Yang dinamakan ma'rifatullah ialah membedakan antara yang muhaddats dan qadim yakni
membedakan antara baharu dan Tuhan.
Hukum berma'rifatullah itu adalah wajib karena ia awal agama. Yang dimaksud awal agama adalah
asal agama, karena dengan adanya ma'rifatullah maka ada agama. Jika benar ma'rifat seseorang
maka benar agamanya, sebaliknya jika salah ma'rifatnya, maka salah pula agamanya, dan kalau tidak
ada ma'rifatnya berarti tidak ada agamanya. Nabi bersabda : أول الدين معرفة هللا
Cara membedakan Allah dengan makhluk-Nya ialah membuat perlawanan, yaitu apa yang wajib bagi
Allah itulah yang mustahil bagi makhluk dan yang wajib makhluk mustahil bagi Allah.
Dikatakan Allah ada maka makhluk tidak ada. Allah sedia (berdiri sendiri, mandiri, sudah ada)
makhluk berpermulaan (baru, berasal usul, bermula). Allah kekal makhluk binasa, Allah berbeda
dengan segala yang baharu (baru) sedangkan makhluk sama, serupa dengan sesamanya (makhluk).
Allah berdiri sendiri sedangkan makhluk berdiri dengan yang lainnya. Allah Esa (Tunggal) sedangkan
makhluk berbilang, banyak, ada hitungannya, ada jumlahnya, dan bermacam-macam.
Dan selanjutnya, Allah kuasa makhluk lemah, Allah berkehendak makhluk tergagah (terpaksa), Allah
mengetahui makhluk bodoh, Allah hidup makhluk mati, Allah mendengar makhluk tuli, Allah melihat
makhluk buta, dan Allah berkata-kata (bicara) makhluk bisu.
Perbedaan yang paling tinggi ialah mengi'tikadkan (meyakini) Allah ada makhluk tidak ada, karena
selagi (selama, masih) seseorang meyakini makhluk itu ada, ia masih dinamakan atau dikatakan
syirik. Sabda Nabi :وجودك ذنب ال قياس له لغيره
Artinya : “Wujudmu adalah dosa yang tidak ada qiyas (bandingan) baginya, bagi yang lainnya”
(Kasyful Asrar h. 17).
Maksudnya adalah selama engkau mengi'tikadkan (meyakini) makhluk itu ada maka engkau berada
dalam dosa yang tidak ada bandingannya dengan dosa yang lain (saking besarnya). Yang bisa lepas
dari dosa syirik seperti ini, hanyalah orang-orang arif, seperti yang disebutkan di dalam Syarh al-
Hikam :اتفقت مقاالت العارفين واشارتهم ومواجيدهم من ان ما سوى هللا عدم مخض من حيث ذاته
Artinya : “Sepakat perkataan orang-orang arif, isyarat, dan pendapat mereka bahwa barang yang
selain Allah adalah 'adum (tidak ada) semata-mata dari segi zat-Nya”. (Syarh al-Hikam 1 h. 18).
Marilah kita belajar bersungguh-sungguh agar kita menjadi orang-orang arif, karena tidak mustahil
kita mendapatkannya, orang arif itu pun awalnya seperti kita, tetapi dengan kesungguhan mereka
serta hidayah Allah, mereka bisa menjadi orang arif.
Orang arif ialah orang yang membedakan Tuhan dengan makhluk-Nya dengan sebenar-benar
perbedaan. Tidak seperti perkataan seseorang “ Tuhan dan makhluk adalah sama-sama kuasa, tetapi
kuasanya berbeda”. Perkataan seperti ini adalah masih membuat perserupaan atau persamaan
dengan Allah SWT, yaitu sama-sama kuasa, yang berbeda adalah jenis kuasanya, perkataan seperti
ini masih belum terlepas dari syirik, karena masih ada persamaannya. Yang tidak ada persamaannya
ialah apabila masih dikatakan Allah kuasa makhluk lemah.
Banyak orang yang berkata, hamba itu lemah tapi dalam prakteknya sehari-hari ternyata tidak, ia
masih bisa memperbuat suatu perbuatan, tanpa mengingat bahwa yang memperbuat itu adalah
Allah pada hakikatnya. Demikian juga kepada wujud (yang ada). Agar lepas dari persamaan,
hendaklah di i'tikadkan (diyakini) Allah ada makhluk tidak ada.
Dan makna sifat ialah rupa (lihat kamus marbawi h. 390), kenyataan (lihat kasyful asrar h. 6), sifat
dengan maknanya tersebut tidak memiliki 'ainnya (dirinya), hanya yang berdiri dengan Diri itu
sendiri, yakni berdiri dengan Dzat.
Artinya : Pikirkan oleh kamu akan makhluk Allah, dan jangan pikirkan Dzat Allah, binasa kamu
karenanya. (HR. Abu asy-Syaikh, Mukharul Ahadits h.378).
Lalu, timbul pertanyaan, jika Allah tidak berbatas dan alam pun tidak berbatas, apakah keduanya
berbaur? Tidak. Hanya saja Allah meliputi seluruh alam. Artinya dimana saja Dzarroh (atom) alam
berada, disana Dzat Allah ada. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa Tuhan adalah Dzat dan alam
(baharu) ini adalah sifat-Nya, maka jadilah Dzat itu tidak berbatasan dengan sifat-Nya, dan sifat-Nya
pun tidak berbatasan dengan Dzat, akan tetapi Dzat itu meliputi seluruh sifat-Nya, bukan sebaliknya.
Untuk mendekatkan pahamnya, diumpamakan dengan, Dzat itu siang dan sifat-Nya adalah terang.
Maka siang itu tidak berbatasan dengan terangnya, dan terangnya pun tidak berbatasan dengan
siang, tetapi siang itu meliputi seluruh terang, sehingga dimana ada terang disana ada siang (dimana
ada sifat disana ada Dzat). Perumpamaan kedua, antara kertas dengan putihnya, kertas adalah misal
Dzat, dan putih misal dari sifat-Nya. Kertas itu tidak berbatasan dengan putihnya, juga putihnya tidak
berbatasan dengan kertas, tetapi kertas itu meliputi seluruh putihnya, sehingga dimana ada putih
disana ada kertas.
Ingat, itu hanyalah sekedar contoh, bukan hakikatnya. Karena Tuhan itu tidak siang dan tidak pula
seperti siang, dan tidak kertas dan tidak pula seperti kertas, akan tetapi jika dua baharu (makhluk)
itu saja bisa satu, tanpa berbaur (bercampur), maka Allah lebih bisa lagi satu, dengan baharu-Nya
tanpa bercampur. Itu saja.
Sudah kami terangkan bahwa Tuhan itu adalah Dzat, dan Dzat itu tidak ada yang mengetahui
hakikatnya, sehingga semua perumpamaan atau contoh tersebut, hanya sebatas perbandingan dan
tidak yang sebenarnya.
Untuk lebih jelas, rujuklah kitabnya pada judul (“Surat Rahasia Al-Ghazali kepada saudaranya
Ahmad” h. 159). Maka, apa yang kami sebutkan pada buku ini daripada misal atau contoh adalah
dalam makna atau maksud ini. Kami sama sekali tidak membuat perserupaan atau persamaan
dengan Allah, Maha suci Allah daripada diserupakan dengan sesuatu.
Kedua jawaban itu adalah sama-sama benar. Yang menjawab kain benar, karena yang dipegangnya
itu zahirnya adalah kain. Begitu juga yang menjawab kapas, itu pun benar juga, karena pada batinnya
yang dipegangnya itu adalah kapas. Bagi yang tidak mengetahui perbedaan golongan ini, bisa terjadi
perbantahan, bahkan saling menyalahkan. Agar tidak terjadi pertengkaran diantara kedua golongan
ini, hendaklah mengetahui golongannya ketika menjawab pertanyaan.
Begitu juga orang yang menjawab, harus melihat kepada yang bertanya golongan apa dia. Kalau
yang bertanya itu ahli syariat, maka hendaklah menjawab ia dengan yang zahir (kain). Tetapi kalau ia
ahli hakikat bolehlah dijawab kapas.
Siapa yang memperbuat sesuatu?
Siapa yang menggerakkan engkau? Untuk menjawabnya lihat dulu siapa yang bertanya, kalau dia
ahli hakikat, jawablah “Allah”, dia akan aman dan tidak bertanya lagi, tetapi kalau dia ahli syariat
(ahli zahir), jawablah sesuai zahirnya yaitu “aku”. Kemudian orang yang ingin menjadi ahli hakikat,
akan bertanya : kenapa dijawab dengan Allah? Maka jelaskanlah kepadanya bahwa yang ada hanya
dua, yaitu Tuhan dan makhluk. Tuhan yang menggerakkan, makhluk yang digerakkan.
Kalau makhluk menggerakkan juga, maka siapa yang digerakkan? Tentunya batallah ketuhanan,
karena lemah tidak bisa menggerakkan makhluk-Nya pada waktu yang dikehendaki-Nya.