2015 Pemerintah Provinsi Riau bertemu dengan Dirjen Planologi
KLHK, hasil pertemuan42:

a. Kawasan hutan yang sudah diubah peruntukannya menjadi non kawasan hutan di dalam SK 673
tetap diakomodir dalam SK 878 sebagai bukan kawasan hutan karena bila ingin dikembalikan men-
jadi kawasan hutan harus ada usulan dari pemerintah Provinsi Riau sebagai syarat perubahan

b. Beberapa lokasi untuk pemukiman, lahan garapan serta fasilitas sosial dan fasilitas umum akan
diakomodir untuk dikeluarkan dari kawasan hutan dengan beberapa skema penyelesaian

c. Pemerintah Provinsi Riau menyampaikan kembali usulan baru untuk perubahan kawasan bukan
hutan di Riau sebagai syarat untuk revisi SK yang telah terbit.

Temuan Ombudsman

Pemerintah Provinsi Riau melalui Kepala Bappeda Riau melaporkan dugaan penyalahgunaan wewenang
oleh Menteri Kehutanan RI dalam penetapan kawasan hutan Provinsi Riau dalam SK 673 dan SK 878 yang
mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat dan pemerintah daerah Riau dalam penyelenggaraan
pelayanan publik kepada Ombudsman RI.

Hasil pemeriksaan Ombudsman RI menemukan Menteri Kehutanan lalai dalam menetapkan SK 673 den-
gan memakan waktu hampir dua tahun, sementara Pasal 23 ayat (1) P.36/Menhut-II/2010 seharusnya dalam
waktu 30 hari sejak laporan hasil Penelitian Tim Terpadu diterima, laporan sudah selesai dibahas untuk
keputusan SK 673. Lamanya penerbitan SK tersebut menyebabkan banyak lokasi pusat-pusat pemukiman,
pusat-pusat perkantoran/pemerintahan, sarana/fasilitas pertanahan, kebutuhan pembangunan yang sifatnya
strategis untuk kepentingan nasional dan daerah yang direkomendasikan tidak diakomodir dalam keputusan
SK 673 dan SK 878, sehingga menimbulkan ketidakpastian, baik bagi pemerintah Provinsi Riau maupun
masyarakat.

26 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Ombudsman RI menilai Zulkifli Hasan Menteri Kehutanan telah melakukan kesalahan prosedur dalam
proses penerbitan SK 673 dan SK 878 dalam bentuk mengabaikan ketentuan PP No 10 Tahun 2010 jo PP
No 60 tahun 2012 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.

Menteri Kehutanan saat menerbitkan SK 673 terdapat jeda waktu hampir dua tahun dan belum dapat
mengeluarkan seluruh pemukiman di dalam kawasan hutan sehingga belum terjaminnya hak-hak ketiga
sehingga layanan publik tidak optimal meski karena tidak akuratnya data sebaran pemukiman yang disam-
paikan pemerintah daerah selaku pengusul. Pemda terlambat terbitkan Perda RTRWP meski persetujuan
substansi Kehutanan telah diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan yang berakibat terhadap ketidakpastian
hukum atas kawasan hutan bagi masyarakat dan dunia usaha, khususnya terkait perizinan investasi, pe-
layanan administrasi pertanahan dan perbankan serta pelayanan administrasi pemerintahan lainnya terhadap
hak-hak warga masyarakat di Provinsi Riau, meskipun dengan alasan perubahan peruntukan kawasan hutan
yang disetujui Menteri Kehutanan pada waktu itu belum memenuhi tuntutan pembangunan di daerah.

Pada 16 Februari 2016 Ombudsman RI merekomendasikan:

1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, agar:

a. Melakukan adendum terhadap SK 878 sebagai tahap awal untuk mengakomodir pusat-pusat
pemukiman, pusat-pusat perkantoran/pemerintahan, sarana/fasilitas pertanahan, kebutuhan pem-
bangunan untuk kepentingan nasional dan daerah yang telah direkomendasikan tim terpadu untuk
diubah menjadi bukan kawasan hutan
b. Memberikan kemudahan mekanisme perubahan kawasan hutan secara parsial serta izin pinjam pakai
kawasan hutan selain untuk kepentingan tersebut dalam butir rekomendasi 1.a seusai peraturan Pe-
rundang-undangan yang berlaku.

c. Menerbtikan SK Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Fungsi Kawasan Hutan Provinsi Riau,
sebagai perubahan atas SK 673 dan SK 878, yang akan diintegrasikan oleh Pemerintah Provinsi
Riau dalam Ranperda RTRWP Provinsi Riau

2. Pemerintah Provinsi Riau agar melakukan percepatan pembentukan RTRWP Provinsi Riau, dengan
menetapkan selisih (gap) luas areal antara luas yang direkomendasikan Tim Terpadu dengan jumlah
luas yang ditetapkan dalam SK 673 dan 878 sebagai Holding Zone dalam Perda RTRWP Provinsi
Riau, sebelum terbitnya SK Pengganti SK Menteri Kehutanan tentang Perubahan Peruntukan Ka-
wasan Hutan di Provinsi Riau.

Tindak lanjut rekomendasi Ombudsman RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya pada
20 April 2016 menerbitkan peta perubahan kawasan hutan SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 se-
bagaimana diubah dengan SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 tanggal 23 Mei 2016 dengan rincian:
Perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 65.259 yang terdiri atas:

1. seluas 134 ha merupakan perubahan peruntukan yang DPCLS yang memerlukan persetujuan DPR RI

2. seluas 65.125 ha merupakan perubahan peruntukan tanpa memerlukan DPCLS.

Lalu, Menteri LHK kembali menerbitkaN SK.903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016. SK ini diterbitkan


berdasarkan hasil penghitungan luas kawasan hutan Provinsi Riau dari 878 menjadi SK 903 terdapat pengu-
rangan luas kawasan hutan Provinsi Riau seluas 92.701 hektar dengan rincian:

1. Pengurangan luas karena perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan se-
bagaimana tercantum dalam SK 314 seluas 65.125 ha

2. Pengurangan luas kawasan hutan karena adanya kawasan hutan yang telah dilepaskan oleh Menhut
sebelum atau sesudat terbitkan SK 878 yang sebagian atau seluruhnya masih terpetakan sebagai ka-
wasan hutan seluas 25.731 hektar

3. Pengurangan luas kawasan hutan karena penggunaan administrasi pemerintah antara Provinsi Riau
dengan Provinsi Jambi berdasarkan Permendagri 33 Tahun 2013 seluas 13.753 hektar.

Menteri LHK menegaskan SK 903 menjadi acuan dalam penataan ruang RTRWP Riau.

BAB III KAWASAN HUTAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS 27


DIINTEGRASIKAN KEDALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI
Rekomendasi Ombudsman agar Pemprov Riau menetapkan Holding Zone dengan menetapkan selisih (gap)
luas areal antara luas yang direkomendasikan Tim Terpadu dengan jumlah luas yang ditetapkan dalam SK
673 dan 878 sebagai Holding Zone dalam Perda RTRWP Provinsi Riau, sebelum terbitnya SK Pengganti
SK Menteri Kehutanan tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau, menjadi rancu.

Munculnya Holding Zone dalam Ranperda RTRWP Riau 2017-2037 menimbulkan kontroversi ditengah
masyarakat. Pasalnya, nomenklatur Holding Zone hanya dikenal pada Inpres No. 8 Tahun 2013 tetang
penyelesaian penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota. Pada poin keempat
dalam Inpres tersebut menyebutkan, Menteri Kehutanan:

a. melakukan percepatan penyelesaian persetujuan atas perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan
dalam rangka penyusunan peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

b. memberikan fasilitasi dalam pengintegrasian dan pengharmonisasian kawasan hutan pada rencana pola
ruang rencana tata ruang wilayah provinsi ke dalam rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota yang
belum ditetapkan peruntukan ruangnya (Holding Zone) sesuai dengan ketentuan peraturan perundan-
gundangan.

Pilihan Holding Zone untuk menyelesaikan persoalan pelepasan kawasan hutan oleh Pansus RTRWP Riau
bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait Holding Zone:

1. Pasal 7 dan 8 UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


2. Pasal 7 ayat 1: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas a. UUD 1945; b. Tap
MPR; c. UU/ Perpu; d. PP; E. Perpres; f. Perda Provinsi; g. Perda Kab/Kota.

3. Pasal 7 Ayat 2: Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaima-
na dimaksud dalam ayat 1.

4. Pasal 8 ayat 1: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 ayat 1 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI,
Menteri, Badan, lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah
atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kab/Kota, Bupati/ Walikota, Kades atau yang
setingkat.

5. Pasal 8 ayat 2: Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui keberadaannya


dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-un-
dangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
6. Pasal 23 ayat 6 UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang: Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
ditetapkan dengan peraturan daerah provinsi.

7. Pasal 18 Ayat 3 UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang: Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan
tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan
penyusunan rencana tata ruang wilayah kab/kota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan
peraturan Menteri.

8. Permen PU Nomor 15/PRT/M/2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi memuat keten-
tuan mengenai muatan, pedoman dan tata cara penyusunan RTRWP.

Merujuk pada poin 1,2,3 dan 4 Holding Zone yang diusulkan Pansus RTRWP Riau tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat karena tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Artinya penggunaan Holding Zone bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi bahkan penggunaan Hold-
ing Zone melanggar hukum administrasi.

28 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
B. KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS)

Sebelum RTRWP menjadi Perda KLHS Wajib dilakukan terlebih dahulu, penegasan itu tertera dalam
Pasal 19 ayat 1 dan 2 menegaskan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wajib didasarkan pada KLHS. Perencanaan tata ruang wilayah
ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup

Khusus pasal tentang KLHS menyebut pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat KLHS untuk
memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan
suatu wilayah dan atau kebijakan, rencana, dan atau program43. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib
melaksanakan KLHS ke dalam penyusunan atau evaluasi RTRWP44.

Bagaimana cara dalam menyelenggarakan KLHS diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian Lingkungan Hidup Strategis. Tujuannya sesuai UU No.
32 Tahun 2009 adalah agar Pemerintah dan Pemda wajib KLHS untuk Kebijakan, Rencna dan Progrssm
(KRP) tata ruang, pembangunan, dan yang berdampak lingkungan melalui mekanisme pengkajian, pembua-
tan alternatif dan rekomendasi kebijakan.

KLHS memuat: kapasitas daya dukung dan daya tampung LH, dampak dan resiko LH, kinerja layanan eko-
sistem/jasa LH, efisiensi pemanfaatan SDA, ketahanan kehati, dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan
iklim. KLHS menjadi dasar KRP dan bila dinyatakan daya dukung dan daya tampung LH terlampaui harus
diperbaiki dan kegiatan penyebabnya tidak diperbolehkan lagi PP tersebut.
Gambar 2. PP Nomor 46 Tahun2016 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan KLHS

C. PENATAAN RUANG

Penataan ruang kawasan hutan di Indonesia telah mengalami beberapa kali penyempurnaan sejalan dengan
adanya perubahan/ Perkembangan kebijakan sebagai berikut45:

1. Periode s/d 1980, berdasarkan UU No 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan, kawasan
hutan dikelola berdasarkan register dan penunjukkan kawasan hutan secara parsial

2. Periode 1980 – 1992, penataan ruang kawasan hutan ditetapkan melalui Tata Guna Hutan Kesepa-
katan (TGHK) yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian dengan penguatan pengaturan dalam UU No
5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya

3. Periode 1992 – 1999, dengan terbitnya UU no 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dilakukan
paduserasi antara RTRWP dengan TGHK
BAB III KAWASAN HUTAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS 29
DIINTEGRASIKAN KEDALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI
4. Periode 1999 – 2005, dengan terbitnya UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, penataan ruang
kawasan hutan didasarkan pada penunjukkan kawasan hutan dan peraturan yang ditetapkan oleh
Menteri Kehutanan berdasarkan hasil paduserasi

5. Periode 2005 – 2007, dengan terbitnya UU no 32 tahun 2004 yang menggantikan UU No 22 tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah, penataan ruang kawasan hutan harus memperhatikan usulan
revisi RTRWP/ RTRWK serta kebutuhan pembangunan infrastruktur, terutama dengan banyaknya
pemekaran wilayah administrasi pemerintah daerah

6. Periode 2007 – sekarang, dengan terbitnya UU No 26 tahun 2007 yang menggantikan UU No 24


tahun 1992 tentang Penataan Ruang, penataan ruang kawasan hutan menjalani proses pemutakh-
iran (update) sejalan dengan proses revisi RTRWP. Hal yang sangat penting untuk diperhatikan
adalah bahwa usulan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam revisi RTRWP harus
tetap mengacu kepada kriteria teknis masing-masing fungsi pokok (konservasi, lindung, produksi)
kawasan hutan tersebut.

Setahun jelang Peraturan Daerah Provinsi Riau No. 10 tahun 1994 tentang RTRWP Riau berakhir—Perda
ini berlaku 30 Agustus 1995, berakhir pada 29 Agustus 2010 atau masa berlakunya 15 tahun--Gubernur
Riau Rusli Zainal mengusulkan revisi RTRWP Riau melalui surat bernomor 050/Bappeda/56.10 pada 27
April 2009. UU No 24 Tahun 1992 tidak berlaku sejak 26 April 2007 atas terbitnya UU No 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang.

Oleh karenanya penyusunan atau revisi Penataan Ruang merujuk pada UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang.

Wewenang pemerintah daerah provinsi dalam penyelenggaraan ruang meliputi satu diantaranya pelaksa-
naan penataan ruang46 juga meliputi perencanaan tata ruang wilayah provinsi47.

Penyusunan RTRWP mengacu pada RTRWN, pedoman bidang penataan ruang dan rencana pembangunan
jangka panjang daerah48. Penyusunan RTRWP harus memperhatikan empat diantaranya: perkembangan
permasalahan nasional dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang provinsi, upaya pemerataan pemba-
ngunan dan pertumbuhan ekonomi provinsi, keselarasan aspirasi pembangunan provinsi dan pembangunan
kabupaten/kota dan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup49.

RTRWP memuat50:

a. tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah Provinsi

b. rencana struktur ruang wilayah yang meliputi sistem perkotaan dalam wilayahnya yang berkaitan
dengan kawasan perdesaan dalam wilayah pelayanannya dan sistem jaringan prasarana wilayah
provinsi

c. rencana pola ruang wilayah provinsi yang meliputi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang
memiliki nilai strategis provinsi

d. penetapan kawasan strategis provinsi

e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi yang berisi indikasi program utama jangka menengah
dan lima tahunan

f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi berisi indikasi arahan peraturan zonasi
sistem provinsi, arahan perizinan, arahan insentif dan disinsentif serta arahan sanksi

Jangka waktu RTRWP adalah 20 tahun. RTRWP ditinjau kembali satu kali dalam lima tahun. Dalam
kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan
dengan Perundang-undangan atau batas teritori negara atau batas wilayah provinsi yang ditetapkan dengan
undang-undang, RTRWP ditinjau kembali lebih dari satu kali dalam lima tahun. RTRWP ditetapkan dengan
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi51.

Penetapan rancangan Perda provinsi tentang RTRWP terlebih dahulu harus mendapat persetujuan substansi
dari Menteri. Persetujuan ini agar peraturan Perda RTRWP mengacu pada RTRWN dan kebijakan nasion-
al. Selain itu, persetujuan tersebut juga untuk menjamin kesesuaian muatan Perda, baik dengan ketentuan
peruturan perundang-undangan maupun dengan pedoman bidang penataan ruang52.
30 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi dia-
tur dengan peraturan Menteri53.

Pada 27 Juli 2009 Menteri Pekerjaan Umum menerbitkan Permen PU Nomor 15/PRT/M/2009 Tentang
Pedoman Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang memuat ketentuan mengenai muatan, pedoman dan
tata cara penyusunan RTRWP.

Pedoman penyusunan RTRWP sebagai acuan dalam kegiatan penyusunan RTRWP oleh pemerintah daerah
dan pemangku kepentingan lainnya. Pedoman ini bertujuan mewujudkan RTRWP sesuai dengan ketentuan
dalam UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan ruang54.

Ruang lingkup memuat ketentuan teknis muatan RTRWP serta proses dan prosedur penyusunan RTRWP.
Materi muatan tentang pedoman penyusunan RTRWP dimuat secara lengkap dalam lampiran yang mer-
upakan bagian tidak terpisahkan dari Permen ini55. Dalam lampiran setebal 55 halaman tersebut tidak
ditemukan Holding Zone baik di kawasan budi daya maupun di kawasan lindung.

Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dilakukan
sebelum RTRWP ditetapkan menjadi Perda. Hasil Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan dan
KLHS kemudian diintegrasikan kedalam Perda RTRWP.

Footnote
32. Laporan Investigasi EoF http://www.eyesontheforest.or.id/index.php?page=content&cid=5

33. http://jikalahari.or.id/kabar/laporan/kertas-posisi-rtrwp-riau-untuk-rakyat-bukan-untuk-segelintir-pemodal-dan-monopoli-kor-
porasi/

34. Pasal 31 ayat 1, 2 dan 3 PP Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang

35. Pasal 1 ayat 3 UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

36. Pasal 4 ayat 2 huruf b UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

37. Pasal 19 ayat 1, 2, 3 UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

38. Pasal 5 PP No 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

39. Pasal 6 PP 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

40. Pasal 33 PP No 104 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

41. Presentasi BPKH pada diskusi RTRWP Riau 2 – 4 November 2016

42. Rekomendasi Ombudsman RI No: 002/REK/0361.2015/PBP-41/II/2016

43. Pasal 15 ayat 1 UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlundungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

44. pasal 15 ayat 2 huruf a UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

45. Hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi berjudul Kajian Sistem Perencanaan dan
Pengelolaan Kawasan Hutan pada Direktorat Jenderal Planologi Kementerian Kehutanan RI pada 2010

46. Pasal 10 ayat 1 huruf b UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

47. Pasal 10 ayat 2 huruf a UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

48. Pasal 22 ayat 1 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

49. Pasal 22 ayat 2 huruf a, b, c, dan d UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

50. Pasasl 23 ayat 2 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

51. Pasal 23 ayat 3, 4, 5 dan 6 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

52. Pasal 18 ayat 1 6 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

53. Pasal 18 ayat 3 6 UU 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

54. Pasal 2 dan 3 Permen PU Nomor 15/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

55. Pasal 4 dan 5 Pasal 2 dan 3 Permen PU Nomor 15/PRT/M/2009 Tentang Pedoman Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

BAB III KAWASAN HUTAN DAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS 31


DIINTEGRASIKAN KEDALAM RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI
BAB IV
ANALISIS TAHAPAN PEMBENTUKAN RTRWP

Ranperda ini seharusnya sudah masuk prolegda pada tahun 2007 atau 2008, oleh karena itu dalam melihat
tahapan pembentukannya sudah pasti mengacu kepada UU No. 10 tahun 2004, UU yang mengatur tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku pada tahun-tahun itu. Maka, mengacu pada
ketentuan umum angka (1) menyatakan: “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pem-
buatan Peraturan Perundangundangan yang pada dasarnya dimulai dari:

Tabel 4: Tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

1. Perencanaan; 5. pembahasan;
2. Persiapan; 6. pengesahan;
3. teknik penyusunan; 7. pengundangan;
4. perumusan; 8. penyebarluasan.

Sumber: UU No. 10 tahun 2004.

Apa yang tercantum pada angka 1 Pasal 1 diatas, sejatinya bukan hanya menunjukkan tahapan saja, karena
sebagaimana dikoreksi oleh UU no. 12 tahun 2011, tahapan itu sejatinya hanya mencakup:

a. Perencanaan (dalam bentuk penyusunan dan persetujuan prolegda/propemperda);

b. penyusunan (yang berintikan penyusunan naskah akademik);

c. pembahasan (proses di DPRD bersama KD);

d. penetapan (penandatanganan ranperda yang telah disetujui bersama); dan

e. pengundangan (pemuatan perda oleh sekretaris daerah di dalam lembaran daerah).

A. Tahapan Perencanaan

Inti dari tahapan perencanaan adalah penyusunan dan persetujuan tentang prolegda/propemperda. Tahapan
perencanaan itu dilakukan sebelum penyusunan dan pembahasan RAPBD, karena semua biaya yang akan
dibutuhkan dalam pembentukan perda tersebut harus dimasukkan dalam RAPBD tahun itu. Dengan de-
mikian, prolegda/propemperda disiapkan pada tahun anggaran sebelumnya, artinya jika sebuah perda akan
disusun dan/atau dibahas pada tahun 2008, maka ranperda tersebut harus sudah masuk pada prolegda 2008
yang disiapkan pada tahun 2007.56

Dalam konteks Perda RTRWP Riau, dengan fakta bahwa UU Tata Ruang sudah diundangkan pada tanggal
26 April 2007 dengan perintah yang jelas sebagaimana termuat dalam Pasal 78 ayat 457, maka Ranperda
RTRWP itu seharusnya sudah dimasukkan dalam Prolegda tahun 2008 (disiapkan dan sudah disepakati
sebelum penyusunan RAPBD 2008, itu artinya pada tahun 2007). Adakah Gubernur Riau dan DPRD Riau
melakukannya? Disamping itu, Perda Provinsi Riau No. 10 tahun 1994 tentang RTRWP sudah akan berakh-
ir masa berlakunya pada tahun 2009. Artinya Perda No. 10 tahun 1994 tersebut sudah harus diganti paling
lambat pada tahun 2009.

Dalam penyusunan prolegda, usulan ranperdanya bisa berasal dari Gubernur (KD) ataupun dari DPRD. Di
dalam Pasal 26 dikatakan: “Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari dewan perwakilan rakyat daerah
atau gubernur, atau bupati/walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten,
atau kota”. Jadi Gubernur Riau bukan satu-satunya orang/institusi yang bertanggungjawab terhadap usulan
Ranperda termasuk Ranperda RTRWP pengganti Perda Nomor 10 tahun 1994.

32 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
B. Tahapan Penyusunan

Pada tahapan penyusunan, substansi kegiatannya adalah penyusunan dan penulisan naskah akademik. Da-
lam UU Nomor 10 tahun 2004, tidak dijumpai penjelasan tentang naskah akademik. Sementara UU Nomor
12 tahun 2011 menyatakan dalam Pasal 1 angka 11: “Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau
pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggung-
jawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi
terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat”. Karena dalam UU Nomor 10 tahun 2004 me-
mang belum dikenal apa itu naskah akademik, maka tidak ada pasal yang mensyaratkan pembentukan UU
atau Perda harus disertai dengan naskah akademik.

Sebagai pengganti UU Nomor 10 tahun 2004, maka UU nomor 12 tahun 2011 membawa sejumlah per-
baikan, termasuk keharusan menyiapkan naskah akademik dalam pembentukan UU dan Perda. Dalam pasal
56 ayat 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tersebut didapati perintah yang menyatakan: Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau
Naskah Akademik”.

Sebagai naskah hasil penelitian maka sudah selayaknya Naskah Akademik Ranperda RTRWP Riau 2017
– 2037 memenuhi kaedah terutama terkait metode penelitian dan yang tidak kalah penting melibatkan
lembaga penelitian atau tenaga ahli. Seperti diatur dalam Pasal 99 Undang-Unadang Nomor 12 tahun 2011
yang menegaskan: “Selain Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
98 ayat (1), tahapan pembentukan Undang-Undang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli”. Poin ini kembali dipertegas oleh Pasal 67 Per-
pres Nomor 87 tahun 2014 ayat (4) yang menyatakan: “Pemrakarsa dalam melakukan Penyusunan Naskah
Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan pihak ketiga yang mempu-
nyai keahlian sesuai materi yang akan diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah Provinsi”.

Dari NA Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 tidak terlihat keterlibatan baik peneliti, tenaga ahli maupun
pihak ketiga lainnya sebagaimana diatur dalam pasal-pasal diatas. Seharusnya di dalam kata pengantar,
tergambar pihak mana saja yang terlibat dalam penyusunannya. Boleh jadi karena alasan-alasan tersebut,
maka NA Ranperda RTRWP tampil “asal ada” sehingga tidak memuat:

a) uraian/gambaran lengkap di sub bab tentang praktek empiris,58 apa yang terjadi selama pelaksanaan
Perda no. 10 tahun 1994. Begitu pula kondisi riel tata ruang Provinsi Riau pada tahun 2009, sebagai
tahun terakhir berlakunya Perda dimaksud.

b) data kuantitatif yang memadai, khususnya terkait data lahan/kawasan yang menjadi isu sentral dalam
Perda ini (baik yang di holding maupun yang disetujui perubahan peruntukannya).

Hal lain yang tidak kalah penting dalam tahapan ini adalah keterlibatan publik. Seharusnya NA itu sudah
melewati uji publik dengan melibatkan semua pihak yang dianggap terlibat/berkepentingan atau memahami
persoalannnya secara teknis yuridis. Tidak ada data atau informasi tentang uji publik dalam penyusunan NA
Ranperda RTRWP Riau ini.

C. Tahapan Pembahasan

Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU Nomor 10 tahun 2004 (Pasal 75 UU Nomor 12 tahun 2011) Pem-
bahasan rancangan peraturan daerah di dewan perwakilan rakyat daerah dilakukan oleh dewan perwakilan
rakyat daerah bersama gubernur atau bupati/walikota. Pembahasan bersama tersebut dilakukan melalui
tingkat-tingkat pembicaraan yang dapat berupa rapat komisi/panitia/alat kelengkapan dewan perwakilan
rakyat daerah yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.

Tidak ada yang istimewa dalam tahapan pembahasan ini, kecuali seharusnya penekanan kembali pada
keterlibatan publik. Pada penyusunan NA keterlibatan publik bisa diinisiasi oleh OPD inisiator, Bappeda
Provinsi Riau, maka dalam tahapan pembahasan keterlibatan publik itu menjadi tanggungjawab Pani-
tia Khusus yang diberi tugas untuk membahas substansi Ranperda berdasar daftar inventarisasi masalah
(DIM). Tidak terlihat juga upaya melibatkan publik pada tahapan ini.

BAB IV ANALISIS TAHAPAN PEMBENTUKAN RTRWP 33


D. Tahapan Penetapan

Titik akhir dari tahapan pembahasan adalah persetujuan bersama antara DPRD dan Gubernur Riau. Setelah
itu, Ranperda tersebut tinggal menunggu penetapannya untuk menjadi Perda oleh Gubernur. Sesungguhn-
ya tahapan penetapan ini bersifat administratif belaka. Namun demikian ada beberapa catatan yang layak
untuk diperhatikan:59

a. Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD
Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetap-
kan menjadi Peraturan Daerah Provinsi dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama.

b. Rancangan Peraturan Daerah Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda
tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.

c. Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui ber-
sama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan
wajib diundangkan.

d.

Gambar 3: Tahapan Penetapan dan Evaluasi Perda.

Ada yang menarik dari tahapan penetapan Perda ini, karena muncul tambahan prosedur-administratif beru-
pa “evaluasi”. UU No. 12 tahun 2011 tidak mengaturnya, akan tetapi muncul dalam Perpres No. 87 tahun
2014 yang pada dasarnya evaluasi itu dilakukan setelah Perda itu ditetapkan (ditandatangani) oleh Guber-
nur, seperti terlihat pada pragraf berikut ini:

“Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berkaitan dengan Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah sebelum diundangkan
dalam Lembaran Daerah Provinsi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
dalam negeri untuk dievaluasi sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan”.60

Sementara Permendagri terbaru yang mengatur tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, yaitu Per-
mendagri No. 80 tahun 2015, menyatakan “Rancangan perda provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RP-
JMD, tata ruang daerah dan rencana pembangunan industri provinsi yang telah disetujui bersama sebelum
ditetapkan oleh Gubernur paling lama 3 hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri melalui Sekretaris
Jenderal”61 (lihat piramid diatas).

Footnote
56. Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi.

57. Pasal 78 ayat 4 huruf b ini memerintahkan: “semua peraturan daerah provinsi tentang rencana tata ruang wilayah provinsi dis-
usun atau disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diberlakukan”.

34 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
58. Sistematika Bab II dari sebuah Naskah Akademik terdiri dari 1) Kajian Teoritis; 2) Kajain terhadap asas/prinsif; 3) Praktek Em-
piris; 4) Kajian Implikasi Perda baru.

59. Lihat Pasal 78 dan 79 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

60. Pasal 121 ayat 1 Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014.

61. Pasal 93 ayat 3 Permendagri No. 80 tahun 2015.

BAB IV ANALISIS TAHAPAN PEMBENTUKAN RTRWP 35


BAB V
ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP

A. Fakta Lapangan

1. Kebijakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Tentang Kawasan Hutan Provinsi
Riau

a. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 173/Kpts-II/1986, 6 Juni 1986, Tentang Penunjukan Ka-
wasan Hutan di Provinsi Riau

Penunjukan kawasan hutan di Provinsi Riau pertama kali berdasarkan Keputusan Menteri Kehutan-
an Nomor 173/Kpts-II/1986 Tanggal 6 Juni 1986 Tentang Penunjukan Areal Hutan Di Wilayah
Provinsi Dati I Riau. Keputusan Menteri Kehutanan telah mempertimbangkan kesepakatan antar
berbagai instansi yang berhubungan dengan pengelolaan ruang, sehingga kemudian Keputusan
Menteri Kehutanan tersebut dikenal dengan istilah kawasan hutan Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK).

Berdasarkan Keputusan 173/Kpts-II/1996 hampir keseluruhan wilayah Provinsi Riau dan termasuk
Kepulauan Riau termasuk dalam kategori Kawasan Hutan. Total luas wilayah Provinsi Riau dan
Kepulauan Riau adalah 9.056,160 hektar, meliputi Hutan Lindung 397.150 ha, KSA/KPA seluas
451.240 ha, HPT seluas 1.971.553 ha, HP seluas 1.866.132 ha, dan HPK seluas 4.770.085 ha.
Namun setelah dikeluarkannya Provinsi Kepulauan Riau maka luas wilayah Provinsi Riau menca-
pai 8.984.823, 67 ha.

b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Menhut-VII/2011, 30 Desember 2011, Tentang Ka-


wasan Hutan di Provinsi Riau

Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 7651/Menhut-VII/2011, 30 Desember 2011, Tentang Ka-


wasan Hutan di Provinsi Riau diterbitkan berdasarkan pertimbangan dibentuknya Provinsi Kepu-
lauan Riau yang merupakan pemekaran dari Provinsi Riau tahun 2004, dimana sebelumnya Kepu-
luan Riau merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Pertimbangan lain perlu dilakukan
pemutakhiran dengan mengakomodir perubahan kawasan hutan dan perubahan fungsi kawasan
hutan secara parsial.

Keputusan Menteri Kehutanan tersebut lebih detil telah merinci luas berdasarkan fungsi kawasan
hutan antara lain; Hutan Lindung 213.113 ha, KSA/KPA seluas 617.209 ha, HPT seluas 1.541.288
ha, HP seluas 1.893.714 ha, dan HPK seluas 2.856.020 ha. Dibandingkan dengan Keputusan 173/
Kpts-II/1996, pada Keputusan 7651/Menhut-VII/2011, di Provinsi Riau hingga tahun 2011 telah
menjadi bukan kawasan hutan telah mencapai 1.863.479.67 ha. Sebagian besar perubahan peruntu-
kan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dari perubahan Hutan Produksi dapat Dikonversi
sekitar 1.298.260 ha. Selain perubahan peruntukan kawasan hutan juga terjadi perubahan fungsi ka-
wasan hutan, dimana dalam 7651/Menhut-VII/2011 tersebut terdapat penambahan Hutan Produksi
sekitar 556.807 ha.

c. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, Tentang Kawasan


Hutan di Provinsi Riau

Dengan mempertimbangkan tuntutan dinamika pembangunan dan optimalisasi fungsi kawasan


hutan setelah diterbitkannya SK 673/Menhut-II/2014 dan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan
maka terbitlah SK 878/2014. Dilihat dari luas masing-masing fungsi kawasan hutan sesuai SK
878/2014 hampir keseluruhan mengakomodir SK 673/2014, antara lain Hutan Lindung 234.015
ha, KSA/KPA seluas 633.420 ha, HPT seluas 1.031.600 ha, HP seluas 1.2.331.891 ha, dan HPK
seluas 1.268.767 ha.

Dibandingkan Keputusan 7651/Menhut-VII/2011, di Provinsi Riau hingga tahun 2011 telah menja-
di bukan kawasan hutan telah mencapai 3.485.130,67 hektar. Sebagian besar perubahan peruntukan
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
36 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan dari perubahan Hutan Produksi dapat Dikonversi
sekitar 1.298.260 ha. Selain perubahan peruntukan kawasan hutan juga terjadi perubahan fungsi
kawasan hutan, dimana dalam 878/2014 tersebut terdapat penambahan Hutan Produksi sekitar
438,177 ha.

d. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 903/MENLHK/SETJEN/


PLA.2/12/2016, 07 Desember 2016, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi Riau

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 903/MENLHK/SETJEN/


PLA.2/12/2016, 07 Desember 2016, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi Riau mempertimbang-
kan surat Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Nomor S.1204/PKTL/
KUH/PLA.2/11/2016 tanggal 11 November 2016 atas hasil penelaahan terhadap peta lampiran SK
878/2014, dimana terdapat pengurangan Kawasan Hutan seluas 92.701 hektar dari 5.499.693 total
kawasan hutan di Provinsi Riau. Dimana pengurangan adalah:

i. Pengurangan seluas 65.125 hektar karena perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan
bukan kawasan hutan sesuai dengan SK MenLHK Nomor 314.MenLHK/Setjen/PLA.2/4/2016
tanggal 20 April 2016, sebagaimana telah diubah dengan SK MenLHK Nomor 393/MenLHK/
SETJEN/PLA.2/2016 tanggal 23 Mei 2016.

ii. Pengurangan seluas 25.731 hektar karena telah dilepaskan oleh Menteri Kehutanan Nomor
878/2014

iii. Pengurangan seluas 13.735 hektar karena pengguna batas administrasi antara Provinsi Riau
dan Jambi. Pengurangan 3.761 hektar karena pengguna batas administarasi antara Provinsi
Riau dengan Sumatera Barat.

iv. Penambahan 15.665 hektar karena penggunaan Peta Rupabumi Indonesia 1:50 tahun 2016
dengan penyesuaian base pantai, sungai dan danau pada peta Kawasan Hutan Provinsi Riau

Tabel 5. Kawasan Hutan Provinsi Riau

TGHK-173/Kpts- TGHK-173/Kpts-
II/1986, II/1986, "setelah
7651/Menhut- 878/Menhut-
"termasuk di keluarkan 903/Menlhk/20 %
Fungsi Kawasan Hutan VII/2011 II/2014
Provinsi Provinsi 16
Kepulauan Riau" Kepulauan Riau"
(ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha)
Hutan Lindung 397,150 271,841.00 213,113.00 234,015.00 233,910.00 2.60%
KSA/KPA 451,240 438,835.00 617,209.00 633,420.00 630,753.00 7.02%
Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1,971,553 2,663,960.00 1,541,288.00 1,031,600.00 1,017,318.00 11.32%
Hutan Produksi Tetap (HP) 1,866,132 1,336,907.00 1,893,714.00 2,331,891.00 2,339,578.00 26.04%
Hutan Produksi yang dapat di Konversi 4,770,085 4,154,280.00 2,856,020.00 1,268,767.00 1,185,433.00 13.19%
Kawasan hutan Propinsi Riau 9,456,160 8,865,823.00 7,121,344.00 5,499,693.00 5,406,992.00 60.18%
Perairan 119,000.67
Bukan Kawasan Hutan di Propinsi Riau - 119,000.67 1,863,479.67 3,485,130.67 3,577,831.67 39.82%
Luas Wilayah Propinsi Riau 9,456,160 8,984,823.67 8,984,823.67 8,984,823.67 8,984,823.67 100.00%
Luas (ha) berdasarkan dokument SK 173/1986, Timdu 2012, SK 7651/2011, SK 878/2014 dan SK 903/2016

2. Apakah hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu mutlak diterima oleh Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, terutama perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan?

Dapat dimaknai bahwa Pansus Ranperda RTRWP Riau memaksa KLHK harus setuju menerima hasil
kajian dan rekomendasi Tim Terpadu, maka pertanyaannya apakah hasil kajian dan rekomendasi Tim
Terpadu secara hukum mutlak diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan?

Berdasarkan PP Nomor 10/2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan
tidak secara tegas disebutkan Menteri Kehutanan harus menerima keseluruhan atau menolak sebagian
dari rekomendasi Tim Terpadu.
BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP
37
Pasal 31 ayat (5) PP Nomor 10/2010 ‘Tim Terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyam-
paikan hasil penelitian dan rekomendasi terhadap perubahan peruntukan kawasan hutan kepada Ment-
eri”. Namun berdasarkan PP Nomor 104/2015 Pasal 31 ayat (5) disebutkan “Menteri berdasarkan hasil
penelitian dan rekomendasi tim terpadu sebagaimana pada ayat (4) menerbitkan keputusan Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan untuk sebagian atau seluruh Kawasan Hutan yang diusulkan”.

Jika berpedoman pada PP 10/2010 dan PP 104/2015, maka tidak ada keharusan Menteri Kehutanan
harus menerima keselurahan hasil penelitian dan rekomendasi terhadap perubahan peruntukan kawasan
hutan, bahkan jelas pada PP 104/2015 disebutkan dapat menerbitkan keputusan Perubahan Peruntukan
Kawasan Htan untuk sebagian atau seluruh Kawasan Hutan yang diusulkan.

Lantas, apakah ketika hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu tidak sepenuhnya diakomodir oleh
Menteri Kehutanan dalam perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan, maka
pembahasan dan persetujuan Perda RTRWP tetap menunggu keputusan Menteri KLHK untuk merubah
kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sisa areal hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu?

Mengutip Pasal 32 PP Nomor 10/2010, “Keputusan Menteri tentang perubahan peruntukan kawasan
hutan untuk wilayah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (7) diintegrasikan oleh gu-
bernur dalam revisi rencana tata ruang wilayah provinsi yang dilakukan untuk ditetapkan dalam pera-
turan daerah provinsi”. Sama halnya pada Pasal 33 PP Nomor 104/2015, “Keputusan Menteri tentang
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan untuk wilayah provinsi sebagaiman dimaksud dalam Pasal 31
ayat (5) dan ayat (7) diintegrasikan oleh gubernur dalam revisi rencana tata ruang wilayah provinsi”.

Sehingga tidak ada alasan bagi Pansus Ranperda Riau harus menunggu sisa rekomendasi Tim Terpadu
yang tidak diakomodir oleh Menteri Kehutanan pada tahun 2014 untuk menuntaskan status kawasan
hutan. Artinya kawasan hutan yang tidak diakomodir oleh Menteri Kehutanan 2014 menjadi bukan
kawasan hutan maka statusnya tetap kawasan hutan. Pihak Pansus tetap dapat mem-proses Ranperda
RTRWP ini dengan menggunakan SK Kawasan Hutan yang terakhir dikeluarkan oleh KLHK yang
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan SK 673 Tentang perubahan kawasan hutan menjadi
bukan kawasan hutan.

3. Rekomendasi Tim Terpadu dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014

Dalam penyesuaian pemanfaatan ruang dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau,
Gubernur Riau HM Rusli Zainal (kini mantan) pada 2010 mengusulkan perubahan peruntukan kawasan
hutan menjadi bukan kawasan hutan seluas 3.530.696 hektar. Kemudian Menteri Kehutanan Zulkifli
Hasan pada tahun 2010 membentuk Tim Terpadu melakukan penelitian dan pada Juli 2012 Tim Ter-
padu telah memberikan rekomendasi perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan lebih
kurang 2.736.137 hektar.

Namun, Kementerian Kehutanan di hadapan Gubernur Riau, Bupati/Walikota se Provinsi Riau dan
Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional pada 5 Desember 2012 menyetujui Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan menjadi Bukan Kawasan Hutan hanya seluas 1.638.249 hektar.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
38 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Tabel 6. Rekomendasi Perubahan Kawasan Hutan dan Penunjukan Baru Kawasan Hutan di Provinsi
Riau Berdasarkan Kajian Tim Terpadu Juli 2012

Luas (ha) berdasarkan Laporan Timdu 2012

Pada 08 Agustus 2014, Menteri Kehutanan telah menetapkan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Menjadi Bukan Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/
Menhut-II/2014, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas
1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas 717.543 hektar dan penunjukan Bukan Ka-
wasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas 11.552 hektar di Provinsi Riau.

Perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan terdiri dari perubahan Hutan Pro-
duksi Terbatas seluas 167.881 hektar, Hutan Produksi 80.437 hektar dan Hutan Produksi dapat Dikon-
versi 1.389.993 hektar.

Sepertinya dijelaskan diatas, bahwa masalah besar yang dihadapi Pansus terkait Ranperda RTRWP Riau
adalah terkait dengan tidak diakomodirnya rekomendasi dari Tim Terpadu seluas 2,7 juta hektar, semen-
tara berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014 dan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016,
07 Desember 2016, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi Riau hanya mengakomodir perubahan peruntu-
kan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sekitar 1,7 juta hektar.

4. Rekomendasi Tim Terpadu dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 berpo-
tensi Masalah Hukum Dengan Indikasi Pemutihan

Kajian Tim Terpadu terhadap usulan perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan salah
satunya adalah areal perkebunan besar swasta yang mendapat Izin Usaha Perkebunan (IUP) dari pemer-
intah daerah berdasarkan Perda Nomor 10 Tahun 1994 tentang RTRW Provinsi Riau atau berdasarkan
RTRW Kabupaten/Kota.

Beberapa perkebunan tersebut telah mendapatkan Hak Guna Usaha atau sertifikat dari BPN, meskipun
tidak melalui prosedur pelepasan kawasan hutan. Sebagian besar areal perkebunan tersebut berada di
dalam kawasan HPK/PL, namun ada beberapa lokus usulan perubahan kawasan hutan di dalam areal
Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK).

Tentunya dengan alasan ini memberikan ruang bagi perkebunan sawit yang terlanjur mengembangkan
kebun sawit dalam kawasan hutan, meskipun tidak melalui prosedur pelepasan kawasan hutan dapat
diakomodir dalam perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.

Tim Terpadu sepertinya memberikan rekomendasi perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan dengan menghilangkan unsur pelanggaran atau melakukan pemutihan atas pelanggaran yang
terjadi dalam kawasan hutan, misalnya memberikan rekomendasi terhadap kebun yang memiliki Hak
Guna Usaha (HGU) tanpa melalui prosedur pelepasan kawasan hutan, pertimbangan Tim Terpadu ada-

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


39
lah; karena lokasi ijin HGU berada di kawasan HPK/PL atau merupakan kawasan perkebunan dalam
RTRWP, banyak institusi publik yang terlibat dan sudah melibatkan pemangku kehutanan di daerah.

Padahal bagian lain Tim Terpadu menyebutkan Hasil penelitian Tim Terpadu ini tidak dimaksudkan
menghilangkan unsur pelanggaran atau melakukan pemutihan atas pelanggaran yang terjadi dalam
kawasan hutan. Namun menjadi ambigu ketika hasil dan kajian Tim Terpadu merekomendasikan
perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Berikut beberapa contoh usulan perubahan
peruntukan Hutan Produksi Terbatas yang direkomendasi Tim Terpadu menjadi Areal Penggunaan Lain
dan hasil temuan Eyes on the Forest 2016:

1. HPT. Tesso Nillo direkomendasi menjadi Areal Penggunaan Lain seluas 32.168 ha karena merupa-
kan areal pemukiman tua dan lahan garapan yang berada di Desa Lubuk Kembang Bunga, Bagan
Mentimun, Sungai Jambu, Pesikayan, Batu Rijal Hulu, Situgal, Lubuk Kabun, Logas Tanah Darat,
Rambahan, Mendosabar, Gunung Sahilan, Penghidupan, Sungai Pagar, Pantai Raja, Lubuk Sakat,
Lubuk Siam, Bancah Kabu, Pematang Kubang, Sotol, Rantau Taras, Singawek, dan Desa Mentulik,
serta Desa-desa pada areal Transmigrasi; secara yuridis formal pada sebahagian areal tersebut mer-
upakan areal konsesi IUPHHK-HT PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), PT. Rimba Seraya
Utama (RSU), dan PT. Nusa Wana Raya (NWR); secara biofisik tersebut merupakan areal yang
tidak berhutan dengan kelas skor pada umumnya <125.

Temuan EoF adalah; tidak ditemukan adanya pemukiman tua dan lahan garapan masyarakat. EoF
menemukan Pabrik Kelapa Sawit PT Agro Abadi yang mulai operasi 2012 dan tanaman sawit yang
berumur sekitar 10 tahun. Berdasarkan BPN Riau 2016 telah memiliki HGU seluas 968 hektar. Se-
lanjutnya kebun sawit oleh PT Agro Abadi tumpeng tindih dengan konsesi IUPHHK-HT PT Rimba
Seraya Utama lebih kurang 4.829 hektar. Padahal izin IUPHHK-HT PT Rimba Seraya Utama
masih aktif hingga sekarang.

Peta 1. Photo 1 dan 2 ditemukan Pabrik Kelapa Sawit PT Agro Abadi yang mulai operasi 2012 dan tanaman
sawit yang berumur sekitar 10 tahun. Padahal sebelum keluarnya SK 673/Menhut-II/2014, 8 Agustus 2014,
lokasi photo 1 dan 2 ini masih merupakan Hutan Produksi Terbatas. Namun berdasarkan SK 878/Men-
hut-II/2014, 29 September 2014, lokasi photo 1 dan 2 sudah menjadi Areal Penggunaan Lain dan berdasar-
kan BPN Riau 2016 telah memiliki HGU seluas 968 hektar. Photo 3-8 menunjukan kebun sawit oleh PT
Agro Abadi di konsesi IUPHHK-HT PT Rimba Seraya Utama lebih kurang 4.829 hektar, namun berdasar-
kan SK 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, areal pada photo 3-8 sudah menjadi Areal Penggunaan
Lain.
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
40 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
2. HPT. Sungai Mengkikit direkomendasi menjadi Areal Penggunaan Lain seluas 7.810 ha karena
merupakan areal permukiman tua dan lahan garapan yang berada di Desa Meskom, Delik, Parit
Tiong, Kampung Tengah, Wonosari Barat, Kelapa Sari, Pedekik, Bangkingan, Pangkalan Batang,
Kamppung Parit, Pelimau, Senderek, Sebauk, Simpang Belut, Simpang Baru, dan Desa Simpang
Ayam; secara yuridis formal areal tersebut tidak merupakan areal konsesi Izin Usaha Pemanfaatan
Hasil Hutan Kayu; secara biofisik merupakan areal yang tidak berhutan dengan kelas skor pada
umumnya di bawah 125; Pada areal yang direkomendasi terdapat areal perkebunan yang telah
mendapat Hak Guna Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan bekerjasama den-
gan masyarakat dengan sistem Pola KKPA.

Temuan EoF adalah, tidak ditemukan adanya pemukiman tua dan lahan garapan masyarakat. EoF
menemukan 1 Pabarik Kelapa Sawit yang sudah mulai beroperasi 2013 dan kebun kelapa sawit PT
Meskom Agro Sarimas yang berumur sekitar 13 tahun. Padahal sebelum keluarnya SK 673/Men-
hut-II/2014, 8 Agustus 2014, masih merupakan Hutan Produksi Terbatas. Namun berdasarkan SK
878/Menhut-II/2014, 29 September 2014 sudah menjadi Areal Penggunaan Lain dan berdasarkan
BPN Riau 2016 telah memiliki HGU seluas 3.868 hektar.

Peta 2. Photo 1, 2 dan 3 ditemukan kebun kelapa sawit PT Meskom Agro Sarimas yang berumur sekitar
13 tahun. Padahal sebelum keluarnya SK 673/Menhut-II/2014, 8 Agustus 2014, lokasi photo 1, 2 dan 3 ini
masih merupakan Hutan Produksi Terbatas. Namun berdasarkan SK 878/Menhut-II/2014, 29 September
2014, lokasi photo 1 dan 2 sudah menjadi Areal Penggunaan Lain dan berdasarkan BPN Riau 2016 telah
memiliki HGU seluas 3.868 hektar. Photo 4 ditemukan 1 PKS yang telah beroperasi sejak 2013. Photo 6, 7
dan 8 menunjukan pengembangan kebun sawit oleh PT Meskom diluar HGU

3. HPT. Mahato Kanan direkomendasi menjadi Areal Penggunaan Lain seluas 23.741 ha karena
merupakan areal permukiman dan lahan garapan terdiri dari 13 buah Dusun berpenduduk sebanyak
26.000 jiwa yang berada di Desa Kuala Mahato; secara yuridis formal areal yang direkomendasi ti-
dak merupakan areal konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu; secara biofisik areal yang
direkomendasi merupakan areal yang tidak berhutan dengan kelas skor pada umumnya <125.

Temuan EoF adalah, tidak ditemukan adanya areal pemukiman tua dan lahan garapan masyarakat.
EoF menemukan kebun sawit PT Torusganda telah berumur sekitar 13 tahun. Diperkirakan luasn-
ya mencapai 22,389 hektar. Padahal sebelum keluarnya SK 673/Menhut-II/2014, 8 Agustus 2014,
lokasi areal kebun ini masih merupakan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi. Namun
berdasarkan SK 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014 sudah menjadi Areal Penggunaan Lain.

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


41
Peta 3. Photo 1 – 8 menunjukan kebun sawit PT Torusganda telah berumur sekitar 13 tahun. Diperkirakan
luasnya 22,389 hektar. Padahal sebelum keluarnya SK 673/Menhut-II/2014, 8 Agustus 2014, lokasi photo
1-8 ini masih merupakan Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi. Namun berdasarkan SK 878/Men-
hut-II/2014, 29 September 2014, lokasi photo 1-8 sudah menjadi Areal Penggunaan Lain.

5. Temuan Jikalahari dan Eyes on the Forest pada hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu dan
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014 berpotensi Masalah Hukum Dengan
Indikasi Pemutihan

Pada tahun 2016 dan 2017 Eyes on the Forest dan Jikalhari telah melakukan investigasi lapangan terh-
adap hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpadu dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Men-
hut-II/2014, terutama pada perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan.

Seperti diketahui pada rentang waktu setelah Menteri Kehutanan menetapkan Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Provinsi Riau berdasarkan Keputusan Menteri Ke-
hutanan Nomor 673/Menhut-II/2014, tanggal 8 Agustus 2014 dengan keluarnya Surat Keputusan Men-
teri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi
Riau, Gubernur Riau Anas Maamun (kini mantan) pada 25 September 2014, tertangkap tangan oleh
KPK atas dugaan menerima suap dalam kasus perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
42 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Tabel 7. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014, Tentang Perubahan Peruntukan
Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi Kawasan
Hutan seluas 717.543 hektar dan penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas
11.552 hektar di Provinsi Riau
Rekomendasi Perubahan Kawasan Hutan

Penunjukan
Perubahan Fungsi
Kawasan Baru
Tipologi awal
Menjadi Menjadi Perubahan
KSA/KPA, Menjadi KSA/KPA, Peruntukan
HL, HPT HPK HL, HPT
atau HP atau HP
KSA/KPA 2,186.00 - 5,796.00 -
HL 17,636.00 - 5.00 -
HPT 447,636.00 34,342.00 4,846.00 167,881
HP 11,493.00 - 905.00 80,437
HPK 204,250.00 - 1,389,931
683,201.00 34,342.00
Jumlah 11,552.00 1,638,249.00
717,543.00

Luas (ha) berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor 673/2014


Sangat menarik dikaji lebih mendalam, ketika 4 hari menjelang Menteri Kehutanan menetapkan ka-
wasan hutan di Riau, Gubernur Riau Anas Maamun tertangkap tangan oleh KPK atas dugaan mener-
ima suap dari pengusaha dan perusahaan sawit karena mengajukan perubahan peruntukan kawasan
hutan.

Menurut pernyataan dalam persidangan kasus ini, uang tersebut digunakan untuk melobi Kementerian
Kehutanan agar bersedia menerima usulan perusahaan dan pengusaha sawit agar arealnya menjadi
bukan kawasan hutan. Namun langkah mantan Gubernur Riau ini tidak berkesampaian ke Menteri
Kehutanan dan lebih dulu diendus KPK.

Dan berselang 4 hari setelah penangkapan ini Menteri Kehutanan mengeluarkan Surat Keputusan
Tentang Kawasan Hutan Provinsi Riau, 29 September 2014. Dalam kasus korupsi kehutanan mantan
Gubernur Riau ini telah dijatuhi hukuman 7 tahun penjara, karena terbukti menerima suap dari pengu-
saha sawit untuk tujuan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan di Riau.

Adanya kasus suap yang melibatkan mantan Gubernur Riau Anas Maamun yang terbukti menerima
uang dalam upaya melobi pihak Kementerian Kehutanan dalam upaya perubahan peruntukan kawasan
hutan pada September 2014, menimbulkan banyak pertanyaan.

Apakah perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sekitar 1,6 juta ha terind-
ikasi dilakukan dengan cara yang serupa dengan kasus mantan Gubernur Riau? Apakah perubahan pe-
runtukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan hanya mengakomodir kepentingan perusahan
dan pengusaha sawit saja? Apakah Pemerintah Provinsi Riau sampai sekarang belum menyelesaikan
RTRWP karena masih banyak perusahaan sawit dan pengusaha sawit yang mendesak minta dilegal-
kan?

Tim Eyes on the Forest (EoF) dan Jikalahari melakukan kajian dan pemantauan lapangan untuk mem-
peroleh data dan informasi otentik apakah pada areal perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi
bukan kawasan hutan telah dikuasai oleh perusahaan atau cukong sawit sejak lama?

Hal ini untuk menjawab pertanyaan perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan
hutan hanya terkesan melegalkan perusahaan dan pemodal sawit yang sudah menduduki kawasan
sejak lama. Adakah dari proses ini mengindikasikan terjadinya korupsi dan praktik pencucian uang
dalam perubahan peruntukan kawasan hutan di Riau?

Hal pertama yang dilakukan oleh tim EoF dan Jikalahari adalah melakukan analisa peta perubahan
peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan huan seluas 1,6 juta hektar sesuai SK Menhut 673/
Menhut-II/2014. Selanjutnya, peta ditumpangtindihkan (overlay) dengan peta Kawasan Hutan sesuai
SK Menhut 878/Menhut-II/2014. Hal ini untuk memastikan apakah areal perubahan peruntukan men-
BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP
43
jadi bukan kawasan hutan tidak termasuk lagi dalam kawasan hutan.

Selanjutnya pada areal 1,6 juta hektar tersebut atau areal yang tidak lagi termasuk kawasan hutan
berdasarkan SK Menhut 878/Menhut-II/2014 ditumpangsusun dengan peta analisis tutupan lahan yang
dianalisis oleh WWF Indonesia tahun 2014. Pada peta tutupan lahan telah menggambarkan tutupan
lahan telah ditanami sawit, akasia dan lainnya.

Kemudian dilakukan analisis sejarah tutupan hutan melalui citra Landsat, jika sejarah tutupan hutan
menunjukan pola yang teratur diindikasikan dilakukan oleh perusahaan atau pemodal. Terakhir, dilaku-
kan pengecekan lapangan untuk membuktikan apakah pada areal yang termasuk perubahan peruntukan
kawasan hutan menjadi bukan hutan telah ditanami sawit, identifikasi kepemilikan, luas, umur tana-
man, dan informasi lainnya.

Hasil data lapangan diverifikasi dengan data pelepasan kawasan hutan hutan di Riau, memastikan apa-
kah perusahaan sawit yang teridentifikasi termasuk 140 perusahaan sawit di Riau yang telah memper-
oleh pelepasan kawasan hutan hingga tahun 2015. Jika perusahaan yang teridentifikasi tidak termasuk
dalam perusahaan yang telah memperoleh pelepasan kawasan hingga tahun 2015, dapat dipastikan
bahwa perusahaan dan pemodal sawit tersebut sudah menduduki kawasan tersebut sejak lama atau
mengembang kebun sawit tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Tim EoF dan Jikalahari telah mengidentifikasi sekitar 55 perusahan dan pemodal atau berdasarkan
analisis citra, wawancara, & pengamatan di lapangan mencapai luas 136.304 hektar. Kebun sawit
tersebut merupakan hasil kajian dan rekomendasi tim terpadu yang kemudian diakomodir pada Kepu-
tusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan
Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 1.638.249 hektar, Perubahan Fungsi Kawasan Hutan seluas
717.543 hektar dan penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan Hutan seluas 11.552 hektar
di Provinsi Riau.

Dari 55 perusahaan dan pemodal yang teridenfikasi tersebut, berdasarkan data HGU BPN 2016 ter-
dapat 27 perusahaan telah memiliki HGU dan sekitar 28 perusahaan belum memiliki HGU. Total areal
yang teridenfikasi sekitar 136.304 hektar.

Dari total 136.304 hektar kebun sawit yang teridentifikasi, berdasarkan SK Nomor 173/Kpts-II/1986
& 7651/Menhut-VII/KUH/2011 Tentang Kawasan Hutan Riau, terdapat 101.925 hektar berada da-
lam kawasan hutan, antara lain HPT 22.164 hektar, HP 25.844 hektar, HPK 53.881 dan HL 36 hektar.
Setelah terbitnya SK 673/2014 dan SK 878/2014 dari 55 perusahaan yang teridentifikasi masih berada
dalam kawasan hutan sekitar 19.308 hektar. Sebagian besar umur tanaman kelapa sawit pada 55 peru-
sahaan yang teridentifikasi lebih dari 10 tahun dan bahkan telah mencapai 25 tahun.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
44 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Tabel 8. Temuan Eyes on the Forest dan Jikalahari terhadap hasil kajian dan rekomendasi Tim Terpa-
du yang diakomodir di SK 673/2014 dan SK 878/2014

KAWASAN BERDASARKAN 173/Kpts-II/1986 &


Luas (ha) Fungsi Kawasan Hutan 878/Menhut-II/2014
7651/Menhut-VII/KUH/2011
Luas (ha) Umur sawit
NO PERUSAHAAN / KOPERASI / PEMODAL GROUP / MITRA berdasarkan (thn)
analisis citra, HGU APL HPT HP HPK HL APL HP HPT HPK HL
wawancara,
&
1 Agro Abadi Panca Eka 968 968 968 12
2 PT Meskom Agro Sarimas Sarimas 3,868 3,325 542 3,861 7 13
3 PT Torusganda 22,390 - 9,867 12,522 22,390 12
4 PT Riau Agung Karya Abadi 1,013 - 1,013 1,013 11
5 PT Peputra Supra Jaya Peputra Masterindo 10,670 - 4,701 5,969 6,276 3,824 173 397 25
6 PT Arindo Tri Sejahtera First Resources 3,641 493 99 3,050 3,641 24
7 PT Damara Abadi 200 200 200 20
8 PT Jalur Pusaka Sakti Kumala 500 38 462 500 13
9 PT Kampar Palma Utama Panca Eka 500 500 500 10
10 PT Perdana Inti Sawit Perkasa First Resources 3,390 3,390 3,390 9
11 PT Sawit Unggul Prima Plantation 600 600 600 15
12 PT Wasundari Indah 965 965 233 732 10
13 PT Yutani Suadiri 300 300 300 13
14 PT Masuba Citra Mandiri Bumitama Gunajaya Agro 1,702 - 339 1,362 1,702 13
15 PT Kinabalu 772 - 772 772 17
16 PT Percohu Permai 798 - 5 28 765 770 28 16
17 PT Pesawoan Raya 580 - 580 573 7 10
18 PT Sinar Reksa Kencana 689 - 689 689 6
19 PT Bumi Sawit Perkasa 10,643 - 3 6,665 3,976 3,873 3,771 3,000 10
20 PT Sinar Siak Dian Permai Wilmar 1,061 - 1,061 1,061 20
21 PT Surya Agrolika Reksa Adimulya 1,724 428 1,296 1,296 428 20
22 Koperasi Air Kehidupan Aek Natio 439 - 439 439 12
23 PT Wanasari Nusantara/KUD Tupan Tri Bhakti 2,368 - 2,060 308 2,368 25
24 PT Tri Bhakti Sarimas/KUD Prima Sehati Sarimas 5,022 - 5,022 5,022 18
25 PT Ramajaya Pramukti Golden Agri-Resources 2,098 2,098 2,098 22
26 Koperasi Dubalang Jaya Mandiri 246 7 239 246 12
27 PT. Surya Intisari Raya First Resources 206 183 22 183 22 6
28 PT. Kaliagung Perkasa 741 220 521 278 463 20
29 KUD Bumi Asih 737 12 205 521 673 64 18
30 PT. Ciliandra Perkasa First Resources 6,759 3,860 3,249 1,835 1,209 430 36 5,470 1,206 47 36 24
31 PT. Surya Intisari Raya 2 First Resources 1,147 628 659.00 301 32 155 1,115 32 5
32 PT. Indrawan Perkasa 9 9 5 4 8
33 PT. Gunung Mas Raya Indofood 625 625 27 402 196 327 298 23
34 KUD Sakato Jaya Lestari 523 523 417 106 13
35 PT. Sari Lembah Subur - Tampoi Astra 874 104 210 560 665 210 11
36 PT. Johan Sentosa Darmex 7,122 5,764 5,696 16 1,193 217 7,122 22
37 Ucok Pane 180 180 64 117 8
38 S. Pane 316 316 299 16 14
39 PT. Agro Sarimas Indonesia Sarimas 932 932 182 750 17
40 PT. Sari Lembah Subur - Mak Teduh Astra 686 4 682 255 431 8
41 PT. Perkebunan Nasional V Sei Lala PTPN 921 921 921 572 349 16
42 PT. Sumber Sawit Sejahtera 1,948 3,876 4 1,944 1,948 5
43 PT. Sugih Indah Sejati Wira 633 633 23 610 633 23
44 PT. Bintang Riau Sejahtera Borneo Pasific 2,162 2,162 18 2,144 1,535 18 610 8
45 PT. Berlian Mitra Inti 765 765 744 21 20
46 PT. Kosta Palmira 613 247 22 344 592 22 7
47 PT. Budi Murni Panca Jaya 533 533 28 505 533 25
48 PT. Perkebunan Nasional V Sei Parit PTPN 2,748 2,748 1,676 1,072 1,929 819 18
49 PT. Perkebunan Nasional III Sei Meranti PTPN 1,244 1,244 1,244 20
50 PT. Langgam Inti Hibrindo Provident Agro 8,511 8,511 6,333 2,178 7,525 985 20
51 PT. Murini Wood Indah Industries First Resources 7,835 7,835 6,041 6 1,788 7,770 6 58 22
52 PT. Serikat Putera 13,174 13,174 11,659 41 1,474 12,994 41 139 20
53 PT. Perkebunan Nasional V Sei Rokan PTPN 7,979 7,979 7,903 76 7,970 9 20
54 PT. Astra Agro Lestari Astra 3,586 3,586 3,255 61 270 3,522 61 2 22
55 KUD Sawit Jaya 4,402 3,614 788 4,402 18
Total 136,304 81,589 53,133 22,164 25,844 53,881 36 135,749 10,642 320 8,310 36

Dari temuan diatas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus berhati-hati untuk menyetu-
jui perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Karena ada indikasi perubah-
an kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sebagaimana SK Nomor 673/2014 berpotensi mas-
alah hukum dengan indikasi pemutihan.

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


45
Peta 4. Sebaran lokasi temuan Eyes on the Forest dan Jikalahari terhadap hasil kajian dan rekomendasi Tim
Terpadu yang diakomodir di SK 673/2014 dan SK 878/2014

Eyes on the Forest dan Jikalahari dalam laporan terkait perubahan kawasan hutan menjadi bukan
kawasan hutan untuk meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mencabut atau
meninjau ulang Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 673/Menhut-II/2014, Tentang Perubahan Perun-
tukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan seluas 1.638.249 hektar dan Keputusan Ment-
eri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29 September 2014, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi
Riau.

EoF dan Jikalahari juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penindakan terhadap perusahaan sawit yang telah mengembangkan
kebun sawit pada kawasan hutan sebelum diterbitkannya Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/
Menhut-II/2014, 29 September 2014, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi Riau.
Harapan besar adalah meminta Komisi Pemberantasan Korupsi untuk melakukan penyelidikan ter-
hadap Aparatur Negera dan Koorporasi atas dugaan terjadinya tindak pidana korupsi dalam proses
perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 673/Menhut-II/2014, Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan
Hutan seluas 1.638.249 hektar dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 878/Menhut-II/2014, 29
September 2014, Tentang Kawasan Hutan di Provinsi Riau.

6. Apa indikasi motif Pansus Ranperda RTRWP Riau tetap ngotot mengusulkan areal sisa atau selisih/
gap luas areal antara luas hasil kajian dan rekomendasikan Tim Terpadu dengan jumlah luas yang
ditetapkan dalam Keputusan SK.673/Menhut-II/2014 dan Keputusan 878/2014 sekitar 1 juta hektar
atau 405.874 hektar diusulkan sebagai Holding Zone?

Koalisi Eyes on the Forest dan Jikalahari melakukan analisa terhadap lahan yang dipertanyakan legal-
itasnya seluas 405.847 hektar dari total 1.045.390 hektar yang diusulkan sebagai Holding Zone ber-
dasarkan rekomendasi Ombudsman RI No 0002/REK/0361.2015/PBP-41/II/2016 yang sejalan dengan
Intruksi Presiden Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 Tentang Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dari 405.847 hektar, DPRD Riau mengusulkan Holding
Zone peruntukan kawasan perkebunan rakyat seluas 321.717 ha.

Tim Jikalahari dan Eyes on the Forest (EoF) melakukan kajian dan pemantauan lapangan di 17 lokasi
Holding Zone yang diusulkan sebagai perkebunan rakyat, mengumpulkan data dan bukti apakah pada
areal usulan Holding Zone tersebut telah dikuasai masyarakat atau pihak perusahaan atau cukong sawit.
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
46 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Indikasi adanya “motif” dibalik sikap pansus yang bersikukuh mengusulkan Holding Zone seluas
405.847 ha sebagai alternatif penyelesaian RTRWP Riau 2017-2037 kemudian terjawab. Hasil inves-
tigasi EoF dan Jikalahari menunjukkan bahwa dari 40.109 ha Holding Zone yang diinvestigasi seha-
rusnya diperuntukan bagi perkebunan rakyat nyatanya dimiliki oleh 4 perusahaan, 10 pemodal dan 3
kerjasama perusahaan kebun kelapa sawit dengan KUD dalam bentuk Kredit Koperasi Primer Anggota
(KKPA).

Pada Oktober-Desember 2017, Jikalahari dan Eyes on the Forest secara terpisah melakukan pen-
gamatan di lapangan pada areal Holding Zone peruntukan perkebunan rakyat sekitar 321.717 hektar.
Dari pengamatan lapangan, Jikalahari dan Eyes on the Forest menemukan fakta bahwa kebun sawit
tersebut berada di dalam kawasan hutan. Ironisnya lagi, kebun sawit dalam Holding Zone yang seha-
rusnya diperuntukan bagi perkebunan rakyat malah bukan dimiliki oleh rakyat atau masyarakat pada
umumnya melainkan dimiliki oleh perusahaan, pemodal dan kerjasama perusahaan kebun kelapa sawit
dengan KUD dalam bentuk Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

Temuan ini mengindikasikan bahwa DPRD dan Pemerintah Provinsi Riau memberikan kesempatan
dan ruang melegalkan sawit yang sudah dikembangkan dalam kawasan hutan melalui Holding Zone.
Hal ini jelas melanggar beberapa peraturan di Indonesia yang melarang pengembangan kebun sawit di
dalam kawasan hutan, yakni ;
• Undang-undang No. 18/2013 “Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan” Pasal 17, (2) Se-
tiap orang dilarang: b. melakukan kegiatan perkebunan tanpa izin Menteri di dalam kawasan hutan;

• Undang-undang No 41/1999 “Kehutanan” Pasal 50, (3) Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan
atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah; dimana yang dimaksud
dengan mengerjakan kawasan hutan adalah mengolah tanah dalam kawasan hutan tanpa mendapat
izin dari pejabat yang berwenang, antara lain untuk perladangan, untuk pertanian, atau untuk usaha
lainnya.

Peta 5. Peta Sebaran lokasi temuan Eyes on the Forest dan Jikalahari terhadap usulan Holding Zone dalam
Ranperda RTRWP Riau 2017-2023

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


47
Diperkirakan total areal Holding Zone yang teridentifikasi hasil investigasi EoF dan Jikalahari adalah
40.109 hektar yang secara keseluruhan telah ditanami sawit. Fungsi kawasan hutan pada areal yang
diusulkan Holding Zone adalah HPT (Hutan Produksi Terbatas), HP (Hutan Produksi Tetap) dan HPK
(Hutan Produksi dapat dikonversi). Dari 40.109 ha Holding Zone yang di investigasi EoF dan Jikalahari
menemukan ada 4 perusahaan, 10 pemodal dan 3 koperasi kerjasama perusahaan kebun kelapa sawit
dengan KUD dalam bentuk Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).

Tabel 9. Temuan Jikalahari dan Eyes on the Forest terhadap kepemilikan lahan Holding Zone pada Ran-
perda RTRWP Riau 2017-2023.
Tumpang susun kebun sawit pada
Tumpang susun Kawasan Hutan SK
usulan Holding Zone Ranperda
903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2017
Luas Holding Temuan RTRWP Riau 2017-20137 dengan
No pada usulan Holding Zone Ranperda
Zone Kawasan Hutan SK
RTRWP Riau 2017-2037
903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2017
HP HPT HPK HL Pemilikan Luas kebun HP HPT HPK HL
1 9,868 9,868 PT Andika Pratama Sawit Lestari 6,455 6,455
KA 614 614
2 9,979 9,979 PT Torganda - Rantau Kasai 12,190 916 9,840
3 1,903 1,903 PT Pedasa Enam Utama 11,183 39 7,416 549
4 575 575 PT Bina Fitri Jaya 3,130 311 581
5 2,353 2,353 PT Tasma Puja 1,757 91 1,642
6 2,940 2,940 MK 481 481
7 2,564 2,564 ANG 1,856 1,856
8 428 428 YD 428 428
9 1,579 677 902 KUD Sahabat Lestari 1,579 677 902
10 485 485 Koperasi Sentral Tani Makmur Mandiri 686 686
11 3,546 3,546 TM 1,461 1,461
12 990 990 HB 882 828
13 1,537 1,142 395 HA 1,537 1,142 395
14 562 562 HS 254 254
15 206 206 AB 206 206
16 194 194 DP 322 322
17 400 400 AR 50 50
40,109 16,280 6,507 17,322 - 45,071 11,639 4,353 21,602 549

Sumber: Luas berdasarkan analisis citra, wawancara, & pengamatan di lapangan

Dari tabel diatas menjelaskan bahwa Eyes on the Forest dan Jikalajari telah melakukan pemantauan terh-
adap 40.109 ha Holding Zone yang diusulkan dalam Ranperda RTRWP Riau 2017-2037, dimana Holding
Zone jika dioverlay (tumpang susun) dengan Kawasan Hutan Riau sesuai SK Nomor 903/Menlhk/Setjen/
PLA.2/12/2016, berada pada Hutan Produksi Tetap (HP) sekitar 16.280 ha, Hutan Produksi Terbatas 6.507
ha dan sekitar 17.322 ha pada Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK).

Dari 40.109 ha Holding Zone yang disurvey, hasil analisis citra 2015, wawancara dan pengamatan di
lapangan, luas kebun yang teridentifikasi pada Holding Zone yang diusulkan dalam Ranperda RTRWP Riau
2017-2037 maupun di luar Holding Zone mencapai 45.071 ha. Artinya ditemukan kebun sawit melebihi ar-
eal Holding Zone yang diusulkan. Misalnya PT Torganda Kebun Rantau Kasai, Holding Zone yang diusul-
kan hanya 9.979 ha, namun berdasarkan hasil analisis citra 2015, wawancara dan pengamatan di lapangan
luas PT Torganda kebun Rantau Kasai mencapai 12.190 ha.

Jika dioverlay (tumpang susun) kebun sawit dalam Holding Zone maupun di luar Holding Zone dengan Ka-
wasan Hutan Riau sesuai SK Nomor 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016, maka kebun sawit yang teriden-
tifikasi berada pada Hutan Produksi Tetap (HP) sekitar 11.639 ha, Hutan Produksi Terbatas 4.353 ha dan
sekitar 21.602 ha pada Hutan Produksi dapat dikonversi (HPK) dan Hutan Lindung 549 ha.

Berikut penjelasan 2 perusahaan dan pengusaha kebun sawit yang arealnya berada dalam usulan Holding
Zone pada Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Riau 2017-2037.

a. PT ANDIKA PRATAMA SAWIT LESTARI dan Lahan Milik KA

Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Riau
2017-2037, Pemerintah Provinsi Riau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau mengusulkan
Holding Zone peruntukan perkebunan rakyat seluas 321.717 ha, dimana 9.868 ha diantaranya berada di
wilayah administrasi Desa Bonai Kecamatan Bonai Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu.

Hasil investigasi Jikalahari dan Eyes on the Forest Oktober 2017 pada kawasan usulan Holding Zone
tersebut, ditemukan kebun kelapa sawit yang diperkirakan berumur lebih kurang 7 tahun milik KA
seluas 614 ha dan PT Andika Pratama Sawit Lestari seluas 6.455 ha (total 7.069 ha). Beberapa titik

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
48 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
koordinat lokasi kebun sawit milik KA dan PT Andika Pratama Sawit Lestari adalah; N1°19’47.82”
E100°48’24.39”, N1°18’46.22” E100°48’56.85”, N1°17’19.30” E100°49’35.74”.

Kawasan Hutan Riau sesuai SK Nomor 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016, jika dioverlay atau tump-
ang susun dengan usulan Holding Zone RTRWP Riau 2017-2037 dan perkebunan milik KA serta PT
Andika Pratama Sawit Lestari menunjukan bahwa Holding Zone dan kebun sawit milik KA serta kebun
PT Andika Pratama Sawit Lestari berada pada Kawasan Hutan Produksi yang berfungsi sebagai Hutan
Produksi Tetap.

Hasil investigasi dan analisis pemetaan oleh EoF menunjukan indikasi bahwa usulan Holding Zone
oleh Pemerintah Provinsi Riau dan DPRD Riau dalam Ranperda RTRWP Riau 2017-2037, Holding
Zone peruntukan perkebunan rakyat ternyata diindikasikan untuk kepentingan atau peruntukan bagi
perusahaan sawit PT Andika Pratama Sawit Lestari dan pemodal KA yang telah mengembangkan sawit
dalam kawasan hutan.

Peta 6. Temuan Jikalahari dan EoF (foto 1-5) menunjukan kebun sawit yang berumur lebih kurang 7 tahun
milik KA seluas 614 ha dan PT Andika Pratama Sawit Lestari seluas 6.455 ha (total 7.069 ha) dari 9.868
ha yang diusulkan sebagai Holding Zone peruntukan perkebunan rakyat di Desa Bonai Kecamatan Bonai
Darussalam, Kabupaten Rokan Hulu.

b. PT TORGANDA - RANTAU KASAI

Berdasarkan Ranperda RTRWP Riau 2017-2037, PT Torganda kebun Rantau Kasai seluas 9.979 hektar
di wilayah administrasi Desa Rantau Kasai, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu diindikasi
kuat merupakan bagian usulan Hoding Zone peruntukan perkebunan rakyat seluas 321.717 hektar.

Investigasi Jikalahari dan Eyes on the Forest Oktober 2017 pada usulan Holding Zone di wilayah ad-
ministrasi Desa Rantau Kasai, Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu, ditemukan kebun kelapa
sawit yang diperkirakan berusia lebih kurang 20 tahun milik PT Torganda Rantau Kasai dan memiliki
luas berdasarkan analisis citra landsat seluas 12.190 ha. Dari total kebun PT Torganda kebun Rantau
Kasai terdapat 9.979 hektar merupakan usulan Holding Zone. Beberapa titik koordinat lokasi PT Tor-
ganda kebun Rantau Kasai yang teridentifikasi adalah; N1°15’32.91” E100°14’34.18”, N1°15’34.45”
E100°16’8.01”, N1°16’6.22” E100°17’46.18”, N1°16’41.80” E100°19’59.30”, N1°19’16.55”
E100°24’18.01”, N1°14’35.45” E100°20’33.93”.

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


49
Analisis tumpang susun kebun sawit PT Torganda kebun Rantau Kasai dan usulan Holding Zone den-
gan Kawasan Hutan Riau sesuai SK Nomor 903/Menlhk/Setjen/PLA.2/12/2016 menunjukkan bahwa
usulan Holding Zone RTRWP Riau 2017-2037 dan perkebunan PT Torganda Rantau Kasai berada pada
HPK seluas 9.979 ha dan HPT 916 ha.

Hasil investigasi dan pemetaan oleh EoF menunjukan bahwa Holding Zone yang dialokasikan sebagai
perkebunan rakyat ternyata diindikasikan untuk kepentingan bagi perusahaan PT Torganda kebun Ran-
tau Kasai yang telah mengembangkan kebun sawit dalam kawasan hutan.

Peta 7. Temuan Jikalahari dan EoF (foto 1-6) menunjukan kebun sawit yang berumur lebih kurang 20 tahun
milik PT Torganda Rantau Kasai seluas 12.190 ha dari 9.979 ha yang diusulkan sebagai Holding Zone pe-
runtukan perkebunan rakyat di Desa Desa Rantau Kasai Kecamatan Tambusai, Kabupaten Rokan Hulu.

B. Analisis Isi Ranperda

1. Isi dan Lingkup Pengaturan Perda RTRWP Riau 2017 – 2037

Peraturan Daerah Provinsi Riau No. 10 tahun 1994, sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal
49 ayat 2 mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 1995. Mengacu kepada norma yang terkandung dalam
Pasal 8 Perda tersebut, maka RTRWP Riau yang diatur dalam Perda itu berlaku dari tanggal 30 Agustus
1995 sampai dengan 29 Agustus 2010 (15 tahun).

Gubernur Riau pernah menyiapkan ranperda pengganti pada tahun 2009, yang akan menggantikan Per-
da No. 10 ini, akan tetapi tidak jelas kenapa tidak jadi diundangkan. Apakah memang tidak pernah di-
bahas dengan DPRD, atau pernah dibahas tetapi tidak mendapatkan persetujuan bersama, atau memang
tidak pernah diajukan ke DPRD untuk dibahas. Perlu juga ditelusuri ada apa dengan ranperda tersebut.

Yang terjadi kemudian, Gubernur Riau menyampaikan draft Ranperda Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi Riau 2016-2035 pada 15 Agustus 2016 kepada DPRD Provinsi Riau. Dilihat dari
isinya Perda ini terdiri dari bab, bagian dan pasal sebagaimana termuat dalam tabel 10 berikut:

Tabel 10: Gambaran Isi Perda RTRWP Riau 2017 – 2037.

NO BAB BAGIAN PARAGRAF PASAL KETERANGAN


1 Bab I - -
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
50 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
2 Bab II 2 bagian - 2 pasal Lingkup & muatan
3 Bab III 3 bagian - 3 pasal Tujuan, Kebijakan & strate-
gi
4 Bab IV 4 bagian Bag 1 1 pasal Umum
Bag 2 1 pasal Pusat-Pusat Kegiatan
(Rencana
Struktur Bag 3: 3 prgfr 4 pasal Sistem Jaringan Prasarana
Ruang) Utama
Bag 4: 4 prgrf 10 pasal Sistem Jaringan Prasarana
lain
5 Bab V 4 bagian Bag 1 1 pasal Umum
Bag 2: 5 prgrf 6 pasal Kawasan Lindung
(Rencana
Pola Ru- Bag 3: 9 prgrf 10 pasal Kawasan Budidaya
ang) Bag 4: 1 pasal (40) Holding Zone
6 Bab VI - - 2 pasal Kawasan Strategis
7 Bab VII 3 bagian - 7 pasal Arahan Pemanfaatan
8 Bab VIII 2 bagian Bag 1: - 2 pasal Arahan Pengendalian
Bag 2: 6 prgrf 12 pasal
9 Bab IX 4 bagian - 8 pasal Hak, Kewajiban dll
10 Bab X - - 1 pasal (72) Ketentuan Penyidikan
11 Bab XI - - 1 pasal (73) Ketentuan Pidana
12 Bab XII - - 2 pasal (75, 75) Ketentuan lain-lain
13 Bab XIII - - 1 pasal (76) Ketentuan Peralihan
14 Bab XIV - - 2 pasal (77, 78) Ketentuan Penutup
Sumber: Data Olahan, 2017.

Setelah dibahas selama kurang lebih setahun, Ranperda RTRWP Riau (2017-2037), akhirnya disetujui
pada tanggal 21 September 2017. Yang menarik dari perda ini, khususnya pada bab yang mengatur
Rencana Pola Ruang, ada kemiripan dan persamaan yang begitu banyak dengan Perda RTRWP Jambi
2013 – 2033 (Perda No. 10 tahun 2013).

Bab ini bisa dikatakan terkait substansi pokok setiap perda RTRWP. Berikut beberapa perbedaan dan
persamaan antara Rencana Pola Ruang dalam Perda RTRWP Riau 2017 – 2037 dengan Perda RTRWP
Jambi 2013 – 2033) sebagaimana terlihat pada tabel 11 dibawah ini.

Tabel 11: Persamaan/Perbedaan Bab Rencana Pola Ruang antara RTRWP Riau dan RTRWP Jambi.

BAGIAN POLA RUANG RTRWP RIAU POLA RUANG RTRWP JAMBI


Pengaturan Dimuat pada bab 5 Dimuat pada bab 4
Pasal Dimulai pasal 23 s/d Pasal 40 Dimulai dari Pasal 23 s/d Pasal 38
Jumlah Pasal 18 pasal 16 Pasal
Pasal 24 Kawasan Lindung Kawasan Lindung
Pasal 25 Kawasan Hutan Lindung Kawasan Hutan Lindung
Pasal 26 Kawasan Yang Memberikan Perlindun- Kawasan Yang Memberikan Perlind-
gan Terhadap Kawasan Bawahannya ungan Terhadap Kawasan Bawahan-
nya
Pasal 27 Kawasan Perlindungan Setempat Kawasan Perlindungan Setempat
Pasal 28 Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Kawasan Suaka Alam, Pelestarian
Alam dan Cagar Budaya dan Ilmu Alam dan Cagar Budaya
Pengetahuan
Pasal 29 Kawasan Rawan Bencana Alam Kawasan Rawan Bencana Alam

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


51
Pasal 30 Kawasan Budi Daya Kawasan Budi Daya
Pasal 32 Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat Kawasan Peruntukan Pertanian
Pasal 33 Kawasan Peruntukan Pertanian Kawasan Peruntukan Perikanan
Pasal Holding Zone -
40
Sumber: Data Olahan, 2017.

Dari tabel diatas terlihat bahwa isi bab yang mengatur tentang Rencana Pola Ruang di RTRWP Riau
2017 – 2037 memiliki kesamaan yang besar dengan Bab 4 Perda RTRWP Jambi 2013 – 2033. Perbe-
daannya hanya menyangkut 2 materi, yaitu terkait Kawasan Peruntukan Hutan Rakyat dan Holding
Zone, yang tidak dijumpai pengaturannya dalam Perda RTRWP Jambi.

Selebihnya mengatur hal yang sama dengan tata letak yang sedikit berbeda, seperti Kawasan Peruntu-
kan Pertanian pada Perda RTRWP Jambi termuat dalam Pasal 32, sedangkan pada Perda RTRWP Riau
tercantum dalam Pasal 33, begitu seterusnya sampai pasal terakhir dari bab yang mengatur tentang
Rencana Pola Ruang tersebut.

Kemiripan lain dari Perda RTRWP Riau dengan Perda RTRWP Jambi adalah tidak adanya pencantu-
man angka di dalam pasal-pasalnya selain angka luas wilayah provinsi (darat dan laut). Agak merepot-
kan bagi orang yang membacanya ketika angka tersebut hanya muncul dalam lampiran. Sejumlah Perda
RTRWP di beberapa Provinsi memuat angka pada setiap item pola ruang yang ada sebagaimana terlihat
beberapa contohnya pada tabel 12 dibawah ini.

Tabel 12: Pencantuman angka luasan (Ha) dalam Pasal Perda RTRWP

PERUNTUKAN JAMBI KALSEL KALTIM KALTENG


Hutan Lindung - 521.316 ha (56) 1.844.969 (23) ±1.391.604 (27)
Kawasan Suaka - 92.003 (60) 591.690 (26) ±1.604.957 (27)
Alam

Hutan Produksi/ - 1.004.004 (73) 6.055.793 (29) ±3.335.571 (28)


Terbatas
Peruntukan Perin- - 16.710 (80) 16.710 (29) -
dustrian
Sumber: Data Olahan, 2017.
Entah kebetulan atau tidak, provinsi yang ada di Pulau Kalimantan cenderung membuat perda yang leb-
ih rinci dan detail sebagaimana terlihat contohnya pada tabel diatas. Bahkan Perda RTRWP Kalimantan
Selatan, mencantumkan luas areal yang di enclave (holding) pada setiap perubahan/panetapan tata ru-
ang di Provinsi tersebut. Seperti tertera dalam Pasal 56, yang mengatur Kawasan Hutang Lindung pada
ayat (1) nya menetapkan: Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a seluas
kurang lebih 521.316 hektar meliputi:

a. kawasan hutan lindung Pegunungan Meratus yang membujur dari utara sampai ke selatan dan
sebagian wilayah barat dan timur dari wilayah Daerah.

b. tersebar di Kabupaten Balangan, Banjar, Banjarbaru, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah,
Kotabaru, Tabalong, Tanah Bumbu, Tanah Laut dan Tapin.

Di dalam kawasan hutan lindung tersebut di enclave sejumlah areal dengan fungsi non hutan lindung
sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 13: Fungsi Non Hutan Lindung di Dalam Kawasan Hutan Lindung

JENIS KAWASAN LUAS TEMPAT/POSISI KETR


Kawasan Gambut 882 Ha Kab. Banjar HL/Gambut
Kawasan Perikanan 68 Ha Kab. Tanah Laut HL/In

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
52 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Kawasan Industri 87 Ha Kab. Tanah Laut HL/Ki
Kawasan Peruntukan 875 Ha Kab. Balangan, Banjar, HSS, Ko- HL/KPL
Lain tabaru, Tanah Bumbu, Tanah Laut,
dan Tapin.
Kawasan Pemukiman 4.556 Ha Kab. Balangan, Banjar, Banjar Baru, HL/MKM
HSS, HST, Kotabaru, Tanah Bumbu,
dan Tapin.
Kawasan Pertanian Lah- 691 Ha Kab. Tabalong dan Tanah Laut HL/Plb
an basah
Kawasan Pertanian Lah- 1.335 Ha Kab. Tanah Laut HL/Plk
an Kering
Kawasan Tanaman 19.440 Ha Kab. Balangan, Banjar, HSS, HST, HL/TT
Tahunan Kotabaru, Tabalong, Tanah Bum-
bu, Tanah Laut, dan Tapin
Sumber: Perda Provinsi Kalimantan Selatan No. 9 Tahun 2015

Dari tabel 13 diatas terlihat kawasan-kawasan non hutan lindung yang berada dalam Kawasan Hutan
Lindung, yang oleh ayat (3) Pasal 56 tersebut ditegaskan: “Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan
hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Dari tabel itu kelihatan dengan jelas tentang luas, posisi keberadaan serta status
sementara sebelum dikukuhkan peruntukannya.

Comparative analysis, khususnya terkait jumlah bab, pasal serta tanggal penetapannya memperlihatkan
bahwa Perda RTRWP Riau, memiliki pasal yang paling sedikit dengan jumlah bab yang sama dengan
sejumlah provinsi. Dari tanggal penetapan jelas Perda Provinsi Riau yang paling belakangan dibentuk
dibandingkan dengan Perda yang sama di Provinsi lain sebagaimana terlihat pada tabel 14.

Tabel 14: Perbandingan Jumlah Bab, Pasal dan Tahun Penetapan Perda RTRWP di sejumlah Provinsi

PROVINSI (NO) BAB PASAL DITETAPKAN PERDA SEBELUMNYA BERAKHIR


(BARU) (LAMA)
Kalimantan Tengah 14 92 03. 08. 2015 No. 8 Tahun 2003 2018
(No. 5 tahun 2015)
Kalimantan Selatan 17 165 20. 10. 2015 No. 9 Tahun 2000 2015
(No. 9 tahun 2015)
Kalimantan Timur 14 80 15. 02. 2016 No. 12 Tahun 1993 2008
(No. 1 tahun 2016)
Jambi (No. 10 tahun 15 96 02. 07. 2013 No. 9 Tahun 1993 2008
2013)
Sumatera Barat (No. 14 117 27. 11. 2012 No.13 Tahun 1994 2009
13 tahun 2012)
Riau (Belum Ditetap- 14 78 - No. 10 Tahun 1994 2009
kan)
D.K.I Jakarta 20 253 12. 01. 2012 No. 6 Tahun 1999 2010
Sumber: Data Olahan, 2017.

Dari tabel diatas dapat dibaca, dari 7 Perda yang dijadikan sampel, 4 Provinsi menuangkan pasal-pasal
dalam Perda RTRWP nya ke dalam 14 bab. Provinsi dengan bab yang terbanyak adalah DKI Jakarta.
Sementara dilihat dari pasal, maka kembali Provinsi DKI yang terbanyak, diikuti oleh Provinsi Kali-
mantan Selatan.

Dari apa yang telah dielaborasi diatas, dapat diambil beberapa poin penting sebagai berikut:

a) Pemerintah Provinsi Riau (Gubernur dan DPRD) bisa dikategorikan lalai dalam merespon dan ti-
dak mematuhi UU Penataan Ruang (No. 26 tahun 2007), UU Penyelenggaraan Negara yang Bersih
BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP
53
dan Bebas dari KKN (No. 28 tahun 2009), UU Keterbukaan Informasi Publik (No. 14 tahun 2008)
serta abai dengan fakta bahwa Perda No. 10 tahun 1994 sudah akan berakhir masa berlakunya pada
tahun 2009.

b) Proses pembentukan Perda RTRWP pengganti Perda No. 10 tahun 1994, terkesan tertutup dan pada
banyak asfek tidak sejalan dengan ketentuan yang termuat dalam UU tentang Pembentukan Pera-
turan Perundang-undangan, yaitu UU No. 10 tahun 2004 yang kemudian diganti dengan UU No. 12
tahun 2011. Ketidaksesuaian ini mencakup penyusunan Naskah Akademik dan tahapan pembaha-
sannya di DPRD.

c) Dilihat dari komparasi kuantitatif, Perda RTRWP Riau memiliki jumlah pasal paling sedikit (paling
tidak dari sampel yang ada), yaitu hanya 78 pasal. Sementara dari sisi redaksional, Perda tersebut
paling miskin dengan tampilan angka, dengan menempatkan data angka tersebut hampir semuanya
pada lampiran.

d) Bab 5 Perda RTRWP Riau 2017 – 2037 yang mengatur tentang Rencana Pola Ruang sepertinya
hanya meniru/menyadur bab 4 Perda RTRWP Jambi 2013 – 2033 tentang pokok yang sama. Dua
pasal tambahan yang menjadi pembeda di dalam bab 5 Perda RTRWP Riau adalah terkait Kawasan
Peruntukan Hutan Rakyat (Pasal 32) dan Holding Zone di Pasal 40.

e) Pasti tampil sebagai sebuah keanehan/keganjilan, perda yang dibuat lebih terkemudian seharusnya
lebih baik, lebih lengkap dan lebih sempurna dari perda-perda yang ada sebelumnya. Akan tetapi
ternyata tidak demikian dengan Perda RTRWP Riau, bisa dikatakan sebaliknya, justru Perda itu
yang paling buruk dari perda-perda yang mengatur tentang tata ruang tersebut.

f) Dari simpulan poin a) dan b) diatas, Gubernur Riau Periode 2003 – 2013 telah melanggar sumpah/
janji sebagaimana diatur dalam Pasal 110 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004.62 Pelanggaran terhadap
sumpah/janji ini merupakan bentuk pelanggaran berat, karena itu dijadikan salah satu alasan untuk
memberhentikan seorang kepala daerah (d.h.i., Gubernur) sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat
2 huruf d UU No. 32 tahun 2004.63

2. Substansi Ranperda Tidak Menjadi Solusi atas Berbagai Isu Pokok yang Dinyatakan Dalam Naskah
Akademiknya

Persoalan Provinsi Riau, berdasarkan Naskah Akademik RTRW ini, yaitu: alih fungs lahan, kebakaran
hutan, pencemaran badan sungai dan pesisir, peran ekonomi dari migas menurun, lahan pertanian
98% dari 3,8 juta ha lahan kering, sawah 276.533 Ha, rendahnya infrastruktur pertanian, kesejahteraan
rendah, tambang, bencana alam, lahan kritis, konflik pemanfaatan ruang, konflik penguasan dan status
lahan.

Apabila dijabarkan lebih lanjut, persoalan tata ruang provinsi Riau adalah:

a. Terdapat okupasi kawasan hutan, misalnya di Taman Nasional Tesso Nilo yaitu di dusun Toro
Makmur, Toro Jaya, Kuala Onang dan Mandiri Indah Desa Lubuk Kembang Bunga, Pelalawan.
Dusun-dusun itu dibangun oleh perambah terorganisir yang membangun pemukiman dan kebun
sawit dalam kawasan hutan seluas 17.583,68 Ha dan ditempati sekitar 2.500 KK (TNTN, 2013).

b. Di wilayah ekosistem TNTN ditemukan 64 lokasi kebun sawit di eks HPH PT HSL, 36 lokasi
kebun sawit di eks PT SRT dan 150 lokasi kebun sawit di TNTN. Menghindari cukong-cukong
menguasai lahan, tim RETN mendorong mekanisme PS dengan hutan desa di areal RETN.

c. Di dalam wilayah kerja HTI juga dapat ditemukan pemukiman (salah satunya pemukiman tua),
fasos dan fasum yang selama ini tidak pernah mendapat pelayanan untuk mendapatkan legailt-
asnya. Data Jikalahari seluas 2.029.585 Ha dari 2.340.815 Ha hutan produksi tetap telah dikuasai
korporasi HTI. Padahal konsesi HTI itu tumpang tindih dengan hutan tanah milik masyarakat.
Demikian pula beberapa perusahaan di HPH dengan luasan 290.681,85 Ha juga tumpang tindih
dengan lahan masyarakat.

d. Dalam Ranperda RTRWP Riau, perihal kawasan hutan negara merujuk SK 903/MenLHK/SetjeP-
la.2/12/2016. Berdasarkan SK tersebut, SK.673/Menhut-II/2014, SK 878 SK 878/Menhut-II/2014,

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
54 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK.393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016, masih
berlaku dan dijadikan rujukan menyusun RTRWP Riau. Padahal diketahui bahwa substansi
SK-SK tersebut “memutihkan” 26 korporasi sawit pada SK 878/Menhut-II/2014.64 Terdapat 7
korporasi sawit diputihkan pada SK 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 yaitu: 1. PT Tesso
Indah, 2. PT Agrita Sari Prima, 3. PT Bumi Palma Lestari, 4. PT Guntung Hasrat Makmur, 5. PT
Ivo Mas Tunggal, 6. Dumai Indah Perkasa, 7. PT Karya Bakti Mulya65.

e. Pansus DPRD Provinsi Riau melakukan monitoting dan evaluasi perizinan usaha kehutanan,
perkebunan dan pertambangan tahun 2015 menemukan 104 perusahaan ‘diputihkan’ oleh SK 878/
Menhut-II/201466.

Berbagai isu pokok tidak digunakan sebagai acuan Raperda. Hal mendasar: hilangnya kawasan lindung
gambut (KLG), kecilnya ruang hidup masyarakat adat dan lokal dan tumpang tindih sawit di kawasan
hutan dan lokasi izin dengan pemukiman, fasos, fasum dan lahan garapan, menjadi bukti pernyataan
tersebut. Hal itu sangat berpotensi merugikan Provinsi Riau dalam jangka panjang, berupa hilangnya
nilai-nilai ekologis, kebudayaan, maupun kesenjangan sosial-ekonomi.

Selain tidak menjawab substansi persoalan di Provinsi Riau yang terkandung dalam naskah akademik,
pasal – pasal dalam Ranperda juga tidak menjadi prasyarat untuk mencapai tujuan penataan ruang. Selain
itu, strategi penataan ruang dalam Ranperda juga tidak menyebutkan mekanisme dan instrumen pelaksa-
naan pendekatan litigasi dan non litigasi tersebut.

Analisis pasal per pasal dari Ranperda RTRWP Riau diantaranya: dalam kebijakan penataan ruang (Pasal
5), tidak disentuh prasyarat bagaimana tujuan penataan ruang (Pasal 4) dapat dicapai. Provinsi Riau akan
berlanjut pada kondisi saat ini apabila berbagai klaim dan konflik sosial tidak diselesaikan terlebih dahulu.
Kebijakan dengan menggunakan pendekatan litigasi maupun non-litigasi semestinya ditegaskan dalam
Raperda ini.

Demikian pula pada strategi penataan ruang (Pasal 6) tidak disebutkan mekanisme dan instrumen pelak-
sanaan pendekatan litigasi dan non-litigasi tersebut. Instrumen yang dimaksud dapat menggunakan
pendekatan-pendekatan PP No 38/2017 tentang Inovasi Daerah, PP No 46/2017 tentang Instrumen
Ekonomi Lingkungan Hidup, PerPres No 88/2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah di dalam Ka-
wasan Hutan.

Dalam Pasal 23 mengenai Rencana Pola Ruang, disebutkan bahwa dasar acuan yang digunakan adalah
Peta skala 1:250.000 yang dilampirkan, termasuk kawasan Holding Zone. Penetapan ini tidak cukup jelas,
karena peta yang ditunjukkan tidak disertai dengan kondisi penggunaan hutan/lahan saat ini (existing land
use). Masalah-masalah tumpeng tindih di atas tidak terlihat. Padahal fakta lapangan itu adalah bagian
penting yang harus diselesaikan. Demikian pula, penetapan Holding Zone pada Pasal 40 juga tidak cukup
jelas kriteria yang digunakan.

Arahan pemanfaatan ruang wilayah Provinsi dalam Pasal 43 yang dirinci dalam Lampiran VIII tidak
dicantumkan penyelesaian masalah klaim, konflik maupun pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan ter-
utama oleh perusahaan kelapa sawit. Maka, sebagai konsekuensinya, pada bagian perwujudan pola ruang
Pasal 46 sampai dengan Pasal 48 hanya dinyatakan secara normatif saja.

Dalam penetapan indikasi arahan peraturan zonasi pola ruang, Pasal 57 sampai dengan Pasal 59, hal-hal
yang terkait dengan penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah dalam kawasan hutan dinyatakan ber-
dasarkan peraturan-perundangan. Hal ini secara nyata sudah tidak dapat dikerjakan. Diperlukan inovasi
penyelesaian persoalan ini, misalnya dengan mengetengahkan proses inventarisasi dan pemetaan sosial,
verifikasi, penetapan opsi-opsi penyelesaian, termasuk adanya program perhutanan sosial dan reforma
agraria serta pengembangan ekonomi dan infrastrukturnya berbasis masyarakat.

Ketentuan mengenai enclave pada Pasal 74 seharusnya dijalankan dengan memperhatikan fungsi kawasan
hutan, terutama bagi hutan lindung dan hutan konservasi. Selain itu, diperlukan verifikasi atas penguasaan
existing kawasan hutan untuk menentukan kelayakan penetapan enclave tersebut, seperti pada butir 6 e.

Untuk izin usaha pemanfaatan ruang yang tidak memiliki legalitas dan/atau legalitas yang diperoleh
melalui proses yang bertentangan dengan peraturan-perundangan, dapat diselesaikan melalui prosedur
litigasi atau non-litigasi. Ketentuan ini perlu ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga dan/atau Pemerintah
daerah sesuai kewenangannya.

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


55
Perda RTRWP Riau pada akhirnya harus dapat menjadi solusi atas masalah-masalah yang telah diuraikan
sebelumnya. Untuk itu, terkait dengan opsi-opsi penyelesaian pelanggaran ruang maupun status dan fung-
si kawasan hutan, diperlukan telaah mendalam jalan keluar yang akan diambil. Pada Tabel disediakan
pemikiran awal mengenai opsi-opsi penyelesaian tersebut.

Dalam tabel tersebut, penguasaan hutan/lahan oleh masyarakat yang tidak bermasalah, tidak dimasukkan.
Penguasaan masyarakat yang bermasalah apabila:

• penguasaan itu terdapat di dalam lokasi perkebunan korporasi, HTI atau HPH atau izin usaha
lainnya.

• inventarisasi untuk memastikan lokasi-lokasi itu secara defacto dikuasai masyarakat dan bukan
oleh pemodal besar yang mengatas-namakan masyarakat, sangat diperlukan.

Bentuk-bentuk penyelesaian yang berupa litigasi, non litigasi, perhutanan sosial, reforma agraria, reset-
tlement, tukar menukar kawasan hutan seharusnya diketahui berapa luas masing-masing opsi tersebut dan
dimana lokasinya.

Perlu dipertimbangkan adanya lembaga tersendiri dengan kapasitas yang cukup untuk menjalankannya
serta lama waktu yang seharusnya diperlukan.

Tabel 15. Opsi Penyelesaian Pelanggaran Ruang dan Status maupun Fungsi Hutan di Provinsi Riau

3. Penetapan Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 Bertentangan dengan Aturan yang Lebih Tinggi,
Putusan Mahkamah Konstitusi dan Kebijakan Pemerintah Terbaru

a. Peraturan yang menjadi dasar Holding Zone Bertentangan dengan Aturan Lebih Tinggi

i. Peraturan yang menjadi dasar Holding Zone Bertentangan dengan UU 12/2011 Tentang Pemben-
tukan Peraturan Perundang-undangan.

Hasil parpurna DPRD Provinsi Riau menyetujui 9.012.876 ha pola ruang kawasan lindung dan
budidaya di Riau: Kawasan Lindung 945.532 ha dan budidaya 8.067.344 ha. Total 405.847 ha dari
9.012.876 ha diperuntukkan sebagai Holding Zone.

Pada pasal 23 ayat 3 dan pasal 40 Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 menjelaskan tentang Hold-
ing Zone.

Holding Zone dipilih oleh DPRD Provinsi Riau berdasarkan rekomendasi Ombudsman RI No 0002/
REK/0361.2015/PBP-41/II/2016, Keputusan MenLHK SK.903/MenLHK/Setjen/PLA.2/12/2016
dan Instruksi Presiden RI No 8 Tahun 2013 Tentang Penyelesaian Penyusunan Tata Ruang Wilayah
Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Pada 16 Februari, Ombudsman merekomendasika salah satunya Pemerintah Provinsi Riau agar
melakukan percepatan pembentukan RTRWP Provinsi Riau, dengan menetapkan selisih (gap) luas
areal antara luas yang direkomendasikan Tim Terpadu dengan jumlah luas yang ditetapkan dalam
SK 673 dan 878 sebagai Holding Zone dalam Perda RTRWP Provinsi Riau, sebelum terbitnya SK
Pengganti SK Menteri Kehutanan tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
56 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Holding Zone yang merujuk pada Instruksi Presiden RI No 8 Tahun 2013 Tentang Penyelesaian
Penyusunan Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota dan rekomendasi Ombudsman RI
bertentangan dengan UU No 12/2011, yaitu sebagai berikut:

Pasal 7 ayat 1: Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas a. UUD 1945; b. Tap
MPR; c. UU/ Perpu; d. PP; E. Perpres; f. Perda Provinsi; g. Perda Kab/Kota.

Pasal 7 Ayat 2: Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki se-
bagaimana dimaksud dalam ayat 1.

Pasal 8 ayat 1: Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 ayat 1 mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI,
Menteri, Badan, lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah
atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kab/Kota, Bupati/ Walikota, Kades atau yang
setingkat.

Pasal 8 ayat 2: Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui keberadaan-


nya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perun-
dang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Holding Zone tidak termasuk dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dan tidak
diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
ii. Peraturan yang menjadi dasar Holding Zone Bertentangan dengan Undang – undang Penataan
Ruang

Holding Zone juga bertentangan dengan Permen PU Nomor 15/PRT/M/2009 Tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi memuat ketentuan mengenai muatan, pedoman dan tata cara peny-
usunan RTRWP. Pedoman penyusunan RTRWP Riau dimaksud sebagai acuan dalam kegiatan
penyusunan RTRWP oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan para pemangku kepentingan lainnya
(Pasal 2).

Ruang lingkup peraturan menteri ini memuat ketentuan teknis muatan RTRWP serta proses dan
prosedur penyusunan RTRWP (Pasal 4). Materi muatan tentang pedoman penyusunan RTRWP
dimuat secara lengkap dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan
menteri ini (Pasal 5).

Pada halaman 22 lampiran, kawasan budidaya terdiri atas kawasan peruntukan hutan pro-
duksi, kawasan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perke-
bunan, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan pe-
runtukan industri, kawasan peruntukan pariwisata dan kawasan perntutukan pemukiman.

Dalam lampiran tersebut tidak ditemukan pasal terkait Holding Zone. Permen PU terbit merujuk
pada Pasal 18 Ayat 3 UU 26/2007 Tentang Penataan Ruang: Ketentuan mengenai muatan, pe-
doman, dan tata cara penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dan penyusunan rencana tata ruang wilayah kab/kota sebagaimana dimaksud pada ayat 2
diatur dengan peraturan Menteri. Artinya Holding Zone bertentangan dengan Pasal 18 ayat 3 UU
Penataan Ruang dan Permen PU 15.

iii. Peraturan yang menjadi dasar Holding Zone Bertentangan dengan UU Kehutanan

Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan juga tidak mengenal istilah Holding Zone.
PP 104/2015 tentang perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Mekanisme perubahan
menurut PP (lihat bab III) untuk RTRWP menggunakan skala provinsi. Usulan perubahan peruntu-
kannya berasal dari gubernur, lalu menteri membentuk tim terpadu (bila berpotensi menimbulkan
dampak atau risiko lingkungan, gubernur wajib menyampaikan kajian lingkungan hidup strategis
kepada menteri melalui tim terpadu), terakhir menteri menyetujui atau menolak usulan gubernur.
Jika menyetujui, menteri menerbitkan SK perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Lantas
SK perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan tersebut diintegrasikan ke dalam Perda RTR-
WP. Holding Zone bertentangan dengan PP 104 dan UU 41/1999.

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


57
b. SK Kawasan Hutan Riau Bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 untuk kawasan hutan (tersebar di pola ruang budidaya dan
lindung) merujuk pada SK No 673/MENHUT-II/2014, SK 878/MENHUT-II/2014, SK 314/MEN-
LHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK 393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 dan SK No 903/
MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016. Menurut SK 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 luasan
kawasan hutan di Riau sekitar 5.406.992 ha.

Penerbitan Surat Keputusan No 673/MENHUT-II/2014 dan SK 878/MENHUT-II/2014 yang dit-


erbitkan oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tidak mempertimbangkan hasil kajian KPK pada
2010, putusan MK nomor 45/PUU-IX/2011 dan putusan MK Nomor 35/PUU-IX/2012.

Pada 2010, Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK telah melakukan kajian berjudul Titik
Korupsi dalam Lemahnya Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan menemukan lemahnya regulasi
dalam pengaturan kawasan hutan baik dari prosedur penunjukkan hingga penentuan mengakibatkan
kerentanan korupsi dalam pengelolaan kawasan hutan.

Dari hasil kajian, disimpulkan KPK menemukan lemahnya pengaturan sektor kehutanan tercermin
dari lemahnya kemampuan pemerintah untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang dia-
manatkan UU 41/1999 sebagai dasar hukum untuk mengelola kawasan hutan. Terdapat 6 peraturan
pelaksanaan yang sampai saat ini belum terbit sebagaimana mandat UU 41/1999. Hampir setengah
dari peraturan pelaksanaan yang dimandatkan oleh Undang-Undang baru diterbitkan setelah sepu-
luh tahun berlakunya UU 41/1999.67
Tidak sinkronnya peraturan secara vertikal dalam hal definisi kawasan hutan, prosedur penunjukan
kawasan hutan, maupun secara horizontal dalam hal kewenangan penentuan kawasan hutan ber-
dampak kepada lemahnya kepastian hukum kawasan hutan. Lemahnya regulasi dalam pengaturan
kehutanan, mengakibatkan kerentanan korupsi (prone to corrupt) dalam pengelolaan kawasan
hutan.

Dalam kajian tersebut juga dijelaskan hal-hal yang harus dilakukan Menteri Kehutanan untuk
memperbaiki penataan kawasan hutan, seperti:

Mencabut Permenhut Nomor P.50/MENHUT-II/2009 Tahun 2009 Tentang Penegasan Status


Dan Fungsi Kawasan Hutan, guna menghilangkan ketidaksinkronan defenisi kawasan hutan dan
prosedur penunjukan kawasan hutan. Ketidaksinkronan tersebut berdampak pada lemahnya kepas-
tian hukum kawasan hutan dan menjadi rentan terjadinya korupsi dalam implementasinya.

Artinya, Menteri Kehutanan harus melakukan pengukuhan kawasan hutan yang meliputi penunju-
kan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan. Sesuai dengan Pasal 14 ayat 2 UU Nomor 41 Tahun
1999“Kegiatan pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan
untuk memberikan kepastian hukum atas kawasan hutan.”

Pasal 15 ayat 1 : “Pengukuhan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam pasal14 dilakukan
melalui proses sebagai berikut : penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pe-
metaan kawasan hutan, dan, penetapan kawasan hutan.

Pada 9 Februari 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dalam putusan Nomor 45/PUU-
IX/201168 yang menghilangkan frasa “ditunjuk dan atau” pada pasal 1 angka 3 Atas perubahan
tersebut menjadi “kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan sebagai kawasan
hutan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.”

Alasan hakim MK dalam suatu negara hukum, pejabat administrasi negara tidak boleh berbuat
sekehendak hatinya, akan tetapi harus bertindak sesuai dengan hukum dan peraturan perundang-un-
dangan, serta tindakan berdasarkan freies Ermessen (discretionary powers).

Penunjukan belaka atas suatu kawasan untuk dijadikan kawasan hutan tanpa melalui proses atau
tahap-tahap yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan di kawasan hutan sesuai dengan
hukum dan peraturan perundang-undangan, merupakan pelaksanaan pemerintahan otoriter.

Penunjukan kawasan hutan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi, tidak tiba - tiba, bahkan
harus direncanakan, dan karenanya tidak memerlukan tindakan freies Ermessen (discretionary pow-

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
58 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
ers). Tidak seharusnya suatu kawasan hutan yang akan dipertahankan keberadaannya sebagai hutan
tetap, menguasai hajat hidup orang banyak, hanya dilakukan melalui penunjukan

Pada 26 Maret 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutuskan dalam putusan Nomor 35/
PUU-IX/2012 bahwa hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat
dan hutan adat tidak termasuk dalam hutan negara.

Alasan hakim MK, UU Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang secara konstitu-
sional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan subjek hukum yang lain, dalam
hal ini terkait dengan kategorisasi hutan yang di dalamnya terdapat hubungan hukum antara subjek
hukum dengan hutan. Ada tiga subjek hukum yang diatur dalam UU Kehutanan, yakni negara,
masyarakat hukum adat, dan pemegang hak atas tanah yang di atasnya terdapat hutan. Negara men-
guasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah dimaksud juga memegang hak
atas hutan, tetapi masyarakat hukum adat tidak secara jelas pengaturan tentang haknya atas tanah
maupun hutan.

Dengan perlakuan berbeda tersebut masyarakat hukum adat secara potensial, atau bahkan dalam
kasus-kasus tertentu secara faktual, kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam untuk
kehidupannya, termasuk hak tradisionalnya, sehingga masyarakat hukum adat mengalami kesulitan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dari hutan sebagai sumbernya. Bahkan acapkali hilangnya
hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara sewenang-wenang, sehingga tidak jarang
menyebabkan terjadinya konflik yang melibatkan masyarakat dan pemegang hak.
Keadaan ini terjadi akibat berlakunya norma yang tidak menjamin kepastian hukum dan menim-
bulkan ketidakadilan terhadap masyarakat hukum adat dalam kaitannya dengan hutan sebagai
sumber-sumber kehidupan mereka, karena subjek hukum yang lain dalam Undang-Undang a quo
memperoleh kejelasan mengenai hak-haknya atas hutan. Masyarakat hukum adat berada dalam
posisi yang lemah karena tidak diakuinya hak-hak mereka secara jelas dan tegas ketika berhadapan
dengan negara dengan hak menguasai yang sangat kuat. Seharusnya penguasaan negara atas hutan
dipergunakan untuk mengalokasikan sumber daya alam secara adil demi sebesar-besarnya kemak-
muran rakyat.

Alih-alih memperhatikan Putusan MK dan rekomendasi KPK, pada 8 Agustus 2014, Menteri
Kehutanan Zulkifli Hasan menerbitkan SK Nomor 673/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Perun-
tukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 1.638.249 Ha, Perubahan Fungsi
Kawasan Hutan Seluas ± 717.543 Ha dan Penunjukan Bukan Kawasan Hutan Menjadi Kawasan
Hutan Seluas ± 11.552 Ha di Provinsi Riau.

Lalu pada 29 September 2014, 2 hari jelang masa kepemimpinannya sebagai Menteri Kehutanan,
Zulkifli Hasan kembali menerbitkan SK Nomor 878/Menhut-II/2014 Tentang Kawasan Hutan
Provinsi Riau. SK ini menetapkan kawasan hutan Provinsi Riau seluas ± 5.499.693 ha. Tanpa
melakukan pengukuhan kawasan hutan sesuai dengan putusan MK 45/PUU-IX/2011, Menteri
Kehutanan kembali mengeluarkan SK yang tidak mempertimbangkan putusan MK dan kajian KPK
tersebut.

Pada 27 Oktober 2014, Menteri Kehutanan berganti menjadi Menteri Lingkungan Hidup dan Ke-
hutanan dipimpin Siti Nurbaya Bakar.

Pada 19 Maret 2015 KPK menginisiasi penandatanganan Nota Kesepakatan Rencana Aksi Penye-
lamatan Sumber Daya Alam yang dikenal dengan GNPSDA-KPK. Tujuan dari gerakan ini untuk
penyelamatan serta perbaikan tata kelola salah satunya di sektor kehutanan. Fokus gerakan ini di-
antaranya penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan perizinan kehutanan dan perkebunan,
perluasan wilayah kelola masyarakat, penyelesaian konflik kawasan hutan, penguatan isntrumen
lingkungan hidup dan membangun sistem pengendalian anti korupsi.

Namun banyaknya kajian serta putusan MK terkait kawasan hutan bahkan rencana aksi GNPS-
DA-KPK, tetap tidak dipertimbangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam
mengukuhkan kawasan hutan.

Pada 20 April 2016, Siti Nurbaya menerbitkan SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 Tentang


Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menjadi Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 65.125 Hektar di
Provinsi Riau.
BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP
59
Siti Nurbaya menerbitkan SK 314 berdasarkan rekomendasi Ombudsman RI yang Nomor 0002/
REK/0361.2015/PBP.41/II/2016 pada 16 Februari 2016, agar Menteri LHK menerbitkan Keputusan
Perubahan atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.673/menhut-II/2014 tanggal 8 Agustus
2014 dan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.878/Menhut-II/2014 tanggal 29 Septem-
ber 2014 untuk mengakomodir pusat-pusat pemukiman, pusat-pusat perkantoran/ pemerintahan,
sarana/ fasilitas pertahanan, kebutuhan pembangunan untuk kepentingan nasional dan daerah yang
telah direkomendasikan tim terpadu untuk diubah menjadi bukan kawasan hutan.

Lalu pada 23 Mei 2016 kembali menerbitkan SK 393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016 Tentang


Perubahan Atas Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor
SK.314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 Tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Menja-
di Bukan Kawasan Hutan Seluas ± 65.125 Hektar di Provinsi Riau.

Pertimbangan SK ini terbit karena dalam lampiran peta pada SK 314/MENLHK/SETJEN/


PLA.2/4/2016, belum tergambar Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) sehingga
perlu dilakukan revisi/ perbaikan atas peta lampiran dengan tidak mengubah substansi dan luas
perubahan peruntukan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan yang telah ditetapkan pada SK
sebelumnya.

Serta pada 7 Desember 2016 SK 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016 Tentang Kawasan Hutan


Provinsi Riau. SK ini menetapkan kawasan hutan di Provinsi Riau seluas ± 5.406.992 hektar terbit.
Rinciannya seluas 630.753 ha untuk Hutan Konservasi, Hutan Lindung seluas 233.910 ha, Hutan
Produksi Terbatas (HPT) seluas 1.017.318 ha, Hutan Produksi Tetap (HP) seluas 2.339.578 ha dan
HPK seluas 1.185.433 ha.

Sayangnya Siti Nurbaya tetap tidak mempertimbangkan kajian KPK, Putusan MK 45/PUU-
IX/2011, Putusan MK 35/PUU-IX/2012 serta Renaksi GNPSDA-KPK. Padahal SK 903/MENL-
HK/SETJEN/PLA.2/12/2016 yang diterbitkannya menjadi dasar penyusunan Ranperda RTRWP
Riau 2017 – 2037.

Muatan isi SK 673 hingga SK 903 masih dominan menguntungkan korporasi HTI dibandingkan
ruang kelola masyarakat adat dan tempatan.

c. Rekomendasi Ombudsman RI Maladministrasi

Pada 16 Februari, Ombudsman merekomendasikan salah satunya Pemerintah Provinsi Riau agar
melakukan percepatan pembentukan RTRWP Provinsi Riau, dengan menetapkan selisih (gap) luas
areal antara luas yang direkomendasikan Tim Terpadu dengan jumlah luas yang ditetapkan dalam
SK 673 dan 878 sebagai Holding Zone dalam Perda RTRWP Provinsi Riau, sebelum terbitnya SK
Pengganti SK Menteri Kehutanan tentang Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau.

Landasan rekomendasi Ombudsman RI untuk Holding Zone didasarkan pada poin ke 4 Instruksi
Presiden Indonesia Nomor 8 Tahun 2013 tentang Penyelesaian Penyusunan Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi dan Kabupaten/ Kota.

Poin keempat Inpres menyebutkan agar Menteri Kehutanan: melakukan percepatan penyelesa-
ian persetujuan atas perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam rangka penyusunan
peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan memberikan fasilitasi dalam pengintegrasian dan pengharmonisasian
kawasan hutan pada rencana pola ruang rencana tata ruang wilayah provinsi ke dalam rencana tata
ruang wilayah kabupaten/ kota yang belum ditetapkan peruntukan ruangnya (Holding Zone) sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Rekomendasi ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi yaitu UU


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU Penataan Ruang dan Permen PU Nomor 15/
PRT/M/2009 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Provinsi.

Dalam UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Hold-


ing Zone yang dimuat dalam Instruksi Presiden tidak termasuk dalam hierarki peraturan perun-
dang-undangan. Dalam Pasal 8 ayat 2 UU 12/2011 menyebutkan: Peraturan Perundang-undangan
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
60 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk ber-
dasarkan kewenangan. Namun Inpres ini tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.

Dalam poin keempat Inpres 8/2013 juga dijelaskan bahwa percepatan yang dilakukan sesuai den-
gan ketentuan perundang-undangan, namun nyatanya dalam UU nomor 26 tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang Pasal 18 Ayat 3 menyatakan: Ketentuan mengenai muatan, pedoman, dan tata cara
penyusunan rencana tata ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan penyusu-
nan rencana tata ruang wilayah kab/kota sebagaimana dimaksud pada ayat 2 diatur dengan peratur-
an Menteri.

Peraturan menteri yang mengatur muatan dan pedoman serta tata cara penyusunan RTRW adalah
Permen PU Nomor 15/PRT/M/2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Dalam peratur-
an teknis ini, tidak ada pasal yang membahas terkait Holding Zone. Sehingga penetapan Holding
Zone sudah bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi.

Ombudsman sebagai lembaga negara dalam pasal 7 UU nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombuds-
man Republik Indonesia memiliki tugas diantaranya menerima laporan atas dugaan maladminis-
trasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik, melakukan pemeriksaan substansi laporan, menin-
daklanjuti dan melakukan investigasi terhadap dugaan maladministrasi. Ombudsman juga betugas
melakukan upaya pencegahan maladministrasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
Namun, dalam kasus penerbitan rekomendasi agar dilakukan percepatan pembentukan RTRWP
Provinsi Riau, dengan menetapkan selisih (gap) luas areal antara luas yang direkomendasikan Tim
Terpadu dengan jumlah luas yang ditetapkan dalam SK 673 dan 878 sebagai Holding Zone dalam
Perda RTRWP Provinsi Riau, sebelum terbitnya SK Pengganti SK Menteri Kehutanan tentang Pe-
rubahan Peruntukan Kawasan Hutan di Provinsi Riau justru bertentangan dengan peraturan perun-
dangan lebih tinggi (maladministrasi).

d. KLHS dalam UU PPLH

Pasal 15 UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
menyebutkan: Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membuat Kajian Lingkungan Hidup Strat-
egis untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terinte-
grasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana dan/atau program.

Pasal 19 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang berbunyi: Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kes-
elamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wajib didasarkan pada KLHS. Perencanaan
tata ruang wilayah ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan
hidup.

Dalam Pasal 2 ayat 2 PP Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis menjelaskan KLHS wajib dilaksanakan ke dalam penyusunan atau
evaluasi rencana tata ruang wilayah beserta rincinya, RPJP nasional, RPJP daerah, RPJM nasional,
RPJM daerah dan kebijakan, rencana dan/atau program yang berpotensi menimbulkan dampak dan/
atau risiko lingkungan hidup.

Namun RTRWP Riau disusun tanpa didasarkan KLHS. Setelah Ranperda RTRWP disahkan oleh
DPRD Provinsi Riau, diserahkan ke Kemendagri dan dilakukan evaluasi berkoordinasi menteri
terkait, barulah Pemprov Riau menyusun KLHS—setelah diberi catatan oleh KemenLHK untuk
menyusun KLHS.

Pada 11 April 2018, Menteri LHK menerbitkan surat Nomor: S.418/MENLHK/PKT/PDLKWS/


PLA.3/4/2018 perihal Validasi KLHS Provinsi Riau Tahun 2017-2037 yang ditujukan kepada Plt.
Gubernur Riau. Surat ini berisi rekomendasi yang harus dilakukan oleh Gubernur Riau diantaranya:

Pertama, menyempurnakan kembali KLHS selambat-lambatnya dalam 1 tahun, terutama untuk:


memperbarui kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dalam skala kedetilan dan

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


61
lingkup yang memadai, memperbaiki akurasi data, khususnya data penggunaan lahan oleh mas-
yarakat dan perusahaan, tumpang tindih perizinan dengan konflik masyarakat, serta pemanfaatan
ruang yang tidak sesuai ketentuan terhadap kawasan hutan secara umum dan wilayah, memperkaya
kajian sosial ekonomi budaya dan sosial ekologis dan memperbaiki simulasi dan modeling skenario
kebijakan ke depan secara lebih komprehensif.

Kedua, melaksanakan kajian mengenai kerusakan, kerentanan dan keberfungsian ekosistem gambut
secara time series ke belakang dan melakukan proyeksi ke depan sepanjang rentang masa berlaku
RTRW, serta mengenai kerusakan, kerentanan dan keberfungsian habitat satwa liar, keanekarag-
aman hayati, dan kawasan konservasi.

Ketiga, dalam Ranperda RTRWP Riau 2017-2037 dimasukan: pertimbangan terhadap daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup seluruh wilayah Provinsi Riau yang terus menurun bahkan tel-
ah terlampaui dan/atau sangat rawan dan kritis pada sebagian besar kabupaten dan kota, sehingga:
1) Peruntukan pemanfaatan ruang harus didukung oleh kesesuaian dengan perkembangan teknolo-
gi, pola dan cara pemanfaatan, serta pengendaliannya; 2) Menghentikan penambahan jenis-jenis
kegiatan yang secara signifikan menyebabkan penurunan dan terlampauinya daya dukung dan daya
tampung lingkungan hidup pada lokus yang jelas.

Selain poin 1) dan 2) juga perlu dimasukkan pertimbangan untuk: 3) Mengarahkan pengurangan
bertahap kegiatan eksisting yang secara signifikan menyebabkan penurunan dan terlampauinya
daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup pada lokus yang jelas; 4) Mengatur pemanfaatan
dan penggunaan ruang untuk melindungi ruang hidup masyarakat pada lokus yang jelas; 5) Men-
gatur ruang dan lokus yang harus segera direhabilitasi dan dipulihkan sesuai skala urgensi dan
pengaruhnya terhadap laju penurunan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.

Hal lainnya yang harus dimasukkan ialah arahan pemanfaatan dan pengendalian pada lokus yang
jelas untuk setiap kabupaten/kota, berdasarkan: 1) Wilayah gambut yang ditetapkan berfungsi
lindung dengan kondisi kritis dan/atau rawan bencana yang saat ini digunakan untuk budidaya,
dan terbagi dalam kriteria: Sedang terjadi dan/atau berpotensi konflik dengan masyarakat; Diindi-
kasikan pelanggaran perizinan; Dikelola tidak sesuai ketentuan dan/atau diindikasikan diputihkan;
Dilalui dan/atau berdampingan dengan proyek strategis nasional.

Selain poin 1) juga perlu memperhatikan: 2) Wilayah gambut yang ditetapkan berfungsi lindung
dengan kondisi kritis dan/atau rawan bencana dalam kawasan hutan yang dilakukan outline; 3)
Wilayah gambut yang ditetapkan berfungsi lindung selain angka 1) dan 2) dalam kawasan hutan
yang dilakukan outline; 4) Wilayah gambut yang ditetapkan berfungsi budidaya namun kondisi kir-
tis dan/atau rawan bencana, dan terbagi dalam kriteria: Sedang terjadi dan/atau berpotensi konflik
dengan masyarakat; Diindikasikan pelanggaran perizinan; Dikelola tidak sesuai ketentuan dan/atau
dinidikasikan diputihkan; Dilalui dan/atau berdampingan dengan proyek strategis nasional.

Poin selanjutnya yang harus diperhatikan: 5) Wilayah hulu dalam Daerah Aliran Sungai yang sudah
dalam kondisi kritis; 6) Wilayah tengah dan hilir Daerah Aliran Sungan yang sudah dalam kondi-
si kritis badan airnya tercemar; 7) kawasan konsevasi dan suaka alam yang diokupasi dan/atau
dimanfaatkan tidak sesuai ketentuan; 8) wilayah budidaya yang sudah dalam kondisi kritis dan/
atau rawan bencana dan terbagi dalam kriteria: dindikasi menjadi bagian darihabitat/ruang jelajah
satwa liar dan/atau keanekaragaman hayati; berbatasan langsung dengan kawasan lindung dan/atau
wilayah lindung; dilalui proyek strategis nasional.

Hal lainnya yang harus dimuat adalah membuat peraturan zonasi tambahan bagi wilayah-wilayah
yang dimaksud di atas sesuai urgensi dan kompleksitas langkah-langkah pengendalian yang dibu-
tuhkan.

Keempat, melakukan pemantauan dan pengawasan ketat pelaksanaan pemanfaatan ruang, dan
menggunakan informasi tersebut untuk melakukan langkah-langkah koreksi kebijakan lapangan
dan perbaikan tata kelola pengamanan (safeguard system)

Kelima, mewajibkan penyusunan dan atau peninjauan kembali RTRW seluruh kabupaten/kota di
lingkungan Provinsi Riau yang dilengkapi KLHS dengan mempertimbangkan keseluruhan proses,
hasil dan catatan dari pelaksanaan KLHS dan perbaikan muatan Ranperda RTRW Provinsi Riau
2017 – 2037.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
62 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Keenam, secara pro-aktif berdialog dan berkonsultasi kepada masyarakat serta membuka akses
informasi dengan sebaik-baiknya.

e. Ranperda RTRWP Riau Tidak Mengakomodir Kebijakan Baru Pemerintah

Pemerintah menerbitkan beberapa kebijakan baru untuk perbaikan tata kelola lingkungan hidup,
namun kebijakan-kebijakan ini tidak diakomodir dalam Ranperda RTRWP Riau.

i. Peraturan Menteri LHK Turunan dari PP 57 tahun 2016 dan SK KHG

Akibat kebakaran besar di Riau dan di berbagai provinsi di Indonesia mendorong direvisinya
Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2014 menjadi PP No. 57 Tahun 2016 tentang Pengelolaan
dan Perlindungan Gambut. Revisi PP 71/2014 tersebut menunjukan niatan baik dari pemerintah
untuk melindungi gambut dan mencegah kebakaran hutan dan lahan gambut tidak terulang kem-
bali terutama di dalam konsesi perusahaan.

Sebagai tindak lanjut pencegahan karhutla yang terjadi di kawasan Hutan Tanaman Industri
(HTI), KLHK juga melakukan perubahan atas Peraturan Menteri LHK Nomor P.12/MENLHK-
II/2015 tentang Pembangunan Hutan Tanaman Industri melalui Peraturan Menteri LHK Nomor.
P.17/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017. Terdapat beberapa perubahan mendasar dalam pera-
turan ini, yaitu kriteria penetapan kawasan lindung gambut, pengaturan perubahan areal tanaman
pokok dan tanaman kehidupan menjadi fungsi lindung, pengaturan areal tanaman pokok dan
tanaman kehidupan menjadi fungsi budidaya, serta kebijakan areal lahan usaha pengganti (land
swap) seluas 40%.

Selain Peraturan Menteri LHK Nomor. 17/2017, di tahun 2017, KLHK menerbitkan tiga Peratur-
an Menteri LHK lainnya terkait gambut yaitu Peraturan Menteri LHK Nomor. P.14/MENLHK/
SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara Inventarisasi dan Penetapan Fungsi Ekosistem Gam-
but, Peraturan Menteri LHK Nomor P.15/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Tata Cara
Pengukuran Muka Air Tanah di Titik Penataan Ekosistem Gambut, dan Peraturan Menteri LHK
Nomor. P.16/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi
Ekosistem Gambut.

Dalam PermenLHK tersebut, menyebutkan gambut dalam bagian dari kesatuan hidrologis
gambut yang ditetapkan sebagai fungsi lindung, maka harus dijadikan fungsi lindung meski-
pun berada di dalam konsesi korporasi HTI. Korporasi HTI diberikan waktu untuk mema-
nen satu kali daur dan setelahnya dijadikan fungsi lindung sesuai peta KHG.
KLHK juga menerbitkan keputusan tentang SK No. 129 Direktur Jenderal Pengendalian Pence-
maran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL), M.R. Karliansyah menyampaikan luas ekosistem
gambut yang berada di kawasan HTI diketahui seluas 2.641.483 Ha dan 1.427.786 ha merupa-
kan fungsi lindung. Dalam Surat Keputusan Menteri LHK Nomor. SK. 130/MENLHK/SETJEN/
PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional menjelaskan total
KHG seluruh Indonesia seluas 24.667.804 Ha. (fungsi lindung seluas 12.398.482 Ha dan fungsi
budidaya seluas 12.269.321 Ha). Data-data tersebut merupakan hasil olahan Direktorat Jenderal
Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan KLHK.

Untuk Provinsi Riau total luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini terbagi
untuk dua fungsi ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352
ha untuk fungsi budidaya.

Namun dalam Ranperda RTRWP Riau, kawasan lindung gambut justru hanya seluas 21.615 ha.

ii. Perpres 88/2017

Pada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun
2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Perpres ini diharapkan
dapat menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam ka-
wasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan.

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


63
Bab III peraturan ini membahas pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam ka-
wasan hutan. Dalam pasal 7 dijelaskan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang telah dikuasai
dan dimanfaatkan dan/ atau telah diberikan hak di atasnya sebelum bidang tanah tersebut ditunjuk
sebagai kawasan hutan dilakukan dengan mengeluarkan bidang tanah dari dalam kawasan hutan
melalui perubahan batas kawasan hutan.

Pasal 8 ayat 1 menyatakan pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaat-
kan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan berupa mengeluarkan bidang
tanah dari kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan hutan, tukar menukar kawasan hutan
maupun melalui pemberian akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial dan atau
melakukan resettlement.

Dalam ayat 2 dijelaskan pola penyelesaian memperhitungkan luas kawasan hutan yang harus
dipertahankan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai, pulau dan/ atau provinsi serta
fungsi kawasan hutan.

Penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan melalui beberapa pola tersebut harusnya
dilakukan sebelum rencana tata ruang ditetapkan. Sesuai Pasal 31 yang menjelaskan perubahan
batas kawasan hutan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 dan pasal 8 dapat dilaksanakan
sebelum ditetapkannya perubahan rencana tata ruang.69

Pemda Riau tidak melaksanakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan dalam
penyusunan ranperda RTRWP Riau, padahal melalui Perpres Nomor 88 Tahun 2017 Pemda Riau
juga berpeluang menyelesaikan konflik tata batas antara masyarakat hukum adat dan tempatan
dengan korporasi Hutan Tanaman Industri (HTI). Seluas 2 juta hektar kawasan hutan di Riau di-
kuasai korporasi APP dan APRIL. Padahal di dalam 2 juta hektar itu tumpang tindih dengan hutan
dan tanah masyarakat adat. Selain itu perpres 88 tahun 2017 memberikan ruang kelola kepada
masyarakat melaui program PS dan TORA.

iii. Pansus Konflik DPRD Bengkalis

Pada 20 September 2016 dalam Rapat Paripurna di DPRD Bengkalis, Pansus Monitoring dan
Identifikasi Sengketa Lahan Kehutanan DPRD Bengkalis menyampaikan beberapa rekomendasi
diantaranya: Supaya Pemerintah Kabupaten Bengkalis mengeluarkan kebijakan mengusulkan ke-
pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI agar mencabut atau sekurang-kurangnya
meninjau ulang Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 262/KPTS-II/1998 tanggal 27 Februari
1998 tentang Pemberian Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri atas areal seluas 14.875 hektar
di Provinsi Daerah Tingkat I Riau kepada PT Rimba Rokan Lestari.
Pansus juga merekomendasikan agar MenLHK mencabut atau merevisi SK No 314/MenLHK/2016
tentang Peruntukan Perubahan Kawasan Hutan Riau, karena banyak desa tua serta lahan peng-
hidupan masyarakat berada dalam kawasan konsesi perusahaan seperti PT Rimba Rokan Lestari;
PT Arara Abadi; PT Sumatera Riang Lestari; PT Bukit Batu Hutani Alam; PT Sekato Pratama Mak-
mur; PT Balai Kayang Mandari; PT Rimba Mandau Lestari; PT Riau Abadi Lestari (HTI); PT Sinar
Sawit Sejahtera; PT Sarpindo Graha Sawit Tani, PT Murini Samsam dan PT Murini Wood (sawit).

Temuan Pansus menunjukkan lahan yang dibebankan izin tersebut sudah lebih dulu dihuni dan
dikelola oleh masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan adanya pemakaman tua, perumahan penduduk,
fasilitas umum seperti sekolah, mesjid serta perkebunan milik masyarakat.

Perkembangan mutakhir ini belum pernah dibahas oleh Gubernur Riau dan DPRD Riau untuk me-
masukkannya dalam draft RTRWP Riau.

iv. GNPSDA KPK

Pada 19 Maret 2015 KPK menginisiasi penandatanganan Nota Kesepakatan Rencana Aksi Penye-
lamatan Sumber Daya Alam yang dikenal dengan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya
(GNPSDA-KPK).

Tujuan dari gerakan ini untuk penyelamatan serta perbaikan tata kelola salah satunya di sektor
kehutanan. Paska karhutla serta terjadinya deforestasi – degradasi besar-besaran di Riau, KPK
mendorong GNPSDA KPK bersama 34 Gubernur di Indonesia.
PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
64 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
Ada 19 Rencana Aksi yang disusun berdasarkan kajian KPK yang berfokus pada:

1. Penyelesaian pengukuhan kawasan hutan, penataan ruang dan wilayah administrasi

2. Penataan perizinan kehutanan dan perkebunan

3. Perluasan wilayah kelola masyarakat

4. Penyelesaian konflik kawasan hutan

5. Penguatan instrumen lingkungan hidup dalam perlindungan hutan

6. Membangun sistem pengendalian anti korupsi

Dari keenam fokus Renaksi GNPSDA KPK, Pemda dan DPRD Riau tidak mencermatinya sama
sekali sehingga Draft RTRWP Riau 2017 – 2037 mengabaikan sepenuhnya renaksi tersebut.

Footnote:

62. Pasal 110 ayat 2 UU No. 32 tahun 2004 memuat sumpah/janji kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagai berikut: “Demi
Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan men-
jalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada masyarakat, nusa dan bangsa.

63. Pasal 29 UU no. 32 tahun 2004 menyatakan:

(1) Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah berhenti karena :

a. meninggal dunia;

b. permintaan sendiri; atau

c. diberhentikan.

(2) Kepala Daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberhentikan karena:

a...........; b...........; c............

d. dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.

64. Eye on the Forest (EoF), 2017

65. Lampiran presentasi Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, KLHK, Juni 2017

66. http://www.halloriau.com/read-otonomi-78914-2016-03-28-dprd-riau-minta-104-perusahaan-dikembalikan-menjadi-kawasan-
hutan.html

67. CORRUPTION IMPACT ASSESSMENT: Titik Korupsi Dalam Lemahnya Kepastian Hukum Pada Kawasan Hutan

68. Lihat berkas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011

69. Perpres No 88 Tahun 2017

BAB V ANALISIS SUBSTANSI RANPERDA RTRWP


65
BAB VI
IMPLIKASI PENGESAHAN RANPERDA RTRWP RIAU 2017 – 2037

Bila Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 ditetapkan menjadi Perda RTRWP Riau, akan berdampak pada:

Pertama, pidana bagi masyarakat adat dan tempatan dan konflik berkepanjangan. Pasal 74 Ranperda
RTRWP Riau 2017 – 2037 Ayat 3 berbunyi: Dalam hal terjadi tumpang tindih terhadap pusat pemukiman,
fasilitas sosial dan fasilitas umum dengan izin usaha pemanfaatan ruang lainnya, maka fungsi peruntukkan
pemanfaatan ruangnya disesuaikan dengan kondisi eksisting.

Ayat 4: Apabila terhadap izin usaha pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat 3 telah memili-
ki legalitas perizinan secara lengkap dan dapat membuktikan legalitas perizinannnya, maka penyelesaian
tumpang tindih dilakukan dengan mendahulukan izin usaha pemanfaatan ruang sampai dengan selesai masa
waktu berlaku perizinannya, dengan ketentutan:

a. Masa berlaku izin usaha pemanfaatan ruang tidak akan diperpanjang setelah berakhirnya masa
perizinan dan pemanafaatan ruangnya akan digunakan untuk pusat pemukiman, fasilitas sosial dan
fasilitas umum

b. Apabila teradapat aktifitas diluar izin usaha pemanfaatan ruang, maka peruntukan pemanfaatan
ruangnya digunakan untuk pusat pemukiman, fasilitas ossial dan fasilitas umum sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Bagaimana bila di dalam korporasi HTI terdapat pemukiman (salah satunya pemukiman tua), fasos dan
fasum?

Dengan ditetapkannya Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 menjadi perda, maka masyarakat dapat dipi-
dana oleh UU Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Dalam Pasal 69 ayat 1 dinyatakan: Setiap
orang yang tidak menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan yang mengakibatkan perubahan fungsi
ruang dipidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak Rp 500 juta.

Selain UU Penataan Ruang, masyarakat adat dan tempatan juga dapat dipidana dengan UU No 41 tahun
1999 Tentang Kehutanan. Pasal 50 ayat 3 menjelaskan setiap orang dilarang mengerjakan dan atau meng-
gunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah ataupun merambah kawasan hutan.

Fakta dilapangan, konflik masyarakat adat dan tempatan telah berlangsung sejak korporasi HTI masuk ke
lahan penghidupan dan kampung masyarakat. Salah satu contoh kasus di lapangan adalah konflik antara PT
Rimba Rokan Lestari dengan masyarakat di beberapa desa di Kabupaten Bengkalis.

Areal yang dibebankan izin milik PT RRL pada 1998 tumpang tindih dengan pemukiman masyarakat,
fasilitas umum bahkan kebun kelapa masyarakat yang sudah ditanam sejak tahun 1991. Sekira lima ribu
warga dari 19 Desa di Kecamatan Bantan dan Kecamatan Bengkalis menolak kehadiran PT RRL karena
ruang hidup masyarakat berupa pemukiman, rumah, perkebunan kelapa, karet, pinang, sagu dan sawit yang
menjadi mata pencaharian mereka masuk dalam konsesi PT RRL.

Dalam catatan Jikalahari, selain konflik antara masyarakat Bengkalis dengan PT RRL, juga ada konflik
antara masyarakat Kampar dengan PT Raja Garuda Mas Sejati (RGMS). Masyarakat Desa Lubuk Ogung di
Pelalawan dan Desa Buluh Nipis di Kampar berkonflik dengan PT Raja Garuda Mas Sejati. Pasalnya, izin
HGU yang dimiliki oleh PT RGMS adalah HGU Kakao dan Karet, namun dilapangan PT RGMS menanam
kelapa sawit. PT. RGMS terbukti menanam akasia melalui pihak kedua sebagai kontraktor penanaman yaitu
PT. Nusa Prima Manunggal selama dua kali tanam.

Setelah selesai panen akasia yang ke dua pada 2008, PT. RGMS menanam lahan tersebut dengan sawit, dan
diduga PT. RGMS tidak memiliki HGU sawit dan amdal yang jelas. Dari 12.270 Ha luas HGU (kakao dan
karet) yang didapat PT. RGMS, 5000 Ha merupakan Lahan masyarakat yang terbagi dalam 2500 Ha lahan
Masyarakat Lubuk Ogung dan 2500 Ha Lahan Masyarakat Buluh Nipis. Oleh karena itu masayarakat ingin
menuntuk perusahaan agar mengembalikan lahan masyarakat yang sudah dikelolanya.

Pidana penataan ruang dan pidana kehutanan bisa dihindari bila SK No 673/MENHUT-II/2014, SK
878/MENHUT-II/2014, SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK 393/MENLHK/SETJEN/

66 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
PLA.0/5/2016 dan SK No 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016. Menurut SK 903/MENLHK/SETJEN/
PLA.2/12/2016 merujuk pada putusan MK 45/PUU-IX/2011 dan 35/PUU-IX/2012.

Kedua, melegalkan praktik perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan. Pada 2015 Pansus Monitoring
dan Evaluasi Perizinan HGU, Izin Perkebunan, Kehutanan, Pertambangan, Industri dan Lingkungan dalam
Upaya Memaksimalakan Penerimaan Pajak Serta Penertiban Perizinan dan Wajib Pajak DPRD Provinsi
Riau menemukan 55 korporasi sawit dilepaskan dari kawasan hutan melalui SK 673 oleh Menteri Kehutan-
an Zulkifli Hasan. Pada era Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melepaskan 7 kor-
porasi sawit dari kawasan hutan paska terbitnya SK 903.

Dari 62 korporasi, sebelum menjadi APL ada 56,8 persen berada di kawasan HPK, sekitar 23,9 persen bera-
da di kawasan Hutan Produksi Tetap (HP), sekitar 18,2 persen berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas
(HPT) dan 1,1 persen berada di kawasan Hutan Lindung.

Bila korporasi sawit berada di fungsi HPK lalu menjadi APL memang peruntukkannya pembangunan di
luar kawasan hutan. Namun bila fungsi HP, HPT dan HL diubah langsung menjadi APL, bertentangan den-
gan pasal 42 PP 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Perubahan
fungsi kawasan hutan dalam fungsi pokok Hutan Produksi dapat dilakukan dari:

a. HPT menjadi HP/ HPK

b. HP menjadi HPT/ HPK


c. HPK menjadi HPT/HP untuk keperluan IUPHHK-HA/HT

Jika ingin melakukan pelepasan kawasan hutan, maka HPT/HP harus berubah fungsi terlebih dahulu menja-
di HPK. Selain itu, dalam penjelasan pasal 19 terkait pelepasan kawasan HPK hanya dapat dilakukan pada
areal yang tidak produktif berupa semak belukar, lahan kosong atau kebun campuran.

Temuan Eyes on the Forest di lapangan, ke 62 korporasi tersebut sebelum SK 673 dan SK 903 terbit be-
rada dalam kawasan hutan tanpa izin pelepasan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Oleh karenanya,
menurut UU Kehutanan, ke 62 korporasi telah melakukan tindak pidana kehutanan. Namun paska terbitnya
SK 673 dan SK 903, otomatis pidana kehutanannya hilang.

Ketiga, tidak mengakomodir kawasan lindung gambut. Usulan gubernur dalam draft RTRWP 2016 – 2035
pasal 22 ayat (3) menyebut  Kawasan Lindung Kubah Gambut (KLG) total seluas 1.693.030 hektar. Namun
dalam Ranperda RTRWP 2017 – 2037, KLG hanya seluas 21.615 ha.

Padahal berdasarkan SK MenLHK Nomor 129/Setjen/PKL.0/2/2017 Tentang Penetapan Peta Kesatuan Hi-
drologis Gambut Nasional, khusus untuk Riau luasan ekosistem gambut mencapai 5.040.735 ha. Luasan ini
terbagi untuk dua fungsi ekosistem gambut: fungsi lindung sekitar 2.473.383 ha dan sisanya 2.567.352 ha
untuk fungsi budidaya. Artinya Pemda Riau harus memasukkan 2,4 juta hektar kawasan lindung ke dalam
draft RTRWP Riau. Jika KLG tidak diakomodir dalam Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037, maka kegiatan
restorasi gambut yang dilakukan Badan Restorasi Gambut tidak dapat terlaksana di Riau.

Keempat, memberikan legalisasi bagi cukong dan korporasi. Pasal 74 ayat 1 Ranperda RTRWP Riau 2017
– 2037 berbunyi: Pusat pemukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum dengan kondisi eksisting baik yang
sudah termuat dalam peta maupun yang belum termuat dalam peta, tetapi berada dalam kawasan hutan, ber-
dasarkan keputusan menteri yang membidangi kehutanan, dilakukan enclave dari kawasan hutan berdasar-
kan peraturan perundang-undangan

Sedangkan ayat 2: Pusat pemukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang telah selesai dilakukan en-
clave dari kawasan hutan maka pemanfaatan ruangnya dapat langsung dilaksanakan sesuai dengan fungsi
peruntukkannya berdasarkan peraturan perundang-undangan

Enclave dalam pasal 74 perlu dianalisis dan dicermati lebih teliti karena dapat menguntungkan cukong dan
korporasi. Fakta lapangan, seperti Dusun Toro Makmur, Toro Jaya, Kuala Onang dan Mandiri Indah Desa
Lubuk Kembang Bunga, Pelalawan. Keempat dusun tersebut masuk dalam Kawasan Taman Nasional Tesso
Nilo. Dusun ini dibangun oleh perambah terorganisir yang membangun pemukiman dan kebun sawit dalam
kawasan hutan. Hasil pendataan Balai Taman Nasional Tesso Nilo pada 2013, keempat dusun tersebut men-
guasai lahan seluas 17.583,68 ha dan ditempati lebih dari 2500 KK. Masyarakat membangun sekolah, pasar
serta puskesmas di kawasan hutan tersebut.

BAB VI IMPLIKASI PENGESAHAN RANPERDA RTRWP RIAU 2017 – 2037. 67


Selain itu, pasal ini juga memberi dampak buruk pada pelaksanaan Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo
(RETN) yang telah dirambah oleh cukong dengan modus kejahatan terorganisir. Sejak 2016 KLHK mem-
bentuk Tim RETN dengan tujuan menjamin pemenuhan hak-hak konstitusional masyarakat, meningkatkan
kesejahteraan serta mewujudkan kepastian usaha yang berbasis hutan dan lahan dengan harmonisasi hubun-
gan besar dan kecil.

Fokus kerja pada penegakan hukum dan perluasan ruang kelola rakyat. Tim ini melibatkan pemerintah pu-
sat, daerah dan CSO. Sepanjang 2017, KLHK melalui kegiatan ini berhasil melakukan pencegahan karhutla
di sekitar TNTN dan CSO melakukan pendampingan pada masyarakat untuk memperoleh ruang kelola den-
gan skema PS.

Areal kerja RETN mencakup kawasan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 81.793 ha, Eks HPH PR Siak
Raya Timber 38.560 ha dan PT Hutani Sola Lestari 45.990 ha serta 13 areal konsesi HTI serta 11 HGU
sawit. Revitalisasi ini dilakukan untuk menyelamatkan kawasan hutan tersisa yang telah banyak dirambah.
Dari hasil identifikasi diketahui TNTN telah dirambah seluas 44.544 ha dan eks HPH PT SRT dan PT HSL
seluas 55.834 ha.

Dari identifikasi keadaan lapangan ditemukan 64 cukong di eks HPH PT HSL, 36 cukong di eks PT SRT
dan 150 cukong di TNTN. Menghindari cukong-cukong menguasai lahan, tim RETN mendorong me-
kanisme PS dengan hutan desa di areal RETN, namun dengan adanya pasal 74 ayat 1 dan 2 desa akan di
enclave dan akan semakin memperkuat kedudukan dan menguntungkan cukong di TNTN untuk menguasai
lahan secara legal—sebelumnya illegal karena berada dalam kawasan hutan—karena telah di enclave dari
kawasan hutan.
Selain di RETN, perambahan kawasan hutan oleh cukong dan korporasi juga terjadi di Taman Nasional
Bukit Tigapuluh, Taman Nasional Zamrud dan Hutan Lindung Bukit Betabuh, SM Balai Raja dan SM Rim-
bang Baling70.

Footnote:
70. eyesontheforest.or.id/uploads/default/report/Eyes-on-the-Forest-Laporan-Investigatif-Harimau-di-dalam-tangki-mobil-anda-Sep-
tember-2014.pdf

68 PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
PROVINSI RIAU 2017 - 2037
BAB VII
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam Ranperda RTRWP Riau 2017 – 2037 tergambar 90 persen pola ruang Provinsi Riau diperuntuk-
kan bagi budidaya dan 10 persen sisanya untuk lindung karena rujukan SK No 673/MENHUT-II/2014,
SK 878/MENHUT-II/2014, SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK 393/MENLHK/SETJEN/
PLA.0/5/2016 dan SK No 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016. SK yang diterbitkan mengabaikan
kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada 2010 berjudul Titik Korupsi dalam Lemahnya
Kepastian Hukum pada Kawasan Hutan, putusan MK No 45/PUU-IX/2011, putusan MK No 35/PUU-
IX/2012 dan Rencana Aksi GNPSDA KPK. Termasuk holding zone seluas 405.874 ha bertentangan dengan
aturan yang lebih tinggi.

Implikasinya, konflik antara korporasi dengan masyarakat adat dan tempatan tidak akan pernah selesai dan
monopoli kawasan hutan oleh korporasi HTI dan sawit kian legal.

B. REKOMENDASI

1. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI mereview SK No 673/MENHUT-II/2014, SK 878/MEN-


HUT-II/2014, SK 314/MENLHK/SETJEN/PLA.2/4/2016 jo SK 393/MENLHK/SETJEN/PLA.0/5/2016
dan SK No 903/MENLHK/SETJEN/PLA.2/12/2016. SK direview dengan merujuk pada kajian Direk-
torat Penelitian dan Pengembangan KPK pada 2010 berjudul Titik Korupsi dalam Lemahnya Kepastian
Hukum pada Kawasan Hutan, putusan MK No 45/PUU-IX/2011, putusan MK No 35/PUU-IX/2012 dan
Rencana Aksi GNPSDA KPK.

2. Dalam kebijakan penataan ruang (Pasal 5), tidak disentuh prasyarat bagaimana tujuan penataan ru-
ang (Pasal 4) dapat dicapai. Provinsi Riau akan berlanjut pada kondisi saat ini apabila berbagai klaim
dan konflik sosial (Butir 4 a sd e) tidak diselesaikan terlebih dahulu. Kebijakan dengan menggunakan
pendekatan litigasi maupun non-litigasi semestinya ditegaskan dalam Raperda ini.

3. Demikian pula pada strategi penataan ruang (Pasal 6) tidak disebutkan mekanisme dan instrumen
pelaksanaan pendekatan litigasi dan non-litigasi tersebut. Instrumen yang dimaksud dapat menggunakan
pendekatan-pendekatan Peraturan Pemerintah No 38/2017 tentang Inovasi daerah, Peraturan Pemerintah
No 46/2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, Peraturan Presiden No 88/2017 tentang
Penyelesaian Penguasaan Tanah di dalam Kawasan Hutan.

4. Dalam Pasal 23 mengenai Rencana Pola Ruang, disebutkan bahwa dasar acuan yang digunakan adalah
Peta skala 1:250.000 yang dilampirkan, termasuk kawasan Holding Zone. Penetapan ini tidak cukup
jelas, karena peta yang ditunjukkan tidak disertai dengan kondisi penggunaan hutan/lahan saat ini (exist-
ing land use). Masalah-masalah penggunaan kawasan hutan seperti diuraikan dalam butir 4 huruf a sd e
di atas tidak terlihat. Padahal fakta lapangan itu adalah bagian penting yang harus diselesaikan. Demiki-
an pula, penetapan Holding Zone pada Pasal 40 juga tidak cukup jelas kriteria yang digunakan.

5. Arahan pemanfaatan ruang wilayah propinsi dalam Pasal 43 yang dirinci dalam Lampiran VIII tidak
mencantumkan penyelesaian masalah klaim, konflik maupun pelanggaran pemanfaatan kawasan hutan
terutama oleh perusahaan kelapa sawit. Maka, sebagai konsekuensinya, pada bagian perwujudan pola
ruang Pasal 46 sampai dengan Pasal 48 hanya dinyatakan secara normatif saja.

6. Dalam penetapan indikasi arahan peraturan zonasi pola ruang, Pasal 57 sampai dengan Pasal 59, hal-hal
yang terkait dengan penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah dalam kawasan hutan dinyatakan
berdasarkan peraturan-perundangan. Hal ini secara nyata sudah tidak dapat dikerjakan. Diperlukan
inovasi penyelesaian persoalan ini, misalnya dengan mengetengahkan proses inventarisasi dan pemeta-
an sosial, verifikasi, penetapan opsi-opsi penyelesaian termasuk adanya program perhutanan sosial dan
reforma agraria serta pengembangan ekonomi dan infrastrukturnya berbasis masyarakat.

BAB VII PENUTUP


69
7. Izin pemanfaatan ruang yang dinyatakan dalam Pasal 61 perlu dinyatakan tidak diberlakukan pada izin
di dalam kawasan hutan negara serta diberlakukan sangsi bagi pejabat yang memberikan izin dan men-
yalahi tata ruang (Pasal 63). Perlu pula dinyatakan bahwa Gubernur/Bupati/Walikota yang memberikan
izin pemanfaatan ruang harus memetakan lokasi izin itu dan peta itu harus terbuka bagi publik sesuai
UU KIP.

8. Ketentuan mengenai enclave pada Pasal 74 seharusnya dijalankan dengan memperhatikan fungsi ka-
wasan hutan, terutama bagi hutan lindung dan hutan konservasi. Selain itu, diperlukan verifikasi atas
penguasaan existing kawasan hutan untuk menentukan kelayakan penetapan enclave tersebut, seperti
pada butir 6 e. Untuk izin usaha pemanfaatan ruang yang tidak memiliki legalitas dan/atau legalitas yang
diperoleh melalui proses yang bertentangan dengan peraturan-perundangan dapat diselesaikan melalui
prosedur litigasi atau non-litigasi. Ketentuan ini perlu ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga dan/atau
Pemerintah daerah sesuai kewenangannya.

PUBLIC REVIEW RANCANGAN PERATURAN DAERAH RENCANA TATA RUANG DAN WILAYAH
70 PROVINSI RIAU 2017 - 2037
71
SEKILAS TENTANG MAJELIS EKSAMINASI

Prof Dr Ir Hariadi Kartodiharjo, MS.

Guru Besar Kebijakan Kehutanan pada Fakultas Kehutanan dan Pasca-Sarjana, Institut Pertanian Bogor
(IPB), lahir di Jombang, Jawa Timur, 24 April 1958.

Dalam 15 tahun terakhir melakukan proses perbaikan dan pelaksanaan kebijakan publik dalam bidang ke-
hutanan dan lingkungan hidup, dengan memasukkan pertimbangan ketidak-adilan dan perbaikan tata-kelo-
la (governance), melalui buku, publikasi di media masa, advokasi dan penguatan peran masyarakat sipil,
orientasi baru program studi kehutanan dan lingkungan di IPB, serta memfasilitasi dan supervisi proses
perbaikan kebijakan secara langsung melalui NKB/GNPSDA yang dikoordinasikan oleh KPK.

Sejalan dengan itu juga sebagai pendiri dan memimpin berjalannnya Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI),
sebagai Ketua MPA periode 1998—2003 dan 2003—2008. Serta melakukan mediasi konflik sumberdaya
alam dan pembaruan kebijakan kehutanan melalui peranannya sebagai Ketua Dewan Kehutanan Nasional
(DKN) periode 2006/2007, 2007/2008, 2011/2012 dan 2012/2013.

Karya buku yang ditulis, yang terkait dengan tata-kelola (governance) sumberdaya alam, yaitu: Di Balik
Krisis Ekosistem: Pemikiran tentang Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2017), Analisis Kebijakan Pen-
gelolaan Sumberdaya Alam: Diskursus—Politik—Aktor—Jaringan (2017), Kembali ke Jalan Lurus: Kritik
Ilmu dan Praktek Kehutanan Indonesia (2013), Dibalik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam: Masalah
Transformasi Kebijakan Kehutanan (2008), Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia (2006).

72
Dr H Saifuddin Syukur, SH, MCL.

Lahir di Air Tiris, 25 September 1963, Saifuddin Syukur bekerja sebagai Dosen Tetap Fakultas Hukum
UIR, Dosen Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana UIR dan Dosen Program Doktor Ilmu
Hukum Unisba Bandung.

Ia meraih gelar M.C.L dan Ph.D di Fakultas Hukum University of Delhi pada 1998 dan 2005 dan pernah
menjabat Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan Fakultas Hukum UIR pada 1994 - 1995. Ia juga pernah
menjadi Ketua Program Magister (S-2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana UIR (2005 – 2012) dan Ketua
Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UIR (2005 – 2009).
Saifuddin juga menjadi Anggota Senat Universitas Islam Riau (2005 – 2017) dan Ketua Pusat Kajian dan
Pengembangan Produk Hukum Daerah (PKP–PHD) UIR.

Untuk pengalaman di bidang legal drafting/ legislasi, ia pernah menjadi Tim Ahli diberbagai dinas ka-
bupaten diantaranya: DPRD Kab. Indragiri Hulu (2007 dan 2008), Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Kampar (2007), Dinas Pendapatan Provinsi Riau (2009 & 2010), Bagian Ekonomi Sekretariat
Daerah Kabupaten Kampar (2010), Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Pemerintah Provinsi Riau
(2011, 2012 dan 2013), DPRD Kab. Kampar (2009, 2010, 2011 dan 2016), DPRD Kota Pekanbaru (2010
dan 2011), Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Riau (2012 – 2014), Bagian Hukum Pemkab Siak
(2013 – sekarang), Bagian Hukum Pemkab Pelalawan (2013 – sekarang), Bagian Hukum Setda Kab.
Rokan Hilir (2013 – 2016), Pemkab Kepulauan Meranti (2014 s/d sekarang), Bagian Hukum dan BPMPD
Kab Bengkalis (2014 & 2015), DPRD Provinsi Riau (2015), Bagian Administrasi Pemerintahan Umum
Setdako Pekanbaru (2015), BPMPD Kabupaten Kampar (2015), Bagian Hukum Pemkab Kampar (2017 –
sekarang) dan Bagian Hukum Setda Kabupaten Rokan Hulu (2015 – sekarang).

Saifuddin juga terlibat sebagai eksaminator dalam publik review: Kasus Korupsi Kehutanan a.n, Burha-
nuddin Husin (Register perkara: 21/Pid.Sus/ 2012/PN-PBR), Kasus pembakaran lahan di Pulau Tebing
Tinggi/Rangsang – Kepulauan Meranti oleh PT. NSP, Kepmenhut NO: 10.1/Kpts-II/2000 Tentang Pe-
doman Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman, Ranperda RTRWP Riau
2017 – 2037 dan Produk Hukum Kementerian Kehutanan/ KLHK terkait HTI Periode 1996 – 2017.

73
NURSAMSU, SP

Born at Kampar 10 November 1969, he started working for WWF-Indonesia in 1995 as field coordinator
in a project based in Bukit Tigapuluh National Park stretching two provinces, Riau and Jambi. Samsu
began his career on forest crime in 2001 when he worked at division of Monitoring Logging in Tesso Nilo
Landscape and then Coordinator of Woods Movement Audit and Investigation on Illegal Sawn Mill Oper-
ation in Riau. Forest Crime Unit (FCU) of WWF-Indonesia that led by Samsu investigating illegal logging
in Tesso Nilo landscape that found APP and APRIL sourced woods from illegal practice.

FCU is an embryo for Eyes on the Forest (EoF) coalition that established in 2004. The coalition com-
prising Jikalahari (Riau network to rescue natural forest), Walhi Riau (Friends of Earth Indonesia) and
WWF-Indonesia that led by Samsu as coordinator. EoF coalition conducted investigation on deforestation
by pulp and paper industry as well as forestry crime such as corruption and in recent two years they also
investigate illegal palm oil plantations inside conservation areas.
In his investigation work for WWF and EoF, Samsu planned investigative plans, recommend GIS support
for investigators and recruit, train and mentoring investigators. He started the kind of responsibility since
2004.

Samsu is also responsible for compiling workplans for EoF work, consult with partner Jikalahari and
WALHI Riau. His robust accountability and trustworthy that have been dedicated for running EoF pro-
gram since 2004 are paid by sustainable support by international donors. And he is fully backed by strong
leadership management from WWF-Indonesia.

EoF have contributed to pressure APP and APRIL to run sustainable and responsibility business. APP
declared its Forest Conservation Program (FCP) in 2013 and implement logging moratorium despite its
process and development still needs improvement and intense monitoring of implementation from CSO in-
cluding EoF coalition. In 2014 APRIL followed APP by launching Sustainable Forest Management Policy
(SFMP) by declaring its commitment not to source fiber from natural forest. EoF coalition monitoring the
implementation by the two pulp giants from external position.

Nursamsu leads palm oil traceability’s monitoring as EoF’s work menu since investigation on illegal palm
oil plantations inside Tesso Nilo National Park in 2013. EoF also monitors such a violation in Bukit Ti-
gapuluh landscape and Bukit Betabuh Sumatran tiger corridor in central Sumatra. In 2013 EoF expanded
its organization by setting up West Kalimantan network consisting of some NGOs and followed in 2016 by
establishing Sumatra network which its member is KKI Warsi, a leading local NGO in Jambi.

EoF coalition have helped law enforcers to nab corrupt officials related to pulp and paper industry’s
licensing in 2009-2014 and palm oil related corruption in 2015. Issues of corruption in forestry sector and
forest fires as well as other forms of forest crime will be their DNA beside monitoring of deforestation. In
2016 EoF published its first book, a compilation of investigative reports 2005-2016. In 2018, Nursamsu
is awarded as the Whole-heartedly Dedication Staff by WWF-Indonesia. And Eyes on the Forest awarded
by WWF-Indonesia as the most dedicated team that got acknowledgement from national and international
sides.

74
SEKILAS TENTANG TIM PERUMUS

Made Ali, SH

Alumnus Fakultas Hukum Unri, Alumni Lembaga Pers Bahana


Mahasiswa Universitas Riau. Kontributor Mongabay Indonesia dan
pendiri Senarai. Kini Wakil Koordinator Jikalahari (2015 - 2018)

Nurul Fitria, SPd


Okto Yugo Setyo, SE
Alumnus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendi-
Alumnus Fakultas Ekonomi Unri, Alumni dikan Jurusan Matematika Universitas Riau,
Humendala FE Universitas Riau. Kini Staf Ad- Alumni Lembaga Pers Bahana Mahasiswa
vokasi dan Kampanye Jikalahari (2015 - 2018) UR. Aktif di Senarai dan menjadi Kontributor
Mongabay Indonesia wilayah Riau. Kini Staf
Advokasi dan Kampanye Jikalahari (2016 -
2018

75

Anda mungkin juga menyukai