Anda di halaman 1dari 10

KOMPOSTING DAN FERMENTASI TANDAN KOSONG KELAPA

SAWIT
COMPOSTING AND FERMENTATION OF OIL PALM EMPTY FRUIT
BUNCHES

Dini Lestari1 dan Emenda Sembiring2


Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung,
Jl. Ganesha 10 Bandung 40132
1
dinilestari322@yahoo.co.id dan 2emenda@ftsl.itb.ac.id

Abstrak : Tingginya produksi kelapa sawit di Indonesia mempengaruhi limbah tandan kosong yang dihasilkan.
Salah satu cara untuk mengatasi timbulan limbah kelapa sawit adalah dengan melakukan pengomposan.
Penelitian ini dilakukan untuk melihat kemampuan dekomposisi tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dengan
proses aerob dan anaerob . Pengomposan dilakukan selama 90 hari yang berlokasi pada PPS Sabuga untuk
kompos aerob dan TL untuk kompos anaerob. Parameter pengomposan yang diukur adalah temperatur, pH,
kadar air dan rasio C/N. Temperatur diukur secara harian selama 90 hari pengomposan, sementara pH, kadar air
dan rasio C/N diukur secara periodik yaitu pada t0, t15, t30, t60, dan t90. Temperatur variasi kompos aerob
mencapai temperatur termofilik, sementara variasi kompos anaerob terjadi pada temperatur mesofilik. Variasi
kompos aerob cenderung mempunyai kadar air yang lebih tinggi daripada variasi kompos anaerob, yang
disebabkan oleh penyiraman berkala terhadap kompos aerob. pH variasi kompos aerob cenderung lebih
tinggi/basa daripada pH kompos anaerob. Hal ini disebabkan oleh pada proses anaerob diproduksi asam – asam
organik yang menurunkan pH kompos anaerob. Secara rasio C/N, kompos aerob lebih unggul daripada kompos
anaerob. Setelah 90 hari pengomposan variasi kompos I, II dan III mempunyai rasio C/N < 20, sementara rasio
C/N variasi kompos IV > 20.

Kata kunci: C/N , kompos, recalcitrant carbon, TKKS

Abstract : The high production of Indonesia’s palm oil influence the production of empty fruit bunches (EFB)
wastes. One of the way to control the wastes is composting/fermentation. The objective of this research is to
compare the quality of aerobic and anaerobic composting. The composting/fermentation is conducted in 90
days which is located in PPS Sabuga for aerobic and TL Secretariat for anaerobic. During the study,
measurements of physical and chemical quality of compost have been conducted. The composting parameters
are temperature, pH, moisture content, and C/N ratio. Temperature is measured daily for 90 days of
composting, while pH, water content and C/N ratio are measured periodically at t0, t15, t30, t60 and t90. The
aerobic variations reached the termophylic temperature, while the anaerobic occured in mesophylic
temperature. Three of the aerobic compost variation tends to have higher moisture content than the anaerobic
compost, that caused by the periodic watering for aerobic composting. The anaerobic compost tends to have
higher pH than the aerobic. It caused by acid that has been produced in anaerobic process. Organic acid made
the pH of anaerobic compost become lower. In C/N ratio, the variations of aerobic compost have lower value
than the anaerobic compost. After 90 days of composting, variations of aerobic compost ( Variation I, II and III)
have C/N ratio < 20, while the C/N ratio of anaerobic variation (Variation IV) is > 20.

Key words: C/N , compost, EFB, recalcitrant carbon

PENDAHULUAN

Pemanasan global merupakan fenomena yang banyak dibicarakan dan diteliti


belakangan ini. Meningkatnya suhu membuat penelitian terhadap gas rumah kaca yang
dinyatakan sebagai penyebab utama global warming meningkat. Pemanasan global
menyebabkan terperangkapnya radiasi gelombang panjang matahari (infra merah atau

1
gelombang panas) yang dipancarkan bumi, sehingga tidak dapat lepas ke angkasa dan
akibatnya suhu di atmosfer meningkat. Gas-gas rumah kaca yang dinyatakan paling
berkontribusi terhadap gejala pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), methan (CH4),
dinitro oksida (N2O), perfluorkarbon (PFC), hidrofluorkarbon (HFC), dan sulfurheksfluorida
(SF6) (Minardi, 2010). Konsumsi bahan bakar fosil bukan merupakan satu – satunya
penyebab tingginya emisi CO2 di atmosfer. Sektor pertanian merupakan salah satu
kontributor utama dalam meningkatnya emisi CO2. Hal ini disebabkan oleh emisi CO2 yang
sangat berkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Ketika karbon organik ditambahkan dalam
tanah, laju respirasi tanah akan meningkat (Gallardo dan Schlesinger, 1994; Hogberg dan
Ekblad, 1996 dalam Schlesinger dan Andrews, 2000). Kelapa sawit Indonesia merupakan
salah satu komoditi yang mengalami perkembangan cukup pesat. Pada awal tahun 2001 –
2004, luas areal kelapa sawit dan produksi masing-masing tumbuh dengan laju 3,97% dan
7,25% per tahun, sedangkan ekspor meningkat 13,05% per tahun (Direktorat Jenderal Bina
Produksi Perkebunan, 2005 dalam Isroi, 2008). Meningkatnya produksi kelapa sawit
berbanding lurus dengan jumlah limbah yang dihasilkan. Tandan Kosong Kelapa Sawit
(TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung (dalam sampel kering) : 42,8 % C; 2,90
% K2O; 0,80% N; 0,22% P2O5; 0,30% MgO dan unsur-unsur mikro antara lain 10 ppm B; 23
ppm Cu dan 51 ppm Zn (Rankine dan Fairhurst,1998) . Pada umumnya, limbah TKKS
sebagai hasil sampingan tidak diolah atau hanya ditimbun saja, padahal TKKS merupakan
limbah yang kaya akan zat organik dan masih dapat dimanfaatkan kembali. Pengomposan
dan fermentasi merupakan salah satu metode pengelolaan limbah yang dapat dilakukan pada
limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). TKKS dapat diubah menjadi produk yang
bermanfaat untuk pertumbuhan tanaman dengan merubah limbah tersebut menjadi kompos
melalui pengomposan dan fermentasi. Materi organik di dalam tanah digolongkan menjadi
dua jenis sesuai dengan kemampuan degdradasinya, yaitu materi organik labil dan materi
organik recalcitrant (Rovira dan Vallejo, 2002 dalam Fabrizio et al., 2008). Karbon labil
adalah karbon yang mudah terdegradasi dan terlepas ke atmosfer sebagai CO2 melalui
respirasi tanah, sedangkan karbon recalcitrant adalah karbon yang tetap tinggal di dalam
tanah karena sulit terdegradasi. Jumlah karbon organik tanah pada fraksi yang berbeda ini
tergantung pada kualitas hasil proses dekomposisi bahan organik yang ditambahkan ke dalam
tanah. Disamping melakukan strategi pengurangan emisi CO2 yang berkelanjutan pada
atmosfer, carbon sequestration dapat dijadikan salah satu manfaat tambahan dalam
mengurangi CO2 dengan memanfaatkan sumber daya alam seperti tanah dan bahan organik
(Sanchez-Monedero et al., 2008). TKKS sebagai kompos diharapkan dapat menahan karbon
dalam tanah karena kandungan zat organik di dalamnya. Kandungan selulosa, hemiselulosa
dan lignin pada tandan kosong kelapa sawit adalah 41,30 – 46,50 % selulosa, 25,30 – 33,80
% hemiselulosa dan 27,60 – 32,50 % lignin. Pemanfaatan tandan kosong kelapa sawit sebagai
kompos diperkirakan dapat membantu kestabilan karbon di dalam tanah lebih lama karena
kandungan selulosa yang cukup tinggi. Selain itu dengan berlimpahnya jumlah limbah tandan
kosong kelapa sawit di Indonesia, diharapkan penelitian ini dapat membantu pengelolaan dan
meningkatkan nilai guna limbah tersebut.

METODOLOGI

Secara garis besar, penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu tahap persiapan,
pengomposan dan analisis hasil penelitian. Diagram alir metodologi penelitian tugas akhir ini
dapat dilihat pada Gambar 1 berikut :

2
Pengiriman TKKS

Persiapan lahan, Pengukuran Prapengomposan Pencacahan TKKS


cetakan&reaktor (C Organik dan Nitrogen Total) TKKS
dan Kotoran Kambing
Tahap I

Pengomposan &
Fermentasi 90 hari

Pengukuran parameter fisik dan


kimia:
1. 1. Pengukuran Harian
2. 2. Pengukuran Periodik
Tahap II

Hasil dan Tahap III


Pembahasan

Gambar 1 Diagram Alir Metodologi Penelitian

Pengomposan pada penelitian ini akan dilakukan dalam dua proses, yaitu aerob dan
anaerob. Tahap awal peneltian meliputi pengiriman limbah TKKS, proses penyediaan lahan,
cetakan dan reaktor, pencacahan TKKS serta pengukuran prapengomposan. Setelah melalui
tahap persiapan dilakukan pengomposan selama 90 hari terhadap 4 variasi kompos, yaitu tiga
variasi kompos aerob dan satu variasi kompos anaerob. Komposisi variasi kompos dapat
dilihat pada Tabel 1 berikut :

Tabel 1 Komposisi Variasi Kompos

Bahan kompos
TKKS Pupuk Rasio TKKS/pupuk Perkiraan rasio
Variasi Aktivator
(kg) Kandang (kg) kandang C/N
Komposting
1 36 12 + 3:1 30:1 – 40:1
2 36 8 + 4:1 > 30:1 – 40:1
3 50 - + - > 30:1 – 40:1
Fermentasi
1 39 13 + 3:1 30:1 – 40:1

Selama proses pengomposan dan fermentasi, dilakukan pengukuran parameter kimia


dan fisika secara harian dan periodik. Parameter fisik dan kimia ditentukan berdasarkan SNI
19-7030-2004. Pengukuran harian dilakukan selama 90 hari untuk parameter temperatur,
sementara pengukuran periodik dilakukan pada hari tertentu misalnya ke 0, 15, 30, 60, dan
90. Pengukuran periodik dilakukan untuk pH (0, 30, 60, 90), kadar air (0, 15, 30, 60, 90),
karbon organik (0, 30, 60, 90) dan nitrogen total (0, 30, 60, 90) . Pengukuran temperatur

3
dilakukan setiap hari dengan menggunakan termometer. Termometer dimasukkan ke daerah
tengah kompos sebagai pusat terjadinya pengomposan. Untuk mengetahui pH, digunakan
pengukuran dalam sampel basah menggunakan pH meter. Kadar air pada sampel diukur
dengan menggunakan prinsip pengukuran berat sampel sebelum dan setelah dikeringkan.
Untuk karbon organik, metode pengukuran yang digunakan secara garis besar terdiri dari dua,
yaitu destruksi karbon di dalam sampel dan titrasi. Pengukuran C organik dilakukan untuk
mengetahui tingkat kematangan kompos. Nitrogen total diketahui dari hasil pengukuran
nitrogen kjedhal dengan prinsip destruksi sampel dan destilasi. Setelah 90 hari pengomposan,
kualitas kompos akan dibandingkan dengan standar kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004
dan standar kualitas kompos berdasarkan WHO.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Bahan Pengomposan

Pada penelitian ini, bahan baku pengomposan yang digunakan adalah tandan kosong
kelapa sawit (TKKS). TKKS adalah limbah yang dihasilkan oleh industri kelapa sawit yang
berasal dari PT Condong Garut. Pada awal penelitian (t=0) dilakukan uji laboratorium untuk
mengetahui kandungan pada bahan baku pengomposan yang telah divariasikan. Untuk bahan
baku pengomposan, parameter yang diukur adalah karbon organik dan nitrogen total saja.
Karakteristik bahan baku pengomposan dapat dilihat pada Tabel 2 sementara karakteristik
kompos dapat dilihat pada Tabel 3 :

Tabel 2 Karakteristik Bahan Baku Pengomposan

Bahan Pengomposan C Organik (%) N Total (%) Rasio C/N


TKKS 46,75 0,68 68,98
Kotoran Kambing 30,83 2,64 11,67

Tabel 3 Karakteristik Kompos TKKS

Variasi C Organik (%) N Total (%) Rasio C/N


Variasi I 42,78 1,13 37,858407
Variasi II 44,05 0,89 49,494382
Variasi III 46,96 0,63 74,539683
Variasi IV 43,79 1,08 40,546296

Karakteristik TKKS sebagai bahan pengomposan adalah memiliki kandungan karbon


organik tinggi dan nitrogen total yang rendah, sehingga rasio C/N menjadi tinggi. Menurut
Rankine dan Fairhurst (1998) TKKS dalam keadaan kering mengandung 42,8% C organik
dan 0,8% nitrogen total. Sebaliknya, kotoran kambing mempunyai kandungan karbon organik
yang rendah dan nitrogen total yang tinggi, sehingga rasio C/N menjadi rendah. Menurut Tan
(1993) Suriadikarta dan Setyorini (2006) kandungan nitrogen total pada kotoran domba
adalah 1,28%. Berdasarkan karakter tersebut, kedua bahan pengomposan akan saling
melengkapi sebagai bahan baku kompos.
Dilihat dari proses pengomposan yang dilakukan, ada dua jenis pengomposan pada
penelitian ini, yaitu pengomposan aerob (variasi I, II, dan III) dan pengomposan anaerob
(variasi IV). Variasi I dan IV mempunyai perbandingan komposisi TKKS dan kotoran

4
kambing yang sama, yaitu 3 : 1. Maksud dari penyamaan komposisi ini adalah untuk
membandingkan antara pengomposan aerob dan anaerob. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa
variasi dengan rasio C/N terendah adalah variasi kompos I dan IV, dilanjutkan oleh variasi
kompos II dan III. Nilai rasio C/N pada variasi I dan IV termasuk ke dalam rentang yang baik
untuk pengomposan yaitu 20:1 – 40:1. Variasi I dan IV adalah variasi yang dipersiapkan
untuk mempunyai rasio awal C/N yang baik. Variasi III adalah satu – satunya kompos yang
tidak diberi tambahan kotoran kambing. Perbedaan rasio TKKS dan kotoran kambing pada
kompos aerob dilakukan untuk mengetahui pengaruh keberadaan kotoran kambing.
Manipulasi kondisi pengomposan yang dilakukan tidak hanya dengan merekayasa rasio C/N
pada bahan baku, juga dengan memberikan aktivator pengomposan. Aktivator untuk kompos
aerob yang digunakan adalah orgadec sementara aktivator kompos anaerob yang digunakan
adalah promi. Dalam penelitian ini, keempat variasi kompos diberi tambahan aktivator untuk
membantu proses pengomposan

Temperatur

Temperatur adalah salah satu parameter pengomposan yang menunjukkan ukuran


panas dan dinginnya suatu benda. Temperatur diukur setiap hari selama 90 hari masa
pengomposan. Dengan temperatur, dapat diketahui tingkat kematangan kompos dan
karakteristik pengomposan yang sedang berjalan. Tingkat panas dingin yang terjadi
disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme pada bahan pengomposan. Temperatur yang
meningkat dihasilkan oleh metabolisme mikroba yang menghasilkan energi berupa panas .
Temperatur keempat variasi selama 90 hari pengomposan dapat dilihat pada Gambar 2
berikut :

80
70
Temperatur (oC)

60
var I
50
40 var II
30 var III
20
10 var IV
0
0 7 14 21 28 35 42 49 56 63 70 77 84
pembalikan
Hari ke- kompos

Gambar 2 Temperatur Kompos TKKS

Pada Gambar 2, dapat dilihat temperatur kompos untuk variasi I,II dan III ( aerob)
memiliki tren yang berbeda dengan kompos variasi IV (anaerob). Temperatur kompos variasi
I,II dan III cenderung berfluktuasi selama 90 hari masa pengomposan, sementara kompos
variasi IV cenderung tidak berfluktuasi. Fluktuasi temperatur yang terjadi pada variasi I, II
dan III dipengaruhi oleh pembalikan kompos yang dilakukan tiap satu minggu sekali pada
satu bulan pertama dan dua minggu sekali pada dua bulan berikutnya. Tujuan dilakukan
pembalikan adalah untuk memberi suplai oksigen sehingga pengomposan tidak berjalan
secara anaerob. Meningkatnya temperatur setelah pembalikan terjadi karena adanya

5
tambahan suplai oksigen yang meningkatkan kinerja mikroorganisme aerob di dalam
kompos. Temperatur meningkat karena adanya panas yang dihasilkan oleh metabolisme
mikroba yang terinsulasi oleh material yang dikomposkan. Gotaas (1956) menyatakan
dissimilasi anaerob untuk molekul glukosa menghasilkan energi 26 kkal /gr molekul,
sementara dissimilasi aerob menghasilkan energi 484 – 674 kkal /gr molekul. Hal ini
menjelaskan perbedaan fluktuasi temperatur yang terjadi diantara kedua variasi proses, yaitu
aerob (I, II, III) dan anaerob (IV). Kompos dengan proses aerob menghasilkan energi yang
jauh lebih besar (mencapai 18 – 25 kali) bila dibandingkan dengan energi pada proses
anaerob. Semakin sedikit energi artinya panas yang dihasilkan semakin kecil dan
berpengaruh pada rendahnya temperatur kompos. Kompos variasi I, II dan III mencapai
temperatur termofilik (>450C), sementara kompos variasi IV mempunyai temperatur
mesofilik (15 - 450C). Menurut Braun (2007) sebagian besar pengomposan anaerob terjadi
pada temperatur mesofilik (30 – 40 oC) atau termofilik (50 - 60 oC) dan sedikit diantaranya
pada temperatur 15 - 25 oC.

Kadar Air

Selama 90 hari pengomposan, dilakukan pengukuran kadar air secara periodik yaitu
pada hari ke 0, 15, 30, 60 dan 90. Pengukuran kadar air penting untuk dilakukan karena kadar
air mempengaruhi aktivitas mikroorganisme di dalam kompos. Hasil pengukuran kadar air
dapat dilihat pada Gambar 3:

80
70
Kadar air (%)

60
50 var I
40
30 var II
20
10 var III
0 var IV
t0 t 15 t 30 t 60 t 90
hari ke -

Gambar 3 Kadar Air Kompos TKKS

Secara umum, dapat dilihat kadar air cenderung meningkat pada 1 bulan pertama dan
menurun pada bulan kedua dan ketiga pengomposan untuk semua variasi. Pada awal
pengomposan, kadar air kompos variasi I, II, III dan IV berturut – turut adalah 27%, 39%,
36% dan 39%. Rendahnya kadar air pada awal pengomposan disebabkan pengambilan
sampel dilakukan sebelum dilakukan penambahan air pada keempat variasi kompos. Kadar
air yang direkomendasikan pada umumnya berada pada rentang 50 – 60%. Namun, Liang dan
Das Mcclendon (2003) menyatakan bahwa rentang 60 – 75% adalah rentang kadar air dimana
aktivitas mikroba maksimum (Baharudin et al., 2009). Dilihat dari hasil pengukuran, maka
kadar air semua variasi memenuhi rentang kadar air optimum pada pengomposan. Kadar air
di dalam kompos sebaiknya tidak terlalu sedikit atau terlalu banyak. Ketika kadar air terlalu
sedikit, dikhawatirkan akan menganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme
sehingga mempengaruhi proses dekomposisi. Kadar air yang terlalu tinggi juga akan
memberi dampak negatif pada kompos khususnya kompos dengan proses aerob. Hal ini
dikarenakan air yang terlalu banyak akan mengisi ruang – ruang kosong pada tumpukan
kompos dan menggantikan posisi oksigen sehingga pengomposan akan terjadi secara

6
anaerob. Secara umum, kadar air pada kompos khususnya kompos variasi I,II dan III
mengalami kenaikan pada satu bulan pertama dan menurun pada dua bulan berikutnya. Kadar
air pada kompos variasi IV cenderung stabil dan mengalami sedikit penurunan pada bulan
kedua dan ketiga. Pada pengomposan aerob akan dihasilkan energi berupa panas yang
menyebabkan penguapan air. Selain itu, mikroorganisme pada kompos akan mengkonsumsi
air untuk pertumbuhannya. Namun, pada awal pengomposan kadar air cenderung meningkat
dan hanya mengalami sedikit penurunan pada semua variasi. Untuk kompos variasi I, II dan
III hal ini disebabkan oleh penambahan air yang dilakukan secara berkala untuk menghindari
kadar air yang terlalu rendah akibat evaporasi.

pH

Selama masa pengomposan, parameter pH diukur secara periodik yaitu pada hari ke 0,
15, 30, 60 dan 90. Pengukuran dilakukan dengan pHmeter. Hasil pengukuran pH dapat dilihat
pada Gambar 4 berikut :

10

6 Var I
pH

4 Var II

2 Var III
var IV
0
0 15 30 60 90
Hari ke -

Gambar 4 pH Kompos TKKS

Dari gambar dapat dilihat pada variasi I,II, III dan IV pengomposan terjadi pada pH
yang cenderung basa yaitu 8 – 10. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan
perubahan pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Secara umum, pada t30 terjadi
penurunan pH pada variasi kompos aerob yaitu variasi I, II dan III. Menurunnya pH
disebabkan oleh terjadinya pelepasan asam, secara temporer atau lokal. Pada bulan
berikutnya, yaitu t60 terjadi kenaikan pH pada variasi I, II dan III. Kenaikan pH dapat
disebabkan oleh amonia yang diproduksi pada saat pengomposan. Amonia meningkatkan pH
karena sifatnya yang basa. Selain itu, menurut Yuwono (2006) proses mineralisasi kation –
kation basa seperti K+ , Ca2+ dan Mg2+ turut mempengaruhi kenaikan pH. Penurunan pH pada
akhir pengomposan terjadi karena adanya oksidasi enzimatik senyawa inorganik hasil proses
dekomposisi, misalnya NH4- dan H2S dapat mengalami oksidasi enzimatik menjadi NO3- dan
SO42-. Pada reaksi enzimatik tersebut dihasilkan sejumlah kation H+. Baharuddin et al.,(2009)
juga menyatakan pH akan naik jadi 8-9 ketika pengomposan telah terjadi secara menyeluruh.
Hal ini disebabkan oleh kompos dengan temperatur termofilik didominasi oleh bakteri yg
bukan merupakan acid tolerant. Proses pengomposan yang berbeda menyebabkan tren pH
antara kompos aerob dan anaerob juga berbeda. Pada kompos variasi anaerob (IV), pH
cenderung lebih rendah semenjak awal pengomposan. Selama 90 hari pengomposan, pH
kompos variasi IV masih berada pada rentang basa, yaitu 8 – 9. pH awal pengomposan
adalah 8,19, dua minggu kemudian pH naik menjadi 8,6 dan turun pada t30 dan t60
pengomposan. Di akhir pengomposan pH kompos meningkat lagi menjadi 9,03.

7
Naik turunnya pH pada kompos variasi IV disebabkan oleh proses dan reaksi – reaksi
yang terjadi selama pengomposan anaerob. Dalam mendekomposisi materi, terjadi beberapa
fase pada proses anaerob. Fase tersebut meliputi hidrolisis, asidogenesis, asetogenesis dan
metanogenesis. Pada tahap hidrolisis, polisakarida didekomposisi menjadi gula tunggal,
protein menjadi asam amino dan lemak menjadi asam lemak dan gliserol. Gula dan asam
amino terdekomposisi menjadi asetat dan propionat oleh asidogens. Akhirnya metanogen
mengonversi asetat atau hidrogen dan karbon dioksida menjadi metana. Asidogenesis adalah
proses yang kompleks dimana mikroflora anaerob bersama – sama mengurai senyawa
organik menjadi asam organik molekul rendah. Asetat, laktat, suksinat, etanol, butanol,
aseton, dan sebagainya dapat diproduksi dari glukosa oleh asidogens (Asian Biomass
Handbook – JIE, 2008).
Pada awal pengomposan pH kompos variasi IV masih berada pada rentang yang
relatif netral, yaitu 8,19. Awal pengomposan merupakan fase terjadinya hidrolisis molekul
kompleks menjadi molekul yang lebih sederhana. Setelah 15 hari pengomposan, terjadi
peningkatan pH menjadi 8,6. Pada t30, pH pengomposan turun hingga 7,9. Turunnya pH
disebabkan oleh pembentukan asam organik seperti asam asetat, hidrogen dan
karbondioksida pada fase asidogenesis dan asetogenesis. Pembentukan asam organik terus
terjadi hingga 60 hari pengomposan (t60). Selama satu bulan terakhir pengomposan, terjadi
peningkatan pH yaitu mencapai 9,03. Meningkatnya pH pada kompos variasi IV hingga akhir
waktu pengomposan terjadi karena aktivitas bakteri metanogen yang megonversi asam
organik menjadi senyawa lain seperti metana, amoniak dan karbon dioksida.

C/N

Sebelum digunakan sebagai bahan penyubur tanah, kompos harus berada dalam
keadaan stabil/matang. Rasio C/N adalah salah satu parameter tingkat kematangan tersebut.
Selama 90 hari pengomposan, dilakukan pengukuran karbon organik dan nitrogen total secara
periodik, yaitu pada t0, t15, t30, t60 dan t90. Hasil pengukuran rasio C/N dapat dilihat pada
Gambar 5 berikut :

80
70
60
50 var I
C/N

40 var II
30
var III
20
10 var IV
0
t0 t 15 t 30 t 60 t 90
waktu (hari)

Gambar 5 Rasio C/N Kompos TKKS

Selama masa pengomposan, rasio C/N semua variasi kompos mengalami penurunan.
Penurunan rasio C/N kompos terjadi karena nilai karbon organik yang semakin rendah dan
didukung oleh nilai nitrogen total yang semakin tinggi. Dari keempat variasi kompos, variasi
I adalah variasi dengan nilai C/N terendah yaitu : 7,2%. Tidak berbeda jauh dengan variasi I,
variasi kompos II mempunyai rasio C/N 8,3%, disusul oleh variasi kompos III sebesar 13,9%

8
dan kompos variasi IV dengan rasio terbesar yaitu 28,5%. Penurunan ini terjadi karena
aktivitas mikroorganisme pada substrat selulosa dan nitrogen, yang meningkatkan protein
mikroba dan zat humus (Thambirajah et al.,1995 di dalam Baharuddin et al., 2009). Di dalam
Baharuddin et al. (2009), Heerden et al. (2002) menyatakan rasio C/N dibawah 20 dianggap
sebagai nilai kematangan kompos yang memuaskan, sementara Jimenez dan Perez (1992)
menyatakan rasio C/N dibawah 15 lebih baik.
Setelah 90 hari pengomposan, hanya variasi III yang memenuhi standar rasio C/N
menurut SNI 19-7030-2004 sebagai standar kematangan kompos yang berlaku di Indonesia,
yaitu 10 - 20. Variasi I dan II mempunyai rasio yang lebih kecil dari standar tersebut,
sementara variasi IV mempunyai rasio yang lebih besar dari standar. Variasi kompos I telah
memenuhi kriteria tersebut pada 30 hari pengomposan. Sementara itu, variasi kompos II
memenuhi kriteria kematangan kompos setelah 60 hari pengomposan. Dari semua variasi
kompos, hanya variasi kompos IV yang tidak memenuhi rasio C/N menurut SNI.
Semenjak awal pengomposan, variasi kompos I adalah kompos dengan rasio C/N
terendah. Faktor yang paling mempengaruhi kecilnya rasio C/N adalah keberadaan nitrogen
total. Alasannya adalah ketika dilihat dari nilai karbon organik, semua variasi kompos
memiliki nilai karbon organik yang tidak berbeda jauh satu sama lain, yaitu berada pada
rentang 40 – 50%. Komposisi kotoran kambing sebagai suplai nitrogen yang cukup banyak
pada variasi I dan IV membuat kedua variasi ini memiliki rasio C/N terendah pada awal
pengomposan. Selama keberjalanan pengomposan, dapat dilihat variasi kompos II cenderung
memiliki rasio C/N yang mendekati rasio pada variasi kompos I. Hingga akhir pengomposan
rasio antara kedua variasi kompos ini hanya berbeda : 1,08%.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbandingan komposisi TKKS : kotoran
kambing = 3 : 1 memiliki kualitas yang tidak berbeda jauh dengan kualitas kompos dengan
perbandingan TKKS : kotoran kambing = 4 : 1. Sementara bila membandingkan hasil akhir
rasio C/N pada variasi kompos I dan IV, variasi kompos IV mempunyai rasio yang jauh lebih
besar. Perbedaan ini terjadi dikarenakan proses pengomposan yang berbeda, yaitu variasi I
dengan proses aerob dan variasi IV dengan anaerob. Dekomposisi pada proses aerob
membutuhkan waktu yang lebih sedikit daripada dekomposisi dengan proses anaerob.

KESIMPULAN

Setelah 90 hari pengomposan, terjadi penurunan rasio C/N pada semua variasi
kompos, baik aerob maupun anaerob. Variasi yang telah memenuhi kriteria kematangan
kompos menurut SNI 19-7030-2004 adalah variasi I, II dan III. Namun, setelah 90 hari
pengomposan hanya variasi III yang memenuhi standar tersebut. Dari rasio C/N yang didapat,
dinyatakan kemampuan dekomposisi pada proses aerob lebih baik daripada proses anaerob.
Untuk proses aerob, disimpulkan penambahan kotoran kambing sebagai suplai nitrogen
memberi dampak positif, yaitu mempercepat kematangan kompos. Namun, rasio C/N
kompos dengan perbandingan TKKS : kotoran kambing = 3 : 1 (variasi I) dengan kompos
yang berbanding 4 : 1 (variasi II) hanya berselisih 1,08% sehingga tidak berbeda secara
signifikan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Asian Biomass Handbook, The Japan Institute of Energy. 2008.


Baharuddin, A.S., M. Wakisaka, Y. Shirai, S.A. Aziz, N.A.A. Rahman dan M.A. Hassan.
2009. Co-Composting of Empty Fruit Bunches and Partially Treated Palm Oil Mill
Effluents in Pilot Scale. International Journal of Agricultural Research 4.
Braun, R. 2007. Anaerobic Digestion: A Multi-Faceted Process For Energy, Environmental
Management And Rural Development. Dalam Improvement of Crop Plants for
Industrial End Uses. Editor P. Ranalli. Springer Netherlands.
Fabrizio, A., F.Tambone, P.Genevini. 2008. Effect of compost application rate on carbon
degradation and retention in soils.Waste Management 29.
Gotaas, H. B. 1956. Composting : Sanitary Disposal and Reclamation of Organic Waste.
World Health Organization. Geneva.
Isroi. 2008. Pengomposan Limbah Padat Organik. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan
Indonesia, Bogor.
Hermiati, E., D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan
Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang
Pertanian, 29 (4).
Minardi, S. 2010. Pengelolaan Lahan Pertanian dan Emisi Gas Rumah Kaca.
http://minardi.staff.uns.ac.id 20 Mei 2013 (08.20)
Rankine, I., Fairhurst, T. 1998. Seri Tanaman Sawit Volume 3 : Tanaman Menghasilkan.
Oxford Graphic Printers Singapore.
Rynk, R., M. van de Kamp, G.G. Willson, M.E. Singley, T.L. Richard, J.J. Kolega, F.R.
Gouin, L. Laliberty Jr., D. Kay, D. Murphy, H.A.J. Hoitink, and W.F. Brinton. 1992.
On-Farm Composting Handbook. R. Rynk (Ed.). NRAES-54. Natural Resource,
Agriculture, and Engineering Service. Ithaca, New York.
Sanchez-Monedero, M.A., M.L. Cayuela, C.Mondini, N.Serramia, A.Roig. 2008. Potential of
Olive Mill Wastes for Soil C Sequestration. Waste Management 28.
Standar Nasional Indonesia Nomor 19-7030-2004. Standar Kualitas Kompos. Jakarta.
Suriadikarta, D.A. dan D. Setyorini. 2006. Pupuk Organik dan Pupuk Hayati. Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. http://balittanah.litbang.deptan.go.id. 20 Mei 2013 (19.45)
Schlesinger, W.H., J.A. Andrews. 2000. Soil Respiration and The Global Carbon Cycle.
Biogeochemistry 48.
Yuwono, T. 2006. Kecepatan Dekomposisi dan Kualitas Kompos Sampah Organik. Jurnal
Inovasi Pertanian (Vol. 4 No.2).

10

Anda mungkin juga menyukai