Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis kontak merupakan istilah umum pada reaksi inflamasi akut atau

kronis dari suatuzat yang bersentuhan dengan kulit. Ada dua jenis dermatitis

kontak. Pertama, Dermatitis Kontak Iritan (DKI ) disebabkan oleh iritasi kimia,

Dermatitis Kontak Alergi (DKA) disebabkan oleh antigen (alergen)dimana

memunculkan reaksi hipersensitivitas tipe IV (cell – mediated atau tipe lambat).

Karena DKI bersifat toksik, maka reaksi inflamasi hanya terbatas pada daerah

paparan, batasnya tegasdan tidak pernah menyebar. Sedangkan DKAadalah reaksi

imunyang cenderung melibatkan kulit disekitarnya (spreading phenomenon) dan

bahkan dapat menyebar di luar area yang terkena. Pada DKA dapat terjadi

penyebaran yang menyeluruh.1

Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin

sulituntuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan

maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering,

menjengkelkan, dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari dermatitis

kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan dan 20%

alergi.Namun, data terakhir dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa

persentasedermatitis kontak akibat kerjakarena alergi mungkin jauh lebih tinggi,

berkisar antara 50 dan 60 persen, sehingga meningkatkan dampak ekonomi dari

kerjaDKA.1

Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan dermatitis yang terjadi akibat

pajanan dengan bahan alergen dari luar tubuh. Dermatits kontak alergi ialah suatu
peradangan kulityang timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses

sensitisasi. Peradangan dan edema padakulit diperantai olek reaksi imun tipe IV.2

Penyebab DK Apada umumnya adalah bahan kimia yang terkandung

dalam alat – alat yang dikenakan oleh penderita (asesoris, pakaian, sepatu,

kosmetika, obat-obat topikal) atau yang berhubungan dengan pekerjaan (semen,

sabun cuci,pestisida,bahan pelarut,bahan cat atau polutan yang lain). Disamping

bahan penyebab,ada faktor penunjang yang mempermudah timbulnya dermatitis

kontak tersebut yaitu suhu, udara, kelembaban, dan gesekan.2

Menghindari bahan penyebab dermatitis kontak merupakan cara

penanganan dermatitis kontak alergi yang paling penting. Untuk tujuan tersebut

harus diketahui bahan penyebab dermatitis kontak alergi berdasarkan anamnesis

yang cermat, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan uji tempel pada bahan

yang dicurigai.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Dermatitis kontak alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas tipe lambat

yang timbul setelah seseorang mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen.

Dermatitis kontak alergi tidak berhubungan dengan atopi.DKA merupakan

reaksi hipersensitivitas tipe lambat, atau reaksi imunologi tipe IV, dimediasi

terutama oleh limfosit yang sebelumnya tersensitisasi, yang menyebabkan

peradangan dan edema pada kulit.1,3

B. Epidemiologi

Persentase dermatitis akibat kerja dari seluruh penyakit akibat kerja

menduduki porsi tertinggi sekitar 50-60%. Selain prevalensi yang tinggi,

lokasi kelainan dermatitis akibat kerja biasanya terdapat pada lengan, tangan,

dan jari. Hal ini sangat menganggu penderita dalam melakukan pekerjaan

sehingga sangat berpengaruh negative terhadap produktivitas kerjanya, maka

dari itu penyakit tersebut perlu mendapat perhatian khusus.5

Diperkirakan jumlah penderita dermatitis kontak alergi makin bertambah

seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang mengandung bahan kimia

yang dipakai oleh masyarakat. Bila dibandingkan dengan DKI, jumlah

penderita DKA lebih sedikit, karena hanya mengenai orang yang keadaan

kulitnya sangat peka (hipersensitif). Diramalkan bahwa jumlah DKA maupun

DKI makin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah produk yang

mengandung bahan kimia yang dipakai oleh masyarakat. Namun informasi


mengenai prevalensi dan insidens DKA di masyarakat sangat sedikit,

sehingga berapa angka yang mendekati kebenaran belum didapat.6

Di Amerika Serikat 90% klaim kesehatan akibat kelainan kulit pada

pekerja diakibatkan oleh dermatitis kontak. Antigen penyebab utamanya

adalah nikel, potassium dikromat dan parafenillendiamin. Dermatitis tangan

mengenai 2% dari populasi dan 20% wanita akan terkena setidaknya sekali

sumur hidupnya. Anak-anak dengan dermatitis kontak 60% akan positif hasil

uji tempelnya. Di Skandinavia yang telah lama memakai uji tempel sebagai

standar, maka insiden dermatitis kontaknya lebih tinggi daripada di Amerika.6

Di Indonesia laporan dari tahun 1988-1991 dijumpai insiden dermatitis

kontak sebesar 4,45%. Di RSUD Dr. Abdul Aziz Singkawang Kalimantan

Barat pada tahun 1991-1992 dijumpai insiden dermatitis kontak sebanyak

17,76%. Sedangkan di RS Dr. Pringadi Medan, selama tahun 2000 terdapat

3897 pasien baru di Poliklinik alergi dengan 1193 pasien (30,61%) dengan

diagnosis dermatitis kontak. Dari bulan Januari hingga Juni 2001 terdapat

2122 pasien alergi dengan 645 (30,40%) menderita dermatitis kontak.6

 Insiden dan Prevalensi Penyakit

Epidemiologi DKA sering terjadi.Penyakit ini terhitung sebesar 7% dari

penyakit yang terkait dengan pekerjaan di Amerika Serikat. Berdasarkan

beberapa studi yang dilakukan, insiden dan tingkat prevalensi

DKAdipengaruhi oleh alergen tertentu. Dalam data terakhir, lebih banyak

perempuan (18,8%) ditemukan memiliki DKA dibandingkan laki-laki

(11,5%). Namun, harus dipahami bahwa angka ini mengacu pada


prevalensi DKA dalam populasi (yaitu, jumlah individu yang potensial

menderita DKA bila terkena alergen), dan ini bukan merupakan angka

insiden (yaitu, jumlah individu yang menderita DKA setelah jangka waktu

tertentu). Tidak ada datayang cukup tentang epidemiologi dermatitis

kontak alergi di Indonesia, namunberdasarkan penelitian pada penata

riasdi Denpasar, sekitar 27,6 persen memiliki efek samping

kosmetik,dimana 25, 4 persen dari angka itu menderita DKA.2

 Usia

Dalam studi tentang reaktivitas Rhus, individu yang lebih muda (18

sampai 25 tahun) memiliki onset lebih cepat dan resolusi cepat untuk

terjadidermatitis dibandingkan orang tua. Kompetensi reaksi imun yang

dimediasi sel T pada anak-anak masih kontroversi. Studi ini masih

menganggap bahwa anak-anak jarang mengalami DKA karena sistem

kekebalan tubuh yang belum matang, namun Strauss menyarankan bahwa

hiporesponsifitas yang jelas pada anak-anak mungkin karena terbatasny a

paparan dan bukan karena kurangnya imunitas. Dengan demikian, reaksi

alergi terlihat terutamapada pasien anak yang lebih tua dan yang terjadi

sekunder oleh karena obat topikal, tanaman, nikel,atau wewangian.2

 Pola Paparan

Paparan alergen dan kemungkinan terjadinya sensitisasi bervariasi tidak

hanyapadausia, tetapi juga dengan faktor sosial, lingkungan, kegemaran,

dan pekerjaan. Meskipun sebagian besar variasi yang berkaitan dengan

jenis kelamin dan geografis pada DKA telah dikaitkan dengan faktor -
faktor sosial dan lingkungan, kegemaran dan pekerjaan memiliki efek yang

lebih menonjol.2

 Penyakit Penyerta

Penyakit penyerta yang sering adalah gangguan yang terkait dengan

defisiensi imun, seperti AIDS atau imunodefisiensi berat, penyakit yang

beragam seperti limfoma,sarkoidosis, kusta lepromatosa, dan dermatitis

atopik telah dikaitkan dengan kurangnya reaktivitas atau anergi.2

 Pekerjaan yang Umumnya Terkait dengan DKA

Ada banyak pekerjaan yang berhubungan denganDKAdan hal itu berkaitan

dengan alergen yang sering terpapar pada pekerjaan tertentu. Ada pekerja

industri tekstil, doktergigi, pekerja konstruksi, elektronik dan industri

lukisan, rambut, industri sektor makanan danlogam, dan industri produk

pembersih.2

C. Etiologi

Hampir semua hal yang terdapat dalam lingkungan menjadi iritan dan

banyak zat yang menjadi sensitizer, termasuk obat-obatan. Sekitar 25 bahan

kimia yang tampaknya memberi pengaruh terhadap sebanyak setengahdari

semua kasusDKA. Ini termasuk nikel, pengawet, pewarna, dan parfum.

Dermatitis kontak alergi adalah bentuk dasar dari reaksi imunologis tipe 4

yang diperantarai oleh sel.1,4

D. Patogenesis

Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada DKA adalah mengikuti

respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immune response)


atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Reaksi ini

terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. Hanya

individu yang telah mengalami sensitisasi dapat menderita DKA. 3

 Fase Sensitisasi

Hapten yang masuk ke dalam epidermik melewati stratum korneum akan

ditangkap oleh sel Langerhans dengan cara pinositosis, dan diproses secara

kimiawi oleh enzim lisosom atau sitosol serta dikonjugasikan pada molekul

HLA-DR menjadi antigen lengkap. Pada awalnya sel Langerhans dalam

keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit

kemampuan menstimulasi sel T. Tetapi, setelah keratosit terpajan oleh hapten

yang juga mempunyai sifat iritan, akan melepaskan sitokin (IL-1) yang akan

mengaktifkan sel Langerhans sehingga mampu menstimulasi sel T. Aktivasi

tersebut akan mengubah fenotip sel Langerhans dan meningkatkan sekresi

sitokin tertentu (misalnya IL-1) serta ekspresi molekul permukaan sel

termasuk MHC kelas I dan II, ICAM-1, LFA-3, dan B7. Sitokin proinflamasi

lain yang dilepaskan oleh keratinosit yaitu TNFα, yang dapat mengaktifasi sel

T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adesi sel dan

pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II. 3

TNFα menekan produksi E-cadherin yang mengikat sel Langerhans pada

epidermis, juga menginduksi aktivitas gelatinolisis sehingga memperlancar

sel Langerhans melewati membrane basalis bermigrasi ke kelenjar getah

bening setempat melalui saluran limfe. Di dalam kelenjar saluran limfe, sel

Langerhans mempresentasikan kompleks HLA-DR-antigen kepada sel-T


penolong spesifik, yaitu yang mengekspresikan molekul CD$ yang mengenali

HLA-DR sel Langerhans, dan kompleks reseptor sel-T-CD3 yang mengenali

antigen yang telah diproses. Ada atau tidak adanya sel-T spesifik ini

ditentukan secara genetik. 3

Sel Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk

mensekresi IL-2 dan mengekspresi reseptor-IL-2 (IL-2R). Sitokin ini akan

menstimulasi proliferasi sel T spesifik, sehingga menjadi lebih banyak.

Turunan sel ini yaitu sel-T memori (sel-T teraktivasi) akan meninggalkan

kelenjar getah bening dan beredar ke seluruh tubuh. Pada saat tersebut

individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3

minggu. 3

Menurut konsep ‘danger’ signal (sinyal ‘bahaya’) bahwa sinyal antigenik

murni suatu hapten cenderung menyebabkan toleransi, sedangkan sinyal

iritannya menimbulkan sensitisasi. Dengan demikian terjadinya sensitisasi

kontak bergantung pada adanya sinyal iritan yang dapat berasal dari allergen

kontak sendiri, dari ambang rangsang yang rendah terhadap respons iritan,

dari bahan kimia inflamasi pada kulit yang meradang, atau kombinasi dari

ketiganya. Jadi sinyal ‘bahaya’ yang menyebabkan sensitisasi tidak berasal

dari sinyal antigenik sendiri, melainkan dari iritasi yang menyertainya. Suatu

tindakan mengurangi iritasi akan menurunkan potensi sensitisasi. 3

 Fase Elisitasi
Fase kedua (elisitasi) hipersensitivitas tipe lambat terjadi pada pajanan

ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap

oleh sel Langerhans dan diproses secara kimiawi menjadi antigen, diikat oleh

HLA-DR kemudian diekpresikan di permukaan sel. Selanjutnya kompleks

HLA-DR-antigen akan dipresentasikan kepada sel-T yang telah tersensitisasi

(sel-T memori) baik dikulit maupun dikelenjar limfe sehingga terjadi proses

aktivasi.

Di kulit proses aktivasi lebih kompleks dengan hadirnya sel-sel lain. Sel

Langerhans mensekresi IL-1 yang menstimulasi sel-T untuk memproduksi

IL-2 dan mengekspresi IL-2R, yang akan menyebabkan proliferasi dan

ekspansi populasi sel-T di kulit. Sel-T teraktivasi juga mengeluarkan IFN-γ

yang akan mengaktifkan keratinosit mengekspresi ICAM-1 dan HLA-DR.

Adanya ICAM-1 memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi dengan sel-T

dan leukosit yang lain yang mengekspresi molekul LFA-1.

Sedangkan HLA-DR memungkinkan keratinosit untuk berinteraksi

langsung dengan sel-T CD4+, dan juga memungkinkan presentasi antigen

kepada sel tersebut. HLA-DR juga dapat merupakan target sel-T sitotoksik

pada keratinosit. Keratinosit menghasilkan juga sejumlah sitokin antara lain

IL-1, IL-6, TNFα, dan GMCSF, semuanya dapat mengaktivasi sel-T. IL-1

dapat menstimulasi keratinosit menghasilkan eikosanoid. Sitokin dan

eikosanoid ini akan mengaktifkan sel mast dan makrofag. Sel mast yang

berada di dekat pembuluh darah dermis akan melepaskan antara lain

histamine, berbagai jenis faktor kemotaktik, PGE2, dan PGD2, dan leukotrien
B4 (LTB4). Eikosanoid baik yang berasal dari sel mast (prostaglandin)

maupun dari keratinosit atau leukosit menyebabkan dilatasi vascular dan

meningkatkan permeabilitas sehingga molekul larut seperti komplemen dan

kinin mudah berdifusi ke dalam dermis dan epidermis. Selain itu faktor

kemotaktik dan eikosanoid akan menarik neutrofil, monosit, dan sel darah

lain dari dalam pembuluh darah masuk ke dalam dermis. Rentetan kejadian

tersebut akan menimbulkan respons klinik DKA. Fase elisitasi umumnya

berlangsung antara 24-48 jam. 3

E. Gambaran Klinis

Penampilan klinis DKA dapat bervariasi tergantung pada lokasi dan

durasi. Pada kebanyakan kasus, erupsi akut ditandai dengan macula dan

papula eritema, vesikel, atau bula, tergantung pada intensitas dari respon

alergi.Dermatitis kontak alergi umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit

bergantung pada tingkat keparahan dan lokasi dermatitisnya.

Pada stadium akut dimulai dengan bercak eritematosa berbatas tegas

kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula

dapat pecah menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). DKA akut di tempat

tertentu, misalnya kelopak mata, penis, skrotum, lebih didominasi oleh

eritema dan edema. Batas - batas dermatitis umumnyatidak tegas.

DKA pada wajah dapat mengakibatkan pembengkakan periorbital yang

menyerupai angioedema. Pada fase subakut, vesikel kurang menonjol, dan

pengerasankulit, skala, dan lichenifikasi dinibisa saja terjadi. DKA tidak

selalu tampak eksema, ada varian noneksema yang mencakup lichenoid


kontak, eritema multiformis (EM), hipersensitivitaskontak kulit seperti

selulitis, leukoderma kontak, purpurakontak, dan erythema dyschromicum

perstans. Dari jumlah tersebut, varian lichenoid dan EM terlihat paling

sering.Pada DKAkronis hampir semua kulitmunculscaling,lichenifikasi,

dermatitisyang pecah-pecah (membentuk fisura),denganatau tanpa

papulovesikelisasiyangmenyertainya. Kelainan ini sulit dibedakan dengan

dermatitis kontak iritan kronis, dengan kemungkinan penyebab campuran.1,2

F. Pemeriksaan Klinis

 Uji tempel

Tujuan uji tempel adalah untuk menemukan alergen yang menimbulkan

dermatitis kontak. Uji ini dilakukan dengan menempelkan allergen yang

dicurigai pada kulit normal dengan cara yang benar dan dalam konsentrasi

yang sesuai. Diagnosis DKA melalui dua langkah proses: (1) membuktikan

hipersensitivitas tipe lambat, (2) membuktikan penderita bila terpajan dengan

sensitizer kemudian terjadi hipersensitivitas dan dibawah pengawasan,

paparan menyebabkan dermatitis.7

Ada dua cara utama membuktikan hipersensitivitas tipe lambat; yaitu

dengan uji tempel dan melakukan uji laboraturium (in vitro). Pada saat ini,

tidak ada satupun teknik invitro yang sanggup menggantikan uji tempel

sebagai metode untuk menyingkirkan alergi kontak. Uji tempel mempunyai

kelebihan dibandingkan teknik in vitro yang dilakukan di luar kulit, yang

merupakan organ target untuk dermatitis kontak alergik. Di dalam kulit,

metabolism senyawa dapat berikatan dengan dermatitis kontak alergik. Di


dalam kulit, metabolisme senyawa dapat berikatan dengan molekul biologi

tertentu yang diperlukan untuk reaksi hipersensitivitas, ini hanya terjadi (in

vivo) pada uji tempel, tetapi tidak pada tes in vitro. Selain itu, uji tempel satu-

satunya bioassay untuk hipersensitivitas tipe lambat dan juga merupakan uji

provokasi. 7

Indikasi utama untuk uji tempel adalah individu yang diduga menderita

DKA. Namun, pada kasus dermatitis endogenm uji tempel bahkan dapat

diindikasikan, dimana kondisi dermatitis kontak dapat tumpang tindih dengan

dermatitis endogen, atau daoat memprovokasi orang yang hipersensitif

dengan pajanan sensitizer. Pada kasus noneksematosa, uji tempel dapat

diindikasikan khususnya bila penyakit kulit yang tidak sesuai dengan cara

diagnostik tradisional. 7

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel

yaitu:

1. Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut

atau berat dapat dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin, reaksi

positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya

makin memburuk.

2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakain

kortikosteroid sistemik dihentikan sebab dapat menghasilkan reaksi

negatif palsu. Pemberian kortikosteroid topical di punggung dihentikan

sekurang-kurangnya satu minggu sebelum tes dilaksanakan.


3. Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian di baca. Pembacaan kedua

dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji temple

menjadi longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil

negative palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam

48 jam, dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji

tempelnya sampai pembacaan terakhir selesai.

5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita

yang mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan, karena dapat

menimbulkan urtikarian generalisata bahkan reaksi anafilksis. Pada

penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.3

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji temple dilepas. Pembacaan

pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang

diuji telah menghilang atau minimal. Interpretasi sebagai berikut :

1. = reaksi lemah (nonvesikuler) : eritema, infiltrat, papul (+)

2. = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)

3. = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)

4. = meragukan : hanya macula eritematosa (?)

5. = iritasi : seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)

6. = reaksi negative (-)

7. = excited skin

8. = tidak dites (NT = not tested)


Reaksi excited skin atau ‘angry back’ merupakan reaksi positif palsu, suatu

fenomena regional disebabkan oleh satu atau beberapa reaksi positif kuat, yang

dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain menjadi reaktif.

Fenomena ini pertama dikemukakakan oleh Bruno Bloch pada abad ke-20,

kemudian diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975.3

Faktor penyebab reaksi posited palsu sebagai berikut: konsentrasinya tinggi

bagi penderita; substansinya tidak murni atau terkontaminasi; bahan

vehikulumnya iritasn (terutama bahan pelarut); penggunaan preparat tes

berlebihan (tidak mungkin). Penggunaan substansi tes tidak sama rata; adanya

dermatitis pada tempat lokasi penempelan, timbulnya dermatitits baru ditempat

jauh dari lokasi; efek tekanan; iritasi mekanik akibat material yang solid atau

reaksi plester perekat atau rekasi alergik terhadap aluminium (secara kstrim

jarang).7

Reaksi uji tempel negatif palsu terjadi akibat sebagai berikut:

ketidakmampuan penetrasi allergen, konsentrasi terlalu rendah, substansi uji

tempel tidak dapat dilepaskan dari bahan vehikulum atau tertahan di kertas saring,

ketidakcukupan sejumlah preparat uji yang digunakan atau tidak bisa di oklusif,

lamanya kontak terlalu cepat (tes strip lepas); tes tidak dilakukan pada punggung

atas; pembacaan terlalu cepat (misalnya reaksi alergi kortikosteroid); tempat uji

diberi steroid atau iridiasi ultra violet; pengobatan sistemik dengan steroid (>20

mg/hari).7
G. Diagnosis Banding

1. Dermatitis Kontak Iritan

Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi peradangan kulit non-

imunologik, yaitu kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses

pengenalan/sensitisasi. Penyebab dermatitis jenis ini adalah pajanan

dengan bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan pelarut, deterjen,

minyak pelumas, asam alkali, dan serbuk kayu.3

Kelainan kulit yang terjadi sangat beragam, bergantung pada sifat

iritan.Iritan kuat memberikan gejala akut, sedang iritan lemah memberi

gejala kronis. 3

Penyebab DKI akut adalah iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat dan

asam hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida.

Biasanya terjadi karena kecelakaan ditempat kerja, dan reaksi segera

timbul. Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lama kontak,

serta reaksi terbatas hanya pada tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas,

rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin

juga nekrosis. Sedangkan DKI kronik kumulatif merupakan jenis

dermatitis kontak yang paling sering terjadi. Sebagai penyebab ialah

kontak berulang dengan iritan lemah (misalnya deterjen, sabun, pelarut,

tanah, bahkan juga air). Kelainan baru terlihat nyata setelah kontak

berlangsung beberapa minggu atau bulan, bahkan bias bertahun-

tahunkemudian. Gejala klasik berupa kulit kering, disertai eritema,

skuama, yang lambat laun kulit menjadi tebal (hyperkeratosis) dengan


likenifikasi, yang difus. Bila kontak terus berlangsung akhirnya kulit

dapaat retak seperti luka iris (fisura), misalnya pada kulit tumit seorang

pencuci yang mengalami kontak secara terus menerus dengan deterjen.

Keluhan pasien umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisura).3

2. Dermatitis Atopik

Dermatitis Atopik (DA) adalah peradangan kulit berupa dermatitis yang

kronik residif, disertai rasa gatal, dan mengenai bagian tubuh tertentu

tertentu terutama di wajah pada bayi (infantile) dan bagian fleksural

ekstremitas (padafase anak). Dermatiitis atopic kerap terjadi pada bayi dan

anak, sekitar 50% menghilang pada saat remaja, kadang dapat

menetap,atau bahkan baru muncul saat dewasa. Sampai saat ini etiologic

DA dianggap multifaktor, namun pathogenesis yang pasti masih diteliti


3
para pakar.

Dalam praktik sehari-hari dapat digunakan kriteria William guna

menetapkan diagnosis DA, yaitu:3

a. Harus ada:

Kulit yang gatal (atau tanda garukan pada anak kecil)

b. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:

 Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa

popliteal, bagian anterior dorsum pedis, atau seputar leher

(termasuk kedua pipi anak <10 tahun)

 Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada

anak <4 tahun pada generas-1 dalam keluarga)


 Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun

 Dermatitis fleksural (pipi, dahi, dan paha bagian lateral

pada anak <4 tahun)

 Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak

<4 tahun)

3. Dermatitis Numularis

Dermatitis numularis adalah peradangan kulit yang bersifat kronis,

ditandai dengan lesi berbentuk mata uang (koin) atau agak lonjong,

berbatas tegas, dengan efloresensi berupa papulovesikel yang biasanya

mudah pecah sehingga membasah (oozing).3

Penderita dermatitis numularis umumnya mengeluh sangat gatal yang

bervariasi dari ringan sampai berat. Lesi akut berupa plak eritematosa

berbentuk koin dengan batas tegas yang terbentuk dari papul dan

papulovesikel yang berkonfluens. Lambat laun vesikel pecah dan terjadi

eksudasi berbentuk pinpoint. Selanjutnya eksudat mongering dan menjadi

krusta kekuningan. Pada tepi plak dapat muncul lesi papulovesikular kecil

yang kemudian berkonfluens dengan plak tersebut sehingga lesi meluas.

Diameter plak biasanya berukuran 1-3 cm, walaupun jarang, lesi denga

diameter 10 cm pernah dilaporkan. Kulit disekitar lesi biasanya normal,

namun bias juga kering.3

H. Penatalaksanaan

Dermatitis diobati sesuai dengan beratnya penyakit. Dermatitis akut

harus diobati dengan kompres basah menggunakan air garam atau larutan
kalium permanganas (1:10.000) sampai dermatitis mongering. Dermatitis

kronis diobati dengan steroid topical dalam bentuk krim atau salep potensi

ringan hingga sedang (misalnya hidrokortison, betametason valerat,

fluokuinolon).8

Steroid kuat seperti klobetasol dipropionat harus dihindari atau hanya

dipakai dalam jangka waktu pendek karena terdapat kemungkinan adanya

efek samping obat. Dianjurkan untuk menghindari preparat kombinasi

steroid/antibiotika/antijamur karena dapat menimbulkan masalah berupa

sensitisasi. Alergi kontak terhadap kandungan preparat yaitu neomisin dan

kuinolin tidak jarang terjadi. Antibiotika oral harus diberikan bila ada

kecurigaan infeksi bakteri sekunder. Antihistamin oral harus diberikan untuk

mengurangi rasa gatal.8

I. Prognosis

Prognosis DKA umumnya baik, sejauh bahan kontaknya dapat

disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila terjadi

bersamaan dengan dermatitis oleh faktor endogen (dermatitis atopik,

dermatitis numularis, atau psoriasis), atau terpajan oleh allergen yang tidak

mungkin tidak mungkin dihindari, misalnya berhubungan dengan pekerjaan

tertentu atau yang terdapat di lingkungan penderita.3


BAB III

PENUTUP

Kulit adalah bagian tubuh manusia yang cukup sensitive terhadap berbagai

macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor.

Dioantaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan sehari-hari. Dermatitis kontak

merupakan kasus yang paling banyak dilaporkan dan merupakan lebih dari 85%

dari Penyakit Kulit Akibat Kerja, berupa dermatitis kontak alergi dan dermatitis

kontak iritan.9

Dermatitis kontak alergi adalah penyebab penyakit kulit akibat kerja yang

utama. Sebelumnya diperkirakan 25% penyakit akibat kerja disebabkan oleh

DKA, tetapi baru-baru ini penelitian pada beberapa populasi pekerja didapati

penyakit-penyakit kulit akibat kerja 40%-nya adalah DKA.7

Dermatitis Kontak Alergik didasari oleh reaksi imunologis berupa reaksi

hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV) dengan perantara sel limfosit T. terdapat dua

tahap dalam terjadinya dermatitis kontak alergik, yaitu tahap induksi

(sensitivitasi) dan tahap elisitasi. Tahap sensitivitasi dimulai dengan masuknya

antigen (hapten berupa bahan iritan) diproses dan diinterpretasikan pada sel

limfosit T. limfosit T mengalami proliferasi dan diferensiasi pada kelenjar getah

bening, sehingga terbentuk limfosit T yang tersensitivitasi. Fase elisitasi terjadi

jika terdapat pajanan ulang dari antigen kemudian akan dilepaskan sebagai

mediator yang akan menarik sel-sel radang. Hal inilah yang selanjutnya

menimbulkan gejala klinis dermatitis.10


Tes tempel (patch test) adalah teknik pemeriksaan utama. Sejumlah

allergen dioleskan pada punggung yang tidak sedang mengalami inflamasi.

Tempelan-tempelan ini dibuka setelah 48 jam dan reaksinya dibaca. Pasien dilihat

kembali setelah 72 jam dan reaksi lambat dicatat. Interpretasi (negatif palsu,

positif palsu, dan kebenaran dari hasil positif) kadang memerlukan masukan dari

spesialis.4

Suatu riwayat klinis dan riwayat oekerjaan yang baik sering

memungkinkan dokter menetapkan apakah kelainan kulit pekerja behubungan

dengan pekerjaan. Pemeriksaan klinis, patch testing, dan pemeriksaan

laboratorium akan membantu dokter menegakkan diagnosis dan memastikan

penyebab kelainan kulit. Seringkali, suatu kelainan kulit yang dicurigai

berhubungan dengan pekerjaan ternyata tidak demikian. Di tengah pemeriksaan,

pertanyaan berikut akan membantu dokter dalam penatalaksanaa penyakit kulit

akibat kerja.4

Penting untuk menghilangkan faktor penyebab, tapi profilaksis juga

penting, karena sekali terkena, dermatitis kontak alergi mungkin tetap ada

walaupun bahan kimia penyebabnya telah dihilangkan.3


DAFTAR PUSTAKA

1. Tersinanda TY, Rusyati LMM. DERMATITIS KONTAK ALERGI.


Bagian/Staf Medik Fungsional Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana. Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah
Denpasar Vol. 2 No. 8. Denpasar. Bali. 2013.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/article/viewFile/6113/4604
(diakses 10 Februari 2017)
2. Batasina T, Herry P, Pieter S. Profil dermatitis kontak alergi di poliklinik rsup
prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2013. Bagian
Ilmu Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado. Volume 5, Nomor 1, Januari - Juni 2017.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/eclinic/article/view/14735/14303
( diakses 10 Februari 2017)
3. Sularsito S.A., Soebaryo W. Dermatitis. Dalam : Menaldi S.L. SW., Bramono
K., Indriatmi W., editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th. ed. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2016. Hal 156 – 87.
4. Davey P. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga. 2005. Hal. 401
5. Ardhinka F, Oktia W, Eram T. Sarung Tangan Latex Sebagai Upaya
Pencegahan Dermatitis Kontak. Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Universitas Negeri Semarang. 2013.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/download/2835/2888
( diakses 14 Februari 2017)
6. Trihapsoro, Iwan. Dermatitis Kontak Alergik Pada Pasien Rawat Jalan Di
RSUP Haji Adam Malik Medan. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2003.
http://library.usu.ac.id/download/fk/kulit-iwan.pdf
( diakses 2 Februari 2017)
7. Widjajahakim, Raymond. Insiden Dan Pola Penyebab Dermatitis Kontak
Alergik Akibat Kerja Pada Pekerja Konstruksi Bangunan Di Kodya
Semarang. Bagian Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
2001. http://eprints.undip.ac.id/14452/1/2001FK465.pdf
( diakses 14 Februari 2017)
8. J. Jeyaratnam, David Koh. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta :
EGC. 2010. Hal. 117.
9. Pardiansyah, Robby. Association Between Personal Protective Equipment
With Contact Dermatitis in Scavengers. Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung. Volume 4 Nomor 4 Februari 2015.
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/majority/article/view/585
(diakses 2 Februari 2017)
10. Fatma L, Hari S. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Dermatitis
Kontak Pada Pekerja di PT Inti Pantja Press Industri. Departemen Keselamatn
dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/70c691f6a92367a7cb6411e3432c
db7c9135602f.pdf
(diakses 2 Februari 2017)

Anda mungkin juga menyukai