Iryani
Iryani
id
SKRIPSI
Oleh:
IRYANI DESPIANTI
NIM K 4404026
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
Oleh:
IRYANI DESPIANTI
NIM K 4404026
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
MOTTO
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ v
HALAMAN ABSTRAK.................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ........................................................................................ viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ ix
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian..................................................................... 8
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9
1. Politik Pemerintah. ............................................................... 9
2. Dekrit ................................................................................... 13
B. Kerangka Pemikiran .................................................................. 17
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 19
1. Tempat Penelitian................................................................. 19
2. Waktu Penelitian .................................................................. 19
B. Metode Penelitian ...................................................................... 19
C. Sumber Data .............................................................................. 20
D. Teknik Pengumpulan commitDatato........................................................
user 22
xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
C. Saran .......................................................................................... 66
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB I
PENDAHULUAN
menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya
dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia.
Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden mundur. Kemudian 14 orang
menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung
dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk
memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik ini, Presiden
Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan dari rakyat dan orang-
orang dekatnya sendiri (Miriam Budiardjo, 2008:133).
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada
wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde
Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Menurut Mahfudz Sidiq (2003: 235) di
masa pemerintahan B. J. Habibie atas desakan elemen-elemen gerakan reformasi,
telah menyediakan sejumlah perangkat yang dibutuhkan bagi pemilu demokratis.
Diantaranya: Hak paten untuk mendirikan partai, adanya penyelenggara pemilu
yang independen, kebebasan pers, kebebasan untuk melakukan pengawasan
pemilu, birokrasi sipil dan militer yang netral, kehadiran pemantau asing, serta
keberanian rakyat untuk melakukan protes terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi. Lembaga DPR pun telah mengesahkan tiga perangkat UU sebagai
landasan penyelenggaan pemilu ini.
Pemerintahan B. J. Habibie hanya bertahan selama 1 tahun 5 bulan (21
Mei 1998 - 20 Oktober 1999) dan dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih
anggota MPR dan DPR pada 7 Juni 1999.
Menjelang pemilihan umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141
dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak
98, namun yang memenuhi syarat mengikuti pemilu hanya 48 partai politik saja.
Tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan pemilihan umum multipartai kedua sejak
tahun 1955. (P. N. H. Simanjutak, 2003:414)
Hasil pemungutan suara pada pemilu 1999 menempatkan lima partai
besar yang menduduki keanggotaan di MPR dan DPR. Sebagai pemenangnya
commit to user
adalah PDI-Perjuangan meraih 35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3
153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% sehingga mendapat
120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 13.336.982 suara atau
12,61% persen mendapat 51 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71% mendapat 58 kursi. Partai Amanat
Nasioal (PAN) memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12% mendapat 34 kursi.
(www.tempointeraktif.com).
Dari hasil pemilu 1999 dapat diketahui terdapat dua partai politik yang
memperoleh suara terbanyak, yakni PDI Perjuangan ( 33,74% ) dan Golkar
(22,44%). Dalam perjalanannya, kedua partai tersebut tidak serta merta bisa
menguasai percaturan politik di DPR. Hal ini dikarenakan munculnya kekuatan
koalisi baru yang dikenal dengan koalisi poros tengah.
Latar belakang kemunculan poros tengah, menurut Untung Wahono,
memiliki beberapa versi yang saling melengkapi. Pertama, dalam rangka menarik
Amien Rais ke kubu Islam. Kedua, dalam rangka memunculkan kekuatan politik
alternatif berbasis Islam. Ketiga, memecah kebekuan alternatif calon presiden RI
pasca Pemilu 1999. Keempat, untuk memberikan jaminan berjalannya agenda
reformasi melalui pendekatan penawaran kekuatan ( Mahfudz Sidiq, 2003:244)
Awalnya tidak ada yang tahu benar kelompok apa Poros Tengah itu,
tetapi menjelang akhir Juni 1999 kelompok ini mulai diperlakukan sebagai blok
kekuasaan ketiga yang dapat dipercaya dan pers menuliskannya dengan huruf
kapital. Awalnya orang beranggapan bahwa setelah pemilu, keseimbangan
kekuasaan terbagi rata antara kaum reformis yang dipimpin oleh PDI-P dan PKB
dan kelompok koalisi yang dipimpin Golkar dan PPP bersama dengan partai-
partai Islam kecil. Kini ada Poros Tengah yang dipimpin oleh Amien Rais dan
kelompok ini bisa menarik PPP, Partai Bulan Bintang (PBB), dan PK. Pada waktu
yang sama, Amien, atas nama Poros Tengah, mulai mengembangkan ide untuk
menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pencalonan ini
dikatakan merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara
kelompok Megawati dan kubu Habibie (Greg Barton, 2010:361)
Pada 20 Oktober 1999, SU MPR sampai pada sesi pemilihan presiden RI
commit tosuara
untuk periode 1999-2004, penghitungan user yang berakhir pukul 14.35 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4
Wakil ketua PKP Sutradara Ginting, Wakil ketua MPR Matori Abdul Jalil dan
wakil ketua MPR Hari Sabarno. Hasil dari pertemuan diberitahukan oleh Amien
Rais pada wartawan yang dikutip oleh Andreas Harsono (2009:16), Amien
menyatakan: “…tidak berapa lama lagi Indonesia akan melihat sebuah
kepemimpinan nasional yang baru, Insya Allah itu semua tergantung Allah, kami
semua disini sudah bersepakat untuk memberikan dukungan moral kepada ibu
Megawati Soekarnoputri”.
Pernyataan yang dibuat oleh Amien Rais tersebut dinilai oleh presiden
Abdurrahman Wahid sebagai ajakan untuk adu kekuatan, dan tidak mau
melakukan kompromi politik, ini dapat dilihat dalam pernyataan presiden dalam
pidatonya pada malam harinya, yang dikutip oleh P. H. Simanjutak (2003: 450).
Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan:
”…Ini saya berarti akan diturunkan oleh mereka. Itu namanya sudah
mengajak adu kekuatan. Sudah tidak mencari kompromi politik lagi. Belum
ada sidang, arahnya sudah kesana. Oleh karena itu, tidak bisa lain. Kalau
memang sudah politis, adu kuat. Ya mari adu kuat. Kekuatan siapa yang
menang. Saya jamin tidak ada tindakan kekerasan dari masyarakat. Karena
itu, saya juga minta aparat keamanan tidak menembak siapapun,” kata
presiden.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman
Wahid 23 Juli 2001?
2. Bagaimana proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid
23 Juli 2001?
3. Bagaimana dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid
23 Juli 2001?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23
Juli 2001.
2. Proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli
2001.
3. Dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23
Juli 2001.
D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian dapat diketahui kegunaan dari setiap kegunaan dari
setiap kegiatan ilmiah, adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Memberikan sumbangan pemikiran tentang berbagai strategi
pemerintah (presiden) dalam mengatasi masalah khususnya
permasalahan politik
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada setiap
pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan
sumber data dalam penulisan sejarah
2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Bagi peneliti sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana
kependidikan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Sebagai salah satu karya ilmiah yang diharapkan dapat melengkapi
koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya di lingkungan
Universitas Sebelas Maret
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Politik Pemerintah
a. Politik
Said Gatara dan Dzulkiah Said (2007:20) menyatakan pengertian politik
sangat beragam tergantung dari konsep politik yang pernah ada dan sedang
berkembang saat ini. Ada lima konsep yakni negara, kekuasaan, keputusan atau
kebijakan, pengalokasian sumber-sumber (distribusi), dan konflik. Dari kelima
konsep ini, lahir pengertian atau definisi politik yang beragam. Lebih lanjut
politik didefinisikan antara lain sebagai :
1) Segala kehidupan atau kegiatan bernegara atau kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan negara;
2) Segala kegiatan mempertahankan dan/ atau merebut kekuasaan;
3) Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan / atau melaksanakan
keputusan politik atau kebijakan publik;
4) Kegiatan yang berkaitan dengan pengalokasian dan penerimaan
sumber-sumber; dan
5) Segala kegiatan berbentuk perselisihan politik atau konflik politik.
9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10
sesuai dengan undang-undang. Sebelum tahun 1960-an yang dipelajari dalam ilmu
politik terfokus pada kegiatan pemerintah. Namun, sejak tahun 1960-an para ahli
melihat kegiatan politik juga berlangsung dalam masyarakat (diluar pemerintah),
seperti partai politik, kelompok kepentingan, pers, dan golongan masyarakat yang
lain. Bahkan pemimpin pemerintahan berasal dari masyarakat melalui pemilihan
umum. Kebijakan umum yang dirumuskan merupakan hasil interaksi dengan
berbagai organisasi, kelompok, dan golongan dalam masyarakat. Itu sebabnya,
mengapa politik dirumuskan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat.
b. Pemerintah
Hartomo dan Arnicun Aziz (1999: 158) berpendapat bahwa
pemerintah tidak dapat dipisahkan dari pengertian negara, sebab negara sebagai
organisasi dan lembaga bangsa memiliki kekuasaan. Pengaturan penggunaan
kekuasaan dan batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang negara.
Demikian pula pengaturan urutan (hirarkhi) kekuasaan serta sumber kekuasaan
negara.
Menurut Ramlan Surbakti (1992: 168) pemerintah (government)
secara etimologis berasal dari kata Yunani, kubernan atau nakhoda kapal.
Artinya, menatap kedepan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan,
menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan
masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa
yang akan datang, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk
menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan
masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Istilah pemerintah dan pemerintahan
berbeda artinya, pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan
pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan
negara.
Menurut C.F. Strong dalam Jimly Asshiddiqie (2005: 19), kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan
istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan
negara. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11
c. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan di dunia terbagi atas sistem pemerintahan
parlementer dan presidensial. Pada umumnya, negara-negara di dunia
menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut, dalam bentuk tipe ideal
yang diwakili negara Inggris (parlementer) dan Amerika Serikat (presidensial).
Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari
dua sistem pemerintahan tersebut.
Shively yang dikutip oleh Ramlan Surbakti (1992: 170) menjelaskan
tentang ciri-ciri sistem kabinet parlementer sebagai berikut:
1) Parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih
secara langsung oleh warga negara yang berhak memilih melalui
pemilihan umum.
2) Anggota dan pemimpin kabinet (perdana menteri) dipilih oleh
parlemen untukl melaksanakan fungsi dan kewenangan eksekutif.
Sebagian besar atau seluruh anggota kabinet biasanya juga menjadi
anggota parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda, yakni
legislatif dan eksekutif.
3) Kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas
dari parlemen
4) Manakala kebijakan tidak mendapat dukungan dari parlemen,
perdana menteri dapat membubarkan parlemen, lalu menetapkan
waktu penyelenggaraan pemilihan umum untuk membentuk
parlemen yang baru.
5) Fungsi kepala negara (perdana menteri) dan fungsi kepala negara
(presiden, raja) dilaksanakan oleh orang yang berlain.
tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari berbagai
sumber termasuk legislatif.
Jimly Asshidiqie (2007 : 321) menyebutkan dalam penjelasan UUD
1945, meskipun sekarang tidak berlaku normatif lagi secara langsung tetapi
sebagai dokumen historis masih tetap dapat dijadikan acuan ilmiah yang
penting, dinyatakan bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada
MPR”. Artinya, meskipun kepala negara dan kepala pemerintahan menyatu
dalam jabatan Presiden, tetapi dianut juga adanya prinsip pertanggungjawaban
Presiden sebagai kepala eksekutif kepada cabang kekuasaan legislatif. Hal
tersebut dapat kita lihat dari sistem pemerintahan negara sebelum amandemen
UUD 1945 yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, yaitu
a) Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR.
b) MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi.
c) Presiden adalah mandataris MPR.
d) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
2. Dekrit
Istilah dekrit berasal dari bahasa latin yakni kata “decretum” yang
mempunyai arti sebagai keputusan yang diambil diluar kebiasaan, sebagai
keputusan bersama (Usep Ranawijaya, 1983:37). Moh. Mahfud M.D. (2010: 108)
mendefinisikan dekrit Presiden sebagai tindakan inkonstitusional yang bisa
menjadi konstitusional jika didukung oleh kekuatan politik atau militer sehingga
dekrit bisa dimenangkan dalam pertarungan politik.
Penggunaan Dekrit menurut Usep Ranawijaya (1983:36) telah
digunakan di zaman Romawi dengan istilah “decretum” yang umumnya diartikan
sebagai suatu perintah dari pejabat-pejabat tinggi. Secara khusus perkataan
tersebut digunakan pada keputusan didalam perkara-perkara perdata diluar
kebiasaan (biasanya perkara perdata diperiksa oleh hakim yang diangkat untuk
pemeriksaan perkara). Perkataan decretum kemudian dipakai juga untuk
keputusan-keputusan kaisar Romawi di dalam perkara yang diperiksanya sendiri
commit todiuser
atas pemohonanan yang berkepentingan dalam instansi pertama atau dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka Pemikiran Merupakan alur penalaran yang didasarkan pada
tema dan masalah penelitian, maka dapat digambarkan sebagai berikut:
Politik Pemerintah
Dekrit Presiden
Keterangan:
Pasca jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto pada mei 1998 terjadi
perubahan dibidang politik pemerintahan. Gerakan reformasi telah membawa
perubahan di berbagai bidang kehidupan. Kehidupan politik dan pemerintahan
yang pada masa sebelumnya terkontrol, berubah menjadi sangat bebas. Pada masa
commit
reformasi diadakan pemilu untuk to user
memilih wakil rakyat yang duduk di DPR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18
sekaligus akan duduk di MPR. MPR hasil pemilu diberi kewenangan untuk
memilih presiden yang sesuai dengan harapan reformasi, yang dimenangkan oleh
Abdurrahman wahid.
Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden ke empat Indonesia
mengemban harapan besar menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Dalam
perjalanannya, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dinilai tidak
maksimal dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dan kebijakan
yang diambil sering menimbulkan kontroversi dimasyarakat yang berdampak
lahirnya konflik dengan pihak DPR. Pihak DPR yang juga sebagai anggota MPR
berupaya untuk menjatuhkan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR. Sikap yang
diambil oleh DPR/MPR tersebut melahirkan perlawanan dari presiden dengan
mengeluarkan dekrit. Dekrit yang pada awalnya menjadi senjata presiden dalam
melakukan perlawanan terhadap pihak MPR, justru menjadi alasan
diberhentikannya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak pengajuan judul
skripsi yaitu bulan November 2011 sampai dengan April 2012.
B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ilmiah diperlukan suatu metode tertentu sesuai dengan
commit
objek dan tujuan penelitian. Metode to user cara kerja yang sistematis yang
merupakan
19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20
mengacu pada aturan baku yang sesuai dengan permasalahan ilmiah yang
bersangkutan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
(Koentjaraningrat, 1977: 12). Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah.
Sartono Kartodirjo (1992: 37) berpendapat bahwa metode penelitian sejarah
adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa
lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut.
Hadari Nawawi (1985: 67) mengatakan bahwa metode sejarah adalah prosedur
pemecahan masalah dengan menggunakan data peninggalan masa lampau untuk
memahami masa sekarang dalam hubungannya dengan masa lampau. Mohammad
Nazir (1988: 33) mengatakan bahwa metode penelitian sejarah merupakan suatu
usaha untuk memberikan interaksi dari bagian trend yang naik turun dari suatu
status generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah,
membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang
akan datang.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
metode historis adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan sumber-sumber
sejarah, menguji dan menelitinya secara kritis mengenai peninggalan masa
lampau sehingga menghasilkan suatu cerita sejarah. Dalam penelitian ini di
usahakan pembuatan rekonstruksi peristiwa sejarah tentang Dekrit Presiden
Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001. Pertimbangan yang mendasar digunakannya
metode sejarah atau historis yaitu karena metode ini lebih sesuai dengan data yang
dikumpulkan, diuji, dan dianalisis secara kritis sumber-sumber sejarah yang
terkait.
C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data
historis atau data sejarah. Data dapat diartikan sebagai suatu fakta atau prinsip
yang diberikan atau ditampilkan, sesuatu yang menjadi dasar suatu argumen
dalam setiap susunan sistem intelektual, materi yang menjadi dasar untuk diskusi,
penetapan suatu kebijakan atau setiap informasi rinci (Helius Sjamsuddin,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21
1996:1). Menurut Moh Nazir (1988: 57) data sejarah adalah sumber-sumber
sejarah yang digunakan dalam penelitian dengan metode sejarah.
Helius Sjamsuddin (1996: 74), sumber sejarah dapat diklasifikasikan
dengan beberapa cara, yaitu: (a) kontemporer (contemporary) dan lama (remote),
(b) formal (resmi) dan informal (tidak resmi), (c) pembagian menurut asal (dari
mana asalnya), (d) isi (mengenai apa), (e) tujuan (untuk apa), yang masing-masing
dibagi lebih lanjut menurut waktu, tempat, dan cara atau produknya. Pembagian
tersebut berkaitan dengan beberapa aspek dari sumber dan dapat membantu dalam
mengevaluasai sumber sejarah. Untuk kepentingan praktis, sumber sejarah dapat
dibagi atau diklasifikasi secara garis besar menjadi dua macam, yaitu
peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan.
Menurut Moh. Nazir (1988: 58 - 59) sumber sejarah dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah
tempat atau gudang penyimpanan yang orisinil dari data sejarah. Data primer
merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari
kejadian masa lampau. Contoh dari data atau sumber primer adalah catatan resmi
yang dibuat pada suatu acara atau upacara, suatu keterangan oleh saksi mata,
keputusan-keputusan rapat, foto-foto, dan sebagainya. Sedangkan sumber
sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa atau catatan-catatan yang
jaraknya telah jauh dari sumber orisinil.
Dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder,
adapun sumber primer yang digunakan berupa artikel, maupun pandangan para
tokoh yang sejaman dan relevan, adapun surat kabar tersebut antara lain: Kompas,
Media Indonesia,Majalah Gatra dan Majalah Tempo. Peneliti juga menggunakan
sumber teks dekrit, artikel maupun pidato serta pandangan politik dari tokoh yang
dibahas dalam penulisan ini yang pada umumnya diterbitkan melalui surat kabar,
dan internet, adapun buku yang memuat semua tersebut, yakni: “Biografi Gus Dur
(The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)” karya Greg Barton,
“Setahun Bersama Gus Dur (Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit) Tulisan
Moh. Mahfud M.D.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22
historis, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis data historis. Teknis analisis historis merupakan analisis yang
mengutamakan pada ketajaman dalam melakukan intepretasi sejarah. Intepretasi
dilakukan karena fakta-fakta tidak dapat berbicara sendiri, fakta mempuyai sifat
yang kompleks sehingga fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta
itu sendiri (Sartono Kartodirjo, 1992: 63)
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam menganalisis data sejarah
didalam penelitian ini adalah pertama peneliti memilah sumber data sejarah yang
diperoleh dari buku-buku literatur, majalah, surat kabar, jurnal berkala dan bentuk
pustaka lainnya, kemudian membandingkan isi sumber yang satu dengan sumber
yang lain, langkah selanjutnya setelah membandingkan sumber data sejarah,
menemukan fakta sejarah tentang latar belakang terjadinya dekrit Presiden
Abdurrahman Wahid, proses dekrit Presiden Abdurrahman Wahid, dan dampak
dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid, kemudian mencocokkan
temuan fakta sejarah tersebut dengan teori yang digunakan untuk disusun menjadi
sebuah karya yang mennyeluruh.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah penelitian yang harus
dijalani seorang peneliti sebagai proses dalam penulisan skripsi yang
menggunakan metode sejarah. Dalam metode penelitian sejarah prosedur
penelitian yang penulis lakukan, yaitu: (1) Heuristik atau pencarian jejak–jejak
sejarah, (2) Kritik, atau kegiatan mengidentifikasi sumber - sember sejarah, (3)
interpretasi, atau penafsiran terhadap sumber – sumber yang relevan, (4)
penyampaian hasil rekontruksi sejarah dalam bentuk petulisan sejarah atau
historiografi.
Berdasar prosedur diatas dapat digambarkan skema metode historis
adalah sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24
Fakta Sejarah
2. Kritik
Setelah mengumpulkan data yang berakitan dengan permasalahan
penelitian, tahap selanjutnya yaitu langkah verifikasi atau kritik. Kritik ini
dimaksudkan untuk menentukan sumber-sumber yang dipilih apakah sumber
tersebut memiliki keabsahan tentang otentitas dan kredibilitas (kesahihan sumber).
Kritik terhadap sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik intern dan kritik
ekstern.
Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu
kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan, palsu, kesemuanya dilakukan
dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam
commit
penelitian ini langkah pertama yang to user adalah dengan melakukan kritik
dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25
3. Interpretasi
Intepretasi merupakan kegiatan menafsirkan data sejarah yang telah
diseleksi pada tahap sebelumnya untuk selanjutnya berusaha menemukan fakta
fakta sejarah yang berkaitan dengan objek dan tujuan penelitian Kemudian
menghubungkan fakta sejarah yang satu dengan fakta sejarah yang lain, sehingga
dapat diketahui hubungan sebab akibat antara peristiwa satu dengan lainnya.
commit
Untuk merekonstruksikan peristiwa to user
sejarah berdasar fakta sejarah yang ada, juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26
4. Historiografi
Sebagai bentuk dari hasil penelitian ini maka dilakukan historiografi,
yaitu pemaparan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan apa
yang ditemukan beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam penelitian ini
bentuk dari historiografi berupa karya ilmiah skripsi dengan judul “Dekrit
Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001”.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN
27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28
(PDI), di tahun 1999 diikuti multi partai. Menjelang pemilihan umum, partai
politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi
Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98, namun yang memenuhi syarat mengikuti
pemilu hanya 48 partai politik saja. Tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan
pemilihan umum multipartai kedua sejak tahun 1955. (P. N. H. Simanjutak,
2003:414)
Hasil pemungutan suara pada pemilu 1999 menempatkan lima partai
besar yang menduduki keanggotaan di MPR dan DPR. Sebagai pemenangnya
adalah PDI-Perjuangan meraih 35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan
153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% sehingga mendapat
120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 13.336.982 suara atau
12,61% persen mendapat 51 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71% mendapat 58 kursi. Partai Amanat
Nasioal (PAN) memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12% mendapat 34 kursi.
(www.tempointeraktif.com).
unggul dari Hamzah Haz dengan memperoleh 396 suara, Hamzah Haz hanya
mendapatkan 284 suara dan 5 suara abstain dari 685 anggota MPR yang hadir.
Kemudian MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden
melalui Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 tertanggal 21 Oktober 1999 (P.N.H.
Simanjuntak, 2003: 419).
Terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid dinilai sebagai suatu
kesuksesan dalam melewati masa-masa transisi pasca pemerintahan orde baru, hal
ini dapat dilihat dari pendapat Liddle, R. William (2001:208) yang
mengungkapkan:
At the end of 1999 Indonesia appeared to have completed a successful
transition to democracy after more than four decades of dictatorship. Free
elections had been held for the national legislature (DPR, Dewan
Perwakilan Rakyat). The People’s Consultative Assembly (MPR, Majelis
Permusyawaratan Rakyat), a uniquely Indonesian institution comprising
members of the DPR plus regional and group representatives, had chosen
a new president, the charismatic traditionalist Muslim cleric
Abdurrahman Wahid (called Gus Dur) and vice-president, Megawati
Sukarnoputri, daughter of Indonesia’s founding father and first president
Sukarno, for the 1999-2004 term. Gus Dur, whose PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa, National Awakening Party) holds only 11% of the
DPR seats, had then appointed a “national unity” cabinet consisting of
representatives of all of the major parties.
Pada akhir tahun 1999 Indonesia telah berhasil melewati masa transisi
menuju demokrasi setelah lebih dari empat dekade dalam
kediktatoran. Pemilu yang bebas telah dilaksanakan untuk memilih
anggota legislatif (DPR, Dewan Perwakilan Rakyat). Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sebuah lembaga khas Indonesia yang
anggotanya terdiri dari anggota DPR ditambah dari utusan daerah dan
utusan golongan, telah memilih presiden baru yakni seorang ulama
kharismatik Abdurrahman Wahid (sering dipanggil Gus Dur) dan wakil
presiden Megawati Soekarnoputri, putri dari pendiri Bangsa Indonesia
dan presiden pertama Soekarno, untuk jangka waktu 1999-2004. Gus
Dur, yang berasal dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) hanya
memperoleh 11% kursi DPR, kemudian membentuk sebuah kabinet
bernama "persatuan nasional" yang anggotanya berasal dari perwakilan
semua partai.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33
mengelak, pada saat yang sama Abdurrahman Wahid tidak dapat menjelaskan
apa yang tengah dikerjakannya, mengelak dan pada akhirnya menyatakan
dukungan akan referendum, Abdurrahman Wahid menjelaskan referendum
yang dimaksud adalah referendum menentukan otonomi dan bukan
kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Abdurrahman Wahid ingin
mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi
jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekah tersebut. Pada 30 Desember,
Abdurrahman Wahid mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin
Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. (Greg Barton, 2010:
384-386).
Ketika Abdurrahman Wahid melawat ke Eropa pada awal Januari
yang berakhir pada bulan Februari 2000, ia meminta Jendral Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan. Karena diduga terlibat dalam pelanggaran HAM pasca jejak
pendapat di Timor Timur (Moh. Mahfud M.D.2010: 94). Dan ketika
Abdurrahman Wahid kembali ke Jakarta, pada tanggal 13 Februari 2000,
Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Abdurrahman Wahid
agar tidak menggantikannya. Namun, Abdurrahman Wahid kemudian
mengubah pikirannya dan memintanya mundur (Greg Barton, 2010:389)
Tanggal 14 Februari 2000, Menteri Dalam Negeri Suryadi Soedirja
dilantik menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik & Keamanan
menggantikan Jendral Wiranto yang dinonaktifkan sementara waktu berkenaan
dengan kasus pelangggaran HAM di Timor timur. Dan tanggal 16 Mei 2000
Jendral Wiranto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menko
Polkam (P.N.H. Simanjuntak, 2003:425).
Pada 24 April 2000, Abdurrahman Wahid melakukan kesalahan yang
merupakan kesalahan yang fatal. Di bawah tekanan untuk mereformasi tim
ekonominya, Abdurrahman Wahid memecat Menteri Negara Perindustrian dan
Perdagangan Jusuf Kalla, yang berasal dari partai Golkar, dan Menteri Negara
BUMN, Laksamana Sukardi commit to user
dari PDI Perjuangan. Alasan yang diberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40
tidak dikenal dalam pemerintahan presidensial. Hak interpelasi dan hak angket
hanya ada dalam sistem parlementer. Jawaban presiden tersebut bukan
membuat tenang anggota DPR tapi justru membuat suasana semakin panas.
Pada malam harinya (malam Jum’at tanggal 21 Juli 2000), Djohan
mendesak presiden untuk memikirkan dengan teliti tanggapan tertulisnya
kepada DPR keesokan harinya. Malam itu juga Djohan dan yang lainnya
merancang surat guna meminta pengertian dan kesabaran anggota-anggota
DPR untuk memberi maaf dan menjanjikan bahwa di waktu yang akan datang
akan diberikan penjelasan yang lebih lengkap mengenai tindakan-tindakan
pemerintah. Akhirnya surat tanggapan diantar kekantor DPR, dan disambut
baik oleh anggota dewan. Selama akhir pekan tiga petisi disebarkan di antara
anggota-anggota DPR, yang terbesar dengan 252 tanda tangan, memaafkan
presiden tetapi mendesak agar memberikan penjelasan terbuka mengenai
pemecatan dua menteri ekonomi tersebut (Greg Barton, 2010:414). Ketegangan
antara DPR dan Presiden untuk sementara mereda setelah Abdurrahman Wahid
selaku presiden meminta maaf kepada ketua DPR, Akbar Tanjung. Permintaan
maaf presiden ternyata cukup efektif untuk meredakan ketegangan politik
memasuki Sidang Tahunan MPR Agustus 2000 (Mahfudz Sidiq, 2003:251).
Tanggal 7 hingga 18 Agustus 2000, Sidang Tahunan MPR untuk
pertama kali diadakan yang dipimpin langsung Ketua MPR Amien Rais.
Tanggal 7 Agustus sebelum dibacakan laporan tahunan presiden kepada MPR,
Presiden dalam kata pengantarnya mengisyaratkan adanya perombakan
struktur kabinet namun belum menentukan bagaimana perombakan kabinet
tersebut. Tanggal 8 Agustus, sebagian besar fraksi-fraksi MPR secara umum
sangat tidak puas dengan kinerja Pemerintahan Abdurrahman Wahid. Fraksi-
fraksi tersebut antara lain PPP, PBB, Reformasi, dan Golkar, sedangkan PDI-P,
TNI/Polri, Utusan Golongan, Daulatul Ummah, dan fraksi Kesatuan
Kebangsaan Indonesia (F-KKI), memberikan catatan atas kinerja presiden.
Selama Sidang Tahunan MPR, presiden diantaranya mengadakan pertemuan
dengan Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, Yuzril Ihza Mahendra dan
commit
Megawati Soekarnoputri (P.N.H. to user 2003:428)
Simanjuntak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42
penjelasan sebab dana bantuan dari Brunei itu sebenarnya adalah dana bantuan
keluarga Sultan melalui Ario Wowor yang kemudian disalurkan melalui Gus
Dur pribadi. Benar saja, keterangan Gus Dur tentang adanya bantuan dana dari
Brunei itu memperuncing perdebatan karena sebelumnya tidak pernah disebut-
sebut. Menurut parpol-parpol di DPR, seharusnya dana tersebut dilaporkan ke
kas negara dan penggunaannya harus dipertanggungjawabkan (Moh. Mahfud
M.D., 2010:98).
Menurut catatan Majalah Tempo (2001 : 38-41), dana yang berasal
dari keluarga Sultan Brunei dalam kasus Bruneigate diperoleh melalui
perantara seorang pengusaha bernama Ario Wowor yang dekat dengan
Presiden Wahid. Keluarga Sultan Brunei memberikan dana tersebut untuk
tujuan kemanusiaan di Indonesia. Ario Wowor menyampaikan kepada presiden
Wahid mengenai bantuan tersebut, Selanjutnya presiden menganjurkan H.
Masnuh seorang bendahara NU untuk menangani bantuan tersebut.
Tanggal 5 September 2000, dengan keputusan DPR-RI No.
05/DPRRI/2000-2001, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk
mengadakan penyelidikan terhadap keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid
dalam kasus milik Yanatera Bulog dan kasus dana bantuan Sultan Brunei.
Pansus yang beranggotakan 50 orang tersebut diketuai oleh Bachtiar
Chamsyah dari Fraksi PPP. Meski pembentukan Pansus dinilai illegal oleh
presiden, namun DPR dalam Rapat Paripurnanya tanggal 29 Januari 2001
menerima laporan hasil kerja Pansus secara aklamasi. Dalam kesimpulannya
pansus menyatakan bahwa presiden patut diduga berperan dalam pencairan dan
penggunaan dana Yanatera Bulog, serta presiden inkonsistensi dalam
pernyataannya mengenai aliran dana dari Sultan Brunei. Rapat Paripurna DPR
tersebut diwarnai aksi walk out-nya 6 orang anggota Fraksi Kebangkitan
Bangsa yang tidak setuju rapat diteruskan. (P.N.H. Simanjuntak, 2003:437)
Sidang paripurna DPR pada tanggal 1 Februari 2001 dengan agenda
mendengarkan pandangan umum fraksi-fraksi atas laporan kerja pansus
buloggate dan bruneigate, menghasilkan keputusan menyetujui dan menerima
commitdan
laporan hasil kerja pansus Buloggate to user
Bruneigate. Pada pukul 22.15 Sidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47
Abdurrahman Wahid tidak terbukti terlibat dalam kedua kasus tersebut (P.N.H.
Simanjuntak, 2003 : 441).
Pada tanggal 29 Mei 2001 Presiden Abdurrahman Wahid menjawab
Memorandum II melalui surat yang ditujukan pada pimpinan DPR. Surat
jawaban presiden setebal tiga halaman dan lampiran setebal 33 halaman
disampaikan oleh Menko Polkam Susilo Bambang Yudoyono kepada ketua
DPR Akbar Tanjung. Dalam suratnya presiden Wahid menyimpulkan bahwa
landasan hukum memorandum II belum jelas, presiden juga menegaskan
berdasarkan TAP MPR No. III tahun 1978 tidak ada keharusan untuk
menjawab memorandum, karena sifatnya hanya peringatan. Menurut presiden
Wahid isi dari memorandum II tidak jelas dan telah keluar dari substansi
memorandum I yang mempersoalkan kasus bulog dan bantuan dari sultan
brunei. Dalam jawabannya terhadap memorandum II dilampirkan juga Surat
dari jaksa agung Marzuki Darusman yang menyatakan Presiden Abdurrahman
Wahid tidak terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan dana bantuan
dari Sultan Brunei. Jawaban Presiden Wahid ini menimbulkan reaksi keras di
kalangan DPR ( Mahfudz Sidiq, 2003 : 454).
Pada tanggal 30 Mei 2001 rapat paripurna DPR yang dipimpin Wakil
Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (F-PDIP) secara resmi meminta MPR
melaksanakan Sidang Istimewa dengan agenda meminta pertanggungjawaban
presiden. Hasil rapat paripurna dituangkan dalam surat keputusan DPR No.
51/DPR RI/IV/2000-2001, DPR menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman
Wahid tidak mengindahkan memorandum II yang isinya menganggap presiden
telah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang
sumpah jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (P.N.H. Simanjuntak,
2003 : 443).
Menindaklanjuti permintaan DPR, pada tanggal 31 Mei 2001
diadakan rapat pimpinan MPR dan rapat konsultasi pimpinan MPR dengan 11
pimpinan Fraksi MPR (P.N.H. Simanjuntak, 2003 : 444). Mahfudz Sidiq
(2003:255) menyebutkan rapatcommit to user
pimpinan MPR memutuskan Badan Pekerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50
MPR akan melakukan rapat dimulai pada tanggal 1 Juni 2001 untuk
mempersiapkan agenda Sidang Istimewa MPR. Rapat Pimpinan MPR juga
memutuskan Sidang Istimewa MPR akan dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus
2001.
Pada awal Juli, Presiden Abdurrahman Wahid berinisiatif untuk
bertemu dengan enam partai besar yakni PDI-Perjuangan, Golkar, PPP, PKB,
PAN, dan PBB di Istana Bogor. Namun, pertemuan ini gagal, karena hanya
Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil yang datang. Seperti yang dimuat
Media Indonesia tanggal 10 Juli 2001 yang berjudul “Pertemuan Wahid-Parpol
Gagal” sebagai berikut:
...Pertemuan Presiden Abdurrahman Wahid dan para pemimpin Parpol
di Istana Bogor, kemarin Gagal. Presiden kemudian memberikan
batasan waktu sampai 20 Juli 2001 kepada DPR/MPR untuk
melakukan rekonsiliasi. Jika tidak, dekrit dalam keadaan bahaya akan
dikeluarkan.
Penegasan itu disampaikan Presiden Wahid dalam keterangan pers Di
Istana Bogor, kemarin. Wahid berada di dalam Istana Bogor dalam
rangka silaturahmi dengan pimpinan parpol. Dari ketua umum enam
parpol besar yang diundang –PDI-Perjuangan, Golkar, PPP, PKB,
PAN, dan PBB—hanya Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil yang
datang.
“karena tidak ada yang datang, dengan ini saya tegaskan pertemuan
gagal, karena pihak parpol tidak bersedia datang, bukan pihak
pemerintah,” tegas Wahid diawal keterangannya…
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54
kepada MPR. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum presiden tidak
bisa membekukan DPR-RI, apalagi membekukan MPR-RI.
b. Dalam hal pembentukan badan guna menyelenggarakan pemilihan
umum dalam waktu satu tahun, MA berpendapat:
Mengenai pembentukan badan guna menyelenggarakan pemilihan
umum dalam jangka waktu satu tahun merupakan kewenangan MPR-RI
berdasarkan ketetapan No. XIV/MPR/1998 tentang perubahan dan
tambahan atas ketetapan MPR No. III/MPR/1988 tentang pemilihan
umum dan penanggung jawaban pemilihan umum adalah presiden
berdasar UU No. 3 tahun 1999 tentang pemilu.
c. Dalam hal pembentukan Partai Golongan Karya, MA berpendapat :
Berdasarkan pasal 17 ayat (2) UU no. 2 tahun 1999 tentang partai
politik yang berwenang untuk membekukan partai adalah Mahkamah
Agung. Sehingga tindakan membekukan partai Golkar oleh presiden
merupakan tindakan mencampuri kewenangan badan peradilan. Selain
itu, alasan presiden untuk membekukan partai Golkar tidak jelas. Oleh
karena itu, pembekuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Atas
pertimbangan hukum diatas, MA Republik Indonesia berpendapat
bahwa dikeluarkannya Dekrit Presiden tertanggal 23 Juli 2001 adalah
bertentangan dengan hukum.
Setelah Fatwa dari MA telah didapat, DPR yang juga menjadi
anggota MPR membawa permasalahan dekrit ini ke sidang istimewa MPR
pada tanggal 23 Juli 2001. Dalam persidangan di sidang istimewa MPR
menghasilkan beberapa ketetapan yang terkait dengan dekrit presiden
Abdurrahman Wahid dan jabatan yang dipegangnya. Pagi hari tanggal 23
Juli 2001, MPR menggelar sidang istimewa dipimpin langsung oleh Ketua
MPR Amien Rais. Dalam persidangan ini, dari 601 anggota MPR yang
hadir, 599 anggota menolak Maklumat Presiden dan hanya ada dua anggota
abstain. Sikap resmi MPR ini dituangkan ke dalam Ketetapan MPR
No.1/MPR/2001 tentang Sikap MPR RI terhadap Maklumat Presiden
commit
Republik Indonesia tanggal to user
23 Juli 2001. Dalam Tap MPR tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56
Muncul lima calon wakil presiden yakni, Hamzah Haz, Akbar Tanjung,
Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumeler dan Siswono Yudohusodo.
Setelah melakukan voting sebanyak tiga putaran, akhirnya Hamzah Haz
terpilih menjadi wakil presiden ke- 9 pada tanggal 26 Juli 2001 setelah
memperoleh 38,8% pada putaran I, 41,7% pada putaran ke II, dan akhirnya
unggul 55,7% pada putaran ke III (www.forum.detik.com/para-wapres-ri).
Pengangkatan Hamzah Haz sebagai wakil presiden diatur dalam
ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2001 tentang pengangkatan wakil presiden
Hamzah Haz sebagai wakil presiden dengan melanjutkan sisa masa jabatan
hingga tahun 2004 (P.N.H Simanjuntak, 2003 : 455).
melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh
MPR. Penjelasan tentang melanggar haluan negara tidak dijabarkan
secara terang. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut, penilaian
subjektif mayoritas anggota DPR dalam pengajuan Sidang Istimewa
menjadi dominan dalam memberhentikan presiden ( Saldi Isra,
2010:68)
Berdasarkan Pasal 7B UUD 1945 Amandemen, DPR tidak bisa
secara langsung mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada
MPR, tetapi dengan meyampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR
bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
menenuhi syarat sebagai presiden. Usul DPR kepada Mahkamah
Konstitusi harus memenuhi kuorum atau dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR. Jika Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden,
maka DPR selanjutnya mengadakan sidang paripurna untuk
meneruskan usulan pemberhentian presiden kepada MPR. Kemudian,
dalam waktu 30 hari terhitung sejak menerima usul DPR, MPR wajib
menggelar sidang istimewa untuk memutuskan usul DPR tersebut.
Keputusan MPR dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir setelah presiden
diberi kesempatan untuk memberi penjelasan dalam rapat paripurna
MPR (Mulyanto dkk, 2010:123-124).
Dalam hal memberhentikan presiden dalam masa jabatannya,
yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi adalah bahwa
Mahkamah konstitusi harus memutus benar atau salahnya pendapat
DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada presiden.
commit totidak
Artinya, Mahkamah Konstitusi usersedang mengadili presiden karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Latar Belakang Terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid disebabkan
adanya permasalahan utama yang dihadapi Abdurrahman Wahid yaitu kondisi
politik yang tidak stabil sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan politik
presiden yang dinilai kontroversial oleh banyak kalangan khususnya
DPR/MPR, sehingga menyebabkan hubungan antara Presiden dengan
DPR/MPR menjadi tidak harmonis. Pernyataan dan kebijakan presiden yang
kontroversial dan dianggap mengecewakan oleh DPR/MPR, antara lain sering
terjadinya pergantian menteri di Kabinet Persatuan Nasional menimbulkan
ketidak senangan partai pendukung yang pernah memilih Abdurrahman Wahid,
sebab sebagian basar menteri yang duduk di kabinet berasal dari partai yang
pernah mendukung terpilihnya Abdurrahman Wahid. Kemudian adanya dugaan
keterlibatan presiden dalam kasus Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian
dibawa ke ranah politik menghasilkan Memorandum I dan Memorandum II
yang dikeluarkan DPR untuk Presiden Abdurrahman Wahid. Dekrit presiden
Abdurrahman wahid merupakan bentuk perlawanan Presiden Abdurrahman
Wahid atas politisasi kasus Bruneigate dan Buloggate terhadap upaya
menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid melalui Memorandum I dan
Memorandum II serta percepatan Sidang Istimewa MPR.
2. Proses dekrit Presiden Abdurrahman Wahid, Maklumat Presiden yang pada
dasarnya adalah sebuah dekrit yang dibacakan oleh juru bicara presiden Yahya
Staquf pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 01.10 WIB di Istana Negara. Dekrit itu
tidak memperoleh dukungan dari lembaga negara lainnya seperti Mahkamah
Agung, Polri dan TNI, sehingga tidak dapat terlaksana sesuai dengan keinginan
Presiden Abdurrahman Wahid.
commit to user
64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65
B. Implikasi
1. Teoritis
Kehidupan politik di Indonesia tahun 1998-1999, mengalami masa
transisi dari rezim Orde Baru di bawah presiden Soeharto menuju era reformasi.
Untuk melaksanakan agenda reformasi, maka dilaksanakan pemilu pada 1999.
Pemilu pertama pada era reformasi ini berdampak pada perubahan dibidang
politik dengan ditandai banyak lahirnya partai politik baru yang ikut menjadi
peserta. Pada pemilu 1999 tidak terjadi lagi adanya dominasi mutlak suatu partai
politik dibandingkan dengan pemilu pada masa Orde Baru dimana Golkar selalu
memperoleh kemenangan mutlak dari partai lain. Anggota MPR dari Pemilu 1999
melakukan Sidang Umum pada Oktober 1999 dengan agenda pemilihan presiden
baru.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid kondisi politik belum
membaik dan berdampak pada bidang lain sebagai akibat dari kebijakan dan
commit
pernyataan-pernyataan Abdurrahman to user
Wahid yang dianggap kontroversial. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66
menimbulkan konflik dengan DPR dimana sebagian besar anggota DPR berasal
dari partai politik yang awalnya mendukung Abdurrahman Wahid. Sebagian besar
anggota koalisi poros tengah antara lain Golkar, PAN, dan PPP menarik
dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid yang kemudian mendukung
dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR dengan Agenda memberhentikan presiden
Abdurrahman Wahid. Sebagai upaya penyelamatan, Abdurrahman Wahid
mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 23 Juli 2001. Dekrit presiden menurut
para ahli didefinisikan sebagai tindakan inkonstitusional yang bisa menjadi
konstitusional jika didukung oleh kekuatan politik atau militer sehingga dekrit
bisa dimenangkan dalam pertarungan politik. Namun ternyata dekrit presiden
Abdurrahman Wahid tidak mendapat dukungan politik dan militer sehingga
menyebabkan jatuhnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.
2. Praktis
Dari penelitian ini dapat kita ketahui bahwa pada masa transisi terjadi
perubahan politik yang menjadi sangat bebas dimana berdampak pada sikap lebih
menonjolkan konflik daripada usaha bersama untuk menyelesaikan masalah
dengan sikap saling menghargai. Hal ini nampak jelas ketika presiden dan DPR
sebagai lembaga penyelenggara negara tidak bisa bekerja sama dengan baik.
Pada masa sekarang ini, walaupun tidak dapat dilaksanakan adanya
Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 23 Juli 2001 secara tidak langsung
berperan dalam perbaikan sistem kenegaraan Indonesia dimana adanya
pengaturan dan pembatasan kewenangan presiden, MPR dan lembaga negara lain
melalui UUD 1945 Amandemen agar tidak terjadi pengulangan sejarah dimana
tidak ada penyelesaian yang baik jika terjadi konflik antar lembaga penyelenggara
negara.
C. Saran
Dari hasil penelitian ini maka disarankan kepada :
1. Kepada setiap Warga Negara Indonesia, hendaknya selalu menjunjung tinggi
toleransi dalam menghadapi commit to userdan keanekaragaman yang ada.
perbedaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67
2. Peneliti lain
Pencarian data berupa sumber primer dalam proses penelitian mengenai Dekrit
Presiden Abdurrahman Wahid ini cukup sulit dikarenakan data yang tersedia
lebih banyak memojokan Abdurrahman Wahid, serta data yang dimiliki ANRI
belum memiliki data yang mencakup Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Untuk itu jika ingin meneliti mengenai Pemerintahan Abdurrahman Wahid
data bisa di ambil dari situs internet serta Media Massa yang menyorot
Abdurrahman Wahid pada saat itu.
commit to user