Anda di halaman 1dari 4

Kado untuk Pak Guru

Oleh: Inok Binawa

Email: inokbinawa@yahoo.co.id

HP: 08121597059

Kaki-kaki kecil Bimo mengayun cepat menyusuri gang-gang sempit sebuah perkampungan padat
di pinggiran kota. Matahari sudah meredup, sinarnya tak lagi terik seperti siang tadi. Bimo
semakin mempercepat langkahnya. Ia ingin segera sampai rumah untuk menumpaskan rasa
dahaga yang menggelitik kerongkongannya. Tenggorokannya kering setelah latihan koor di aula
tadi. Maklum, hari ini adalah latihan terakhir baginya sebelum tampil dalam upacara Hari Guru,
besok pagi.

Sejak pagi, teman-temannya sudah berkasak-kusuk tentang hadiah yang akan dipersembahkan
untuk para guru.

”Hari Guru besok pagi, hadiah apa yang kau siapkan untuk Pak Guru?” Winda memulai
perbincangan.

”Aku serahkan pada Mama, aku tinggal bawa besok,” jawab Tisna.

”Mungkin aku akan menghadiahkan dasi,” timpal Lucki.

”Aku akan memberi buku,” kata Tisna.

”Papa ingin agar aku menghadiahkan kemeja batik,” sambung Raka.


”Kalau aku ….”

“Aku juga…”

Meskipun itu semua baru sebatas bisik-bisik, tetapi tak urung membuat hati Bimo risau.
Hadiah? Dulu, sebelum ia pindah ke sekolah itu, ia tak pernah berpikir tentang hadiah. Bimo
juga tidak pernah tahu bahwa ada hari guru. Yang Bimo tahu, terkadang ia dipulangkan awal
karena guru-gurunya harus mengikuti upacara di kecamatan.

Itu dulu, sewaktu dia masih tinggal bersama nenek di dusun kecil di kaki Merapi. Sejak nenek
meninggal, Bimo diambil Emak untuk ikut merantau di Jakarta. Oleh Bu Kinan, majikan Emak,
Bimo dimasukkan ke sekolah yang sama dengan anaknya, Osa. Dia harus beradaptasi dengan
sekolahnya yang baru, termasuk kebiasaan setiap hari guru.

”Hadiah…! Apa ya…?” gumam Bimo. Ia belum menemukan hadiah yang paling cocok untuk Pak
Wijaya, guru yang sangat dikaguminya. Masalahnya, ia tak punya uang untuk membeli hadiah. Ia
juga tak mau merepotkan Emak yang hanya bekerja sebagai pembantu. Ah, sudahlah, yang
penting sampai di rumah dulu, baru nanti dipikirkan, batinnya. Ia semakin mempercepat
langkahnya.

Seperti biasanya, sampai di rumah Bimo disambut sepi. Emak pasti belum pulang dari bekerja.
Tak mengapa. Ia terbiasa mengurus diri sendiri. Maka, ia pun segera menumpahkan
dendamnya untuk minum sepuasnya. ”Sruppuutt…! Aaahh…, lega…!” gumamnya setelah
mengosongkan dua gelas air putih.

Seharusnya Bimo masih memiliki sedikit waktu untuk beristirahat sebelum mandi sore, tetapi ia
tak bisa tenang. Pikirannya masih terusik masalah hadiah. Bimo tahu, itu bukan suatu
kewajiban, tetapi ia sangat ingin memberikan sesuatu untuk guru idolanya, Pak Wijaya!
Bimo hanya mondar-mandir di rumah kontrakan yang sempit. Sampai akhirnya pandangannya
tertumbuk pada sebuah kaleng bekas cat yang teronggok di pojok tempat sampah, di atas got.
Di atas kaleng cat itu menjulur sebatang kecil pohon rambutan. Dulu, Emak memakai kaleng itu
untuk menanam benih Jemani ketika tanaman hias itu sedang popular. Setelah masa jaya
tanaman itu habis, Emak tidak mengurusnya lagi. Sekarang, kaleng cat itu menjadi media
tumbuh biji rambutan –yang mungkin dibuang secara iseng– oleh seseorang.

”Yess..! Akhirnya kudapat juga,” desisnya, ”hadiah spesial untuk guru idolaku!”

Bimo segera membersihkan kaleng itu, mencuci pohon dan daunnya, lalu merapikannya,
Setelah itu, ia masukkan kaleng ke dalam kotak kardus, membungkus dengan kertas kado, dan
tetap membiarkan batangnya menjulur. Wow,…! Bimo berhasil mengubahnya pohon yang
tadinya tak terurus itu menjadi kado unik yang menawan. Bimo masih terus mematut kado
istimewa itu, sampai tidak menyadari kehadiran Emak.

”Hadiah buat siapa, Bim? Kau beli berapa tadi? Uang dari mana?…?” Emak memberondong
dengan pertanyaan dan tatapan heran.

Bimo menjelaskan segalanya dari awal. Ia tidak ingin melihat emaknya cemas dan gelisah. Pasti
Emak takut kalau-kalau Bimo melakukan hal yang tak benar. Namun, setelah mendengar
penjelasan Bimo, Emak terlihat lega.

”Syukurlah, Bim! Emak jadi lega mendengarnya. Maafkan Emak, tak bisa seperti orang tua
teman-temanmu.”

”Tenang saja, Mak! Bimo sudah sangat bangga punya Emak yang baik!” kata Bimo berjingkrak.

Pagi harinya, Bimo sampai di sekolah lebih awal dari biasanya. Ruang guru masih sepi ketika
Bimo mengendap-endap untuk meletakkan hadiah spesial di meja Pak Wijaya. ”Yups…beres!”
desisnya. Ia segera beranjak dari ruang guru menuju kelasnya. Setengah jam kemudian, Bimo
sudah bergabung dengan kelompok paduan suara, dan membawakan lagu Hymne Guru dalam
upacara.

Setelah upacara selesai, Pak Wijaya mendekati Bimo, ”Terima kasih, Bimo. Hadiahmu sangat
spesial. Bapak sangat suka. Kau tahu, Bapak sedang mengembangkan tabulampot. Hadiahmu itu
bisa menambah koleksi Bapak,” kata Pak wijaya dengan senyum yang hangat.

”Tabu…tabulam…pot?” tanya Bimo tak mengerti.

”Iya…! Tanam buah dalam pot! Sekarang sedang digemari. Siapa pun bisa menanam buah tanpa
harus punya lahan yang luas.”

”Bapak kok tahu kalau…?” tanya Bimo ragu.

”Mang Timan yang memberi tahu saat Bapak sedang menimang-nimang pohon itu. Dia tahu,
kau yang meletakkan tabulampot itu di meja Bapak,” jelas Pak Wijaya.

Di kelas, Pak Wijaya menjelaskan bahwa memberikan pohon sebagai hadiah adalah ide bagus.
”Lebih banyak orang yang menghadiahkan pohon kepada orang lain, maka akan lebih mudah
mengatasi pemanasan global.”

Bimo sangat bersyukur hadiahnya disambut hangat oleh Pak Wijaya. Ternyata usahanya tidak
sia-sia. Bimo bangga dengan idenya itu.

Anda mungkin juga menyukai