Anda di halaman 1dari 6

PERMASALAHAN HUKUM

tentang
DISSENTING OPINION

Kasus Posisi
Majelis Hakim berbeda pandangan mengenai suatu perkara, yang
pada saat pemeriksaan memasuki tahap pembuktian, Penggugat dan
Tergugat tidak hadir, akan tetapi Penggugat mengirim surat pencabutan.
Ketua Majelis berpendapat, permohonan pencabutan tersebut dikabulkan
dengan menjatuhkan penetapan pencabutan. Sedangkan dua orang
Hakim Anggota berpendapat permohonan pencabutan tersebut belum
boleh dikabulkan sebelum meminta persetujuan Tergugat. Akhirnya, Ketua
Majelis tetap membuat penetapan pencabutan dan dua orang Hakim
Anggota mengajukan dissenting opinion pada penetapan tersebut.
Dissenting opinion dua orang Hakim Anggota tersebut dimuat
dalam putusan, yang diletakkan pada bagian pertimbangan hukum Hakim,
dengan mendahulukan pendapat/pertimbangan hukum Ketua Majelis.

Pembahasan
Dissenting opinion1 adalah salah satu bentuk pendapat berbeda
dalam putusan. Di samping itu juga dikenal concurent/consenting2 opinion.
Keduanya merupakan pendapat Hakim yang jumlahnya tidak signifikan
untuk menjadi putusan majelis, kalah oleh pendapat mayoritas Hakim,
namun tetap wajib dimuat dalam putusan.3 Berdasarkan pengertian itu,

1
Dissenting opinion menurut Black’s Law Dictionary adalah “an opinion by one or more judges
who disagree with the decision reached by the majority-also termed minority opinion”. Alih
bahasa “suatu pendapat dari satu atau lebih Hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang
dicapai oleh kelompok mayoritas-juga diistilahkan pendapat minoritas”. Lihat Bryan A. Garner,
op.cit., hal. 1.119.
2
Consenting opinion, atau concurrent opinion menurut Black’s Law Dictionary adalah “a separate
written opinion explaining such a vote”. Alih bahasa “suatu pendapat tertulis yang terpisah yang
menjelaskan suatu pilihan”. Ibid., hal. 286.
3
Perintah memuat pendapat Hakim yang berbeda dengan pendapat Hakim mayoritas yang
menjadi putusan dimuat dalam ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
dissenting opinion dan consenting opinion sering juga disebut dengan
pendapat minoritas (minority opinion).
Perbedaan antara dissenting opinion dan consenting opinion
terletak pada pengaruhnya terhadap amar atau dictum putusan.
Dissenting opinion menghendaki amar putusan yang berbeda dengan
yang dikehendaki oleh pendapat mayoritas, sedangkan consenting opinion
menyepakati amar putusan yang diinginkan oleh pendapat mayoritas
Hakim, hanya saja dengan pertimbangan hukum yang berbeda.
Contoh dissenting opinion yang paling lazim adalah ketika dalam
suatu putusan ada Hakim yang berpandangan bahwa
permohonan/gugatan harus dikabukan, sedangkan Hakim yang lain
berpendapat permohonan/gugatan harus ditolak. Salah satu dissenting
opinion yang paling masyhur di Indonesia adalah yang diajukan Hakim
Agung Abdul Rahman Saleh dalam perkara pidana dengan salah satu
Terdakwa, Ir. Akbar Tanjung. Dalam putusan tersebut, Abdul Rahman
Saleh berpendapat bahwa kasasi Terdakwa harus ditolak, sedangkan
empat orang Hakim Agung lainnya berkesimpulan Terdakwa tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana didakwakan kepadanya.4
Dissenting opinion tidak selamanya disebabkan perbedaan
pendapat pada seluruh amar putusan. Bisa saja terjadi, perbedaan
pendapat tersebut hanya pada amar tertentu, misalnya salah seorang
Hakim menghendaki Pemohon dibebani pembayaran nafkah iddah,
sedangkan Hakim yang lain menilai Termohon nusyuz sehingga tidak
berhak atas nafkah iddah. Atau perbedaan tersebut terjadi pada gugatan
tambahan, misalnya salah seorang Hakim menghendaki Tergugat
dibebani dwangsom, sedangkan Hakim yang lain berpendapat sebaliknya.
Bahkan dissenting opinion juga bisa terjadi hanya karena perbedaan

2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan: “Dalam hal sidang permusyawaratan
tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.”
4
Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12 Februari 2004.
dalam menentukan besarnya atau beratnya hukuman. Dalam perkara
perdata, misalnya, pendapat mayoritas Hakim adalah menetapkan suami
berhak hanya sepertiga bagian dari harta bersama, sedangkan seorang
Hakim bagian suami dan istri masing-masing sebesar seperdua bagian
dari harta bersama. Jadi pada intinya, dissenting opinion adalah pendapat
berbeda yang menghendaki amar putusan yang berbeda dengan apa
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim.
Makna a contrario dari penerapan dissenting opinion yang terbatas
karena adanya kehendak berbeda pada amar putusan, yaitu bahwa
perbedaan sikap atau pandangan Hakim dalam penerapan hukum acara
pada pemeriksaan perkara tidak termasuk bagian yang melahirkan
dissenting opinion. Sebagai contoh, mayoritas Hakim berpendapat perlu
melaksanakan descente sebelum pemeriksaan perkara memasuki tahap
pembuktian, agar Majelis Hakim mendapat deskripsi yang lengkap
mengenai objek sengketa sehingga memudahkan menggali fakta pada
saat memeriksa bukti-bukti langsung (surat dan saksi-saksi), Sedangkan
seorang Hakim berpandangan bahwa pemeriksaan setempat baru dapat
dilakukan apabila tahap pembuktian telah selesai. Perbedaan pendapat
seperti itu tidak tercakup dalam domain pengertian dissenting opinion,
sehingga keliru jika turut dimuat dalam putusan.
Ketidakbolehan dissenting opinion disebabkan adanya perbedaan
pandangan mengenai penerapan hukum dalam pemeriksaan perkara,
dalam perkembangannya melahirkan pendapat yang membatasi
dissenting opinion hanya dalam penerapan hukum materil saja, tidak
dapat diterapkan dalam penerapan hukum formal. Pendapat demikian
tidak tepat, sebab penerapan hukum formal tidak selamanya hanya pada
pemeriksaan perkara, namun juga dalam proses constituiring.
Dissenting opinion dalam penerapan hukum formal, dapat
dicontohkan ketika salah seorang Hakim menilai bahwa apabila sudah ada
putusan yang menyatakan anak angkat secara formal tidak boleh menjadi
kuasa insidentil, maka ketika perkara yang sama diajukan kembali dan
tetap menjadikan anak angkat dimaksud sebagai kuasa insidentil, gugatan
harus dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan telah berlaku asas
litis finiri oportet, bahwa formalitas perkara a quo sudah diputus oleh
Hakim yang lain (nebis in idem). Sedangkan pendapat mayoritas menilai
putusan NO adalah putusan negatif yang tidak mengenal asas nebis in
idem, sehingga Hakim yang memeriksa perkara yang baru, yang
meskipun sama dengan perkara sebelumnya, tidak terikat dan bebas
untuk berpendapat lain, termasuk untuk menyatakan bahwa kuasa
insidentil a quo tidak cacat secara formal dan memenuhi persona standi in
judicio, sehingga pokok perkara tetap diperiksa dan diputus.
Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa dalam hal musyawarah
Majelis Hakim tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat Hakim yang
berbeda wajib dimuat dalam putusan. Substansi yang sama dimuat dalam
ketentuan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.5
Hanya saja, pada ayat (4) dari masing-masing pasal tersebut menyatakan
bahwa pelaksanaan lebih lanjut terhadap ketentuan mengenai kewajiban
memuat pendapat berbeda dalam putusan diatur oleh Mahkamah Agung.6
Frasa “diatur oleh Mahkamah Agung” pada pasal tersebut
mengisyaratkan bahwa untuk tata cara pemuatan dissenting opinion
dalam putusan, akan dimuat dalam Peraturan Mahkamah Agung,
sehingga selama belum ada Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur,
maka dissenting opinion belum boleh dimuat dalam putusan.
Hal ini sempat menjadi polemik baik di kalangan akademisi maupun
praktisi hukum. Meskipun gong pemuatan dissenting opinion sudah
ditabuh ketika Hakim Agung Abdul Rahman Saleh berbeda pendapat

5
Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: “Dalam hal sidang permusyawaratan
tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam
putusan.”
6
Pasal 30 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: “Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Mahkamah Agung.”
dengan Hakim Mayoritas dalam perkara Nomor 572 K/Pid/2003 tanggal 12
Februari 2004 sebagaimana telah disinggung di muka, akan tetapi teks
pasal dalam Undang-Undang berkata lain. Selain itu, Mahkamah Agung -
ketika itu, belum juga menerbitkan satupun peraturan yang mengatur tata
cara menuangkan dissenting opinion dalam putusan.
Meskipun polemik terjadi, namun sejak saat dissenting opinion
Hakim Agung Abdul Rahman Saleh tersebut, satu-persatu putusan Hakim,
khususnya di tingkat pertama, mulai memuat dissenting opinion. Akan
tetapi penempatannya dalam putusan masih berbeda-beda.
Dissenting opinion Hakim Agung Abdul Rahman Saleh di letakkan
pada bagian paling akhir putusan, setelah bagian tanda tangan Hakim dan
Panitera, sehingga menyerupai lampiran putusan. Model seperti ini yang
sekarang dipraktekkan oleh Mahkamah Konstitusi. Sebahagian lagi
memuatnya tepat sesudah amar putusan sebelum keterangan mengenai
hari, tanggal putusan, nama Hakim, dan panitera. Terkahir, dengan
terbitnya Perma tentang template putusan Mahkamah Agung, dissenting
opinion diletakkan pada bagian pertimbangan hukum, dengan susunan
yang mendahulukan pendapat Hakim Mayoritas lalu kemudian dissenting
opinion.7
Uraian tersebut di muka, selanjutnya dapat dijadikan tools untuk
membedah praktik dissenting opinion pada deskripsi kasus pada awal
tulisan ini. Pertama, Majelis Hakim tidak tepat dengan menjadikan
pendapat mayoritas sebagai dissenting opinion. Seharusnya, pendapat
mayoritas yang dijadikan putusan, sedangkan pendapat ketua Majelis
yang merupakan minority opinion menjadi dissenting opinion. Otoritas
Ketua Majelis hanya pada pengelolaan administrasi perkara serta
kewenangan memimpin persidangan, tidak mencakup kewenangan mutlak
mengenai inti putusan Majelis Hakim.

7
Lihat Lampiran Peraturan Mahkamah Agung Nomor 9 Tahun 2017 tentang Format (Template)
dan Pedoman Penulisan Putusan/Penetapan Mahkamah Agung.
Kedua, mengenai penempatannya dalam putusan, telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian pula
letaknya pada pertimbangan hukum sudah sesuai dengan Perma tentang
Template Putusan Mahkamah Agung.

Kesimpulan
1. Dissenting opinion adalah pendapat Hakim yang menghendaki
amar putusan yang berbeda dengan amar putusan yang
dikehendaki mayoritas Hakim pemeriksa perkara, namun wajib
dimuat dalam putusan,.
2. Dissenting opinion bisa berupa pertimbangan hukum berbeda yang
mempengaruhi seluruh amar putusan, bisa pula terhadap sebagian
amar putusan saja, bahkan tidak menutup kemungkinan sebatas
perbedaan mengenai besar atau beratnya hukuman yang
dituangkan dalam amar putusan.
3. Dissenting opinion bukan hanya karena adanya perbedaan
penerapan hukum materil, namun juga karena adanya perbedaan
penerapan hukum formal. Dengan catatan, sepanjang perbedaan
tersebut menghendaki amar putusan yang berbeda.
4. Dissenting opinion wajib dimuat dalam putusan dan diletakkan pada
bagian pertimbangan hukum.

Anda mungkin juga menyukai