Anda di halaman 1dari 3

1.

Definisi HIV AIDS


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, jumlah kumulatif infeksi HIV sampai dengan Desember 2017 di
Indonesia adalah sebanyak 280.263 kasus, dengan jumlah kumulatif AIDS sebanyak 102.667 kasus terhitung
dari tahun 1987 hingga Desember 2017. Dalam laporan yang sama juga ditemukan bahwa jumlah penemuan
kasus infeksi baru HIV dan AIDS mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data ini mengindikasikan
peningkatan jumlah penularan infeksi HIV di Indonesia (Maidina, 2019).
2. Proses Penularan HIV AIDS
Penularan terjadi bila ada kontak atau percampuran dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, yaitu melalui:

a) Hubungan seksual dengan seseorang yang mengidap HIV. Hubungan seksual ini bisa homoseksual maupun
heteroseksual.
b) Alat jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tindik, tato) yang tercemar oleh HIV. Oleh sebab itu
pemakaian jarum suntik secara bersama sama oleh para pecandu narkotika akan mudah menularkan HIV
diantara mereka bila salah satu diantaranya seorang pengidap HIV.
c) Ibu hamil yang mengidap HIV kepada bayi yang dikandungnya (Immune, Syndrome, & Virus, n.d.).
3. Data Tabel
Bacakan Saja
4. Perjalanan Infeksi HIV dalam Tubuh Manusia Pencegahan HIV AIDS
a. Fase Window Period
Pada infeksi atau masuknya HIV ke dalam tubuh manusia dikenal adanya periode jendela
(Window Period). Yaitu masa di mana orang tersebut telah terinfeksi HIV, tetapi bila dilakukan
pemeriksaan darahnya maka belum menunjukkan hasil apa-apa (masih negatif) yang berarti zat anti
(antibodi) terhadap HIV belum dapat terdeteksi oleh pemeriksaan laboratorium. Periode jendela ini
biasanya berlangsung antara 1-6 bulan dari sejak mulainya infeksi. Namun satu hal yang perlu diingat
adalah bahwa sejak masuknya HIV, seseorang telah menjadi pengidap HIV dan ia dapat menularkan
HIV sepanjang hidupnya. Sehingga walaupun dalam masa periode jendela, orang tersebut sudah
menjadi sumber penularan. Ia dapat menularkan virusnya kepada orang lain pada setiap kesempatan
yang memungkinkan terjadinya penularan itu. Pengidap HIV ini tampak seperti orang sehat lainnya,
karena belum adanya gejala sakit apapun. Namun walaupun demikian, ía dapat menularkan HIV
kepada orang lain.
b. Fase Asimptomatik atau Tanpa Gejala
Pada fase ini seorang pengidap HIV tidak menunjukkan gejala sama sekali. Perlahanlahan
jumlah CD4 dalam darah menurun karena diserang oleh HIV. Kadang ada keluhan berkaitan dengan
pembengkakan di kelenjar getah bening, tempat dimana sel darah putih diproduksi (Immune et al.,
n.d.).
c. Fase Simptomatik atau Bergejala
Pada fase ini seseorang yang mengidap HIV akan mengalami gejala-gejala ringan, namun
tidak mengancam nyawanya, seperti: demam yang bertahan lebih dari sebulan, menurunnya berat
badan lebih dari 10 %, diare selama sebulan (konsisten atau terputus-putus), berkeringat di malam
hari, batuk lebih dari sebulan dan gejala kelelahan yang berkepanjangan (fatigue). Sering kali gejala-
gejala dermatitis mulai muncul pada kulit, infeksi pada mulut dimana lidah sering terlihat dilapisi oleh
lapisan putih, herpes, dan lainnya. Kehadiran satu atau lebih tanda-tanda terakhir ini menunjukkan
seseorang sudah berpindah dari tahap infeksi HIV menuju AIDS. Bila hitungan CD4 turun drastis di
bawah 200 sel/mm3 maka pada umumnya gejala menjadi kian parah sehingga membutuhkan
perawatan yang lebih intensif (Immune et al., n.d.).
d. Fase AIDS
Pada infeksi HIV, dari mulai masuknya HIV ke dalam tubuh sampai timbulnya gejala-gejala
AIDS berlangsung cukup lama yaitu seperti telah disebutkan, antara 7 sampai 10 tahun. Selama 7
sampai 10 tahun ini orang tersebut disebut pengidap HIV, yang disebut juga ODHA (Orang Dengan
HIV/AIDS). Selanjutnya setelah periode 7-10 tahun ini dilalui barulah timbul gejala-gejala AIDS, dan
orang tersebut disebut penderita AIDS. Gejala-gejala dan tanda-tanda sakit munculnya secara
bertahap, bertambah lama bertambah berat sampai akhirnya penderita meninggal dunia (Immune et
al., n.d.).
Tanda-tanda yang khas AIDS, yaitu adanya infeksi oportunistik (penyakit yang muncul
karena kekebalan tubuh manusia sudah sangat lemah) seperti: Pneumocytis Carinii (PCP) atau radang
paru-paru, Candidiasis atau jamur, Sarkoma Kaposis atau kanker kulit, Tuberkulosis (TB), berat
badan menurun drastis, diare tanpa henti, dan penyakit lainnya yang berakibat fatal. Gangguan syaraf
juga sering dilaporkan, diantaranya: hilangnya ketajaman daya ingat, timbulnya gejala gangguan
mental (dementia), dan perubahan perilaku secara progresif. Disfungsi kognitif sering terjadi, dengan
tanda awal diantaranya adalah tremor (gemetar tubuh) serta kelambanan bergerak. Hilangnya
kemampuan melihat dan paraplegia (kelumpuhan kaki) juga bisa timbul di fase ini.

5. Pencegahan HIV Melalui Hubungan Seksual


Pencegahan penularan HIV melalui hubungan seksual dilakukan melalui 6 upaya,yaitu sebagai berrikut
(Maidina, 2019).
a. Tidak melakukan hubungan seksual (Abstinensia) bagi yang belum menikah
b. Setia dengan pasangan (Be Faithful) tetap yang diketahui tidak terinfeksi HIV
c. Menggunakan kondom secara konsisten (Condom use)
d. Menghindari penyalahgunaan obat/zat adiktif (no Drug)
e. Meningkatkan kemampuan pencegahan melalui edukasi termasuk mengobati IMS sedini mungkin
(Education)
f. Melakukan pencegahan lain, antara lain melalui sirkumsisi atau sunat
6. Pencegahan Penularan HIV Melalui Hubungan Non Seksual
a. Uji saring darah pendonor
Aturan pelaksana dari pelayanan darah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2011
tentang Pelayanan Darah (PP 7 tahun 2011). Dalam Pasal 11 ayat (1) PP 7 tahun 2011 tersebut
dijelaskan bahwa tenaga kesehatan wajib melakukan uji saring darah untuk mencegah penularan
penyakit, uji saring darah tersebut juga meliputi pencegahan penularan penyakit HIV/AIDS.
b. Pencegahan HIV pada tindakan medis atau non-medis yang melukai tubuh
.....
c. Pengurangan Dampak Buruk bagi Pengguna Napza Suntik
 Program layanan alat suntik steril dengan konseling perubahan perilaku serta dukungan
psikososial;
 Mendorong pengguna napza suntik khususnya pecandu opiat menjalani program terapi rumatan;
 Mendorong pengguna napza suntik untuk melakukan pencegahan penularan seksual; dan
 Layanan konseling dan tes HIV serta pencegahan/imunisasi hepatitis.

7. Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anaknya (PPIA)


a) Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
Kegiatan pertama terkait dengan pencegahan tramisi HIV ibu ke anak dilakukan dengan pencegahan
primer, artinya mencegah penularan HIV pada perempuan usia produktif, mencegah penularan HIV dari
ibu ke anak secara dini, yaitu baik sebelum terjadinya perilaku hubungan seksual berisiko atau bila terjadi
perilaku seksual berisiko maka penularan masih bisa dicegah, termasuk mencegah ibu dan ibu hamil agar
tidak tertular oleh pasangannya yang terinfeksi HIV. Upaya pencegahan ini tentunya harus dilakukan
dengan penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait penyakit HIV dan AIDS, dan penyakit IMS dan di
dalam koridor kesehatan reproduksi, yang dilakukan dengan menyebarluaskan KIE untuk (Maidina,
2019):
b) Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan dengan HIV;
Kegiatan yang kedua pencegahan juga jelas dilakukan kepada ODHA perempuan. ODHA perempuan
disarankan untuk mendapatkan akses layanan yang menyediakan informasi dan sarana kontrasepsi yang
aman dan efektif untuk mencegah kehamilan yang tidak direncanakan. Konseling yang berkualitas,
penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan
membantu perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari
terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan (Maidina, 2019).
c) Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya;
Kegiatan ketiga terkait dengan pencegahan HIV dari ibu ke anak adalah Pencegahan penularan
HIV dari ibu hamil dengan HIV ke bayi yang dikandungnya. Pelayanan pencegahan ini harus dilakukan
secara berkesinambungan dan komprehensif melalui kegiatan (Maidina, 2019):
1. Layanan AnteNatal Care (ANC) terpadu termasuk penawaran dan tes HIV;
2. Diagnosis HIV;
3. Pemberian terapi antiretroviral;
4. Persalinan yang aman;
5. Tata laksana pemberian makanan bagi bayi dan anak;
6. Menunda dan mengatur kehamilan;
7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak;
8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada anak.
d) Pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan HIV beserta anak dan
keluarganya.
Kegiatan keempat adalah terkait dengan Pemberian Dukungan Psikologis, Sosial dan Perawatan
kepada Ibu dengan HIV beserta Anak dan Keluarganya. Upaya Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke
Anak tidak berhenti setelah ibu melahirkan. Ibu akan hidup dengan HIV di tubuhnya. Ia membutuhkan
dukungan psikologis, sosial dan perawatan sepanjang waktu. Hal ini terutama karena si ibu akan
menghadapi masalah stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Faktor kerahasiaan status HIV
ibu sangat penting dijaga (Maidina, 2019).

8. Pengertian Napza
Baca Slide..

9. Jenis jenis napza


a. Narkotika adalah “Zat yang bisa menimbulkan pengaruh tertentu bagi yang menggunakannya dengan
memasukkan kedalam tubuh.” Pengaruh tersebut bisa berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit,
rangsangan semangat dan halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan. Sifat-sifat tersebut yang
diketahui dan ditemukan dalam dunia medis bertujuan dimanfaatkan bagi pengobatan dan kepentingan
manusia di bidang pembedahan, menghilangkan rasa sakit dan lain-lain (Narkoba & Kalangan, 2017).
b. Psikotropika adalah zat atau obat bukan narkotika, baik alamiah maupun sintesis, yang memiliki khasiat
psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada
19 aktivitas normal dan perilaku (Narkoba & Kalangan, 2017).
c. Zat adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang dapat menimbulkan
ketergantungan pada pemakainya, diantaranya adalah: a. Rokok b. Kelompok alkohol dan minuman lain
yang memabukkan dan menimbulkan ketagihan c. Thiner dan zat lainnya, seperti lem kayu, penghapus
cair dan aseton, cat, bensin yang bila dihirup akan dapat memabukkan (Narkoba & Kalangan, 2017).

10. Keterkaitan napza dengan hiv aids


1. Penggunaan narkoba dengan seks tidak aman
Para pengguna narkoba jenis apapun berpeluang besar (rentan) terkena penyakit HIV/AIDS,
pasalnya, seseorang yang kecanduan narkoba cenderung melakukan seks bebas, gonta ganti pasangan,
bahkan melakukan seks menyimpangi (Multazam, Asrina, Urip, Km, & Ii, 2018).
2. Penggunaan napza dengan jarum suntik
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan penasun menjadi salah satu populasi yang memiliki
risiko tinggi untuk menularkan HIV. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM)
Unika Atma Jaya tahun 2010 melaporkan bahwa penasun tidak hanya menyumbang kasus HIV di
Indonesia melalui perilaku menyuntik yang tidak aman, yaitu perilaku penggunaan alat suntik bekas pakai
atau tidak steril, selain itu juga melalui perilaku seksualnya yang berisiko (Cahyani et al., 2015).

Anda mungkin juga menyukai