Anda di halaman 1dari 22

Bab III

Tinjauan Pustaka

3.1 Tuberkulosis
3.1.1 Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan
bakteri Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang berbagai organ,
terutama paru-paru. Penyakit ini bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas
dapat menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah
ada di dunia sejak 5000 tahun sebelum masehi, namun kemajuan dalam penemuan
dan pengendalian penyakit TB baru terjadi dalam dua abad terakhir (Pusatdatin,
2015).
Menurut Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis yang berdasar dari
Kepmenkes nomor 364 tahun 2009, berikut cara penularan penyakit tuberkulosis.
a. Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
b. Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam
bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan
sekitar 3000 percikan dahak.
c. Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada
dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan,
sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat
bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
d. Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang
dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil
pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
e. Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh
konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

25
3.1.2 Epidemiologi Tuberkulosis
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada sembilan juta
pasien TB baru dan tiga juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan
95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia, terjadi pada negara-negara
berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada
kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas.

Gambar 3.1 Angka Insidens TB didunia (WHO, 2009)

3.1.3 Faktor Risiko Tuberkulosi


Perkembangan TB pada manusia melalui dua proses, yaitu pertama seseorang
yang rentan bila terpajan oleh kasus TB yang infeksius akan menjadi tertular TB
(infectious TB), dan setelah beberapa lama kemudian baru menjadi sakit. Oleh
karena itu faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit
TB. Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor
risiko infeksi dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko
penyakit) (Kartasasmita, 2009).

26
3.1.3.1 Risiko Infeksi Tuberkulosis
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik), dan
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain),
yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang
terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan
BTA positif.
Selanjutnya kontak dengan pasien TB merupakan faktor risiko utama, dan
makin erat kontak makin besar risikonya. Oleh karenanya kontak di rumah
(household contact) dengan anggota keluarga yang sakit TB sangat berperan untuk
terjadinya infeksi TB di keluarga, terutama keluarga terdekat. Faktor lain adalah
jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan
pasien, pernah sakit TB, dan satu kamar dengan penderita TB di malam hari,
terutama bila satu tempat tidur (Kartasasmita, 2009).
3.1.3.2 Risiko Penyakit Tuberkulosis
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB. Faktor risiko yang pertama adalah usia. Anak berusia <5 tahun
mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena
imunitas selularnya belum berkembang sempurna (imatur). Anak berusia <5 tahun
memiliki risiko lebih tinggi mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan
meningitis TB), dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Risiko
tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB selama satu tahun
pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama. Pada bayi, rentang waktu
antara terjadi infeksi dan timbul sakit TB singkat (kurang dari 1 tahun) dan timbul
gejala akut.
Faktor risiko berikutnya adalah infeksi baru yang ditandai dengan adanya
konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif) dalam satu tahun terakhir.
Faktor risiko lainnya adalah malnutrisi, keadaan imunokompromais (misalnya
pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi),
diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor yang tidak kalah penting pada

27
epidemiologi TB adalah status sosioekonomi yang rendah, penghasilan yang
kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. Faktor lain yang mempunyai risiko terjadinya
penyakit TB adalah virulensi dari M. tuberculosis dan dosis infeksi, namun secara
klinis hal tersebut sulit untuk dibuktikan. Seperti telah disebutkan sebelumnya,
keadaan imunokompromais merupakan salah satu faktor risiko penyakit TB.
(Kartasasmita, 2009).

3.1.4 Gejala Tuberkulosis


Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
3.1.4.1 Gejala Sistemik/Umum
a. Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)
b. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul
c. Penurunan nafsu makan dan berat badan
d. Perasaan tidak enak (malaise), lemah
3.1.4.2 Gejala Khusus
a. Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”,
suara nafas melemah yang disertai sesak.
b. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
c. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.

28
d. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.

3.1.5 Patofisiologi Tuberkulosis


Tuberkulosis merupakan suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
M. tuberculosis termasuk bakteri gram positif tahan asam. Tuberkulosis merupakan
salah satu penyakit saluran pernapasan bagian bawah (Alsagaff dan Abdul, 2006).
Mikobakteria dalam droplet dengan diameter 1-5µm dihirup dan mencapai alveoli.
Penyakit yang dihasilkan dari pembentukan dan proliferasi organisme virulen dan
interaksi dengan inang. Resistensi dan hipersensitivitas inang sangat
mempengaruhi perkembangan penyakit (Jawetz et al., 2005).

3.1.6 Diagnosis Tuberkulosis


Dalam Kepmenkes nomor 364 tahun 2009, tuberkulosis didiagnosis menjadi 2
macam yaitu sebagai berikut.
3.1.6.1 Diagnosis Tuberkulosis Paru
Berikut macam-macam diagnosis tuberkulosis paru :
a. Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari, yaitu
sewaktu - pagi - sewaktu (SPS)
b. Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya
kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan
lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya
c. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto
toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis
d. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas
penyakit
e. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru
(Kepmenkes 364, 2009)

29
3.1.6.2 Diagnosis Tuberkulosis Ekstra Paru
Berikut macam-macam diagnosis tuberkulosis ekstra paru :
a. Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk
pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (pleuritis), pembesaran
kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang
belakang pada spondilitis TB dan lain-lainnya
b. Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung pada metode
pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik,
misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks dan lain-
lain
Diagnosis TB paru pada orang dewasa dilaksanakan sesuai alur sebagaimana
dalam Gambar 3.2.

Gambar 3.2 Bagan Alur Diagnosis Tuberkulosis Paru (Kepmenkes 364, 2009)

30
3.1.7 Penatalaksanaan Tuberkulosis
3.1.7.1 Tujuan dan Prinsip Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Jenis , sifat
dan dosis OAT yang akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini
pertama. Secara ringkas OAT lini pertama dijelaskan pada tabel dibawah ini :

Tabel 3.1 Pengelompokan OAT


Golongan dan Jenis Obat
 Pyrazinamide (Z)
Golongan-1  Isoniazid (H)
 Rifampicin (R)
Obat Lini Pertama  Ethambutol (E)
 Streptomycin (S)
Golongan-2
 Amikacin (Am)
Obat Suntik/ Suntikan lini  Kanamycin (Km)
 Capreomycin (Cm)
kedua
Golongan-3  Ofloxacin (Ofx)  Moxifloxacin
Golongan Floroquinolone  Levofloxacin (Lfx) (Mfx)
 Ethlonamide (Eto)
Golongan-4  Para amino salisilat
 Prothlonamide
Obat bakteriostatik (PAS)
(Pto)
lini kedua  Terizidone (Trd)
 Cycloserine (Cs)
Golongan-5  Clofazimine (Cfz)  Thioacetazone
Obat yang belum terbukti  Linezolid (Lzd) (Thz)
efikasinya dan tidak  Amoxilin-  Clarithromycin
direkomendasikan oleh Clavulanate (Amx- (Clr)
WHO Clv)  Imipenem (Ipm)

31
Tabel 3.2 Jenis, Sifat dan Dosis OAT lini pertama
Dosis yang direkomendasikan (mg/kg)
Jenis OAT Sifat
Harian 3x seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4-6) (8-12)
10 10
Rifampicin (R) Bakterisid
(8-12) (8-12)
Pyrazinamide 25 35
Bakterisid
(Z) (20-30) (30-40)
Streptomycin 15 15
Bakterisid
(S) (12-18) (12-18)
Ethambutol 15 30
Bakteriostatik
(E) (15-20) (20-35)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut:


a. OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat,
dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori
pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian
OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan
sangat dianjurkan.
b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh
seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c. Pengobatan TB diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.

Tahap awal (intensif)


Pada penatalaksanaan tuberkulosis, diberikan penatalaksanaan tahap
awal/intensif, yaitu :
a. Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.
b. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya
pasien menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

32
c. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)
dalam 2 bulan.

Tahap Lanjutan
Pada penatalaksanaan tuberkulosis, juga dapat diberikan penatalaksanaan
tahap lanjutan, yaitu :
a. Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama.
b. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
c. Tahap pengobatan lanjutan akan dilaksanakan selama 4 bulan.
d. Jumlah tablet yang harus ditelan setiap dosis.
e. Cara minum obat (ditelan, diminum dengan air banyak, dll).
f. Jadwal minum obat, misalnya OAT diminum setiap 3x seminggu
pada pagi hari sebelum makan.

3.1.7.2 Paduan OAT yang Digunakan di Indonesia


1. Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
a. Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
2. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
a. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
b. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di
Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin, Capreomisin,
Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-1,
yaitu pirazinamid and etambutol.
3. Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket
berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini
terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya
disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu
paket untuk satu pasien.

33
4. Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid,
Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk
blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam
pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

3.1.7.3 Paduan OAT Lini Pertama dan Peruntukannya


1) Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3)
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:
a. Pasien baru TB paru BTA positif
b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif
c. Pasien TB ekstra paru

Tabel 3.3 Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori

Tahap Lanjutan
Tahap Intensif
3 kali seminggu selama 16
Berat Badan tiap hari selama 56 hari
minggu
RHZE (150/75/400/275)
RH (150/150)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 - 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 - 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT

Tabel 3.4 Dosis paduan OAT-Kombipak untuk Kategori 1

34
Dosis per hari / kali
Jumlah
Kaplet Tablet Tablet
Tahap Lama Tablet hari/ka
Rifam Pirazin Etamb
Pengoba Pengobata Isoniasid li
pisin amid utol
tan n @ 300 menela
@ 450 @ 500 @ 250
mgr n obat
mgr mgr mgr
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

2) Kategori-2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati
sebelumnya:
a. Pasien kambuh
b. Pasien gagal
c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

Tabel 3.5 Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2


Tahap Lanjutan
Tahap Intensif tiap hari 3 kali seminggu
Berat
RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) +
Badan
E(400)
Selama 56 hari Selama 28 hari Selama 20 minggu
30 - 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT
2 tab 4KDT
37 kg + 500 mg Streptomisin inj. + 2 tab Etambutol
38 - 3 tab 4KDT 3 tab 2 KDT
3 tab 4KDT
54 kg + 750 mg Streptomisin inj. + 3 tab Etambutol
55 - 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT
4 tab 4KDT
70 kg + 1000 mg Streptomisin inj. + 4 tab Etambutol
5 tab 4KDT 5 tab 2KDT
71 kg 5 tab 4KDT
+ 1000 mg Streptomisin inj. + 5 tab Etambutol

Tabel 3.6 Dosis paduan OAT Kombipak untuk Kategori 2

35
Etambutol
Lam Tablet Kaplet Tablet Stre
Tabl Jumlah
Tahap a Isonia Rifampi Pirazi ptom
Tablet et hari/kali
Pengo Peng sid sin namid isin
@ 250 @ menelan
batan obat @ 300 @ 450 @ 500 injek
mgr 400 obat
an mgr mgr mgr si
mgr
Tahap
2
Intensi 0,75
bulan 1 1 3 3 - 56
f gr
1 1 1 3 3 - 28
(dosis -
bulan
harian)
Tahap
Lanjut
an
4
(dosis 2 1 - 1 2 - 60
bulan
3x
semin
ggu)

a. Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk


streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.
b. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan
khusus.
c. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan
menambahkan aquadest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml.
(1ml = 250mg).

3) OAT Sisipan (HRZE)


Paduan OAT ini diberikan kepada pasien BTA positif yang pada akhir
pengobatan intensif masih tetap BTA positif. Paket sisipan KDT adalah sama
seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama
sebulan (28 hari) sebagaimana dalam Tabel 3.7.

Tabel 3.7 Dosis KDT Sisipan : (HRZE)

36
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari
Berat Badan
RHZE (150/75/400/275)
30 - 37 kg 2 tablet 4KDT
38 - 54 kg 3 tablet 4 KDT
55 - 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT

Paket sisipan kombipak adalah sama seperti paduan paket untuk tahap
intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari) sebagaimana dalam
Tabel 3.8.

Tabel 3.8 Dosis OAT Kombipak Sisipan : HRZE


Tablet Kaplet Tablet Tablet
Lama Jumlah
Tahap Isoniasi Ripamfisi Pirazina Etamb
nya hari/kali
Pengo d n mid utol
Pengo menelan
batan @300 @450 @500 @250
batan obat
mgr mgr mgr mgr
Tahap
Intensif 1
1 1 3 3 28
(dosis bulan
harian)

3.2 Gagal Jantung


3.2.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia (Perki, 2015). Heart failure adalah adalah sindrom klinis
kompleks yang dihasilkan dari gangguan struktural atau fungsional dari pengisian
ventrikel atau sambungan darah (Butler et al., 2013).

37
3.2.2 Tanda dan Gejala Gagal Jantung
Tanda dan gejala heart failure atau gagal jantung menurut Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) tahun 2015, ditunjukkan pada
tabel 3.9.

Tabel 3.9 Tanda dan Gejala Gagal Jantung (PERKI, 2015)


Gejala khas Tanda khas
Tanda objektif
gagal jantung gagal jantung
gangguan struktur atau
fungsional jantung saat
takikardia, takipnu, ronki
istrahat, kardiomegali, suara
Sesak nafas saat istrahat paru, efusi pleura,
jantung ke tiga, murmur
atau aktifitas, kelelahan, peningkatan tekanan vena
jantung, abnormalitas dalam
edema tungkai jugularis, edema perifer,
gambaran ekokardiografi,
hepatomegali
kenaikan konsentrasi peptida
natriuretik

3.2.3 Klasifikasi Gagal Jantung


Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural jantung atau
berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional NYHA ditunjukkan
pada tabel 3.10.
Tabel 3.10 Klasifikasi Gagal Jantung

Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas


struktural jantung fungsional (NYHA)

Stadium A Kelas I

Memiliki risiko tinggi untuk Tidak terdapat batasan dalam


berkembang menjadi gagal jantung. Tidak melakukan aktifitas fisik.
terdapat gangguan struktural atau Aktifitas fisik sehari-hari tidak
fungsional jantung, tidak terdapat tanda menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
atau gejala sesak nafas.

38
Stadium B Kelas II

Telah terbentuk penyakit struktur jantung Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak
yang berhubungan dengan perkembangan terdapat keluhan saat istrahat, namun
gagal jantung, tidak terdapat tanda atau aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan
gejala. kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Stadium C Kelas III

Gagal jantung yang simtomatik Terdapat batasan aktifitas bermakna.


berhubungan dengan penyakit struktural Tidak terdapat keluhan saat istrahat,
jantung yang mendasari. tetapi aktfitas fisik ringan menyebabkan
kelelahan, palpitasi atau sesak.
Stadium D Kelas IV

Penyakit jantung struktural lanjut serta Tidak dapat melakukan aktifitasfisik


gejala gagal jantung yang sangat bermakna tanpa keluhan. Terdapat gejala saat
saat istrahat walaupun sudah mendapat istrahat. Keluhan meningkat saat
terapi medis maksimal (refrakter). melakukan aktifitas.

Gagal jantung sering juga diklasifikasikan sebagai gagal jantung dengan


penurunan fungsi sistolik (fraksi ejeksi) atau dengan gangguan fungsi diastolik
(fungsi sistolik atau fraksi ejeksi normal), yang selanjutnya akan disebut sebagai
Heart Failure with Preserved Ejection Fraction (HFPEF). Selain itu, myocardial
remodeling juga akan berlanjut dan menimbulkan sindroma klinis gagal jantung
(Perki, 2015).

3.2.4 Diagnosis Gagal Jantung


Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam mendiagnosis gagal jantung
dengan fraksi ejeksi normal. Diagnosis harus memenuhi 3 kriteria sebagai berikut :
a. Terdapat tanda dan/atau gejala gagal jantung
b. Fungsi sistolik ventrikel kiri normal atau hanya sedikit terganggu
(fraksi ejeksi > 45 - 50%)
c. Terdapat bukti disfungsi diastolik (relaksasi ventrikel kiri
abnormal/kekakuan diastolik)

39
3.2.5 Penatalaksanaan Gagal Jantung
3.2.5.1 Tujuan Penatalaksanaan Gagal Jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan penyakit jantung
tetap merupakan bagian penting dalam tata laksana penyakit jantung. Sangatlah
penting untuk mendeteksi dan mempertimbangkan pengobatan terhadap
kormorbid kardiovaskular dan non kardiovaskular yang sering dijumpai (Perki,
2015).

3.2.5.2 Terapi Farmakologi Gagal Jantung


3.2.5.2.1 Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40 %. ACEI memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karenaperburukan
gagal jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. Contoh obat ACEI
untuk pasien gagal jantung yaitu captopril (6,25 mg, 3 kali sehari), lisinopril (2,5-5
mg, sekali sehari), ramipril (2,5 mg, sekali sehari).
ACEI kadang-kadang menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia,
hipotensi simtomatik, batuk dan angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya
diberikan pada pasien dengan fungsi ginjal adekuat dan kadar kalium normal.
Kontraindikasi pemberian ACEI yaitu pada pasien dengan riwayat angioedema,
stenosis renal bilateral, kadar kalium serum >5,0 mmol/L, serum kreatinin >2,5
mg/dL, dan stenosis aorta berat (Perki, 2015).
3.2.5.2.2 Penyekat β
Penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung simtomatik dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi ventrikel dan
kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Contoh obat penyekat β untuk
pasien gagal jantung, yaitu bisoprolol (1,25 mg, sehari sekali), metoprolol (12,5/25
mg, sehari sekali). Kontraindikasi pemberian penyekat β yaitu pada pasien dengan
penyakit asma, blok AV (atrioventrikular) derajat dua dan tiga, sindroma sinus sakit

40
(tanpa pacu jantung permanen), dan sinus bradikardia (nadi < 50 kali/menit) (Perki,
2015).
3.2.5.2.3 Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan pada
semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung simtomatik berat (kelas
fungsional III-IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan fungsi ginjal berat.
Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Contoh obat antagonis aldosteron untuk pasien gagal jantung, yaitu
spironolakton (25 mg, sehari sekali), eplerenon (25 mg sehari sekali, ditingkatkan
dalam 4 minggu sampai 50 mg sehari sekali dengan mempertimbangkan kadar
kalium serum). Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron yaitu pada pasien
dengan konsentrasi serum kalium >5,0 mmol/L, serum kreatinin >2,5 mg/dL,
bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen kalium, serta pada
kombinasi ACEI dan ARB (Perki, 2015).
3.2.5.2.4 Angiotensis Receptor Blockers (ARB)
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan ACEI dan
penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron. Terapi
dengan ARB akan memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB
direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran.
Contoh obat ARB untuk pasien gagal jantung, yaitu losartan (12,5 mg, sekali
sehari), valsartan (40 mg, 2 kali sehari). Kontraindikasi pemberian ARB sama
seperti ACEI, kecuali angioedema, juga pada pasien yang diterapi ACEI dan
antagonis aldosteron bersamaan, serta monitor fungsi ginjal dan serum elektrolit
serial ketika ARB digunakan bersama ACEI (Perki, 2015).
3.2.5.2.5 Hydralazine dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, kombinasi
H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran terhadap ACEI dan ARB
(kelas rekomendasi IIa, tingkatan bukti B). Kontraindikasi pemberian kombinasi

41
H-ISDN yaitu pada pasien hipotensi simtomatik, sindroma lupus, dan gagal ginjal
berat (Perki, 2015).
3.2.5.2.6 Digoksin
Pada pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrial, digoksin dapat digunakan
untuk memperlambat laju ventrikel yang cepat, walaupun obat lain (seperti
penyekat beta) lebih diutamakan. Pada pasien gagal jantung simtomatik, fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≤40 % dengan irama sinus, digoksin dapat mengurangi gejala,
menurunkan angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung, tetapi
tidak mempunyai efek terhadap angka kelangsungan hidup. Dosis awal yang
diberikan yaitu 0,25 mg, sekali sehari pada pasien dengan fungsi ginjal normal.
Pada pasien usia lanjut dan gangguan fungsi ginjal dosis diturunkan menjadi 0,125
atau 0,0625 mg, sekali sehari (Perki, 2015).
3.2.5.2.7 Diuretik
Diuretik direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan tanda klinis atau
gejala kongest. Tujuan dari pemberian diuretik adalah untuk mencapai status
euvolemia (kering dan hangat) dengan dosis yang serendah mungkin, yaitu harus
diatur sesuai kebutuhan pasien, untuk menghindari dehidrasi atau reistensi. Contoh
obat diuretik untuk pasien gagal jantung, yaitu furosemide (20-40 mg), bumetanide
(0,5-1 mg) (Perki, 2015).

3.2.5.3 Terapi yang Tidak Direkomendasikan


Macam-macam terapi yang tidak direkomendasikan untuk pasien dengan
penyakit gagal jantung Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
(PERKI) tahun 2015, ditunjukkan pada tabel 3.11.

42
Tabel 3.11 Terapi yang Tidak Direkomendasikan untuk Pasien Gagal Jantung

Terapi dengan manfaat


Terapi yang dapat membahayakan
yang tidak terbukti

Statin Glitazon

Walaupun telah banyak penelitian- Seharusnya tidak dipergunakan karena


penelitian besar mengenai statin dengan dapat memperburuk gagal jantung dan
data yang membuktikan manfaat statin, menaikan risiko hospitalisasi.
namun sebagain banyak penelitian tersebut
tidak memasukan pasien gagal jantung
dedalam subyeknya. Ada beberapa
penelitian mengenai statin pada gagal
jantung kronis, namun hasilnya tidak
menyatakan manfaat yang jelas statin,
walaupun tidak juga menyatakan bahaya
dari pemberian obat ini.
Renin inhibitors CCB (kecuali amlodipin dan felodipin)

Seharusnya tidak dipergunakan karena


memiliki efek inotropik negative dan
dapat menyebabkan perburukan gagal
jantung.

Antikoagulan oral NSAID dan COX-2 inhibitor

Sampai saat ini belum terdapat data yang Seharusnya dihindari (bila
menyatakan bahwa antikoagulan oral memungkinkan) karena akan
terbukti lebih baik dalam penurunan menyebabkan retensi cairan, perburukan
mortalitas dan morbiditas pada gagal fungsi ginjal dan gagal jantung.
jantung bila dibandingkan dengan plasebo
atau aspirin.

43
Penambahan ARB pada pemberian
ACEI dan MRA

Hal ini (renin inhibitor) tidak


direkomendasikan pada pemberian ACEI
dan MRA tidak direkomendasikan
karena dapat menaikan risiko disfungsi
renal dan hiperkalemia.

3.2.5.4 Terapi Non Farmakologi


3.2.5.4.1 Manajemen Perawatan Mandiri
Manajemen perawatan mandiri mempunyai peran dalam keberhasilan
pengobatan gagal jantung dan dapat memberi dampak bermakna perbaikan gejala
gagal jantung, kapasitas fungsional, kualitas hidup, morbiditas dan prognosis.
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat
memperburuk kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung
(Perki, 2015).
3.2.5.4.2 Ketaatan Pasien Berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup
pasien. Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi
farmakologi maupun non-farmakologi (Perki, 2015).
3.2.5.4.3 Pemantauan Berat Badan Mandiri
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan
berat badan >2 kg dalam tiga hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas
pertmbangan dokter (Perki, 2015).
3.2.5.4.4 Asupan Cairan
Restriksi cairan 1,5-2 liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan
gejala berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien
dengan gejala ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis (Perki,
2015).

44
3.2.5.4.5 Pengurangan Berat Badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan gagal
jantung dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi
gejala dan meningkatkan kualitas hidup (Perki,2015).
3.2.5.4.6 Latihan Fisik
Latihan fisik direkomendasikan kepada semua pasien gagal jantung kronik
stabil. Program latihan fisik memberikan efek yang sama baik dikerjakan di rumah
sakit atau di rumah (Perki, 2015).

3.3 Efusi Pleura


3.3.1 Definisi Efusi Pleura
Efusi pleura merupakan kondisi di mana terdapat akumulasi cairan berlebih
pada cavitas pleuralis yang disebabkan oleh meningkatnya produksi atau
berkurangnya absorpsi cairan pleura. Cairan biasanya bersumber dari pembuluh
darah atau pembuluh limfe, kadang juga disebabkan karena adanya abses atau lesi
yang didrainase ke cavitas pleuralis. Efusi pleura merupakan manifestasi dari
banyak penyakit, mulai dari penyakit paru sampai inflamasi sistemik atau
malignansi (Dwianggita, 2016).
3.3.2 Epidemiologi Efusi Pleura
Oleh karena efusi pleura merupakan manifestasi dari penyakit lain yang
mendasari, maka angka insidennya sulit untuk untuk ditentukan. Masih sedikit
penelitian dan survey yang telah dilakukan. Namun, beberapa studi menuliskan
bahwa estimasi prevalensi efusi pleura adalah 320 dari 100.000 kasus di negara
industri di mana persebaran etiologi tergantung dari prevalensi penyakit yang
mendasarinya.
Frekuensi penyebab efusi pleura juga beragam di bagian tertentu di dunia. Di
negara-negara yang sedang berkembang, efusi pleura akibat tuberculosis dan
parapneumonic sering ditemukan. Sedangkan, di negara-negara maju efusi pleura
banyak diakibatkan oleh gagal jantung, malignansi, dan pneumonia. Di Amerika
Serikat sendiri, insiden efusi pleura diestimasi mencapai 1,5 juta per tahun
(Dwianggita, 2016).

45
3.3.3 Patofisiologi Efusi Pleura
Ada dua tipe penyebab utama dari efusi pleura, yaitu efusi pleura transudatif
dan eksudatif. Efusi pleura transudatif disebabkan oleh beberapa kombinasi dari
peningkatan tekanan hidrostatik atau berkurangnya tekanan onkotik kapiler;
misalnya gagal jantung, sirosis, dan sindrom nefrotik. Efusi pleura eksudatif
disebabkan oleh proses lokal yang mengakibatkan perubahan pada pembentukan
dan penyerapan cairan pleura; peningkatan permeabilitas kapiler menyebabkan
eksudasi cairan, protein, sel, dan komponen serum lainnya Penyebab yang paling
sering terjadi, yaitu pnemonia, malignansi, dan pulmonary embolism, infeksi virus,
dan tuberculosis (Dwianggita, 2016).

3.3.4 Penatalaksanaan Efusi Pleura


Penatalaksanaan efusi pleura harus segera dilakukan sebagai terapi paliatif
setelah diagnosis dapat ditegakkan. Tujuan utama penatalaksanaan segera ini
adalah untuk mengatasi keluhan akibat volume cairan dan meningkatkan kualiti
hidup penderita. Pada pedoman penatalaksanaan KPKBSK menurut PDPI, efusi
pleura dengan cairan masif yang menimbulkan gejala klinis sehingga mengganggu
hidup penderita maka dapat dilakukan torakosentesis berulang atau jika perlu
dengan pemasangan water sealed drainage (WSD).
Pada kasus-kasus tertentu harus dilakukan pleurodesis yaitu dengan
memasukkan bahan tertentu ke rongga pleura. Intervensi bedah dilakukan jika
semua usaha telah dilakukan dan gagal. Pada efusi pleura yang tidak masif dan
gejala klinis ringan terapi khusus tidak dibutuhkan. Efek terapi diharapkan timbul
dari pemberian kemoterapi yang menjadi pilihan terapi kanker paru (Syahruddin,
Hudoyo, Arief, Pulmonologi, & Respirasi, 1997).

46

Anda mungkin juga menyukai