Tinjauan Pustaka
3.1 Tuberkulosis
3.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas
dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah
ada di dunia sejak 5000 tahun sebelum masehi, namun kemajuan dalam penemuan
dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Pusatdatin,
2015).
Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang berdasar dari
Kepmenkes nomor 364 tahun 2009, berikut cara penularan penyakit tuberkulosis.
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
25
3.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada sembilan juta
pasien TB baru dan tiga juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan
95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.
26
3.1.3.1 Risiko Infeksi Tuberkulosis
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain),
yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang
terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan
BTA positif.
Selanjutnya kontak dengan pasien TB merupakan faktor risiko utama, dan
makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah
(household contact) dengan anggota keluarga yang sakit TB sangat berperan untuk
terjadinya infeksi TB di keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah
jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan
pasien, pernah sakit TB, dan satu kamar dengan penderita TB di malam hari,
terutama bila satu tempat tidur (Kartasasmita, 2009).
3.1.3.2 Risiko Penyakit Tuberkulosis
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun
mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena
imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Anak berusia <5 tahun
memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko
tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun
pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu
antara terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul
gejala akut.
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir.
Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya
pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi),
diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada
27
epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang
kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. Faktor lain yang mempunyai risiko terjadinya
penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksi, namun secara
klinis hal tersebut sulit untuk dibuktikan. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
keadaan imunokompromais merupakan salah satu faktor risiko penyakit TB.
(Kartasasmita, 2009).
28
d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
29
3.1.6.2 Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru
Berikut macam-macam diagnosis tuberkulosis ekstra paru :
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang pada spondilitis TB dan lain-lainnya
b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik,
misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-
lain
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dilaksanakan sesuai alur sebagaimana
dalam Gambar 3.2.
Gambar 3.2 Bagan Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru (Kepmenkes 364, 2009)
30
3.1.7 Penatalaksanaan Tuberkulosis
3.1.7.1 Tujuan dan Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Jenis , sifat
dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini
pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini :
31
Tabel 3.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampicin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide 25 35
Bakterisid
(Z) (20-30) (30-40)
Streptomycin 15 15
Bakterisid
(S) (12-18) (12-18)
Ethambutol 15 30
Bakteriostatik
(E) (15-20) (20-35)
32
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada penatalaksanaan tuberkulosis, juga dapat diberikan penatalaksanaan
tahap lanjutan, yaitu :
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
c. Tahap pengobatan lanjutan akan dilaksanakan selama 4 bulan.
d. Jumlah tablet yang harus ditelan setiap dosis.
e. Cara minum obat (ditelan, diminum dengan air banyak, dll).
f. Jadwal minum obat, misalnya OAT diminum setiap 3x seminggu
pada pagi hari sebelum makan.
33
4. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.
Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu selama 16
Berat Badan tiap hari selama 56 hari
minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 - 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 - 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
34
Dosis per hari / kali
Jumlah
Kaplet Tablet Tablet
Tahap Lama Tablet hari/ka
Rifam Pirazin Etamb
Pengoba Pengobata Isoniasid li
pisin amid utol
tan n @ 300 menela
@ 450 @ 500 @ 250
mgr n obat
mgr mgr mgr
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
35
Etambutol
Lam Tablet Kaplet Tablet Stre
Tabl Jumlah
Tahap a Isonia Rifampi Pirazi ptom
Tablet et hari/kali
Pengo Peng sid sin namid isin
@ 250 @ menelan
batan obat @ 300 @ 450 @ 500 injek
mgr 400 obat
an mgr mgr mgr si
mgr
Tahap
2
Intensi 0,75
bulan 1 1 3 3 - 56
f gr
1 1 1 3 3 - 28
(dosis -
bulan
harian)
Tahap
Lanjut
an
4
(dosis 2 1 - 1 2 - 60
bulan
3x
semin
ggu)
36
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT
38 - 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 - 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Paket sisipan kombipak adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) sebagaimana dalam
Tabel 3.8.
37
3.2.2 Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Tanda dan gejala heart failure atau gagal jantung menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) tahun 2015, ditunjukkan pada
tabel 3.9.
Stadium A Kelas I
38
Stadium B Kelas II
Telah terbentuk penyakit struktur jantung Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
yang berhubungan dengan perkembangan terdapat keluhan saat istrahat, namun
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
gejala. kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Stadium C Kelas III
39
3.2.5 Penatalaksanaan Gagal Jantung
3.2.5.1 Tujuan Penatalaksanaan Gagal Jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung
tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah
penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap
kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (Perki,
2015).
40
(tanpa pacu jantung permanen), dan sinus bradikardia (nadi < 50 kali/menit) (Perki,
2015).
3.2.5.2.3 Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada
semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas
fungsional III-IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Contoh obat antagonis aldosteron untuk pasien gagal jantung, yaitu
spironolakton (25 mg, sehari sekali), eplerenon (25 mg sehari sekali, ditingkatkan
dalam 4 minggu sampai 50 mg sehari sekali dengan mempertimbangkan kadar
kalium serum). Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu pada pasien
dengan konsentrasi serum kalium >5,0 mmol/L, serum kreatinin >2,5 mg/dL,
bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium, serta pada
kombinasi ACEI dan ARB (Perki, 2015).
3.2.5.2.4 Angiotensis Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB akan memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran.
Contoh obat ARB untuk pasien gagal jantung, yaitu losartan (12,5 mg, sekali
sehari), valsartan (40 mg, 2 kali sehari). Kontraindikasi pemberian ARB sama
seperti ACEI, kecuali angioedema, juga pada pasien yang diterapi ACEI dan
antagonis aldosteron bersamaan, serta monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit
serial ketika ARB digunakan bersama ACEI (Perki, 2015).
3.2.5.2.5 Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi
H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB
(kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B). Kontraindikasi pemberian kombinasi
41
H-ISDN yaitu pada pasien hipotensi simtomatik, sindroma lupus, dan gagal ginjal
berat (Perki, 2015).
3.2.5.2.6 Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi
tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup. Dosis awal yang
diberikan yaitu 0,25 mg, sekali sehari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, sekali sehari (Perki, 2015).
3.2.5.2.7 Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongest. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Contoh
obat diuretik untuk pasien gagal jantung, yaitu furosemide (20-40 mg), bumetanide
(0,5-1 mg) (Perki, 2015).
42
Tabel 3.11 Terapi yang Tidak Direkomendasikan untuk Pasien Gagal Jantung
Statin Glitazon
Sampai saat ini belum terdapat data yang Seharusnya dihindari (bila
menyatakan bahwa antikoagulan oral memungkinkan) karena akan
terbukti lebih baik dalam penurunan menyebabkan retensi cairan, perburukan
mortalitas dan morbiditas pada gagal fungsi ginjal dan gagal jantung.
jantung bila dibandingkan dengan plasebo
atau aspirin.
43
Penambahan ARB pada pemberian
ACEI dan MRA
44
3.2.5.4.5 Pengurangan Berat Badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup (Perki,2015).
3.2.5.4.6 Latihan Fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah
sakit atau di rumah (Perki, 2015).
45
3.3.3 Patofisiologi Efusi Pleura
Ada dua tipe penyebab utama dari efusi pleura, yaitu efusi pleura transudatif
dan eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh beberapa kombinasi dari
peningkatan tekanan hidrostatik atau berkurangnya tekanan onkotik kapiler;
misalnya gagal jantung, sirosis, dan sindrom nefrotik. Efusi pleura eksudatif
disebabkan oleh proses lokal yang mengakibatkan perubahan pada pembentukan
dan penyerapan cairan pleura; peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
eksudasi cairan, protein, sel, dan komponen serum lainnya Penyebab yang paling
sering terjadi, yaitu pnemonia, malignansi, dan pulmonary embolism, infeksi virus,
dan tuberculosis (Dwianggita, 2016).
46