Anda di halaman 1dari 31

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cookies adalah makanan kering yang dibuat dari adonan lunak yang

mengandung bahan dasar terigu, pengembang, kadar lemak tinggi, renyah dan bila

dipatahkan penampang potongnya bertekstur kurang padat. Bahan-bahan

pembuatan cookies dibagi menjadi dua menurut fungsinya yaitu bahan pembentuk

struktur dan bahan pendukung kerenyahan. Bahan pembentuk struktur meliputi

gula, shortening, bahan pengembang, dan kuning telur. Telur yang ditambahkan

berperan menghasilkan produk yang lebih baik, dapat memperbaiki proses

creaming, pemberi flavor yang khas serta kenaikan nilai gizi (Matz, 1972).

Tepung terigu merupakan bahan utama dalam pembuatan cookies. Produksi

tepung terigu dalam negeri masih belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi

penduduk indonesia akibat tingginya permintaan masyarakat. Konsumsi tepung

terigu rata-rata per kapita mengalami peningkatan pada tahun 2012-2013 yaitu dari

0,023-0,024 kg (Hakiki, 2013). Impor gandum pada bulan April 2012 sebesar 468

juta ton, sedangkan bulan April 2013 impor gandum sebesar 708 juta ton (Pusdatin,

2012). Tidak terpenuhinya kebutuhan tepung terigu dapat ditanggulangi dengan

mencari alternatif pengganti tepung terigu dari komoditas lokal.

Ubi jalar merupakan salah satu komoditas lokal yang banyak tumbuh di

Indonesia. Dari total produksi ubi jalar dunia, Indonesia merupakan negara

penghasil kedua terbesar setelah Cina (Koswara, 2009). Menurut Badan Pusat

Statistik (2015), produksi ubi jalar di Indonesia pada tahun 2014 mencapai

2.382.025 ton. Sentra produksi ubi jalar yang paling banyak memberikan kontribusi

terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat, Papua, dan Jawa Timur. Dari ketiga
provinsi tersebut, Jawa Barat merupakan provinsi yang memberikan kontribusi

produksi terbesar yaitu 471.737 ton, kemudian Papua sebesar 412.878 ton dan Jawa

Timur 312.449 ton (Badan Pusat Statistik, 2015).

Secara umum ubi jalar mengandung pati 8-29%, karbohidrat bukan pati 0,5

– 7,5%, gula reduksi 0,5 – 2,5%, ekstrak eter 1,8 – 6,4%, karoten 1-12% dan mineral

lainnya 0,9-1,4% dalam setiap 100 gr bahan segar (Onwuene, 1978). Menurut

Juanda dan Cahyono (2000), umbi tanaman ubi jalar memiliki bentuk, ukuran,

warna kulit, dan warna daging yang bermacam-macam, tergantung pada

varietasnya. Bentuk umbi ada yang bulat, bulat lonjong (oval) dan bulat panjang.

Ukuran umbi bervariasi, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Kulit umbi ada

yang bewarna putih, kuning, ungu, jingga, dan merah. Warna daging umbi pun ada

yang bewarna putih, kuning, jingga, dan ungu muda. Perbedaan warna ubi ini juga

menyebabkan perbedaan terhadap kandungan gizi dan sifat kimia dari masing-

masing ubi jalar tersebut (Lase, 2013).

Ubi jalar sebagai bahan pangan, memiliki mutu yang baik ditinjau dari

kandungan gizinya, terutama karbohidrat, mineral, dan vitamin. Kandungan

vitamin A pada ubi jalar dalam bentuk provitamin A mencapai 9.000 SI/100 g,

terutama ubi jalar yang daging umbinya berwarna orange atau jingga. Vitamin B1,

B6, niasin dan vitamin C, cukup memadai jumlahnya pada ubi jalar. Kandung

kalium, fosfor, kalsium, natrium, dan magnesium pada ubi jalar juga tinggi

(Bradbury dan Halloway 1988). Namun kadar protein dan lemak ubi jalar rendah,

sehingga konsumsinya perlu didampingi oleh bahan pangan lain yang berprotein

tinggi.
Perhatian masyarakat terhadap ubi jalar meningkat terutama berkaitan

dengan potensinya sebagai pangan fungsional yang memberi dampak positif

terhadap kesehatan. Pangan fungsional adalah makanan yang memberi manfaat

bagi kesehatan, selain fungsinya sebagai zat gizi dasar (Silalahi 2006). Pada ubi

jalar, pangan fungsional diperoleh dari betakaroten dan antosianin, senyawa fenol,

serat pangan, dan nilai indeks glikemiknya.

Ubi jalar putih varietas shiroyutaka dan kumerot merupakan 2 dari 50

varietas ubi jalar yang sedang dipengembangankan oleh Fakultas Pertanian

Universitas Padjadjaran dari hasil persilangan varietas (F1) dan turunan yang

bermacam – macam (Marsetio, dkk., 2016). Kedua varietas tersebut memiliki

karakteristik fisika dan kimia yang berbeda, oleh sebab itu perlu dilakukan

pengkajian lebih lanjut apabila akan dijadikan sebagai bahan untuk pembuatan

suatu produk pangan.

Pemanfaatan ubi jalar di indonesia masih terbatas, meskipun sebenarnya ubi

jalar dapat dipengembangankan menjadi berbagai macam produk antara lain: 1)

pengembangan produk ubi jalar segar seperti ubi rebus, ubi goreng, ubi bakar, dan

lain-lain, 2) produk ubi jalar siap santap seperti timus, nagasari, petolo, kelepon,

cenil, kue lumping, dan lain-lain, dan 3) produk ubi jalar setengah jadi seperti

tepung ubi, pati ubi, dan pasta ubi (Juanda dan Cahyono, 2000). Dengan diolah

menjadi produk antara seperti tepung dan pati memiliki beberapa keuntungan

seperti, tahan lama, dapat meningkatkan nilai jual dan praktis dalam penggunaan

pembuatan produk (Murtiningsih & Suyanti, 2011). Pengembangan produk cookies

dari bahan tepung dan pati ubi jalar diharapkan dapat menambah ragam produk
berbasis komoditas lokal sehingga mengurangi konsumsi terigu masyarakat

Indonesia.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang maka dapat diangkat masalah, jenis

klon yang mana yang dapat menghasilkan produk cookies dengan karakteristik

fisika, kimia, dan organoleptik yang menyerupai cookies yang terbuat dari terigu.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk membandingkan karakteristik fisik,

kimia, fisikokimia, dan organoleptik produk cookies yang dibuat dari bahan tepung

dan pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka dan kumerot.

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan varietas ubi jalar yang tepat

baik dalam bentuk tepung maupun pati untuk menghasilkan produk cookies dengan

karakteristik yang menyerupai cookies yang terbuat dari tepung terigu.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada

konsumen dan produsen ubi jalar mengenai karakteristik fisik, kimia dan

organoleptik cookies ubi jalar sehingga nantinya dapat meningkatkan nilai tambah

dari komoditas ubi jalar.

Cookies ubi jalar dapat secara luas dimanfaatkan pada industri pangan.

Produk cookies ubi jalar ini nantinya diharapkan dapat dikonsumsi oleh masyarakat

dari mulai balita, anak-anak, orang dewasa hingga orang tua sebagai produk

pengganti cookies yang terbuat dari tepung terigu.


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ubi Jalar Putih

Tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas L) diduga berasal dari benua Amerika,

tetapi para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar

adalah Selandia Baru, Polinesia dan Amerika bagian tengah. Ubi jalar mulai

menyebar ke seluruh dunia, terutama ke negara-negara beriklim tropis pada abad

ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan ubi jalar ke kawasan Asia, terutama

Filipina, Jepang dan Indonesia. Cina merupakan penghasil ubi jalar terbesar

mencapai 90% (rata-rata 114,7 juta ton) dari yang dihasilkan dunia (FAO, 2004).

Menurut Rukmana, (1997) ubi jalar termasuk kedalam kingdom Plantae, divisi

Spermatophyta, subdivisi Angiospermae, kelas Dicotyledoneae, ordo

Convolvulales, famili Convolvulaceae dan genus Ipomoea, spesies Ipomoea

batatas. L. sin. Batatas edulis Choisy.

Umbi tanaman ubi jalar terjadi karena adanya proses diferensiasi akar

sebagai akibat terjadinya penimbunan asimilat dari daun yang membentuk umbi.

Umbi tanaman ubi jalar memiliki ukuran, bentuk, warna kulit, dan warna daging

bermacam-macam, tergantung pada varietasnya. Ukuran umbi tanaman ubi jalar

bervariasi, ada yang besar dan ada pula yang kecil. Bentuk umbi tanaman ubi jalar

ada yang bulat, bulat lonjong (oval), dan bulat panjang. Kulit umbi ada yang

berwarna putih, kuning, ungu, jingga, dan merah (Samsyir, 2009).

Ubi jalar (Ipomoea batatas L.) merupakan salah satu hasil pertanian yang

mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A,

C, B1, dan B2), mineral (Fe, P, dan Ca), protein, lemak, dan serat kasar. Kandungan

ubi jalar tersebut terdiri atas air (71,1%), pati (22,4%), protein (1,4%), lemak
(0,2%), vitamin A (0,01-0,69/100g), dan sumber mineral yang cukup memadai

(Bradbury, 1988). Kandungan gizi ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan gizi pada ubi jalar per 100 gr


Kandungan Gizi Nilai Satuan
Energi 136 Kal
Protein 1,1 g
Lemak 0,4 g
Karbohidrat 32,3 g
Kalsium 57,0 g
Vitamin A 900 SI
Vitamin B1 0,10 Mg
Vitamin C 35,0 Mg
Air 68,5 g
Serat Kasar 1,4 g
Abu 0,3 g
Kadar Gula 0,3 g
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI (1993)

Ubi jalar memiliki kandungan air yang tinggi sehingga bahan kering yang

terkandung relatif rendah. Kandungan rata-rata bahan kering ubi jalar sebesar 30%

dan sangat bervariasi tergantung pada beberapa faktor yaitu kultivar, lokasi, iklim,

tipe tanah, serangan hama dan penyakit, dan cara menanamnya (Lingga et al.,

1986). Ubi jalar dikonsumsi sebagai bahan makanan tambahan atau sampingan

kecuali Irian Jaya dan Maluku digunakan sebagai makanan pokok.

Menurut Andrianto dan Indarto (2004), berdasarkan tekstur, ukuran, warna

kulit, dan warna umbi yang sangat bervariasi tergantung varietasnya. Warna ubi

jalar terdiri dari ubi jalar kuning, ubi jalar oranye, ubi jalar putih, ubi jalar jingga

dan ubi jalar ungu. Ubi jalar berwarna jingga atau oranye mengandung betakaroten

tinggi dari pada ubi lainnya. Sementara varietas ubi jalar yang digunakan untuk

pangan berdasarkan tekstur daging ubi jalar dapat dibedakan dalam dua golongan,

yaitu umbi berdaging lunak karena banyak mengandung air tidak berserat (agak
berair, berdaging manis) dan umbi berdaging keras karena banyak mengandung pati

dan serat (banyak mengandung tepung) (Sarwono, 2005).

Ubi jalar yang berwarna putih lebih diarahkan untuk pengembangan tepung

dan pati karena umbi yang berwarna cerah cenderung lebih baik kadar patinya dan

warna tepung lebih menyerupai terigu. Bentuk olahan ubi jalar yang cukup

potensial dalam kegiatan agroindustri sebagai upaya peningkatan nilai tambah

adalah tepung dan pati yang merupakan produk antara untuk industri pangan seperti

roti, cake, biskuit, dan mie terutama sebagai substitusi dalam penggunaan terigu.

Sebagai contoh, kue kering (cookies) dapat diolah dari 100% tepung ubi jalar,

sedangkan cake dibuat dari campuran 25-50% tepung ubi jalar dengan 50-75%

terigu (Antarlina, 1999).

Selain itu penggunaan tepung ubi jalar pada pembuatan cake dan kue dapat

menghemat penggunaan gula sebesar 20% dibandingkan dengan cake dan kue yang

dibuat dari 100% terigu, karena kandungan gula pada ubi jalar yang cukup tinggi.

Biskuit dapat dibuat dari campuran 20% tepung ubi jalar dan 80% terigu (Antarlina,

1999).

2.1.1 Karakteristik Fisik Ubi Jalar Putih

Seiring dengan berpengembangannya teknologi, varietas ubi jalar di

Indonesia, telah dihasilkan klon - klon baru unggulan dan sudah dikarakterisasi

berdasarkan morfologi dan kandungan kimianya. Berdasarkan analisis kluster dari

200 varietas baru di kawasan Citatah, Kab. Bandung Barat diperoleh lima kelompok

klon yang mempunyai penampilan hampir mirip (Kurniawan, dkk., 2013) salah

satunya adalah klon ubi jalar putih shiroyutaka dan kumerot.


Secara fisik, kulit ubi jalar Putih lebih tipis dibandingkan kulit ubi kayu dan

merupakan umbi dari bagian batang tanaman. Warna kulit ubi jalar bervariasi dan

tidak selalu sama dengan warna umbi. Warna daging umbinya bermacam-macam,

dapat berwarna putih, kuning, jingga kemerahan, atau keabuan. Demikian pula

bentuk umbinya seringkali tidak seragam (Antarlina dan Utomo, 1999). Berikut

tanaman ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Ubi jalar Putih


(Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016)

Daging umbi tanaman ubi jalar sangat bervariasi, ada yang berwarna putih,

kuning, jingga, dan ungu muda. Struktur kulit umbi tanaman ubi jalar juga

bervariasi antara tipis sampai tebal dan bergetah. Bentuk dan ukuran umbi

merupakan salah satu kriteria unutk menentukan harga jual di pasaran. Bentuk umbi

yang rata (bulat dan bulat lonjong) dan tidak banyak lekukan termasuk umbi yang

berkualitas baik (Samsyir, 2009). Karakteristik fisik ubi jalar putih dapat dilihat dari

Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik Fisik Ubi Jalar Putih


varietas Rata- Rata-rata Rata-rata Bentuk Tipe Warna Warna Warna
rata panjang diameter umbi permukaan utama utama sekunder
bobot umbi Umbi umbi kulit daging daging
per (cm) (cm) umbi umbi umbi
umbi
(g)
Kumerot 402,9 19,3 10,6 Lonjong Rata Merah Jingga tua Krem
keunguan
Shiroyutaka 328,3 17,8 11,4 Bulat Rata Krem Putih Tidak ada
Sumber: (Kurniawan, 2013)

Ubi jalar putih varietas kumerot memiliki rata – rata bobot 402,9 g, panjang

19,3 cm, diameter 10,6 cm, bentuk lonjong, warna umbi jingga tua hingga krem dan
warna kulit merah keunguan. Sedangkan ubi jalar putih varietas siroyutaka

memiliki rata – rata bobot 328,3 g, panjang 17,8 cm, diameter 11,4 cm, bentuk

bulat, warna umbi putih, dan warna kulit krem (Kurniawan, 2013). Berikut ubi jalar

varietas shiroyutaka dan kumerot dapat dilihat pada Gambar 2.

Shiroyutaka
Kumerot

Gambar 2. Ubi Jalar Varietas Shiroyutaka dan Kumerot


(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2016)

2.1.2 Karakteristik Kimia Ubi Jalar Putih

Ubi jalar (Ipomea batatas) merupakan komoditas sumber karbohidrat utama

setelah padi, jagung, dan ubi kayu. Ubi jalar mempunyai peranan penting dalam

penyediaan bahan pangan, bahan baku industri maupun pakan ternak (Zuraida dan

Suprapti, 2001). Karakteristik bahan pangan yang dihasilkan dari ubi jalar sangat

dipengaruhi kandungan kimia dari ubi jalar yang digunakan (Alwie, 2007). Berikut

komposisi kimia ubi jalar putih dapat dilihat dari Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan kimia ubi jalar putih


varietas Gula Abu Kadar air Kandungan Derajat Derajat Derajat
reduksi (%) (%) pati (%) kemanisan kemanisan kemanisan
(%) mentah kukus oven (obrix)
(obrix) (obrix)
Kumerot 0,99 0,84 74,77 28,35 3,5 10,8 12,3
Shiroyutaka 1,72 1,03 60,83 25,05 3,8 9,7 13,1
Sumber : (Kurniawan, 2013)

Ubi jalar putih varietas kumerot memiliki kadar pati sebesar 28,35%, gula

pereduksi 0,99%, kadar abu 0,84%, Kadar air 74,77%, dan derajat kemanisan

mentah 3,5 obrix. Sedangkan varietas shiroyutaka memiliki kadar pati sebesar
25,05%, gula pereduksi 1,72%, kadar abu 1,03%, Kadar air 15,05%, dan derajat

kemanisan mentah 3,8 obrix (Kurniawan, 2013).

2.2.3 Tepung Ubi Jalar Putih

Tepung merupakan salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang

dianjurkan, karena lebih tahan disimpan, mudah dicampur (dibuat komposit),

ditambah zat gizi (difortifikasi), dibentuk, dan lebih cepat dimasak sesuai tuntutan

kehidupan modern yang serba praktis (Winarno, 2000). Tepung terigu sudah sangat

melekat di kalangan industri pengolahan pangan di Indonesia. Budaya yang telah

terbangun ini perlu diantisipasi dengan pengembangan aneka tepung lokal untuk

mengurangi ketergantungan bangsa Indonesia terhadap bahan pangan impor

(Sulistiyo, 2006).

Tepung adalah partikel padat yang berbentuk butiran halus atau sangat halus

tergantung proses penggilingannya. Biasanya digunakan untuk keperluan

penelitian, rumah tangga, dan bahan baku industri. Tepung bisa berasal dari bahan

nabati misalnya tepung terigu dari gandum, tapioka dari singkong, maizena dari

jagung, atau hewani misalnya tepung tulang dan tepung ikan (Alwie, 2007).

Menurut Heriyanto dan Winarto (1998), pada dasarnya pembuatan tepung

ubi jalar dibuat dengan proses pengecilan ukuran sampai dengan ukuran diatas 80

mesh. Untuk membuat tepung ubi jalar, pertama – tama ubi jalar di kupas dan

dipotong dengan ukuran kecil, kemudian potongan – potongan tersebut direndam

dengan air kapur untuk menghindari pencoklatan, lalu dikeringkan menjadi gaplek

ubi jalar, setelah itu dilakukan penggilingan dan pengayakan dengan mesh yang

telah ditentukan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Karida, et al. (2007),


tingkat rendemen rata – rata pada proses produksi tepung ubi jalar mencapai

26,50%.

Pembuatan tepung ubi jalar dilakukan dengan proses persiapan bahan,

perendaman, blansing, pengirisan, pengeringan, penggilingan, dan pengayakan.

Tahap persiapan bahan meliputi pemilihan ubi jalar dan pembersihan. Tahapan

perendaman dilakukan dengan larutan kapur atau metabisulfit untuk mencegah

terjadinya pencoklatan pada ubi jalar, lalu pengirisan bertujuan untuk memperluas

permukaan agar mudah dalam proses selanjutnya. Pengeringan dilakukan untuk

mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan, penggilingan bertujuan

untuk proses pengecilan ukuran menjadi tepung dan pengayakan bertujuan untuk

memisahkan partikel-partikel yang tidak dikehendaki dan untuk mendapatkan

keseragaman ukuran (Heriyanto dan Winarno, 1998).

2.2.4 Pati Ubi Jalar Putih

Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri dari

amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan bagian polimer dengan ikatan α-

(1,4) dari unit glukosa, yang membentuk rantai lurus, yang umumnya dikatakan

sebagai linier dari pati. Meskipun sebenarnya amilase dihidrolisa dengan β-amilase

pada beberapa jenis pati tidak diperoleh hasil hidrolisis yang sempurna, β-amilase

menghidrolisis amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutus ikatan α-

(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa (Hee-Joung

An, 2005).

Menurut Kusnandar, (2010) pati memiliki beberapa sifat alami yang dapat

menyulitkan dalam pengolahan pangan, diantaranya:


a. pati menghasilkan suspensi dengan viskositas dan kemampuan membentuk

gel yang tidak seragam

b. pati tidak tahan pada pemanasan suhu tinggi, dalam proses gelatinisasi pati

dapat terjadi penurunan viskositas suspensi pati dengan meningkatnya suhu

pemanasan

c. pati tidak tahan kondisi asam, karena mudah terhidrolisis pada kondisi asam

yang dapat mengurangi kemampuan gelatinisasinya

d. pati tidak tahan proses mekanis, viskositas pati akan menurun dengan

adanya proses pengadukan atau pemompaan

e. kelarutan pati terbatas di dalam air. Kemampuan pati untuk membentuk

tekstur yang kental dan gel dapat menjadi masalah dalam proses pengolahan

pangan.

Sifat fungsional pati yang penting adalah kemampuan mengentalkan dan

membentuk gel. Sifat pengental pati ditunjukkan dengan kemampuan pati mencapai

viskositas yang tinggi. Thickening power dilihat dari viskositas maksimum yang

mampu dibentuk oleh pati tersebut selama pemanasan (Swinkels, 1985).

Pemanasan pada granula pati dapat mengakibatkan gelatinisasi pada pati.

Gelatinisasi adalah kerusakan pada urutan molekul dalam butiran pati yang

bergantung pada suhu dan kandungan air, bersifat tidak dapat berubah, berawal dari

pembesaran ukuran granula pati, menyebabkan kenaikan kekentalan larutan atau

suspensi, bervariasai bergantung pada kondisi pemasakan dan tipe granula pati pada

bahan (Thomas, 2007). Proses gelatinisasi pati ini perlu dipahami mengingat sangat

menentukan kualitas produk berbasis tepung atau pati. Mekanisme gelatinisasi pati

dapat dilihat pada Gambar 3.


Menurut Thomas, (2007) gelatinisasi granula pati mencangkup hal – hal

berikut, diantaranya 1) hidrasi dan mengembangnya beberapa kali dari ukuran

semula, 2) hilangnya sifat birefigence, 3) peningkatan kejernihan pasta, 4)

penigkatan konsistensi dan pencapaian puncak secara cepat dan jelas, 5)

ketidaklarutan molekul – molekul linear dan pendifusian dari granula yang pecah

dan 6) retrogradasi dari campuran sampai membentuk gel. Menurut Firdaus, (2000)

menyatakan bahwa pengembangan granula yang optimal menyebabkan rongga

yang terbentuk makin sedikit (ruang antar sel makin rapat) dan menghasilkan

tekstur yang tegar.

Granula pati tersusun dari


amilosa (berpilin) dan
amilopektin (bercabang).

Masuknya air merusak


kristalisasi amilosa dan helix.
Granula membengkak.

Adanya panas dan air


menyebabkan pembengkakan
tinggi. Amilosa berdifusi keluar.

Granula mengandung
amilopektin, rusak dan
terperangkap dalam matriks
amilosa membentuk gel.

Gambar 3. Mekanisme Gelatinisasi Pati


(Sumber: Kusnandar, 2010)
Panas menyebabkan pati tergelatinisasi. Setelah gelatinisasi, bila suhu terus

naik maka akan terus terjadi pengembangan granula dan penyerapan air.

Selanjutnya terjadi degradasi molekul pati menjadi molekul yang lebih sederhana.

Ikatan glikosidik pada pati dapat diputus dengan melakukan hidrolisis sehingga

menghasilkan monosakarida (Mutmainah, Dimas dan Bambang, 2013). Suhu

gelatinisasi pada pati ubi jalar yaitu berkisar antara 61,5 – 88,5oC selama 20 – 30

menit (Ginting, dkk., 2005).

Pengolahan ubi jalar menjadi pati dilakukan dengan cara menyawut ubi jalar

segar yang telah dikupas kulitnya dan dicuci dengan air. Selanjutnya, hasil sawutan

ditambahkan air bersih dengan perbandingan 1:4, diperas dengan menggunakan

kain saring. Hasil perasan berupa cairan yang mengandung pati, kemudian

diendapkan. Setelah mengendap, bagian air dipisahkan dari bagian padatan yang

mengendap. Endapan yang diperoleh dikeringkan sampai kadar air kurang dari 10%

(Marsetio, dkk., 2015). Pati hasil ekstraksi dinamakan pati alami. Pati dalam bentuk

alami (native starch) adalah pati yang dihasilkan dari sumber umbi-umbian dan

belum mengalami perubahan sifat fisik dan kimia atau diolah secara kimia-fisika

(Yusuf, 2008).

3.1 Karakteristik Tepung dan Pati Ubi Jalar Varietas Shiroyutaka dan
Kumerot

3.1.1 Sifat Amilografi Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih

Karakteristik amilografi tepung dan pati ubi jalar sangat menentukan

pemanfaatannya pada industri pangan maupun non-pangan. Faktor-faktor yang

menentukan karakteristik amilografi tepung adalah varietas, cara bercocok tanam,

serta penanganan pascapanen (Wissalini, 2011). Karakteristik amilografi dari


tepung ini antara lain suhu awal gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas panas

pasta, viskositas breakdown, viskositas setback, daya pengembangan, dan

pembentukan gel (Julita, 2012).

Tabel 4. Sifat Amilografi Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih


Viskositas Viskositas
Suhu Awal Viskositas Viskositas Viskositas
Pasta Pasta
Kode Varietas Gelatinisasi Puncak Breakdown Setback
Panas Dingin
(°C) (cP) (cP) (cP)
(cP) (cP)
Tepung ubi jalar
77,45 1209 996 213 1488 492
Shiroyutaka
Tepung Ubi
76,65 1976 1329 647 2397 1068
Jalar Kumerot
Pati Ubi Jalar
75,86 7832 3584 4248 4578 994
Shiroyutaka
Pati Ubi Jalar
76,3 8000 3650 4350 4734 1084
Kumerot
Sumber: Marsetio dkk, 2015

Pati alami mempunyai kelemahan pada karakteristiknya yaitu tidak larut

dalam air dingin, membutuhkan waktu yang lama dalam pemasakan, pasta yang

dihasilkan cukup keras, dan mempunyai kestabilan yang rendah. Pati dimodifikasi

dengan tujuan untuk mempermudah penggunaan dalam industri pangan, lebih stabil

dalam proses dan lebih baik teksturnya. Selain itu juga agar suhu gelatinisasinya

lebih tinggi dan tahan panas serta agar viskositasnya lebih baik dari pati

sebelumnya. Pati termodifikasi bersifat tidak larut dalam air dingin dan persamaan

sifat birefringence-nya (Dyah Ayu dan Widya Dwi, 2014). Suhu awal gelatinisasi

tepung dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel 4.

Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki suhu awal gelatinisasi

sebesar 77,45oC sedangkan varietas kumerot memiliki suhu awal gelatinisasi lebih

rendah yaitu sebesar 76,65oC. Dalam bentuk pati, ubi jalar putih varietas

shiroyutaka memiliki suhu awal gelatinisasi 75,86oC sedangkan varietas kumerot

memiliki suhu awal gelatinisasi sebesar 76,3oC.


Suhu awal gelatinisasi merupakan suhu dimana granula pati mulai

menyerap air atau dapat terlihat dengan meningkatnya nilai viskositas. Menurut

Julita (2012), suhu gelatinisasi tepung ubi jalar berkisar pada suhu 75,28 – 82oC.

Suhu gelatinisasi dapat turun akibat dari kadar amilopektin yang tinggi (Gonzalez

dan Perez 1996). Selain itu amilopektin juga dapat meningkatkan volume

pengembangan karena lebih lebih reaktif mengikat air sehingga lebih mudah

mengembang (Li dan Yeh 2001).

Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas puncak

sebesar 1209cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas puncak lebih tinggi

yaitu sebesar 1976cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka

memiliki viskositas puncak sebesar 7832cP sedangkan varietas kumerot memiliki

nilai viskositas puncak sebesar 8000cP. Viskositas puncak tepung dan pati ubi jalar

putih dapat dilihat pada Tabel 4.

Viskositas puncak menunjukkan pati tergelatinisasi yang mana pati

mengalami pengembangan maksimum yang selanjutnya pecah. Suhu puncak

gelatinisasi dipengaruhi oleh kadar amilosa. Menurut Colado and Corke (1997)

peningkatan kadar amilosa akan meningkatkan suhu puncak. Amilosa mampu

mengadakan ikatan dengan sesama amilosa maupun dengan amilopektin

membentuk konfigurasi yang sulit dirusak karena terdapat banyak ikatan didalam

granula sehingga dibutuhkan energi yang lebih besar (Jane et al., 1999 dikutip

Baah, 2009).

Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas breakdown

sebesar 213cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas breakdown lebih

tinggi yaitu sebesar 647cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka
memiliki viskositas breakdown sebesar 4248cP sedangkan varietas kumerot

memiliki nilai viskositas breakdown sebesar 4350cP. Viskositas breakdown tepung

dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel 4.

Viskositas breakdown atau Breakdown Viscosity (BV) menunjukkan

kestabilan tepung selama pemanasan. Semakin tinggi BV, semakin rendah

kestabilan tepung terhadap pemanasan, karena itu berarti pasta semakin kehilangan

sifat kekentalannya. Hilangnya kekentalan pasta disebabkan oleh pecahnya granula

pati setelah melewati ukuran maksimum granula pati karena pemanasan yang

kontinyu. Hal ini menyebabkan granula pati melepas amilosa dan amilopektin dari

granula, dan kerusakan ini besifat irreversibel (Mason 2009 dikutip Ariefianto,

2015).

Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas pasta panas

sebesar 996cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas pasta panas lebih

tinggi yaitu sebesar 1329cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka

memiliki viskositas pasta panas sebesar 3584cP sedangkan varietas kumerot

memiliki nilai viskositas pasta panas sebesar 3650cP. viskositas pasta panas tepung

dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel 4.

Viskositas pasta panas atau trough viscosity (TV) yaitu viskositas pada saat

suhu dipertahankan 95oC. Perubahan viskositas selama pemanasan atau breakdown,

yaitu selisih antara Viskositas puncak dengan TV atau menunjukkan kestabilan

viskositas terhadap panas. Viskositas pasta dingin atau final viscosity (FV) yaitu

viskositas pada saat suhu dipertahankan 50oC. Perubahan viskositas selama

pendinginan atau setback, yaitu selisih antara FV dengan TV atau menunjukkan

kemampuan untuk meretrogradasi (Oktaviani, 2013).


Tepung Ubi Jalar Putih varietas shiroyutaka memiliki viskositas setback

sebesar 492cP sedangkan varietas kumerot memiliki viskositas setback lebih tinggi

yaitu sebesar 1068cP. Dalam bentuk pati ubi jalar putih varietas shiroyutaka

memiliki viskositas setback sebesar 994cP sedangkan varietas kumerot memiliki

nilai viskositas setback sebesar 1084cP. viskositas setback tepung dan pati ubi jalar

putih dapat dilihat pada Tabel 4.

Viskositas setback merupakan re-asosiasi molekul pati ketika mengalami

pendinginan (Charles et al. 2004). Menurut Winarno (2008), semakin tinggi nilai

viskositas balik maka menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk

membentuk gel (meningkatkan viskositas) selama pendinginan. Tingginya nilai

viskositas balik menandakan tingginya kecenderungan untuk terjadinya

retrogradasi.

3.1.2 Karakteristik Kimia Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih

Bahan pangan dapat diidentifikasi melalui analisis proksimat, kandungan

gizi seperti protein, karbohidrat, lemak, air, abu, dan serat. Protein bermanfaat

untuk pertumbuhan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Adanya lemak

dalam bahan pangan dapat mempengaruhi cita rasa dan mutunya. Garam-garam

mineral merupakan zat yang penting untuk mengatur reaksi-reaksi yang terjadi

dalam tubuh. Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena dapat

mempengaruhi acceptability, kenampakan, kesegaran, tekstur, serta cita rasa

pangan. Perlu diketahui pula bahwa setiap bahan pangan memiliki nilai standar

kadar air sebagai batas aman terjadinya kerusakan karena mikroba. Karbohidrat
memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik suatu bahan makanan,

baik rasa, warna, tekstur, dan lain sebagainya (Ottolen, 2012).

Karakteristik kimia tepung ubi jalar akan sangat berpengaruh terhadap

karakteristik produk yang dihasilkan, sehingga perlu dilakukan karakterisasi

terhadap komposisi kimia tepung yang akan dibuat sebagai bahan dalam pembuatan

suatu produk pangan (Alwie, 2007). Kadar pati merupakan salah satu parameter

mutu terpenting produk tepung sebagai bahan pangan. Kadar pati produk tepung

ubi berkisar antara 63,35 hingga 64,02 (Marsetio dkk, 2015).

Tabel 5. Karakteristik Kimia Tepung dan Pati Ubi Jalar Putih

Kadar Kadar Kadar Kadar Gula


Varietas Pati Air Amilosa Pereduksi
(%) (%bb) (%) (%)

Tepung ubi jalar Shiroyutaka 63,35 8,31 18,01 3,68


Tepung Ubi Jalar Kumerot 64,02 7,53 17,89 3,12
Pati ubi jalar Shiroyutaka 88,53 3,86 19,98 0,17
Pati Ubi Jalar Kumerot 88,55 4,27 21,4 0,4
Sumber: Marsetio dkk, 2015

Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar pati sebesar 63,35%

sedangkan varietas kumerot memiliki kadar pati yang lebih kecil yaitu sebesar

62,02%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar pati yang

lebih besar yaitu sebesar 88,53%, sedangkan varietas kumerot memliki kadar pati

sebesar 88,55%. Kadar pati tepung dan pati ubi jalar putih dapat dilihat pada Tabel

5.

Kadar pati tepung dan pati dipengaruhi oleh umur panen umbi segarnya.

Jika kadar pati pada umbi telah mencapai optimum, maka selanjutnya pati pada

umbi akan terus turun secara perlahan dan mulai terjadi perubahan pati menjadi

serat (Wahid et al. 1992). Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi (2012)
menyebutkan bahwa kadar pati pada ubi jalar di Indonesia berkisar di antara 16-

33%.

Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar amilosa sebesar

18,01% sedangkan varietas kumerot memiliki kadar amilosa yang lebih kecil yaitu

sebesar 17,89%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar

amilosa yang lebih besar yaitu sebesar 19,98 %, sedangkan varietas kumerot

memliki kadar amilosa sebesar 21,4 %. Kadar amilosa tepung dan pati ubi jalar

putih dapat dilihat pada Tabel 5.

Amilosa memiliki rantai lurus yang panjang sehingga lebih sulit didegradasi

oleh enzim atau dihidrolisis oleh asam dibandingkan amilopektin yang memiliki

lebih banyak cabang. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Parker (2003) dikutip

Ariefianto (2015) bahwa amilosa yang memiliki ikatan α-1,4 glikosida yang tidak

bercabang menyebabkan ikatan amilosa lebih kuat sehingga sulit tergelatinisasi dan

sulit dicerna.

Menurut Aliawati (2003) dikutip Ilmi (2014), kandungan amilosa dalam

bahan pangan berpati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa

sangat rendah dengan kadar < 10 %, kadar amilosa rendah 10 - 20 %, dan kadar

amilosa sedang 20 – 24 %, dan kadar amilosa tinggi > 25 %. Dengan demikian,

amilosa pada tepung ubi jalar keenam klon ini termasuk pada kadar amilosa rendah.

Rasio antara amilosa dan amilopektin berbeda dan bervariasi terhadap

berbagai sumber pati. Penggunaan pati dengan komposisi tertentu sangat

diperlukan dalam industri. Tepung dengan kadar amilosa tinggi banyak digunakan

untuk produk seperti pada biodegradable film yang berfungsi sebagai substrat

enzim maupun sebagai pengikat pada pembuatan tablet. Amilosa juga berfungsi
sebagai pelindung terhadap dehidrasi maupun mengurangi penyerapan minyak

yang terlalu banyak saat proses penggorengan seperti pada proses produksi keripik

kentang. Sebaliknya, tepung dengan kadar amilopektin tinggi sangat sesuai untuk

bahan roti dan kue karena sifat amilopektin yang sangat berpengaruh terhadap

swelling properties (sifat mengembang pada pati) (Julita, 2012). Pembuatan soun,

mie, dan bihun pun membutuhkan tepung dengan kandungan amilosa yang cukup

tinggi karena akan berpengaruhi pada kekuatan tekstur gel dari untaian mie yang

dihasilkan (Kusnandar, 2010).

Gula pereduksi merupakan golongan karbohidrat yang dapat mereduksi

senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa.

Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida

atau keto bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida

(laktosa,maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula

pereduksi (Darwin, 2013). Kadar gula pereduksi tepung dan pati ubi jalar putih

dapat dilihat pada Tabel 5.

Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar gula pereduksi

sebesar 3,68% sedangkan varietas kumerot memiliki kadar gula pereduksi yang

lebih kecil yaitu sebesar 3,12%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka

memiliki kadar gula pereduksi yang lebih kecil yaitu sebesar 0,17 %, sedangkan

varietas kumerot memliki kadar gula pereduksi sebesar 0,4 %.

Sama seperti pati, kandungan gula pereduksi bervariasi karena adanya

perbedaan varietas, faktor genetik, dan tingkat usia tanaman (Ginting, 2005). Ubi

jalar yang dipakai pada penelitian ini dipanen di usia lima bulan yang diperkirakan

pati pada ubi jalar sudah terhidrolisis menjadi gula pereduksi. Hidrolisis sendiri
adalah konversi pati menjadi gula-gula sederhana. Prinsip hidrolisis pati adalah

pemutusan rantai polimer pati menjadi unit-unit dekstrosa (C6H12O6) (BeMiller dan

Whistler, 2009 dikutip Marto, 2013).

Tepung Ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar air sebesar 8,31%

sedangkan varietas kumerot memiliki kadar air yang lebih kecil yaitu sebesar

7,53%. Dalam bentuk pati, ubi jalar varietas shiroyutaka memiliki kadar air yang

lebih besar yaitu sebesar 3,83 %, sedangkan varietas kumerot memliki kadar air

sebesar 4,27 %. Histogr yang berisi kadar air tepung dan pati ubi jalar putih dari

kesua varietas tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.

Kadar air suatu produk menunjukkan persentasi kandungan air dalam suatu

produk. Nilai kadar air produk menjadi penting dalam produk kering seperti produk

tepung, karena kadar air yang rendah adalah faktor utama yang membuat produk

pati awet. Proses pengeringan pada produk tepung dapat mengurangi kadar air

hingga menghambat terjadinya pertumbuhan mikroba. Syarat kadar air yang aman

untuk produk sejenis tepung yaitu kurang dari 12% sehingga dapat mencegah

pertumbuhan kapang (Winarno 1981).

2.2 Cookies Ubi Jalar Putih

Cookies merupakan jenis biskuit yang mempunyai tekstur yang kurang

padat. Biasanya tekstur merupakan hal yang paling penting pada makanan lunak

dan renyah (Rosalin, 2006). Bahan pembuat cookies dibagi menjadi dua menurut

fungsinya yaitu bahan pembentuk struktur meliputi tepung, susu skim, dan putih

telur sedangkan bahan pendukung kerenyahan meliputi gula, shortening, bahan

pengembang, dan kuning telur. Telur yang ditambahkan berperan menghasilkan


produk yang lebih baik, dapat memperbaiki proses creaming, pemberian flavor

yang khas, serta kenaikan nilai gizi (Matz, 1972).

Pembuatan cookies ubi jalar dilakukan dengan melakukan pencampuran

terlebih dahulu pada margarin, mentega, telur, gula, dan vanili dengan

menggunakan mixer. Metode yang digunakan dalam pembuatan cookies ini adalah

creaming method. Menurut SLCSS (2016), creaming method adalah suatu metode

pembuatan cookies dengan cara mencampurkan gula dan lemak terlebih dahulu

dengan menggunakan mixer dan dicampur hingga membentuk adonan yang ringan

dan halus. Alasan pengocokan terlebih dahulu gula dengan lemak adalah untuk

mendapatkan pencampuran adonan yang merata dan pemasukan udara.

Penambahan gula bermaksud untuk meningkatkan kelembaban pada adonan dan

juga membantu reaksi baking powder.

Adonan ditambahkan dengan tepung ubi jalar, leavening agent, dan susu

skim. Selama penambahan, sebaiknya bersamaan dengan pengayakan tepung ubi

agar tidak terjadi penggumpalan selama proses pengadonan. Selanjutnya cookies

dicetak dan dipanggang selama 10 menit dalam suhu 160oC. Waktu dan suhu

pemanggangan cookies berkorelasi dengan kandungan lemak dan juga gula dalam

adonan. Menurut Sultan (1983) dalam Mayasari (2015), semakin sedikit kandungan

gula dan lemak, maka cookies dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-

204oC).

Menurut Zuraida (2001), diantara bahan pangan sumber karbohidrat, ubi

jalar memiliki keunggulan dan keuntungan yang sangat tinggi bagi masyarakat

Indonesia, berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut:


1) Ubi jalar mudah diproduksi pada berbagai lahan dengan produktivitas antara

20-40 t/ha umbi segar.

2) Kandungan kalori per 100 g cukup tinggi, yaitu 123 kal dan dapat memberikan

rasa kenyang dalam jumlah yang relatif sdikit.

3) Cara penyajian hidangan ubi jalar mudah, praktis dan sangat beragam, serta

serasi dengan makanan lain yang dihidangkan.

4) Harga per unit-hidang murah dan bahan mudah diperoleh di pasar lokal.

5) Dapat berfungsi dengan baik sebagai substitusi dan suplementasi makanan

sumber karbohidrat tradisional nasi beras.

6) Bukan jenis makanan baru dan telah dikenal oleh masyarakat Indonesia.

7) Rasa dan teksturnya sangat beragam, sehingga dapat dipilih yang paling sesuai

dengan selera konsumen

8) Mengandung vitamin dan mineral yang cukup tinggi sehingga layak dinilai

sebagai golongan bahan pangan sehat.

Menurut penelitian Antarlina (1994), tepung ubi jalar memiliki kadar

protein yang rendah yaitu 3,11% tetapi kadar karbohidratnya yang cukup tinggi.

Kandungan gizi tepung ubi jalar dibandungkan dengan tepung terigu menunjukkan

bahwa kadar protein dan lemak tepung ubi jalar lebih rendah dibandingkan tepung

terigu, tetapi mempunyai kadar abu dan serat lebih tinggi serta kandungan

karbohidrat yang hampir setara. Kadar serat yang dimiliki tepung ubi jalar lebih

tinggi yang menyebabkan warna tepung tidak putih.

Menurut Zuraida (2001), campuran 50% tepung ubi jalar dan 50% tepung

terigu dianjurkan untuk pembuatan cookies karena lebih disukai, rasa enak, warna

menarik dan mempunyai tingkat kemanisan yang sedang. Penggunaan tepung ubi
jalar dalam pembuatan cookies dapat menurunkan impor tepung terigu,

menurunkan penggunaan gula dan meningkatkan nilai jual ubi jalar.

2.2.1 Syarat Mutu Cookies

Syarat mutu cookies di Indonesia mengacu pada syarat mutu biskuit. Syarat

mutu biskuit adalah berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 01-2973-1992),

seperti yang tercantum dalam Tabel 6. Ciri khas cookies adalah memiliki

kandungan gula dan lemak yang tinggi serta kadar air rendah (kurang dari 5%)

sehingga bertekstur renyah, apabila dikemas akan terlindung dari kelembaban dan

memiliki umur simpan yang lama (Brown, 2000).

Tabel 6. Syarat Mutu Cookies


Kriteria Uji Syarat
Energi (kkal/100gr) Minimun 400
Air (b/b) (%) Maksimum 4
Protein (%) Maksimum 6
Lemak (b/b) (%) Minimum 18
Karbohidrat (%) Minimum 70
Abu (b/b) (%) Maksimum 2
Serat Kasar (%) Maksimum 0,5
Logam Berbahaya Negatif
Bau dan Rasa Normal dan tidak tengik
Warna Normal
Sumber: Badan Standardisasi Nasional, 1992

2.2.2 Karakteristik Organoleptik Cookies

2.2.2.1 Tekstur

Karakteristik tekstur yang dihasilkan oleh cookies dipengaruhi oleh

beberapa hal yaitu penambahan lemak dan juga proporsi pati. Menurut Winarno

(1991), penambahan lemak dapat mempengaruhi sifat keplastisan dari adonan kue.

Di dalam adonan, lemak memberikan fungsi shortening dan fungsi tekstur sehingga

cookies (kue kering)/biskuit menjadi lebih lembut. Selain itu, lemak juga berfungsi
sebagai pemberi flavor (Reski, 2012). Margarin dalam pembuatan kue kering

memberikan tekstur yang lebih renyah dan kering.

Selain penambahan lemak pada cookies, proporsi pati pada formulasi

adonan juga dapat berpengaruh nyata terhadap karakteristik tekstur. Dalam

penelitian Hazizah, et al. (2013), diketahui bahwa semakin banyak proporsi pati

dan penambahan margarin, tekstur cookies yang dihasilkan lebih disukai oleh

panelis.

Wisti (2011) menyatakan, hasil cookies yang dibentuk dari 100% tepung

ubi jalar memiliki kecenderungan untuk lebih rapuh dan mudah patah dikarenakan

tidak adanya penambahan gluten yang bersifat meningkatkan plastisitas dan daya

ikat adonan. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan proporsi lemak dan pati yang

tepat. Menurut Hazizah, et al. (2013), sifat plastis pada margarin menyebabkan

adonan memiliki daya gabung dengan udara lebih besar. Margarin bersifat plastis

sehingga adonan yang dihasilkan mudah dibentuk sehingga produk yang dihasilkan

renyah. Lemak tidak terlarut tetapi teradsorpsi pada permukaan partikel pati. Lemak

membentuk lapisan tipis yang membungkus dan memisahkan partikel-partikel

tersebut sehingga partikel tidak berikatan terlalu kompak yang menyebabkan udara

mudah menerobos dan keluar pada proses pemanasan.

2.2.2.2 Warna

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi warna cookies antara lain

warna pada bahan bahan pembuat cookies serta reaksi yang terjadi selama

pemanggangan seperti reaksi maillard dan karamelisasi. Derajat keputihan tepung

dan pigmen yang masih terkandung dalam tepung maupun pati juga berperan dalam
penentu karakteristik warna cookies. Semakin tinggi derajat putihnya, warnanya

akan semakin cerah (Hazizah, et al. 2013). Dalam produk pangan, warna

mempunyai arti dan peranan penting pada komoditas pangan. Peranan itu sangat

nyata pada tiga hal, yaitu daya tarik, tanda pengenal, dan parameter mutu. Selain

itu, warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan

seperti pencoklatan dan karamelisasi (de Man, 1997).

Penelitian Mayasari (2015) menyatakan, warna cookies dipengaruhi oleh

proses pemanggangan. Pemanggangan dalam oven akan menghasilkan warna

coklat pada permukaan cookies akibat dari reaksi Maillard. Pemanggangan dalam

suhu tinggi dan waktu terlalu lama akan menyebabkan kelembaban cookies rendah

dan warnanya semakin gelap. Reaksi Maillard yaitu reaksi antara karbohidrat,

khususnya gula pereduksi dengan gugus amina primer. Hasil reaksi tersebut akan

menyebabkan bahan menjadi berwarna coklat. Suhu pemanggangan dan lama

waktu pemanggangan juga berkaitan dengan reaksi karamelisasi. Reaksi

karamelisasi adalah reaksi yang melibatkan gula sederhana yang dapat

menghasilkan pembentukan warna coklat karamel dan komponen flavor. Menurut

Winarno (1991), titik lebur sukrosa adalah 160oC. Bila melampaui titik lebur

sukrosa, maka karamelisasi sukrosa dimulai. Kelebihan alkali atau dalam hal ini

adalah Natrium Bikarbonat juga berakibat pada warna cookies yang kekuningan

(Manley, 1998).

2.2.2.3 Rasa

Rasa dinilai dengan tanggapan rangsangan kimiawi oleh indra pencicip

(lidah), dimana akhirnya keseluruhan interaksi antara sifat-sifat aroma, rasa, dan
tekstur merupakan keseluruhan rasa makanan yang dinilai (Nasution, 1980). Tak

hanya mempengaruhi warna dan tekstur, penambahan lemak pada cookies juga

turut berpengaruh pada karakteristik rasa yang dihasilkan. Menurut Reski (2012),

lemak yang biasa digunakan pada pembuatan cookies adalah mentega (butter) dan

margarin. Gunakan lemak sebanyak 65-75% dari jumlah tepung. Presentase ini

akan menghasilkan kue yang rapuh, kering, gurih, dan warna kue kuning mengkilat.

Untuk mendapatkan rasa dan aroma dalam pembuatan cookies dan biskuit, mentega

dan margarin dapat dicampur, pergunakan mentega 80% dan margarin 20%,

perbandingan ini akan menghasilkan rasa kue yang gurih dan lezat. Penelitian yang

dilakukan oleh Mayasari (2015), menyatakan lama pemanggangan dan suhu yang

digunakan juga turut berpengaruh nyata pada karakteristik rasa yang dihasilkan.

Penerimaan panelis semakin menurun terhadap rasa biskuit akibat adanya

proses karamelisasi yang merupakan proses pencoklatan non enzimatis yang

disebabkan oleh pemanasan gula yang melampaui titik leburnya. Misalnya pada

suhu di atas 170oC. Winarno (1991) menambahkan, rasa turut dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu senyawa kimia, konsentrasi, dan interaksi dengan komponen

rasa yang lain.

2.2.2.4 Aroma

Berdasarkan hasil penelitian Prameswari (2013) aroma pada cookies

dipengaruhi oleh beberapa bahan baku yang digunakan dalam pembuatan cookies

antara lain lemak, susu, dan telur. Aroma khas cookies tercium setelah cookies

selesai dipanggang. Penurunan kadar air tepung dan pati dengan melakukan
penyangraian terlebih dahulu juga dapat memberikan aroma yang khas pada

cookies.

Penggunaan suhu tinggi pada pembuatan cookies menyebabkan senyawa

volatile hilang karena menguap. Soekarto (1985) menyatakan, komponen penyusun

aroma terdiri dari senyawa volatil yang mudah menguap pada suhu tinggi.

Peningkatan suhu menyebabkan perpindahan uap air dari adonan ke luar proses

kapiler dan difusi. Bersamaan dengan menguapnya air terjadi pengerasan di

permukaan cookies dan juga pembentukan aroma yang khas.

2.2.3 Karakteristik Kimia

2.2.3.1 Kadar Air

Air merupakan kompoenen utama dalam bahan pangan yang mempengaruhi

tekstur, rupa, maupun citarasa. Daya tahan bahan hasil olahan juga sangat berkaitan

dengan kandungan air karena hal tersebut sangat mempengaruhi

perpengembanganan mikroorganisme dalam produk olahan (Winarno, 1991).

Berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar air maksimum cookies adalah 5%. Proses

yang berperan penting pada penentuan kadar air pada cookies adalah

pemanggangan. Proses pemanggangan terjadi akibat dari pindah panas dan pindah

massa secara simultan. Perpindahan panas terjadi dari sumber panas ke bahan,

sedangkan perpindahan massa terjadi akibat pergerakan air dari bahan ke udara

dalam bentuk uap (Muchtadi, 2013).

Manley (1998) menyatakan, kadar air yang terlalu rendah akan

menyebabkan cookies menjadi gosong dan warnanya terlalu gelap, sedangkan jika
terlalu tinggi maka tidak akan renyah, mudah patah, dan perubahan flavor selama

penyimpanan berlangsung lebih cepat.

2.2.3.2 Kadar Pati

Jumlah kadar pati cookies berkorelasi langsung dengan kandungan pati yang

terdapat dalam tepung atau pati ubi jalar. Semakin tinggi proporsi pati yang

ditambahkan, maka kadar pati cookies juga akan mengalami peningkatan (Hazizah,

et al, 2013).

2.3.3.3 Kadar Lemak

Kadar lemak yang dihasilkan oleh produk cookies, berkaitan erat dengan

penambahan lemak yang ditambahkan. Semakin banyak penambahan lemak maka

semakin tinggi pula kadar lemaknya. Beberapa contoh lemak yang digunakan

dalam pembuatan cookies adalah mentega, margarin, lemak hewani, lemak nabati,

dank rim susu (Manley, 1998). Lemak juga berfungsi untuk melembutkan dan

membuat renyah sehingga rasanya lebih lezat.

2.2.3.4 Kadar Protein

Menurut Supriati (2001), tepung ubi jalar memiliki kandungan protein yang

rendah, umumnya untuk meningkatkan kadar proteinnya dilakukan dengan

subsitusi tepung lainnya yang berkadar protein tinggi. Salah satunya dengan

subtitusi dengan tepung yang berasal dari kacang-kacangan.


2.2.3.5 Kadar Abu

Kadar abu yang terdapat pada suatu bahan pangan menunjukkan jumlah

kandungan mineralnya. Untuk produk cookies batas maksimum kadar abu yang

ditetapkan SNI adalah 2%. Menurut Djuanda dan Cahyono (2000), komposisi kimia

setiap ubi jalar bervariasi, tergantung pada jenis, usia tumbuh, keadaan tumbuh,

serta tingkat kematangan ubi jalar. Kadar abu ini juga dipengaruhi oleh komposisi

kimia yang terdapat dalam tepung ubi jalar itu sendiri. Kadar abu cookies berkisar

antara 0,986% - 1,868%.

Anda mungkin juga menyukai