Refleksi 2
Refleksi 2
Alkitab menaruh perhatian serius terhadap hubungan antara tuan dan hamba.
Para hamba tak hanya diminta untuk menaati tuannya (majikan), tetapi para tuan
juga dilarang semena-mena kepada para hambanya (anak buah). Salah satu
penekanan yang diberikan oleh Firman Tuhan bagi para pemimpin adalah
menjauhkan ancaman dalam gaya kepemimpinan mereka. Mengapa? Karena
biasanya ancaman tidak akan menghasilkan ketaatan, perubahan hidup, atau
produktivitas kerja yang meningkat, tetapi hanya pura-pura taat, pura-pura berubah,
tetapi memendam sakit hati dan ingin membalas perlakuan sang pemimpin. Dalam
relasi kerja, organisasi, maupun dalam keluarga, ketegasan memang diperlukan
ketika terjadi pelanggaran terhadap peraturan. Namun, setiap pemimpin jangan
pernah memilih gaya "main ancam" karena Tuhan sendiri tidak menyukai hal itu.
Yakinlah masih ada cara lain yang dapat dipakai untuk menegakkan peraturan,
tanpa harus membuat orang lain merasa terancam. Ancaman takkan pernah
menghasilkan perubahan yang sejati dan tidak akan bertahan dalam jangka
panjang.
Ada suatu ungkapan, "Jikalau kakimu mengenakan sepatuku, apa yang akan
kau rasakan atau lakukan?" Betapa sering kita berucap dan bertindak tanpa
menghiraukan perasaan orang lain. Kita menilai dan mencelanya tanpa mengerti
kenapa ia bertindak begitu. Padahal, di balik semua sikap dan perbuatan manusia
tersimpan banyak cerita. Bayangkan wajah kehidupan ini andaikan mendengar dan
mengerti mendahului bicara dan sikap gampang menghakimi. Konflik pasti
berkurang. Kesalahpahaman diperkecil. Permusuhan pun tak mudah beroleh tempat
di antara kita. Nilai suatu buku menghendaki kita membaca seluruh isinya.
Pahamilah seseorang seutuhnya sebelum menghakiminya.
Pengalaman pribadi dapat "menghidupkan" setiap ucapan karena seseorang
mengucapkan dengan segenap hatinya. Itulah sebabnya, penting sekali bagi kita
untuk mengucapkan sesuatu yang sudah pernah kita alami. Mendengar ucapan
yang dialami selama bertahun-tahun, efeknya tentu akan berbeda dengan ucapan
yang hanya berupa teori tanpa disertai pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi
dapat "menghidupkan" setiap ucapan karena seseorang berbagi dengan segenap
hatinya. Dalam refleksi ini saya ingin mengutip sebuah tragedi yang dialami oleh
Ayub, seandainya Ayub berkesempatan menceritakan langsung kisah hidupnya
hingga ia "memandang Allah", pastilah cerita tersebut akan sangat bertenaga,
bahkan sanggup dipakai Allah untuk mengubahkan hati para pendengarnya.
Mengapa? Karena Ayub menghidupi pesannya dan tak hanya piawai berbicara.
Akhir dari refleksi ini, saya juga ingin mengajak kita semua mendengarkan
kesaksian Zakheus di bawah ini :
Suatu hari, datanglah seorang pria yang luar biasa. Di tengah kerumunan, Dia
mengenal dan memanggil namaku. Aku merasa diperhatikan. Pada-Nya kutemukan
atensi yang tulus. Uniknya, ketika pertama berjumpa dengan Dia, posisiku sedang
berada di atas pohon sehingga untuk pertama kalinya ada orang yang melihatku
dengan kepala mendongak. Rupanya itu suatu pertanda bahwa Dia menghargaiku.
Disapanya aku lalu tanpa segan dinyatakan-Nya di depan khalayak ramai niat untuk
berkunjung ke rumahku. Saat itulah aku sungguh paham arti sebuah apresiasi.
Selanjutnya, hingga percakapan di rumahku, pancaran sikap hangat bersahabat
terus kurasakan. Rasa sayang atau afeksi mengalir sejuk dari hati-Nya. Sukar
kuterjemahkan dengan kata-kata, tapi nyata.
Dan sebagai kalimat penutup dalam refleksi ini, saya ingin mengatakakan,
“Hidup ini sungguh mulia. Syukurilah. Cintailah. Perjuangkanlah”.