Anda di halaman 1dari 80

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID


23 JULI 2001

SKRIPSI

Oleh:
IRYANI DESPIANTI
NIM K 4404026

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
2012
i
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID


23 JULI 2001

Oleh:

IRYANI DESPIANTI
NIM K 4404026

Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
2012

iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

Iryani Despianti. DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID 23 JULI


2001, Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, April. 2012
Penelitian bertujuan untuk mengetahui (1) Latar belakang dikeluarkannya
dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001. (2) Pelaksanaan
dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli 2001. (3) Dampak dari
dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001 bagi
Abdurrahman Wahid sebagai presiden pada saat itu serta sistem pemerintahan
Indonesia setelah dikeluarkannya dekrit.
Penelitian ini menggunakan metode historis dengan langkah-langkah,
heuristik, kritik, interpretasi, historiografi. Sumber data yang digunakan adalah
sumber tertulis berupa surat kabar (Kompas, Media Indonesia), dan sumber data
sekunder berupa buku. Teknik pengumpulan data menggunakan studi
kepustakaan. data dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data historis
yang mengutamakan ketajaman interpretasi sejarah.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: (1) Latar belakang
dikeluarkannya dekrit oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 23 Juli
2001 adalah: (a) Adanya hubungan yang tidak harmonis antara presiden dengan
DPR/MPR sebagai akibat pernyataan dan kebijakan presiden yang kontroversial
(b) Dekrit presiden Abdurrahman Wahid merupakan perlawanan presiden atas
politisasi kasus Bruneigate dan Buloggate yang bertujuan menjatuhkan presiden
Abdurrahman Wahid melalui memorandum I dan memorandum II (c) Percepatan
Sidang Istimewa MPR. (2) Dekrit presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001
tidak dilaksanakan karena tidak didukung oleh parlemen, TNI dan POLRI. (3)
Dampak dikeluarkannya dekrit tanggal 23 Juli 2001 adalah: (a) Presiden
Abdurrahman Wahid diberhentikan sebagai presiden melalui ketetapan MPR RI
No II/MPR/2001. (b) Penetapan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden
melalui ketetapan MPR RI No. III/MPR/2001 dan Hamzah Haz sebagai wakil
presiden melalui ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2001. (c) Terjadi perubahan
pada sistem pemerintahan presidensial yaitu mengatur adanya pembatasan dan
pembagian kekuasaan kelembagaan negara yaitu pengangkatan presiden
berdasarkan kedaulatan rakyat, presiden tidak dapat membubarkan DPR serta
mekanisme pemberhentian presiden oleh MPR lebih dipersulit karena
membutuhkan pembuktian dari Mahkamah Konstitusi.

Kata kunci : Presiden Abdurrahman Wahid, Dekrit Presiden 23 Juli 2001

commit to user

vi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT

Iryani Despianti. DEKRIT PRESIDEN ABDURRAHMAN WAHID 23 JULI


2001, Minithesis. Surakarta: teacher training and education faculty of Sebelas
Maret University Surakarta, April. 2012.
The aims of the research were (1) To know the background of
Abdurahman Wahid issued the presidential decree on 23rd July 2001 (2) To know
the implementation of Abdurahman Wahid’s presidential decree on 23rd July 2001
(3) To know the impact of Abdurrahman Wahid issued the presidential decree on
23rd July 2001.
This research used historical method. The steps were heuristic, critical,
interpretation, and historiography. Data sources used in this research is written
sources which cover primary and secondary sources. The primary source used
were in the form of article and the opinion of personages at that time and the
relevant personages. The newspaper (Kompas and Media Indonesia). The
secondary source was a book. The data were analyzed by using historical data
analysis technique that emphasized to the sharpness of the historical
interpretation.
Based on the research, it can be concluded that: (1) The background of
Abdurahman Wahid issued the presidential decree on 23rd July 2001 is: (a) the
inharmonic relationship between the president and the DPR as the result of the
President’s controversial statement and policy which considered being
disappointing by the MPR/DPR. (b) Abdurahman Wahid’s presidential decree
was the president’s opposition for politicizing the Bruneigate and Buloggate cases
with goal of dropping the president through the 1st and 2nd memorandums. (c) the
acceleration of the MPR special memorandum sessions. (2) The enforcement of
the decree on 23rd July 2001 could not be implemented because the TNI and
POLRI were not support it. (3) the result of the issued of the presidential decree
on 23rd July 2001 were: (a) The president Abdurrahman Wahid was dismissed as
President trough the determination of MPR RI No. II/MPR/2001. (b) Determining
Megawati Soekarnoputri as president through the determination of MPR RI No.
III/MPR/2001 and Hamzah Haz as vice president through the determination of
MPR RI No. IV/MPR/2001. (c) The government system changed to be
presidential system which is president is directly elected by the citizens through
the election and the mechanism of president demission by the MPR become more
difficult because it needs constitutional court’s verification.

Key Words : The President Abdurrahman Wahid, The Presidential decree on


July 23rd, 2001.

commit to user

vii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

MOTTO

”Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka


merubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tidak ada yang dapat
menolaknya, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain-Nya”
(Q.S. Ar Ra’du: 11)

commit to user

viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:


• Bapak dan Ibu tercinta...
• Mas Pipink dan Mbak Tini
yang kubanggakan
• Sahabatku ’Hierogliphers’
• Teman-teman Sejarah ’04
terima kasih atas persahabatan
dan hari-hari yang indah
• Almamater

commit to user

ix
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa ta’ala,


karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini akhirnya dapat diselesaikan, untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Dalam proses penulisan ini terdapat beberapa hambatan yang
menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun berkat
dorongan dan bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan yang timbul dapat
teratasi. Untuk itu atas segala bantuannya, disampaikan terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Sebelas
Maret Surakarta yang telah memberikan ijin untuk penyusunan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Sosial
FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan ijin
penyusunan skripsi ini.
4. Drs. Djono, M.Pd selaku pembimbing I yang telah dengan perhatian dan sabar
dalam memberi pengarahan dan bimbingan.
5. Dra. Sri Wahyuni, M. Pd selaku pembimbing II yang telah dengan perhatian
dan sabar dalam memberikan pengarahan dan bimbingan.
6. Semua dosen Program Pendidikan Sejarah FKIP UNS.
7. Ayah dan Ibu tercinta yang telah memberikan doa dan kasih sayang yang tulus
8. Sahabatku Ana, Ela, Ega, Devi, Diah, Farida, Mba Nur, dan Yanik atas semua
bantuan, dukungan dan perhatian kalian selama ini.
9. Almamater.
Penulis menyadari dalam skripsi ini masih ada kekurangan, namun
diharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan
juga dunia pendidikan.
Surakarta, April 2012

commit to user Penulis

x
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.......................................................................................... i
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... ii
HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN............................................................................ v
HALAMAN ABSTRAK.................................................................................... vi
HALAMAN MOTTO ........................................................................................ viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ ix
KATA PENGANTAR ....................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi

BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Perumusan Masalah ................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian....................................................................... 8
D. Manfaat Penelitian..................................................................... 8
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ....................................................................... 9
1. Politik Pemerintah. ............................................................... 9
2. Dekrit ................................................................................... 13
B. Kerangka Pemikiran .................................................................. 17
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................... 19
1. Tempat Penelitian................................................................. 19
2. Waktu Penelitian .................................................................. 19
B. Metode Penelitian ...................................................................... 19
C. Sumber Data .............................................................................. 20
D. Teknik Pengumpulan commitDatato........................................................
user 22

xi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

E. Teknik Analisis Data ................................................................. 22


F. Prosedur Penelitian .................................................................... 23
1. Heurisrik............................................................................... 24
2. Kritik .................................................................................... 24
3. Intepretasi ............................................................................. 24
4. Historiografi ......................................................................... 26
BAB IV. HASIL PENELITIAN
A. Kondisi Umum Politik di Indonesia tahun 1998-1999 .............. 27
1. Kondisi Umum Politik di Indonesia sebelum Pemilihan
Presiden 1999. ..................................................................... 27
2. Pemilihan Presiden di Indonesia tahun 1999 ...................... 29
3. Sosok Abdurrahman Wahid ................................................ 33
B. Latar Belakang Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid
23 Juli 2001 ............................................................................... 34
1. Kabinet Persatuan Nasional ................................................ 35
2. Kabinet Persatuan Nasional II ............................................ 42
C. Proses Terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid
23 Juli 2001 ............................................................................... 51
D. Dampak yang Timbul atas Dikeluarkannya Dekrit
23 Juli 2001 ............................................................................... 54
1. Pencabutan Mandat dan Pemberhentian Presiden
Abdurrahman Wahid oleh MPR RI .................................... 54
2. Penetapan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden
dan Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden Republik
Indonesia ............................................................................ 56
3. Terjadi Perubahan Sistem Pemerintahan Presidensial ........ 58
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 64
B. Implikasi .................................................................................... 65
1. Teoritis................................................................................. 65
commit to user
2. Praktis .................................................................................. 66

xii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

C. Saran .......................................................................................... 66

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 68


LAMPIRAN ....................................................................................................... 72

commit to user

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring
dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Memasuki pertengahan tahun 1997
beberapa negara Asia seperti Korea, Thailand, dan Malaysia mulai terlanda krisis
moneter. Kekhawatiran banyak pihak bahwa krisis itu bakal menulari Indonesia
menjadi kenyataan. Bulan juli 1997 nilai rupiah terus merosot. Di bulan agustus
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah dari Rp. 2.575,- menjadi Rp.
2.603,-. Bulan berikutnya turun lagi menjadi Rp. 3.000,-per dolar AS. Bulan
oktober menjadi Rp. 3.845,- per Dolar AS. Dalam bulan-bulan berikutnya
kemerosotan nilai rupiah lebih tidak masuk akal lagi. Pada bulan mei 1998 rupiah
diperdagangkan Rp. 10.000,- dan dalam seminggu berikutnya anjlok menjadi Rp.
12.600,- ( Muhamad Hisyam, 2003: 56).
Dampak dari kemerosotan nilai tukar rupiah mengakibatkan harga barang
kebutuhan pokok melambung tinggi dan menurunnya daya beli masyarakat. Hal
ini menimbulkan aksi demonstrasi menuntut diturunkannya harga barang yang
terjadi di berbagai kota besar di Indonesia.
Aksi-aksi rakyat yang semula bermotifkan ekonomi dengan cepat
berkembang menjadi aksi politik, yaitu menuntut pengunduran diri Soeharto.
Gejolak politik ini terkait dengan situasi perekonomian yang semakin buruk
akibat krisis moneter yang menghantam sebagian kawasan asia seperti Thailand,
Korea Selatan, dan Filipina. Di Indonesia nilai tukar rupiah yang terus melorot,
menimbulkan rush: orang ramai-ramai melepas rupiah untuk ditukar dolar
Amerika. Harga-harga membumbung tidak terkendali (Tjipta Lesmana, 2009:
117).
Pelopor penentang Presiden Soeharto dan Orde Baru adalah para
mahasiswa dan pemuda. Gerakan mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung
MPR/DPR di Senayan pada bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan
commitOrde
Presiden Soeharto dan tumbangnya to user
Baru. Kekuatan Mahasiswa yang
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
2

menyebabkan sulitnya mereka diusir dari gedung tersebut dan semakin kuatnya
dukungan para mahasiswa dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia.
Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden mundur. Kemudian 14 orang
menteri Kabinet Pembangunan menyatakan penolakan mereka untuk bergabung
dengan kabinet yang akan dibentuk oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk
memenuhi tuntutan mahasiswa. Melihat perkembangan politik ini, Presiden
Soeharto merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan dari rakyat dan orang-
orang dekatnya sendiri (Miriam Budiardjo, 2008:133).
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan
diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada
wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde
Baru dan dimulainya Orde Reformasi. Menurut Mahfudz Sidiq (2003: 235) di
masa pemerintahan B. J. Habibie atas desakan elemen-elemen gerakan reformasi,
telah menyediakan sejumlah perangkat yang dibutuhkan bagi pemilu demokratis.
Diantaranya: Hak paten untuk mendirikan partai, adanya penyelenggara pemilu
yang independen, kebebasan pers, kebebasan untuk melakukan pengawasan
pemilu, birokrasi sipil dan militer yang netral, kehadiran pemantau asing, serta
keberanian rakyat untuk melakukan protes terhadap penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi. Lembaga DPR pun telah mengesahkan tiga perangkat UU sebagai
landasan penyelenggaan pemilu ini.
Pemerintahan B. J. Habibie hanya bertahan selama 1 tahun 5 bulan (21
Mei 1998 - 20 Oktober 1999) dan dilaksanakan pemilihan umum untuk memilih
anggota MPR dan DPR pada 7 Juni 1999.
Menjelang pemilihan umum, partai politik yang terdaftar mencapai 141
dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi Pemilihan Umum menjadi sebanyak
98, namun yang memenuhi syarat mengikuti pemilu hanya 48 partai politik saja.
Tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan pemilihan umum multipartai kedua sejak
tahun 1955. (P. N. H. Simanjutak, 2003:414)
Hasil pemungutan suara pada pemilu 1999 menempatkan lima partai
besar yang menduduki keanggotaan di MPR dan DPR. Sebagai pemenangnya
commit to user
adalah PDI-Perjuangan meraih 35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
3

153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% sehingga mendapat
120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 13.336.982 suara atau
12,61% persen mendapat 51 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71% mendapat 58 kursi. Partai Amanat
Nasioal (PAN) memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12% mendapat 34 kursi.
(www.tempointeraktif.com).
Dari hasil pemilu 1999 dapat diketahui terdapat dua partai politik yang
memperoleh suara terbanyak, yakni PDI Perjuangan ( 33,74% ) dan Golkar
(22,44%). Dalam perjalanannya, kedua partai tersebut tidak serta merta bisa
menguasai percaturan politik di DPR. Hal ini dikarenakan munculnya kekuatan
koalisi baru yang dikenal dengan koalisi poros tengah.
Latar belakang kemunculan poros tengah, menurut Untung Wahono,
memiliki beberapa versi yang saling melengkapi. Pertama, dalam rangka menarik
Amien Rais ke kubu Islam. Kedua, dalam rangka memunculkan kekuatan politik
alternatif berbasis Islam. Ketiga, memecah kebekuan alternatif calon presiden RI
pasca Pemilu 1999. Keempat, untuk memberikan jaminan berjalannya agenda
reformasi melalui pendekatan penawaran kekuatan ( Mahfudz Sidiq, 2003:244)
Awalnya tidak ada yang tahu benar kelompok apa Poros Tengah itu,
tetapi menjelang akhir Juni 1999 kelompok ini mulai diperlakukan sebagai blok
kekuasaan ketiga yang dapat dipercaya dan pers menuliskannya dengan huruf
kapital. Awalnya orang beranggapan bahwa setelah pemilu, keseimbangan
kekuasaan terbagi rata antara kaum reformis yang dipimpin oleh PDI-P dan PKB
dan kelompok koalisi yang dipimpin Golkar dan PPP bersama dengan partai-
partai Islam kecil. Kini ada Poros Tengah yang dipimpin oleh Amien Rais dan
kelompok ini bisa menarik PPP, Partai Bulan Bintang (PBB), dan PK. Pada waktu
yang sama, Amien, atas nama Poros Tengah, mulai mengembangkan ide untuk
menjadikan Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Pencalonan ini
dikatakan merupakan cara untuk menjaga keseimbangan kekuasaan antara
kelompok Megawati dan kubu Habibie (Greg Barton, 2010:361)
Pada 20 Oktober 1999, SU MPR sampai pada sesi pemilihan presiden RI
commit tosuara
untuk periode 1999-2004, penghitungan user yang berakhir pukul 14.35 WIB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
4

menghasilkan Abdurrahman Wahid memperoleh 373 suara dan Megawati meraih


313 suara. Dengan demikian, MPR akhirnya menetapkan Abdurrahman Wahid
sebagai presiden RI periode 1999-2004 (Mahfudz Sidiq, 2003: 245).
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, hubungan yang dibangun
antara presiden dan DPR tidak harmonis karena banyak konflik yang lahir dari
kebijakan yang dikeluarkan presiden. Awal konflik presiden dengan DPR adalah
dari kebijakan pembubaran Departemen Sosial dan Departemen Penerangan.
Menurut Khamani Zeda, meski kebijakan itu cukup penting untuk menumbuhkan
budaya demokrasi dengan memberikan ruang publik yang bebas bagi media
massa dan sekaligus upaya pemberdayaan civil society yang selama ini selalu
dikooptasi negara, namun kebijakan itu tak ubahnya seperti menciptakan musuh
baru bagi pemerintahannya ( Mahfudz Sidiq, 2003: 250)
Kebijakan-kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid dalam menjalankan
pemerintahan sering menimbulkan konflik dengan DPR. Ketegangan ini lebih
terlihat sebagai petarungan politik antara presiden dengan partai politik yang ada.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya perubahan konstelasi politik di DPR yaitu
upaya untuk mengganti presiden. PDI Perjuangan sebagai partai pemenang pada
pemilu 1999 yang harus menerima kekalahan pada saat pemilihan presiden di
MPR, mendapat dukungan dari partai politik yang tergabung dalam poros tengah
yang semula mendukung Abdurrahman Wahid guna mengangkat Megawati
Soekarnoputri duduk di kursi kepresidenan. Dukungan didapat pada saat
pertemuan pimpinan partai politik tanggal 22 Juli 2001 di kediaman Megawati.
Pertemuan ini meningkatkan ketegangan antara presiden dengan pimpinan partai
politik yang juga pimpinan di DPR/MPR. P.N.H Simanjuntak, 2003: 450
menyebutkan ketegangan antara presiden dengan pimpinan DPR/MPR ( yang juga
pimpinan Partai Politik) mencapai puncaknya ketika pada tanggal 22 Juli 2001,
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri (yang juga sebagai Wakil
Presiden) mengadakan pertemuan dengan pimpinan partai politik di kediamannya.
Hadir dalam pertemuan tersebut Ketua Umum Partai Golkar ( ketua DPR), Ketua
Umum PAN Amien Rais ( ketua MPR), ketua umum PPP Hamzah Haz, Presiden
commit
Partai Keadilan Hidayat Nur Wahid, to user
Ketua Umum PBB Yuzril Ihza Mahendra,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
5

Wakil ketua PKP Sutradara Ginting, Wakil ketua MPR Matori Abdul Jalil dan
wakil ketua MPR Hari Sabarno. Hasil dari pertemuan diberitahukan oleh Amien
Rais pada wartawan yang dikutip oleh Andreas Harsono (2009:16), Amien
menyatakan: “…tidak berapa lama lagi Indonesia akan melihat sebuah
kepemimpinan nasional yang baru, Insya Allah itu semua tergantung Allah, kami
semua disini sudah bersepakat untuk memberikan dukungan moral kepada ibu
Megawati Soekarnoputri”.
Pernyataan yang dibuat oleh Amien Rais tersebut dinilai oleh presiden
Abdurrahman Wahid sebagai ajakan untuk adu kekuatan, dan tidak mau
melakukan kompromi politik, ini dapat dilihat dalam pernyataan presiden dalam
pidatonya pada malam harinya, yang dikutip oleh P. H. Simanjutak (2003: 450).
Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan:
”…Ini saya berarti akan diturunkan oleh mereka. Itu namanya sudah
mengajak adu kekuatan. Sudah tidak mencari kompromi politik lagi. Belum
ada sidang, arahnya sudah kesana. Oleh karena itu, tidak bisa lain. Kalau
memang sudah politis, adu kuat. Ya mari adu kuat. Kekuatan siapa yang
menang. Saya jamin tidak ada tindakan kekerasan dari masyarakat. Karena
itu, saya juga minta aparat keamanan tidak menembak siapapun,” kata
presiden.

Bentuk nyata dari perlawanan presiden Abdurrahman Wahid adalah


dengan mengeluarkan dekrit. Isi Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid yang
dibacakan pada hari Senin 23 Juli 2001 pukul 01:10 WIB yaitu: (1) Membekukan
MPR dan DPR, (2) Mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat dan mengambil
tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pemilihan umum dalam waktu satu tahun, (3) Menyelamatkan gerakan Reformasi
total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar
sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Maklumat ini langsung disikapi
oleh para elite politik di Senayan dengan mempercepat Sidang Istimewa MPR.
Hanya delapan jam setelah Maklumat diumumkan presiden, MPR bersidang dan
memberhentikan Presiden. (Tjipta Lesmana, 2009: 215).
Di Indonesia dekrit pertama kali diberlakukan pada masa pemerintahan
Presien Soekarno. Dekrit presiden 1959 dilatar belakangi oleh kegagalan Badan
commit to user
Konstituante untuk menetapkan UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
6

Anggota konstituante mulai bersidang pada 10 November 1956, namun sampai


tahun 1958 belum berhasil merumuskan UUD yang diharapkan. Sementara
dikalangan masyarakat berpendapat untuk kembali ke UUD 1945 semakian kuat.
Menanggapi hal itu, Presiden Soekarno menyampaikan amanat di depan Sidang
Konstituante pada 22 April 1959 yang menganjurkan untuk kembali ke UUD
1945. Pada 30 Mei 1959 konstituante melaksanakan pemungutan suara, hasilnya
269 suara menyetujui untuk kembali ke UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju.
Meskipun yang menyatakan setuju lebih banyak tetapi pemungutan suara ini harus
diulang, karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum. Pemungutan suara kembali
dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara ini
Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan,
Konstituante memutuskan reses yang ternyata merupkan akhir dari upaya
penyusunan UUD. Pada 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekrit yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka.
Isi dari Dekrit tersebut antara lain : (1) Pembubaran Konstituante, (2)
Pemberlakuan kembali UUD '45 dan tidak berlakunya UUDS 1950, (3)
Pembentukan MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya
(A.B. Lapian, dkk., 1996: 147-149).
Dekrit presiden Soekarno tanggal 5 juli 1959 dapat dilaksanakan dengan
baik. Sedangkan dekrit yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid
tanggal 23 Juli 2001 tidak dapat dilaksanakan dan menjadi penyebab jatuhnya
beliau dari kursi kepresidenan.
Latar belakang terjadinya dekrit presiden Abdurrahman Wahid pada
tanggal 23 Juli 2001 bermula dari pemilihan umum 1999, hasil pemilihan umum
1999 ini dimenangkan oleh PDI-Perjuangan, sebagai ketua partai pemenang
pemilu 1999 Megawati diperkirakan menjadi presiden selanjutnya, tapi
kemenangan pada pemilihan umum tersebut tidak mutlak dimenangkan oleh PDI-
Perjuangan, sehingga pencalonan Megawati sebagai presiden terganjal dengan
kemunculan Poros Tengah dimotori oleh Amien Rais, poros tengah ini
mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden. Dan pada hasil
pemilihan presiden dimenangkan commit to user
oleh Abdurrahman Wahid dengan mengalahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

Megawati sebagai presiden Indonesia. Di masa pemerintahan Abdurrahman


Wahid, hubungan yang dibangun antara presiden dan DPR tidak harmonis karena
banyak konflik yang lahir dari kebijakan yang dikeluarkan presiden. Sehingga
menimbulkan kekacauan politik. Puncaknya presiden Abdurrahman Wahid
memberlakukan dekrit Presiden tertanggal 23 Juli 2001.
Pagi hari tanggal 23 Juli 2001, menanggapi dekrit presiden Abdurrahman
Wahid MPR Menggelar sidang istimewa dipimpin langsung oleh Ketua MPR
Amien Rais dengan agenda meminta pertanggungjawaban presiden Abdurrahman
Wahid. Dari hasil sidang memutuskan bahwa maklumat yang pada dasarnya
adalah dekrit presiden Abdurrahman Wahid adalah tidak sah karena bertentangan
dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dari sidang tersebut, juga
menghasilkan keputusan untuk memberhentikan Abdurrahman Wahid sebagai
presiden (P.N.H. Simanjuntak, 2003:453-454).
Permasalahan yang menarik bagi penulis dalam penelitian ini adalah
dimana hubungan antara DPR/MPR dengan Presiden pada masa kepemerintahan
Abdurrahman Wahid tidak berjalan harmonis sebagaimana seharusnya, dimana
puncak dari perselisihan antara Presiden dengan DPR/MPR, yakni dikeluarkannya
dekrit presiden oleh Presiden Abdurrahman Wahid tepat pukul 01: 10 WIB Senin
tanggal 23 Juli 2001 dinihari. Dari hal inilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih
dalam mengenai Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut di atas dapat
dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman
Wahid 23 Juli 2001?
2. Bagaimana proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid
23 Juli 2001?
3. Bagaimana dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid
23 Juli 2001?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Latar belakang terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23
Juli 2001.
2. Proses terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli
2001.
3. Dampak terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23
Juli 2001.

D. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian dapat diketahui kegunaan dari setiap kegunaan dari
setiap kegiatan ilmiah, adapun kegunaan penelitian ini adalah dapat dikelompokan
menjadi dua, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Memberikan sumbangan pemikiran tentang berbagai strategi
pemerintah (presiden) dalam mengatasi masalah khususnya
permasalahan politik
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada setiap
pembaca supaya dapat digunakan sebagai tambahan bacaan dan
sumber data dalam penulisan sejarah

2. Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
a. Bagi peneliti sebagai salah satu syarat meraih gelar sarjana
kependidikan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
b. Sebagai salah satu karya ilmiah yang diharapkan dapat melengkapi
koleksi penelitian ilmiah di perpustakaan khususnya di lingkungan
Universitas Sebelas Maret
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Politik Pemerintah
a. Politik
Said Gatara dan Dzulkiah Said (2007:20) menyatakan pengertian politik
sangat beragam tergantung dari konsep politik yang pernah ada dan sedang
berkembang saat ini. Ada lima konsep yakni negara, kekuasaan, keputusan atau
kebijakan, pengalokasian sumber-sumber (distribusi), dan konflik. Dari kelima
konsep ini, lahir pengertian atau definisi politik yang beragam. Lebih lanjut
politik didefinisikan antara lain sebagai :
1) Segala kehidupan atau kegiatan bernegara atau kegiatan-kegiatan yang
berhubungan dengan negara;
2) Segala kegiatan mempertahankan dan/ atau merebut kekuasaan;
3) Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan / atau melaksanakan
keputusan politik atau kebijakan publik;
4) Kegiatan yang berkaitan dengan pengalokasian dan penerimaan
sumber-sumber; dan
5) Segala kegiatan berbentuk perselisihan politik atau konflik politik.

Menurut Ramlan Surbakti (1992:167) seluruh kegiatan politik


berlangsung dalam suatu sistem. Sistem politik bukan suatu yang jelas batas
teritorialnya, akan tetapi sistem politik merupakan suatu konstruksi analisis yaitu
suatu istilah yang digunakan untuk memudahkan analisis atas berbagai hal yang
konkret.
Budi Winarno (2008: 91) mengungkapkan bahwa dalam sistem politik
pemerintahan dan birokrasi merupakan struktur politik penting karena
menyangkut bagaimana pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan
dilakukan.
Ramlan Surbakti (1992 : 167) menyatakan bahwa perbedaan antara
sistem politik dengan sistem lainnya adalah pola-pola interaksi yang dalam sistem
politik melibatkan kekuasaan dan kewenangan. Unsur utama sistem politik adalah
commit to
pemerintah yang diberikan kewenangan user
memonopoli penggunaan paksaan fisik

9
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

sesuai dengan undang-undang. Sebelum tahun 1960-an yang dipelajari dalam ilmu
politik terfokus pada kegiatan pemerintah. Namun, sejak tahun 1960-an para ahli
melihat kegiatan politik juga berlangsung dalam masyarakat (diluar pemerintah),
seperti partai politik, kelompok kepentingan, pers, dan golongan masyarakat yang
lain. Bahkan pemimpin pemerintahan berasal dari masyarakat melalui pemilihan
umum. Kebijakan umum yang dirumuskan merupakan hasil interaksi dengan
berbagai organisasi, kelompok, dan golongan dalam masyarakat. Itu sebabnya,
mengapa politik dirumuskan sebagai interaksi antara pemerintah dan masyarakat.

b. Pemerintah
Hartomo dan Arnicun Aziz (1999: 158) berpendapat bahwa
pemerintah tidak dapat dipisahkan dari pengertian negara, sebab negara sebagai
organisasi dan lembaga bangsa memiliki kekuasaan. Pengaturan penggunaan
kekuasaan dan batas-batas yang ditetapkan dalam undang-undang negara.
Demikian pula pengaturan urutan (hirarkhi) kekuasaan serta sumber kekuasaan
negara.
Menurut Ramlan Surbakti (1992: 168) pemerintah (government)
secara etimologis berasal dari kata Yunani, kubernan atau nakhoda kapal.
Artinya, menatap kedepan. Lalu memerintah berarti melihat kedepan,
menentukan berbagai kebijakan yang diselenggarakan untuk mencapai tujuan
masyarakat-negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat pada masa
yang akan datang, dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk
menyongsong perkembangan masyarakat, serta mengelola dan mengarahkan
masyarakat ke tujuan yang ditetapkan. Istilah pemerintah dan pemerintahan
berbeda artinya, pemerintahan menyangkut tugas dan kewenangan, sedangkan
pemerintah merupakan aparat yang menyelenggarakan tugas dan kewenangan
negara.
Menurut C.F. Strong dalam Jimly Asshiddiqie (2005: 19), kekuasaan
legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan
istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan
negara. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

c. Sistem Pemerintahan
Sistem pemerintahan di dunia terbagi atas sistem pemerintahan
parlementer dan presidensial. Pada umumnya, negara-negara di dunia
menganut salah satu dari sistem pemerintahan tersebut, dalam bentuk tipe ideal
yang diwakili negara Inggris (parlementer) dan Amerika Serikat (presidensial).
Adanya sistem pemerintahan lain dianggap sebagai variasi atau kombinasi dari
dua sistem pemerintahan tersebut.
Shively yang dikutip oleh Ramlan Surbakti (1992: 170) menjelaskan
tentang ciri-ciri sistem kabinet parlementer sebagai berikut:
1) Parlemen merupakan satu-satunya badan yang anggotanya dipilih
secara langsung oleh warga negara yang berhak memilih melalui
pemilihan umum.
2) Anggota dan pemimpin kabinet (perdana menteri) dipilih oleh
parlemen untukl melaksanakan fungsi dan kewenangan eksekutif.
Sebagian besar atau seluruh anggota kabinet biasanya juga menjadi
anggota parlemen sehingga mereka memiliki fungsi ganda, yakni
legislatif dan eksekutif.
3) Kabinet dapat bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas
dari parlemen
4) Manakala kebijakan tidak mendapat dukungan dari parlemen,
perdana menteri dapat membubarkan parlemen, lalu menetapkan
waktu penyelenggaraan pemilihan umum untuk membentuk
parlemen yang baru.
5) Fungsi kepala negara (perdana menteri) dan fungsi kepala negara
(presiden, raja) dilaksanakan oleh orang yang berlain.

Jimly Asshidiqie (2007:315-316) memaparkan karakteristik umum


yang menggambarkan sistem pemerintahan presidensial yaitu:
1) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan
eksekutif dan legislatif.
2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif
Presiden tidak terbagi dan hanya ada Presiden dan Wakil Presiden
saja.
3) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau
sebaliknya kepala negara adalah kepala pemerintahan.
4) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau bawahan
yang bertanggung jawab kepadanya.
5) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan
demikian pula sebaliknya.
commit
6) Presiden tidak dapat to user atau memaksa parlemen.
membubarkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

7) Jika dalam sistem pemerintahan parlementer berlaku prinsip


supremasi parlemen, maka dalam sistem pemerintahan presidensial
berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan
eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.
8) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang
berdaulat.
9) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem
pemerintahan parlementer yang terpusat pada parlemen.

Indonesia sendiri merupakan salah satu negara yang menganut sistem


pemerintahan presidensial hal ini dapat dilihat dari konstitusi negara yaitu
UUD 1945. Walaupun dalam sejarahnya Indonesia juga pernah menyimpang
dari konstitusi dengan menganut sistem pemerintahan parlementer pada masa
awal kemerdekaan hingga tahun 1959.
Menurut Usep Ranawijaya (1983:35) Pada waktu ini kaidah-kaidah
hukum pokok mengenai organisasi negara kita yang berlaku termuat
diantaranya di dalam suatu konstitusi yang dinamakan Undang-Undang Dasar
1945. konstitusi tersebut dinyatakan berlaku lagi setelah bangsa Indonesia
mengalami penggunaan Konstitusi Republik Indonesia Serikat hasil
Konperensi Meja Bundar di Den Haag tahun 1949 yang kemudian diubah
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950. Konstitusi Proklamasi
atau Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan berlaku kembali menggantikan
Undang-Undang Dasar Sementara tanggal 5 Juli 1959 melalui Dekrit Presiden.
Adapun kelemahan dan kelebihan dalam pemerintahan presidensial
menurut Ramlan Surbakti (1992: 171) yakni pertama, kepimpinan dalam
melaksanakan kebijakan (administrasi) lebih jelas pada sistem presidensial,
yakni di tangan presiden, daripada dalam kabinet parlementer, tetapi siapa yang
bertanggung jawab dalam pembuatan kebijakan lebih jelas pada kabinet
parlementer dibandingkan kabinet presidensial. Kedua, kebijakan yang bersifat
komprehensif jarang dapat dibuat karena legeslatif dan eksekutif mempunyai
kedudukan yang terpisah, ikatan partai yang longgar, dan kemungkinan kedua
badan ini didominasikan oleh partai yang berbeda. Ketiga, jabatan kepala
pemerintahan negara berada pada satu tangan. Keempat, legislatif bukan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan eksekutif, yang dapat diisi dari berbagai
sumber termasuk legislatif.
Jimly Asshidiqie (2007 : 321) menyebutkan dalam penjelasan UUD
1945, meskipun sekarang tidak berlaku normatif lagi secara langsung tetapi
sebagai dokumen historis masih tetap dapat dijadikan acuan ilmiah yang
penting, dinyatakan bahwa “Presiden bertunduk dan bertanggung jawab kepada
MPR”. Artinya, meskipun kepala negara dan kepala pemerintahan menyatu
dalam jabatan Presiden, tetapi dianut juga adanya prinsip pertanggungjawaban
Presiden sebagai kepala eksekutif kepada cabang kekuasaan legislatif. Hal
tersebut dapat kita lihat dari sistem pemerintahan negara sebelum amandemen
UUD 1945 yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, yaitu
a) Presiden dipilih dan diangkat oleh MPR.
b) MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi.
c) Presiden adalah mandataris MPR.
d) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

2. Dekrit
Istilah dekrit berasal dari bahasa latin yakni kata “decretum” yang
mempunyai arti sebagai keputusan yang diambil diluar kebiasaan, sebagai
keputusan bersama (Usep Ranawijaya, 1983:37). Moh. Mahfud M.D. (2010: 108)
mendefinisikan dekrit Presiden sebagai tindakan inkonstitusional yang bisa
menjadi konstitusional jika didukung oleh kekuatan politik atau militer sehingga
dekrit bisa dimenangkan dalam pertarungan politik.
Penggunaan Dekrit menurut Usep Ranawijaya (1983:36) telah
digunakan di zaman Romawi dengan istilah “decretum” yang umumnya diartikan
sebagai suatu perintah dari pejabat-pejabat tinggi. Secara khusus perkataan
tersebut digunakan pada keputusan didalam perkara-perkara perdata diluar
kebiasaan (biasanya perkara perdata diperiksa oleh hakim yang diangkat untuk
pemeriksaan perkara). Perkataan decretum kemudian dipakai juga untuk
keputusan-keputusan kaisar Romawi di dalam perkara yang diperiksanya sendiri
commit todiuser
atas pemohonanan yang berkepentingan dalam instansi pertama atau dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

tingkat appel. Keputusan-keputusan kaisar dalam hal demikian itu dinamakan


“decreta principis” dan mempunyai kekuatan undang-undang untuk soal-soal
yang sama.
Dekrit pernah diberlakukan beberapa negara, seperti pengalaman Jerman
pada masa pemerintahan Adolf Hitler dimana Weimer Konstitusi 1919, oleh
Hitler diganti dengan konstitusi baru dengan alasan kewenangan luar biasa
presiden untuk mengatakan negara dalam keadaan bahaya. Sejak itu dekrit
keadaan darurat telah disalahgunakan kelompok Nazi untuk kepentingan
golongannya sendiri dengan mengubah struktur negara dan pemerintahan
demokrasi menjadi pemerintahan diktator (Danny Indrayana, 2010:263-264).
Harun Alrasid dalam Moh. Mahfud M.D. (2010: 106) berpendapat
bahwa, secara hukum presiden mempunyai wewenang mengeluarkan dekrit
sebagai tindakan darurat presiden. Menurut Denny Indrayana (2010: 261-262),
dekrit dikeluarkan berdasar teori hukum darurat negara (staatsnoodrecht). Lebih
spesifik, keduanya berlandaskan teori hukum darurat negara yang bersifat
subyektif dan tidak tertulis (subjectieve staatsnoodrecht atau ongeschreven
staatsnoodrecht). Artinya, klasifikasi negara dalam keadaan darurat yang menjadi
syarat keluarnya dekrit, ditetapkan menurut pendapat subyektif presiden pribadi
selaku kepala negara, tanpa berdasar ketentuan hukum perundangan. Karena itu,
dekrit adalah produk hukum yang istimewa dan merupakan penyimpangan
mendasar dari fungsi presiden yang melaksanakan hukum (eksekutif), menjadi
fungsi presiden selaku pembuat hukum (legislatif). Asas hukum yang mendasari
penyimpangan itu adalah: masa (situasi) yang tidak normal, harus dihadapi
dengan hukum yang tidak normal pula (abnormal recht voor abnormal tijd).
Menurut Herman Sihombing (1996:7-8), syarat-syarat yang harus
dipenuhi dalam satu peraturan darurat, yaitu:
a. Kepentingan tertinggi negara yakni: adanya atau eksistensi negara itu
sendiri (het hoogste staatsbelang-het bestaan zelf van den staat-op het
spel stand en afhan kelijk was van het al of niet maken der
getroffenregeling)
b. Bahwa peraturan darurat itu harus mutlak atau sangat perlu (deze
regeling noodzakelijk was)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

c. Syarat ketiga ialah, bahwa noodregeling itu bersifat sementara,


provosoir, selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu,
diperlakukan aturan biasa yang normal, dan tidak lagi aturan darurat
yang berlaku (in de derde plaats zal hi) de noodregelen geheel als
“tijdeljk”, “provisoir”, beschouwen, nl. Zoolang geldende als de
nood op dat bepaalde punt duurt, het daarna in stijd met het normale
recht blijven gelden dier regels kan door hem niet wordengeduld).
d. Syarat berlakunya ialah: bahwa ketika dibuat peraturan darurat itu
Dewan Perwakilan Rakyat atau Perwakilan Rakyat tidak dapat
mengadakan sidang atau rapatnya secara nyata dan sungguh.

Denny Indrayana (2010:263) menyatakan indikator bahwa dekrit semata-


mata dikeluarkan karena negara dalam kondisi benar-benar genting, yaitu bila
dekrit itu memenuhi dua syarat utama yakni:
a. Merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk
menyelamatkan negara dalam keadaan bahaya (absolutely necessary
in the interest of the nation) dan;
b. Harus memenuhi teori keseimbangan (evenwichtstheorie) antara
bahaya yang datang dengan tindakan dan isi dekrit yang dikeluarkan.
Kedua kriteria itu terpenuhi apabila negara dalam keadaan bahaya yang
disebabkan perang atau negara darurat karena bencana alam. Kedua kondisi itulah
yang sebaiknya merupakan kriteria perlunya dikeluarkan dekrit.
Herman Sihombing (1996 : 1) berpendapat dalam pemberlakuan hukum
tata negara darurat harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1) Adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa
2) Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai lagi
untuk digunakan menanggapi dan menanggulangi bahaya yang ada
3) Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada
Pemerintah Negara untuk secepatnya mengakhiri bahaya darurat
tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal.
4) Wewenang luar biasa itu dan hukum tata negara darurat adalah untuk
sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak
membahayakan lagi.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

Pelaksanaan dekrit menurut Denny Indrayana (2010: 262) adalah isi


dekrit wajib bertentangan dengan konstitusi atau dimaksudkan sebagai tindakan
ekstrakonstitusional. Bila tidak, urgensi format dekrit menjadi tidak perlu dan
presiden cukup mengeluarkan hukum darurat semacam Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (Perpu) sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUD 1945
dan Undang-Undang Keadaan Bahaya yang memuat secara tertulis kriteria-
kriteria obyektif hukum darurat negara (objectieve staatsnoodrecht atau
geschreven staatsnoodrecht).
UUD 1945 belum mengatur secara jelas mengenai pihak-pihak yang
terkait dalam Dekrit di Indonesia, Pasal 22 Ayat (1) dan (2) hanya menentukan
presiden berhak menetapkan peraturan pemerintahan sebagai pengganti undang-
undang dan peraturan pemerintahan tersebut harus mendapat persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dengan demikian, pemberlakuan keadaan bahaya atau
keadaan darurat harus disampaikan kepada pihak-pihak yang terkait menurut
ketentuan hukum nasional, yaitu beberapa lembaga negara yang terkait melalui
pimpinannya masing-masing, lembaga-lembaga negara yang perlu diberitahu
secara resmi akan adanya pemberlakukan keadaan darurat adalah Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Negara R. I., Kejaksaan Agung, Bank Indonesia,
Para menteri Kabinet, Kepala Daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) dan DPRD
yang di daerahnya berlaku keadaan Darurat (Jimly Asshiddiqie, 2008:301-302).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

B. Kerangka Pemikiran
Kerangka Pemikiran Merupakan alur penalaran yang didasarkan pada
tema dan masalah penelitian, maka dapat digambarkan sebagai berikut:

Politik Pemerintah

Reformasi MPR / DPR

Terpilihnya Abdurrahman Wahid Sebagai Presiden

Masalah dan Kebijakan yang Diambil Presiden

Dekrit Presiden

Abdurrahman Wahid diberhentikan


Sebagai Presiden

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Keterangan:
Pasca jatuhnya kepemimpinan presiden Soeharto pada mei 1998 terjadi
perubahan dibidang politik pemerintahan. Gerakan reformasi telah membawa
perubahan di berbagai bidang kehidupan. Kehidupan politik dan pemerintahan
yang pada masa sebelumnya terkontrol, berubah menjadi sangat bebas. Pada masa
commit
reformasi diadakan pemilu untuk to user
memilih wakil rakyat yang duduk di DPR
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

sekaligus akan duduk di MPR. MPR hasil pemilu diberi kewenangan untuk
memilih presiden yang sesuai dengan harapan reformasi, yang dimenangkan oleh
Abdurrahman wahid.
Abdurrahman Wahid terpilih menjadi presiden ke empat Indonesia
mengemban harapan besar menuju kehidupan bernegara yang lebih baik. Dalam
perjalanannya, pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid dinilai tidak
maksimal dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dan kebijakan
yang diambil sering menimbulkan kontroversi dimasyarakat yang berdampak
lahirnya konflik dengan pihak DPR. Pihak DPR yang juga sebagai anggota MPR
berupaya untuk menjatuhkan Presiden melalui Sidang Istimewa MPR. Sikap yang
diambil oleh DPR/MPR tersebut melahirkan perlawanan dari presiden dengan
mengeluarkan dekrit. Dekrit yang pada awalnya menjadi senjata presiden dalam
melakukan perlawanan terhadap pihak MPR, justru menjadi alasan
diberhentikannya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A.Tempat Dan Waktu Penelitian


1. Tempat Penelitian
Untuk memperoleh data-data sebagai sumber penulisan, peneliti
melakukan studi tentang buku-buku literatur, majalah, jurnal dan surat kabar yang
tersimpan di beberapa perpustakaan. Adapun perpustakaan yang digunakan
sebagai tempat untuk penelitian adalah sebagai berikut:
1. Perpustakaan program pendidikan sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
2. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta
3. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
4. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Surakarta
5. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas
Maret
6. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta
7. Perpustakaan Colose st. Ignatius, Yogyakarta
8. Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta
9. Perpustakaan Daerah Kabupaten Sukoharjo
10. Perpustakaan Monumen Pers Nasional Surakarta

2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah sejak pengajuan judul
skripsi yaitu bulan November 2011 sampai dengan April 2012.

B. Metode Penelitian
Dalam penelitian ilmiah diperlukan suatu metode tertentu sesuai dengan
commit
objek dan tujuan penelitian. Metode to user cara kerja yang sistematis yang
merupakan

19
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

mengacu pada aturan baku yang sesuai dengan permasalahan ilmiah yang
bersangkutan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah
(Koentjaraningrat, 1977: 12). Dalam penelitian ini digunakan metode sejarah.
Sartono Kartodirjo (1992: 37) berpendapat bahwa metode penelitian sejarah
adalah prosedur dari cara kerja para sejarawan untuk menghasilkan kisah masa
lampau berdasarkan jejak-jejak yang ditinggalkan oleh masa lampau tersebut.
Hadari Nawawi (1985: 67) mengatakan bahwa metode sejarah adalah prosedur
pemecahan masalah dengan menggunakan data peninggalan masa lampau untuk
memahami masa sekarang dalam hubungannya dengan masa lampau. Mohammad
Nazir (1988: 33) mengatakan bahwa metode penelitian sejarah merupakan suatu
usaha untuk memberikan interaksi dari bagian trend yang naik turun dari suatu
status generalisasi yang berguna untuk memahami kenyataan sejarah,
membandingkan dengan keadaan sekarang dan dapat meramalkan keadaan yang
akan datang.
Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
metode historis adalah suatu kegiatan untuk mengumpulkan sumber-sumber
sejarah, menguji dan menelitinya secara kritis mengenai peninggalan masa
lampau sehingga menghasilkan suatu cerita sejarah. Dalam penelitian ini di
usahakan pembuatan rekonstruksi peristiwa sejarah tentang Dekrit Presiden
Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001. Pertimbangan yang mendasar digunakannya
metode sejarah atau historis yaitu karena metode ini lebih sesuai dengan data yang
dikumpulkan, diuji, dan dianalisis secara kritis sumber-sumber sejarah yang
terkait.

C. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data
historis atau data sejarah. Data dapat diartikan sebagai suatu fakta atau prinsip
yang diberikan atau ditampilkan, sesuatu yang menjadi dasar suatu argumen
dalam setiap susunan sistem intelektual, materi yang menjadi dasar untuk diskusi,
penetapan suatu kebijakan atau setiap informasi rinci (Helius Sjamsuddin,
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

1996:1). Menurut Moh Nazir (1988: 57) data sejarah adalah sumber-sumber
sejarah yang digunakan dalam penelitian dengan metode sejarah.
Helius Sjamsuddin (1996: 74), sumber sejarah dapat diklasifikasikan
dengan beberapa cara, yaitu: (a) kontemporer (contemporary) dan lama (remote),
(b) formal (resmi) dan informal (tidak resmi), (c) pembagian menurut asal (dari
mana asalnya), (d) isi (mengenai apa), (e) tujuan (untuk apa), yang masing-masing
dibagi lebih lanjut menurut waktu, tempat, dan cara atau produknya. Pembagian
tersebut berkaitan dengan beberapa aspek dari sumber dan dapat membantu dalam
mengevaluasai sumber sejarah. Untuk kepentingan praktis, sumber sejarah dapat
dibagi atau diklasifikasi secara garis besar menjadi dua macam, yaitu
peninggalan-peninggalan (relics atau remains) dan catatan-catatan.
Menurut Moh. Nazir (1988: 58 - 59) sumber sejarah dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah
tempat atau gudang penyimpanan yang orisinil dari data sejarah. Data primer
merupakan sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari
kejadian masa lampau. Contoh dari data atau sumber primer adalah catatan resmi
yang dibuat pada suatu acara atau upacara, suatu keterangan oleh saksi mata,
keputusan-keputusan rapat, foto-foto, dan sebagainya. Sedangkan sumber
sekunder adalah catatan tentang adanya suatu peristiwa atau catatan-catatan yang
jaraknya telah jauh dari sumber orisinil.
Dalam penelitian ini menggunakan sumber data primer dan sekunder,
adapun sumber primer yang digunakan berupa artikel, maupun pandangan para
tokoh yang sejaman dan relevan, adapun surat kabar tersebut antara lain: Kompas,
Media Indonesia,Majalah Gatra dan Majalah Tempo. Peneliti juga menggunakan
sumber teks dekrit, artikel maupun pidato serta pandangan politik dari tokoh yang
dibahas dalam penulisan ini yang pada umumnya diterbitkan melalui surat kabar,
dan internet, adapun buku yang memuat semua tersebut, yakni: “Biografi Gus Dur
(The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid)” karya Greg Barton,
“Setahun Bersama Gus Dur (Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit) Tulisan
Moh. Mahfud M.D.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

Selain digunakan sumber primer untuk menunjang penelitian juga


digunakan sumber sekunder yang berupa hasil penelitian dan pemikian sejarawan
atau praktisi atau politikus. Adapun sumber-sumber tersebut yang berupa buku,
antara lain: Gila Gus Dur (Editor: Ahmad Suedy), Perjalanan Politik Gus Dur
(Editor Irwan Suhanda).
D. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, maka data
diperoleh dengan menggunakan teknik studi pustaka. Menurut Koenjaraningrat
(1986: 64) teknik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan
dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah dengan membaca buku-
buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang
tersimpan dalam perpustakaan. Dengan teknik ini maka peneliti mengadakan
kunjungan ke perpustakaan guna mendapatkan buku-buku sumber yang relevan
dengan penelitian yang sedang dilakukan, karena salah satu hal yang perlu
dilakukan dalam persiapan penelitian ialah memanfaatkan dengan maksimal
sumber informasi yang terdapat di perpustakaan dan jasa informasi yang tersedia.
Peneliti melakukan pengumpulan data tertulis dengan membaca buku-buku
literatur, majalah, surat kabar, jurnal berkala dan bentuk pustaka lainnya. Untuk
memperoleh data–data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, peneliti melakukan
studi mengenai sumber-sumber baik primer maupun sekunder.
Adapun kegiatan studi pustaka yang dilakukan, yaitu dengan membaca,
mencatat sumber-sumber tertulis yang dianggap penting dan relevan dengan tema
penelitian. Dengan demikian dapat diperoleh data yang akan digunakan dalam
penulisan skripsi.

E. Teknik Analisis Data


Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar untuk
memperoleh data yang diperlukan. Selalu ada hubungan antara metode
mengumpulkan data dengan masalah penelitian yang ingin dipecahkan, yaitu
memberi arah dan mempengaruhi metode pengumpulan data (Moh. Nazir, 1988:
211). Berdasarkan metode yangcommit to user
digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

historis, maka teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik analisis data historis. Teknis analisis historis merupakan analisis yang
mengutamakan pada ketajaman dalam melakukan intepretasi sejarah. Intepretasi
dilakukan karena fakta-fakta tidak dapat berbicara sendiri, fakta mempuyai sifat
yang kompleks sehingga fakta tidak dapat dimengerti atau dilukiskan oleh fakta
itu sendiri (Sartono Kartodirjo, 1992: 63)
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam menganalisis data sejarah
didalam penelitian ini adalah pertama peneliti memilah sumber data sejarah yang
diperoleh dari buku-buku literatur, majalah, surat kabar, jurnal berkala dan bentuk
pustaka lainnya, kemudian membandingkan isi sumber yang satu dengan sumber
yang lain, langkah selanjutnya setelah membandingkan sumber data sejarah,
menemukan fakta sejarah tentang latar belakang terjadinya dekrit Presiden
Abdurrahman Wahid, proses dekrit Presiden Abdurrahman Wahid, dan dampak
dikeluarkannya dekrit presiden Abdurrahman Wahid, kemudian mencocokkan
temuan fakta sejarah tersebut dengan teori yang digunakan untuk disusun menjadi
sebuah karya yang mennyeluruh.

F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah penelitian yang harus
dijalani seorang peneliti sebagai proses dalam penulisan skripsi yang
menggunakan metode sejarah. Dalam metode penelitian sejarah prosedur
penelitian yang penulis lakukan, yaitu: (1) Heuristik atau pencarian jejak–jejak
sejarah, (2) Kritik, atau kegiatan mengidentifikasi sumber - sember sejarah, (3)
interpretasi, atau penafsiran terhadap sumber – sumber yang relevan, (4)
penyampaian hasil rekontruksi sejarah dalam bentuk petulisan sejarah atau
historiografi.
Berdasar prosedur diatas dapat digambarkan skema metode historis
adalah sebagai berikut:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

Heuristik Kritik Interpretasi Historiografi

Fakta Sejarah

Gambar 2. Skema Prosedur Penelitian


Keterangan:
1. Heuristik
Kegiatan pertama yang dilakukan setelah menemukan tema adalah
dengan mencari atau mengumpulkan sumber dan bukti–bukti sejarah yang
relevan. Kegiatan inilah yang disebut dengan heuristik. Sumber sejarah tersebut
yang akan menuntun peneliti untuk mendapatkan gambaran tentang kehidupan
masa lampau yang telah ditinggalkan manusia. Pada tahap ini penulis berusaha
untuk mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai serta relevan
dengan penelitian, yaitu dengan mengadakan studi tentang buku-buku literatur,
ensiklopedia, majalah dan sumber-sumber tertulis lainnya. Data-data tersebut
diperoleh dari beberapa perpustakaan diantaranya Perpustakaan Universitas
Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Perpustakaan Kolose St. Ignatius Yogyakarta, Perpustakaan daerah Surakarta,
Monumen Pers Nasional Surakarta dan perpustakaan lainnya.

2. Kritik
Setelah mengumpulkan data yang berakitan dengan permasalahan
penelitian, tahap selanjutnya yaitu langkah verifikasi atau kritik. Kritik ini
dimaksudkan untuk menentukan sumber-sumber yang dipilih apakah sumber
tersebut memiliki keabsahan tentang otentitas dan kredibilitas (kesahihan sumber).
Kritik terhadap sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik intern dan kritik
ekstern.
Kritik ekstern adalah kritik yang meliputi apakah data itu otentik, yaitu
kenyataan identitasnya, bukan tiruan, turunan, palsu, kesemuanya dilakukan
dengan meneliti bahan yang dipakai, ejaan, tahun terbit, jabatan penulis. Dalam
commit
penelitian ini langkah pertama yang to user adalah dengan melakukan kritik
dilakukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

ekstern yaitu peneliti melakukan penyelidikan pada bentuk sumber, yaitu


dilakukan dengan melihat tanggal, bulan, dan tahun sumber. Adapun Sumber
yang didapatkan sebagai sumber penulisan berupa Surat kabar yang sejaman
dengan peristiwa yang dialami tokoh. sumber tersebut pada tahun 2001. Selain itu
penulis juga memandang pengarang, pihak yang membuat dan pihak yang
mengeluarkan sumber tersebut sehingga peneliti dapat menarik kesimpulan
apakah sumber itu dapat dipercaya atau tidak. Untuk menyikapi hal ini, diperlukan
pembanding melalui penggunaan literatur yang lebih independen untuk
menjangkau obyektifitas penulisan semaksimal mungkin.
Kritik intern adalah kritik yang berkaitan dengan isi pernyataan yang
disampaikan oleh sejarawan atau praktisi atau politikus. Kritik intern juga
menyangkut apakah sumber tersebut dapat memberikan informasi yang
dibutuhkan. Setelah sumber dinilai keasliannya kemudian dilakukan kritik intern
untuk dapat memastikan kebenaran isi sumber yang dapat dirempuh dengan cara
membandingkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah yang lain.
Kebenaran isi dari sumber tersebut dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita
yang ditulis dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. Adapun kritik intern
dari penulisan ini adalah melihat pernyataan yang disampaikan oleh tokoh secara
langsung melalui media surat kabar, sehingga obyektifitas dari isi pernyataan
tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Hasil dari kritik sumber ialah fakta yang
merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau rekonstruksi sejarah. Setelah
dilakukan kritik maka data sejarah tersebut adalah fakta, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan intepretasi.

3. Interpretasi
Intepretasi merupakan kegiatan menafsirkan data sejarah yang telah
diseleksi pada tahap sebelumnya untuk selanjutnya berusaha menemukan fakta
fakta sejarah yang berkaitan dengan objek dan tujuan penelitian Kemudian
menghubungkan fakta sejarah yang satu dengan fakta sejarah yang lain, sehingga
dapat diketahui hubungan sebab akibat antara peristiwa satu dengan lainnya.
commit
Untuk merekonstruksikan peristiwa to user
sejarah berdasar fakta sejarah yang ada, juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

diperlukan ekplanasi. Ekplanasi dalam sejarah adalah menjelaskan atau


menerangkan fakta sejarah yang ada sehingga didapat hubungan antara data yang
satu dengan data yang lain sehingga diperoleh cerita yang utuh.

4. Historiografi
Sebagai bentuk dari hasil penelitian ini maka dilakukan historiografi,
yaitu pemaparan dengan bahasa ilmiah dengan seni yang khas menjelaskan apa
yang ditemukan beserta argumentasinya secara sistematis. Dalam penelitian ini
bentuk dari historiografi berupa karya ilmiah skripsi dengan judul “Dekrit
Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001”.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV
HASIL PENELITIAN

A. Kondisi Umum Politik di Indonesia Tahun 1998-1999


1. Kondisi Umum Politik di Indonesia sebelum Pemilihan Presiden 1999
Berakhirnya masa kerja Kabinet Pembangunan VI dibawah Presiden
Soeharto pada Maret 1998, membuat Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
mengadakan Sidang Umum untuk menetapkan GBHN dan pemilihan presiden
dan wakil presiden. Untuk menyusun Kabinet VII, seluruh organisasi sosial
politik dan kekuatan sosial politik di tanah air telah sepakat mencalonkan Presiden
Soeharto untuk menjadi Presiden RI periode 1998-2003. Pencalonan tersebut
diawali oleh Ketua Umum DPP Golkar Harmoko yang menghadap Presiden
Soeharto untuk meminta kesediaan beliau. Menyusul langkah Golkar, Ketua
Umum DPP PPP, Ismail Hasan Metareum, mengumumkan pula bahwa PPP
mencalonkan kembali Pak Harto sebagai Presiden RI untuk periode lima tahun ke
depan (A. Makmur Makka, 2008:225). Kemudian pada akhir Januari 2008,
Presiden Soeharto menyatakan bahwa beliau akan mencalonkan diri untuk masa
kepresidenan yang ketujuh dan menisyaratkan bahwa Habibie sebagai wakil
presiden (M. C. Ricklefs, 2008:688).
Pada bulan Mei 1998 kejatuhan Presiden Soeharto mengejutkan sebagian
besar masyarakat Indonesia. Pemerintahan Soeharto dinilai telah gagal mengatasi
krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998. Soeharto juga gagal
mengatasi praktik nepotisme yang telah berlangsung bertahun-tahun bersama
dengan pengempisan pemerintahannya sehingga ketika ada tekanan,
pemerintahannya pun jatuh. (Greg Barton, 2010:303).
Pagi tanggal 21 Mei 1998, media masa dipanggil ke istana negara untuk
mengabadikan momen pengunduran diri Soeharto. Wakil Presiden B. J. Habibie
segera disumpah sebagai Presiden Indonesia ketiga. Wiranto kemudian
mengumumkan bahwa ABRI tetap satu dan mendukung presiden baru. (M. C.
Ricklefs, 2008:688).
commit to user

27
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

Tugas paling mendesak Presiden B. J. Habibie dengan Kabinet


Reformasi Pembangunan yang dipimpinnya adalah memulihkan kepercayaan
rakyat kepada pemerintah. Oleh karena itu, dalam menjalankan pemerintahan ia
tidak akan menunda pelaksanaan agenda reformasi. Sejalan dengan program
mendesak yang telah dicanangkan, beberapa langkah konkret dalam waktu singkat
telah ditempuh presiden, antara lain memantapkan prosedur dengan jadwal yang
jelas tentang pelaksanaan pemilihan umum yang luber, jujur dan adil. Presiden
menjelaskan bahwa pemilu akan menganut sistem multipartai yaitu semua pihak
boleh mendirikan partai baru, asal tidak bertentangan dengan Pancasila, UUD
1945, dan tidak mempersoalkan SARA (suku, ras, agama, dan antar golongan).
(A. Makmur Makka, 2008: 266-267)
Pemilu 1999 merupakan langkah awal menuju terwujudnya tatanan
politik demokratis yang dicita-citakan oleh gerakan reformasi. Penyelenggaraan
pemilu 1999 jauh lebih baik dibandingkan pemilu-pemilu pada masa Orde Baru.
Kondisi ini disebabkan adanya gerakan reformasi yang mendesak sejumlah
perubahan yang harus dipenuhi oleh pemerintahan transisional Habibie, bagi
terselenggaranya pemilu pertama yang demokratis pasca orde baru. Untuk
memenuhi desakan tersebut, presiden B.J Habibie menjalankan beberapa langkah
yakni menyediakan sejumlah perangkat yang dibutuhkan bagi pemilu demokratis,
diantaranya hak politik untuk mendirikan partai, adanya penyelenggaran pemilu
yang independen, kebebasan pers, kebebasan untuk melakukan pengawasan
pemilu, birokrasi sipil dan militer yang netral , kehadiran pemantau asing. Di
masa B. J. Habibie ini, lembaga DPR juga telah mengesahkan tiga perangkat
Undang-undang sebagai landasan penyelenggaraan pemilu, yaitu Undang-undang
No 20 Tahun 1999 tentang partai politik, UU No. 3 Tahun 1999 tentang pemilihan
umum dan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan
MPR-DPR-DPRD (Mahfud Sidiq, 2003:235).
Dampak dari adanya jaminan atas hak berpolitik memuncul banyak partai
politik baru yang menjadi peserta pada pemilu tahun 1999, sehingga peserta
pemilu sebelum tahun 1999 hanya diikuti tiga partai yakni Partai Golongan Karya
commit to(PPP),
(Golkar), Partai Persatuan Pembangunan user dan Partai Demokrasi Indonesia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
29

(PDI), di tahun 1999 diikuti multi partai. Menjelang pemilihan umum, partai
politik yang terdaftar mencapai 141 dan setelah diverifikasi oleh Tim 11 Komisi
Pemilihan Umum menjadi sebanyak 98, namun yang memenuhi syarat mengikuti
pemilu hanya 48 partai politik saja. Tanggal 7 Juni 1999, diselenggarakan
pemilihan umum multipartai kedua sejak tahun 1955. (P. N. H. Simanjutak,
2003:414)
Hasil pemungutan suara pada pemilu 1999 menempatkan lima partai
besar yang menduduki keanggotaan di MPR dan DPR. Sebagai pemenangnya
adalah PDI-Perjuangan meraih 35.689.073 suara atau 33,74% dengan perolehan
153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44% sehingga mendapat
120 kursi. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memperoleh 13.336.982 suara atau
12,61% persen mendapat 51 kursi. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
memperoleh 11.329.905 suara atau 10,71% mendapat 58 kursi. Partai Amanat
Nasioal (PAN) memperoleh 7.528.956 suara atau 7,12% mendapat 34 kursi.
(www.tempointeraktif.com).

2. Pemilihan Presiden di Indonesia Tahun 1999


Pada masa pemerintahan BJ Habibie dilaksanakan pemilu pada tanggal 7
Juni 1999 untuk memilih anggota legislatif yang akan duduk di DPR tingkat pusat
sekaligus menjadi anggota MPR, DPRD tingkat provinsi dan DPRD tingkat
kabupaten. Pemilu tahun 1999 ini berbeda dengan pemilu pada masa orde baru
karena peserta pemilu diikuti oleh banyak partai. Jimly Asshidiqie (2007 : 321)
menyebutkan dalam penjelasan UUD 1945, meskipun sekarang tidak berlaku
normatif lagi secara langsung tetapi sebagai dokumen historis masih tetap dapat
dijadikan acuan ilmiah yang penting, dinyatakan bahwa “Presiden tunduk dan
bertanggung jawab kepada MPR”. Artinya, meskipun kepala negara dan kepala
pemerintahan menyatu dalam jabatan Presiden, tetapi dianut juga adanya prinsip
pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala eksekutif kepada cabang kekuasaan
legislatif. Hal tersebut dapat kita lihat dari sistem pemerintahan negara sebelum
amandemen UUD 1945 yang ditegaskan dalam Penjelasan UUD 1945, yaitu
commitoleh
a) Presiden dipilih dan diangkat to user
MPR.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
30

b) MPR adalah pemegang kekuasaan negara tertinggi.


c) Presiden adalah mandataris MPR.
d) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR
Abdurrahman Wahid adalah presiden yang masih dipilih melalui proses
pemilihan di MPR hasil pemilu tahun 1999. Berdasarkan Ketetapan MPR No.
VI/MPR/1999 tentang Tata Cara Pencalonan Dan Pemilihan Presiden Dan Wakil
Presiden Republik Indonesia dalam pasal 8 disebutkan bahwa Fraksi dapat
mengajukan calon Presiden atau calon Presiden dapat juga diajukan oleh
sekurang-kurangnya 70 orang anggota Majelis yang terdiri atas satu Fraksi atau
lebih. Adapun tata cara pemilihan diatur dalam pasal 13 yaitu apabila calon yang
diajukan lebih dari satu orang, maka pemilihan dilakukan dengan cara
pemungutan suara. Apabila calon yang diusulkan ternyata hanya satu orang, maka
calon tersebut disahkan oleh Rapat Paripurna menjadi Presiden.
Pada Juni 1999, partai PKB dengan ketokohan Abdurrahman Wahid ikut
serta dalam arena pemilu legislatif. PKB memperoleh 12% dari total suara
sedangkan PDI-Perjuangan memenangkan pemilu dengan 33% suara. Dengan
kemenangan partainya, Megawati memperkirakan akan memenangkan pemilihan
presiden pada Sidang Umum MPR. Namun, PDI-Perjuangan tidak memiliki
mayoritas penuh, sehingga membentuk aliansi dengan PKB. Pada Juli 1999,
Amien Rais membentuk Poros Tengah, yang berisi koalisi partai-partai Muslim.
Poros Tengah menominasikan Abdurrahman Wahid sebagai kandidat presiden
dan komitmen PKB terhadap PDI-Perjuangan mulai berubah. Pada 7 Oktober
1999, Amien dan Poros Tengah secara resmi menyatakan Abdurrahman Wahid
sebagai calon presiden. (Greg Barton, 2010: 360-361).
Kekuatan politik Poros Tengah yang dikomandani oleh Amien Rais
muncul jauh hari sebelum SU MPR 1999. Istilah Poros Tengah sendiri memiliki
beberapa versi kemunculan. Menurut Zarkasih Nur dalam Suharsono (1999: 86-
88), istilah ini muncul dalam diskusinya dengan Faisal Baasyir dan Husni
Thamrin, ketiganya politisi PPP. Versi lain menyatakan sebagai lontaran ide
Amien Rais dalam dialog politik yang diselenggarakan oleh LIPI dan Unicef.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
31

Versi ketiga, menyebutkan sebagai hasil diskusi Soetjipto Wirosardjono dengan


Dr. Chiril Anwar dalam forum PPSK di Yogyakarta
Poros Tengah sesungguhnya tidak memiliki skenario tunggal untuk
hanya mengajukan Abdurrahman Wahid sebagai Calon Presiden. Untung Wahono
(2003:104-106) menyatakan awalnya ada gagasan kuat di Poros Tengah untuk
meng-goal-kan Habibie dalam pencalonan dan pemilihan presiden. Namun
konstelasi kekuatan politik di Poros Tengah sendiri tidak semuanya sepakat
dengan figur ini, sebagaimana kemudian tercermin dari hasil voting terhadap
pidato pertanggung-jawaban presiden B. J. Habibie. Setelah kekalahan Habibie,
Poros Tengah juga sempat mendorong Amien Rais untuk tampil sebagai calon
presiden, tetapi Amien Rais terjebak pada posisi dan situasi “harus menolak” usul
pencalonan ini. Alasan yang diajukan Amien Rais adalah bahwa dirinya sudah
terpilih sebagai Ketua MPR RI dan ia sendiri belum mencabut dukungannya
terhadap terhadap Abdurrahman Wahid. Masuknya figur Abdurrahman Wahid di
Poros Tengah bukanlah sebagai faktor pasif, tapi sebaliknya ia aktif memainkan
skenarionya yang ikut mempengaruhi skenario di Poros Tengah. Ketika Habibie
mundur dari pencalonan, ada skenario Poros Tengah untuk menaikan
Abdurrahman Wahid sebagai Ketua MPR, dan memajukan Amien Rais sebagai
calon presiden. Namun pada perkembangannya sebelum sesi pemilihan presiden,
faktor mundurnya Habibie dari pencalonan, terpilihnya Amien Rais dan Akbar
Tandjung sebagai Ketua DPR, akhirnya hanya menyisakan pilihan Abdurrahman
Wahid bagi Poros Tengah. Sementara PDI Perjuangan masih tetap optimis dengan
calon dari Ketua Umumnya, Megawati Soekarnoputri.
Pada 20 Oktober 1999, melalui voting pada sidang MPR, Abdurrahman
Wahid terpilih menjadi Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, mengungguli
Megawati yang hanya memperoleh 313 suara. Sedangkan 9 suara abstain dan 4
suara dinyatakan tidak sah. MPR menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai
presiden melalui Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 tertanggal 20 Oktober 1999.
Sementara itu kekalahan Megawati disambut kemarahan pendukungnya di
beberapa kota di Jawa, Bali dan Medan dengan aksi kerusuhan massa. Aksi
commit toterpilih
kerusuhan dapat reda setelah Megawati user sebagai wakil presiden setelah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
32

unggul dari Hamzah Haz dengan memperoleh 396 suara, Hamzah Haz hanya
mendapatkan 284 suara dan 5 suara abstain dari 685 anggota MPR yang hadir.
Kemudian MPR menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden
melalui Ketetapan MPR No. VIII/MPR/1999 tertanggal 21 Oktober 1999 (P.N.H.
Simanjuntak, 2003: 419).
Terpilihnya Presiden Abdurrahman Wahid dinilai sebagai suatu
kesuksesan dalam melewati masa-masa transisi pasca pemerintahan orde baru, hal
ini dapat dilihat dari pendapat Liddle, R. William (2001:208) yang
mengungkapkan:
At the end of 1999 Indonesia appeared to have completed a successful
transition to democracy after more than four decades of dictatorship. Free
elections had been held for the national legislature (DPR, Dewan
Perwakilan Rakyat). The People’s Consultative Assembly (MPR, Majelis
Permusyawaratan Rakyat), a uniquely Indonesian institution comprising
members of the DPR plus regional and group representatives, had chosen
a new president, the charismatic traditionalist Muslim cleric
Abdurrahman Wahid (called Gus Dur) and vice-president, Megawati
Sukarnoputri, daughter of Indonesia’s founding father and first president
Sukarno, for the 1999-2004 term. Gus Dur, whose PKB (Partai
Kebangkitan Bangsa, National Awakening Party) holds only 11% of the
DPR seats, had then appointed a “national unity” cabinet consisting of
representatives of all of the major parties.

Yang dapat diartikan sebagai berikut:

Pada akhir tahun 1999 Indonesia telah berhasil melewati masa transisi
menuju demokrasi setelah lebih dari empat dekade dalam
kediktatoran. Pemilu yang bebas telah dilaksanakan untuk memilih
anggota legislatif (DPR, Dewan Perwakilan Rakyat). Majelis
Permusyawaratan Rakyat, sebuah lembaga khas Indonesia yang
anggotanya terdiri dari anggota DPR ditambah dari utusan daerah dan
utusan golongan, telah memilih presiden baru yakni seorang ulama
kharismatik Abdurrahman Wahid (sering dipanggil Gus Dur) dan wakil
presiden Megawati Soekarnoputri, putri dari pendiri Bangsa Indonesia
dan presiden pertama Soekarno, untuk jangka waktu 1999-2004. Gus
Dur, yang berasal dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) hanya
memperoleh 11% kursi DPR, kemudian membentuk sebuah kabinet
bernama "persatuan nasional" yang anggotanya berasal dari perwakilan
semua partai.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
33

3. Sosok Abdurrahman Wahid


Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara yang
dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.
Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri
jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan
pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri
pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak
ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah
K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Abdurrahman Wahid
merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia
(http://www.roabaca.com/serba-serbi).
Pada tahun 1944, Abdurrahman Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta,
tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin
Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan
tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan
Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Abdurrahman Wahid kembali ke Jombang
dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda.
Pada akhir perang tahun 1949, Abdurrahman Wahid pindah ke Jakarta dan
ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta,
masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Abdurrahman
Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh
ayahnya untuk memperluas pengetahuannya (Greg Barton, 2010:49)
Menjelang kelulusannya di Sekolah Dasar, Abdurrahman Wahid
memenangkan lomba karya tulis (mengarang) se-wilayah kota Jakarta dan
menerima hadiah dari pemerintah. Pengalaman ini menjelaskan bahwa
Abdurrahman Wahid telah mampu menuangkan gagasan/ide-idenya dalam sebuah
tulisan. Karenanya wajar jika pada masa kemudian tulisan-tulisan Abdurrahman
Wahid menghiasi berbagai media massa (http://www.roabaca.com/serba-serbi ).
Abdurrahman Wahid terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun
ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953,
commit
ayah Abdurrahman Wahid meninggal to user
dunia akibat kecelakaan mobil.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
34

Pendidikan Abdurrahman Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia


masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya
lalu mengirim Abdurrahman Wahid ke Yogyakarta untuk meneruskan
pendidikannya dengan mengaji kepada K.H. Ali Maksum di Pondok Pesantren
Al-Munawwir di Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari
SMP, Abdurrahman Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan
Muslim di Pesantren Tegalrejo dibawah asuhan Kiai Khudori. Ia mengembangkan
reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam
waktu dua tahun (seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Abdurrahman
Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang untuk belajar penuh di
pesantren di bawah bimbingan Kiai Wahab Chasbullah. Di sana, sementara
melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima
pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala
sekolah madrasah. Di kalangan pesantren, ia di anggap sebagai siswa yang
cemerlang. Studinya ini, yang banyak tergantung pada kekuatan ingatan, hampir-
hampir tidak memberikan tantangan kepada Abdurrahman Wahid yang
mempunyai ingatan amat kuat walaupun ia dikenal sebagai seorang yang malas
dan kurang disiplin dalam studi formalnya (Greg Barton, 2010:52-53).
Abdurrahman Wahid juga dikenal sebagai pemimpin yang nyeleneh dan
tanpa basa basi. Dari lontarannya selalu lahir ungkapan-ungkapan yang membuat
banyak orang tersenyum, menertawakan dirinya sendiri, dan panas telinga. Lalu
yang lebih mutakhir adalah komentar Abdurrahman Wahid ketika menjadi
presiden yang menyatakan sulit membedakan antara Dewan Perwakilan Rakyat
dengan Taman Kanak-kanak (Jaya Suprana, 2010:175).

B. Latar Belakang Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001


Permasalahan utama yang di hadapi oleh Presiden Abdurrahman Wahid
adalah kondisi politik yang tidak stabil sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan
politik presiden yang dinilai kontroversial oleh lawan politik beliau yang duduk di
DPR. Permasalahan dan kebijakan presiden Abdurrahman Wahid dapat dilihat
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
35

dari awal pembentukan kabinet persatuan nasional hingga pembentukan kabinet


persatuan nasional II.
1. Kabinet Persatuan Nasional
Dalam menjalankan tugasnya sebagai presiden, Abdurrahman Wahid
membentuk suatu kabinet yang disebut Persatuan Nasional dan hampir semua
menteri dipaksakan kepadanya. Dalam teorinya, memang Akbar, Megawati,
dan Amien, yang telah setuju untuk menjadi penjamin anggota-anggota partai
mereka yang ikut dalam kabinet. Pengumumam Kabinet dilaksanakan pada
hari Selasa tanggal 26 Oktober 1999 terdiri dari 35 orang Menteri (Greg
Barton, 2010:376).
TABEL I
Susunan Kabinet Persatuan Nasional
NO. Menteri Menteri Persatuan Nasional Nama Menteri
1. Menteri Negara Koordinator Bidang Jendral Wiranto
Politik & Keamanan
2. Menteri Negara Koordinator Bidang Kwik Kian Gie (PDI-P)
Ekonomi, Keuangan & Industri
3. Menteri Negara Koordinator Bidang H. Hamzah Haz (PPP)
Kesejahteraan Rakyat & Pengentasan
Kemiskinan
4. Menteri Luar Negeri Alwi A. Shihab (PKB)
5. Menteri Dalam Negeri Letjen. (Purn) Suryadi
Soedirdja
6. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono
7. Menteri Hukum & Perundang- Yusril Ihza Mahendra (PBB)
undangan
8. Menteri Keuangan Bambang Sudibyo (PAN)
9. Menteri Perindustrian & Perdagangan Jusuf Kalla (P. Golkar)
10. Menteri Pertanian Mohammad Prakosa (PDI-P)
11. Menteri Kehutanan & Perkebunan Nurmahmudi Ismail (P.
Keadilan)
12. Menteri Pertambangan & Energi Letjen. Susilo Bambang
Yudhoyono
13. Menteri Perhubungan Letjen. Agum Gumelar
14. Menteri Eksplorasi laut Sarwono Kusumaatmadja (P.
Golkar)
15. Menteri Tenaga Kerja Bomer Pasaribu (P. Golkar)
16. Menteri Kesehatan commit to user Achmad Sujudi
17. Menteri Pendidikan Nasional A. Yahya Muhaimin (PAN)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
36

18. Menteri Agama Mohammad Tholchah Hasan


(PKB)
19. Menteri Pemukiman & Pengembangan Erna Witoelar
Wilayah
20. Menteri Negara Riset & Teknologi A. S. Hikam
21. Menteri Negara Koperasi & Pengusaha Zarkasih Noer (PPP)
Kecil & Menengah
22. Menteri Negara Lingkungan Hidup Alexander Sonny Keraf (PDI-
P)
23. Menteri Negara Otonomi Daerah Ryaas Rasyid
24. Menteri Negara Pariwisata Kesenian Hidayat Djailani
25. Menteri Negara Penanaman Modal Laksamana Sukardi
& Pembinaan BUMN
26. Menteri Negara Pemuda & Olahraga Mahadi Sinambela (P. Golkar)
27. Menteri Negara Pekerjaan Umum Rafik Boediro Soetjipto
28. Menteri Negara Pemberdayaan Khofifah Indar Parawansa
Wanita (PKB)
29. Menteri Negara Transmigrasi & Al Hilal Hamdi (PAN)
Kependudukan
30. Menteri Negara Pendayagunaan Laksda. (Purn) Freddy
Aparatur Negara Numberi
31. Menteri Negara Masala-masalah Anak Agung Gde Agung
Kemasyarakatan
32. Menteri Negara Urusan Hak Asasi Hasballah M. Saad (PAN)
Manusia
33. Jaksa Agung Marzuki Darusman (P. Golkar)
34. Sekretris Negara Ali Rahman
35. Panglima TNI Laksamana (L) Widodo Adi
Sutjipto
Sumber : Kompas, 27 Oktober 1999

Tindakan resmi dari Presiden Abdurrahman Wahid yang pertama


yaitu membubarkan dua departemen, yang pertama adalah departemen
penerangan dengan alasan banyak kerugian dari pada manfaatnya karena
adanya pengendalian informasi maupun karena kebiasaan untuk memeras uang
dari penerbit media. Yang kedua ditutupnya departemen sosial, alasan yang
diberikan adalah bahwa korupsi dan praktik-praktik pemerasan telah
commit to user
sedemikian merasuki departemen tersebut. Penutupan kedua departemen ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
37

dinilai kontroversial yang membuatnya kehilangan popularitas dikalangan


tertentu (Greg Barton, 2010: 382).
Penghapusan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial
menimbulkan polemik dan ketidakpuasan. Reaksi keras datang dari DPR atas
pembubaran kedua departemen tersebut. DPR menggunakan hak interpelasinya
guna meminta keterangan kepada presiden. DPR menilai presiden mengambil
kebijakan tersebut tanpa berkonsultasi dengan mereka. Tanggal 18 November
1999, presiden dalam keterangannya di depan sidang pleno DPR mengatakan,
tidak akan mencabut kembali kebijakannya itu. Bahkan presiden menyebut
DPR seperti “Taman Kanak-kanak”. Oleh sebagian anggota DPR, hal ini telah
dianggap melecehkan DPR. Hal inilah yang merupakan awal perseteruan
antara Presiden dengan DPR. (P. N. H. Simanjuntak, 2003: 426-427).
Presiden Abdurrahman Wahid dikenal sebagai presiden yang terlalu
sering melakukan perjalanan / kunjungan ke luar negeri sehingga banyak yang
menilai hal tersebut sebagai pemborosan keuangan negara yang kala itu kondisi
ekonomi masih terpuruk. Dalam Greg Barton (2010: 379-381) Pada bulan
November 1999, Abdurrahman Wahid akan mengunjungi Yordania untuk
berpidato dalam Kongres Internasional Konfrensi Dunia mengenai Agama dan
Perdamaian. Abdurrahman Wahid juga ingin mengujungi Salt Lake City untuk
mengobati penglihatannya. Dalam perjalannannya ke Yordania, Abdurrahman
Wahid mengadakan Kunjungan singkat ke negara-negara anggota ASEAN,
Jepang, Amerika Serikat, Qatar, dan Kuwait. Sewaktu mengunjungi Amman
(Yordania), Abdurrahman Wahid bertemu dengan Raja Abdullah dan adiknya,
Putera Mahkota Hussein, dan juga Yasser Arafat. Sebelumnya, Abdurrahman
Wahid sangat ingin bertemu dengan PM. Israel, Ehud Barak, dan ia telah
mengutarakan kegembiraannya yang meluap-luap kemungkinan mengenai
diadakannya pertemuan itu. Pada saat terakhir, kunjungan tersebut dibatalkan
karena adanya tekanan yang besar dari tanah air. Hal ini juga diungkapkan
Untung Wahono (2003: 167) yaitu Keinginan presiden Abdurrahman Wahid
membuka hubungan dengan Isreal ini mendapat reaksi keras terutama dari
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
38

partai-partai di Poros Tengah dan PAN, karena dianggap menyakiti perasaan


umat Islam.
Pada saat mengadakan pertemuan di luar negeri bulan November
1999, Abdurrahman Wahid sering mengungkit masalah yang berkaitan dengan
politik dalam negeri. Pada salah satu konfrensi pers di Salt Lake City (Utah,
Amerika Serikat) Abdurrahman Wahid mengungkit masalah KKN (Kolusi,
Korupsi, dan Nepotisme), ia mengungkapkan secara tak langsung
kecurigaannya bahwa tiga menterinya terlibat KKN. Atas pernyataan
Abdurrahman Wahid tersebut timbul dugaan bahwa salah satu menteri tersebut
adalah Hamzah Haz (Greg Barton, 2010: 381).
Pada tanggal 26 November 1999, satu bulan setelah diumumkannya
susunan kabinet Persatuan Nasional, Hamzah Haz sebagai Menteri Koordinator
Bidang Kesejahteraan Rakyat & Pengentasan Kemiskinan mengumumkan
pengunduran dirinya, dan sebagai penggantinya diangkat Prof. Dr. Basri
Hassanudin, M. A. yang kemudian dilantik pada tanggal 30 November. (P. N.
H. Simanjuntak, 2003: 425).
Peristiwa pemecatan atau pengunduran diri Hamzah Haz
menimbulkan kekecewaan di kalangan PPP yang merasa ikut memberikan
kontribusi besar atas terpilihnya Abdurrahman Wahid. Kekecewaan itu
kemudian disuarakan melalui orang-orang PPP di DPR, untuk kemudian terus
menggelinding seperti bola salju, lebih-lebih setelah Abdurahman Wahid
menyingkirkan pula beberapa menterinya yang berasal dari partai-partai kuat di
DPR (Moh. Mahfud M.D., 2010: 93)
Gerakan separatis di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dan di Papua dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) membutuhkan
perhatian dan penanganan khusus dari presiden Abdurrahman Wahid. Pasca
turunnya Soeharto dan terlepasnya provinsi Timor-timur dari Indonesia,
gerakan separatis tersebut semakin gencar menunjukan identitasnya.
Abdurrahman Wahid terus mengadakan pertemuan dengan pemimpin-
pemimpin Aceh, dalam menghadapi tuntutan mengenai diselenggaraknnya
commitminggu,
suatu referendum dalam hitungan to user Abdurrahman Wahid mencoba
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
39

mengelak, pada saat yang sama Abdurrahman Wahid tidak dapat menjelaskan
apa yang tengah dikerjakannya, mengelak dan pada akhirnya menyatakan
dukungan akan referendum, Abdurrahman Wahid menjelaskan referendum
yang dimaksud adalah referendum menentukan otonomi dan bukan
kemerdekaan seperti referendum Timor Timur. Abdurrahman Wahid ingin
mengadopsi pendekatan yang lebih lembut terhadap Aceh dengan mengurangi
jumlah personel militer di Negeri Serambi Mekah tersebut. Pada 30 Desember,
Abdurrahman Wahid mengunjungi Jayapura di provinsi Irian Jaya. Selama
kunjungannya, Abdurrahman Wahid berhasil meyakinkan pemimpin-pemimpin
Papua bahwa ia mendorong penggunaan nama Papua. (Greg Barton, 2010:
384-386).
Ketika Abdurrahman Wahid melawat ke Eropa pada awal Januari
yang berakhir pada bulan Februari 2000, ia meminta Jendral Wiranto
mengundurkan diri dari jabatan Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan. Karena diduga terlibat dalam pelanggaran HAM pasca jejak
pendapat di Timor Timur (Moh. Mahfud M.D.2010: 94). Dan ketika
Abdurrahman Wahid kembali ke Jakarta, pada tanggal 13 Februari 2000,
Wiranto berbicara dengannya dan berhasil meyakinkan Abdurrahman Wahid
agar tidak menggantikannya. Namun, Abdurrahman Wahid kemudian
mengubah pikirannya dan memintanya mundur (Greg Barton, 2010:389)
Tanggal 14 Februari 2000, Menteri Dalam Negeri Suryadi Soedirja
dilantik menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik & Keamanan
menggantikan Jendral Wiranto yang dinonaktifkan sementara waktu berkenaan
dengan kasus pelangggaran HAM di Timor timur. Dan tanggal 16 Mei 2000
Jendral Wiranto resmi mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Menko
Polkam (P.N.H. Simanjuntak, 2003:425).
Pada 24 April 2000, Abdurrahman Wahid melakukan kesalahan yang
merupakan kesalahan yang fatal. Di bawah tekanan untuk mereformasi tim
ekonominya, Abdurrahman Wahid memecat Menteri Negara Perindustrian dan
Perdagangan Jusuf Kalla, yang berasal dari partai Golkar, dan Menteri Negara
BUMN, Laksamana Sukardi commit to user
dari PDI Perjuangan. Alasan yang diberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
40

Abdurrahman Wahid dalam pemecatan Laksamana adalah karena Laksamana


Sukardi tidak mampu bekerja dengan anggota-anggota timnya. Namun, laporan
media massa menyebutkan bahwa menurut Abdurrahman Wahid, baik Jusuf
Kalla maupun Laksamana Sukardi ternoda oleh korupsi. Tanggal 26 April
2000 Letjen. (Purn) Luhut Binsar Panjaitan dilantik menjadi Menteri Negara
Perindustrian dan Perdagangan menggantikan Jusuf Kalla, dan Rozi Munir
dilantik sebagai Menteri Negara Penanaman Modal & BUMN mrnggantikan
Laksamana Sukardi (Greg Barton, 2010: 398).
Ketika mendapat laporan bahwa Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla
(pernah) melakukan KKN, Abdurrahman Wahid segera memberhentikan
mereka tanpa melihat kekuatan publik yang ada di belakang mereka masing-
masing. Pemberhentian kedua menteri yang berasal dari partai pemenang
pemilu 1999, PDI-P dan Golkar, itu memancing reaksi keras di DPR. PDI-P
dan Golkar, melalui fraksinya, terus menerus mendesak Abdurrahman Wahid
untuk menunjukan bukti bahwa mereka melakukan KKN. Abdurrahman Wahid
sendiri tetap bersikeras dan mengatakan telah menyerahkan bukti-bukti kepada
berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum, untuk dilakukan
pemeriksaan. Tetapi, bukti-bukti tersebut tidak mampu menggiring keduanya
kehadapan aparat penegak hukum (Moh. Mahfud M. D., 2010:93)
Penggantian Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi memicu konflik
lanjutan dengan DPR yang tidak puas dengan penjelasan presiden. Khamami
Zada dalam Mahfud Sidiq ( 2003: 251) menjelaskan pucak konflik terjadi
ketika sejumlah anggota dewan memotori penggunaan hak interpelasi, yakni
hak DPR untuk meminta penjelasan pemerintah berkenaan dengan kebijakan
yang diambil oleh presiden. Akhirnya pada Sidang Paripurna bulan Juni 2000,
menyetujui dilakukannya hak interpelasi pada Sidang Paripurna DPR bulan
Juli 2000. Pada Kamis pagi tanggal 20 Juli 2000 ketika Sidang digelar,
jawaban presiden dibacakan oleh Djohan Effendi selaku Sekretaris Negara, isi
dari jawaban tersebut sama sekali tidak memberikan jawaban mengenai
sejumlah menteri, tetapi mempertanyakan hak interpelasi yang digunakan
commit to
DPR. Menurut presiden hak meminta user
keterangan atau interpelasi, sama sekali
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
41

tidak dikenal dalam pemerintahan presidensial. Hak interpelasi dan hak angket
hanya ada dalam sistem parlementer. Jawaban presiden tersebut bukan
membuat tenang anggota DPR tapi justru membuat suasana semakin panas.
Pada malam harinya (malam Jum’at tanggal 21 Juli 2000), Djohan
mendesak presiden untuk memikirkan dengan teliti tanggapan tertulisnya
kepada DPR keesokan harinya. Malam itu juga Djohan dan yang lainnya
merancang surat guna meminta pengertian dan kesabaran anggota-anggota
DPR untuk memberi maaf dan menjanjikan bahwa di waktu yang akan datang
akan diberikan penjelasan yang lebih lengkap mengenai tindakan-tindakan
pemerintah. Akhirnya surat tanggapan diantar kekantor DPR, dan disambut
baik oleh anggota dewan. Selama akhir pekan tiga petisi disebarkan di antara
anggota-anggota DPR, yang terbesar dengan 252 tanda tangan, memaafkan
presiden tetapi mendesak agar memberikan penjelasan terbuka mengenai
pemecatan dua menteri ekonomi tersebut (Greg Barton, 2010:414). Ketegangan
antara DPR dan Presiden untuk sementara mereda setelah Abdurrahman Wahid
selaku presiden meminta maaf kepada ketua DPR, Akbar Tanjung. Permintaan
maaf presiden ternyata cukup efektif untuk meredakan ketegangan politik
memasuki Sidang Tahunan MPR Agustus 2000 (Mahfudz Sidiq, 2003:251).
Tanggal 7 hingga 18 Agustus 2000, Sidang Tahunan MPR untuk
pertama kali diadakan yang dipimpin langsung Ketua MPR Amien Rais.
Tanggal 7 Agustus sebelum dibacakan laporan tahunan presiden kepada MPR,
Presiden dalam kata pengantarnya mengisyaratkan adanya perombakan
struktur kabinet namun belum menentukan bagaimana perombakan kabinet
tersebut. Tanggal 8 Agustus, sebagian besar fraksi-fraksi MPR secara umum
sangat tidak puas dengan kinerja Pemerintahan Abdurrahman Wahid. Fraksi-
fraksi tersebut antara lain PPP, PBB, Reformasi, dan Golkar, sedangkan PDI-P,
TNI/Polri, Utusan Golongan, Daulatul Ummah, dan fraksi Kesatuan
Kebangsaan Indonesia (F-KKI), memberikan catatan atas kinerja presiden.
Selama Sidang Tahunan MPR, presiden diantaranya mengadakan pertemuan
dengan Amien Rais, Akbar Tanjung, Hamzah Haz, Yuzril Ihza Mahendra dan
commit
Megawati Soekarnoputri (P.N.H. to user 2003:428)
Simanjuntak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
42

2. Kabinet Persatuan Nasional II (23 Agustus 2000)


Pada hari Rabu tanggal 23 Agustus 2000, presiden Abdurrahman
Wahid mengumumkan susunan kabinetnya, tanpa didampingi wakil presiden
Megawati Soekarnoputri, ketidak hadiran Megawati dengan cepat ditafsirkan
sebagai tanda buruk. Susunan Pembentukan Kabinet Persatuan II ini kemudian
dibacakan oleh Marsillam Simanjuntak (Greg Barton, 2010: 430), susunan
Kabinet Persatuan II sebagai berikut:
TABEL II
Susunan Kabinet Persatuan II
NO. Menteri-menteri Persatuan Nasional II Nama-nama Menteri
1. Menteri Negara Koordinator Bidang Jend. (Purn) Susilo
Politik, Sosial & Keamanan Bambang Yudhoyono
2. Menteri Negara Koordinator Bidang Rizal Ramli
Perekonomian
3. Menteri Luar Negeri Alwi A. Shihab
4. Menteri Dalam Negeri & Otonomi Letjen. (Purn) Suryadi
Daerah Soedirdja
5. Menteri Pertahanan Moh. Mahfud M. D.
6. Menteri Kehakiman & Hak Asasi Yusril Ihsa Mahendra
Manusia
7. Menteri Keuangan dan Pemberdayaan Prijadi Praptosuhardjo
BUMN
8. Menteri Perindustrian & Perdagangan Letjen. (Purn) Luhut Binsar
Panjaitan
9. Menteri Pertanian dan Kehutanan Bungaran Saragih
10. Menteri Energi & Sumber daya Mineral Purnomo Yusgiantoro
11. Menteri Perhubungan & Letjen. (Purn) Agum
Telekomunikasi Gumelar
12. Menteri Kelautan & Perikanan Sarwono Kusumaatmaja
13. Menteri Tenaga Kerja & Transmigrasi Al Hilal Hamdi
14. Menteri Kesehatan & Kesejahteraan Achmad Sujudi
Sosial
15. Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muaimin
16. Menteri Agama Mohammad Tholchah Hasan
17. Menteri Kebudayaan & Pariwisata I Gde Ardika
18. Menteri Pemukiman & Pengembangan Erna Witoelar
Wilayah

19. Menteri Negara Riset & Teknologi A.S. Hikam


20. Menteri Negara Urusan Koperasi
commit to&user Zarkasih Noer
Usaha kecil dan Menengah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
43

21 Menteri Negara Lingkungan Hidup Alexander Sonny Keraf


22. Menteri Negara Pemberdayaan Khofifah Indar Parawansa
Perempuan/ Ketua BKKBN
23. Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Ryaas Rasyid
Negara
24. Menteri Muda Kehutanan (melekat pada Nurmahmudi Ismail
Departemen Pertanian & Kehutanan)
25 Menteri Muda Percepatan Pembangunan Manuel Kaisiepo
Kawasan Timur Indonesia (melekat
pada Menko Polsoskam)
26. Menteri Muda Urusan Restrukturisasi Cacuk Sudarijanto
Ekonomi Nasional (melekat pada
Menteri Perekonomian)
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2004

Pengumumam kabinet baru ini disambut dengan rasa terkejut dan


kecewa oleh sejumlah tokoh politik. Kompetensi personalia yang diragukan,
dan kurang dilibatkannya wakil partai-partai politik dalam komposisi kabinet,
dikhawatirkan akan menyulitkan dukungan parlemen terhadap kabinet yang
baru dibentuk (P.N.H. Simanjuntak, 2003: 432). Dari susunan Kabinet tersebut
ada dua menteri yang menuai kritik karena dinilai tidak tepat menduduki posisi
tersebut. Salah satunya seperti pernyataan Arief Budiman (2010: 126) yang
menyatakan bahwa:
Indonesia kini menghadapi dua persoalan yang saling berkaitan: krisis
ekonomi dan krisis politik. Krisis ekonomi Indonesia sukar diatasi
tanpa keadaan politik membaik sampai pada tingkat yang bisa
diterima investor. Sebaliknya krisis politik sangat tergantung pada
perbaikan keadaan ekonomi.
Yang membingungkan adalah karena pada dua bidang ini ditunjuk dua
orang yang dianggap lemah untuk memimpin dua kementrian yang
strategis. Yang pertama, Priyadi Praptosoehardjo. Menteri keuangan
yang baru, kawan dekat Gus Dur yang tidak lulus fit and proper test
dari Bank Indonesia ketika mau diangkat jadi Direktur Utama BRI.
Nama kedua adalah Prof. Moh. Mahfud M.D. sebagai Menteri
Pertahanan. Guru Besar Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta ini
adalah ahli hukum yang tidak punya pengalaman bekerja di lembaga
militer.

Untuk menjawab banyaknya kritik dan pernyataan serupa, presiden


menjelaskan bahwa Mahfud commit
sebagaito Menteri
user Pertahanan walaupun tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
44

memiliki pengalaman, namun Mahfud M. D. merupakan ahli dalam reformasi


hukum, karena hal itulah maka Mahfud dipilih untuk posisi Menhan karena
menurut pandangan presiden tantangan utama yang dihadapi oleh militer dan
polisi adalah reformasi hukum dan merapikan yurisdiksi hukum. Sedangkan
pembelaan presiden terhadap dipilihnya Prijadi sebagai Menteri Keuangan
karena presiden telah mengenal Prijadi selama 16 tahun dan merasa yakin
bahwa integritasnya tidak diragukan. Bahkan presiden menyatakan Prijadi
menjadi korban pertarungan politik dalam Bank Sentral yang dipimpin oleh
Syahril Sabirin dan kolega-koleganya yang kesemuanya diangkat oleh
Soeharto (Greg Barton, 2010: 431-432).
Pada tanggal 26 Agustus 2000, para Menteri-menteri Kabinet
Persatuan Nasional kedua dilantik dan diambil sumpahnya oleh Wakil Presiden
Megawati Soekarnoputri di saksikan Presiden Abdurrahman Wahid di Istana
Negara. Acara pelantikan ini berlangsung tanpa ada kata pengantar atau
sambutan dari presiden. Dalam Kabinet Persatuan Nasional II ini, hampir
seluruh Menteri berasal dari Kabinet Persatuan Nasional I dan hanya 8 Menteri
baru, yaitu Rizal Ramli, Mahfud M.D., Prijadi Praptosoeharso, Bungaran
Saragih, Purnomo Yusgiantoro, I Gde Ardhika, Manuel Kaisiepo, dan Cacuk
Sudarijanto. (P.N.H. Simanjuntak, 2003: 432)
Pembentukan Kabinet Persatuan Nasional II memperburuk hubungan
antara presiden dengan DPR. Ketika kasus Buloggate dan Bruneigate mencuat
ke permukaan, sejumlah 236 anggota DPR mengusulkan kepada DPR untuk
mengadakan hak angket dengan pembentukan panitia khusus (Pansus) untuk
menyelidiki kasus dana milik Yayasan Yanatera Bulog dan kasus dana bantuan
dari Sultan Brunei Darusalam kepada presiden Abdurrahman Wahid. Usulan
itu kemudian dibahas dalam rapat paripurna DPR, tanggal 28 Agustus 2000
(Mahfudz Sidiq, 2003:253).
Kasus Bulog adalah kasus bobolnya 35 miliar rupiah Yayasan Dana
Kesejahteraan (Yanatera) Bulog yang melibatkan orang yang dikenal sebagai
teman presiden Abdurrahman Wahid, Suwondo. Kasus ini dikaitkan dengan
Abdurrahman Wahid karena, commit to user
selain melibatkan Suwondo, sebelum dana itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
45

bobol ada peristiwa yang mendahuluinya, yakni bertemunya para pelaku


dengan Abdurrahman Wahid.
Wakil Kepala Bulog Sapuan dengan ditemani Suwondo, bertemu dengan
Gus Dur dikantornya. Tidak jelas, apakah mereka datang karena
dipanggil Gus Dur atau atas inisiatif mereka sendiri. Tetapi ketika itu
Gus Dur menanyakan pada Sapuan, apakah ada dana di Bulog yang bisa
dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengatasi pergolakan di Aceh.
Sapuan mengatakan bahwa ada dana di Yanatera Bulog, tetapi
pengeluarannya harus dengan perintah Kepala Bulog, Jusuf Kalla, yang
ketika itu merangkap juga sebagai Menteri Perdagangan dan
Perindustrian.
Ketika pada akhirnya diperoleh informasi bahwa, menurut Jusuf Kalla,
dana bisa dikeluarkan asalkan ada Keputusan Presiden untuk itu, Gus
Dur mengatakan ‘tidak jadi’ menggunakan dana Bulog. Gus Dur tidak
mau menggunakan dana Bulog jika harus dengan Kepres. Tetapi,
beberapa waktu setelah itu, ternyata dana Bulog sebesar 35 miliar rupiah
bisa cair tanpa Kepres dan tanpa sepengetahuan Jusuf Kalla…” (Moh.
Mahfud M. D., 2010:96).

Pada awal Mei 2000, Abdurrahman Wahid mendengar dari orang


yang bekerja di Bulog bahwa uang dalam jumlah yang cukup besar, sebesar 35
miliar telah hilang dari rekening cadangan. Ia juga mendengar bahwa orang
yang diserahi uang itu adalah Suwondo bekas tukang pijit presiden untuk
beberapa lama. Jelas Suwondo telah mendatangi Bulog dan mengatakan bahwa
ia mengambil uang karena presiden memerintahkannya sebagai utusan
khususnya. Sebagian besar dari uang tersebut dapat diperoleh kembali dalam
beberapa bulan walaupun Suwondo sendiri menghilang dan bersembunyi.
(Grag Barton, 2010: 401)
Presiden Abdurrahman Wahid bereaksi keras atas tuduhan
keterlibatannya pada kasus hilangnya dana Bulog atau kasus Buloggate,
Abdurrahman Wahid menjawab bahwa dirinya tidak tahu tentang pembobolan
dana Bulog. Oleh Karena itu, Abdurrahman Wahid meminta agar kasus
tersebut diselesaikan secara hukum dan siap diperiksa sewaktu-waktu. Keadaan
menjadi rumit ketika Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa dia
tidak lagi membutuhkan dana Bulog untuk mengatasi pergolakan di Aceh
karena telah ada bantuan dana dari Sultan Brunei Darussalam. Disini
commit to user
Abdurrahman Wahid telah melakukan kekeliruan dalam memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
46

penjelasan sebab dana bantuan dari Brunei itu sebenarnya adalah dana bantuan
keluarga Sultan melalui Ario Wowor yang kemudian disalurkan melalui Gus
Dur pribadi. Benar saja, keterangan Gus Dur tentang adanya bantuan dana dari
Brunei itu memperuncing perdebatan karena sebelumnya tidak pernah disebut-
sebut. Menurut parpol-parpol di DPR, seharusnya dana tersebut dilaporkan ke
kas negara dan penggunaannya harus dipertanggungjawabkan (Moh. Mahfud
M.D., 2010:98).
Menurut catatan Majalah Tempo (2001 : 38-41), dana yang berasal
dari keluarga Sultan Brunei dalam kasus Bruneigate diperoleh melalui
perantara seorang pengusaha bernama Ario Wowor yang dekat dengan
Presiden Wahid. Keluarga Sultan Brunei memberikan dana tersebut untuk
tujuan kemanusiaan di Indonesia. Ario Wowor menyampaikan kepada presiden
Wahid mengenai bantuan tersebut, Selanjutnya presiden menganjurkan H.
Masnuh seorang bendahara NU untuk menangani bantuan tersebut.
Tanggal 5 September 2000, dengan keputusan DPR-RI No.
05/DPRRI/2000-2001, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk
mengadakan penyelidikan terhadap keterlibatan Presiden Abdurrahman Wahid
dalam kasus milik Yanatera Bulog dan kasus dana bantuan Sultan Brunei.
Pansus yang beranggotakan 50 orang tersebut diketuai oleh Bachtiar
Chamsyah dari Fraksi PPP. Meski pembentukan Pansus dinilai illegal oleh
presiden, namun DPR dalam Rapat Paripurnanya tanggal 29 Januari 2001
menerima laporan hasil kerja Pansus secara aklamasi. Dalam kesimpulannya
pansus menyatakan bahwa presiden patut diduga berperan dalam pencairan dan
penggunaan dana Yanatera Bulog, serta presiden inkonsistensi dalam
pernyataannya mengenai aliran dana dari Sultan Brunei. Rapat Paripurna DPR
tersebut diwarnai aksi walk out-nya 6 orang anggota Fraksi Kebangkitan
Bangsa yang tidak setuju rapat diteruskan. (P.N.H. Simanjuntak, 2003:437)
Sidang paripurna DPR pada tanggal 1 Februari 2001 dengan agenda
mendengarkan pandangan umum fraksi-fraksi atas laporan kerja pansus
buloggate dan bruneigate, menghasilkan keputusan menyetujui dan menerima
commitdan
laporan hasil kerja pansus Buloggate to user
Bruneigate. Pada pukul 22.15 Sidang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
47

paripurna DPR akhirnya menjatuhkan memorandum I kepada presiden yang


dinilai melanggar haluan negara dan tidak bebas KKN. Memorandum tersebut
dikeluarkan berdasar pasal 7 TAP MPR No. III/MPR/1978, yang menyangkut
DPR RI dapat menyampaikan memorandum untuk mengingatkan presiden.
Dalam hal ini menurut penilaian DPR, Presiden Abdurrahman Wahid telah
melanggar haluan negara, yaitu Pasal 9 UUD 1945 tentang sumpah jabatan,
dan melanggar TAP MPR No. XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan negara
yang bersih dan bebas KKN (Mahfudz Sidiq, 2003 : 253).
Tanggal 20 April 2001, pada suatu konferensi internasional penting di
Istana Bogor yang terdiri dari orang-orang penting Indonesia dan dihadiri oleh
ratusan pengusaha nasional dan internasional, pada kesempatan itu presiden
mengatakan bahwa ia khawatir akan kekerasan apabila ia dicopot dari
jabatannya karena ada 400.000 orang akan siap menyerbu Jakarta. Pernyataan
presiden ini menunjukan bahwa ia mendukung orang-orang itu ke ibu kota. Hal
ini serupa dengan pernyataan Alvin Lie (Mei 2001:22) mengungkapkan :
Instead of showing goodwill in heeding and obeying the censuring
memorandum, Wahid has been showing signs of retaliation. In limited
meetings he has expressed his desire to declare a state of emergency
and dissolve the parliament. He, also, has not shown a concerted effort
in preventing and halting his fanatical supporters in East Java from
mass violence, destruction and human rights violations. In fact, his
remarks can be interpreted as condoning mass terrorism as a form of
political blackmail on parliament in order to retract the memorandum.
In front of an international audience in Jakarta, Wahid even made a
statement that should he be removed from office before his term ends
in 2004, 400,000 of his supporters will stage a national rebellion. It is
evident that Wahid is attempting to shore up his power through very
undemocratic means.

Yang dapat di artikan sebagai berikut:

Bukannya menunjukkan iktikad baik untuk mengindahkan dan


mematuhi memorandum, Wahid justru menunjukkan sikap
perlawanan. Dalam pertemuan terbatas ia telah menyatakan
keinginannya untuk menyatakan keadaan darurat dan membubarkan
parlemen. Dia juga belum menunjukkan upaya terpadu dalam
mencegah dan menghentikan kekerasan massa, perusakan dan
commit
pelanggaran HAM yang to user pendukung fanatiknya di Jawa
dilakukan
Timur. Bahkan, pernyataannya dapat diartikan sebagai memaafkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
48

terorisme massa sebagai bentuk politik pemerasan di parlemen untuk


menarik kembali memorandum tersebut. Di hadapan sebuah
pertemuan internasional di Jakarta, Wahid bahkan membuat
pernyataan apabila ia harus diberhentikan sebelum masa jabatannya
berakhir pada tahun 2004, 400.000 pendukungnya akan melancarkan
pemberontakan nasional. Jelas bahwa Wahid berusaha untuk
menopang kekuasaannya melalui sarana yang sangat tidak demokratis.

Pada tanggal 28 Maret 2001, presiden Abdurrahman Wahid


menyampaikan jawaban tertulis atas memorandum I dihadapan Sidang
Paripurna DPR yang dibacakan Menteri Kehakiman dan HAM Baharudin
Lopa. Dalam jawabanya yang dibacakan Baharuddin Lopa, Abdurrahman
Wahid menerima memorandum sebagai kenyataan politik yang tidak dapat
dihindarkan. Namun, presiden Wahid tidak menerima isi memorandum
tersebut karena tidak memenuhi alasan konstitusional. Dalam jawabannya
tersebut presiden tetap menyatakan dirinya tidak bersalah atas dugaan kasus
buloggate dan bruneigate (P.N.H Simanjuntak, 2003 : 438-439).
Terkait jawaban Presiden Wahid atas memorandum I, Mahfudz Sidiq
(2003 : 254) mengungkapkan pandangan umum sebagian besar fraksi-fraksi di
DPR tidak puas atas jawaban presiden dan menilai Presiden Wahid menolak
atau mengabaikan memorandum I. Dalam rapat paripurna DPR tanggal 30
April 2001 menghasilkan keputusan dikeluarkannya memorandum II bagi
Presiden Abdurrahman Wahid setelah melewati voting dengan hasil 363 angota
menyatakan setuju, 52 tidak setuju dan 42 abstain. Presiden diberi waktu satu
bulan untuk memperhatikan memorandum II tersebut, sebelum rapat paripurna
berikutnya memutuskan apakah fraksi-fraksi bisa menerima perubahan kinerja
yang dilakukan presiden atau tidak. Apabila DPR bisa menerima perubahan
yang dilakukan presiden, maka selesailah peringatan tersebut. Namun apabila
DPR menganggap tidak, maka DPR bisa mengundang MPR untuk
menyelenggarakan Sidang Istimewa.
Pada tanggal 28 Mei 2001 Jaksa Agung menyampaikan hasil
penyelidikan Kejaksaan Agung mengenai kasus buloggate dan bruneigate ke
pimpinan DPR. Dalam kasuscommit to user Agung menyatakan Presiden
ini Kejaksaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
49

Abdurrahman Wahid tidak terbukti terlibat dalam kedua kasus tersebut (P.N.H.
Simanjuntak, 2003 : 441).
Pada tanggal 29 Mei 2001 Presiden Abdurrahman Wahid menjawab
Memorandum II melalui surat yang ditujukan pada pimpinan DPR. Surat
jawaban presiden setebal tiga halaman dan lampiran setebal 33 halaman
disampaikan oleh Menko Polkam Susilo Bambang Yudoyono kepada ketua
DPR Akbar Tanjung. Dalam suratnya presiden Wahid menyimpulkan bahwa
landasan hukum memorandum II belum jelas, presiden juga menegaskan
berdasarkan TAP MPR No. III tahun 1978 tidak ada keharusan untuk
menjawab memorandum, karena sifatnya hanya peringatan. Menurut presiden
Wahid isi dari memorandum II tidak jelas dan telah keluar dari substansi
memorandum I yang mempersoalkan kasus bulog dan bantuan dari sultan
brunei. Dalam jawabannya terhadap memorandum II dilampirkan juga Surat
dari jaksa agung Marzuki Darusman yang menyatakan Presiden Abdurrahman
Wahid tidak terlibat dalam kasus penyelewengan dana Bulog dan dana bantuan
dari Sultan Brunei. Jawaban Presiden Wahid ini menimbulkan reaksi keras di
kalangan DPR ( Mahfudz Sidiq, 2003 : 454).
Pada tanggal 30 Mei 2001 rapat paripurna DPR yang dipimpin Wakil
Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (F-PDIP) secara resmi meminta MPR
melaksanakan Sidang Istimewa dengan agenda meminta pertanggungjawaban
presiden. Hasil rapat paripurna dituangkan dalam surat keputusan DPR No.
51/DPR RI/IV/2000-2001, DPR menyatakan bahwa Presiden Abdurrahman
Wahid tidak mengindahkan memorandum II yang isinya menganggap presiden
telah melanggar haluan negara yaitu melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang
sumpah jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (P.N.H. Simanjuntak,
2003 : 443).
Menindaklanjuti permintaan DPR, pada tanggal 31 Mei 2001
diadakan rapat pimpinan MPR dan rapat konsultasi pimpinan MPR dengan 11
pimpinan Fraksi MPR (P.N.H. Simanjuntak, 2003 : 444). Mahfudz Sidiq
(2003:255) menyebutkan rapatcommit to user
pimpinan MPR memutuskan Badan Pekerja
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
50

MPR akan melakukan rapat dimulai pada tanggal 1 Juni 2001 untuk
mempersiapkan agenda Sidang Istimewa MPR. Rapat Pimpinan MPR juga
memutuskan Sidang Istimewa MPR akan dilaksanakan pada tanggal 1 Agustus
2001.
Pada awal Juli, Presiden Abdurrahman Wahid berinisiatif untuk
bertemu dengan enam partai besar yakni PDI-Perjuangan, Golkar, PPP, PKB,
PAN, dan PBB di Istana Bogor. Namun, pertemuan ini gagal, karena hanya
Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil yang datang. Seperti yang dimuat
Media Indonesia tanggal 10 Juli 2001 yang berjudul “Pertemuan Wahid-Parpol
Gagal” sebagai berikut:
...Pertemuan Presiden Abdurrahman Wahid dan para pemimpin Parpol
di Istana Bogor, kemarin Gagal. Presiden kemudian memberikan
batasan waktu sampai 20 Juli 2001 kepada DPR/MPR untuk
melakukan rekonsiliasi. Jika tidak, dekrit dalam keadaan bahaya akan
dikeluarkan.
Penegasan itu disampaikan Presiden Wahid dalam keterangan pers Di
Istana Bogor, kemarin. Wahid berada di dalam Istana Bogor dalam
rangka silaturahmi dengan pimpinan parpol. Dari ketua umum enam
parpol besar yang diundang –PDI-Perjuangan, Golkar, PPP, PKB,
PAN, dan PBB—hanya Ketua Umum PKB Matori Abdul Djalil yang
datang.
“karena tidak ada yang datang, dengan ini saya tegaskan pertemuan
gagal, karena pihak parpol tidak bersedia datang, bukan pihak
pemerintah,” tegas Wahid diawal keterangannya…

Menanggapi pernyataan dari Presiden Abdurrahman Wahid yang akan


memberlakukan Dekrit, MPR melalui tujuh Fraksi sepakat menggelar rapat
pleno. Seperti yang diungkapkan Media Indonesia tanggal 18 Juli 2001 dengan
judul “Tujuh Fraksi Sepakat Gelar Rapat Pleno 20 Juli 2001” yaitu:
…Tujuh Fraksi MPR sepakat Gelar Rapat Pleno fraksi pada 20 Juli
nanti. Bertepatan dengan rencana Presiden Abdurrahman Wahid
mengumumkan dekrit negara dalam keadaan bahaya dan pembubaran
MPR/DPR.
Tujuh fraksi itu adalah Fraksi Partai Golkar, PPP, Reformasi, PDI-P,
Perserikatan Daulatul Ummah, Bulan Bintang, dan Utusan Golongan.
“Insya Allah, tanggal 20 Juli, fraksi-fraksi akan mengadakan
pertemuan di tempat masing-masing di Gedung MPR ini, untuk
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
51

mengantisipasi kemungkinan dikeluarkannya Dekrit Presiden,” tegas


Ketua MPR Amien Rais…
Amien Rais mengulang lagi bahwa kalau Presiden berani
mengeluarkan dekrit, dua jam setelah itu, pimpinan MPR akan
mengundang anggota untuk Rapat Paripurna. Rapat Paripurna itu
untuk menentukan SI dan jadwalnya, sekaligus meminta Presiden
memenuhi kewajiban hadir di SI…

Pada tanggal 20 Juli 2001 suasana politik ditanah air semakin


memanas. Pada hari itu sekitar pukul 17.30 WIB di Istana Negara, presiden
Abdurrahman Wahid melantik Komisaris Jendral Chaeruddin Ismail sebagai
Pemangku Jabatan Sementara Kapolri dengan pangkat Jendral. Pelantikan ini
segera dijadikan alasan oleh pimpinan MPR pada malam harinya untuk
melaksanakan sidang paripurna dalam rangka Sidang Istimewa pada tanggal 21
Juli 2001. Pada tanggal 21 Juli 2001 sidang paripurna MPR digelar dan
memutuskan sidang istimewa dipercepat dan dilaksanakan pada hari itu juga.
Sebagian besar fraksi setuju untuk melakukan percepatan sidang istimewa
karena presiden dinilai telah melanggar Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000
dalam memberhentikan Kapolri Jendral Surojo Bimantoro lalu
menggantikannya dengan Komisaris Jendral Chaeruddin sebagai PJS Kapolri
dengan pangkat Jendral (P.N.H Simanjuntak, 2003: 447).

C. Proses Terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid 23 Juli 2001


Pada 20 Juli 2001 setelah pelantikan Jendral Chaerudin, Amien Rais
mengadakan rapat diruang kerjanya di gedung parlemen. Amien Rais memimpin
rapat yang dihadiri sekitar 20 legislator untuk menanggapi pelantikan Cheruddin
Ismail. Keputusan rapat diungkapkan Amien Rais dalam Andreas Harsono (2009:
4) menyatakan:
… Besok, Sabtu 21 Juli, mulai pukul 10.00 pagi kami mengundang
seluruh anggota majelis untuk mengadakan rapat paripurna dalam
rangka Sidang Istimewa MPR.
…Pengangkatan Cheruddin Ismail dapat membuat institusi
kepolisisan retak dan pecah sehingga mengganggu keamanan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
52

Amien Rais juga menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan


dimajukan pada 23 Juli. Namun pada sidang paripurna MPR tanggal 21 Juli 2001
memutuskan bahwa Sidang Istimewa MPR dilaksanakan pada hari itu juga. Dari
600 anggota MPR yang hadir dalam rapat paripurna, 592 di antaranya setuju
melakukan percepatan Sidang Istimewa MPR. Pendapat Fraksi-fraksi terhadap
pelaksanaan Sidang Istimewa MPR-RI dapat dilihat pada lampiaran III. Dan
beberapa saat kemudian, rapat pleno telah menjelma menjadi sebuah Sidang
Istimewa, yang direncanakan berlangsung sampai 29 Juli.
Pada Minggu 22 Juli 2001, dijadwalkan fraksi-fraksi di MPR akan
menyiapkan materi rapat. Di luar persidangan, direncanakan pula akan terjadi
pertemuan para pemimpin partai politik di rumah dinas Wakil Presiden Megawati,
Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. Selanjutnya, Megawati Soekarnoputri
mempersilahkan Amien Rais, Ketua Partai Amanat Nasional sekaligus Ketua
MPR, maupun Akbar Tanjung, Ketua Partai Golongan Karya sekaligus Ketua
DPR, untuk memberitahu wartawan Hasil pertemuan itu yang dikutip oleh
Andreas Harsono (2009:16), Amien Rais menyatakan :”…tidak berapa lama lagi
Indonesia akan melihat sebuah kepemimpinan nasional yang baru, Insya Allah itu
semua tergantung Allah, kami semua disini sudah bersepakat untuk memberikan
dukungan moral kepada ibu Megawati Soekarnoputri”.
Pernyataan yang dibuat oleh Amien Rais tersebut dinilai oleh presiden
Abdurrahman Wahid sebagai ajakan untuk adu kekuatan, dan tidak mau
melakukan kompromi politik, ini dapat dilihat dalam pernyataan presiden dalam
pidatonya pada malam harinya, yang dikutip oleh P. H. Simanjutak (2003: 450).
Presiden Abdurrahman Wahid menyatakan:
”…Ini saya berarti akan diturunkan oleh mereka. Itu namanya sudah
mengajak adu kekuatan. Sudah tidak mencari kompromi politik lagi. Belum
ada sidang, arahnya sudah kesana. Oleh karena itu, tidak bisa lain. Kalau
memang sudah politis, adu kuat. Ya mari adu kuat. Kekuatan siapa yang
menang. Saya jamin tidak ada tindakan kekerasan dari masyarakat. Karena
itu, saya juga minta aparat keamanan tidak menembak siapapun,” kata
presiden.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
53

Menanggapi keputusan MPR tentang pelaksanaan Sidang istimewa pada


tanggal 29 Juli tersebut, tepat pukul 01:05 WIB Senin, tanggal 23 Juli 2001
dinihari, Presiden KH. Abdurrahman Wahid, di Istana Merdeka Jakarta, berpidato
dan menyatakan akan memberlakukan dekrit, beliau mengatakan bahwa itu bukan
tindakan yang menyenangkan tetapi dia harus mengambil tindakan untuk
keselamatan negara. Presiden meminta agar TNI dan Polri mengamankan
pelaksanaan dekrit (Andreas Harsono, 2009:36). Isi lengkap Dekrit dibacakan
oleh salah satu juru bicara presiden yaitu Yahya C. Staquf yaitu: (1) Membekukan
MPR dan DPR, (2) Mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat dan mengambil
tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan
pemilihan umum dalam waktu satu tahun, (3) Menyelamatkan gerakan Reformasi
total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar
sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung. Isi dekrit dapat dilihat pada
lampiran IV
Setelah dibacakannya Dekrit atau Maklumat Presiden, malam itu juga,
Akbar Tanjung meminta Fatwa kepada Mahkamah Agung yang menilai
keabsahan Maklumat itu, sedangkan MPR memutuskan untuk menggelar Sidang
Istimewa. Karena situasi politik yang mendahului, MA sendiri sejak sehari
sebelumnya, memang sudah diminta bersiap pada malam itu untuk bersidang dan
segera memberi fatwa. Begitu juga dengan MPR yang para anggotanya telah lama
dikumpulkan di Jakarta untuk sewaktu-waktu hadir jika Sidang Istimewa
diselenggarakan secara mendadak (Moh. Mahfud M.D., 2010:210).
Menanggapi di keluarkannya Dekrit Presiden Kapuspen TNI Marsda TNI
Graito Usodo menegaskan bahwa TNI tidak mendukung pemberlakuan dekrit
tersebut, dengan tidak akan melaksanakan perintahah presiden dan tetap akan
mengamankan pelaksanaan Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(Media Indonesia, 23 Juli 2001) Hanya delapan jam setelah Dekrit diumumkan
presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang dan memberhentikan
Presiden. (Tjipta Lesmana, 2009: 215).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
54

D. Dampak Yang Timbul Atas Dikeluarkannya Dekrit 23 Juli 2001


Dekrit yang dikeluarkan oleh Abdurrahman Wahid merupakan puncak
Kontroversi dan Konflik antara presiden dan DPR/MPR. Dekrit yang dikeluarkan
presiden tidak dapat dilaksanakan, dikarenakan tidak didukung oleh TNI dan Polri
serta tidak didukung oleh Mahkamah Agung. Adapun dampak dari
dikeluarkannya Dekrit 23 Juli 2001 adalah sebagai berikut:
1. Pencabutan Mandat dan Pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid oleh
MPR RI
Dikeluarkannya dekrit menuntut lembaga-lembaga negara untuk
mengeluarkan sikap. DPR selaku pihak yang terkait langsung dengan isi
dekrit presiden berinisiatif untuk memakzulkan (impeachment) presiden
Abdurrahman Wahid melalui sidang istimewa MPR. Untuk landasan
hukumnya, DPR mengajukan permohonan kepada MA untuk mengeluarkan
fatwa/keputusan MA terkait dengan dikeluarkannya dekrit. Rodjil Ghufron
(2001 : 124-126) menyebutkan MA selaku lembaga yudikatif yang
memegang kekuasaan kehakiman mengeluarkan fatwa/keputusan MA
nomor KMA/419/VII/2001 tertanggal 23 Juli 2001 dimana Mahkamah
Agung memberikan pertimbangan hukum terkait dikeluarkannya dekrit,
yang isinya sebagai berikut:
a. Dalam hal Pembekuan MPR-RI dan DPR-RI, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa berdasarkan Penjelasan UUD 1945 angka VII
dibawah sub Judul Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat yang
menyatakan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat itu kuat. Kemudian
berdasarkan pasal 2 UUD 1945 beserta penjelasan umum sub judul VII
dan berdasarkan Bab II bagian pertama pasal 2 UU-RI No. 4 tahun 1999
tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang
menyatakan bahwa anggota DPR karena kedudukannya adalah juga
anggota MPR. Kemudian berdasar penjelasan umum UUD 1945 sub
judul III tentang kekuasaan negara yang tertinggi ditangan MPR yang
menyatakan bahwa presiden diangkat, tunduk dan bertanggungjawab
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
55

kepada MPR. Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum presiden tidak
bisa membekukan DPR-RI, apalagi membekukan MPR-RI.
b. Dalam hal pembentukan badan guna menyelenggarakan pemilihan
umum dalam waktu satu tahun, MA berpendapat:
Mengenai pembentukan badan guna menyelenggarakan pemilihan
umum dalam jangka waktu satu tahun merupakan kewenangan MPR-RI
berdasarkan ketetapan No. XIV/MPR/1998 tentang perubahan dan
tambahan atas ketetapan MPR No. III/MPR/1988 tentang pemilihan
umum dan penanggung jawaban pemilihan umum adalah presiden
berdasar UU No. 3 tahun 1999 tentang pemilu.
c. Dalam hal pembentukan Partai Golongan Karya, MA berpendapat :
Berdasarkan pasal 17 ayat (2) UU no. 2 tahun 1999 tentang partai
politik yang berwenang untuk membekukan partai adalah Mahkamah
Agung. Sehingga tindakan membekukan partai Golkar oleh presiden
merupakan tindakan mencampuri kewenangan badan peradilan. Selain
itu, alasan presiden untuk membekukan partai Golkar tidak jelas. Oleh
karena itu, pembekuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Atas
pertimbangan hukum diatas, MA Republik Indonesia berpendapat
bahwa dikeluarkannya Dekrit Presiden tertanggal 23 Juli 2001 adalah
bertentangan dengan hukum.
Setelah Fatwa dari MA telah didapat, DPR yang juga menjadi
anggota MPR membawa permasalahan dekrit ini ke sidang istimewa MPR
pada tanggal 23 Juli 2001. Dalam persidangan di sidang istimewa MPR
menghasilkan beberapa ketetapan yang terkait dengan dekrit presiden
Abdurrahman Wahid dan jabatan yang dipegangnya. Pagi hari tanggal 23
Juli 2001, MPR menggelar sidang istimewa dipimpin langsung oleh Ketua
MPR Amien Rais. Dalam persidangan ini, dari 601 anggota MPR yang
hadir, 599 anggota menolak Maklumat Presiden dan hanya ada dua anggota
abstain. Sikap resmi MPR ini dituangkan ke dalam Ketetapan MPR
No.1/MPR/2001 tentang Sikap MPR RI terhadap Maklumat Presiden
commit
Republik Indonesia tanggal to user
23 Juli 2001. Dalam Tap MPR tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
56

dinyatakan bahwa Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli


2001 adalah tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan tidak
mempunyai kekuatan hukum ( P.N.H. Simanjuntak, 2003:453).
Setelah menetapkan ketetapan MPR No. I/ MPR/2001 yang berisi
sikap MPR RI terhadap maklumat presiden 23 Juli 2001 kemudian
dilanjutkan sidang paripurna dalam agendanya meminta pertanggung
jawaban presiden karena dianggap mengabaikan memorandum I,
memorandum II, dan dikeluarkannya maklumat yang pada dasarnya dekrit
presiden 23 Juli 2001 jam 01.05 WIB. Pada sidang paripurna tersebut
Presiden Abdurrahman Wahid menolak keberadaan sidang istimewa karena
dianggap tidak konstitusional dan menyatakan tidak akan menghadirinya (
Media Indonesia, 24 Juli 2001).
Mulyanto, dkk (2010 : 116) menyebutkan hasil dari Sidang
paripurna ini menghasilkan ketetapan MPR RI No. II/MPR/2001 tentang
Pertanggung jawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman
Wahid. Dalam pasal 1 Ketetapan MPR ini menyatakan ketidak hadiran dan
penolakan presiden untuk memberikan pertanggung jawaban dalam sidang
istimewa MPR RI tahun 2001 serta penerbitan maklumat presiden tanggal
23 Juli 2001 sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Kemudian dalam
pasal 2 menyatakan memberhentikan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai
presiden dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR
RI No. VII/MPR/1999 tentang pengangkatan presiden Republik Indonesia.
Dengan diterbitkannya ketetapan MPR No. II/MPR/2001 maka
Abdurrahman Wahid resmi diberhentikan sebagai presiden RI mandataris
MPR pada tanggal 23 Juli 2001

2. Penetapan Megawati Soekarnoputri Sebagai Presiden dan Terpilihnya


Hamzah Haz Sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia
Ketetapan MPR No. II/MPR/2001 yang memberhentikan
Abdurrahman Wahid sebagai presiden membuka peluang bagi Megawati
commit
selaku wakil presiden untuk to user jabatan presiden yang kosong.
menduduki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
57

Berdasarkan peraturan pasal 8 UUD 1945 yakni Jika Presiden mangkat,


berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,
ia diganti oleh Wakil Presiden ( Mulyanto dkk, 2010 : 117).
P.N.H Simanjuntak (2003 : 454) menyatakan penetapan Megawati
Soekarnoputri sebagai presiden menggantikan Abdurrahman Wahid diatur
dalam Ketetapan MPR No. III/ MPR/ 2001. Isi dari ketetapan tersebut
adalah :
a. Menetapkan Wakil Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarnoputri sebagai presiden Republik Indonesia
menggantikan K.H. Abdurrahman Wahid (Pasal 1).
b. Masa jabatan Presiden Republik Indonesia sebagaimana mana
diatur dalam pasal 1 ketetapan ini adalah terhitung sejak
diucapkannya sumpah atau janji di hadapan Rapat Paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sampai
habis sisa masa jabatan Presiden Republik Indonesia 1999-
2004 (pasal 2).
c. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR RI tentang Penetapan
Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden
Republik Indonesia ini, maka Ketetapan MPR No VIII/ MPR/
1999 tentang Pengangkatan Wakil Presiden Republik
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Megawati Soekarnoputri dilantik sebagai presiden pada pukul 17.30
dalam rapat paripurna keempat Sidang Istimewa MPR tanggal 23 Juli 2001.
Beberapa jam usai dilantik, Presiden Megawati Soekarnoputri menyatakan
kabinet Persatuan Nasional dalam status demisioner terhitung hari selasa
dini hari pukul 00.00 WIB. Ia tetap meminta para menteri tetap
melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Ia juga meminta menteri tidak
mengambil keputusan dan kebijakan prinsipil sampai susunan kabinet
terbaru terbentuk ( Kompas, 24 juli 2001 hal 1).
Setelah Megawati dilantik sebagai Presiden, MPR pun segera
commit
menyelenggarakan pemilihan wakil to user untuk mendampingi Megawati.
presiden
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
58

Muncul lima calon wakil presiden yakni, Hamzah Haz, Akbar Tanjung,
Susilo Bambang Yudhoyono, Agum Gumeler dan Siswono Yudohusodo.
Setelah melakukan voting sebanyak tiga putaran, akhirnya Hamzah Haz
terpilih menjadi wakil presiden ke- 9 pada tanggal 26 Juli 2001 setelah
memperoleh 38,8% pada putaran I, 41,7% pada putaran ke II, dan akhirnya
unggul 55,7% pada putaran ke III (www.forum.detik.com/para-wapres-ri).
Pengangkatan Hamzah Haz sebagai wakil presiden diatur dalam
ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2001 tentang pengangkatan wakil presiden
Hamzah Haz sebagai wakil presiden dengan melanjutkan sisa masa jabatan
hingga tahun 2004 (P.N.H Simanjuntak, 2003 : 455).

3. Terjadi Perubahan Sistem Pemerintahan Presidensial


Keluarnya dekrit pada dasarnya adalah upaya terakhir yang
dilakukan oleh presiden Abdurrahman Wahid untuk menyelesaikan
perseteruan politik yang berkepanjanagan antara lembaga penyelenggara
negara yakni presiden dengan DPR/MPR yang pada akhirnya berdampak
pada upaya saling menjatuhkan antara kedua lembaga negara tersebut. Dekrit
dikeluarkan sebagai bentuk perlawanan Presiden Abdurrahman Wahid
menghadapi Sidang Istimewa MPR yang Agenda utamanya adalah
memberhentikan beliau sebagai presiden. Namun pada akhirnya dekrit
tersebut dijadikan alasan oleh MPR untuk memberhentikan Abdurrahman
Wahid sebagai presiden.
Walaupun dekrit presiden Abdurrahman Wahid tidak dapat
diberlakukan sesuai dengan keinginan beliau, dampak dari di keluarkannya
dekrit tersebut berpengaruh pada sistem pemerintahan presidensial Indonesia.
Perubahan sistem tersebut terjadi melalui perubahan dalam Undang-undang
Dasar 1945 yang di amandemen. Ada beberapa ketentuan dalam amandemen
UUD 1945 yang terkait langsung dengan isi dari dekrit presiden
Abdurrahman Wahid dan penyempurnaan ketentuan pasal-pasal yang lain
terkait dengan kekuasaan dan kewenangan presiden.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
59

Undang Undang Dasar 1945 hasil amandemen mengatur adanya


pembatasan dan pembagian kekuasaan kelembagaan negara. Hal ini
berdampak terjadi perbaikan pada sistem pemerintahan presidensial
Indonesia. Berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen, Abdul Ghoffar
(2009:59-60) mengungkapkan perubahan dalam sistem pemerintahan
presidensial di Indonesia antara lain :
a. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar (Pasal 1 Ayat 2). Berdasarkan ketentuan ini kedaulatan
tidak lagi dipegang oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melainkan
berada ditangan rakyat dan ditentukan oleh UUD 1945. Artinya UUD
1945 yang menentukan bagian mana dari kedaulatan rakyat yang
pelaksanaannya diserahkan kepada lembaga yang keberadaan,
wewenang, tugas, dan fungsinya ditentukan oleh UUD 1945 itu sendiri
dan menentukan bagian mana kedaulatan rakyat yang langsung
dilaksanakan rakyat. Dengan kata lain, pelaksanaan kedaulatan rakyat
tidak diserahkan kepada lembaga/badan mana pun, tetapi langsung
dilaksanakan oleh rakyat melalui pemilu. Jadi, presiden dan wakil
presiden tidak lagi dipilih melalui pemungutan suara oleh MPR,
melainkan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu.
b. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat (Pasal 6A Ayat (1)).
Pemilihan langsung oleh rakyat dalam sistem pemerintahan
presidensial tidak hanya sekedar memberikan kesempatan yang luas
kepada rakyat untuk menetukan pilihan secara langsung, tetapi juga
memberikan bukti adanya mandat langsung dan dukungan yang nyata
dari rakyat (Saldi Isra, 2010 : 64).
c. Sistem kepartaian yang banyak (multi partai) hal ini terlihat dari Pasal
6 A Ayat (2) yang menyatakan : Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
60

Dari pasal ini kata gabungan partai politik pemilihan umum


dapat diartikan bahwa terdapat paling sedikit dua partai politik yang
menggabungkan diri untuk mencalonkan presiden untuk bersaing
dengan calon lainnya yang diusung oleh partai politik yang lain.
Dengan demikian dari pasal tersebut dapat disimpulkan sistem
kepartaian yang dianut di dalam pemilu adalah sistem multi partai
karena didalam pemilihan umum minimum terdapat paling sedikit tiga
partai politik.
d. Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama masa lima
tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama,
hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7). Presiden dan Wakil
Presiden dapat menduduki jabatannya hanya dalam dua periode.
Ketentuan ini untuk menghindari masa jabatan yang terlalu lama bagi
seorang presiden sebagaimana yang terjadi pada orde lama dan orde
baru.
Mengenai pembatasan masa jabatan presiden pada pasal 7
UUD 1945 sebelum amandemen yang berbunyi :”Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan
sesudahnya dapat dipilih kembali”, menimbulkan makna ganda
sehingga melahirkan kekuasaan yang tak terbatas. Selama pemerintahan
Soeharto, dipraktikkan setiap lima tahun presiden dapat dipilih kembali
sehingga Presiden Soeharto berkuasa sampai enam kali masa
jabatan,masing-masing pada tahun 1973, 1978, 1983,1988, 1993, dan
1998 (Chrisdianto Eko Purnomo, 2010:170).
e. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 7C).
Saldi Isra (2010:69) menjelaskan larangan ini dimaksudkan
apabila terjadi ketegangan antara Presiden dan lembaga perwakilan
rakyat maka presiden tidak berhak membubarkan lembaga perwakilan
rakyat seperti yang terjadi pada tahun 1960, ketika itu DPR Gotong
commit APBN
Royong menolak Rancangan to user yang diajukan oleh pemerintah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
61

Sehingga Presiden mengambil langkah membubarkan DPR-GR.


Demikian juga dengan Presiden Abdurahman Wahid yang ketika
terancam diberhentikan oleh MPR melalui sidang istimewa, mengambil
tindakan dengan mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah
membekukan MPR dan DPR.
f. Adanya kejelasan tentang syarat dan mekanisme pemberhentian
presiden dan wakil presiden ditengah masa jabatan, Pasal 7A : Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau usul Dewan Perwakilan
Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak
pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti
tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Sebelum perubahan UUD 1945 tidak ada pengaturan
pemberhentian (impeachment) Presiden di tengah masa jabatan.
Kemungkinan pemberhentian presiden di tengah masa jabatannya
adalah berdasarkan Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan, jika presiden
mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa
jabatannya. Selain ketentuan tersebut, Penjelasan Umum UUD 1945
menyatakan DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan
presiden dan jika DPR menganggap bahwa presiden sungguh
melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh UUD dan MPR, maka
majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar dapat
diminta pertanggungjawaban kepada presiden. Dari Penjelasan Umum
UUD 1945 tersebut, pemberhentian presiden dilakukan dalam Sidang
Istimewa MPR. Sidang tersebut dilaksanakan sangat tergantung atas
pelanggaran haluan negara yang dilakukan oleh presiden dan
permintaan DPR kepada MPR. Penjelasan UUD 1945 tersebut tidak
menyebutkan secara jelas bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh
commit to user
presiden. Alasan pemakzulan presiden adalah presiden sungguh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
62

melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD atau oleh
MPR. Penjelasan tentang melanggar haluan negara tidak dijabarkan
secara terang. Dengan adanya ketidakjelasan tersebut, penilaian
subjektif mayoritas anggota DPR dalam pengajuan Sidang Istimewa
menjadi dominan dalam memberhentikan presiden ( Saldi Isra,
2010:68)
Berdasarkan Pasal 7B UUD 1945 Amandemen, DPR tidak bisa
secara langsung mengajukan usul pemberhentian Presiden kepada
MPR, tetapi dengan meyampaikan terlebih dahulu kepada Mahkamah
Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR
bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tidak lagi
menenuhi syarat sebagai presiden. Usul DPR kepada Mahkamah
Konstitusi harus memenuhi kuorum atau dukungan sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang
dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota DPR. Jika Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden,
maka DPR selanjutnya mengadakan sidang paripurna untuk
meneruskan usulan pemberhentian presiden kepada MPR. Kemudian,
dalam waktu 30 hari terhitung sejak menerima usul DPR, MPR wajib
menggelar sidang istimewa untuk memutuskan usul DPR tersebut.
Keputusan MPR dilakukan dalam Rapat Paripurna MPR yang dihadiri
sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 jumlah anggota yang hadir setelah presiden
diberi kesempatan untuk memberi penjelasan dalam rapat paripurna
MPR (Mulyanto dkk, 2010:123-124).
Dalam hal memberhentikan presiden dalam masa jabatannya,
yang menjadi perhatian Mahkamah Konstitusi adalah bahwa
Mahkamah konstitusi harus memutus benar atau salahnya pendapat
DPR atas tuduhan impeachment yang ditujukan kepada presiden.
commit totidak
Artinya, Mahkamah Konstitusi usersedang mengadili presiden karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
63

yang menjadi obyek dalam proses impeachment di Mahkamah


Konstitusi adalah Pendapat DPR. Kemudian putusan Mahkamah
Konstitusi disampaikan kepada DPR. Selanjutnya DPR
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul
pemberhentian presiden dan / atau wakil presiden kepada MPR.
Lembaga MPR inilah yang akan memutus presiden dan / atau wakil
presiden akan diberhentikan dalam masa jabatannya atau tidak. Dengan
demikian, presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara
tidak akan mudah diberhentikan ( Chrisdianto Eko Purnomo, 2010 :
176-177).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian hasil penelitian dalam bab sebelumnya, maka dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Latar Belakang Terjadinya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid disebabkan
adanya permasalahan utama yang dihadapi Abdurrahman Wahid yaitu kondisi
politik yang tidak stabil sebagai dampak dari kebijakan-kebijakan politik
presiden yang dinilai kontroversial oleh banyak kalangan khususnya
DPR/MPR, sehingga menyebabkan hubungan antara Presiden dengan
DPR/MPR menjadi tidak harmonis. Pernyataan dan kebijakan presiden yang
kontroversial dan dianggap mengecewakan oleh DPR/MPR, antara lain sering
terjadinya pergantian menteri di Kabinet Persatuan Nasional menimbulkan
ketidak senangan partai pendukung yang pernah memilih Abdurrahman Wahid,
sebab sebagian basar menteri yang duduk di kabinet berasal dari partai yang
pernah mendukung terpilihnya Abdurrahman Wahid. Kemudian adanya dugaan
keterlibatan presiden dalam kasus Buloggate dan Bruneigate, yang kemudian
dibawa ke ranah politik menghasilkan Memorandum I dan Memorandum II
yang dikeluarkan DPR untuk Presiden Abdurrahman Wahid. Dekrit presiden
Abdurrahman wahid merupakan bentuk perlawanan Presiden Abdurrahman
Wahid atas politisasi kasus Bruneigate dan Buloggate terhadap upaya
menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid melalui Memorandum I dan
Memorandum II serta percepatan Sidang Istimewa MPR.
2. Proses dekrit Presiden Abdurrahman Wahid, Maklumat Presiden yang pada
dasarnya adalah sebuah dekrit yang dibacakan oleh juru bicara presiden Yahya
Staquf pada tanggal 23 Juli 2001 pukul 01.10 WIB di Istana Negara. Dekrit itu
tidak memperoleh dukungan dari lembaga negara lainnya seperti Mahkamah
Agung, Polri dan TNI, sehingga tidak dapat terlaksana sesuai dengan keinginan
Presiden Abdurrahman Wahid.
commit to user

64
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
65

3. Dampak Dikeluarkannya Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid


a. Diberhentikannya Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Mendataris MPR
dikarenakan dinilai melanggar hukum karena mengeluarkan dekrit, melalui
ketetapan MPR No. II/MPR/2001 tentang pertanggung jawaban Presiden
Abdurrahman Wahid.
b. Naiknya Megawati Soekarnoputri sebagai presiden Indonesia menggantikan
Abdurrahman Wahid melalui Tap MPR No. III/MPR/2001 tentang
penetapan Wakil Presiden Republik Indonesia sebagai Presiden. Dan
Terpilihnya Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden melalui TAP MPR RI No.
IV/MPR/2001 tentang pengangkatan Wakil Presiden Republik Indonesia
c. Terjadi perubahan sistem pemerintahan presidensial, dimana presiden tidak
lagi dipilih oleh MPR, melainkan langsung dipilh oleh rakyat melalui
Pemilu. Presiden tidak bisa membekukan lembaga legislatif. Mekanisme
pemberhentian presiden oleh MPR/DPR lebih dipersulit karena
membutuhkan pembuktian dari mahkamah konstitusi.

B. Implikasi
1. Teoritis
Kehidupan politik di Indonesia tahun 1998-1999, mengalami masa
transisi dari rezim Orde Baru di bawah presiden Soeharto menuju era reformasi.
Untuk melaksanakan agenda reformasi, maka dilaksanakan pemilu pada 1999.
Pemilu pertama pada era reformasi ini berdampak pada perubahan dibidang
politik dengan ditandai banyak lahirnya partai politik baru yang ikut menjadi
peserta. Pada pemilu 1999 tidak terjadi lagi adanya dominasi mutlak suatu partai
politik dibandingkan dengan pemilu pada masa Orde Baru dimana Golkar selalu
memperoleh kemenangan mutlak dari partai lain. Anggota MPR dari Pemilu 1999
melakukan Sidang Umum pada Oktober 1999 dengan agenda pemilihan presiden
baru.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid kondisi politik belum
membaik dan berdampak pada bidang lain sebagai akibat dari kebijakan dan
commit
pernyataan-pernyataan Abdurrahman to user
Wahid yang dianggap kontroversial. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
66

menimbulkan konflik dengan DPR dimana sebagian besar anggota DPR berasal
dari partai politik yang awalnya mendukung Abdurrahman Wahid. Sebagian besar
anggota koalisi poros tengah antara lain Golkar, PAN, dan PPP menarik
dukungannya terhadap Abdurrahman Wahid yang kemudian mendukung
dilaksanakannya Sidang Istimewa MPR dengan Agenda memberhentikan presiden
Abdurrahman Wahid. Sebagai upaya penyelamatan, Abdurrahman Wahid
mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 23 Juli 2001. Dekrit presiden menurut
para ahli didefinisikan sebagai tindakan inkonstitusional yang bisa menjadi
konstitusional jika didukung oleh kekuatan politik atau militer sehingga dekrit
bisa dimenangkan dalam pertarungan politik. Namun ternyata dekrit presiden
Abdurrahman Wahid tidak mendapat dukungan politik dan militer sehingga
menyebabkan jatuhnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden.

2. Praktis
Dari penelitian ini dapat kita ketahui bahwa pada masa transisi terjadi
perubahan politik yang menjadi sangat bebas dimana berdampak pada sikap lebih
menonjolkan konflik daripada usaha bersama untuk menyelesaikan masalah
dengan sikap saling menghargai. Hal ini nampak jelas ketika presiden dan DPR
sebagai lembaga penyelenggara negara tidak bisa bekerja sama dengan baik.
Pada masa sekarang ini, walaupun tidak dapat dilaksanakan adanya
Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 23 Juli 2001 secara tidak langsung
berperan dalam perbaikan sistem kenegaraan Indonesia dimana adanya
pengaturan dan pembatasan kewenangan presiden, MPR dan lembaga negara lain
melalui UUD 1945 Amandemen agar tidak terjadi pengulangan sejarah dimana
tidak ada penyelesaian yang baik jika terjadi konflik antar lembaga penyelenggara
negara.

C. Saran
Dari hasil penelitian ini maka disarankan kepada :
1. Kepada setiap Warga Negara Indonesia, hendaknya selalu menjunjung tinggi
toleransi dalam menghadapi commit to userdan keanekaragaman yang ada.
perbedaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
67

Hormatilah perbedaan yang ada dan selesaikan permasalahan yang muncul


karenanya dengan pikiran yang dingin, sehingga konflik dan perpecahan dapat
dihindari. Konflik dan perpecahan hanya akan menimbulkan penderitaan dan
kerugian bagi bangsa dan negara kita.

2. Peneliti lain
Pencarian data berupa sumber primer dalam proses penelitian mengenai Dekrit
Presiden Abdurrahman Wahid ini cukup sulit dikarenakan data yang tersedia
lebih banyak memojokan Abdurrahman Wahid, serta data yang dimiliki ANRI
belum memiliki data yang mencakup Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Untuk itu jika ingin meneliti mengenai Pemerintahan Abdurrahman Wahid
data bisa di ambil dari situs internet serta Media Massa yang menyorot
Abdurrahman Wahid pada saat itu.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai