Anda di halaman 1dari 28

Laporan Kasus

DEMAM TIFOID

Oleh:
Muhammad Fitrizal, S. Ked 04084821921169

Pembimbing:
dr. Henri Azis, Sp.A, M.Kes

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RSUD DR. M. RABAIN MUARA ENIM
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

DEMAM TIFOID

Oleh:

Muhammad Fitrizal, S.Ked 04084821921169

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan


Klinik Senior di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang periode 11
November 2019 – 20 Januari 2020.

Muara Enim, Desember 2019

Pembimbing

dr. Henri Azis, Sp.A, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Demam Tifoid”.

Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mengikuti Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak di RSMH Palembang. Pada
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada dr. Henri Azis,
SpA, M.Kes. atas bimbingan yang telah diberikan.

Dalam menyelesaikan penulisan ini, penulis tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan baik dari segi materi dan bahasa yang disajikan. Untuk itu penulis
memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan, serta mengharapkan kritik
dan saran demi kesempurnaan tulisan ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya, serta semua pihak yang membutuhkan.

Muara Enim, Desember 2019

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii

KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

BAB II LAPORAN KASUS ............................................................................ 2

BAB III TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 14

BAB IV ANALISIS KASUS ........................................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 25

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi. Tanda klinis klasik yang muncul pada penderita berupa demam, malaise, nyeri perut, dan
konstipasi. Demam tifoid yang tidak segera ditangani akan memberat dan mengakibatkan
delirium, perdarahan intestinal, perforasi usus, dan kematian dalam jangka waktu 1 bulan.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam tifoid di seluruh
dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap tahunnya. Demam tifoid
merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi pada anak maupun dewasa.Anak
merupakan yang paling rentan terkena demam tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih
ringan dari dewasa. Di hampir semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi
pada anak usia 5-19 tahun.2
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang cenderung meningkat
pada masyarakat dengan standar hidup dan kebersihan yang rendah. 96 % kasus demam tifoid
disebabkan oleh Salmonella typhi, sisanya disebabkan oleh Salmonella paratyphi. 91 % kasus
demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Penyakit
demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam Undang-undang nomor 6
Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit yang mudah
menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.3
Penyebaran bakteri Salmonella ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi akibat
pencucian tangan yang kurang bersih setelah buang air besar maupun setelah berkemih. Lalat
bisa menyebarkan bakteri secara langsung dari tinja ke makanan ( oro-fecal ).2
Penegakan diagnosis Demam Tifoid dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
laboratorium. Adapun metoda pemeriksaan yang dilakukan antara lain pemeriksaan darah
rutin, pemeriksaan serologis dan metoda biakan kuman.

1
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Nama : An. MAR

Umur / Tanggal Lahir : 11 tahun (11 April 2008)

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Alamat : Ulak Embacang, Kabupaten Muara Enim

Suku Bangsa : Sumatera Selatan

Dikirim oleh : IGD RSUD dr. M. Rabain Muara Enim

MRS : 26 Desember 2019 pukul 19.00 WIB

II. ANAMNESIS
Tanggal : 27 Desember 2019

Diberikan oleh : Pasien dan Orang tua kandung pasien

A. Riwayat Penyakit Sekarang


1. Keluhan Utama : Demam
2. Keluhan Tambahan : Muntah, mual, batuk kering
3. Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, anak mengeluh demam mula-mula
tidak tinggi, berangsur-angsur naik terutama pada malam hari. Demam meningkat
pada sore hingga malam hari dan menurun saat pagi hari namun masih panas.
Demam tidak disertai menggigil. Anak juga mengeluhkan batuk kering. Pilek (-),
sakit tenggorokan (-), sesak(-), keluar cairan dari telinga (-), mual (+), muntah
(+)anak muntah dengan frekuensi 3x sehari, isi apa yang dimakan, berwarna kuning
dan tidak menyemprot., mimisan (-), gusi berdarah(-), bintik-bontik merah di badan
(-), BAB (-) dan ibu os mengeluhkan nafsu makan anaknya mulai menurun.

2
Sekitar 5 jam sebelum masuk rumah sakit, anak merasa mual dan muntah
dengan frekuensi 5x, isi apa yang dimakan, tidak menyemprot. Demam masih
tinggi. BAK tidak ada keluhan, lancar, banyak, kuning, dan tidak nyeri.
Sebelum sakit anak makan banyak 3 kali sehari atau lebih, porsi cukup dan
bervariasi. Anak suka jajan makanan dan minuman di luar rumah dan makan snack
seperti chiki-chikian. Namun, saat sakit nafsu makan pasien berkurang.

B. Riwayat Sebelum Masuk Rumah Sakit


1. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa Kehamilan : Cukup bulan
Partus : Pervaginam
Tempat : Klinik Bidan
Ditolong oleh : Bidan
Tanggal : 11 April 2008
BB : 3000 gram
PB : 48 cm
Lingkar kepala : Ibu tidak ingat

2. Riwayat Makanan
ASI : 0 bulan – 2 tahun
Susu botol : 12 bulan – sekarang
Bubur Nasi : 12 -24 bulan
Nasi Tim/lembek : 6 – 12 bulan
Nasi Biasa : 24 bulan – sekarang
Daging : 3-4x/minggu
Tempe : 3-4x/minggu
Tahu : 3-4x/minggu
Sayuran : Hampir setiap hari
Buah : Jarang
Kesan : anak diberikan makanan sesuai dengan usianya
Kualitas : baik

3
3. Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur
BCG 1 bln
DPT 1 2 bln DPT 2 4 bln DPT 3 6 bln
HEPATITIS B 1 2 bln HEPATITIS B 2 4 bln HEPATITIS B 3 6 bln
Hib 1 2 bln Hib 2 4 bln Hib 3 6 bln
POLIO 1 0 bln POLIO 2 2 bln POLIO 3 4 bln
CAMPAK 9 bln POLIO 4 6 bln

KESAN : Imunisasi Dasar Lengkap

4. Riwayat Keluarga
Perkawinan : Perkawinan pertama
Umur : Ayah 44 tahun, Ibu 40 tahun
Pendidikan : SMA

Penyakit yang pernah diderita : Riwayat keluhan serupa tidak ada

5. Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : Ibu tidak ingat Berdiri : 10 bulan
Berbalik : 4 bulan Berjalan: 14 bulan
Tengkurap : 5 bulan Berbicara: 14 bulan
Merangkak : 7 bulan Kesan : Perkembangan baik
Duduk : 7 bulan

6. Riwayat Perkembangan Mental


Isap Jempol : berhenti sejak usia 1 tahun
Ngompol : berhenti sejak usia 2 tahun
Sering Mimpi : tidak
Aktivitas : aktif
Membangkang : tidak
Ketakutan : tidak
Kesan : Perkembangan mental baik
7. Riwayat Kebiasaan

4
Pasien sering tidak sarapan sebelum pergi sekolah. Sering jajan di pinggir jalan dan
tidak mencuci tangan sebelum makan. Pasien tidak menggunakan sabun setiap kali
mencuci tangan. Pasien sering jajan minuman es yang dijual di depan sekolah.
8. Riwayat Penyakit yang Pernah Diderita
- Riwayat keluar cairan dari telinga disangkal
- Riwayat bepergian ke daerah endemik (-)
- Riwayat sering jajan, tidak sarapan pagi di rumah
- Riwayat nyeri saat BAK (-)
- Riwayat kejang disangkal
- Riwayat alergi makanan dan obat di sangkal
- Riwayat batuk lama dengan pengobatan selama 6 bulan disangkal
- Riwayat kontak dengan penderita batuk lama disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


a. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis

BB : 32 kg

TB : 137 cm

Status gizi : Gizi baik

BB/U : 32/37*100%=86,4%

TB (PB)/U : 137/147*100%=93%

BB/TB (PB) : 32/35*100%=91,4%

Lingkar kepala : 54 cm (0- (-2 SD)) (normocephali)

Edema (-), sianosis (-), dispneu (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)

Suhu : 38.1oC

Respirasi : 28x/menit

Tipe Pernapasan : Torakoabdominal

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

5
Nadi : 120x/ menit

Isi/kualitas : Isi cukup, tegangan cukup

Regularitas : Reguler

Kulit : pucat (-), ikterik (-)

b. Pemeriksaan Khusus
Kepala : Normocephali

Rambut : hitam terdistribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : palpebra superior tidak edema, mata tidak cekung, konjungtiva tidak
anemis, sclera tidak ikterik, pupil bulat isokor, diameter 3mm, refleks
cahaya +/+

Hidung : bentuk normal, tidak ada septum deviasi, tidak ada sekret, tidak ada
pernapasan cuping hidung

Telinga : bentuk normal, liang telinga lapang, tidak ada sekret

Mulut : bentuk normal, bibir tidak kering, tidak ada sianosis, tidak keluar darah
dari mulut

Gigi : Karies dentis (-)

Lidah :lidah kotor di bagian tengah, tepi lidah hiperemis, tremor lidah (-)

Tenggorokan : faring tidak hiperemis


Leher : Pembesaran KGB (-), trakea di tengah, kelenjar tiroid tidak teraba
membesar, KGB submandibula, supra-infra clavicula dan cervical
tidak teraba
Thorax
Paru
- Inspeksi : pergerakan dada simetris dalam keadaan statis dan
dinamis, tidak terdapat retraksi intercostae dan suprasternal
- Palpasi : stem fremitus kanan-kiri dan depan-belakang sama kuat

- Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, batas paru-hepar di ICS VI


MCL dekstra
- Auskultasi : suara pernapasan vesikuler, ronkhi -/- , wheezing -/-

6
Jantung
- Inspeksi : iktus kordis tidak tampak
- Palpasi : iktus kordis teraba di sela iga V midklavikula kiri
- Perkusi : redup, batas jantung kiri: sela iga V linea midclavicula sinistra,
batas jantung kanan: parasternal, batas jantung atas: sela iga II
linea parasternal sinistra
- Auskultasi : BJ I dan II murni, murmur (-), Gallop (-)
ABDOMEN
- Inspeksi : tampak datar
- Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, defans muskular (-)
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
- Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3”, deformitas (-), edema (-)

Kulit : turgor baik, petechiae(-)

Genitalia : tak diperiksa


IV. Status Neurologis
Lengan Tungkai

Kanan Kiri Kanan Kiri

Fungsi motorik N N N N

Gerakan Luas Luas Luas luas

Kekuatan 5 5 5 5

Tonus Eutoni Eutoni Eutoni eutoni

Klonus - - - -

Reflek fisiologis (+) (+) (+) (+)

Reflek patologis - - - -

Gejala rangsang - - - -
meningeal

7
Fungsi sensorik Normal Normal Normal Normal

Nervi Kraniales Tak diperiksa

Reflek primitif - - - -

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal 27 Desember 2019
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hb 13.3 12-16 g/dL
Eritrosit 4.64 4.0-5.5 106/mm3
Leukosit 4.99 5.0-10 103/mm3
Ht 38.4 36-48 %
Trombosit 148 150-450 103/𝜇𝐿
MCV 82.8 82-92 fL
MCH 28.7 27-31 Pg
MCHC 34.6 32-36 g/Dl
RDW-SD 39.6 35-47 [fl]
RDW-CV 13.3 11-15 %
PDW 13.1 9.0-13.0 [fl]
MPV 10.5 7.2-11.1 [fl]
P-LCR 27.8 15.0-25.0 [%]
PCT 0.16 0.150-0.400 [%]
Hitung jenis 0/2/64/26/9 0-3/2-8/50-70/20-40/2-8 %
(basofil/eosinofil/
netrofil/limfosit/
monosit)
Tes widal
- Salmonella typhi O : 1/320
- Salmonella paratyphi AO : 1/160
- Salmonella paratyphi BO : 1/160
- Salmonella paratyphi CO : 1/160
- Salmonella typhi H : 1/320
- Salmonella paratyphi AH : 1/80
- Salmonella paratyphi BH : 1/80

8
- Salmonella paratyphi CH : 1/160
NS-1 Negatif

VI. DAFTAR MASALAH


1. Demam
2. Mual
3. Muntah
4. Batuk kering
5. Konstipasi

VII. DIAGNOSIS BANDING


Demam tifoid
DBD
Malaria
Gastroenteritis

VIII. DIAGNOSIS KERJA


Demam tifoid

IX. PENATALAKSANAAN
Non farmakologis :
- Tirah baring
- IVFD RL gtt dilanjutkan dengan KAEN 3B gtt XVI/mnt
Farmakologis :
 Ceftriakson 1x2 gr IV drip dalam D5% 50 cc
 Omeprazole 1x1 amp IV
 Ambroxol 3x1 cth
 Paracetamol 3x500 mg PO

9
X. RENCANA PEMERIKSAAN
 Cek darah rutin
 Widal test
 NS-1

XI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

XII. FOLLOW UP
Tanggal Keterangan
27 Desember S : Keluhan : Demam (+), mual (+), muntah (+) frekuensi >5x sehari, isi
2019 pukul apa yang dimakan dan tidak menyemprot, BAB (-).
07.30 WIB O : KU: Tampak sakit sedang
Sens: CM
N: 105x/menit RR :26x/menit T : 38.3oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), mata cekung (-), typhoid tongue (+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba, cubitan kulit perut kembali cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT <3 detik

A : Demam tifoid
P:
 IVFD KAEN 3B gtt XVI/mnt
 Ceftriakson 1x2 gr IV drip dalam D5% 50 cc
 Omeprazole 1x1 amp IV
 Paracetamol 3x500 mg PO

10
28 Desember S : Keluhan : Demam (+), mual (-), muntah (-), BAB (-).
2019 pukul O : KU: Tampak sakit sedang
07.30 WIB Sens: CM
N: 120x/menit RR :28x/menit T : 38 oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), mata cekung (-), typhoid tongue(+)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, nyeri tekan (+), hepar
dan lien tidak teraba, cubitan kulit perut kembali
cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT >3 detik

A : Demam tifoid
P:
 IVFD KAEN 3B gtt XVI/mnt
 Ceftriakson 1x2 gr IV drip dalam D5% 50 cc
 Omeprazole 1x1 amp IV
 Paracetamol 3x500 mg PO
30 Desember S : Keluhan : Demam (-), mual (-), muntah (-), BAB (+).
2019 pukul O : KU: Tampak sehat
07.30 WIB Sens: CM
N: 98x/menit RR :24x/menit T : 37.6oC
Kepala : nafas cuping hidung (-), konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-), mata cekung (-), typhoid tongue(-)
Thoraks : simetris, retraksi (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)

11
Cor : BJ I dan II normal, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, BU (+) normal, nyeri tekan (-), hepar dan
lien tidak teraba, cubitan kulit perut kembali cepat
Ekstremitas : akral hangat, CRT >3 detik

A : Demam tifoid
P:
 IVFD KAEN 3B gtt XVI/mnt
 Ceftriakson 1x2 gr IV drip dalam D5% 50 cc
 Omeprazole 1x1 amp IV
 Paracetamol 3x500 mg PO

12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi
Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella enteric
serovar typhi (S typhi), bakteri gram negatif.1,2 Salmonella enteric serovar paratyphi A, B (S.
schottmuelleri), dan C (S. hirschfeldii) juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut demam
paratifoid. Gejala klasik yang timbul meliputi demam, malaise, sakit perut, dan gangguan BAB
berupa konstipasi atau diare.3

2. Epidemiologi
Demam tifoid terjadi di seluruh dunia, terutama di negara berkembang yang kondisi
saniternya buruk. Demam tifoid bersifat endemik di Asia, Afrika, Amerika Latin, Karibia, dan
Oceania, namun 80% kasus berasal dari Bangladesh, China, India, Indonesia, Laos, Nepal,
Pakistan, atau Vietnam. Di negara-negara tersebut, demam tifoid paling sering terjadi di daerah
terbelakang. Demam tifoid menginfeksi sekitar 21,6 juta orang (kejadian 3,6 per 1.000
penduduk) dan membunuh sekitar 200.000 orang setiap tahun.3 Sebagian besar kasus terjadi
pada usia 3-19 tahun.2
Antara tahun 1999 dan 2006, 79% kasus demam tifoid di USA terjadi pada pasien yang
pernah berada di luar negeri dalam 30 hari sebelumnya. Dua pertiga dari orang-orang ini baru
saja melakukan perjalanan dari anak benua India. Wabah demam tifoid yang diketahui di
Amerika Serikat dinilai berasal dari makanan impor atau makanan yang diproduksi dari daerah
endemik.3
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di USA dan Eropa dengan
ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang baik yang sampai saat ini belum dimiliki
oleh sebagian besar negara berkembang.1 Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan
menyebabkan 21,6 juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam
tifoid tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan Selatan,
Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong sedang (10-100 kasus per
100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika, Amerika Latin, dan Oceania (kecuali
Australia dan Selandia Baru); serta yang termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per
tahun) di bagian dunia lainnya.1

13
3. Etiologi
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan reservoir untuk
Salmonella typhi.1 Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air
kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau
tiram yang dibekukan.1 Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim
kemarau atau permulaan musim hujan.1 Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang
tertelan secara oral.1 Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang terkontaminasi
oleh feses. Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi yang berusia
3-19 tahun. Selain itu, demam tifoid di Indonesia juga berkaitan dengan rumah tangga, yaitu
adanya anggota keluarga dengan riwayat terkena demam tifoid, tidak adanya sabun untuk
mencuci tangan, menggunakan piring yang sama untuk makan, dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dalam rumah.4

4. Patogenesis
Patogenesis demam tifoid merupakan proses yang kompleks yang melalui beberapa
tahapan.5 Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan terhadap
asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada ileum terminalis. Di usus,
bakteri melekat pada mikrovili, kemudian melalui barier usus yang melibatkan mekanisme
membrane ruffling, actin rearrangement, dan internalisasi dalam vakuola intraseluler.5
Kemudian Salmonella typhi menyebar ke sistem limfoid mesenterika dan masuk ke dalam
pembuluh darah melalui sistem limfatik.5,6 Bakteremia primer terjadi pada tahap ini dan
biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih memberikan hasil yang
negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 8-14 hari.6
Bakteri dalam pembuluh darah ini akan menyebar ke seluruh tubuh dan berkolonisasi
dalam organ-organ sistem retikuloendotelial, yakni di hati, limpa, dan sumsum tulang.6 Kuman
juga dapat melakukan replikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi, kuman akan
disebarkan kembali ke dalam sistem peredaran darah dan menyebabkan bakteremia sekunder
sekaligus menandai berakhirnya periode inkubasi. Bakteremia sekunder menimbulkan gejala
klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen. 5

14
Gambar 1. Patogenesis demam tifoid

Bakteremia dapat menetap selama beberapa minggu bila tidak diobati dengan
antibiotik. Pada tahapan ini, bakteri tersebar luas di hati, limpa, sumsum tulang, kandung
empedu, dan Peyer’s patches di mukosa ileum terminal. Ulserasi pada Peyer’s patches dapat
terjadi melalui proses inflamasi yang mengakibatkan nekrosis dan iskemia. Komplikasi
perdarahan dan perforasi usus dapat menyusul ulserasi.5
Kekambuhan dapat terjadi bila kuman masih menetap dalam organ-organ sistem
retikuloendotelial dan berkesempatan untuk berproliferasi kembali. Menetapnya Salmonella
dalam tubuh manusia diistilahkan sebagai pembawa kuman atau carrier.5

5. Manifestasi Klinis
Setelah 8-14 hari tanpa keluhan atau gejala, dapat muncul keluhan atau gejala yang
bervariasi mulai dari yang ringan dengan demam yang tidak tinggi, malaise, dan batuk kering
sampai dengan gejala yang berat dengan demam yang berangsur makin tinggi setiap harinya,
rasa tidak nyaman di perut, serta beraneka ragam keluhan lainnya.7
Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam sore hari dengan serangkaian keluhan
klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen, dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah
kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau
kedua-duanya.5 Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian
dilanjutkan dengan konstipasi.7 Konstipasi pada permulaan sering dijumpai pada orang
dewasa.1 Walaupun tidak selalu konsisten, bradikardi relatif saat demam tinggi dapat dijadikan
indikator demam tifoid.1,5,7 Pada sekitar 25% dari kasus, ruam makular atau makulopapular

15
(rose spots) mulai terlihat pada hari ke 7-10, terutama pada orang berkulit putih, dan terlihat
pada dada bagian bawah dan abdomen pada hari ke 10-15 serta menetap selama 2-3 hari.7

Gambar 2. Typhoid tongue


Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu.1,5 Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis,
perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem
tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen.5,6 Bila tidak terdapat
komplikasi, gejala klinis akan mengalami perbaikan dalam waktu 2-4 minggu.7
Perubahan status mental pada pasien tifoid dikaitkan dengan angka kasus kematian
tinggi. Pasien tersebut umumnya mengalami delirium, jarang dengan koma. Meningitis tifoid,
encephalomyelitis, sindrom Guillain-Barré, neuritis kranial atau perifer, dan gejala psikotik,
walaupun jarang, telah dilaporkan. Komplikasi serius lainnya yang tercatat dengan demam
tifoid termasuk diantaranya perdarahan (menyebabkan kematian yang cepat pada beberapa
pasien), hepatitis, miokarditis, pneumonia, koagulasi intravaskular diseminata,
trombositopenia dan sindrom uraemik hemolitik.

6. Diagnosis Banding
1. Stadium dini: influenza, gastroenteritis, bronchitis, infeksi Dengue,
bronkopneumonia.
2. Tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, malaria.
3. Demam tifoid berat: sepsis, leukemia.8

7. Diagnosis
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat bermanfaat untuk
mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga dapat mencegah terjadinya komplikasi.
Pengetahuan mengenai gambaran klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi

16
dini penyakit ini. Pada kasus-kasus tertentu, dibutuhkan pemeriksaan tambahan dari
laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis.
Klasifikasi diagnosis demam tifoid:
 Demam Tifoid Klinis (probable)
Panas lebih dari 7 hari, didukung klinik lain: gangguan GIT (typhoid tongue, rhagaden,
anoreksia, konstipasi/diare), hepatomegali, dan tidak ditemukan penyebab lain dari panas
(disertai hasil uji deteksi antigen atau diagnosis serologis positif).
 Demam Tifoid Pasti (confirmed)
Demam tifoid klinis + Salmonella tyhphi (+) pada biakan darah, urine atau feses.
 Demam Tifoid Berat
Demam tifoid + keadaan: lebih dari minggu kedua sakit, toksik, dehidrasi, delirium jelas,
hepatomegali dan/atau splenomegali, leukopenia <2000/ul, aneosinofilia, SGOT/SGPT
meningkat.
Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda dengan pemeriksaan pada
keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis
sel darah putih ke kiri, sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah tepi ke kanan
(limfositosis relatif). Ciri lain yang sering ditemukan pada gambaran darah tepi adalah
aneosinofilia (menghilangnya eosinofil).5
Diagnosis pasti demam tifoid berdasarkan pemeriksaan laboratorium didasarkan pada
3 prinsip, yaitu:9
 Isolasi bakteri
 Deteksi antigen mikroba
 Titrasi antibodi terhadap organisme penyebab
Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-
80% dari pasien, bila darah yang tersedia cukup (darah yang diperlukan 15 mL untuk pasien
dewasa).6,9 Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotic yang tinggi,
sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).5
Peran pemeriksaan Widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen Salmonella
typhi) masih kontroversial.9 Biasanya antibodi antigen O dijumpai pada hari 6-8 dan antibody
terhadap antigen H dijumpai pada hari 10-12 setelah sakit.9 Pada orang yang telah sembuh,
antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 4-6 bulan dan antibodi H setelah 10-12 bulan.5
Karena itu, Widal bukanlah pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis

17
didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan berselang beberapa hari
atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan titer Widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat.
Pemeriksaan Tubex dapat mendeteksi antibody IgM. Hasil pemeriksaan yang positif
menunjukkan adanya infeksi terhadap Salmonella. Antigen yang dipakai pada pemeriksaan ini
adalah O9 dan hanya dijumpai pada Salmonella serogroup D.5,9
Pemeriksaan lain adalah dengan Typhidot yang dapat mendeteksi IgM dan IgG.
Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan terdeteksinya IgG dan
IgM menunjukkan demam tifoid akut pada fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap
selama 2 tahun setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan antara kasus
akut dan kasus dalam masa penyembuhan.5,6,9 Yang lebih baru lagi adalah Typhidot M yang
hanya digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot. Pemeriksaan ini dapat menggantikan Widal, tetapi
tetap harus disertai gambaran klinis.5,9

8. Tatalaksana
Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala,
mencegah komplikasi, dan menghindari kematian. Yang juga tidak kalah penting adalah
eradikasi total bakeri untuk mencegah kekambuhan dan keadaan carrier.1
Pemilihan antibiotik tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotik (kelompok MDR)
dapat mengurangi pilihan antibiotik yang akan diberikan. Terdapat 2 kategori resistensi
antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan
trimethoprimsulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik
fluoroquinolone.5 Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan petanda
berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.5 Terapi antibiotik yang diberikan untuk
demam tifoid tanpa komplikasi berdasarkan WHO tahun 2003:

18
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin)
merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolat tidak resisten
terhadap fluoroquinolone dengan angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan
demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.1
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membunuh S.
typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung
empedu dibandingkan antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas
fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki
efektivitas yang baik adalah levofloxacin.
Namun, fluoroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan kerusakan sendi.1,5,7 Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan
dan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun kekurangan dari chloramphenicol adalah
angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier juga tinggi, dan toksis pada
sumsum tulang. Azithromycin dan cefixime memiliki angka kesembuhan klinis lebih dari 90%
dengan waktu penurunan demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka
kekambuhan serta fecal carrier terjadi pada kurang dari 4%.1
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau kesadaran
menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai
pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat
menurut WHO tahun 2003:

19
Walaupun di tabel ini tertera cefotaxime untuk terapi demam tifoid tetapi sayangnya di
Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi demam tifoid dengan
cefotaxime. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta terapi suportif.
Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
dan antipiretik.5 Nutrisi yang adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang
lembut dan mudah dicerna secepat keadaan
mengizinkan.

9. Edukasi dan Pencegahan


Edukasi pasien untuk tirah baring, diet lunak mudah dicerna selama sakit. Strategi
pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak
terkontaminasi, higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan,
sanitasi yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari.5 Strategi pencegahan ini menjadi
penting seiring dengan munculnya kasus resistensi.
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang
dari negara maju ke daerah yang endemic demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada
yaitu:1,5,7
 Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan dinjeksikan secara
subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk
revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
 Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang diberikan pada anak
usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik

20
dihindari 7 hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan
memberikan efi kasi perlindungan 67-82%.
 Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi
perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46
bulan dengan efi kasi perlindungan sebesar 89%.

10. Komplikasi
Sekitar 10-15% dari pasien akan mengalami komplikasi, terutama pada yang sudah
sakit selama lebih dari 2 minggu.1,5 Komplikasi yang sering dijumpai adalah reaktif hepatitis,
perdarahan gastrointestinal, perforasi usus, ensefalopati tifosa, serta gangguan pada sistem
tubuh lainnya mengingat penyebaran kuman adalah secara hematogen.5,6 Perubahan status
mental pada pasien tifoid dikaitkan dengan angka kasus kematian tinggi. Pasien tersebut
umumnya mengalami delirium, jarang dengan koma. Meningitis tifoid, encephalomyelitis,
sindrom Guillain-Barré, neuritis kranial atau perifer, dan gejala psikotik, walaupun jarang,
telah dilaporkan. Komplikasi serius lainnya yang tercatat dengan demam tifoid termasuk
diantaranya perdarahan (menyebabkan kematian yang cepat pada beberapa pasien), hepatitis,
miokarditis, pneumonia, koagulasi intravaskular diseminata, trombositopenia dan sindrom
uraemik hemolitik.

11. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotic yang
adekuat, angka mortalitas <1 %. Di negara berkembang, angka mortalitasnya > 10 %, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endocarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.

21
BAB IV
ANALISIS KASUS

Demam typhoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan bahkan
asimptomatis. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi, namun gejala yang timbul setelah
inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran pencernaan.

Pada pasien ini di tegakkan diagnosa demam typhoid tanpa komplikasi. Diagnosa
ditegakkan berdasarkan :

Anamnesis:

 Pasien demam 1 hari yang remitten. Demam menjelang sore hari dan demam turun pagi
hari.
 Demam disertai dengan gangguan pencernaan berupa mual dan muntah dan anoreksia
 Pasien biasa jajan makanan dan minumam di luar rumah, yang tidak jelas
kebersihannya

Pada demam tifoid biasanya ditemukan gejala-gejala yang khas pada anamnesis, yaitu
berupa demam remitten pada minggu pertama, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat pada malam hari. Dalam minggu kedua pasien terus berada dalam keadaan
demam (continue) yang turun secara berangsur-angsur pada minggu ketiga. Gejala yang
juga biasa ditemukan adalah malaise, letargi, dan keluhan gastrointestinal berupa
anoreksia, muntah dan konstipasi. Biasanya pasien demam tifoid memiliki kualitas hygine
yang buruk.

Pada pasien ini pemerikasaan fisiknya ditemukan :

 Didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal, selain suhu yang meningkat,
keadaan umum yang sedang, tanpa gangguan kesadaran,
 Pada lidah pasien ditemukan kotor pada tengahnya dan hiperemis pada pinggirnya,
tremor (-)

Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosa demam typhoid dibagi dalam 3


kelompok, yaitu (1) isolasi kuman penyebab demam typhoid melalui biakan kuman dari
spesimen penderita seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, cairan duodenum dan rose spot,

22
(2) uji serologis untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen, (3) pemeriksaan melacak DNA
kuman S. Tyhpi. Diagnosis demam typhoid dengan biakan kuman sebenarnya amat
diagnostik, namun identifikasi kuman memerlukan waktu 3-5 hari. Biakan darah positif pada
40-60% kasus yang diperiksa pada minggu pertama sakit, sedangkan biakan feses atau urin
akan positif setelah minggu pertama. Biakan dari sumsum tulang akan positif pada penyakit
stadium lanjut, dan merupakan pemeriksaan yang paling sensitif. Biakan darah positif
memastikan demam typhoid, tetapi biakan darah negatif tidak menyingkirkan demam
typhoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor,
antara lain (1) jumlah darah yang diambil, (2) perbandingan volume darah dan media
empedu, (3) waktu pengambilan darah.

Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan serologis dan didapatkan hasil positif pada tes
widal Salmonella typhi O sebesar 1/320, Salmonella thypi H sebesar 1/320. Walaupun uji
serologi Widal untuk menunjang diagnosis demam typhoid telah luas digunakan namun
manfaatnya masih menjadi perdebatan.

Penatalaksanaan penderita dengan demam typhoid, terutama pada pasien ini dengan
perawatan bed rest, pemberian diet yang lunak yang mudah dicerna dengan kalori dan protein
yang cukup dan rendah serat. Pemberiaan obat-obatan diberikan antibiotik ceftriaxone
sebesar 2 g perkali pemberian 1 x sehari IV drip dalam D5% 50 cc (30 menit) sebagai
pengobatan kausalnya. Selain itu diberikan antipiretik (paracetamol), sebagai pengobatan
simptomatis demam . Omeprazole dan sucralfat diberikan sebagai pengobatan simptomatis
gastrointestinal berupa mual dan muntah.

Pasien diperbolehkan pulang setelah perawatan di rumah sakit karena tidak ada keluhan
dan ada perbaikan klinis. Namun pasien tetap dianjurkan untuk istirahat dan mobilisasi
bertahap, diet makanan lunak, dan melanjutkan antibiotik sampai 5 hari bebas demam.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan tatalaksana Demam Tifoid. Dalam Pediatrics Update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta : 2003. H 2-20
2. Manangazira P, Glavintcheva I, Mutukwa-Gonese G, Bara W, Chimbaru A, dan Ameda I,
editor. Guidelines for the Management of Typhoid Fever. Ministry of Health and Child
Welfare 2011.
3. Brusch JL. Typhoid Fever. Medscape 2018.
4. Vollaard AM, Ali S, Van Asten HAGH, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C, et. al. Risk factors
for typhoid and paratyphoid fever in Jakarta, Indonesia. JAMA 2004; 291: 2607-15.
5. World Health Organization. Background Document: the Diagnosis, Treatment and
Prevention of Typhoid Fever. World Health Organization 2003.
6. RHH Nelwan. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. CDK 2012; 39(4): 247-250.
7. Bhutta ZA. Typhoid fever: current concepts. Infect Dis Clin Pract 2006; 14: 266-72.
8. Panduan Praktik Klinik (PPK) Divisi Infeksi Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr.
Mohammad Hoesin Palembang 2016.

24

Anda mungkin juga menyukai