Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
KELOMPOK
“LARVAMINA BINTANG”
bisnisplan
Beternak unggas dan perikanan air tawar selama ini terkendala mahalnya harga
pakan. Sehingga peternak/petani ikan terutama yang berskala kecil seringkali
mengalami kerugian. Budidaya BSF optimis dapat mengatasi permasalahan pakan
tersebut. Output budidaya BSF berupa larva, diproduksi dengan biaya sangat murah
karena bahan baku utamanya sampah organik, yaitu sampah pasar atau sampah rumah
tangga. Larva BSF merupakan pakan yang diproduksi dengan low cost input.
Larva BSF adalah pakan berkualitas sangat baik, berharga murah. Kandungan
protein larva BSF (40-50)%, melebihi kadar protein pelet pabrik terbaik. Prinsip proses
produksinya adalah biokonversi sampah organik menjadi sumber protein. Maka selain
mengatasi permasalahan yang dihadapi peternak/petani ikan, budidaya BSF ini
memiliki sisi idealisme, dapat mereduksi volume sampah pasar dan sampah
rumahtangga yang selama ini menjadi permasalahan sosial tersendiri.
Budidaya BSF yang akan didirikan 12 unit. Kapasitas produksi 4.320 kg
larva/tahun. Harga larva dipasaran Rp 6000/kg, Maka nilai total produksi per unit Rp
64.800.000/tahun. Laba usaha Rp 51.300.000/tahun/unit. Besarnya dana yang
dibutuhkan untuk biaya investasi sebesar Rp 21.650.000 dan biaya operasional sebesar
Rp 13.500.000 Jumlah Rp 35.150.000 (Tigapuluhlima juta serutus limapuluh ribu
rupiah). Pay back periode akan tercapai pada hari ke 160, periode produksi ke 8.
i
LALAT BSF BUKAN VEKTOR PENYAKIT
ii
DAFTAR ISI
RINGKASAN PROPOSAL…………………………………………………. i
Lampiram 1 17
iii
KELAYAKAN PER UNIT USAHA
B A B 1 BUDIDAYA MAGGOT BSF
Larva pada fase prepupa dan pupa dari lalat Black Soldier Fly (Hermetia illicens)
merupakan salah satu alternatif sumber pakan yang memenuhi persyaratan sebagai
sumber protein. Larva BSF merupakan salah satu jenis pakan alami yang memiliki
kadar protein tinggi, melebihi kadar protein pakan pelet pabrikan. Bandingkan saja,
larva BSF mengandung (41-42)% protein kasar, 31-35% ekstrak eter, 14-15% abu, 4.8-
5.1% kalsium, dan 0.60-0.63% fosfor. (Bondari dan Shepard, 1987). Padahal kadar
protein pakan pelet buatan pabrik yang beredar dipasaran selama ini hanya berkisar
antara (32-35)%.
Maka berdasarkan kandungan nutrisi seperti tersebut di atas, larva BSF layak dijadikan
pakan ikan ataupun ternak unggas. Karena kandungan proteinnya yang tinggi, larva
BSF dapat digunakan untuk mensubstitusi penggunaan tepung ikan yang harganya
relatif mahal. Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia saat ini masih harus impor
untuk memenuhi kebutuhan tepung ikan sebagai bahan baku pakan pelet untuk ternak
mapun usaha perikanan.
Sebagian kecil peternak dan petani ikan terutama pengusaha yang berskala kecil dan
menengah sudah banyak yang menggunakan larva BSF sebagai pakan. Maka sekarang
ini larva BSF laku dijual dengan kisaran harga Rp 6000–Rp 8000 per kilogram.
Bandingkan dengan harga pakan pelet buatan pabrik dengan kualitas terbaik yang
mencapai harga dengan kisaran Rp (10.000–15.000) per kilogram. Harga pakan
1
2
dengan larva BSF jauh lebih murah dari harga pakan buatan pabrik, padahal kualitas
larva BSF jauh labih baik kualitasnya sebagai pakan ternak maupun pakan ikan.
Pengadaan atau proses produksi larva BSF ini sangat mudah dan dapat
kesinambungannya. Produksi larva BSF pada dasarnya merupakan proses biokonversi
sampah organik menjadi sumber protein pakan ternak/ikan. Di negara-negara maju
teknologi biokonversi dengan pengembang biakan BSF ini sudah menjadi industri
besar dan dilakukan secara masal, di Indonesia belum terlalu banyak, kalaupun ada
para pelaku pengembang biakan larva BSF masih dalam skala kecil. Berdasarkan
alasan-alasan seperti yang telah diuraikan kami memberanikan diri untuk
mengembangkan Usaha Budidaya Larva BSF yang sedang dijalani untuk ditingkatkan
skala usahanya. Peningkatan usaha tidak hanya semata-mata skalanya namun juga
bermaksud “menduplikasi” agar lebih banyak teman-teman sejawat yang dapat
dilibatkan. Dengan duplikasi ini diharapkan akan lebih banyak teman-teman yang
belum beruntung memiliki pekerjaan tetap menjadi punya pekerjaan penghasilan yang
tetap. Hasil analisis kandungan nutrisi tepung BSF sangat menjanjikan dan terbukti
memiliki kandungan nutrisi yang mirip dengan tepung ikan. Penggunaan tepung BSF
pada campuran pakan ayam broiler hingga 100% tidak menimbulkan efek negatif
kecernaan bahan kering (57,96 – 60,42%), energi (62,03 – 64,77%) dan protein (64,59
– 75,32%), walaupun hasil yang terbaik diperoleh dari penggunaan BSF 25% atau
11,25% dalam pakan.
Penggunaan tepung larva BSF hingga 50% juga dilaporkan mampu meningkatkan
tingkat konsumsi pakan burung puyuh dengan berat telur berkisar 9,25 – 10,12 g,
termasuk meningkatkan poduksi telur sampai 3,39%. Penggantian tepung ikan dengan
tepung larva BSF sebanyak 75% dan 100% menghasilkan tingkat konsumsi pakan dan
berat telur yang tidak berbeda nyata dengan kelompok kontrol. Penggantian tepung
ikan dengan 50% tepung BSF pada pakan ayam pedaging mampu meningkatkan
performa ayam yang siap panen dan lebih ekonomis.
Pemanfaatan lalat BSF sebagai agen biokonversi sekaligus penyedia sumber protein
alternatif memiliki beberapa keuntungan. Lalat BSF bukan merupakan vektor penyakit,
sehingga tidak menyebarkan penyakit seperti lalat rumah Musca domestica atau lalat
hijau. Menariknya, lalat ini mampu mengurangi populasi lalat rumah M. domestica
3
dengan cara mengeluarkan sinyal kimia dilingkungan sekitarnya untuk mencegah lalat
rumah bertelur didaerah tersebut.
Disamping itu, ekstrak etanol larva BSF juga bersifat antibakteri untuk bakteri gram
positif, seperti Klebsiella pneumonia, Neisseria gonorrhoeae dan Shigella sonnei,
tetapi tidak efektif untuk bakteri gram positif, seperti Bacillus subtilis, Streptococcus
mutans dan Sarcina lutea. Laporan lain juga menyebutkan bahwa larva BSF mampu
menurunkan populasi Salmonella spp hingga 6 log10 pada feses manusia selama 8 hari,
termasuk menurunkan populasi Erechia coli O157:H7 dan Salmonella enterica serovar
Enteritidis pada kotoran unggas dan E. coli pada kotoran sapi perah. Studi terbaru juga
menunjukkan bahwa larva ini bersifat antivirus pada golongan enterovirus dan
adenovirus serta menurunkan populasi telur cacing Ascaris suum.
Melihat banyaknya keuntungan dari larva BSF, maka perlu dipikirkan teknik
budidayanya yang praktis dan aplikatif sehingga para peternak dapat
mengembangbiakan lalat ini dengan memanfaatkan limbah rumah tangga, limbah
kandang atau limbah pasar di sekitar rumahnya.
a. Kandang insek (lalat) adalah tempat kawin dan bertelurnya lalat BSF yang
kemudian telur tersebut diambil oleh pembudidaya untuk dibesarnya menjadi
bentuk prepupa dan pupa;
b. Baskom plastik diperlukan untuk tempat penetasan telur BFS yang dipanen di
kandang lalat;
c. Biopond adalah “kolam” tempat pembesaran larva terbuat dari kayu. Agar
kapasitas nya besar dibuat tiga tingkat. Telur yang sudah menetas dalam
baskom dipindahkan ke biopond yang sudah disiapkan dengan medianya;
4
d. Timbangan diperlukan untuk menimbang hasil (larva) atau input (sampah) yang
dimasukkan dalam proses produksi;
e. Timbangan mikro diperlukan untuk pengamatan dalam menimbang telur atau
larva yang masih sangt kecil;
f. Termometer digunakan untuk pengamatan suhu lingkungan instalasi produksi
dan media dalam biopond.
g. Barometer digunakan untuk mengukur kelembaban media dan atau kelembaban
udara sekitar.
a. Media hidup larva: dapat berupa serbuk gergaji, dedak, ampas kelapa, ampas
tahu dll;
b. Pakan untuk larva: yaitu bahan pokok utama berupa sampah organik rumah
tangga, sampah organik pasar, sisa rumah makan dll.
Sampah organik pakan untuk Larva Serbuk Gergaji Media hidup Larva
Dari tahapan siklus hidup BSF tersebut pada tahapan Larva Dewasa dan atau Prepupa
merupakan tahapan siklus hidup lalat yang optimal untuk dijadikan pakan ternak atau
ikan. Pemberian pakan dapat diberikan langsung pada ternak atau ikan dalam bentuk
Larva atau Prepupa. Apabila produksinya melimpah Prepupa/Larva dapat diolah
terlebih dahulu menjadi pelet.
Beberapa catatan yang berkaitan dengan aspek teknis budidaya larva BSF ini antara
lain:
a. Budidaya larva BSF mudah, dapat dilakukan oleh banyak orang, tidak memerlukan
pendidikan khusus, hanya memerlukan keterampilan yang dapat dilatihkan dalam
waktu singkat. Maka budidaya BSF mudah diduplilaski.
b. Satu siklus produksi dalam budidaya lalat BSF cukup pendek, sehingga memiliki
kesesuaian untuk dijadikan penghasilan yang berkesinambungan bagi yang belum
mempunyai pekerjaan;
c. Lalat BSF memiliki tolerasi yang cukup luas terhadap berbagai kondisi iklim
sehingga mudah beradaptasi terhadap kondisi iklim tempat dimana budidaya BSF
dilaksanakan.
1.5. Deskripsi Kelayakan Sosial
Beberapa catatan yang berkaitan dengan aspek sosial budidaya larva BSF ini antara
lain:
Beberapa catatan penting yang berkaitan dengan usaha biokonversi sampah pasar
manjdi larva BSF siap saji untuk pakan ini diuraikan sebagai berikut:
Kegiatan usaha budidaya maggot atau larva BSF ini dapat mengkonversi biomasa
sampah organik hingga lebih dari 50%. Sehingga apabila memiliki sampah organik
seberat 1000 kg, akan dikonversi menjadi material larva seberat lebih dari 500 kg.
Satu siklus biokonvesri sampah organik pasar menjadi larva diperkirakan mencapai
(20-21) hari. Dengan kata lain siklus produksi mulai dari input produksi sampah
8
pasar menjadi larva yang dapat dijadikan pakan ternak/ikan memerlukan waktu
kurang lebih 3 minggu. Sehingga dalam satu tahun bisa mencapai 18 kali siklus
proses produksi.
1. Biaya Tetap/Biaya Investasi. Biaya investasi untuk produksi Rp 21.650.000 yang
diperuntukkan bagi :
3. Biaya Total. Biaya total adalah biaya investasi ditambah biaya operasional yaitu :
Pada tahun kedua tidak ada lagi biaya investasi sehingga mulai tahun ke 2 dan
seterusnya hanya ada pengeluaran untuk biaya operasional untuk setiap periode
produksi sebesar Rp 13.150.000
4. Penerimaan. Penerimaan dari usaha produksi maggot ini adalah larva yang siap
untuk dijadikan pakan ikan atau ternak. Produksi per biopond 20 kg, sehingga total
produksi seluruhnya per periode produksi 12 biopond @ 20 kg = 240 kg
maggot/periode produksi, sehingga total produksi dalam satu tahun 18 priode produksi
adalah sebesar 18 @ 240 kg = 4.320 kg/tahun. Sedangkan harga maggot @ Rp 6000/kg
9
5. Laba Usaha. Usaha produksi maggot ini mendapatkan laba Rp 2.850.000/20 hari.
Sehingga sampai akhir tahun pertama laba usaha mencapai Rp 29.650.000 Pada akhir
tahun pertama usaha produksi sudah mencapai pay back periode. Kembali modal akan
dicapai pada periode produksi ke delapan yaitu pada hari ke 160. Pada tahun kedua dan
seterusnya usaha produksi maggot mendapatkan laba sebesar Rp 51.300.000/tahun.
Untuk lebih jelasnya rincian biaya, dan penerimaan tersebut disajikan dalam Tabel 1-
1 berikut.
B. OPERSIONAL
Modal yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha ini adalah untuk biaya investasi atau
biaya tetap (fixed cost) dan biaya operasional atau variabel (variable cost) yang
dikeluarkan selama dalam satu tahun pertama adalah 35.150.000. Berdasarkan hasil
analisis Cash Flow yang direncanakan, kegiatan usaha ini akan kembali modal pada
periode produksi ke 15 tahun kedua.
KELAYAKAN UNIT USAHA
B A B 2 PENGOLAHAN MAGGOT BSF
Unit usaha yang akan dikembangkan berikutnya, setelah produksi maggotnya satabil,
usaha dikembangkan pada tahapan pengolahan hasil. Produksi maggot yang dihasilkan
ditampung dan diolah terlebih dahulu menjadi pelet.
1. Mixer
Mixer digunakan untuk mengaduk maggot sebagai bahan utama pelet dengan bahan
lain yang fungsinya untuk mengurangi kadar air maggot.
Spesifikasi
Tipe Mesin : MPT - 100
Merek : Agrowindo
Penggerak : Diesel 10 HP
2. Mesin Pencetak Pelet :
Harga : Rp 21.120.000
Spesifikasi
Tipe Mesin : CTK P - 300
Merek : Agrowindo
Harga : Rp 24.835.000
11
12
Spesifikasi
Tipe Mesin : OVG – P-20
Merek : Agrowindo
Kapasitas : 20 rak/loyang @ 5 kg
Dimensi : 100 cm – 100 cm – 205 cm
Bahan : Plat
Blower : (200-300) Wt
4. Perlengkapan Sumber Panas : LPG
1. Biaya Investasi
Mixer : Rp 21.120.000
Pencetak Pelet : Rp 24.835.000
Pengering : Rp 19.825.000
Perlengkapan : Rp 1.720.000
Jumlah Biaya Investasi : Rp 67.500.000
2. Biaya operasional
3. Penerimaan
4. Laba
Sekerdar ilustrasi, pada usaha “Larvamina Bintang” unit usaha budidaya BSF yang
sudah berjalan, larva yang dihasilkan digunakan untuk usaha perikanan sendiri. Larva
tidak dijual keluar namun digunakan untuk usaha perikanan. Untuk sepuluh unit usaha
yang akan dibangun untuk sementara tidak diintegrasikan dengan usaha perikanan. Hal
ini disebabkan tidak semua tempat memiliki kondisi ideal untuk usaha perikanan.
Nila adalah ikan air tawar yang sangat populer di kalangan masyarakat. Permintaan
pasar ikan nilan yang tinggi, terus memacu peningkatan produksi budidaya ikan nila.
Beberapa alasan pemilihan jenis ikan yang diusahakan diantaranya adalah:
a. Ikan nila sangat mudah untuk dikembangbiakan. Jenis ikan ini sering kali “mijah”
dengan sendirinya. Maka usaha pengelolaan hatchery tidak akan mengalami
kendala teknis yang berarti.
b. Jenis ikan nila tahan terhadap hama dan penyakit, serta memiliki toleransi yang
cukup luas terhadap berbagai variasi kondisi perairan. Maka kegiatan usaha ini
tidak menanggung beban risiko kegagalan yang disebabkan oleh kondisi
agroklimat.
c. Ikan nila merupakan sumber protein hewani yang terbilang murah, dibandingkan
sumber protein hewani lainnya. Sehingga terjangkau oleh semua tingkatan
ekonomi konsumen, sehingga segmen pasarnya luas.
d. Pasar ikan nila cukup potensial, banyak masyarakat yang menyukai jenis ikan ini.
3.2. Analisis Kelayakan Finansial Pembesaran Nila
Usaha pembesaran adalah usaha membesarkan deder nila berukuran “koral”, kira-kira
sebesar ibu jari, dan dipanen setelah layak konsumsi. Ikan nila layak konsumsi
bobotnya mencapai (5 – 10) ekor/kg. Untuk mencapai ukuran tersebut dari benih
sebesar ibu jari diperlukan waktu ± lebih 4 bulan.
14
15
1. Biaya Tetap (Fixed Cost). Biaya tetap yang dibutuhkan untuk merealisasikan
pembesaran ini Rp 8.950.000 Rincian komponen biaya tetap dimaksud diuraikan
sebagai berikut.
a. Benih /deder Ikan. Benih ikan yang ditanam dalam satu periode produksi (selama
4 bulan) sebanyak 200 kg. Dalam satu tahun 3 periode produksi, sehingga jumlah
deder yang diperlukan untuk satu tahun 600 kg @ Rp 45.000 = 27.000.000.
b. Pakan. Kabutuhan pakan 3%-5% dari bobot ikan/hari. Maka total pakan yang
dibutuhkan untuk periode satu tahun = 4000 kg @ Rp 6000.000 adalah Rp
24.000.000. Pakan yang diberikan berupa maggot yang “dibeli” dari unit usaha
Maggot. Sehingga biaya pakan pada usaha pembesaran nila menjadi penerimaan
pada usaha produksi maggot.
3. Biaya Total
Biaya total adalah biaya tetap Rp 8.950.000 ditambah biaya variabel atau biaya
operasional sebesar : Rp Rp 51.000.000 = Rp 59.950.000
4. Penerimaan
Output yang dihasilkan dari usaha pembesaran ikan nila adalah ikan nila konsumsi.
Dengan FCR 0,75, dari jumlah pakan 4000 kg akan menambah bobot produksi ikan
sebesar 0,75 @ 4000 = 3000 kg/tahun.
5. Laba Usaha
Laba usaha adalah besarnya penerimaan Rp 75.000.000 dikurangi Biaya Total, yaitu
Rp 59,950.000 adalah Rp 15.050.000/tahun, sehingga pada akhir tahun ketiga
terakumulasi laba sebesar Rp 45.150.000.
BIAYA TETAP
BIAYA VARIABEL
PENERIMAAN
Lampiran 1
FOTO DI LOKASI INSATALASI LABORATORIUM PRODUKSI
MINA LARVA BINTANG