Anda di halaman 1dari 56

HUBUNGAN POLA KONSUMSI, AKTIVITAS FISIK DAN KETURUNAN

DENGAN KEJADIAN OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH


DASAR DI GAMPONG PANGGONG KECAMATAN
JOHAN PAHLAWAN ACEH BARAT

SKRIPSI

Oleh:
CUT MULIA RAHMADHANI
08C10104136

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
2013
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia pada saat ini mengalami permasalahan beban ganda masalah

gizi, di mana ketika permasalahan gizi kurang belum terselesaikan, muncul

permasalahan gizi lebih. Gizi kurang banyak dihubungkan dengan penyakit-

penyakit infeksi, maka gizi lebih atau obesitas dianggap sebagai sinyal awal, dan

munculnya kelompok penyakit-penyakit degeneratif atau non infeksi yang

sekarang ini banyak terjadi di seluruh pelosok Indonesia. Fenomena ini sering

dikenal dengan sebutan New World Syndrom atau Sindrom Dunia Baru.

Tingginya prevalensi obesitas, gizi lebih, hipertensi, dislipidemi dan beberapa

penyakit degeneratif lainnya, menyebabkan tingginya angka morbiditas dan

mortalitas di Indonesia.

Gizi lebih dapat terjadi pada siapa saja dan bisa terjadi mulai dari bayi

hingga usia lanjut, baik pria maupun wanita. Di samping faktor keturunan,

sebagian besar penyebab gizi lebih diduga oleh karena terjadinya intervensi dan

modifikasi gaya hidup (lifestyle). Masalah di Asia saat ini bukan saja dengan

terjadinya peningkatan jumlah overweight, akan tetapi konsekuensi yang muncul

akibat risiko penyakit yang berhubungan dengan obesitas (risk of obesity-related

diseases) (Hamam, 2005).

Salah satu kelompok umur yang berisiko terjadinya gizi lebih adalah

kelompok umur usia sekolah. Hasil penelitian Husaini yang dikutip oleh Hamam

(2005), mengemukakan bahwa, dari 50 anak laki-laki yang mengalami gizi lebih,
2

86% akan tetap obesitas hingga dewasa dan dari 50 anak perempuan yang obesitas

akan tetap obesitas sebanyak 80% hingga dewasa. Obesitas permanen, cenderung

akan terjadi bila kemunculannya pada saat anak berusia 5 – 7 tahun dan anak

berusia 4 – 11 tahun, maka perlu upaya pencegahan terhadap gizi lebih dan

obesitas sejak dini (usia sekolah) (Aritonang, 2003).

Gizi lebih disebabkan oleh ketidakseimbangan antara asupan energi

dengan energi yang digunakan. Selain itu faktor yang mempengaruhi gizi lebih,

adalah umur, jenis kelamin, tingkat social ekonomi, faktor lingkungan, aktivitas

fisik, kebiasaan makan dan faktor neuro- psikologik serta faktor genetika

(Suhendro, 2003).

Secara umum dampak yang ditimbulkan akibat gizi lebih, adalah gangguan

psiko-sosial, yang berakibat pada rasa rendah diri, depresi dan menarik diri dari

lingkungan, dan gangguan pertumbuhan fisik, gangguan pernafasan, gangguan

endokrin, obesitas yang menetap hingga dewasa dan penyakit degeneratif, yang

berakibat pada timbulnya hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus

dan lain sebagainya (Imam, 2005).

Saat ini gizi lebih dan obesitas merupakan epidemik di negara maju,

seperti Australia, New Zealand, Singapura dan dengan cepat berkembang di

negara berkembang, terutama populasi kepulauan pasifik dan negara Asia tertentu.

Di United State of America (USA), lebih 60% populasi dewasa mengalami

overweight dan obesitas, pada anak remaja 20 – 25% mengalami obesitas.

Menurut data yang dikumpulkan Center for Disease Control (CDC), prevalensi

obesitas mulai meningkat secara dramatis sejak 1980. Peningkatan prevalensi

cepat juga dilihat pada kelompok minoritas, seperti etnis Maori di Selandia Baru,
3

Indian di Inggris (UK), Malaysia dan Singapura, Australia Aborigin, populasi

kepulauan di selat Torres. (Hamam, 2005).

Survey di Korea Selatan pada tahun 1995, melaporkan sebanyak 1,5%

obesitas (BMI>30 kg/m2) dan 20,5 overweight (BMI 25-29,9 kg/m2). Thailand

4% obesitas, 16% overweight, Malaysia 4,7% pria 7,7% wanita obesitas. (Imam,

2005).

Ita dan Murata (1999), di Jepang melaporkan peningkatan prevalensi

obesitas dari 5% ke 11% pada anak Jepang pada umur 6 – 14 tahun (Hamam,

2005). Peningkatan prevalensi obesitas juga dilaporkan dari waktu ke waktu pada

suatu negara, di Singapura antara 1992 – 1998 prevalensi obesitas tidak banyak

berubah 6%, namun pada wanita etnik Melayu 11,1% menjadi 16,2%; wanita

etnik India 12,5% menjadi 17,5%; di Malaysia 1990 – 1997 prevalensi meningkat

dari 1% menjadi 6% pada umur di antara 13 – 17 tahun (Imam, 2005).

Di Indonesia pada tahun 2002-2003 prevalensi overweight 54,0% dan

obesitas 10,3% (Hamam, 2005). Pada akhir tahun 2007 kejadian ini semakin

meningkat dan mulai mendapat perhatian sebagai masalah baru (Ronald H, 2008).

Data riskesdas pada tahun 2010 obesitas anak balita 14% sedangkan anak usia 15

tahun keatas 19,1% angka tersebut tergolong tinggi sehingga menjadi perhatian

penuh bagi semua pihak.

Data di atas menunjukkan bahwa sejalan dengan perkembangan dan

industrialisasi yang diikuti perubahan pola hidup, maka prevalensi penderita gizi

lebih dan obesitas semakin tinggi. Berdasarkan data Reskesdas tahun 2010 di

Indonesia terdapat anak yang bergizi lebih sebanyak 5,8%, dan di Aceh Barat

terdapat anak yang gizi lebih pada anak lelaki sebanyak 41 orang (3,4%) dan pada
4

anak perempuan sebanyak 32 orang (2,7%). Menurut Soekirman yang dikutip

oleh Aritonang (2003), terdapat hubungan erat antara pertumbuhan ekonomi yang

tinggi di daerah kota, perubahan pola konsumsi pangan dengan meningkatnya

penyakit degeneratif. Kehidupan yang modern di lingkungan tempat tinggal,

kemajuan serta berbagai bentuk kemudahan (instant) menghasilkan pola hidup

santai, energi yang tadinya untuk aktivitas tidak terlalu diperlukan lagi dan akan

disimpan sebagai timbunan lemak dan akhirnya menimbulkan kejadian gizi lebih.

Kegemukan atau obesitas yang terjadi pada anak-anak dapat berlanjut

sampai masa dewasa nanti dan dapat menimbulkan komplikasi yang

menyebabkan peningkatan anagka kesakitan dan bahkan kematian hampir 80%

penderita obesitas pada anak yang berlanjut menjadi obesitas pada usia dewasa,

dan hampir 30% penderita obesitas pada orang dewasa merupakan kelanjutan

obesitas pada masa anak-anak.

Pada gampong panggong terdapat anak usia sekolah sebanyak 116 orang,

dari hasil pemantauan penulis masih adanya anak yang tergolong obesitas. Setelah

di lakukannya wawancara awal, bahwa para ibu-ibu menganggap anak yang

berbadan gemuk tergolong anak yang sehat, kesalah pahaman para ibu ini dapat di

nilai bahwa masih kurangnya pengetahuan ibu terhadap anak yang sehat, dan pola

konsumsi anak yang cenderung banyak jajan makanan dan banyak anak yang

mengkonsumsi makanan yang berkalori tinggi seperti, siomay, ice cream, coklat,

bakso, burger, omlet, burger, frech chiken dan sebagainya sehingga anak menjadi

obesitas dan juga dilihat dari faktor keturunan, ada beberapa di antara anak yang

berbadan gemuk di karenakan oleh orang tua juga berbadan gemuk.


5

1.2.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka muncul permasalahan

yaitu bagaimana hubungan pola konsumsi, aktivitas fisik dan keturunan dengan

kejadian obesitas pada anak usia sekolah dasar di Gampong Panggong Kecamatan

Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

1.3.Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan pola konsumsi, aktivitas fisik dan

keturunan dengan kejadian obesitas pada anak Sekolah Dasar di Gampong

Panggong Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

1.3.2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui hubungan pola konsumsi, dengan kejadian obesitas

pada anak Sekolah Dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan

Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

2. Untuk mengetahui hubungan aktivitas fisik dengan kejadian obesitas

pada anak Sekolah Dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan

Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

3. Untuk mengetahui hubungan keturunan dengan kejadian obesitas pada

anak Sekolah Dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan

Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.


6

1.4.Manfaat Penelitian

1.4.1. Manfaat Teoritis

1. Memberikan informasi penyebab kejadian obesitas pada anak Sekolah

Dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten

Aceh Barat.

2. Dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan ilmu pengetahuan

tentang masalah kejadian obesitas pada anak sekolah dasar.

1.4.2. Manfaat Aplikatif

Sebagai bahan kajian bagi penentu kebijakan dalam penyusunan

program penanggulangan kejadian obesitas pada anak sekolah dasar,

dalam upaya peningkatan kualitas anak Sekolah Dasar.


7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Epidemiologi Obesitas

Obesitas merupakan masalah epidemik yang mengglobal dan akan

menjadi lebih buruk, jika diikuti dengan semua konsekuensi obesitas yang

ditimbulkannya. Di negara maju seperti Eropa, USA, Australia dilaporkan

prevalensinya tinggi sampai sedang dan cenderung meningkat lebih ekstrim.

Sebagai contoh, World Health Organization (1998), melaporkan lebih dari 70%

populasi dewasa kepulauan Polynesia dan Samoa adalah obesitas. DM type-2,

Penyakit Jantung Koroner (PJK), peningkatan insiden kanker paru tertentu,

gangguan obstruktif sleep opnoe, osteoarthritis pada sendi besar dan kecil. Secara

perlahan kelebihan berat badan lebih dari 10 tahun akan menimbulkan hipertensi.

Obesitas tidak lagi dianggap sebagai masalah kosmetik sederhana, tetap

harus mempertimbangkan dan melibatkan secara efektif masalah epidemiologi

untuk pencegahan dan managemen obesitas (Hamam, 2005). Padmiari (2002),

memperoleh bahwa sebagian besar anak yang menderita obesitas/gizi lebih

berasal dari orang tua dengan pendidikan tamat perguruan tinggi (50,7%) dan

terdapat hubungan signifikan antara pendidikan orang tua dengan kejadian

obesitas pada anak (p<0,05), dan anak yang banyak melebihi dari 4 jenis fast food

12 kali berisiko terhadap kejadian obesitas dari pada anak yang tidak

mengkonsumsi fast food. Hasil penelitian Budiman (1997), yang dikutip oleh

Suhendro (2003), bahwa gizi lebih dan obesitas lebih banyak ditemukan pada ibu
8

dari pada bapak, yakni masing-masing 29,1% dan 5,1%. Suhendro (2003), juga

menemukan bahwa ada hubungan pekerjaan orang tua dengan kejadian obesitas

pada anak sekolah, dimana pekerjaan orang tua merupakan faktor penentu sebagai

penunjang untuk mengetahui tingkat pendapatan atau penghasilan total keluarga

dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jenis pekerjaan yang paling banyak

adalah wiraswasta (53,3%) dan paling sedikit sebagai TNI/POLRI (21,3%).

Dilihat dari faktor risiko, sebagian besar anak Sekolah Menengah Umum

(SMU) yang mengkonsumsi fast food dan frekuensi makan sangat berhubungan

dengan kejadian obesitas/gizi lebih (p<0,05), diketahui semakin lama seseorang

mengkonsumsi fast food lebih besar sama dengan >1 tahun yang lalu mempunyai

risiko terjadinya obesitas (76,0%). Menurut Hadi (2004) remaja yang obesitas

dalam kesehariannya mempunyai waktu aktivitas ringan seperti baca buku, nonton

lebih panjang (12,20 ± 1,94 jam/hari) dibandingkan remaja yang tidak obesitas.

2.2. Pengertian Obesitas

Kegemukan (obesitas) adalah refleksi ketidakseimbangan konsumsi dan

pengeluaran energy. Penyebabnya ada yang bersifat eksogenous dan endogenous.

Penyebab eksogenous misalnya kegemaran makan secara berlebihan terutama

makanan tinggi kalori tanpa diimbangi oleh aktivitas fisik yang cukup sehingga

surplus energinya kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab

endogenous adalah adanya ganguan metabolik dalam tubuh, misalnya kejadian

tumor pada hipotalamus dapat menyebabkan hiperfagia atau nafsu makan

berlebihan. (Khomsan, 2004).


9

Menurut Pudjiadi (2003) kegemukan adalah keadaaan tubuh dengan

terdapatnya penimbunan lemak yang berlebihan dari pada yang diperlukan fungsi

tubuh. Pada gizi (over weight) terdapat berat badan yang melibihi berat badan

rata-rata.

Orang sering menyamakan pengertian kegemuan (over weight) dengan

obesitas. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda walaupun sama-sama

menggambarkan kelebihan berat tubuh. Kegemukan adalah kondisi kelebihan

berat tubuh akibat tertimbunnya lemak, untuk pria dan wanita masing-masing

melebihi 20-25% dari berat tubuh (Rimbawan, Siagian, 2004).

Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relative

seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan

protein. Kondisi ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara konsumsi kalori

dan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu banyak dibandingkan dengan

kebutuhan atau pemakaian energi (Krisno, 2002).

2.2.1. Kriteria Kegemukan (Obesitas)

Penentuan kegemukan (obesitas) atas dasar antropometri menurut

Nasar (1995) dalam M.Ramauli (2008)., pada umumnya, sebagai berikut :

1. Hanya mengukur Berat Badan (BB) dan hasilnya dibandingkan

dengan standar, yakni bila BB > 120 % disebut obesitas, sedangkan

antara 110 – 120 % disebut over weight. Keburukan cara ini adalah

pertama, tidak dikaitkan dengan Tinggi Badan (TB), sehingga tidak

mencerminkan proporsi tubuh; kedua, penampilan fisik seseorang

dipengaruhi oleh komposisi tubuh, artinya pada BB yang sama


10

seseorang dapat tampak lebih langsing dari pada yang lainnya karena

tubuhnya lebih berotot, sedangkan yang lainnya lebih banyak lemak.

2. BB dihubungkan dengan TB, selain mencerminkan proporsi atau

penampilan (BB/TB) juga memberikan gambaran tentang massa tubuh

tanpa lemak (less body mass) dengan cara menghitung BMI (Body

Mass Index) yaitu BB/TB2.

Mortalitas meningkat pada BMI > 25 (derajat I) tetapi penanganan

medis secara serius terutama pada obesitas derajat II dan III.

2.2.2. Risiko Kegemukan (Obesitas)

Risiko kegemukan (obesitas) dapat terjadi dalam jangka pendek

maupun jangka panjang, seperti yang diuraikan sebagai berikut

(M.Ramauli, 2008):

1. Gangguan psiko-sosial : rasa rendah diri, depresi dan menarik diri dari

lingkungan. Hal ini karena anak obesitas sering menjadi bahan olok –

olok teman main dan teman sekolah. Hal ini dapat pula karena

ketidakmampuan untuk melaksanakan suatu tugas atau kegiatan,

terutama olah raga akibat adanya hambatan pergerakan oleh

kegemukannya. Selain itu sebagai akibat kegemukan, penis tampak

kecil karena terkubur dalam jaringan lemak (burried penis) dan ini

dapat menyebabkan rasa malu kerena merasa berbeda dengan anak

lain. Bau atau aroma badan yang kurang menarik dapat membuat anak

menarik diri dari lingkungannya.


11

2. Pertumbuhan fisik atau linier yang lebih cepat dan usia tulang yang

lebih lanjut dibanding usia biologisnya.

3. Masalah Ortopedi seringkali terjadi slipped capital femonal epiphysis

dan penyakit blount sebagai akibat beban tubuh yang terlalu berat.

4. Gangguan pernafasan sering terserang infeksi saluran nafas, tidur

ngorok, kadang-kadang terjadi apnes sewaktu tidur, dan sering

mengantuk siang hari. Bila gangguan sangat berat disebut sebagai

sindrome pickwicknan, yaitu adanya hipoventilasi alveolar.

5. Gangguan endocrine menarche lebih cepat terjadi, karena disamping

faktor hormonal, untuk terjadi menarche diperlukan jumlah lemak

tertentu sehingga pada anak obesitas dimana lemak tubuh sudah cukup

tersedia, menars akan menjadi lebih dini. Penelitian lain menyatakan

bahwa usia tulang yang lanjut lebih berperan dalam terjadinya

menarche dari jumlah lemak tubuh.

6. Obesitas yang berlanjut (menetap) sampai dewasa, terutama bila

obesitas mulai pada masa pra pubertas.

7. Gangguan penyakit degeneratif dan penyakit metabolik, seperti

hipertensi, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus,

hiperlipoproteinemia, dan penyakit hiperkolesterolemia.

2.2.3. Pencegahan Obesitas

Obesitas pada bayi tidak ada korelasi yang jelas dengan terjadinya

obesitas pada orang dewasa, tetapi obesitas pada masa pra pubertas

umumnya berlanjut sampai dewasa. Pencegahan pada obesitas anak


12

sepenuhnya berada di tangan para orang tua dan petugas kesehatan karena

anak umumnya tidak menyadari dan kurang peduli akan masalah

kegemukan.

Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya

obesitas yaitu (Budiyanto, 2002) :

1. Olah raga.

Dengan memperbanyak olah raga maka organ tubuh kita akan bekerja

dengan keras, sehingga lemak yang ditimbun dalam tubuh akan

dibongkar untuk menggantikan energi yang hilang akibat olah raga

tersebut. Dengan demikian berat badan seseorang akan berkurang dan

kegemukan tidak akan terjadi.

2. Mengurangi konsumsi lemak.

Dengan mengurangi konsumsi lemak maka akan memberikan manfaat

berkurangnya jaringan lemak yang tidak aktif dalam tubuh. Di samping

itu dengan mengurangi konsumsi lemak terutama lemak jenuh akan

mencegah kita terkena penyakit jantung dan aterosklerosis.

3. Lebih banyak mengkonsumsi protein.

Protein dalam tubuh sangat besar fungsinya, di samping sebagai

penghasil energi protein juga berfungsi sebagai zat pembangun. Protein

lebih tahan lama tinggal di lambung karena tidak dihirolisis dengan gas

seperti karbohidrat yang mudah sekali terhidrolisis dengan gas. Dengan

banyak mengkonsumsi protein, maka seseorang tidak akan sering

makan karena masih kenyang. Ini menguntungkan untuk mencegah

terjadinya obesitas.
13

4. Banyak konsumsi serat.

Dengan mengkonsumsi serat akan membantu tubuh melancarkan faeces

yang akan dibuang, dan membantu mencegah berbagai penyakit lain.

Sumber serat yang baik adalah dari golongan serealia, sayur-sayuran

dan beberapa buah-buahan.

2.3. Masalah Obesitas pada Anak-anak

Kegemukan dapat terjadi pada setiap umur dan gambaran klinis

kegemukan pada anak dapat bervariasi dari yang ringan sampai dengan yang berat

sekali.

2.3.1. Gambaran klinis

1. Pertumbuhan berjalan cepat/pesat disertai adanya ketidakseimbangan

antara peningkatan berat badan yang berlebih dibanding dengan

tingginya.

2. Jaringan lemak bawah kulit menebal sehingga tebal lipatan kulit lebih

daripada yang normal dan kulit tampak lebih kencang.

3. Kepala tampak relatif lebih kecil dibandingkan dengan tubuhnya atau

dibandingkan dengan dadanya (pada bayi).

4. Bentuk muka lebih tembem, hidung dan mulut tampak relatif lebih

kecil, mungkin disertai dengan bentuk dagunya berganda (dagu ganda).

5. Pada dada terjadi pembesaran payudara yang dapat meresahkan bila

terjadi pada anak laki-laki.

6. Perut membesar yang bentuknya cenderung menyerupai bandul lonceng

dan kadang-kadang disertai dengan garis-garis putih atau ungu (striae).


14

7. Kelamin luar pada anak wanita tidak jelas ada kelainan, akan tetapi

pada anak laki-laki tampak relatif kecil. Sebenarnya ukuran besarnya

normal akan tetapi hanya tersembul sedikit oleh karena sebagian besar

terbenam di dalam jaringan lemak di sekitarnya.

8. Pubertas pada anak laki-laki terjadi lebih awal dan akibatnya

pertumbuhan kerangka lebih cepat berakhir sehingga tingginya pada

masa dewasa relative lebih pendek. Pada wanita menarche (haid

pertama) biasanya tidak terlambat.

9. Lingkaran lengan atas dan paha lebih besar dari normal dan tangan

relative lebih kecil dan jari-jari yang bentuknya meruncing. Mungkin

pula terdapat keadaan dimana sendi tungkai dan tungkainya sendiri

dapat mengganggu gerakan.

10. Dapat terjadi gangguan psikologis berupa : gangguan emosi, suka

bergaul, senang menyendiri dan sebagainya.

11. Pada kegemukan yang berat mungkin terjadi gangguan jantung dan

paru yang disebut Sindroma Pickliwickian dengan gejala sesak nafas,

sianosis, pembesaran jantung dan kadang-kadang penurunan kesadaran.

2.3.2. Pemeriksaan Klinis

1. Pada pemeriksaan darah dapat ditentukan gangguan endokrin.

2. Mungkin juga ditentukan gangguan metabolisme hidrat arang dan

lemak.

3. Pada air seni (urine) ditemukan peningkatan pengeluaran zat tertentu.

Kelainan-kelainan tersebut akan menghilang sendiri jika kegemukannya

sembuh.
15

4. Pada pemeriksaan rontgen dapat ditemukan usia tulang yang relatif tua.

2.4. Determinan Obesitas

Menurut Salam (1989) dalam M.Ramauli (2008) Ada beberapa faktor

yang diketahui dapat mempengaruhi terjadinya kegemukan (obesitas) antara lain :

jenis kelamin, umur, tingkat sosial ekonomi, faktor lingkungan, aktivitas fisik,

kebiasaan makan, faktor psikologis dan faktor genetik).

2.4.1. Jenis kelamin

Obesitas lebih umum dijumpai pada wanita terutama mulai pada saat

remaja, hal ini mungkin disebabkan faktor endokrin dan perubahan

hormonal. Menurut International Dietary Energy Consultative Group

(1989), perempuan sedikit lebih gemuk daripada laki-laki pada saat

kelahiran sampai bayi dan anak-anak, komposisi tubuh berbeda nyata antara

jenis kelamin selama remaja. Pada remaja dimana periode pertumbuhan,

cepat dari berat badan dan tinggi badan disertai dengan peningkatan massa

bebas lemak dan lemak tubuh.

2.4.2. Umur

Obesitas sering dianggap kelainan pada umur pertengahan. Obesitas

yang muncul pada tahun pertama kehidupan biasanya disertai dengan

perkembangan rangka yang cepat. Anak yang obesitas cenderung menjadi

obes pada saat remaja dan dewasa.

2.4.3. Tingkat sosial ekonomi

Obesitas banyak dijumpai pada kalangan remaja, yang kemungkinan

lebih disebabkan oleh karena banyak mengkonsumsi makanan yang


16

berlemak. Terjadinya obesitas pada kelompok masyarakat dengan tingkat

sosial ekonomi rendah disebabkan karena tingginya konsumsi makanan

sumber karbohidrat, sementara konsumsi protein rendah. Menurut Le Bow,

prevalensi kegemukan tergantung pada tingkat sosial ekonomi, kebudayaan

dan kriteria, kira-kira 40% pada tingkat sosial ekonomi dan 25% pada

tingkat sosial ekonomi tinggi (Le Bow, dalam M.Ramauli, 2008).

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap

kualitas dan kuantitas hidangan. Semakin tinggi tingkat pendapatan, berarti

semakin baik kualitas dan kuantitas makanan yang diperoleh, seperti

membeli buah, sayuran, dan aneka ragam jenis makanan (Berg, 1986 dalam

Rijanti, 2002).

Menurut Mukawi (1981 dalam Afifa, 2003), menyatakan intake

kalori dipengaruhi oleh status ekonomi, salah satu ukuran status ekonomi

adalah tingkat pendapatan total yang diterima oleh keluarga. Peningkatan

tingkat pendapatan akan mempengaruhi kebiasaan makan, pada sebagian

masyarakat cenderung untuk makan berlebihan.

2.4.4. Faktor lingkungan

Adalah kenyataan bahwa pola makan, jumlah dan komposisi nutrisi

dalam makanan, serta intensitas aktivitas tubuh merupakan hal yang paling

berpengaruh dalam terjadinya obesitas. Gaya hidup modern dan santai

seringkali tidak menyadari jumlah masukan kalori disamping kurang

memperhatikan kaidah gizi seimbang, seperti makan fast food merupakan

acara sehari-hari, ngemil makan berkalori tinggi dan tinggi karbohidrat pada

saat nonton televisi atau bioskop, dan sebagainya (M.Ramauli, 2008).


17

Menurut Khumaidi (1989) dalam M.Ramauli (2008) tingkah laku

seseorang dipengaruhi oleh orang lain dan untuk memperoleh kepuasan atau

ketidakpuasan hati, orang tersebut melakukan pertimbangan-pertimbangan

di dalam keadaan atau apa yang dipikirkan sebelum membuat keputusan.

2.4.5. Aktivitas fisik

Sebagian besar energi yang masuk melalui makanan pada anak

remaja dan orang dewasa seharusnya digunakan untuk aktivitas fisik.

Kurangnya aktivitas fisik menyebabkan banyak energi yang tersimpan

sebagai lemak, sehingga cenderung pada orang-orang yang kurang

melakukan aktivitas menjadi gemuk.

Hasil penelitian Subardja dkk (2000) menjelaskan bila dibandingkan

besarnya hubungan antara pola makan dan aktivitas fisik, ternyata aktivitas

fisik lebih berhubungan dengan terjadinya obesitas pada anak. Hal ini

mencerminkan bahwa, pola hidup sedentary berkontribusi dalam terjadinya

obesitas pada anak.

2.4.6. Kebiasaan Makan

Elizabeth dan Sanjur (1981) dalam M.Ramauli (2008) menjelaskan

bahwa ada 3 (tiga) faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan yaitu

karakteristik individu, karakteristik makan/pangan dan lingkungan.

Kebiasaan makan seseorang dibentuk dari kemampuan dan taraf hidupnya,

dimana makin baik taraf hidupnya, makin meningkat daya belinya dan

makin tinggi mutu makanan yang tersedia untuk keluarga.

Kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok

manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan, meliputi sikap,


18

kepercayaan, dan pemilihan makanan. Koentjaraningrat (1984) menyatakan

bahwa kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi

oleh faktor budaya, lingkungan sosial, ekonomi, lingkungan ekologi,

ketersediaan makanan, dan faktor perkembangan teknologi (M. Ramauli,

2008).

2.4.7. Pola Konsumsi

Almatsier (2002) menyatakan bahwa keseimbangan energi dicapai

bila energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan

energi yang dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan

ideal/normal. Kelebihan energi terjadi apabila konsumsi energi melalui

makanan melebihi energi yang dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan

diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya, terjadi berat badan lebih atau

kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh kebanyakan makan dalam hal

jenis karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga karena kurang gerak.

Fungsi utama protein adalah untuk pertumbuhan, namun jika tubuh

mengalami kekurangan zat energi maka fungsi protein terlebih dahulu untuk

menghasilkan energi atau untuk membentuk glukosa. Jika protein dalam

keadaan berlebihan maka protein akan mengalami deaminase yaitu nitrogen

yang dieluarkan dari tubuh dan sisa-sisa ikatan karbon akan diubah menjadi

lemak dan disimpan dalam tubuh. Dengan demikian bila mengkonsumsi

protein berlebihan dapat menyebabkan kegemukan.

Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004)

angka kecukupan energi yang dianjurkan untuk anak laki-laki usia 10 – 12

tahun sebesar 2000 kkal/orang/hari dan protein 45 gr/orang/hari, untuk anak


19

perempuan usia 10 – 12 tahun 1900 kkal/orang/hari dan protein 54

gr/orang/hari dan konsumsi lemak total dianjurkan tidak lebih dari 25% dari

total energi.

2.4.8. Faktor Keturunan

Penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa anak-anak dari

orang tua normal mempunyai peluang 10% menjadi obesitas. Peluang

tersebut akan meningkat menjadi 40 – 50%, bila salah satu orangtuanya

menderita obesitas dan akan meningkat menjadi 70 – 80% bila kedua

orangtuanya menderita obesitas (Wirakusumah, 1997 dalam Welis, 2003).

2.5. Penilaian Status Gizi Anak

Penilaian status gizi anak balita dapat dilakukan secara langsung dan tidak

langsung. Secara langsung penilaian status gizi anak balita dapat dibagi menjadi 4

penilaian yaitu : Antropometri, Klinis, Biokimia dan Biofisik (I Dewa dkk, 2008).

1. Penilaian Status Gizi Secara Antropometri.

Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan

energi dimana ketidakseimbangan dapat terlihat pada pertumbuhan fisik.

Indeks antropometri yang umum digunakan adalah berat badan terhadap umur

(BB/U), tinggi badan terhadap umur (TB/U) dan berat badan terhadap tinggi

badan (BB/TB).

2. Penilaian Status Gizi Secara Klinis.

Pemeriksaan klinis merupakan salah satu cara penilaian status gizi yang

didasarkan pada perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan

ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel seperti kulit,
20

mata dan rambut. Penggunaan metode klinis biasanya untuk survey klinis

secara cepat dimana dapat mendeteksi secara cepat tanda-tanda klinis umum

dari kekurangan salah satu atau lebih zat gizi yang dapat juga digunakan untuk

mengetahui tingkat status gizi seseorang dengan melakukan pemeriksaan fisik

yaitu tanda dan gejala atau riwayat penyakit.

3. Pemeriksaan Status Gizi Secara Biokimia.

Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang diuji

secara laboratorium yang dilakukan pada jaringan tubuh manusia seperti darah,

urine dan tinja. Metode ini digunakan untuk suatu peringatan bahwa

kemungkinan akan terjadi keadaan malnutrisi yang lebih parah lagi.

4. Penilaian Status Gizi Secara Biofisik.

Penilaian status gizi secara biofisik yaitu dengan melihat kemampuan fungsi

dan perubahan struktur dari jaringan tubuh misalnya tes adaptasi gelap untuk

melihat kejadian buta senja.

Dari ke 4 cara penilaian status gizi secara langsung, antropometri

merupakan cara yang sering digunakan untuk menilai status gizi anak balita

karena pengukuran antropometrik merupakan relative paling sederhana. Dalam

pengukuran antropometrik dilakukan beberapa pengukuran yang menjadi

indikator antropometri yaitu pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar

lengan atas kemudian indikator tersebut dibandingkan dengan umur.

2.5.1. Antropometri Sebagai Indikator Status Gizi

Status gizi terutama ditentukan oleh ketersediaan dalam jumlah

cukup dan dalam kombinasi pada waktu yang tepat semua zat-zat gizi di

tingkat sel yang diperlukan tubuh untuk tumbuh berkembang dan berfungsi
21

normal semua anggota badan. Salah satu alat ukur status gizi yang telah

digunakan dalam kegiatan dan program gizi adalah antropometri.

Penggunaan antropometri sebagai alat ukur status gizi semakin mendapat

perhatian karena didorong oleh tersedianya alat ukur untuk menilai status

gizi yang dapat digunakan secara luas dalam program-program gizi

masyarakat.

Dibandingkan dengan cara pengukuran status gizi lain antropometri

dapat dikatakan mempunyai spesifisitas rendah, karena hampir seluruh zat

gizi terlibat dalam proses pertumbuhan. Namun demikian antropometri pada

umumnya dianggap sebagai alat pengukur status gizi yang amat sensitif.

Tingginya sensitivitas ini ditunjukkan dengan faktor bahwa proses

penyesuaian terhadap kekurangan zat gizi (khususnya KKP) menyangkut

keterlambatan tubuh serta penggunaan lemak dan otot.

2.5.2. Indeks massa tubuh

Masalah kekurangan dan kelebihan gizi merupakan masalah penting,

karena selain mempunyai resiko penyakit-penyakit tertentu. Oleh karena itu

pemantauan keadaan perlu dilakukan secara berkesinambungan. Slah satu

cara adalah mempertahankan berat badan yang ideal atau normal.

Di Indonesia khususnya, cara pemantauan dan batasan berat badan

normal orang dewasa belum jelas mengacu pada patokan tertentu. Sejak

tahun 1958 digunakan cara perhitungan berat badan normal berdasarkan

rumus (I Dewa dkk, 2008):

Berat badan normal = (Tinggi badan - 100) - 10% (tinggi badan – 100)
atau
0,9 x (tinggi bdan – 100)
22

Dengan batasan:

Nilai minimum: 0,8 x (tinggi badan – 100)

Nilai maksimum: 1,1 x (tinggi badan – 100)

Rumus perhitungan IMT adalah sebagai berikut:

( )
IMT =
( ) ( )

Tabel 2.1. Katageri IMT


Kategori IMT
Obesitas > 27,0
Overweight > 25,0 – 27,0
Normal > 18,5 – 25,0
Kurus tingkat ringan 17,0 – 18,5
Kurus tingkat berat < 17,0
Sumber : Buku Penilaian Status Gizi (I Dewa dkk, 2008).

2.6. Landasan Teori

Menurut Sjarif (2003) dalam M. Ramauli (2008), obesitas dapat terjadi

karena ketidak seimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi sehingga

terjadi kelebihan energy yang selanjutnya disimpan dalam bentuk jaringan lemak.

Asupan energi yang berlebihan disebabkan konsumsi energi yang berlebihan,

sedangkan keluaran energi yang rendah disebabkan oleh rendahnya metabolisme

tubuh, aktivitas fisik dan efek termogenesis makanan. Gangguan hemostasis

energi ini disebabkan oleh faktor idiopatik (obesitas primer atau nutritional)

sedangkan faktor endogen (obesitas sekunder atau non nutritional, yang

disebabkan oleh kelainan hormonal, sindrom atau efek genetik). Secara garis
23

besar faktor yang berperan terhadap terjadinya obesitas dikelompokkan menjadi

faktor genetik dan faktor lingkungan.

2.6.1. Faktor Keturunan

Obesitas sudah dapat terjadi pada bayi, balita, pada anak usia 6

tahun,usia, remaja, dengan salah satu orang tua obesitas akan menetap

sampai dewasa. Bila kedua orang tua obesitas, sekitar 80% anak-anak

mereka akan menjadi obesitas dan bila kedua orang tua tidak obesitas maka

prevalensi obesitas akan turun menjadi 14%. Peningkatan risiko obesitas

tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh gen atau faktor lingkungan dalam

keluarga.

2.6.2 Faktor Lingkungan

Mengelompokkan faktor lingkungan yang berperan sebagai

penyebab terjadinya obesitas menjadi lima yaitu perilaku makan, aktivitas

fisik, psikologis, steroid dan sosilal ekonomi. Menurut Budiyanto (2002)

ada beberapa aspek yang mempengaruhi kegemukan (obesitas) yaitu :

1. Aspek gizi. Seseorang yang menderita obesitas mengalami kelebihan

energi. Kelebihan energi dalam tubuh diubah menjadi lemak dan

ditimbun pada tempat-tempat tertentu.

2. Aspek ekonomi. Akhir-akhir ini banyak makanan siap saji (fast food)

seperti hamburger, fried chicken, hot dog, dan lain-lain. Makanan

tersebut relatif mahal dan kebanyakan yang mengkonsumsi adalah

masyarakat ekonomi menengah keatas. Dari segi kesehatan dapat

mengganggu kesehatan karena banyak mengandung lemak tinggi

sehingga menyebabkan kegemukan.


24

3. Aspek sosial budaya. Dalam masyarakat Indonesia mempunyai pola

makan yang berbeda dengan orang barat. Dimana masyarakat kita

cenderung banyak mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung

karbohidrat. Kebiasaan yang tidak baik adalah meniru, dalam hal ini

meniru mengkonsumsi makanan cepat saji yang mana makanan tersebut

popular pada orang-orang barat.

Menurut Soetjiningsih dkk (1996), daalam M. Ramauli (2008) obesitas

merupakan faktor yang sering terjadi pada masa anak-anak dan merupakan

masalah kesehatan penting karena berdampak terhadap fisiologis maupun medis

yang berlanjut sampai dewasa. Hasil penelitiannya dinyatakan bahwa 41% anak

obesitas pada usia 7 tahun akan menjadi obesitas pada usia dewasa.

Penilaian jumlah dan jenis makanan yang di konsumsi individu menurut

Gibson (1990) dalam Hadi (2003), dapat dikelompokkan menjadi :

1. Mengingat makanan (food recall) yang dimakan oleh individu selama 24 jam

sebelum dilakukan wawancara. Contoh makanan (food model) dapat dipakai

sebagai alat bantu. Jumlah bahan makanan yang dikonsumsi diperkirakan

atau dihitung dengan ukuran rumah tangga yang kemudian dikonversikan ke

dalam ukuran berat. Pemakaian metode food recall ini digunakan untuk

mengukur rata – rata konsumsi makanan dan zat gizi kelompok masyarakat

yang jumlahnya besar.

2. Pencatatan makanan yang dimakan (food records) oleh individu dalam jangka

waktu tertentu, jumlahnya ditimbang dan diperkirakan dengan ukuran rumah

tangga.
25

3. Frekuensi konsumsi makanan (food frequency questionaire) adalah recall

makanan yang dimakan pada waktu lalu. Kuesioner terdiri dari daftar bahan

makanan dan frekuensi makan. Cara ini merekam keterangan tentang berapa

kali konsumsi bahan makanan dalam sehari, seminggu, sebulan, tiga bulan

atau jangka waktu tertentu.

4. Riwayat makan (dietary history) yaitu mencatat apa saja yang dimakan dalam

waktu lama. Cara ini memerlukan petugas wawancara yang terlatih. Periode

yang diukur biasanya adalah selama 6 bulan atau 1 tahun yang lalu. Metode

wawancara ini merupakan modifikasi dari cara recall 24 jam untuk dapat

memperoleh informasi tentang makanan yang dikonsumsi, frekuensi dan

kebiasaan makan.
26

2.7. Kerangka Teori

Genetik

Jenis kelamin Pola Konsumsi :


 Frekuensi Makan
Umur  Jumlah Zat Gizi
 Jenis Makanan
Fisiologi

Faktor Gaya Hidup :


lingkungan  Aktivitas Fisik
 Pengetahuan Gizi
Social
ekonomi
Pelayanan Kesehatan :
 Demografi Obesitas
Tingkat
pendidikan  Epidemiologis

Pekerjaan
Obesitas yang terjadi
Kemudahan pada umur sebelumnya
Hidup
Hormonal
Kemajuan
Teknologi

Gambar 1. Kerangka Teori (Suhendro, 2003).


27

2.8. Kerangka Konsep

Berdasarkan landasan teori di atas, kerangka konsep penelitian adalah

sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Pola Konsumsi
Makanan

Aktivitas Fisik Kejadian Obesitas Pada


Anak Sekolah Dasar

Keturunan

Gambar 2. Kerangka Konsep

2.9. Hipotesa Penelitian

1. Adanya hubungan antara pola konsumsi dengan kejadian obesitas pada anak

sekolah dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten

Aceh Barat.

2. Adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada anak

sekolah dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten

Aceh Barat.

3. Adanya hubungan antara Keturunan dengan kejadian obesitas pada anak

sekolah dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten

Aceh Barat.
28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah bersifat Survey Analitik dengan desain Cross

Sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan Pola Konsumsi, Aktivitas

Fisik, Dan Keturunan dengan Kejadian Obesitas Pada Anak Sekolah Dasar Di

Gampong Panggong Kecamatan Johan Pahlawan Aceh Barat (Notoatmodjo,

2010).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Gampong Panggong Kecamatan Johan Pahlawan

Aceh Barat dan penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 - 7 Mei Tahun 2013.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1 Populasi

Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah 116 orang tua yang

memiliki anak usia sekolah dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan

Pahlawan Aceh Barat.

3.3.2 Sampel

Cara pengambilan sampel adalah simple random sampling (pemilihan

sampel secara acak sederhana) dengan menggunakan rumus Slovin :

N
n=
 
1 N d 2
29

Keterangan : N = Populasi

n = Sampel

d = Tingkat Kepercayaan (0,1)

116
n =

1  116 0.12 
116
=
1  1.16

116
=
2.16

=54

Jadi jumlah keseluruhan yang diambil adalah sebanyak 54 responden

Dari perhitungan menggunakan rumus diatas didapatkan besar sampel

sebanyak 54 orang. Untuk pengambilan sampel tiap dusun dilakukan dengan

perbandingan jumlah sampel yang dibutuhkan dengan jumlah populasi,

menggunakan rumus sample fraction:

= 100%

54
= 100%
116

= 46%

Maka jumlah sampel untuk masing-masing dusun dalam

penelitian ini adalah:

Dusun Selada : 36 orang 36 x 46% = 17 orang

Dusun Bayam : 33 orang 33 x 46% = 15 orang

Dusun Tomat : 28 orang 28 x 46% = 13 orang

Dusun Kangkung : 19 orang 19 x 46% = 9 orang


30

3.4. Metode Pengumpulan Data

Setelah data dikumpulkan penulis melakukan pengolahan data dengan

langkah-langkah sebagai berikut :

1. Editing, yaitu : penulis memeriksa kembali data-data yang diperoleh baik dari

hasil wawancara maupun laporan yang didapat untuk menilai tingkat

kesesuaian.

2. Coding, yaitu : pengkodean data yakni untuk mempermudah dalam

pengolahan dan menganalisis data memberikan kode dalam bentuk angka.

3. Tabulating, yaitu : data yang telah terkumpul ditabulasikan dalam bentuk

master tabel.

3.4.1. Jenis dan sumber data

1. Data primer

Diperoleh dengan melaksanakan metode wawancara dengan

menggunakan kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan.

2. Data sekunder

Data sekunder diperoleh dari Aparatur Gampong Panggong

Kecamatan Johan Pahlawan Aceh Barat, dan dari Dinkes Aceh Barat

yang berhubungan dengan data Gizi pada anak.


31

3.5. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional


No Variabel Keterangan Variabel Independen
1 Pola Konsumsi Definisi kebiasaan makan terdiri dari
jumlah
makanan yang dikonsumsi,
frekuensi makan dalam
sehari dan banyaknya
jenis makanan yang
dikonsumsi dalam sehari.
Cara ukur Wawancara
Alat ukur Kuesioner
Hasil ukur 1. Baik
2. Tidak baik
Skala ukur Ordinal
2 Aktivitas Fisik Definisi Kegiatan yang dilakukan
oleh responden dalam
sehari-harinya.
Cara ukur Wawancara
Alat ukur Kuesioner
Hasil ukur 1. Baik
2. Tidak baik
Skala ukur Ordinal
3 Keturunan Definisi sifat genetika yang menjadi
bawaan bapak dan ibu
responden.
Cara ukur IMT = BB/TB
Alat ukur Kuesioner
Hasil ukur 1. Tidak Obesitas
2. Obesitas
Skala ukur Ordinal

Variabel Dependen
5 Kejadian Obesitas Definisi suatu keadaan patologis
akibat terdapatnya
timbunan lemak yang
berlebihan pada tubuh
Cara ukur IMT/U
Alat ukur Kuesioner
Hasil ukur 1. Tidak Obesitas
2. Obesitas
Skala ukur Ordinal
32

3.6 Aspek Pengukuran Variabel

Aspek pengukuran yang digunakan dalam pengukuran variabel dalam

penelitian ini yaitu memberikan skor dari nilai tertinggi ke nilai terendah

berdasarkan jawaban responden.

1. Pola Konsumsi

Pertanyaan untuk pola konsumsi berjumlah 6 pertanyaan dengan skor untuk

jawaban “a” adalah 1 sedangkan jawaban “b” adalah 0. Jumlah skor tertinggi

adalah 6 sedangkan jumlah skor terendah 0 untuk menentukan masing-masing

skor di gunankan Rentang sebagai berikut:

6+0 = 3
2

Jadi:

Baik jika skor > 3

Kurang jika skor < 3

2. Aktivitas Fisik

Pertanyaan untuk aktivitas fisik berjumlah 6 pertanyaan dengan skor untuk

jawaban “a” adalah 1 sedangkan jawaban “b” adalah 0. Jumlah skor tertinggi

adalah 6 sedangkan jumlah skor terendah 0 untuk menentukan masing-masing

skor di gunankan Rentang sebagai berikut:

6+0 = 3
2

Jadi:

Baik jika skor > 3

Kurang jika skor < 3


33

3. Keturunan

Status Gizi orang tua yang dihitung dari perbandingan antara berat badan (kg)

dibagi dengan tinggi badan (m2), berdasarkan kategori IMT (I Dewa dkk,

2008) :

IMT=

Obesitas : > 27,0

Overweight : > 25,0 – 27,0

Normal : > 18,5 – 25,0

Kurus tingkat ringan : 17,0 – 18,5

Kurus tingkat berat : < 17,0

4. Kejadian Obesitas

Dihitung berdasarkan kategori IMT/U

Tidak obesitas : Jika responden memiliki Z Score ≤ 2 SD

Obesitas : Jika responden memiliki Z Score > 2 SD.

Tabel 3.2. Kategori Z Score (IMT/U) dalam baku WHO-NCHS


No Kategori Z Score (baku WHO-NCHS)
1 Sangat Kurus < - 3 SD
2 Kurus -3 SD s.d < -2 SD
3 Normal -2 SD s.d 2 SD
4 Gemuk > 2 SD

3.7. Tenik Analisa Data

3.7.1. Analisis Univariat

Data dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui distribusi dari

variabel-variabel yang diteliti.


34

3.7. 2. Analisis Bivariat

Analisis ini digunakan untuk mengetahui hipotesis dengan menentukan

hubungan antara variabel independen (variabel bebas) dengan variabel Dependen

(variabel terikat) dengan menggunakan uji statistic chi-square (X2) (Budiarto,

2001).

Kemudian untuk mengamati derajat hubungan antara variabel tersebut

akan dihitung nilai odd ratio (OR).

Aturan yang berlaku pada Chi–Square adalah :

a. Bila pada 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5, maka yang

digunakan adalah“Fisher’s Exact Test”

b. Bila tabel 2 x 2, dan tidak ada nilai E < 5, maka uji yang dipakai

sebaiknya“Continuity Correction (a)”

c. Bila tabel lebih dari 2 x 2, misalnya 3 x 2, 3 x 3, dsb, maka digunakan

uji“Pearson Chi-Square”

d. Uji“Likelihood Ration” dan “Linear-by-Linear Asscaiton”, biasanya

digunakan untuk keperluan lebih spesifik, misalnya analisa stratifikasi pada

bidang epidemiologi dan juga untuk mengetahui hubungan linier dua variabel

katagori, sehingga ke dua jenis ini jarang digunakan.

Analisa data dilakukan dengan menggunakan perangkat komputer untuk

membuktikan hipotesa yaitu dengan ketentuan p value < 0,05 (Ho ditolak)

sehingga disimpulkan ada hubungan yang bermakna (Budiarto, 2001).


35

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum

Gampong panggong terletak di kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten

Aceh Barat dengan luas pemukiman 12 ha/m2. Adapun batasan wilayah gampong

Panggong sebagai berikut:

Sebelah utara berbatasan dengan Gampong Ujung Kalak

Sebelah Selatan berbatasan dengan Gampong Pasar Aceh

Sebelah Timur berbatasan dengan Krueng Cangkoi, Pangang Seurahet

Sebelah Barat berbatasan dengan Gampong Belakang

Jumlah penduduk di Gampong Panggong berjumlah 1300 orang yang

terbagi dari 691 berjenis kelamin laki-laki dan 609 berjenis kelamin perempuan,

dengan jumlah KK sebanyak 324 KK.

4.1.2. Analisis Univariat

Sebelum dilakukannya analisis bivariat untuk melihat hubungan antar

variabel maka terlebih dahulu dibuat analisis univariat dengan tabel distribusi

frekuensi dari masing-masing variabel yang di teliti.

1. Pola konsumsi

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Pola Konsumsi Pada Anak


Usia Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan
Pahlawan Aceh Barat Tahun 2013.
No Pola konsumsi Frekuensi %
1 Baik 38 70,4
2 Tidak Baik 16 29,6
Total 54 100
Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)
36

Dari Tabel 4.1. diketahui bahwa pola konsumsi anak usia sekolah di

Gampong Panggong yang baik sebanyak 70,4% sedangkan yang tidak baik

29,6%.

2. Aktivitas fisik

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Aktivitas fisik Pada Anak Usia
Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan
Pahlawan Aceh Barat Tahun 2013.
No Aktivitas fisik Frekuensi %
1 Baik 41 75,9
2 Tidak Baik 13 24,1
Total 54 100
Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)

Dari Tabel 4.2. diketahui bahwa aktivitas fisik anak usia sekolah di

Gampong Panggong yang baik sebanyak 75,9% sedangkan yang tidak baik

24,1%.

3. Keturunan

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Keturunan Pada Anak Usia


Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan
Pahlawan Aceh Barat Tahun 2013.
No Keturunan Frekuensi %
1 Tidak obesitas 40 74,1
2 Obesitas 14 25,9
Total 54 100
Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)

Dari Tabel 4.3. diketahui bahwa keturunan anak usia sekolah di Gampong

Panggong yang tidak obesitas sebanyak 74,1% sedangkan yang obesitas 25,9%.
37

4. Kejadian Obesitas

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Kejadian Obesitas Pada Anak


Usia Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan
Pahlawan Aceh Barat Tahun 2013.
No Kejadian Obesitas Frekuensi %
1 Tidak obesitas 45 83,3
2 Obesitas 9 16,7
Total 54 100
Sumber: dari data primer (diolah tahun 2013)

Dari Tabel 4.4. diketahui bahwa kejadian obesitas anak usia sekolah di

Gampong Panggong yang tidak obesitas sebanyak 83,3% sedangkan yang obesitas

16,7%.

4.1.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan variabel independen dan

dependen. Penguji ini menggunakan uji chi-square. Dikatakan ada hubungan yang

bermakna secara statistik jika diperoleh nilai p< 0,05.

a. Pola Konsumsi Dengan Kejadian Obesiatas

Tabel 4.5. Hubungan Pola Konsumsi Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak
Usia Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan
Pahlawan Aceh Barat Tahun 2013.
Pola Kejadian Obesitas
Konsumsi Tidak obesitas Obesitas Total
n % n % n % P OR
Baik 36 94,7 2 5,3 38 100 0,002 14,000
Tidak baik 9 56,3 7 43,8 16 100 (2,475-79,201)
Jumlah 45 83,3 9 16,7 54 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2013)

Dari tabel di atas di ketahui bahwa dari 38 responden yang pola

konsumsinya baik 94,7% tidak mengalami obesitas sedangkan dari 16 responden

yang pola konsumsinya tidak baik 43,8% mengalami obesitas. Dari hasil uji chi

square di dapat nilai P Value = 0,002 dan ini lebih kecil dari α= 0,05 sehingga

terdapatnya hubungan yang signifikan antara pola konsumsi dengan kejadian


38

obesitas pada anak usia Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan

Pahlawan Aceh Barat.

Dilihat dari nilai OR 14,000 maka dapat diartikan bahwa pola komsusi

yang baik memiliki peluang 14 kali tidak mengalami obesitas dari pada anak

dengan pola konsumsi yang tidak baik.

b. Aktivitas fisik Dengan Kejadian Obesiatas

Tabel 4.6. Hubungan Aktivitas fisik Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak
Usia Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan
Pahlawan Aceh Barat Tahun 2013.
Aktivitas Kejadian Obesitas
fisik Tidak obesitas Obesitas Total
n % n % n % P OR
Baik 38 92,7 3 7,3 41 100 0,004 10,857
Tidak baik 7 53,8 6 46,2 13 100 (2,185-53,945)
Jumlah 45 83,3 9 16,7 54 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2013)

Dari tabel di atas di ketahui bahwa dari 41 responden yang aktivitas

fisiknya baik 92,7% tidak mengalami obesitas sedangkan dari 13 responden yang

aktivitas fisiknya tidak baik 46,2% mengalami obesitas. Dari hasil uji chi square

di dapat nilai P Value = 0,004 dan ini lebih kecil dari α= 0,05 sehingga

terdapatnya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian

obesitas pada anak usia Sekolah Dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan

Pahlawan Aceh Barat.

Dilihat dari nilai OR 10,857 maka dapat diartikan bahwa aktifitas fisik

yang baik memiliki peluang 11 kali tidak mengalami obesitas dari pada anak

dengan aktivitas fisik yang tidak baik.


39

c. Keturunan Dengan Kejadian Obesiatas

Tabel 4.7. Hubungan Keturunan Dengan Kejadian Obesitas Pada Anak Usia
Sekolah Dasar Di Gampong Panggong Kecamatan Johan
Pahlawan Aceh Barat Tahun 2013.
Keturunan Kejadian Obesitas
Tidak obesitas Obesitas Total
n % n % n % P OR
Tidak obesitas 37 92,5 3 7,5 40 100 0,006 9,250
Obesitas 8 57,1 6 42,9 14 100 (1,900-45,027)
Jumlah 45 83,3 9 16,7 54 100
Sumber: data primer (diolah tahun 2013)

Dari tabel di atas di ketahui bahwa dari 40 responden yang keturunannya

tidak mengalami obesitas 92,5% tidak mengalami obesitas sedangkan dari 14

responden yang keturunannya mengalami obesitas 42,9% mengalami obesitas.

Dari hasil uji chi square di dapat nilai P Value = 0,006 dan ini lebih kecil dari α=

0,05 sehingga terdapatnya hubungan yang signifikan antara keturunan dengan

kejadian obesitas pada anak usia Sekolah Dasar di Gampong Panggong

Kecamatan Johan Pahlawan Aceh Barat.

Dilihat dari nilai OR 9,250 maka dapat diartikan bahwa keturunan yang

tidak mengalami obesitas memiliki peluang 9 kali tidak mengalami obesitas dari

pada anak dengan keturunan yang mengalami obesitas.

4.2. Pembahasan

4.2.1. Hubungan Pola Konsumsi Dengan Obesitas

Obesitas adalah suatu keadaan yang melebihi dari berat badan relatif

seseorang, sebagai akibat penumpukan zat gizi terutama karbohidrat, lemak dan

protein. Kondisi ini disebabkan oleh ketidak seimbangan antara konsumsi kalori

dan kebutuhan energi, dimana konsumsi terlalu banyak dibandingkan dengan

kebutuhan atau pemakaian energi (Krisno, 2002).


40

Almatsier (2002) menyatakan bahwa keseimbangan energi dicapai bila

energi yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan sama dengan energi yang

dikeluarkan. Keadaan ini akan menghasilkan berat badan ideal/normal. Kelebihan

energi terjadi apabila konsumsi energi melalui makanan melebihi energi yang

dikeluarkan. Kelebihan energi ini akan diubah menjadi lemak tubuh. Akibatnya,

terjadi berat badan lebih atau kegemukan. Kegemukan bisa disebabkan oleh

kebanyakan makan dalam hal jenis karbohidrat, lemak maupun protein, tetapi juga

karena kurang gerak.

Pada lokasi penelitian terdapat 9 anak mengalami obesitas salah satu

penyebabnya pola komsusi makanan dimana dari 38 responden yang pola

konsumsinya baik 94,7% tidak mengalami obesitas sedangkan dari 16 responden

yang pola konsumsinya tidak baik 43,8% mengalami obesitas, dan ini diperkuan

dengan uji chi square dimana nilai P Value lebih kecil dari α=0,05 yaitu 0,002

sehingga ini menyimpulkan terdapatnya hubungan antara pola konsumsi dengan

obesitas.

4.2.2. Hubungan Aktifitas Fisik Dengan Obesitas

Kegemukan (obesitas) adalah refleksi ketidakseimbangan konsumsi dan

pengeluaran energi. Penyebabnya ada yang bersifat eksogenous dan endogenous.

Penyebab eksogenous misalnya kegemaran makan secara berlebihan terutama

makanan tinggi kalori tanpa diimbangi oleh aktivitas fisik yang cukup sehingga

surplus energinya kemudian disimpan sebagai lemak tubuh. Penyebab

endogenous adalah adanya ganguan metabolik dalam tubuh, misalnya kejadian

tumor pada hipotalamus dapat menyebabkan hiperfagia atau nafsu makan

berlebihan. (Khomsan, 2004).


41

Hasil penelitian Subardja dkk (2000) menjelaskan bila dibandingkan

besarnya hubungan antara pola makan dan aktivitas fisik, ternyata aktivitas fisik

lebih berhubungan dengan terjadinya obesitas pada anak. Hal ini mencerminkan

bahwa, pola hidup sedentari berkontribusi dalam terjadinya obesitas pada anak.

Terlihat juga dari hasil penelitian pada lokasi penelitian dimana

terdapatnya hubungan yang signifikan antara aktivitas fisik dengan kejadian

obesitas pada anak usia Sekolah Dasar di Gampong Panggong Kecamatan Johan

Pahlawan Aceh Barat dimana nilai P Value lebih kecil dari α= 0,05 yaitu 0,004.

4.2.3. Hubungan Keturunan Dengan Obesitas

Gizi lebih dapat terjadi pada siapa saja dan bisa terjadi mulai dari bayi

hingga usia lanjut, baik pria maupun wanita. Faktor keturunan merupakan salah

satu yang dapat menyebabkan anak mengalami obesitas, dengan salah satu orang

tua obesitas akan menetap sampai dewasa. Bila kedua orang tua obesitas, sekitar

80% anak-anak mereka akan menjadi obesitas dan bila kedua orang tua tidak

obesitas maka prevalensi obesitas akan turun menjadi 14%. Peningkatan risiko

obesitas tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh gen atau faktor lingkungan dalam

keluarga. (Hamam, 2005).

Pada lokasi penelitian faktor keturunan mempengaruhi kejadian obesitas

dimana dari 40 responden yang keturunannya tidak mengalami obesitas 92,5%

tidak mengalami obesitas sedangkan dari 14 responden yang keturunannya

mengalami obesitas 42,9% mengalami obesitas. Diperkuat dari hasil uji chi

square dimana nilai P Value lebih kecil dari α= 0,05 yaitu 0,006 dan ini diartikan

bahwa terdapatnya hubungan yang signifikan antara keturunan dengan kejadian

obesitas.
42

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Adanya hubungan antara pola konsumsi dengan kejadian obesitas pada

anak dengan nilai P Value lebih kecil dari α= 0,05 yaitu 0,002.

2. Adanya hubungan antara aktivitas fisik dengan kejadian obesitas pada

anak dengan nilai P Value lebih kecil dari α= 0,05 yaitu 0,004.

3. Adanya hubungan antara keturunan dengan kejadian obesitas pada anak

dengan nilai P Value lebih kecil dari α= 0,05 yaitu 0,006.

5.2. Saran

Kepada orang tua agar lebih meningkatkan kesadarannya akan

pentingnya gizi dan kesehatan pada anak termasuk pola hidup sehat,

diantaranya mencari informasi tentang masalah gizi lebih cara pencegahan

dan penanggulangannya, mengetahui dampak akibat dari gizi lebih serta

menerapkan pada anak dalam pemilihan makanan jajanan yang sehat, pola

konsumsi yang sehat, memperbanyak konsumsi sayuran dan buah-buahan

serta membiasakan anak untuk berolah raga.


43

DAFTAR PUSTAKA

Afifa, E., 2003. Tanaman Obat Untuk Mengatsi Hepatitis. Agromedia. Jakarta

Almatsier S., 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta

Aritonang, E. Siagian Albiner., 2003. Hubungan Konsumsi Pangan dengan Gizi


Lebih pada Anak TK di Kotamadya Medan Tahun 2003. Lembaga
Penelitian Universitas Sumatera Utara.

Budiarto,E. 2001. Pengantar Epidemiologi Edisi kedua. EGC. Jakarta.

Budiyanto. M.A.K., 2002. Dasar-dasar Ilmu Gizi. UMM Press. Malang.

Hamam Hadi, 2005. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya Terhadap
Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. Jakarta

Herini, E.S. 1999. Karakteristik Keluarga dengan Anak Obesitas, dalam Berita
Kedokteran Masyarakat, Vol. XV. Jakarta

I Dewa Nyoman Supariasa, Bachyar Bakri, dan Ibnu Fajar., 2008. Penilaian
Status Gizi. EGC. Jakarta.

Imam, Sukiman, 2005. Obesitas Konsekuensi Pencegahan dan Pengobatan.


Makalah Penetapan Guru Besar Fakultas Kedokteran Bidang
Bidang Ilmu Patologi Klinik Universitas Sumatera Utara, Bappenas,
2004. Medan.

Khomsan. A. 2004, Peranan Pangan dan Gizi untuk Kualitas Hidup. Penerbit
Grasindo. Jakarta.

Krisno A, Moch., 2002. Gizi dan Kesehatan, Edisi Pertama, Desember 2002,
Jakarta.

M.Ramauli S., 2008. Tesis: Pengaruh Perilaku Ibu, Aktivitas Fisik Dan
Lingkungan Terhadap Kejadian Obesitas Pada Siswa Sekolah
Dasar Swasta Di Kecamatan Medan Baru Kota Medan. USU.
Medan

Nasar, S.S., 1995. Obesitas pada Anak : Aspek Klinis dan Pencegahan, Naskah
Lengkap Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak, XXXV, Jakarta.

Notoatmodjo, 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta


44

Padmiari. Ida. A, 2002. Prevalensi Obesitas dan Konsumsi Fast Food Sebagai
Faktor Resiko Terjadinya Obesitas Pada Anak SD di Kota
Denpasar, Bali. Tesis Magister Gizi dan Kesehatan Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Pudjiadi. Solihi, 2003. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Pustaka bunda. Jakarta.

Rimbawan dan Siagian, A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. PT. Penebar


Swadaya. Jakarta.

Ronald H. Sitorus., 2008. Pedoman Perawatan Kesehatan Anak. Yrama Widya.


Bandung.

Suhendro, 2003. Fast Food Sebagai Faktor Resiko Terjadinya Obesitas Pada
Remaja Siswa-Siswi SMU di Kota Tangerang Propinsi Banten.
Tesis Magister Ilmu-ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Utama Gizi
dan Kesehatan, Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.
45

Lampiran 1

KUESIONER

HUBUNGAN POLA KONSUMSI, AKTIVITAS FISIK DAN KETURUNAN


TERHADAP KEJADIAN OBESITAS PADA ANAK SEKOLAH DASAR
DI GAMPONG PANGGONG KECAMATAN JOHAN PAHLAWAN
ACEH BARAT

I. Identitas Responden

1. Nama :

2. Jenis Kelamin :

3. Umur :

4. Kelas :

5. Berat Badan :

6. Tinggi Badan :

II. Identitas orang Tua

1. Ayah

 Nama :

 Umur :

 Berat Badan :

 Tinggi Badan :

2. Ibu

 Nama :

 Umur :

 Berat Badan :

 Tinggi Badan :
46

III. Pola Konsumsi Makan Anak

1. Apakah setiap pagi anak ibu sarapan?

a. Ya

b. Tidak

2. Makanan apa yang paling digemari oleh anak ibu?

a. Sayur-sayuran dan buah-buahan

b. Daging, ikan, dan telur

3. Apakah anak ibu suka makanan fast foot (siap saji) seperti burger,

kentaky, omlet dan sebagainya?

a. Tidak

b. Ya

4. Berapa kali sehari anak ibu makan nasi?

a. 3 kali sehari

b. Lebih dari 3 kali sehari

5. Apakah anak ibu suka ngemil atau makan seperti coklat, chiki, ice

cream, dan makanan ringan lainnya setiap harinya, baik saat sedang

bermain atau menonton televise?

a. Tidak

b. Ya

6. Apakah anak ibu suka mengkonsumsi makanan sebelum Ia tidur malam?

a. Tidak

b. Ya
47

IV. Aktivitas Fisik Anak

1. Apakah anak ibu suka berolah raga?

a. Ya

b. Tidak

2. Jika, di hari libur apakah anak ibu sering bangun kesiangan?

a. Tidak

b. Ya

3. Apakah anak ibu lebih suka menonton televise seharian dari pada

bermain bersama teman-temannya?

a. Tidak

b. Ya

4. Apakah anak ibu ada mengikuti kegiatan ekstrakulikuler disekolahnya

seperti Pramuka, PMR, Menari dan sebagainya?

a. Ya

b. Tidak

5. Pada saat menonton televisi, apakah anak ibu suka menonton sambil

tidur-tiduran dan memakan makanan ringan?

a. Tidak

b. Ya

6. Apakah anak ibu tergolong anak yang aktif dan cekatan?

a. Ya

b. Tidak
48

Lampiran 2

Tabel Skor

No Nama No urut Bobot skor


variab pertan a b Keterangan
el yaan
1 1 0 (6-0)
2 1 0
1 Pola 3 1 0
=3
konsu 4 1 0 - Baik: skor >3
msi 5 1 0 - Tidak baik:
6 1 0 skor<3
1 1 0 (6-0)
2 1 0
2 Aktivitas 3 1 0
=3
fisik 4 1 0 - Baik: skor >3
5 1 0 - Tidak baik:
6 1 0 skor<3

No Kategori IMT
Obesitas >27,0
Over weight >25,0 – 27,0
1 Orang Tua Normal 18,5- 25,0
Kurus tingkat ringan 17,0- 18,5
Kurus tingkat berat >17,0
Obesitas >27,0

Kategori Z Score (IMT/U) dalam baku WHO-NCHS


No Kategori Z Score (baku WHO-NCHS)
Sangat Kurus < - 3 SD
1 Anak Kurus -3 SD s.d < -2 SD
Normal -2 SD s.d 2 SD
Gemuk > 2 SD
49

Lampiran 10.
50
51
52
53
54
55

Anda mungkin juga menyukai