Anda di halaman 1dari 6

BAB 1 PENDAHULUAN.

fikss

A. LATAR BELAKANG
Penyakit ginjal kronis chronic kidney disease (CKD) merupakan suatu kondisi
saat ginjal mengalami kerusakan sehingga tidak mampu melaksanakan fungsinya
secara optimal . saat laju filtrasi glomerulus menunjukkan angka dibawah 15
mL/menit /1,73 m2,fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi
toksin dalam tubuh yang disebut uremia (kidney disease improving global outcomes,
2013 ). Hal ini dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis berkembang menjadi
penyakit ginjal kronik dan pasien membutuhkan terapi pengganti fungsi ginjal seperti
dialisis atau transplantasi ginjal ( Baykan & Yargie , 2012 ) .
Selain itu, penyakit gagal ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang
menyebabkan ginjal tidak dapat membuang racun dan produk sisa dari darah, ditandai
adanya protein dalam urin serta penurunan laju filtrasi glomerulus, berlangsung lebih
dari 3 bulan ( black & hawks,2010 ) .
Gagal ginjal kronik ( GGK ) adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh
penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun,,berlangsung progresif dan
irreversible. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga
menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah. Kerusakan ginjal ini
mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan
aktivitas kerja terganggu , tubuh \jadi mudah lelah dan lemas sehingga kualitas hidup
pasien menurun (Smeltzer dan Bare, 2005 ).
Perjalanan dari penyakit gag\al ginjal kronik ini adalah Penurunan aliran darah
ginjal penyakit ginjal primer ke\rusakan karena diabetes melitus atau hipertensi
obstruksi keluaraan urin, penuruna\n filtrasi glomerulus, hipertrofi pada nefron yang
tersisa, kehilangan fungsi nefron lebih jauh.
Badan Kesehatan Dunia ( WHO 2016 ) menyebutkan pertumbuhan jumlah
penderita gagal ginjal pada tahun 2014 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi .
Hasil survey yang dilakukan oleh perhimpunan Nefrologi Indonesia ( Pernefri )
diperkirakan ada sekitar 12,5 % dari populasi atau sebesar 25 juta penduduk indonesia
mengalami penurunan fungsi ginjal . Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat
penderita gagal ginjal kronik yang cukup tinggi, prevalensi gagal ginjal kronik (GGK)
meningkat dari 2.997.680 orang menjadi 3.091.240 orang (United State Renal Data
System,2016). Prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Provinsi Sumatera Barat 0,2
% dari penduduk dari pasien gagal ginjal kronis di indonesia (infodatin,2017).
Menurut data Riskesdas tahun 2018 prevalensi kejadian gagal ginjal kronik (GGK)
naik dari 2% menjadi 3,8% (Riskesdas,2018).
Terapi pengganti pada pasien GGK untuk dapat mempertahankan hidup adalah
Hemodialisa (HD), yang bertujuan menghasilkan fungsi ginjal sehingga dapat
memperpanjang kelangsungan hidup dan memperbaiki kualitas hidup para penderita
GGK. Terapi Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti
untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah
manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat
lain melalui membran semi permeabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada
ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Sukandar, 2006).
Pasien gagal ginjal menjalani proses hemodialisa 1-3 kali seminggu dan setiap
kalinya memerlukan waktu 2-5 jam, kegiatan ini akan berlangsung terus menerus
sepanjang hidupnya pengaturan pola makan atau diet pada penderita gagal ginjal yang
menjalani hemodialisa merupakan anjuran yang harus dipatuhi oleh setiap penderita
gaga lginjal selain terapi dialisis atau cuci darah. pentingnya pola konsumsi pangan
dan cara pola aktifitas penderita gagal ginjal dilakukan untuk membantu mengurangi
kerja ginjal yang tidak dipatuhi dapat meningkatkan angka mortalitas pasien gagal
ginjal ( dewa, 2012 ). banyaknya pasien gagal ginjal kronik yang kurang yakin akan
melakukan perawatan diri seperti diet, regimen cairan, dan olahraga serta mengurangi
kegiatan aktivitas sosial di lingkungannya akibat penyakit yang dideritanya .
Badan Kesehatan Dunia (WHO 2016 ) penyakit ginjal stadium akhir memerlukan
terapi dialisis atau transplatasi. Diseluruh dunia jumlah yang menerima terapi
pengganti ginjal diperkirakan lebih dari 1,4 juta dengan kejadian tubuh sekitar 8%.
Prevalensi CKD pada tahun 2013 sebanyak 2.997.680 orang, namun pada tahun 2014
meningkat sebanyak 3.091.240 orang (United State Renal Data System,2016).
Di indonesia hanya 60% dari pasien gagal ginjal kronis tersebut yang menjalani
terapi dialisis. Gagal ginjal kronik tidak ditularkan di indonesia (RISKESDAS,2013).
Di sumatera barat jumlah pasien yang menjalani terapi hemodialisa sebanyak 256
orang pasien aktif (infodatin,2017).
Pasien harus menjalani terapi dialisis sepanjang hidupnya (biasanya 1-3 kali
seminggu) atau sampai mendapat ginjal baru melalui operasi pencangkokan ginjal.
pasien yang menjalani dialisis menyebabkan kurangnya kontrol atas aktivitas
kehidupan sehari-hari dan sosial, kehilangan kebebasan, pensiun dini, tekanan
keuangan. Hal ini menyebabkan kualitas hidup pasien menurun karena pasien tidak
hanya menghadapi masalah kesehatan yang terkait dengan penyakit gagal ginjal
kronik tetapi juga terkait dengan terapi yang berlangsung seumur hidup (Mailani,
2017 ). \
Kualitas hidup dapat diartikan sebagai derajat dimana seseorang menikmati
kepuasan dalam hidupnya. untuk mencapai kualitas hidup maka seseorang harus dapat
menjaga kesehatan tubuh, pikiran dan jiwa, sehingga seseorang dapat melakukan
segala aktivitas tanpa adanya gangguan.. (ventegodt, merrick & Anderson , 2017 ) .
Kualitas hidup pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis buruk,
dari analisis menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup
pasien penyakit gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis adalah faktor sosial
demografi seperti jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pernikahan, efikasi
diri. Faktor lainnya depresi, beratnya stage penyakit ginjal, lamanya menjalani
hemodialisis, tidak patuh terhadap pengobatan, indeks massa tubuh yang tinggi,
dukungan sosial , adekuasi hemodialisis dan interdialytic weight gain ( IDWC ) ,
urine output, interdialytic dan nilai hemoglobin ( Afandi & Kurniyawan, 2018;
Mailani, 2015 ). Menurut the national kidney foundation (2015) dampak dari
hemodialisis ini terhadap pasien yaitu : Tekanan darah terlalu rendah atau tinggi,
anemia, kulit gatal, kram otot, kenaikan berat badan, hernia. Pasien yang menjalani
hemodialisis menyebabkan kurangnya kontrol atas aktivitas kehidupan sehari-hari dan
sosial, kehilangan kebebasan, pensiun dini, tekanan keuangan. Hal ini menyebabkan
kualitas hidup pasien menurun karena pasien tidak hanya menghadapi masalah
kesehatan yang terkait dengan penyakit gagal ginjal kronik (GGK) tetapi juga terkait
dengan terapi yang berlangsung seumur hidup (Mailani,2015).
World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa sehat tidak hanya
terbebas dari penyakit dan kelemahan, tetapi juga terdapatnya kesejahteraan fisik,
mental dan sosial. Hal-hal tersebut merupakan hal yang menjadi masalah pada pasien
dengan gagal ginjal kronik (GGK) karena pada penyakit tersebut terjadi penurunan
kualitas hidup yang meliputi aspek-aspek tersebut (Lacson et al, 2010). Menurut
penelitian Ibrahim (2009) menunjukkan bahwa 57,2% pasien yang menjalani
hemodialisis mempersepsikan kualitas hidupnya pada tingkat rendah dengan kondisi
fisik merasa kelelahan, kesakitan dan sering gelisah, dan 42% pada tingkat kualitas
hidup yang tinggi.
Bentuk faktor kualitas hidup klien agar tetap maksimal salah satunya adalah
efikasi diri. salah satu fungsi dari efikasi diri adalah memberikan keyakinan bahwa
seseorang akan berhasil dalam melakukan perawatan dirinya asalkan optimal dalam
melakukan kegiatan yang menunjang pada status kesehatan (Afandi & kurniyawan,
2018 ). Efikasi diri dapat mengoptimalkan kualitas hidup klien yang menjalani proses
penyembukan akibat penyakit kronik. individu dengan efikasi diri yang lebih tinggi
mengerakkan sumber daya pribadi dan sosial mereka secara proaktif untuk
mempertahankan dan meningkatkan kualitas dan lamanya hidup mereka sehingga
meeka mengalami kualitas hidup yang lebih baik. (Masoud Rayyani,Forouzi &
Razban , 2015). Selain itu beberapa pasien gagal ginjal kronik (GGK) yang menjalani
hemodialisis memiliki efikasi diri yang rendah, hal ini disebabkan dari ketidakyakinan
pasien dalam melakukan tindakan yang mendukung penanganan penyakitnya,
sehingga rendahnya efikasi diri pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisis akan berdampak buruk pada manajemen penyakit yang berisiko terhadap
penu\runan kualitas hidup.
Menurut Ghufron dan Rini (2010) mengatakan bahwa efikasi diri merupakan
salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self-knowledge yang paling
berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari karena efikasi diri yang dimiliki
ikut mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk
mencapai suatu tujuan, termasuk didalamnya perkiraan terhadap tantangan yang akan
dihadapi. Ketika menghadapi situasi yang sulit, perasaan efficacy yang tinggi,
mendorong seseorang untuk tetap tenang dan mencari solusi dari pada merenungkan
ketidakmampuannya.
Self-efficacy atau efikasi diri merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
kepercayaan diri dalam menjalani proses pengobatan yang menahun. Ketika pasien
sudah divonis mengalami penyakit kronis seperti penyakit ginjal kronik dan harus
menjalani hemodialisis, secara otomotis pasien akan melakukan tindakan supaya
penyakitnya tidak bertambah parah, dalam hal ini efikasi diri berperan penting dalam
pengambilan keputusan pasien. Beberapa faktor yang berperan dalam
mengembangkan efikasi diri adalah pra konsepsi terhadap kemampuan diri,
kesimpulan diri tentang sulitnya tugas yang telah diselesaikan (Friedman &
Schustack,2010).
Berdasarkan penelitian Anasulfalah (2018), tentang hubungan Self efficacy
dengan kualitas hidup pasien dengan chronic kidney disease yang menjalani
hemodialisis di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Hasil penelitian ini didapat bahwa
sebanyak 24 sampel memiliki kualitas hidup baik dengan sisanya buruk, kemudian
self efficacy tinggi, sehingga disimpulkan terdapat hubungan antara kedua variabel
tersebut. Berdasarkan hasil penelitian Wakhid (2018) menunjukkan pasien\ yang
memiliki efikasi diri tinggi seluruhnya memiliki kualitas sebesar 33,3% dan pasien
yang memiliki efikasi diri rendah yaitu sebesar 66,6%.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan efikasi diri dengan kualitas
hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Hemodialisa di RST Dr.
Reksodiwiryo Padang.

A. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang tel\ah diuraikan diatas, maka rumusan yang dapat
ditentukan adalah sebagai berikut :
“ Apakah ada hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa di RS Tk. III dr. Reksodiwiryo Padang.

B. TUJUAN MASALAH
1. Tujuan umum :
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efikasi diri
dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RS
Tk. III dr. Reksodiwiryo Padang.
2. Tujuan khusus :
a. Mengetahui distribusi frekuensi tingkat hubungan efikasi diri pasien gagal ginjal
kronis yang menjalani hemodialisa di RS Tk. III dr. Reksodiwiryo Padang.
b. Mengetahui distribusi frekuensi kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis yang
menjalani hemodialisa di RS Tk. III dr. Reksodiwiryo Padang.
c. Menganalisis tingkat hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien gagal
ginjal kronik yang menjalani hemodialisa di RS Tk. III dr. Reksodiwiryo Padang.
C. MANFAAT PENELITIAN
1. Bagi pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan informasi kepada
pasien gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisa tentang pentingnya hubungan
efikasi diri dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
hemodialisa di RS Tk. III dr. Reksodiwiryo Padang.

2. Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan dan sebagai
pengalaman dalam merealisasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah,
khususnya mengenai hubungan efikasi diri dengan kualitas hidup pasien gagal ginjal
kronik yang menjalani hemodialisa.

3. Bagi pelayanan keperawatan


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data untuk melatarbelakangi dirancangnya
program konseling dalam pelayanan khususnya meningkatkan hubungan efikasi diri
dengan kualitas hidup seseorang penderita gagal ginjal kronik di RS Tk. III dr.
Reksodiwiryo Padang.

4. Bagi peneliti selanjutnya


Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan keilmuan dan menambah
pengalaman peneliti dalam melaksanakan penelitian, serta dapat dijadikan dasar untuk
penelitian selanjutnya.

Anda mungkin juga menyukai