Anda di halaman 1dari 5

REFLEKSI

Oleh : Boni Hasibuan, S.H.

Keteladanan merupakan salah satu faktor yang memberikan dampak paling


kuat (nyata) terhadap pembangunan karakter. Salah satu karakter terbaik menurut
saya adalah semangat menularkan kebaikan kepada sebanyak mungkin orang.
Keteladanan tidak bisa ditularkan melalui lisan, tetapi lewat perbuatan. Keteladanan
adalah satu kata yang mudah untuk diucapkan namun sulit untuk dilakukan, apalagi
keteladanan adalah suatu perbuatan yang berkesinambungan dalam berbagai aspek
kehidupan. Di dunia sekeliling kita saat ini telah dibanjiri oleh kata-kata. Hujan
komentar. Orang suka berbicara. Berbagai media tersedia. Banyak yang asal bicara.
Asal njeplak. Karena sering diobral, banyak kata-kata yang diucapkan tak bermutu.
Ucapan menjadi semu dan palsu. Tak menyentuh relung hati. Kini saatnya tindakan
yang "bicara" bukan lagi kata-kata. Karena perubahan terjadi oleh satu tindakan
nyata yang nilainya melebihi seribu kata.
Saya menyadari keberadaan saya saat ini tidak terlepas dari pengaruh
perhatian, bimbingan serta pengajaran (keteladanan) dari orangtua serta orang-
orang yang berpengaruh dalam hidup saya. Saya memahami bahwa saya adalah
makhluk social (Homo Socius), sehingga saya tidak memungkiri bahwa peranan
orang lain sangat penting dalam hidup saya. Saya sebagai manusia juga adalah
sebagai makhluk yang bekerja (Homo Faber). Untuk memenuhi kebutuhan hidup,
saya harus bekerja dan berusaha. Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup, bekerja
adalah untuk mengaktualisasikan diri, sekaligus untuk memenuhi kepuasan batin.
Karena itu, menurut saya bekerja juga memiliki makna spiritual. Makna spiritual dari
bekerja dapat saya temukan dari pertanyaan: "Siapakah Allah bagi saya?" Sebab
Allah pun terus bekerja, mulai dari menciptakan dan memelihara ciptaan-Nya
sampai selama-lamanya. Dengan demikian bekerja bukanlah sekedar untuk mencari
nafkah dan aktualisasi diri, melainkan juga menyehatkan dan menyejahterakan batin
dan kerohanian saya. Bila Allah saja bekerja, saya sebagai ciptaan-Nya pun sudah
sepatutnya bekerja. Idealnya, kalau saya bekerja, saya bekerja seperti untuk Tuhan,
yaitu bekerja dengan baik, giat, rajin, dapat dipercaya, antusias, berintegritas, tidak
gampang menyerah, dan terus bersemangat, serta menghasilkan prestasi kerja
yang patut dibanggakan. Bekerjalah seperti untuk Tuhan. Bukan saja agar
kebutuhan hidup kita terpenuhi, akan tetapi supaya batin kita pun menjadi kaya.
Kita hidup di dunia yang menjunjung tinggi prestasi. Sejak kecil kita dituntut
untuk mengejar prestasi setinggi-tingginya, agar dapat hidup dengan nyaman,
diakui, dan dihormati. Namun, bagi saya bahwa dasar dari kehormatan bukanlah
prestasi, melainkan kerendahan hati. Bukan berarti kita tidak boleh berusaha sekuat
tenaga untuk menjadi juara di berbagai bidang yang kita tekuni. Namun, jangan
sampai kita mengejar prestasi semata-mata untuk mendapatkan pujian dan
kehormatan. Oleh karenanya, waspadalah ketika kita ditawari ‘racun’ tinggi hati saat
meraih keberhasilan. Ingatlah, tinggi hati awal dari kehancuran.

Ketika Tuhan dilibatkan, pekerjaan yang kita lakukan dapat berdampak


sangat kuat. Sebagus apa pun rencana yang kita buat, jika kita hanya memakai
perhitungan logika atau berlandaskan pengalaman dan tanpa melibatkan Tuhan,
semuanya akan sia-sia. Jika saat ini kita hendak mempertimbangkan sesuatu,
jangan terburu-buru mengambil keputusan. Pastikan kita mencari kehendak-Nya,
yang bisa kita lihat lewat situasi, atau orang-orang yang ada di sekitar kita.
Memutuskan sesuatu tanpa melibatkan Tuhan merupakan bentuk kesombongan.
Walaupun mendapat pujian dari seluruh penjuru dunia, segala sesuatu yang kita
lakukan tanpa dukungan Allah adalah hal yang sia-sia. Kunci kemenangan bangsa
Yehuda bukan terletak pada banyaknya tentara atau kuatnya persenjataan,
melainkan kepada siapa mereka bersandar. Demikian juga jika kita ingin sukses, kita
tidak dapat hanya mengandalkan kemampuan, kecakapan, atau koneksi. Kita harus
sepenuhnya mengandalkan Tuhan. Hanya Tuhan yang sanggup membawa kita
melewati berbagai tantangan menuju kemenangan demi kemenangan. Tidak ada
suatu pertempuran yang terlalu sukar untuk ditaklukkan apabila Tuhan ada di pihak
kita.
Saya adalah orang yang memiliki kemauan keras.
Saat saya menginginkan atau merencanakan sesuatu,
saya akan berusaha dengan segala daya upaya untuk
mewujudkannya. Namun keburukan dari sifat saya ini,
saya akan merasa sangat sedih apabila pada akhirnya
segala usaha yang telah saya lakukan ternyata tidak
mampu mewujudkan keinginan saya. Hal ini selalu
menjadi pembelajaran buat saya, agar tidak mudah
berputus asa, dan saya mulai belajar untuk bisa
menerima apa yang telah terjadi, kemudian berusaha
mengambil hikmah dari kegagalan tersebut dan akhirnya
bersemangat kembali.
Saya suka tersenyum, terutama saat menyapa orang-orang di sekitar saya
karena saya memang menyukai wajah-wajah yang bahagia. Jujur saja, melihat
orang tertawa dan bahagia juga turut memberikan efek bahagia pada diri saya. Di
dalam pergaulan, saya juga gampang menyesuaikan diri. Menurut saya, saya cukup
terbuka dengan lingkungan saya. Saya menyampaikan apa yang ada di dalam hati
saya apa adanya (dengan tulus). Saya mengkritik perbuatan orang lain yang
menurut saya tidak benar, dan saya juga siap dikritik oleh orang lain.
Bersikap rasional adalah secara jernih mendayagunakan akal budi untuk
mencermati, menimbang, memutuskan, dan bertindak. Bersikap rasional diperlukan
untuk hampir semua urusan, baik dalam belajar, bekerja, bermasyarakat, dan lain-
lain, bahkan, dalam memilih tindakan pun kita semua memerlukan sikap rasional
dan harus dengan segenap akal budi yang kita miliki.
Fokus berarti berkonsentrasi terhadap aktivitas yang tengah saya lakukan.
Untuk berkonsentrasi pada satu hal, saya harus menyingkirkan dulu hal yang lain.
Saat saya mengatakan "Ya" kepada satu hal, saya harus mengatakan "Tidak" pada
hal yang lain. Bagi saya fokus sangat penting dalam melakukan segala sesuatu.
Semua orang yang berhasil mewujudkan cita-citanya pasti sangat fokus. Mereka
menerapkan fokus itu bukan hanya dalam pekerjaan, melainkan juga dalam
menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Sesuatu yang dikerjakan setengah-
setengah akan menghasilkan hasil yang tidak memuaskan, malah mungkin gagal
total. Bekerja dengan fokus yang terpecah hasilnya akan berantakan, tidak selesai,
dan kacau. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, kita harus bekerja dengan
sepenuh hati dan fokus.
Yang besar dan akbar pasti berdampak besar. Sebaliknya, yang kecil dan
sederhana sering dianggap sepele dan tidak akan membawa dampak yang berarti.
Benarkah? Tidak jadi masalah kalau apa yang saya kerjakan saat ini tampak kecil
atau sepele di mata orang-orang di sekitar saya. Saya tidak perlu membandingkan
diri saya dengan orang lain. Yang harus selalu saya ingat adalah bahwa tujuan saya
adalah bukan agar semua orang memuji saya. Karena menurut saya tujuan yang
demikian adalah suatu hal yang mustahil untuk dicapai. Yang terpenting adalah
melakukan apa yang sekarang ini dipercayakan kepada saya dengan penuh
kesungguhan. Tindakan kecil, sepele dan tidak dianggap, tetapi bila dilakukan
dengan sepenuh hati pasti akan mendatangkan perubahan yang berarti. Saya
menyadari hal-hal yang tampaknya kecil dan sederhana kerap luput dari perhatian
dan cenderung diabaikan. Namun demikian, seyogyanya kita tidak boleh melupakan
orang-orang yang melakukan hal-hal yang kecil, sepele dan sederhana, karena
sesungguhnya mereka pun punya peran yang begitu berdampak. Tidak ada
pekerjaan yang terlalu kecil. Kita tidak perlu bersungut-sungut apalagi
membandingkan pekerjaan kita dengan orang lain. Sebaliknya, lakukanlah setiap
pekerjaan dengan setia dan penuh sukacita. Tugas yang kelihatan kecil, sepele dan
sederhana jika dilakukan dengan penuh kesetiaan dan kesungguhan pasti
memberikan dampak yang besar di mana pun ia berada. Hal yang kecil dan
sederhana pun akan berdampak jika dikerjakan dengan tekun dan konsisten.
Dulu saya pernah terlibat aktif dalam beberapa organisasi sekaligus dalam
sekali waktu, mulai dari organisasi politik, hukum, seni hingga sosial. Apakah saya
memang cakap melakukan banyak hal? Tidak! Sebenarnya saya sedang mencari
pengakuan dari manusia. Namun, saya bersyukur karena Tuhan menolong saya
untuk memperbaiki motivasi saya. Seseorang boleh saja menganggap pilihannya
benar, sesuai pandangan atau keyakinan pribadinya. Namun, cepat atau lambat
setiap motivasi hati akan diuji. Hal ini berlaku dalam berbagai bidang kehidupan.
Seseorang bisa saja terlihat baik, tetapi motivasi hatinya belum tentu sama dengan
apa yang terlihat mata. Seiring berjalannya waktu, motivasi dalam hati akan
menyembul melalui tindakan. Jika motivasi itu keliru, biasanya respon yang muncul
akan negatif. Namun, jika motivasinya benar, maka dampak yang dihasilkan dapat
semakin kuat sekaligus menjadi berkat. Mari lakukan evaluasi diri terkait motivasi
kita dalam melakukan segala sesuatu. Sekiranya ada motivasi yang keliru,
segeralah benahi sebelum ujian dari Tuhan datang untuk mengoreksi motivasi hati
kita. Jangan mempertahankan motivasi yang keliru, karena hal itu kelak hanya akan
merugikan kita.
Abraham Lincoln pernah berkata: "Hampir semua orang bisa menghadapi
kesengsaraan, tapi jika Anda ingin menguji karakter seseorang, berikan dia
kekuasaan". Kesengsaraan menjadi ujian agar seseorang belajar tetap tangguh
menghadapi kesulitan, belajar menghargai orang lain, dan teruji dalam kerendahan
hati. Sebaliknya, kekuasaan akan menunjukkan karakter seseorang. Ada seorang
tokoh di dalam Alkitab yang pernah saya baca, bahwa sejak masa mudanya, ia telah
melewati masa-masa yang sangat sulit & karena kesulitan hidup tersebut ia tercatat
sebagai orang yang selalu berharap kepada Tuhan dengan sungguh-sungguh.
Tetapi ketika ia merasa diri kuat dan mendapatkan kekuasaan, hatinya berubah.
Karakter yang sesungguhnya pun muncul. Ia berubah menjadi tinggi hati, melakukan
tindakan yang merusak, dan tidak lagi menghormati Tuhan. Kekuasaan tidaklah
salah. Namun ketika hati kita tidak siap mendapatkannya, maka kita bisa dengan
mudah berubah. Kekuasaan memang menjadi penguji karakter yang sesungguhnya.
Karena itu penting bagi kita untuk selalu ingat bahwa kekuasaan hanyalah titipan
dan kepercayaan yang berasal dari Tuhan. Kekuasaan diberikan untuk
membahagiakan orang lain, dan bukan diri sendiri. Di sinilah kerendahan hati kita
akan tetap terpelihara dengan baik. Kesengsaraan membentuk karakter. Tetapi,
kekuasaan menguji karakter.

Alkitab menaruh perhatian serius terhadap hubungan antara tuan dan hamba.
Para hamba tak hanya diminta untuk menaati tuannya (majikan), tetapi para tuan
juga dilarang semena-mena kepada para hambanya (anak buah). Salah satu
penekanan yang diberikan oleh Firman Tuhan bagi para pemimpin adalah
menjauhkan ancaman dalam gaya kepemimpinan mereka. Mengapa? Karena
biasanya ancaman tidak akan menghasilkan ketaatan, perubahan hidup, atau
produktivitas kerja yang meningkat, tetapi hanya pura-pura taat, pura-pura berubah,
tetapi memendam sakit hati dan ingin membalas perlakuan sang pemimpin. Dalam
relasi kerja, organisasi, maupun dalam keluarga, ketegasan memang diperlukan
ketika terjadi pelanggaran terhadap peraturan. Namun, setiap pemimpin jangan
pernah memilih gaya "main ancam" karena Tuhan sendiri tidak menyukai hal itu.
Yakinlah masih ada cara lain yang dapat dipakai untuk menegakkan peraturan,
tanpa harus membuat orang lain merasa terancam. Ancaman takkan pernah
menghasilkan perubahan yang sejati dan tidak akan bertahan dalam jangka
panjang.

Ada suatu ungkapan, "Jikalau kakimu mengenakan sepatuku, apa yang akan
kau rasakan atau lakukan?" Betapa sering kita berucap dan bertindak tanpa
menghiraukan perasaan orang lain. Kita menilai dan mencelanya tanpa mengerti
kenapa ia bertindak begitu. Padahal, di balik semua sikap dan perbuatan manusia
tersimpan banyak cerita. Bayangkan wajah kehidupan ini andaikan mendengar dan
mengerti mendahului bicara dan sikap gampang menghakimi. Konflik pasti
berkurang. Kesalahpahaman diperkecil. Permusuhan pun tak mudah beroleh tempat
di antara kita. Nilai suatu buku menghendaki kita membaca seluruh isinya.
Pahamilah seseorang seutuhnya sebelum menghakiminya.
Pengalaman pribadi dapat "menghidupkan" setiap ucapan karena seseorang
mengucapkan dengan segenap hatinya. Itulah sebabnya, penting sekali bagi kita
untuk mengucapkan sesuatu yang sudah pernah kita alami. Mendengar ucapan
yang dialami selama bertahun-tahun, efeknya tentu akan berbeda dengan ucapan
yang hanya berupa teori tanpa disertai pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi
dapat "menghidupkan" setiap ucapan karena seseorang berbagi dengan segenap
hatinya. Dalam refleksi ini saya ingin mengutip sebuah tragedi yang dialami oleh
Ayub, seandainya Ayub berkesempatan menceritakan langsung kisah hidupnya
hingga ia "memandang Allah", pastilah cerita tersebut akan sangat bertenaga,
bahkan sanggup dipakai Allah untuk mengubahkan hati para pendengarnya.
Mengapa? Karena Ayub menghidupi pesannya dan tak hanya piawai berbicara.

Akhir dari refleksi ini, saya juga ingin mengajak kita semua mendengarkan
kesaksian Zakheus di bawah ini :

Aku diabaikan masyarakat. Dicap pendosa. Pemeras dan antek penjajah.


Siapa yang sudi bergaul denganku? Apalagi berkunjung ke rumahku. Kebanyakan
orang jika melihatku pasti dengan kepala menunduk. Itu maknanya bisa ganda.
Selain karena badanku pendek, statusku di tengah-tengah masyarakat pun rendah.
Walau diriku terbilang kaya, aku merasa sangat kesepian. Di hati kecilku sudah lama
bercokol perasaan tertolak. Aku ingin hidupku berubah, namun apa daya. O iya,
namaku Zakheus.

Suatu hari, datanglah seorang pria yang luar biasa. Di tengah kerumunan, Dia
mengenal dan memanggil namaku. Aku merasa diperhatikan. Pada-Nya kutemukan
atensi yang tulus. Uniknya, ketika pertama berjumpa dengan Dia, posisiku sedang
berada di atas pohon sehingga untuk pertama kalinya ada orang yang melihatku
dengan kepala mendongak. Rupanya itu suatu pertanda bahwa Dia menghargaiku.
Disapanya aku lalu tanpa segan dinyatakan-Nya di depan khalayak ramai niat untuk
berkunjung ke rumahku. Saat itulah aku sungguh paham arti sebuah apresiasi.
Selanjutnya, hingga percakapan di rumahku, pancaran sikap hangat bersahabat
terus kurasakan. Rasa sayang atau afeksi mengalir sejuk dari hati-Nya. Sukar
kuterjemahkan dengan kata-kata, tapi nyata.

Kawan, jika dirimu menghendaki seseorang berubah, entah pasangan


hidupmu, anak-anakmu, menantumu, mertuamu, sahabatmu, pegawaimu, atau
siapa pun, jangan lupa memberikan kepada mereka tiga hal yang mereka butuhkan
untuk bisa berubah, yaitu atensi, apresiasi, dan afeksi. Sungguh, aku mengalaminya!
Aku berubah, sebab Pria bernama Yesus itu memberiku ketiga-tiganya.

Tuntutan dan penghakiman belaka tak akan mampu mengubah karakter


seseorang, yang mampu hanyalah kekuatan kasih sayang.

Dan sebagai kalimat penutup dalam refleksi ini, saya ingin mengatakakan,
“Hidup ini sungguh mulia. Syukurilah. Cintailah. Perjuangkanlah”.

Anda mungkin juga menyukai