Anda di halaman 1dari 4

Motivator Indonesia Muda , Motivator Indonesia , Motivator Indonesia Terkenal

Di seminar motivasi kadang saya sebagai motivator Indonesia merasa perlu mengingatkan peserta.

Semua orang tahu, pekerjaan ibu rumahtangga itu melelahkan dan menjemukan. Kan seringnya di
rumah. Betul apa betul? Jadi, sekiranya istri sesekali shopping, yah izinkan saja. Toh yang dia shopping
itu untuk keluarga dan rumahtangga. Bukan untuk siapa-siapa.

Makan malam semeja dengan BJ Habibie dan Ilham Habibie

Apabila selama ini suami SUDAH BENAR dalam mengarahkan dan mendidik istri, pastilah yang di-
shopping istri itu barang-barang yang bermanfaat untuk keluarga dan rumahtangga. Nggak sia-sia.

Pesan untuk suami. Daripada berdebat nyuruh-nyuruh istri berhenti shopping, lebih baik shopping-nya
diarahkan & diatur. So, everybody wins. Apalagi Anda tahu persis, nggak bakal menang berdebat
melawan wanita, hehehe.

Bersama motivator dunia Nick Vujicic

Hal ini tentu mesti dilihat secara berimbang, nggak timpang. Di mana istri pun harus tahu berapa
kemampuan dan kesukaan suami. Jangan memaksakan diri. Jangan mau enaknya sendiri. Ocre?

Setelah menikah, ada yang naik gajinya. Ada pula yang tidak naik gajinya. Namun anehnya, ia malah
mampu menafkahi anak-anak, menafkahi orangtua, menyicil rumah, menyicil kendaraan, pokoknya
macam-macam.

Sebagai motivator Indonesia dan motivator Muslim, sering saya mengingatkan para peserta di seminar
motivasi saya, "Belajar, belajar, belajar!"

Kalau belajar, rezeki akan lebih mudah untuk dikejar. Kalau belajar, kita akan berdiri dengan lainnya
dengan sejajar. Namun tak semua orang mau belajar. Di antara mereka malah mengajukan alasan-
alasan yang tak wajar.
Kita semua sepakat bahwa yang suka beralasan dan bermalasan itu adalah ciri para pecundang. Sepenuh
hati saya berharap, Anda menghindarinya. Sekali lagi, menghindarinya. Apa perlu saya ulangi untuk
ketiga kalinya?

Ironisnya, inilah alasan-alasan mereka.

- Saat kita menyarankan sesuatu yang baru, alasannya "Saya nggak punya ilmu, nggak punya
pengalaman."

- Saat kita memberitahu ilmu dan cara-caranya, katanya "Kamu sok tahu," atau "Ah ini susah," atau "Di
sana sih berhasil, di sini belum tentu."

- Saat kita memberitahu investasi yang besar, alasannya "Saya nggak punya uang."

- Saat kita memberitahu investasi yang kecil, alasannya "Hasilnya kekecilan, hasilnya kelamaan."

- Saat teman-temannya sukses duluan, alasannya "Itu kebetulan saja. Nasib orang kan beda-beda."

- Dikasih gratis, murah, atau refund, katanya "Mau memanfaatkan saya? Mau menipu saya? Kamu pikir
saya bodoh ya?"

- Dikasih motivasi, tak percaya. Dikasih bukti, katanya pamer. Saat kita berhenti memotivasi, katanya
"Kamu lagi bangkrut ya?"

Tepok jidat, hehehe.

Celetukan mereka "Ah, motivator itu ngomong doang. Kalau ngomong doang, aku juga bisa." Oya? Yakin
bisa? Sekiranya bisa, berapa orang yang mau mendengarkanmu? Berapa orang yang berubah setelah
mendengarkanmu? Perlu dicatat, banyak motivator yang juga bisa action, nggak ngomong doang.
Btw, jangan meremehkan kemampuan ngomong. Bukankah seorang Muhammad, Isa, atau Buddha bisa
mempengaruhi miliaran manusia karena kemampuan bicaranya? Bukankah pahlawan sekaliber Bung
Karno dan Bung Tomo tak terlepas dari kemampuan bicaranya? Orasi. Belum lagi kalau kita membahas
profesi guru, dosen, dan ustadz.

Bagi saya, simple saja. Lazimnya, saya hanya mengajar orang yang siap diajar. Ini sih wajar. Apalagi
Robert Kiyosaki pernah berujar, "Jangan mengajari babi bernyanyi." Anda capek, babinya lebih capek.
Hehehe.

Saya nggak terlalu tertarik menghabiskan waktu saya hanya untuk meyakinkan mereka yang suka
beralasan. Saya capek, merekanya lebih capek. Akan jauh lebih efisien dan efektif jika kita mencurahkan
perhatian pada orang-orang yang siap diajar. Ini namanya prioritas.

Saya berharap, Anda memilki mental pemenang. Mau belajar. Nggak beralasan, nggak bermalasan.
Sekian dari saya, Ippho Santosa.

Di training, saya sering mengingatkan peserta, "Berbakti itu suatu keharusan, juga kenikmatan." Di Asia,
bakti adalah perkara yang lumrah. Beda dengan di Barat.

Hal ini sengaja saya ulang-ulang dalam in-house training di perusahaan-perusahaan. Mereka pun
mengangguk setuju.

Akan tetapi, kalaupun Anda telah berbakti kepada orangtua terutama ibu, jangan buru-buru menepuk
dada, jangan buru-buru berbangga.

- Fasilitas lengkap yang Anda berikan kepada ibu Anda, tidak akan sanggup mengganti darah yang
telah ia korbankan manakala melahirkan Anda.

- Uang jutaan yang Anda berikan kepada ibu Anda, tidak akan sanggup mengganti ASI yang telah ia
berikan manakala membesarkan Anda.
- Coba bayangkan, misalnya sekarang Anda idiot, cacat, atau menderita penyakit yang menjijikkan.
Adakah orang yang mau mendampingi Anda? Kemungkinan tidak ada, kecuali ibu Anda!

Sebagai motivator Indonesia, saya pun menyebut orangtua itu sebagai keajaiban cinta! Dari pemaparan
singkat ini, jelaslah, sudah sepantasnya kita memberikan bakti yang sungguh-sungguh kepada orangtua,
bukan bakti yang sekadarnya. Dan tolong dipahami, jika orangtua sudah merestui, maka semua akan
lebih mudah untuk dilalui. Tapi jika orangtua sudah membantah, maka apa-apa akan terasa susah.
Terakhir ingatlah, FAMILY itu mestinya dimaknai dengan Father And Mother, I Love You.

Mengajak Tung Desem, Bong Chandra, dan Iwel Sastra seminar bareng

Selain doa dan amal, bakti yang sangat dianjurkan adalah memberikan orangtua nafkah yang penuh
berkah. Sekali lagi, memberikan orangtua nafkah yang penuh berkah. Apapun posisi kita. Apapun profesi
kita. Dan tentu saja, nafkah yang penuh berkah ini hanya bisa diperoleh melalui perniagaan atau
pekerjaan yang 100% berkah. Tidak bisa setengah-setengah. Teman-teman setujukah?

Aneh kan? Itulah berkah pernikahan. Dan benarlah, Yang Maha Kaya menepati janji-Nya, di mana Dia
akan memampukan dan mengayakan orang-orang yang menikah. Pantaslah MENIKAH itu dimaknai
dengan Mesra-Nikmat-Berkah.

Yang belum dikaruniai jodoh, saya turut mendoakan. Semoga segera ya. Aamiin.

Anda mungkin juga menyukai